SKRIPSI
ANITA HARTATI
0706262136
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
ANITA HARTATI
0706262136
NPM : 0706262136
Tanda Tangan :
ii
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk,
dan ilmu kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Identifikasi Struktur Patahan Berdasarkan Analisa Derivative
Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Geofisika,
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia.
1. Dr. Syamsu Rosid dan Dr. Ir. Eko Widianto, MT selaku pembimbing yang
telah sabar dan banyak meluangkan waktu serta tenaga untuk terus
memberikan masukan hingga akhir penyusunan skripsi ini. Terimakasih
banyak Pak :)
2. Dr. Eng. Supriyanto dan Drs. Hendar Gunawan, M.Sc selaku penguji yang
telah banyak memberikan saran dan kritik membangun demi perbaikan
skripsi ini.
3. Orangtua dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan doa,
dukungan, dan semangat kepada penulis selama proses pembuatan skripsi.
4. Sahabat tersayang; Indah Fitriana Walidah, Hira Nasmy, Dwintha
Zahrianthy, dan Diana Putri Hamdiana. Terimakasih atas dukungan kalian
yang sangat berarti selama ini.
5. Sahabat seperjuangan seperbimbingan; Indah PS, Torkis, Yan, Maul, dan
Fristy yang selalu membantu dan memberikan semangat. Terimakasih
teman-teman atas kerjasamanya yang sangat baik dalam beberapa bulan
terakhir ini.
6. Sahabat 2007 seperjuangan 5 tahun yang selalu memberi semangat,
dorongan, serta motivasi; Rismauly, Aji, Rino, Ichwan, Gangga, Riki,
Byan, Willem, Rangga, Muladi, Imas, Rusyda, Yulia, Ferdi, Vani,
iv
Radityo, Wahid, Zul, Arif, Syahril, Bowo, Cepi, Edo, Septian, Aisyah,
Ari, Syukur, dan Bundi.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
sehingga saran dan kritik yang bermanfaat sangat diharapkan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan bagi pembacanya.
Jakarta, Juni 2012
Penulis
PERSETUJUAN PUBLIKASI
HALAMAN PERNYATAAN
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/penciptadan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Yang menyatakan
(Anita Hartati)
vi
ABSTRAK
Pulau Sulawesi merupakan salah satu pulau di Indonesia yang berada pada zona
pertemuan antara tiga lempeng besar: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik,
dan lempeng Eurasia. Perkembangan tektoniknya yang berlangsung sejak zaman
Tersier hingga sekarang membuat Pulau Sulawesi merupakan daerah teraktif di
Indonesia. Hal ini menyebabkan Pulau Sulawesi mempunyai fenomena geologi
yang kompleks dan rumit, sehingga banyak terdapat patahan-patahan besar yang
aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur patahan di bawah permukaan,
dilakukan analisis data gayaberat. Struktur patahan dapat diketahui dari peta
kontur anomali Bouguer, yang ditunjukkan dari adanya nilai anomali positif dan
negatif yang dibatasi dengan kontur yang rapat, seperti yang terindikasi pada
daerah Sulawesi Selatan, lengan Timur Sulawesi, dan Gorontalo. Analisa
spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalaman anomali regional dan residual.
Filtering dengan metode polinomial orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk mengetahui
kemenerusan patahan. First horizontal derivative dan second vertical derivative
digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan serta jenis patahan, yang kemudian
dilakukan pemodelan 2D. Pengolahan data memperlihatkan bahwa, daerah
Sulawesi Selatan teridentifikasi adanya patahan normal yang diperkirakan
memiliki dip 18° dan strike N14°W, untuk daerah lengan Timur Sulawesi
teridentifikasi adanya patahan naik yang diperkirakan memiliki dip 10° dan strike
N74°E, sedangkan untuk daerah Gorontalo teridentifikasi adanya patahan naik
yang diperkirakan memiliki dip 12° dan strike N12°E.
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
2.4 Analisa Spektrum ............................................................................................ 15
2.5 Pemisahan Anomali Regional dan
Residual (Filtering) ................................. 17
2.6 Analisa Derivative........................................................................................... 20
2.6.1 First Horizontal Derivative
(FHD)....................................................... 20
2.6.2 Second Vertical Derivative (SVD) ....................................................... 21
BAB III TINJAUAN GEOLOGI ............................................................................. 26
3.1 Tinjauan Umum Sulawesi ............................................................................... 26
3.2 Sejarah Geologi Sulawesi ............................................................................... 27
3.3 Tektonik Sulawesi ........................................................................................... 29
3.4 Geologi Daerah Penelitian .............................................................................. 33
3.4.1 Sulawesi Selatan ................................................................................... 33
3.4.2 Lengan Timur Sulawesi ........................................................................ 36
3.4.3 Gorontalo .............................................................................................. 39
x
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
5.2.5 Pemodelan 2D....................................................................................... 68
5.2.6 Analisa Patahan ....................................................................................
70
5.3 Gorontalo ........................................................................................................ 71
5.3.1 Anomali Bouguer .................................................................................
71
5.3.2 Analisa Spektrum ................................................................................. 72
5.3.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ......................................... 75
5.3.4 Analisa Derivative ................................................................................ 77
5.3.5 Pemodelan 2D.......................................................................................
78
5.3.6 Analisa Patahan .................................................................................... 80
DAFTAR ACUAN..................................................................................................... 83
Lampiran ................................................................................................................... 85
xi
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
Gambar 5.9 Rekonstruksi patahan daerah Sulawesi Selatan .................................. 61
Gambar 5.10 Peta kontur anomali Bouguer lengan Timur Sulawesi ....................... 62
Gambar 5.11 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur
Sulawesi .............................................................................................. 63
Gambar 5.12 Hasil analisa spektrum lintasan PP’ dan RR’ ..................................... 64
Gambar 5.13 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a)
orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 lengan Timur Sulawesi .................. 65
Gambar 5.14 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3
lengan Timur Sulawesi ........................................................................ 66
Gambar 5.15 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah lengan Timur Sulawesi ............ 67
Gambar 5.16 Analisa derivative pada lintasan di lengan Timur Sulawesi ............... 68
Gambar 5.17 Pemodelan 2D daerah lengan Timur Sulawesi ................................... 69
Gambar 5.18 Rekonstruksi patahan daerah lengan Timur Sulawesi ........................ 71
Gambar 5.19 Peta kontur anomali Bouguer Gorontalo ............................................ 72
Gambar 5.20 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo ......... 73
Gambar 5.21 Hasil analisa spektrum lintasan XX’ .................................................. 73
Gambar 5.22 Ketidakselarasan Mohorovicic yang ditunjukkan pada garis merah
(King, 2005) ........................................................................................ 74
Gambar 5.23 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a)
orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 Gorontalo ....................................... 76
Gambar 5.24 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3
Gorontalo ............................................................................................ 77
Gambar 5.25 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Gorontalo ................................. 78
Gambar 5.26 Analisa derivative pada lintasan di Gorontalo .................................... 78
Gambar 5.27 Pemodelan 2D daerah Gorontalo ........................................................ 79
Gambar 5.28 Rekonstruksi patahan daerah Gorontalo ............................................. 80
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Pulau Sulawesi merupakan suatu pulau di Indonesia yang terletak pada
zona pertemuan diantara tiga pergerakan
lempeng besar. Dari selatan, pergerakan
lempeng Indo-Australia memiliki kecepatan rata-rata 7 cm/tahun, lempeng Pasifik
dari arah timur dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun, dan lempeng Eurasia yang
bergerak relatif pasif ke tenggara sekitar 3 cm/tahun (Kaharuddin, dkk., 2011).
Wilayah yang sering terjadi gempa bumi akibat aktivitas tektonik pada
umumnya terletak dekat dengan zona tumbukan lempeng dan dekat dengan
patahan aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur geologi tersebut, maka
dibutuhkan metode geofisika yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi
bawah permukaan.
2
menggunakan analisa derivative. Turunan yang biasa digunakan dalam analisis
gayaberat adalah turunan pertama horizontal atau First Horizontal Derivative
(FHD) dan turunan kedua vertikal atau Second Vertical Derivative (SVD). FHD
berperan untuk menentukan batas struktur anomali, sedangkan SVD dapat
mengidentifikasikan jenis patahan yang
ada di Pulau Sulawesi, yaitu patahan naik
ataupun patahan turun. Sehingga dapat
membantu penafsiran geologi daerah
tersebut.
Universitas Indonesia
3
1.3 Batasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan pada penelitian ini, maka kajian
dibatasi pada beberapa hal:
Universitas Indonesia
4
BAB I. PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
5
BAB II. LANDASAN TEORI
Membahas mengenai konsep dasar yang melandasi penelitian ini.
Dimulai dari teori dasar metode gayaberat, pengolahan data, serta analisa
derivative.
BAB III. TINJAUAN GEOLOGI
Universitas Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Prinsip Dasar Metode Gayaberat
Landasan dari metode gayaberat adalah hukum Newton tentang gaya tarik
menarik antara dua partikel. Hukum ini menyatakan jika dua buah titik dengan
massa masing-masing M dan m yang terpisah sejauh jarak r akan tarik menarik
dengan sebuah gaya F. Dimana gaya tarik menarik antara dua buah titik tersebut
sebanding dengan perkalian massa kedua titik tersebut dan berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara titik pusat keduanya.
Besar gaya tarik menarik antara dua buah partikel dituliskan dengan
persamaan:
Mm
F =G (2.1)
r2
7
m: massa benda di permukaan bumi (kg)
r : jarak antara titik pusat massa (m)
2.1.2 Percepatan Gravitasi
Dalam pengukuran gayaberat yang diukur bukanlah gaya gravitasi F,
melainkan percepatan gravitasi g. Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh
hukum Newton II yang menyatakan bahwa sebuah gaya adalah hasil perkalian
dari massa dengan percepatan.
F = mg (2.2)
Mm
G = mg
r2
(2.3)
M
g =G 2
r
Dimana satuan g adalah m/det2 dalam SI, atau Gal (Galileo) yaitu 1
cm/det2. Karena pengukuran dilakukan dalam variasi percepatan gravitasi yang
begitu kecil, maka satuan yang sering digunakan adalah miliGal (mGal).
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
8
dalam sistem ruang akan menimbulkan medan potensial di sekitarnya. Dimana
medan potensial bersifat konservatif, artinya usaha yang dilakukan dalam suatu
medan gravitasi tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya tetapi hanya
tergantung pada posisi awal dan akhir (Rosid, 2005). Medan potensial dapat
dinyatakan sebagai gradien atau potensial
skalar (Blakely, 1996), melalui
persamaan:
g = −∇U ( r ) (2.4)
R R
dr M
U ( r ) = − ∫ gdr = −GM ∫ 2
=G (2.5)
∞ ∞
r R
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
9
2.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction)
Koreksi pasang surut merupakan koreksi yang disebabkan oleh pengaruh
tarikan massa benda-benda langit. Benda-benda langit yang paling dominan
berpengaruh adalah bulan dan matahari, karena jaraknya yang relatif dekat
terhadap bumi dan massanya yang relatif besar.
Koreksi ini perlu diperhitungkan untuk menghilangkan efek gaya tarik
yang dialami bumi akibat bulan dan matahari, yang mempengaruhi pembacaan
anomali gravitasi di permukaan bumi. Menurut Longman (1959), pengaruh
gravitasi bulan di titik P pada permukaan bumi yang terlihat pada Gambar 2.1
dapat diselesaikan melalui persamaan:
3
c 1 1
U m = G (r ) 3 3 − sin δ 3 − sin φ − sin 2φ sin 2δ cos t + cos φ cos δ cos 2t
2 2 2 2
R
(2.6)
δ: sudut deklinasi
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
10
2.2.2 Koreksi Apungan (Drift Correction)
Koreksi apungan diberikan sebagai akibat adanya perbedaan pembacaan
gayaberat dari stasiun yang sama pada waktu yang berbeda, yang disebabkan
karena adanya guncangan pegas alat gravimeter selama proses pengukuran dari
satu stasiun ke stasiun lainnya. Komponen gravimeter dirancang dengan sistem
dengan massa beban yang tergantung
keseimbangan pegas yang dilengkapi
diujungnya. Karena pegas yang tidak
elastis sempurna, maka sistem pegas
mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu.
g f − g0
gdrift = (tn − t0 ) mgal (2.6)
t f − t0
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
11
Koreksi ini diperlukan karena perputaran bumi mengakibatkan perbedaan
percepatan gravitasi bumi pada setiap lintang. Untuk menghitung koreksi lintang
(Reynolds, 1997) digunakan rumus sebagai berikut:
gθ = 978.03185(1 + 0.005278895sin θ + 0.000023462sin 4 θ )
2
mgal (2.7)
M
g0 = G
r2 (2.8)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
12
M M 1 − 2h
gh = G =G 2 ... (2.9)
( R + h) 2
R R
Perbedaan nilai gravitasi di bidang geoid dan di stasiun pada ketinggian h disebut
koreksi udara bebas:
2 g0h
g FA = g 0 − g h = (2.10)
R
2 6
dengan g0 = 9.8 m/det , R = 6.371x10 m, dan h dalam m, maka
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
13
Koreksi ini dihitung dengan persamaan (Telford, et al., 1990):
g B = 2π G ρ h (2.12)
dimana π = 3.14, G = 6.67 x 10-11 m3 kg-1 det-3, ρ dalam gr/cm3, dan h dalam m,
maka:
gB = 0.04192ρ h mgal (2.13)
Tanda koreksi Bouguer berbanding terbalik dengan koreksi udara bebas.
Jika titik pengukuran berada di atas bidang geoid, koreksi akan dikurang. Hal ini
dikarenakan kandungan massa di atas bidang geoid membuat nilai g titik
pengukuran lebih besar dari g geoid, sehingga untuk menarik titik pengukuran ke
bidang geoid koreksi harus dikurang. Dan juga sebaliknya, jika titik pengukuran
berada di bawah bidang geoid, koreksi akan ditambah.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
14
melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin yang terlihat pada
Gambar 2.4 di bawah ini.
2πρ G
TC = r2 − r1 + r12 + z 2 − r2 2 + z 2 mgal (2.14)
N
Gambar 2.5 Cincin silinder untuk menghitung koreksi medan (Reynolds, 1997)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
15
2.3 Anomali Bouguer Lengkap (Complete Bouguer Anomaly)
Setelah mereduksi hasil pengukuran lapangan dengan koreksi-koreksi
seperti yang telah diuraikan di atas, maka dihasilkan koreksi akhir yaitu anomali
Bouguer lengkap (∆gB) yang memiliki persamaan:
∆g B = gobs − gθ ± g FA ∓ g B + TC
(2.15)
gobs merupakan nilai gravitasi yang terbaca pada gravimeter setelah
dikoreksi terhadap apungan pegas alat (drift correction) dan pengaruh pasang
surut bumi (tide correction).
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
16
∞
− ikx
F (k ) = ∫
−∞
f ( x )e dx
(2.16)
2π
k= ≈ 2π f (2.17)
λ
Transformasi Fourier F(k) merupakan suatu fungsi kompleks yang terdiri
dari bilangan real dan imajiner, yaitu :
F ( k ) = Re F ( k ) + Im F ( k )
1
F (k ) = (Re F (k )) 2 + (Im F (k )) 2 2
(2.18)
F (k ) = Amplitudo
1
F (U ) = Gµ F (2.19)
r
e (0
k z − z ')
1
dengan F = 2π (2.20)
r k
µ: anomali densitas
r: jarak
k: bilangan gelombang
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
17
Sehingga persamaannya menjadi:
k ( z0 − z ')
e
F (U ) = 2π G µ (2.21)
k
Berdasarkan persamaan (2.21) di atas, transformasi Fourier anomali gravitasi yang
diamati pada bidang horisontal adalah:
∂F (U )
F (gz ) =
∂z
k ( z0 − z ')
∂ 2π G µ e
=
∂z k
(2.22)
∂ e 0−
k (z z ')
= 2π G µ
∂z k
= 2π G µ e k ( z0 − z ')
k ( z0 − z ')
A = Ce (2.23)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
18
ln A
k
g i = C1 + C 2 xi + C3 yi + C 4 xi yi + C5 xi 2 + C6 yi 2 (2.26)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
19
dimana: i: 1, 2, 3, … , n (jumlah stasiun gravitasi)
gi: anomali gravitasi
c1, …, c6: konstanta polinomial yang akan dicari
Untuk mengetahui konstanta-konstanta c1 s/d c6, persamaan diatas dapat
dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:
g1 1 x1 y1 x1 y1 x12 y12 c1
g 2 1 x2 y2 x2 y2 x2 2 y2 2 c2
i i i i i i i i
= (2.27)
i i i i i i i i
i i i i i i i i
gi 1 xi yi xi yi xi 2 yi 2 ci
Lalu apabila ditulis dalam bentuk matematis secara singkat, akan didapatkan
persamaan berikut:
d = Gm (2.28)
dimana d adalah vektor dari data input anomali Bouguer, G adalah matriks dari
koordinat stasiun atau disebut juga matriks kernel, dan m adalah vektor konstanta
polinomial (model parameter) yang akan dicari.
d = Gm + ei (2.29)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
20
Solusi regresi linear diupayakan dengan cara meminimalkan jumlah
kuadrat dari error ei (Supriyanto, 2007). Dalam formulasi matematika, kuadrat
error tersebut dinyatakan dengan:
q = e e = (d − Gm) (d − Gm)
T T
(2.30)
∂q
=0
∂m
∂ (d T d − d T Gm − mT GT d + mT G T Gm)
=0
∂m
−d T G − G T d + GT Gm + mT G T G = 0
2G T Gm = 2G T d
GT Gm = GT d (2.31)
−1
m = G T G G T d (2.32)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
21
Gambar 2.7 Kontur polinomial TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009)
Gambar 2.8 Nilai gradien horizontal pada model tabular (Blakely, 1996)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
22
Turunan horizontal lebih mudah dipalikasikan dengan menggunakan
metode turunan berhingga dan perhitungan secara diskrit. Untuk data dua dimensi,
misalnya jika nilai g(i,j), i = 1,2,3, …, j = 1,2,3,…, yang menunjukkan
perhitungan diskrit dari g(x,y) pada interval sampel yang sama ∆x dan ∆y, maka
turunan horizontal pertama dari g(x,y) pada titik i,j diberikan oleh persamaan:
dg ( x, y ) gi +1, j − gi −1, j
≈ (2.33)
dx 2 ∆x
∇2 g = 0 atau
∂2 g ∂2 g ∂2 g
+ + =0 (2.34)
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
∂2 g ∂2 g ∂2 g
=− 2 − 2 (2.35)
∂z 2 ∂x ∂y
SVD dari suatu anomali gayaberat permukaan adalah sama dengan negatif
dari second horizontal derivative (SHD). Anomali yang disebabkan oleh struktur
cekungan mempunyai nilai harga mutlak minimal SVD selalu lebih besar daripada
harga maksimalnya. Sedangkan anomali yang disebabkan struktur intrusi berlaku
sebaliknya, harga mutlak minimalnya lebih kecil dari harga maksimalnya
sehingga analisa struktur pada SVD dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
23
Gambar 2.9 Respon analisa SVD pada struktur geologi (Reynolds, 1997)
∂ 2 ∆g ∂ 2 ∆g
2
> 2
untuk patahan normal (2.33)
∂z maks ∂z min
∂ 2 ∆g ∂ 2 ∆g
2
< 2
untuk patahan naik (2.34)
∂z maks ∂z min
Prinsip dasar dan teknik perhitungan dari metode ini telah dijelaskan oleh
Henderson & Zietz (1949), Elkins (1951), dan Rosenbach (1953). Pada data
gravitasi, nilai anomali akan mengalami perubahan secara vertikal yang
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
24
diakibatkan karena adanya efek distribusi massa yang tidak merata secara vertikal,
maka turunan keduanya akan memperlihatkan besarnya efek gravitasi dari
struktur-struktur yang lebih luas dan terletak jauh lebih dalam. Oleh karena itu
struktur-struktur kecil/lokal dan samar-samar dapat diperjelas keberadaannya atau
lebih dipertajam bentuk kurvanya dibanding
struktur-struktur regional yang lebih
melebar bentuknya.
Bila grid data dibuat berspasi S, maka harga turunan kedua pada pusat
lingkaran dengan radius berbeda adalah :
c
D= (a0T0 + a1T1 + a2 T2 + ...) (2.35)
s2
C: koefisien numerik
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
25
Gambar 2.10 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)
∂ 2Φ 2
= (3T0 − 4T1 + T2 )
∂z 2 s 2
b. Elkins (1951)
∂ 2Φ 1
= (16T0 + 8T1 − 12T2 )
∂z 2
28s 2
c. Rosenbach (1953)
∂ 2Φ 1
= (96T0 − 72T1 − 32T2 + 8T3 )
∂z 2
24 s 2
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
BAB III
TINJAUAN GEOLOGI
Sulawesi dalam tektonik global tidak terlepas dari tatanan tektonik
Indonesia yang berada pada daerah pertemuan tiga lempeng yang saling
berinteraksi satu sama lain. Sulawesi terletak pada zona pertemuan di antara tiga
pergerakan lempeng besar, yaitu pergerakan lempeng Indo-Australia dari selatan,
lempeng Pasifik dari arah timur, dan lempeng Eurasia bergerak relatif pasif ke
tenggara (Gambar 3.1).
26
27
3.2 Sejarah Geologi Sulawesi
Sejarah geologi Pulau Sulawesi dapat terbagi menjadi 3 masa, yaitu masa
Paleozoikum, Mesozoikum, dan Kenozoikum. Pada masa Paleozoikum periode
Perm (280 Ma) semua benua mulai menyatu membentuk suatu daratan yang
sangat luas yang disebut benua Pangea.
Kemudian pada masa Mesozoikum periode Trias (250 Ma), pecahnya
Pangea menjadi dua yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia meliputi Amerika
Utara, Eropa, dan sebagian besar Asia sekarang. Indonesia dan wilayah sekitar
bagian barat (Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan bagian
barat Sulawesi) merupakan bagian benua Laurasia, sedangkan Indonesia dari
bagian timur (bagian Timur Sulawesi, Timor, Seram, Buru, dan seterusnya) yang
merupakan bagian benua Gondwana.
Pada periode Jura (215 Ma), bagian barat Sulawesi bersama-sama dengan
Sumatera, Kalimantan, dan daratan yang kemudian akan menjadi Kepulauan
Lengkung Banda dianggap terpisahkan dari Antartika dalam pertengahan periode
Jura, atau dengan kata lain, bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma
Thailand, Malaysia, dan Sulawesi Barat terpisah dari benua Laurasia.
Pada masa Kenozoikum kurun Eosen (50 Ma), Australia terpisah dari
Antartika, vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi. Eurasia terbentuk
pada area kontinental yang stabil, dengan batas kontinental Eurasia yang
berorientasi ke arah NE-SW. Taiwan, Palawan Utara, dan continental shelf
(berarah NW dari Kalimantan) berada di luar kondisi passive margin stabil, yang
terbentuk sepanjang periode Kapur. Pada zaman ini, Sundaland memisah dari
Eurasia akibat dari kerak samudra Mesozoik.
Pada kurun Miosen (25 Ma), Australia, Irian, dan bagian timur Sulawesi
kemungkinan terpisahkan dari Irian sebelum bertabrakan dengan Sulawesi bagian
barat. Pada periode pertengahan Miosen, mulai muncul daratan. Australia,
Sulawesi Timur dan Irian terus bergarak ke utara kira kira 10 cm pertahun.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
28
Pada kurun Miosen ini, Lempeng Australia bergerak ke utara
mengakibatkan melengkungnya bagian timur, Lengkung Banda ke barat. Gerakan
ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan
arah timur barat, mengubah kedua masa
Sorong dari bagian barat Irian dengan
daratan yang akan menghasilkan bentuk
khas Sulawesi yang sekarang (bentuk K).
Diperkirakan tabrakan ini terjadi sekitar 15 Ma (pertengahan Miosen).
Kepulauan Banggai Sula bertabrakan dengan Sulawesi Timur dan seakan akan
menjadi ujung tombak yang masuk ke Sulawesi bagian barat, yang menyebabkan
semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar kira-
kira 35°, dan bersama itu membuka Teluk Bone. Semenanjung Utara memutar
ujung utaranya menurut arah jarum jam hampir sebesar 90°, yang menyebabkan
terjadinya subduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi di bawah
bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik) sepanjang alur Sulawesi Utara
dan Teluk Gorontalo, dan obduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak
bumi diatas bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik).
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
29
3.3 Tektonik Sulawesi
Tektonik Pulau Sulawesi terbentuk akibat dari peristiwa konvergen dan
transform. Untuk kawasan konvergen di Sulawesi, lempeng Eurasia, lempeng
Pasifik, dan lempeng Indo-Australia saling bergerak dan mendekati. Pergerakan
ketiga lempeng ini bersifat tumbukan. Tumbukan antar ketiganya tertekuk dan
menyusup kebawah lempeng benua hingga masuk ke Astenosfer (zona melange),
yang merupakan kedudukan titik-titik fokus
gempa tektonik.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
30
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
31
a. Mandala Barat Bagian Utara (Manado), terdiri dominasi batugamping
sebagai satuan batuan penyusun Cekungan Ratatotok. Satuan batuan
lainnya yaitu kelompok breksi dan batupasir, kemudian kelompok
Tufa Tondano berumur Pliosen, batuan Kuarter terdiri kelompok
batuan gunung api muda, kelompok batuan termuda terdiri atas
batugamping koral, endapan
aluvial sungai, dan danau.
b. Mandala Barat Bagian Barat (Enrekang), terdiri dari satuan batupasir
malih berumur Kapur Akhir, satuan batuserpih berumur Eosen-
Oligosen Awal, satuan batugamping berumur Eosen, satuan batupasir
gampingan berumur Oligosen-Miosen Tengah, satuan batugamping
berlapis berumur Oligosen-Miosen Tengah, satuan klastika gunung api
berumur Miosen Akhir, satuan batugamping terumbu berumur Pliosen
Awal, dan satuan konglomerat berumur Pliosen.
2. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt), berupa batuan
malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian blok dari
Australia. Meliputi Kabupaten Donggala dan Toli-Toli Sulawesi Tengah.
Urutan stratigrafi dari termuda yaitu endapan aluvium, endapan teras
Kuarter, batuan tufa berumur Pliosen-Kuarter, batuan yang
termetamorfkan rendah dan batuan malihan yang keduanya termasuk ke
dalam Formasi Tinombo berumur Kapur Akhir-Eosen Awal, batuan
gunung api yang menjari dengan Formasi Tinombo berumur Kapur
Akhir-Oligosen Awal, inrtusi garanit berumur Miosen Tengah-Miosen
Akhir yang ditemukan menerobos Formasi Tinombo.
3. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), merupakan ofiolit yang
merupakan segmen kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen
berumur Trias-Miosen. Terdapat sesar Lasolo yang membagi lembar
daerah Kendari menjadi dua yaitu Lajur Tinondo yang merupakan
himpunan batuan yang bercirikan asal paparan benua terdiri batuan
malihan berumur Paleozoikum yang diduga zaman Karbon serta Lajur
Hialu yang merupakan himpunan batuan bercirikan asal kerak samudera.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
32
4. Banggai-Sula dan Tukang Besi Continental Fragments, kepulauan yang
terdiri dari Banggai, Sula dan Buton yang merupakan pecahan benua yang
berpindah dikarenakan sesar strike slip dari New Guinea.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
34
Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai kala Pliosen.
Menurunnya Terban Walanae dibatasi oleh sistem sesar normal Walanae, dimana
bagian turun dari sesar normal ini berada di sebelah timur.
Di wilayah Sulawesi Selatan ini juga terdapat zona depresi yang terbentuk
oleh sesar normal Walanae yang terjadi sejak Miosen Tengah hingga Pliosen.
Akibat pembentukan sesar normal ini blok bagian timurlaut mengalami penurunan
dan terisi oleh material membentuk batuan
Walanae.
sedimen Formasi Walanae
Geologi daerah bagian timur dan barat Sulawesi Selatan pada dasarnya
berbeda, dimana kedua daerah ini dipisahkan oleh sesar Walanae. Di masa
Mesozoikum, basement yang kompleks terdiri dari batuan metamorf, ultramafik,
dan sedimen. Adanya batuan metamorf yang sama dengan batuan metamorf di
Pulau Jawa, pegunungan Meratus di Kalimantan, dan batuan di Sulawesi Tengah
menunjukkan bahwa basement kompleks Sulawesi Selatan mungkin merupakan
pecahan fragmen akibat akresi kompleks yang lebih besar di masa Awal Kapur
(Sompotan, 2012).
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
36
konglomerat, breksi, tufa, limestone, dan napal. Berdasarkan teknik foraminifera
dating, usia Formasi Salo Kalupang diyakini berkisar Awal Eosen sampai dengan
Akhir Oligosen. Formasi ini seusia dengan bagian bawah Formasi Tonasa.
Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut yang berselingan dengan
batuan vulkanik. Bagian teratas Formasi Camba yaitu batuan vulkanik Camba
yang terletak di bagian barat, terdiri dari breksi vulkanik dan konglomerat, lava
dan tuf interbedded dengan marine sedimen. Foraminifera dating menduga
batuan vulkanik Camba berumur Akhir Miosen.
Struktur utama yang terdapat di daerah lengan Timur Sulawesi ini adalah
patahan naik Batui, yang merupakan ekspresi permukaan dari tumbukan antara
paparan Banggai-Sula dengan jalur Ophiolite Sulawesi Timur yang membentang
dari Balantak sampai Teluk Tomori. Patahan ini membatasi Jalur Ophiolite di
hanging wall dengan Paparan Banggai-Sula di bagian foot wall.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
38
Batuan-batuan penyusun daerah lengan Timur Sulawesi seperti yang
geologi pada Gambar 3.8 dan 3.9 di atas
terlihat pada kolom stratigrafi dan peta
terdiri dari formasi-formasi yang berasal dari zaman Mesozoikum dan Tersier.
Formasi batuan tertua pada masa Trias disebut Formasi Tokala. Formasi
ini terdiri dari batuan limestone dan napal dengan sisipan shale dan chert (rijang),
batuan lain pada usia yang sama yang
yang diendapkan di laut dalam. Fasies
diendapkan di laut dangkal dibentuk oleh
Formasi Bunta yang terdiri dari butiran
halus sedimen klastik seperti batu tulis, metasandstone, silt, phyllite, dan schist.
Pada lengan Timur Sulawesi juga ditemukan batuan kompleks ofiolit yang
berumur Akhir Jura sampai dengan Eosen yang berasal kerak samudera
(Simandjuntak, 1986).
Formasi Tokala dan Bunta yang tidak selaras ditindih oleh Formasi
Nanaka yang terdiri dari butiran kasar sedimen klastik seperti batuan
konglomerat, batupasir dengan sisipan silts dan batubara. Diantara fragmen dalam
batuan konglomerat ditemukan granit merah, batu metamorfik dan chert (rijang)
yang diperkirakan berasal dari mikrokontinen Banggai-sula (Simandjuntak, 1986).
Umur formasi ini dianggap kurang dari pertengahan masa Jura dan terbentuk di
lingkungan paralik.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
39
3.4.3 Gorontalo
Daerah lengan utara Sulawesi ini merupakan busur gunung api yang
terbentuk karena adanya penunjaman ganda yang terdiri dari lajur penunjaman
Sulawesi Utara di sebelah lengan utara Sulawesi dan lajur penunjaman Sangihe
timur di sebelah timur dan selatan lengan utara. Penunjaman ini mengakibatkan
terjadinya kegiatan magmatisme dan kegunung-apian yang menghasilkan batuan
-kerucut vulkanik muda (Simanjuntak, 1986).
plutonik dan kerucut-kerucut
Sesar besar yang melintasi sepanjang Sulawesi Utara ini adalah sesar
Gorontalo yang menghasilkan fault trap dan kemudian membentuk depresi graben
dengan memotong struktur yang terbentuk sebelumnya.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
40
Wilayah ini disusun oleh batuan dengan urutan stratigrafi sebagai berikut :
• Batuan beku, berupa: gabro, diorit, granodiorit, granit, dasit, dan munzonit
kwarsa.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
BAB IV
PENGOLAHAN DATA
4.1 Pendigitan
Tahap awal yang dilakukan dalam
melakukan pengolahan data adalah
tahap pendigitan peta kontur anomali Bouguer di Pulau Sulawesi. Peta kontur
anomali Bouguer ini diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi dengan skala peta
1:2.500.000.
Peta tersebut di scan agar data anomali Bouguer yang masih berupa peta
analog dapat digitasi sehingga mendapatkan data digital yang dapat diolah untuk
proses pengolahan data selanjutnya. Proses pendigitan peta dilakukan dengan
menggunakan software Surfer 9. Hasil pendigitan ditampilkan dalam bentuk
kontur yang kemudian di grid dengan spasi grid 10 km.
(mgal)
41
42
4.2 Anomali Bouguer
Data yang diolah untuk dianalisa lebih lanjut dalam penelitian ini hanya
beberapa bagian di Pulau Sulawesi yang terindikasi adanya patahan, yaitu daerah
Sulawesi Selatan, lengan Timur Sulawesi, dan Gorontalo yang ditunjukkan pada
Gambar 4.2 di bawah.
(mgal)
Gambar 4.2 Peta kontur anomali Bouguer yang menunjukkan daerah penelitian
Berikut adalah gambar peta anomali Bouguer pada tiap-tiap daerah yang
akan diproses lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
43
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.3 Peta anomali Bouguer (a) Sulawesi Selatan, (b) lengan Timur Sulawesi, dan
(c) Gorontalo
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
44
4.3 Analisa Spektrum
Analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kandungan frekuensi dari
data, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi dapat diestimasi. Frekuensi
rendah yang berasosiasi dengan panjang gelombang panjang mengindikasikan
daerah regional yang mewakili struktur dalam dan luas. Sedangkan sebaliknya,
frekuensi tinggi yang berasosiasi dengan panjang gelombang pendek
mengindikasikan daerah residual (lokal)
yang mewakili struktur dangkal dan
umumnya frekuensi sangat tinggi menunjukkan noise yang diakibatkan kesalahan
pengukuran, kesalahan digitasi, dan lain-lain.
A = r 2 + i2
(4.1)
ln A = ln r + i
2 2
k = 2π f (4.2)
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
45
7
y = -20680x + 6.124
6
5 y = -6203.x + 5.008
4
ln A
3 Regional
2 Residual
1
0
0 0.0001 0.0002 0.0003
k
Gambar 4.4 di atas merupakan gambar salah satu hasil analisa spektrum
yang menunjukkan kedalaman regional dan kedalaman residual berdasarkan nilai
gradien dari kedua garis regresi linear. Kedalaman regional pada daerah diatas
mencapai 20.680 m, dan kedalaman residualnya sekitar 6.203 m. Untuk hasil
analisa spektrum selengkapnya akan dibahas di Bab selanjutnya, yaitu Bab Hasil
dan Pembahasan.
Proses pemisahan anomali regional dan residual pada penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode polinomial, dimana yang digunakan adalah
polinomial orde 1, 2, dan 3 di setiap daerah penelitian. Hal ini dilakukan untuk
dapat melihat kemenerusan patahan di bawah permukaan.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
46
Orde 1:
gi = C1 + C2 xi + C3 yi (4.3)
Orde 2:
gi = C1 + C2 xi + C3 yi + C4 xi yi + C5 xi + C6 yi 2
2
(4.4)
Orde 3:
gi = C1 + C2 xi + C3 yi + C4 xi yi + C5 xi 2 + C6 yi 2 + C7 xi 2 yi + C8 xi yi 2 + C9 xi 3 + C10 yi 3 (4.5)
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa jumlah stasiun (i) lebih besar
daripada konstanta polinomial. Kondisi seperti ini dikenal sebagai over
determined dimana untuk menyelesaikan persamaan seperti ini digunakan metode
least square/regresi linear untuk meminimalkan jumlah kuadrat dari error.
Setelah mendapatkan nilai konstanta, maka nilai anomali regional didapatkan
melalui persamaan polinomial awal setiap orde, yang ditunjukkan pada persamaan
(4.3), (4.4), dan (4.5). Dan kemudian anomali residual didapatkan dengan
mengurangkan anomali Bouguer terhadap anomali regional.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
47
Tabel 4.1 Konstanta polinomial orde 1, 2, dan 3 di setiap daerah
Polinomial Konstanta Sulawesi Lengan Gorontalo
Selatan Timur
Sulawesi
Orde 1 C1 1,825 x 103 -2,669 x 103 -1,798 x 104
C2 -1,561 x 10-5 1,659 x 10-6 3,798 x 10-4
C3 -1,869 x 10-4 2,715 x 10-4 1,800 x 10-3
Orde 2 C1 -6,511 x 104 3,265 x 106 1,271 x 106
C2 4,000 x 10-2 1,507 x 10-1 -4,350 x 10-2
C3 1,320 x 10-2 -6,678 x 10-1 -2,522 x 10-1
C4 2,456 x 10-8 2,855 x 10-10 9,752 x 10-9
C5 -6,629 x 10-10 3,413 x 10-8 1,253 x 10-8
C6 -5,052 x 10-9 -1,525 x 10-8 3,430 x 10-9
Orde 3 C1 -1,528 x 108 -4,906 x 106 -2,807 x 106
C2 1,865 x 101 2,146 x 101 6,038 x 100
C3 4,783 x 101 9,222 x 10-1 5,939 x 10-1
C4 8,982 x 10-7 -2,383 x 10-6 2,713 x 10-6
C5 -3,940 x 10-6 -4,093 x 10-6 -1,456 x 10-6
C6 -4,988 x 10-6 -4,232 x 10-8 -2,910 x 10-8
C7 4,476 x 10-13 -9,719 x 10-14 -1,514 x 10-13
C8 -1,150 x 10-13 2,548 x 10-13 -2,470 x 10-13
C9 2,085 x 10-13 1,938 x 10-13 8,396 x 10-14
C10 1,734 x 10-13 -6,681 x 10-17 -2,010 x 10-16
g (i ) − g (i − 1)
FHD = (4.7)
∆x
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
48
dimana g merupakan nilai anomali Bouguer (mgal) dan ∆x selisih jarak lintasan
(m). Berikut adalah salah satu proses perhitungan FHD yang dibuat di program
Excel.
Tabel 4.2 Salah satu contoh hasil perhitungan FHD
Jarak (m) Bouguer (mgal) FHD (mgal)
0 46.94279 0
6557.213128
60.82999 0.002118
17476.15216 66.69765 0.000537
28395.09119 23.37211 -0.00397
31652.21632 14.52945 -0.00271
39314.03023 -4.22535 -0.00245
50232.96926 -10.2217 -0.00055
61151.90829 -7.77477 0.000224
64009.7745 -0.01671 0.002715
72070.84733 27.68906 0.003437
82989.78636 64.86018 0.003404
0.005
0.004
0.003
FHD (mgal/m)
0.002
0.001
0
-0.001 0 20000 40000 60000 80000 100000
-0.002
-0.003
-0.004
-0.005
Peta kontur SVD dibuat berdasarkan prinsip dasar dan teknik perhitungan
yang telah dijelaskan oleh Henderson & Zietz (1949), Elkins (1951), dan
Rosenbach (1953). Namun dalam penelitian kali ini, hanya menggunakan salah
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
49
tersebut.. Menurut penelitian yang telah dilakukan
satu dari ketiga perhitungan tersebut
oleh Harhale (2007), filter Rosenbach adalah filter yang memiliki resolusi paling
lainnya. Kemudian penampang SVD didapatkan
baik diantara filter turunan kedua lainnya.
dari lintasan pada peta kontur SVD, dimana lintasan yang diambil merupakan
lintasan yang sama dengan lintasan pada
peta anomali Bouguer.
60
50
Rosenbach (mgal/m2)
40
30
20
10
0
-10 0 20000 40000 60000 80000 100000
-20
-30
-40
-50
Bidang kontak patahan pada penampang FHD yang berada pada nilai
minimum atau maksimum berasosiasi dengan nilai nol pada penampang SVD,
sehingga dapat diketahui batas-batas terjadinya perubahan nilai anomali.
Diharapkan pada interpretasinya dapat memudahkan dan mengurangi ambiguitas
hasil interpretasi. Untuk mengidentifikasikan patahan pada suatu penampang
Untuk
anomali SVD, didasarkan pada kriteria nilai absolut anomali SVD minimum yang
relatif lebih kecil daripada nilai anomali SVD maksimum untuk patahan normal,
dan nilai absolut anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai
anomali SVD maksimum untuk patahan naik. Seperti yang terlihat pada Gambar
4.7 dibawah ini yang teridentifikasi sebagai patahan normal.
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
50
Gambar 4.7 Tampilan penampang FHD dan SVD untuk menentukan batas dan tipe patahan
Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
BAB V
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan pada Gambar 5.1 di
bawah menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -20 mgal hinggal 120 mgal.
Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna hijau dan kuning
menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut lebih
tinggi dari daerah sekitarnya,
sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan dengan
kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan
daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.
51
52
Nilai anomali positif berada pada bagian tengah daerah Sulawesi Selatan yang
memanjang ke arah selatan, sedangkan an
omali negatif berada di bagian barat, timur,
dan selatan peta kontur. Dugaan awal keberadaan patahan di Sulawesi Selatan ini ada
pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana arah bidang patahan
(strike) adalah barat laut-selatan.
Gambar 5.2 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan
Universitas Indonesia
53
Lintasan AA’
Lintasan BB’
Lintasan CC’
Gambar 5.3 Hasil analisa spektrum lintasan AA’. BB’, dan CC’
Universitas Indonesia
54
Dari analisa spektrum daerah Sulawesi Selatan (Gambar 5.3), estimasi
kedalaman regional pada lintasan AA’ adalah 20.680 m dan kedalaman residualnya
sekitar 6.203 m. Untuk lintasan BB’, kedalaman regional adalah 16.420 m dan
residual 9.621 m. Sedangkan untuk lintasan CC’, kedalaman regional adalah 21.919
m dan residual 5.546 m. Sehingga estimasi kedalaman regional daerah Sulawesi
Selatan yang didapatkan dari rerata ketiga
lintasan tersebut adalah sekitar 20 km, dan
residualnya adalah sekitar 7 km.
Universitas Indonesia
55
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.4 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2, dan
(c) orde 3 Sulawesi Selatan
Universitas Indonesia
56
Gambar 5.5 di bawah merupakan kontur residual orde 1, 2, dan 3 yang
menunjukkan bahwa adanya keberadaan patahan yang menerus dari bawah hingga ke
atas dengan strike yang sama, yaitu arah barat laut-selatan. Dan terlihat pula anomali
positif (kontur berwarna hijau) yang semakin ke atas semakin mengecil, hal ini
semakin kepermukaan semakin mengecil,
dimungkinkan sebagai body patahan yang
dan menyerupai bentuk trapesium (seperti
yang ditunjukkan oleh garis putus
berwarna merah).
Orde 3
Orde 2
Orde 1
Gambar 5.5 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Sulawesi Selatan
Universitas Indonesia
57
5.1.4 Analisa Derivative
FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari
satu titik ke titik lainnya secara horizontal
dengan jarak tertentu, yang dapat
digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali
gayaberat. Sedangkan SVD dilakukan untuk memunculkan efek dangkal dari
pengaruh regionalnya yang digunakan untuk mendeteksi jenis struktur patahan
normal atau patahan naik. Peta anomali SVD yang digunakan dalam penelitian ini
adalah SVD dengan filter Rosenbach, yang ditunjukkan pada Gambar 5.6 dibawah.
Universitas Indonesia
58
Dari ketiga penampang diatas, terlihat pada analisa penampang SVD (paling
bawah) menunjukkan nilai absolut anomali SVD minimum yang relatif lebih kecil
daripada nilai anomali SVD maksimum. Hal ini diinterpretasikan bahwa pada daerah
at patahan yang diidentifikasi sebagai patahan normal.
terdapat
Sulawesi Selatan terdap
5.1.5 Pemodelan 2D
Data geologi untuk daerah Sulawesi Selatan juga menunjukkan hasil yang
sama dengan analisa derivative, yaitu adanya patahan normal. Patahan normal
Walanae merupakan patahan utama yang memisahkan bagian barat dan timur
Sulawesi Selatan. Bagian turun dari sesar normal ini berada di sebelah timur.
Universitas Indonesia
59
B B’
Universitas Indonesia
60
Formasi diatasnya, yaitu Formasi Langi, dengan densitas 2,60 gr/cc terdiri
dari lava dan endapan piroklastik andesit
dengan sisipan limestone dan shale. Diatas
Formasi Langi terdapat Formasi Tonasa yang terdiri dari limestone , dengan densitas
2,54 gr/cc. Kemudian terdapat Formasi Camba diatas Formasi Tonasa, dimana
yang berselingan dengan batuan vulkanik,
Formasi ini terdiri dari batuan sedimen laut
dan memiliki densitas 2,43 gr/cc.
Dan sedimen pengisi yang berada pada batuan teratas adalah Formasi Tacipi
dan Formasi Walanae, dimana formasi-formasi ini merupakan perselingan sandstone,
conglomerate, dan sisipan limestone, sehingga rata-rata densitas formasi ini adalah
2,35 gr/cc.
Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.9 di bawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.
Seperti yang telah diketahui dari analisa derivative dan dibuktikan dengan
pemodelan 2D, pada daerah Sulawesi Selatan diidentifikasi adanya struktur patahan
normal dengan arah barat laut-selatan, dengan bagian patahan yang turun adalah
bagian timur dari Sulawesi Selatan. Dan dapat diperkirakan pula strike dari patahan
normal ini sebesar N 14° W.
Universitas Indonesia
61
Peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur Sulawesi pada Gambar
5.10 di bawah menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -50 mgal hinggal 80
mgal. Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna hijau
menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut lebih
tinggi dari daerah sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan dengan
kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan
daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.
Nilai anomali positif berada pada bagian tengah daerah lengan Timur
Sulawesi yang memanjang ke arah timur, sedangkan anomali negatif berada di bagian
utara dan barat daya peta kontur. Dugaan awal keberadaan patahan di lengan Timur
Sulawesi ini ada pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana arah
bidang patahan (strike) adalah barat daya-timur.
Universitas Indonesia
62
Universitas Indonesia
63
Gambar 5.11 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur Sulawesi
Lintasan PP’
Universitas Indonesia
64
Lintasan RR’
Dari analisa spektrum daerah lengan Timur Sulawesi (Gambar 5.12), estimasi
kedalaman regional pada lintasan PP’ dan RR’ adalah 23.258 m dan 17.308 m, dan
kedalaman residualnya 2.362 m dan 3.832 m. Sehingga rata-rata kedalaman regional
daerah lengan Timur Sulawesi adalah sekitar 20 km, dan residualnya adalah sekitar 3
km.
Universitas Indonesia
65
bawah permukaan. Berikut adalah gambar pemisahan anomali regional dan residual
di daerah lengan Timur Sulawesi di setiap
ordenya.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.13 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2,
dan (c) orde 3 lengan Timur Sulawesi
Universitas Indonesia
66
Gambar 5.14 di bawah merupakan kontur residual orde 1, 2, dan 3 yang
dibawah
menunjukkan bahwa adanya keberadaan patahan yang menerus dari bawah hingga ke
atas dengan strike yang sama, yaitu arah barat daya-timur. Walaupun patahan pada
lebihh besar dan terlihat jelas, namun masih
anomali residual orde 1 (paling bawah) lebi
residual orde 3 (paling atas) yang terlihat
terindikasi struktur patahan pada anomali
dari adanya anomali positif dan negatif.
Orde 3
Orde 2
Orde 1
Gambar 5.14 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 lengan Timur Sulawesi
Universitas Indonesia
67
digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali
gayaberat. Sedangkan SVD dilakukan
untuk memunculkan efek dangkal dari
pengaruh regionalnya yang digunakan untuk mendeteksi jenis struktur patahan
normal atau patahan naik. Peta anomali SVD yang digunakan dalam penelitian ini
ditunjukkan pada Gambar 5.15 dibawah.
adalah SVD dengan filter Rosenbach, yang
Gambar 5.15 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah lengan Timur Sulawesi
Universitas Indonesia
68
Dan seperti yang terlihat pada analisa kurva SVD Gambar 5.16, nilai absolut
anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai anomali SVD
maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah lengan Timur Sulawesi terdapat
patahan besar yang diidentifikasi sebagai patahan naik.
5.2.5 Pemodelan 2D
Universitas Indonesia
69
R R’
Formasi Tokala dan Bunta yang tidak selaras ini ditindih oleh Formasi
Nanaka yang terdiri dari butiran kasar sedimen klastik seperti batuan konglomerat
dan batupasir. Formasi yang ada pada pertengahan masa Jurassic ini memiliki
Universitas Indonesia
70
densitas 2,74 gr/cc. Selaras dengan itu, Formasi Nanaka bertemu dengan Formasi
Nambo dan formasi Tetambahu di pertengahan
masa Jurassic, dimana formasi-
formasi ini terdiri dari sedimen klastik napal berpasir yang memiliki densitas 2.68
gr/cc. Formasi diatasnya merupakan Formasi Matano yang terdiri dari sandstone
memiliki densitas 2.63 gr/cc.
dengan sisipan rijang, napal, dan silt, yang
Informasi yang juga didapatkan dari pemodelan di atas adalah informasi
mengenai dip, yaitu sudut patahan terhadap permukaan. Besar dip pada patahan
daerah lengan Timur Sulawesi adalah sebesar 10°.
Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.18 dibawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.
Seperti yang telah diketahui dari analisa derivative dan dibuktikan dengan
pemodelan 2D, pada daerah lengan Timur Sulawesi diidentifikasi adanya struktur
patahan naik dengan arah barat daya-timur, dengan bagian patahan yang turun adalah
bagian utara dari lengan Timur Sulawesi. Dan dapat diperkirakan pula arah strike dari
patahan naik ini sebesar N 74° E
Universitas Indonesia
71
5.3 Gorontalo
Peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo pada Gambar 5.19 dibawah
menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -20 mgal hinggal 170 mgal.
Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna merah, kuning,
dan hijau menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut
lebih tinggi dari daerah sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan
dengan kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah
permukaan daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.
Nilai anomali positif berada pada bagian tengah selatan daerah Gorontalo,
sedangkan anomali negatif berada di sekelilingnya. Dugaan awal keberadaan patahan
di Gorontalo ini ada pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana
arah bidang patahan (strike) adalah barat-timur.
Universitas Indonesia
72
Universitas Indonesia
73
Gambar 5.20 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo
Lintasan XX’
Universitas Indonesia
74
Analisa spektrum yang dilakukan pada daerah Gorontalo (Gambar 5.21)
menunjukkan bahwa estimasi kedalaman regional pada lintasan XX’ adalah 12.907 m
dan kedalaman residualnya sekitar 4.966 m.
Hasil analisa spektrum yang dilakukan
pada beberapa penampang di Pulau
Sulawesi (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.33, 5.12, dan 5.21) menunjukkan
bahwa kedalaman rata-rata anomali residual Pulau Sulawesi mencapai 5 km, yang
diinterpretasikan sebagai kedalaman batuan sedimen Tersier. Sedangkan kedalaman
regionalnya mencapai 17 km, dan diinterpretasikan sebagai kedalaman
ketidakselarasan (diskontinuitas) Moho.
Gambar 5.22 Ketidakselarasan Mohorovicic yang ditunjukkan pada garis merah (King, 2005)
Universitas Indonesia
75
5.3.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual
Proses pemisahan anomali regional dan residual dilakukan untuk dapat
memisahkan sumber anomali dalam dan dangkal, dimana dalam penelitian ini proses
pemisahan dilakukan dengan menggunakan metode polinomial. Anomali regional
dapat diidentifikasi adanya sumber penyebab anomali yang memiliki kedalaman yang
dalam, sedangkan anomali residual berasosiasi dengan sumber penyebab anomali
yang memiliki kedalaman yang relatif lebih dangkal.
Patahan yang menerus hingga ke atas juga terjadi pada wilayah Gorontalo,
dimana struktur patahan yang terlihat pada anomali residual dengan polinomial orde
1, 2, dan 3 terlihat jelas berarah utama barat-timur (Gambar 2.24). Dan pada anomali
residual di orde 1, terdapat anomali negatif yang bernilai besar (berwarna ungu) dan
tidak terdapat pada anomali residual orde 2 dan 3. Hal ini dimungkinkan distribusi
densitas rendah di lapisan bawah lebih besar daripada di lapisan atas.
Universitas Indonesia
76
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.23 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2,
dan (c) orde 3 Gorontalo
Universitas Indonesia
77
Orde 3
Orde 2
Orde 1
Gambar 5.24 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Gorontalo
Universitas Indonesia
78
Dan seperti yang terlihat pada analisa kurva SVD Gambar 5.26, nilai absolut
anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai anomali SVD
Universitas Indonesia
79
maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah Gorontalo terdapat patahan
besar yang diidentifikasi sebagai patahan naik.
5.2.5 Pemodelan 2D
Pemodelan 2D gravitasi pada daerah penelitian ini dilakukan dengan bantuan
analisa spektrum, analisa derivative, yang juga didukung dengan data geologi.
Adapun pemodelan 2D ini dilakukan di lintasan pada peta anomali residual orde 1.
Data geologi daerah Gorontalo menunjukkan bahwa adanya patahan geser di daerah
ini, namun metode gayaberat tidak dapat mendeteksi patahan geser dari anomalinya.
Akan tetapi hasil analisa derivative menunjukkan bahwa di daerah Gorontalo terdapat
patahan naik. Sehingga pemodelan 2D untuk daerah ini menjadi
X’ X
Universitas Indonesia
80
Kedalaman residual pemodelan 2D daerah Gorontalo pada Gambar 5.27
diatas adalah sebesar 5 km yang dihitung
melalui analisa spektrum. Berdasarkan
urutan stratigrafi darah Gorontalo, lapisan basement adalah batuan gabro dengan
densitas sekitar 3 gr/cc. Lapisan diatasnya merupakan batuan piroklastik, yaitu lava
basalt dengan densitas 2,91 gr/cc dan lava andesit dengan densitas 2,76 gr/cc. Dan
diatas batuan piroklastik tersusun dari batuan sedimen berupa limestone dengan
densitas 2,57 gr/cc dan sandstone dengan densitas 2,41 gr/cc.
Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.28 di bawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.
Universitas Indonesia
81
Hasil analisa derivative metode gayaberat menunjukkan bahwa di daerah
Gorontalo terdapat patahan yang teridentifikasi
sebagai patahan naik, dengan arah
barat-timur. Dan dapat diperkirakan arah strike dari patahan naik ini sebesar N 12° E
Namun menurut peta geologi, patahan besar yang terdapat di daerah
Gorontalo adalah patahan geser. Hal ini dapat terjadi karena anomali gayaberat
kurang efektif dalam mengidentifikasi patahan geser, dimana kontras anomali
gravitasi tidak terlihat pada struktur patahan geser.
Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN
DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
•
Analisa derivative pada metode gayaberat sangat efektif dalam
mengidentifikasi struktur patahan, yang terlihat dari adanya korelasi yang
baik dengan sistem patahan dalam peta geologi. Dimana First Horizontal
Derivative (FHD) berperan untuk menentukan batas struktur patahan, dan
Second Vertical Derivative (SVD) berperan dalam mengidentifikasi jenis
patahan, naik atau turun.
• Daerah Sulawesi Selatan diidentifikasi adanya struktur patahan normal
dengan arah Barat Laut-Selatan, dan bagian patahan yang turun adalah
bagian Timur. Patahan ini diperkirakan memiliki dip 18° dan strike
N14°W.
• Daerah lengan Timur Sulawesi diidentifikasi adanya struktur patahan naik
dengan arah Barat Daya-Timur, dan bagian patahan yang naik adalah
bagian Utara. Patahan ini diperkirakan memiliki dip 10° dan strike N74°E.
• Daerah Gorontalo diidentifikasi adanya struktur patahan naik dengan arah
Barat-Timur, dan bagian patahan yang naik adalah bagian Utara. Patahan
ini diperkirakan memiliki dip 12° dan strike N12°E.
• Patahan geser yang berada di daerah Gorontalo pada peta geologi tidak
dapat teridentifikasi oleh analisa derivative metode gayaberat.
6.2 Saran
• Untuk dapat melihat struktur patahan kecil, perlu dilakukannya
pengukuran dalam grid yang lebih rapat.
• Perlu dilakukannya penentuan struktur patahan dengan menggunakan
analisa derivative pada semua bagian di Pulau Sulawesi untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.
82
DAFTAR ACUAN
Abdelrahman, E. M., Riad, S., Refai, E. and Amin, Y., 1985, On the least-squares
residual anomaly determination, Geophysics, 50, 473-480.
Badan Geologi, 2010, Peta Cekungan Sedimen Indonesia, Bandung: Pusat Survei
Geologi.
Harhale, Erlangga, 2007, Aplikasi Turunan Pertama dan Kedua Vertikal pada
Analisis Data Gravitasi dan Geomagnet, Skripsi S1 Fisika FMIPA UI.
Henderson, R.G. and Zietz, I., 1949, The Computation of Second Vertical
Derivative of Geomagnetic Fields, Geophysics, v. 14, hal. 508 – 516.
Longman, I.M., 1959, Formulas for Computing the Tidal Accelerations due to the
Moon and the Sun, Journal of Geophysical Research 64: 2351–2355.
83
Telford, W.M., L.P. Geldart, and R.E. Sheriff, 1990, Applied Geophysics Second
Edition, Cambridge: Cambridge University
Press.
Sukamto, Rab, 1982, Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian
Barat, Sulawesi, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Suyono dan Kusnama, 2010, Stratigraphy and Tectonics of the Sengkang Basin,
South Sulawesi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 5 No. 1 Maret 2010: 1-11.
Widianto, Eko, 2008, Penentuan Konfigurasi Struktur Batuan Dasar dan Jenis
Cekungan dengan Data Gayaberat serta Implikasinya pada Target Eksplorasi
Minyak dan Gas Bumi di Pulau Jawa, Disertasi Program Studi Teknik
Geofisika ITB.
Wilson, M.E.J., 1995, Evolution and Hydrocarbon Potential of The Tertiary
Tonasa Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia, Proc. Indonesian
Petroleum Association 25th, Silver Anniversary.
84
85
Lampiran 1. Tabel Densitas Batuan (Telford, 1990)
Rock type Range (gr/cc) Average (gr/cc)
Sediment (wet)
Overburden 1.92
Soil 1.20 - 2.40 1.92
Clay 1.63 - 2.60 2.21
Gravel 1.70 - 2.40 2.00
Sand 1.70 - 2.30 2.00
Sandstone 1.61 - 2.76 2.35
Shale 1.77 - 3.20 2.40
Limestone 1.93 - 2.90 2.55
Dolomite 2.28 - 2.90 2.70
Sedimentary rocks (average) 2.50
Igneous Rocks
Rhyolite 2.35 - 2.70 2.52
Andesite 2.40 - 2.80 2.61
Granite 2.50 - 2.81 2.64
Granodiorite 2.67 - 2.79 2.73
Porphyry 2.60 - 2.89 2.74
Quartz diorite 2.62 - 2.96 2.79
Diorite 2.72 - 2.99 2.85
Lavas 2.80 - 3.00 2.90
Diabase 2.50 - 3.20 2.91
Basalt 2.70 - 3.30 2.99
Gabbro 2.70 - 3.50 3.03
Peridotite 2.78 - 3.37 3.15
Acid igneous 2.30 - 3.11 2.61
Basic igneous 2.09 - 3.17 2.79
Metamorphic rocks
Quartize 2.50 - 2.70 2.60
Schist 2.39 - 2.90 2.64
Graywacke 2.60 - 2.70 2.65
Marble 2.60 - 2.90 2.75
Serpentine 2.40 - 3.10 2.78
Slate 2.70 - 2.90 2.79
Gneiss 2.59 - 3.00 2.80
Amphibolite 2.90 - 3.04 2.96
Eclogite 3.20 - 3.54 3.37
Metamorphic 2.40 - 3.10 2.74
86
Lampiran 2. Penurunan Persamaan Rosenbach
Gambar 1 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)
Ekspansi suatu potensial (g) yang dinyatakan sebagai sebuah deret Taylor,
menggunakan grid dengan tiga lingkaran pada suatu pusat P.
∂g 1 ∂2 g 1 ∂3 g 1 ∂4 g
g (r , 0) = g p + r + 2 r 2 + 3 r 3 + 4 r 4 (1)
∂x p 2! ∂x p 3! ∂x p 4! ∂x p
∂g 1 ∂2 g 1 ∂3 g 1 ∂4 g
g (0, r ) = g p + r + 2 r 2 + 3 r 3 + 4 r 4 (2)
∂y p 2! ∂y p 3! ∂y p 4! ∂y p
∂g 1 ∂2 g 1 ∂3 g 1 ∂4 g
g (− r , 0) = g p + (−r ) + 2 r 2 + 3 (−r 3 ) + 4 r 4 (3)
∂x p 2! ∂x p 3! ∂x p 4! ∂x p
87
∂g 1 ∂ g 2 1 ∂3 g
2
1 ∂4 g 4
g (0, −r ) = g p + (− r ) + 2 r + 3 (−r ) + 4 r
3
(4)
∂y p 2! ∂y p 3! ∂y p 4! ∂y p
∂g ∂g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 2
g (r , r ) = g p + r + r + 2 r 2 + 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p 2! ∂x p 2! ∂y p 2! ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ r (6)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 2
g (− r , r ) = g p + (−r ) + r + 2 r 2 + 2 r 2 − r + ...
∂x p ∂y p 2! ∂x p 2! ∂y p 2! ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ r (7)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 2
g (−r , − r ) = g p + (−r ) + (−r ) + 2 r 2 + 2 r 2 + r
∂x p ∂y p 2! ∂x p 2! ∂y p 2! ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ ... + r (8)
4! ∂y 4 p
88
∂g ∂g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 1 ∂2 g 2
g (r , − r ) = g p + r + ( −r ) + 2 r 2 + 2 r 2 − r + ...
∂x p ∂y p 2!
∂x p
2! ∂y p
2! ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ r (9)
4! ∂y 4 p
Jika persamaan 6 hingga 9 dijumlahkan, maka akan menghasilkan:
∂2 g ∂2 g 4 ∂4 g 4 ∂4 g ∂4 g
( )
∑ g r 2 = 4g p + 2 2 + 2 r 2 + 2 2 r 4 + 4 + 4 r4
∂x ∂y p 4! ∂x ∂y p 4! ∂x ∂y p
(10)
∂g ∂g ∂2 g 1 ∂2 g ∂2 g 2
g (2r , r ) = g p + 2 r + r + 2 2 r 2 + 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p ∂x p 2! ∂y p ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ r (11)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g 1 ∂2 g ∂2 g ∂2 g 2
g ( r , 2r ) = g p + r + 2 r + 2 r 2 + 2 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p 2! ∂x p ∂y p ∂x∂y p
16 ∂ 4 g 4
+ r (12)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g 1 ∂2 g ∂2 g ∂2 g 2
g ( − r , 2r ) = g p + ( − r ) + 2 r + 2 r 2 + 2 2 r 2 − r + ...
∂x p ∂
p
y 2! ∂x p ∂y p ∂x∂ y p
16 ∂ 4 g 4
+ 4 r
4! ∂y p (13)
89
∂g ∂g ∂2 g 1 ∂2 g ∂2 g 2
g (−2r , r ) = g p − 2 r + r + 2 2 r 2 + 2 r 2 − r + ...
∂x p ∂y p ∂x p
2! ∂y p ∂x∂ y p
1 ∂4 g 4
+ r (14)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g ∂2 g 1 ∂2 g ∂2 g 2
g (−2r , − r ) = g p − 2 r − r + 2 2 r 2 + 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p ∂x p 2! ∂y p ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ 4 r (15)
4! ∂y p
∂g ∂g 1 ∂2 g ∂2 g ∂2 g 2
g (−r , −2r ) = g p − r − 2 r + 2 r 2 + 2 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p 2! ∂x p ∂y p ∂x∂y p
16 ∂ 4 g 4
+ r (16)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g 1 ∂2 g ∂2 g ∂2 g 2
g (r , −2r ) = g p + r − 2 r + 2 r 2 + 2 2 r 2 − r + ...
∂x p ∂y p 2! ∂x p ∂y p ∂x∂y p
16 ∂ 4 g 4
+ r
(17)
4! ∂y 4 p
∂g ∂g ∂2 g 1 ∂2 g ∂2 g 2
g (2r , −r ) = g p + 2 r − r + 2 2 r 2 + 2 r 2 + r + ...
∂x p ∂y p ∂x p 2! ∂y p ∂x∂y p
1 ∂4 g 4
+ 4 r (18)
4! ∂y p
Jika persamaan 11 hingga 18 dijumlahkan, maka akan menghasilkan:
∂2 g ∂2 g 32 ∂ 4 g 68 ∂ 4 g ∂ 4 g
( )
∑ g r 5 = 8 g p + 10 2 + 2 r 2 + 2 2 r 4 + 4 + 4 r 4
∂x ∂y p 4! ∂x ∂y p 4! ∂x ∂y p
(19)
90
Pada persamaan 5, 10 dan 19 terdapat tiga variabel yang tidak diketahui yaitu:
∂2 g ∂2 g ∂4 g ∂ 4 g ∂ 4 g
2 + 2 2 2 dan 4 + 4 . Jika pada 3 persamaan terdapat 3
∂x ∂y p
, ∂x ∂y p
, ∂x ∂y p
variabel, maka nilai masing-masing variabel tersebut dapat dicari. Tetapi nilai
∂2 g ∂2 g
variabel yang dibutuhkan dalam penelitian
ini hanya variabel 2 + 2 yang
∂x ∂y p
∂2 g ∂2 g ∂2 g
− 2 + 2 = 2
∂x ∂y p ∂z p
∂2 g ∂2 g
Dengan menggunakan Matlab, nilai variabel - 2 + 2 dapat dicari. Dimana
∂x ∂y p
nilai gp, Σg(r), Σg( √2), Σg( √5) adalah nilai anomali total pada titik pusat, lingkaran
pertama, kedua dan ketiga. Sehingga didapatkan persamaan Rosenbach sebagai
berikut:
∂2 g
∂x 2
=
1
24r 2
( ( )
96 g p − 18 ∑ g ( r ) − 8 ∑ g r 2 + ∑ g r 5 ( )) (20)
∂2 g
∂x 2
=
1
24r 2
( ( )
96 g p − 72 ∑ g ( r ) − 32 ∑ g r 2 + 8 ∑ g r 5 ( )) (21)
91
Lampiran 3a. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 1)
clear all
close all
clc
[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);
x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)
n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
end
d=z
m=inv(G'*G)*G'*d;
for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1) + m(2)*x(k)+ m(3)*y(k)); %Residual
end
aresidual = residual'
for k=1:n
regional(k)=m(1) + m(2)*x(k)+ m(3)*y(k); %Regional
end
aregional = regional'
92
Lampiran 3b. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 2)
clear all
close all
clc
[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);
x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)
n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
G(k,4)=x(k).^2;
G(k,5)=y(k).^2;
G(k,6)=x(k).*y(k);
end
d=z;
m=inv(G'*G)*G'*d;
BA = m(1)+m(2)*x+m(3)*y+m(4)*x.^2+m(5)*y.^2+m(6)*x.*y; %Bouguer
Anomali
for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*y(k).^2+m(6)*x(k).*y(k)); %Residual
end
aresidual = residual'
for k=1:n
regional(k)=m(1) + m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*y(k).^2+m(6)*x(k).*y(k); %Regional
end
aregional = regional'
93
Lampiran 3c. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 3)
clear all
close all
clc
[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);
x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)
n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
G(k,4)=x(k).^2;
G(k,5)=x(k).*y(k);
G(k,6)=y(k).^2;
G(k,7)=x(k).^3;
G(k,8)=(x(k).^2).*y(k);
G(k,9)=x(k).*(y(k).^2);
G(k,10)=y(k).^3;
end
d=z;
m=inv(G'*G)*G'*d;
BA = m(1)+m(2)*x+m(3)*y+m(4)*x.^2+m(5)*x.*y+m(6)*y.^2+
m(7)*x.^3+m(8)*(x.^2).*y+m(9)*x.*(y.^2)+m(10)*y.^3; %Bouguer Anomali
for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*x(k).*y(k)+m(6)*y(k).^2+m(7)*x(k).^3+m(8)*(x(k).^2).*y(k)+
m(9)*x(k).*(y(k).^2)+m(10)*y(k).^3); %Residual
end
aresidual = residual'
for k=1:n
regional(k)=m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*x(k).*y(k)+m(6)*y(k).^2+m(7)*x(k).^3+m(8)*(x(k).^2).*y(k)+
m(9)*x(k).*(y(k).^2)+m(10)*y(k).^3; %Regional
end
aregional = regional'
94
Lampiran 4. Tabel Perhitungan First Horizontal Derivative (FHD) dan Second
Vertical Derivative (SVD)
Lintasan AA’ Lintasan BB’
Jarak Bouguer FHD SVD Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m ) 2 (m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 49.14251 0 -5.49862 0 44.10569 0 -13.0819
8331.911 51.52935 0.000286 -23.0704 7774.848 54.61966 0.001352 -5.47897
19002.39 65.35315 0.001296 17.52077 18214.01 72.85747 0.001747 47.56563
29672.87 67.21893 0.000175 84.57047 28653.17 51.94098 -0.002 22.03706
40343.36 18.09442 -0.0046 -23.3324 39092.33 14.02814 -0.00363 -26.7881
41304.5 15.81164 -0.00238 -28.7407 49531.49 4.218474 -0.00094 -11.4694
51013.84 -5.18214 -0.00216 -78.1667 59970.65 8.622121 0.000422 -15.4455
61684.32 32.80332 0.00356 36.32007 61536.98 11.22224 0.00166 -13.397
72354.8 38.5524 0.000539 -29.5584 70409.82 25.88127 0.001652 -2.29333
83025.28 61.74237 0.002173 7.727209 80848.98 49.20734 0.002234 28.64147
83112.71 61.88094 0.001585 7.786089 80934.51 61.88094 0.001585 7.786089
Lintasan CC’
Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 46.94279 0 -26.0868
6557.213 60.82999 0.002118 -5.62575
17476.15 66.69765 0.000537 49.52157
28395.09 23.37211 -0.00397 -15.4977
31652.22 14.52945 -0.00271 -19.3204
39314.03 -4.22535 -0.00245 -25.1027
50232.97 -10.2217 -0.00055 -12.6062
61151.91 -7.77477 0.000224 -37.2363
64009.77 -0.01671 0.002715 -31.6115
72070.85 27.68906 0.003437 -3.36676
82989.79 64.86018 0.003404 29.80693
95
Tabel 2. Perhitungan derivative di daerah lengan Timur Sulawesi
Lintasan XX’
Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 128.3667 0 20.95611
8569.967 115.4672 -0.00151 -0.66452
19024.3 90.25711 -0.00241 30.66925
29478.63 31.15732 -0.00565 -34.276
39932.97 -6.91771 -0.00364 -60.0498
47978.79 -3.87746 0.000378 -24.8904