Anda di halaman 1dari 111

UNIVERSITAS INDONESIA

IDENTIFIKASI STRUKTUR PATAHAN BERDASARKAN ANALISA


DERIVATIVE METODE GAYABERAT DI PULAU SULAWESI

SKRIPSI

ANITA HARTATI

0706262136

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK
JUNI 2012

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

IDENTIFIKASI STRUKTUR PATAHAN BERDASARKAN ANALISA


DERIVATIVE METODE GAYABERAT DI PULAU SULAWESI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

ANITA HARTATI

0706262136

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK
JUNI 2012

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS


 

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Anita Hartati

NPM : 0706262136
 
Tanda Tangan :

Tanggal : 20 Juni 2012

ii
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
KATA PENGANTAR
 

 
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk,
 
dan ilmu kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Identifikasi Struktur   Patahan Berdasarkan Analisa Derivative
Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi”.
  Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Geofisika,
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-


besarnya kepada:

1. Dr. Syamsu Rosid dan Dr. Ir. Eko Widianto, MT selaku pembimbing yang
telah sabar dan banyak meluangkan waktu serta tenaga untuk terus
memberikan masukan hingga akhir penyusunan skripsi ini. Terimakasih
banyak Pak :)
2. Dr. Eng. Supriyanto dan Drs. Hendar Gunawan, M.Sc selaku penguji yang
telah banyak memberikan saran dan kritik membangun demi perbaikan
skripsi ini.
3. Orangtua dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan doa,
dukungan, dan semangat kepada penulis selama proses pembuatan skripsi.
4. Sahabat tersayang; Indah Fitriana Walidah, Hira Nasmy, Dwintha
Zahrianthy, dan Diana Putri Hamdiana. Terimakasih atas dukungan  kalian
yang sangat berarti selama ini.
5. Sahabat seperjuangan seperbimbingan; Indah PS, Torkis, Yan, Maul, dan
Fristy yang selalu membantu dan memberikan semangat. Terimakasih
teman-teman atas kerjasamanya yang sangat baik dalam beberapa bulan
terakhir ini.
6. Sahabat 2007 seperjuangan 5 tahun yang selalu memberi semangat,
dorongan, serta motivasi; Rismauly, Aji, Rino, Ichwan, Gangga, Riki,
Byan, Willem, Rangga, Muladi, Imas, Rusyda, Yulia, Ferdi, Vani,

iv

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
Radityo, Wahid, Zul, Arif, Syahril, Bowo, Cepi, Edo, Septian, Aisyah,
Ari, Syukur, dan Bundi.  

7. Teman-teman 2007 lainnya; Nedya, Gigis, Michael, Nanda, Denny,


Aliyyus, Angga, Andy, Afar,  Igan, Melly, Imam, Dzil, Khoiron, Omen,
Anni, Fera, Ady, Yakub, Bagus,
  Lomario, Deki, Singkop, Mergo, Melati,
Evan, Romi, Rifqo, Sava, Candra,
 
Husni, Oji, Mamen, Jaelani, Jumari, dan
Raditya.
 
8. Kakak-kakak, adik-adik, dan keluarga besar Fisika UI atas semangat yang
selalu hadir.
9. Teman-teman Danus BKUI 2010; Iib, Anda, Fina, Hesi, Ita, dan Tika.
Terimakasih atas semangat dan liburannya.
10. Teman-teman yang dari masa SMP (Putri, Atun, Iski, Marsya, Devi, Jivi),
SMA (Gita, Cita, Lukita, Gina, Debby), hingga sekarang selalu ada untuk
menyemangati.
11. Semua keluarga, sahabat, teman, dan pihak yang tidak bisa Saya ucapkan
satu per satu disini. Saya ucapkan terimakasih banyak atas segala
bantuannya.
12. Kamu, yang membaca skripsi ini :D

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
sehingga saran dan kritik yang bermanfaat sangat diharapkan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan bagi pembacanya.

 
Jakarta, Juni 2012

Penulis

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  PERSETUJUAN PUBLIKASI
HALAMAN PERNYATAAN
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
 

Sebagai sivitas akademik Universitas  Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
 

Nama : Anita Hartati


NPM : 0706262136
Program Studi : Geofisika
Departemen : Fisika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Identifikasi Struktur Patahan Berdasarkan Analisa Derivative Metode


Gayaberat di Pulau Sulawesi

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/penciptadan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.  

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 20 Juni 2012

Yang menyatakan

(Anita Hartati)

vi

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
ABSTRAK
 

Nama : Anita Hartati  


Program Studi : Fisika S-1 Reguler
Judul : Identifikasi Struktur
  Patahan Berdasarkan Analisa Derivative
Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi
 

Pulau Sulawesi merupakan salah satu  pulau di Indonesia yang berada pada zona
pertemuan antara tiga lempeng besar: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik,
dan lempeng Eurasia. Perkembangan tektoniknya yang berlangsung sejak zaman
Tersier hingga sekarang membuat Pulau Sulawesi merupakan daerah teraktif di
Indonesia. Hal ini menyebabkan Pulau Sulawesi mempunyai fenomena geologi
yang kompleks dan rumit, sehingga banyak terdapat patahan-patahan besar yang
aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur patahan di bawah permukaan,
dilakukan analisis data gayaberat. Struktur patahan dapat diketahui dari peta
kontur anomali Bouguer, yang ditunjukkan dari adanya nilai anomali positif dan
negatif yang dibatasi dengan kontur yang rapat, seperti yang terindikasi pada
daerah Sulawesi Selatan, lengan Timur Sulawesi, dan Gorontalo. Analisa
spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalaman anomali regional dan residual.
Filtering dengan metode polinomial orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk mengetahui
kemenerusan patahan. First horizontal derivative dan second vertical derivative
digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan serta jenis patahan, yang kemudian
dilakukan pemodelan 2D. Pengolahan data memperlihatkan bahwa, daerah
Sulawesi Selatan teridentifikasi adanya patahan normal yang diperkirakan
memiliki dip 18° dan strike N14°W, untuk daerah lengan Timur Sulawesi
teridentifikasi adanya patahan naik yang diperkirakan memiliki dip 10° dan strike
N74°E, sedangkan untuk daerah Gorontalo teridentifikasi adanya patahan naik
yang diperkirakan memiliki dip 12° dan strike N12°E.

Kata Kunci : patahan, anomali Bouguer, analisa spektrum, first horizontal


derivative, second vertical derivative
 
xv+95 halaman ; 57 gambar; 2 tabel
Daftar Acuan : 26 (1949-2012)

vii

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
ABSTRACT
 

Name : Anita Hartati


Program Study : Physics  
Title : Fault Structure Identification Based on Derivative Analysis
Gravity Method in Sulawesi Island
 
Sulawesi Island is one of island in Indonesia that located at subduction zone
between 3 large plates: Indo-Australia  plate, Pasific plate, and Eurasia plate. The
tectonic developments since Tertiary age until now causes the Sulawesi Island
become the active area in Indonesia. It makes Sulawesi Island have complex and
complicated geological phenomenon that many large active faults being there. In
order to know the presence of subsurface fault structure, gravity method was used.
Fault structure can be known from Bouguer anomaly contour map, that indicated
by anomaly positive and negative value which are limited by tightly contour, like
in Southern Sulawesi, Eastern arm Sulawesi, and Gorontalo. Spectrum analysis
was made to know the depth of regional and residual anomaly. Filtering using
first, second and third polynomial method was made to know the fault continuity.
First horizontal derivative dan second vertical derivative were used to identify the
presence and kind of fault, which is then performed by 2D modeling. Data
processing shows that South Sulawesi zone was identified as a presence of normal
fault with estimated of dip is 18° and strike is N14°W, for Eastern arm Sulawesi
zone was identified as a presence of thrust fault with estimated of dip is 10° and
strike is N74°E, then for Gorontalo zone was identified as a presence of thrust
fault with estimated of dip is 12° and strike is N12°E.

Keywords : fault, Bouguer anomaly, spectrum analysis, first horizontal


derivative, second vertical derivative
xv+95 pages ; 57 pictures; 2 tables
Bibliography : 26 (1949-2012)
 

viii

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
DAFTAR ISI
 

Halaman Judul ............................................................................................................. i


 
Halaman Pernyataan Orisinalitas ............................................................................. ii
 
Halaman Pengesahan ................................................................................................. iii
Kata Pengantar ..........................................................................................................
  iv
Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ....................................................... vi
 
Abstrak ....................................................................................................................... vii
Abstract ..................................................................................................................... viii
Daftar Isi ..................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ............................................................................................................... xii
Daftar Gambar ......................................................................................................... xiii
Daftar Lampiran ....................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 2
1.3 Batasan Masalah................................................................................................ 3
1.4 Metodologi Penelitian ....................................................................................... 3
1.5 Sistematika Penulisan ....................................................................................... 4

BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................... 6


2.1 Prinsip Dasar Metode Gayaberat ...................................................................... 6
2.1.1 Hukum Newton....................................................................................... 6
2.1.2 Percepatan Gravitasi ............................................................................... 7
 
2.1.3 Potensial Gravitasi .................................................................................. 7
2.2 Koreksi-koreksi Gayaberat................................................................................ 8
2.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction) ................................................ 9
2.2.2 Koreksi Apungan (Drift Correction) .................................................... 10
2.2.3 Koreksi Lintang .................................................................................... 10
2.2.4 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) ........................................ 11
2.2.5 Koreksi Bouguer ................................................................................... 12
2.2.6 Koreksi Medan (Terrain Correction) ................................................... 13
2.3 Anomali Bouguer Lengkap (Complete Anomaly Bouguer) ............................ 15

ix
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
2.4 Analisa Spektrum ............................................................................................ 15
2.5 Pemisahan Anomali Regional dan
  Residual (Filtering) ................................. 17
2.6 Analisa Derivative........................................................................................... 20
2.6.1 First Horizontal Derivative
  (FHD)....................................................... 20
2.6.2 Second Vertical Derivative (SVD) ....................................................... 21
 

 
BAB III TINJAUAN GEOLOGI ............................................................................. 26
 
3.1 Tinjauan Umum Sulawesi ............................................................................... 26
3.2 Sejarah Geologi Sulawesi ............................................................................... 27
3.3 Tektonik Sulawesi ........................................................................................... 29
3.4 Geologi Daerah Penelitian .............................................................................. 33
3.4.1 Sulawesi Selatan ................................................................................... 33
3.4.2 Lengan Timur Sulawesi ........................................................................ 36
3.4.3 Gorontalo .............................................................................................. 39

BAB IV PENGOLAHAN DATA ............................................................................. 41


4.1 Pendigitan........................................................................................................ 41
4.2 Anomali Bouguer ............................................................................................ 42
4.3 Analisa Spektrum ............................................................................................ 44
4.4 Pemisahan Anomali Regional dan Residual (Filtering) ................................. 45
4.5 Analisa Derivative........................................................................................... 47

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51


5.1 Sulawesi Selatan.............................................................................................. 51
5.1.1 Anomali Bouguer ................................................................................. 51
5.1.2 Analisa Spektrum .................................................................................
  52
5.1.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ......................................... 54
5.1.4 Analisa Derivative ................................................................................ 57
5.1.5 Pemodelan 2D....................................................................................... 58
5.1.6 Analisa Patahan .................................................................................... 60
5.2 Lengan Timur Sulawesi .................................................................................. 61
5.2.1 Anomali Bouguer ................................................................................. 61
5.2.2 Analisa Spektrum ................................................................................. 62
5.2.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ......................................... 64
5.2.4 Analisa Derivative ................................................................................ 66

x
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
5.2.5 Pemodelan 2D....................................................................................... 68
5.2.6 Analisa Patahan ....................................................................................
  70
5.3 Gorontalo ........................................................................................................ 71
5.3.1 Anomali Bouguer .................................................................................
  71
5.3.2 Analisa Spektrum ................................................................................. 72
 
5.3.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ......................................... 75
 
5.3.4 Analisa Derivative ................................................................................ 77
5.3.5 Pemodelan 2D.......................................................................................
  78
5.3.6 Analisa Patahan .................................................................................... 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 82


6.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 82
6.2 Saran .............................................................................................................. 82

DAFTAR ACUAN..................................................................................................... 83
Lampiran ................................................................................................................... 85

xi
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Konstanta polinomial orde 1, 2,  dan 3 di setiap daerah.......................... 47


Tabel 4.2 Salah satu contoh hasil perhitungan FHD .............................................. 48
 

xii

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian (Sompotan,   2012) ........................................... 2


Gambar 1.2 Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 4
Gambar 2.1 Pengaruh gravitasi bulan di titik   P (Kadir, 2000) ............................... 9
Gambar 2.2 Koreksi Udara Bebas (Reynolds, 1997) ............................................. 11
Gambar 2.3 Koreksi Bouguer (Reynolds,  1997) .................................................... 12
Gambar 2.4 Hammer Chart (Reynolds, 1997) ....................................................... 14
 
Gambar 2.5 Cincin silinder untuk menghitung koreksi medan (Reynolds, 1997) . 14
Gambar 2.6 Pembagian zona anomali melalui grafik ln A terhadap k ................... 18
Gambar 2.7 Kontur polinomial TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009) ........... 21
Gambar 2.8 Nilai gradien horizontal pada model tabular (Blakely, 1996) ............ 21
Gambar 2.9 Respon analisa SVD pada struktur geologi (Reynolds, 1997) ........... 23
Gambar 2.10 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid
(Rosenbach, 1953)............................................................................... 25
Gambar 3.1 Peta tektonik global Indonesia (Katili, 1973) ..................................... 26
Gambar 3.2 Sejarah pembentukan Pulau Sulawesi (Satyana, 2008) ...................... 28
Gambar 3.3 Cross section geologi regional Sulawesi (Satyana, 2008) .................. 30
Gambar 3.4 Pembagian keadaan tektonik Pulau Sulawesi (Leeuwen, 1994)......... 32
Gambar 3.5 Peta cekungan Sulawesi (Badan Geologi, 2010) ................................ 33
Gambar 3.6 Peta geologi Sulawesi Selatan (Leeuwen, 1994) ................................ 34
Gambar 3.7 Stratigrafi Sulawesi Selatan (Wilson, 1995) ....................................... 35
Gambar 3.8 Peta geologi Lengan Timur Sulawesi (Leeuwen, 1994) ..................... 37
Gambar 3.9 Stratigrafi Lengan Timur Sulawesi (Satyana, 2008) ......................... 37
Gambar 3.10 Peta geologi Gorontalo (Leeuwen, 1994) ........................................... 39
Gambar 4.1 Peta kontur anomali Bouguer Pulau Sulawesi .................................... 41
Gambar 4.2 Peta kontur anomali Bouguer yang menunjukkan daerah penelitian 42
Gambar 4.3 Peta kontur anomali Bouguer (a) Sulawesi Selatan, (b) lengan
Timur Sulawesi, dan (c) Gorontalo ..................................................... 43
Gambar 4.4 Pemisahan anomali regional dan residual ........................................... 45
Gambar 4.5 Salah satu tampilan kurva penampang FHD ...................................... 48
Gambar 4.6 Salah satu tampilan kurva penampang SVD ...................................... 49
Gambar 4.7 Tampilan penampang FHD dan SVD untuk menentukan batas dan
tipe patahan ......................................................................................... 50
Gambar 5.1 Peta kontur anomali Bouguer Sulawesi Selatan .................................   51
Gambar 5.2 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi
Selatan ................................................................................................. 52
Gambar 5.3 Hasil analisa spektrum lintasan AA’, BB’, dan CC’ .......................... 53
Gambar 5.4 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a)
orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 Sulawesi Selatan ............................ 55
Gambar 5.5 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3
Sulawesi Selatan.................................................................................. 56
Gambar 5.6 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Sulawesi Selatan ...................... 57
Gambar 5.7 Analisa derivative pada lintasan di Sulawesi Selatan ......................... 58
Gambar 5.8 Pemodelan 2D daerah Sulawesi Selatan ............................................. 59

xiii

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
Gambar 5.9 Rekonstruksi patahan daerah Sulawesi Selatan .................................. 61
Gambar 5.10 Peta kontur anomali Bouguer lengan Timur Sulawesi ....................... 62
Gambar 5.11 Lintasan pada peta kontur anomali   Bouguer daerah lengan Timur
Sulawesi .............................................................................................. 63
Gambar 5.12 Hasil analisa spektrum lintasan   PP’ dan RR’ ..................................... 64
Gambar 5.13 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a)
orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde   3 lengan Timur Sulawesi .................. 65
Gambar 5.14 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3
 
lengan Timur Sulawesi ........................................................................ 66
Gambar 5.15 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah lengan Timur Sulawesi ............ 67
Gambar 5.16 Analisa derivative pada lintasan di lengan Timur Sulawesi ............... 68
Gambar 5.17 Pemodelan 2D daerah lengan Timur Sulawesi ................................... 69
Gambar 5.18 Rekonstruksi patahan daerah lengan Timur Sulawesi ........................ 71
Gambar 5.19 Peta kontur anomali Bouguer Gorontalo ............................................ 72
Gambar 5.20 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo ......... 73
Gambar 5.21 Hasil analisa spektrum lintasan XX’ .................................................. 73
Gambar 5.22 Ketidakselarasan Mohorovicic yang ditunjukkan pada garis merah
(King, 2005) ........................................................................................ 74
Gambar 5.23 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a)
orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 Gorontalo ....................................... 76
Gambar 5.24 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3
Gorontalo ............................................................................................ 77
Gambar 5.25 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Gorontalo ................................. 78
Gambar 5.26 Analisa derivative pada lintasan di Gorontalo .................................... 78
Gambar 5.27 Pemodelan 2D daerah Gorontalo ........................................................ 79
Gambar 5.28 Rekonstruksi patahan daerah Gorontalo ............................................. 80

xiv

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1   1990) ............................................... 85


Tabel Densitas Batuan (Telford,
Lampiran 2 Penurunan Persamaan Rosenbach ....................................................... 86
Lampiran 3a  
Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 1) .................... 91
Lampiran 3b Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 2) .................... 92
Lampiran 3c  
Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 3) .................... 93
Lampiran 4 Tabel Perhitungan First Horizontal Derivative (FHD) dan Second
 
Vertical Derivative (SVD)…………………………………………...94

xv

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
BAB I
 
PENDAHULUAN
 

1.1 Latar Belakang Penelitian  

 
Pulau Sulawesi merupakan suatu pulau di Indonesia yang terletak pada
zona pertemuan diantara tiga pergerakan
  lempeng besar. Dari selatan, pergerakan
lempeng Indo-Australia memiliki kecepatan rata-rata 7 cm/tahun, lempeng Pasifik
dari arah timur dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun, dan lempeng Eurasia yang
bergerak relatif pasif ke tenggara sekitar 3 cm/tahun (Kaharuddin, dkk., 2011).

Perkembangan tektonik di kawasan Pulau Sulawesi berlangsung sejak


zaman Tersier hingga sekarang. Sehingga bentuknya yang menyerupai huruf “K”
termasuk daerah teraktif di Indonesia dan mempunyai fenomena geologi yang
kompleks dan rumit. Dari fenomena geologi dan tektonik tersebut, maka di
kawasan Pulau Sulawesi terdapat beberapa daerah rawan terhadap bencana
terutama masalah gempa.

Wilayah yang sering terjadi gempa bumi akibat aktivitas tektonik pada
umumnya terletak dekat dengan zona tumbukan lempeng dan dekat dengan
patahan aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur geologi tersebut, maka
dibutuhkan metode geofisika yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi
bawah permukaan.

Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan adalah metode


 
gayaberat atau gravitasi. Metode gayaberat merupakan metode yang didasarkan
pada pengukuran variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan bentuk struktur geologi
(diantaranya litologi batuan) bawah permukaan berdasarkan variasi medan
gayaberat bumi yang ditimbulkan oleh perbedaan densitas antar batuan (Telford,
et al., 1990).

Selain untuk dapat mengetahui keberadaan struktur patahan, metode


gayaberat juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi patahan, yaitu dengan

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
2
 

 
menggunakan analisa derivative. Turunan yang biasa digunakan dalam analisis
 
gayaberat adalah turunan pertama horizontal atau First Horizontal Derivative
(FHD) dan turunan kedua vertikal atau Second Vertical Derivative (SVD). FHD
berperan untuk menentukan batas  struktur anomali, sedangkan SVD dapat
mengidentifikasikan jenis patahan yang
  ada di Pulau Sulawesi, yaitu patahan naik
ataupun patahan turun. Sehingga dapat
 
membantu penafsiran geologi daerah
tersebut.
 

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian (Sompotan, 2012)

1.2 Tujuan Penelitian


 
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui keberadaan struktur patahan di Pulau Sulawesi dengan


menggunakan data gayaberat.
2. Mengidentifikasi adanya patahan di suatu daerah dan menentukan tipe
patahannya dengan analisa first horizontal derivative dan second vertical
derivative.
3. Melakukan analisa patahan.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
3
 

 
1.3 Batasan Masalah
 
Untuk lebih memfokuskan pembahasan pada penelitian ini, maka kajian
dibatasi pada beberapa hal:
 

a. Data yang digunakan adalah  peta anomali Bouguer lengkap (Complete


Bouguer Anomaly/CBA) yang kemudian didigitasi melalui proses digitasi.
 
b. Metode analisa derivative gayaberat yang digunakan untuk membantu
 
identifikasi struktur daerah penelitian adalah First Horizontal Derivative
(FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD).
c. Struktur geologi yang akan diidentifikasi berdasarkan data anomali
Bouguer lengkap, FHD, dan SVD adalah struktur patahan (naik atau
turun).
d. Daerah yang digunakan untuk mengidentifikasi patahan adalah hanya
beberapa daerah di Pulau Sulawesi.

1.4 Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

1. Studi literatur mengenai teori dasar metode gayaberat, analisa derivative,


serta ditunjang dengan pemahaman literatur tentang geologi daerah
penelitian baik secara regional maupun lokal.
2. Melakukan proses digitasi lembar anomali Bouguer daerah penelitian.
3. Melakukan analisa spektrum untuk mengetahui perkiraan kedalaman
 
regional dan residual, serta filtering untuk pemisahan anomali regional
dan residual.
4. Mengidentifikasi struktur patahan berdasarkan analisa derivative.
5. Membuat pemodelan kedepan untuk mengetahui model bawah permukaan.
6. Analisa patahan daerah penelitian.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
4
 

Gambar 1.2 Diagram Alir Penelitian

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika pada penulisan ini dibagi menjadi 5 bab, yang masing-masing


terdiri dari beberapa sub-bab untuk mempermudah penjelasan. Penulisan bab-bab
dilakukan sebagai berikut:  

BAB I. PENDAHULUAN

Membahas mengenai latar belakang, tujuan, batasan masalah,


hingga metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
5
 

 
BAB II. LANDASAN TEORI
 
Membahas mengenai konsep dasar yang melandasi penelitian ini.
Dimulai dari teori dasar metode gayaberat, pengolahan data, serta analisa
 
derivative.
 
BAB III. TINJAUAN GEOLOGI
 

Membahas mengenai   keadaan geologi regional di daerah


penelitian, yaitu Pulau Sulawesi. Adapun keadaan geologi yang dibahas
adalah tinjauan umum, sejarah, dan tektonik regional Pulau Sulawesi, serta
stratigrafi daerah yang dianalisis.

BAB IV. PENGOLAHAN DATA

Membahas mengenai tahapan-tahapan yang dilakukan dalam


penelitian.

BAB V. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Menganalisa dan membahas mengenai hasil pengolahan data


gayaberat dan analisa derivative yang divalidasi dengan data geologi
daerah penelitian dan pemodelan dua dimensi bawah permukaan di
masing-masing daerah penelitian.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Membahas kesimpulan dari pengolahan dan analisa data, serta


saran terhadap penelitian yang dilakukan.  

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
BAB II
 
LANDASAN TEORI
 

 
2.1 Prinsip Dasar Metode Gayaberat
 

Metode gayaberat merupakan  metode geofisika yang digunakan untuk


melihat kondisi bawah permukaan dengan cara mengamati variasi sifat fisis
batuan, yaitu rapat massa atau densitas. Variasi densitas batuan dapat
mengakibatkan perbedaan percepatan gravitasi di permukaan bumi. Metode
gayaberat ini didasari oleh konsep dasar fisika yang berhubungan dengan gaya,
percepatan, dan potensial gravitasi.

2.1.1 Hukum Newton

Landasan dari metode gayaberat adalah hukum Newton tentang gaya tarik
menarik antara dua partikel. Hukum ini menyatakan jika dua buah titik dengan
massa masing-masing M dan m yang terpisah sejauh jarak r akan tarik menarik
dengan sebuah gaya F. Dimana gaya tarik menarik antara dua buah titik tersebut
sebanding dengan perkalian massa kedua titik tersebut dan berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara titik pusat keduanya.

Besar gaya tarik menarik antara dua buah partikel dituliskan dengan
persamaan:  

Mm
F =G (2.1)
r2

dimana: F: gaya tarik menarik antar dua benda (Newton)

G: konstanta gravitasi universal (6.67 x 10-11 m3 kg-1 det-3)

M: massa bumi (kg)

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
7
 

 
m: massa benda di permukaan bumi (kg)
 
r : jarak antara titik pusat massa (m)

 
2.1.2 Percepatan Gravitasi
 
Dalam pengukuran gayaberat yang diukur bukanlah gaya gravitasi F,
 
melainkan percepatan gravitasi g. Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh
hukum Newton II yang menyatakan bahwa sebuah gaya adalah hasil perkalian
dari massa dengan percepatan.

F = mg (2.2)

Interaksi antara bumi (dengan massa M) dengan benda di permukaan bumi


(dengan massa m) sejauh jarak R dari pusat keduanya juga memenuhi hukum
tersebut, maka dari persamaan (2.1) dan (2.2) didapatkan:

Mm
G = mg
r2
(2.3)
M
g =G 2
r

Dimana satuan g adalah m/det2 dalam SI, atau Gal (Galileo) yaitu 1
cm/det2. Karena pengukuran dilakukan dalam variasi percepatan gravitasi yang
begitu kecil, maka satuan yang sering digunakan adalah miliGal (mGal).

Menurut persamaan (2.3), terlihat bahwa besar percepatan gravitasi g


 
berbanding lurus dengan massa m, yaitu perkalian antara densitas dengan volume,
sehingga besar percepatan gravitasi yang terukur merupakan pencerminan dari
densitas dan volume massa tersebut.

2.1.3 Potensial Gravitasi

Potensial gravitasi adalah energi yang diperlukan untuk memindahkan


suatu massa dari suatu titik ke titik tertentu. Suatu benda dengan massa tertentu

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
8
 

 
dalam sistem ruang akan menimbulkan medan potensial di sekitarnya. Dimana
medan potensial bersifat konservatif,   artinya usaha yang dilakukan dalam suatu
medan gravitasi tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya tetapi hanya
 
tergantung pada posisi awal dan akhir (Rosid, 2005). Medan potensial dapat
dinyatakan sebagai gradien atau potensial
  skalar (Blakely, 1996), melalui
persamaan:  

g = −∇U ( r )   (2.4)

Fungsi U pada persamaan di atas disebut potensial gravitasi, sedangkan


percepatan gravitasi g merupakan medan potensial. Tanda minus menandakan
bahwa arah gayaberat-nya menuju ke titik yang dituju.

Dengan mengasumsikan bumi dengan massa M bersifat homogen dan


berbentuk bola dengan jari-jari R, potensial gravitasi di permukaan dapat
didefinisikan dengan persamaan:

R R
dr M
U ( r ) = − ∫ gdr = −GM ∫ 2
=G (2.5)
∞ ∞
r R

2.2 Koreksi-koreksi Gayaberat

Dalam metode gayaberat terdapat perbedaan nilai g di suatu tempat


dengan tempat yang lain. Apabila bumi dianggap bulat, homogen, dan tidak
berotasi maka gravitasi di seluruh permukaan bumi akan sama. Namun pada
  rata,
kenyataannya bumi lebih mendekati bentuk spheroid dengan relief yang tidak
memiliki ketidakteraturan densitas secara lateral (tidak homogen), dan berotasi
pada porosnya.

Nilai g hasil pengukuran gayaberat yang diinginkan adalah nilai densitas


dari benda target anomali. Akan tetapi, nilai yang terukur pada gravimeter juga
terpengaruh oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor ini dapat dihilangkan
dengan melakukan beberapa koreksi:

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
9
 

 
2.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction)
 
Koreksi pasang surut merupakan koreksi yang disebabkan oleh pengaruh
tarikan massa benda-benda langit. Benda-benda langit yang paling dominan
 
berpengaruh adalah bulan dan matahari, karena jaraknya yang relatif dekat
 
terhadap bumi dan massanya yang relatif besar.
 
Koreksi ini perlu diperhitungkan untuk menghilangkan efek gaya tarik
 
yang dialami bumi akibat bulan dan matahari, yang mempengaruhi pembacaan
anomali gravitasi di permukaan bumi. Menurut Longman (1959), pengaruh
gravitasi bulan di titik P pada permukaan bumi yang terlihat pada Gambar 2.1
dapat diselesaikan melalui persamaan:

3
c  1  1  
U m = G (r )   3  3 − sin δ   3 − sin φ  − sin 2φ sin 2δ cos t + cos φ cos δ cos 2t 
2 2 2 2

R     
(2.6)

dimana: ø: sudut lintang

δ: sudut deklinasi

t: moon hour angle

c: jarak rata-rata ke bulan

Gambar 2.1 Pengaruh gravitasi bulan di titik P (Kadir, 2000)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
10
 

 
2.2.2 Koreksi Apungan (Drift Correction)
 
Koreksi apungan diberikan sebagai akibat adanya perbedaan pembacaan
gayaberat dari stasiun yang sama pada waktu yang berbeda, yang disebabkan
 
karena adanya guncangan pegas alat gravimeter selama proses pengukuran dari
 
satu stasiun ke stasiun lainnya. Komponen gravimeter dirancang dengan sistem
  dengan massa beban yang tergantung
keseimbangan pegas yang dilengkapi
diujungnya. Karena pegas yang tidak
  elastis sempurna, maka sistem pegas
mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu.

Untuk menghilangkan efek ini, akuisisi data didesain dalam suatu


rangkaian tertutup, yang bertujuan untuk mengetahui besarnya penyimpangan
pembacaan yang diasumsikan linier pada selang waktu tertentu. Secara matematis,
koreksi apungan dituliskan dengan persamaan:

g f − g0
gdrift = (tn − t0 ) mgal (2.6)
t f − t0

dimana: gf: pembacaan gravimeter pada akhir looping

g0: pembacaan gravimeter pada awal looping

tf: waktu pembacaan pada akhir looping

t0: waktu pembacaan pada awal looping

tn: waktu pembacaan pada stasiun ke-n

2.2.3 Koreksi Lintang

Nilai percepatan gravitasi di kutub berbeda dengan di equator. Gravitasi di


equator lebih kecil daripada di kutub karena jari-jarinya yang lebih panjang.
Dengan kata lain nilai percepatan gravitasi di setiap titik dipengaruhi oleh posisi
lintang.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
11
 

 
Koreksi ini diperlukan karena perputaran bumi mengakibatkan perbedaan
percepatan gravitasi bumi pada setiap  lintang. Untuk menghitung koreksi lintang
(Reynolds, 1997) digunakan rumus sebagai berikut:
 
gθ = 978.03185(1 + 0.005278895sin θ + 0.000023462sin 4 θ )
2
mgal (2.7)
 

dengan gθ adalah nilai percepatan gravitasi


  teoritik pada posisi titik amat dan θ
adalah koordinat lintang.  

2.2.4 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)

Koreksi udara bebas merupakan koreksi yang dilakukan untuk


menghilangkan perbedaan percepatan gravitasi bumi akibat perbedaan ketinggian
(elevasi) dari setiap titik pengukuran. Semua titik pengukuran ditarik ke bidang
geoid dengan mengabaikan kandungan massa yang berada diantara titik
pengukuran dan bidang geoid, seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 2.2 Koreksi Udara Bebas (Reynolds, 1997)


 
Menurut Reynolds (1997), dengan menganggap bumi berbentuk ellipsoid
dengan massa terkonsentrasi pada pusatnya, maka nilai gravitasi pada bidang
geoid adalah :

M
g0 = G
r2 (2.8)

Sedangkan nilai gravitasi pada titik pengukuran dengan ketinggian h


(meter) di atas bidang geoid adalah:

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
12
 

 
M M  1 − 2h 
gh = G =G 2  ...  (2.9)
( R + h) 2
R  R   

Perbedaan nilai gravitasi di bidang geoid dan di stasiun pada ketinggian h disebut
 
koreksi udara bebas:
 
2 g0h
g FA = g 0 − g h =   (2.10)
R
 
2 6
dengan g0 = 9.8 m/det , R = 6.371x10 m, dan h dalam m, maka

g FA = 0.3086 × h mgal (2.11)

Dalam perhitungan koreksi udara bebas, dapat dijumlah ataupun dikurang.


Koreksi akan dijumlah jika titik pengukuran berada di atas geoid. Karena semakin
tinggi h maka g akan semakin kecil, sehingga untuk menyamakan dengan bidang
geoid koreksi harus ditambah. Dan juga sebaliknya, koreksi akan dikurang jika
titik pengukuran berada di bawah geoid. Namun pada umumnya koreksi ini
dijumlah karena permukaan bumi berada di atas bidang geoid.

2.2.5 Koreksi Bouguer

Koreksi bouguer merupakan koreksi yang memasukkan efek kandungan


massa batuan yang berada diantara titik pengukuran dan bidang geoid yang
sebelumnya diabaikan pada perhitungan koreksi udara bebas.

Gambar 2.3 Koreksi Bouguer (Reynolds, 1997)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
13
 

 
Koreksi ini dihitung dengan persamaan (Telford, et al., 1990):
 
g B = 2π G ρ h (2.12)

 
dimana π = 3.14, G = 6.67 x 10-11 m3 kg-1 det-3, ρ dalam gr/cm3, dan h dalam m,
maka:  

 
gB = 0.04192ρ h mgal (2.13)
 
Tanda koreksi Bouguer berbanding terbalik dengan koreksi udara bebas.
Jika titik pengukuran berada di atas bidang geoid, koreksi akan dikurang. Hal ini
dikarenakan kandungan massa di atas bidang geoid membuat nilai g titik
pengukuran lebih besar dari g geoid, sehingga untuk menarik titik pengukuran ke
bidang geoid koreksi harus dikurang. Dan juga sebaliknya, jika titik pengukuran
berada di bawah bidang geoid, koreksi akan ditambah.

2.2.6 Koreksi Medan (Terrain Correction)

Koreksi medan atau topografi dilakukan untuk mengoreksi adanya


pengaruh penyebaran massa yang tidak teratur di sekitar titik pengukuran. Dalam
koreksi Bouguer diasumsikan bahwa titik pengukuran di lapangan berada pada
suatu bidang datar yang sangat luas. Sedangkan seringkali kenyataan di lapangan
memiliki topografi yang berundulasi seperti adanya lembah dan gunung. Maka
jika hanya dilakukan koreksi bouguer saja hasilnya akan kurang sempurna.

Adanya massa bukit atau hilangnya massa akibat lembah  akan


menimbulkan efek yang mengurangi besarnya percepatan gravitasi sesungguhnya
di titik pengukuran, sehingga koreksi medan yang diperhitungkan harus ditambah
(Rosid, 2005).

Cara perhitungan koreksi topografi dapat dilakukan dengan menggunakan


Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmund Hammer. Hammer Chart
membagi area ke dalam beberapa zona dan kompartemen (segmen). Hammer

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
14
 

 
melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin yang terlihat pada
Gambar 2.4 di bawah ini.  

Gambar 2.4 Hammer Chart (Reynolds, 1997)

Menurut Reynolds (1997), besarnya koreksi topografi dengan


menggunakan pendekatan cincin silinder dituliskan dalam persamaan:

2πρ G 
TC = r2 − r1 + r12 + z 2 − r2 2 + z 2  mgal (2.14)
N  

dimana: N: jumlah kompartemen pada zona yang digunakan

r2: radius luar (m)

r1: radius dalam (m)

z: perbedaan ketinggian rata-rata kompartemen dan titik pengukuran

Gambar 2.5 Cincin silinder untuk menghitung koreksi medan (Reynolds, 1997)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
15
 

 
2.3 Anomali Bouguer Lengkap (Complete Bouguer Anomaly)
 
Setelah mereduksi hasil pengukuran lapangan dengan koreksi-koreksi
seperti yang telah diuraikan di atas, maka dihasilkan koreksi akhir yaitu anomali
 
Bouguer lengkap (∆gB) yang memiliki persamaan:
 

∆g B = gobs − gθ ± g FA ∓ g B + TC
  (2.15)

 
gobs merupakan nilai gravitasi yang terbaca pada gravimeter setelah
dikoreksi terhadap apungan pegas alat (drift correction) dan pengaruh pasang
surut bumi (tide correction).

Anomali Bouguer dapat bernilai positif ataupun negatif. Nilai anomali


Bouguer positif mengindikasikan adanya kontras densitas yang besar pada lapisan
bawah permukaan, sedangkan anomali negatif menggambarkan perbedaan
densitas yang kecil. Dari kontur anomali Bouguer dapat diketahui adanya anomali
di bawah permukaan.

Anomali Bouguer merupakan gabungan dari anomali regional dan residual


(lokal). Anomali regional berasal dari batuan-batuan yang sifatnya regional (luas
dan dalam), dan dicirikan oleh kontur anomali yang smooth dan berfrekuensi
rendah. Sedangkan anomali residual atau yang sering disebut juga sebagai
anomali sisa yang berasal dari batuan-batuan yang sifatnya lebih dangkal dan
sempit, dan dicirikan oleh kontur anomali yang tidak smooth dan berfrekuensi
tinggi. Kontur anomali residual yang tidak smooth ini merupakan efek dari adanya
batuan-batuan lokal yang dangkal (heterogen).
 

2.4 Analisa Spektrum

Analisa spektrum dilakukan untuk melihat respon anomali yang berasal


dari zona regional, residual, dan noise, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi
dapat diestimasi. Analisa spektrum dilakukan dengan mentransformasi Fourier
lintasan-lintasan yang telah ditentukan.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
16
 

∞  
− ikx
F (k ) = ∫
−∞
f ( x )e dx
  (2.16)

dimana k adalah bilangan gelombang,  yang nilainya didapatkan dari persamaan


berikut:
 

2π  
k= ≈ 2π f (2.17)
λ
 
Transformasi Fourier F(k) merupakan suatu fungsi kompleks yang terdiri
dari bilangan real dan imajiner, yaitu :

F ( k ) = Re F ( k ) + Im F ( k )
1
F (k ) = (Re F (k )) 2 + (Im F (k )) 2  2
(2.18)
F (k ) = Amplitudo

Spektrum diturunkan dari potensial gravitasi yang teramati pada suatu


bidang horizontal dimana transformasi Fouriernya menurut Blakely (1996)
adalah:

1
F (U ) = Gµ F   (2.19)
r

e (0
k z − z ')
1
dengan F   = 2π (2.20)
r k

dimana: U: potensial gravitasi


 
G: konstanta gravitasi

µ: anomali densitas

r: jarak

k: bilangan gelombang

z0 dan z’: ketinggian titik pengukuran dan kedalaman anomali

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
17
 

 
Sehingga persamaannya menjadi:
 
k ( z0 − z ')
e
F (U ) = 2π G µ (2.21)
k  

 
Berdasarkan persamaan (2.21) di atas, transformasi Fourier anomali gravitasi yang
diamati pada bidang horisontal adalah: 
 
∂F (U )
F (gz ) =
∂z
k ( z0 − z ')
∂ 2π G µ e
=
∂z k
(2.22)
∂ e 0−
k (z z ')
= 2π G µ
∂z k
= 2π G µ e k ( z0 − z ')

Sehingga hasil transformasi Fourier anomali gravitasi menjadi:

k ( z0 − z ')
A = Ce (2.23)

dimana A = amplitudo dan C = konstanta

Dengan melogaritmakan spektrum amplitudo yang dihasilkan dari


transformasi Fourier, maka didapatkan hubungan langsung antara amplitudo (A)
dengan bilangan gelombang (k) dan kedalaman (z0-z’), sehingga memberikan
hasil persamaan garis lurus, yaitu:
 
ln A = ( z 0 − z ' ) k (2.24)

Estimasi kedalaman tiap anomali dapat dilakukan dengan melakukan


regresi linear pada masing-masing zona, seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.
Kedalaman regional akan didapatkan dengan melakukan regresi linear pada zona
regional, dan begitu juga dengan zona residual dan noise.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
18
 

ln A
 

 
k
 

Gambar 2.6 Pembagian zona


  anomali melalui grafik ln A terhadap k

2.5 Pemisahan Anomali Regional-Residual (Filtering)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anomali Bouguer merupakan


gabungan dari anomali regional dan residual. Untuk mendapatkan anomali
regional, salah satu metode yang dapat dilakukan adalah polinomial trend surface
analysis (TSA). Anomali residual didapat dari mengurangkan anomali Bouguer
dengan anomali regional.

Polinomial trend surface analysis ini digunakan untuk mendapatkan


anomali residual yang berfrekuensi tinggi yang terdapat pada daerah penelitian,
dimana biasanya anomali ini tidak begitu menonjol pada peta anomali
Bouguernya, karena masih dipengaruhi oleh anomali regional yang memiliki
frekuensi rendah (Kadir, 1991).

Anomali regional didapat dari persamaan polinomial orde n. Abdelrahman


(1985) menyatakan bahwa persamaan polinomial tersebut adalah:
 
p s
Z ( x, y) = gi = ∑∑ an− s , s x n − s y s (2.25)
n =0 n =0

dimana an-s,s adalah ½ (p+1)(p+2), koefisien p adalah orde pada persamaan


polinomial 2D, x dan y adalah koordinat, jika persamaan (2.25) dijabarkan untuk
persamaan orde 2 menjadi:

g i = C1 + C 2 xi + C3 yi + C 4 xi yi + C5 xi 2 + C6 yi 2 (2.26)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
19
 

 
dimana: i: 1, 2, 3, … , n (jumlah stasiun gravitasi)
 
gi: anomali gravitasi

xi, yi: koordinat stasiun  

 
c1, …, c6: konstanta polinomial yang akan dicari
 
Untuk mengetahui konstanta-konstanta c1 s/d c6, persamaan diatas dapat
 
dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

 g1  1 x1 y1 x1 y1 x12 y12   c1 
    
 g 2  1 x2 y2 x2 y2 x2 2 y2 2   c2 
 i  i i i i i i  i 
 =   (2.27)
 i  i i i i i i  i 
 i  i i i i i i  i 
    
 gi  1 xi yi xi yi xi 2 yi 2   ci 

Lalu apabila ditulis dalam bentuk matematis secara singkat, akan didapatkan
persamaan berikut:

d = Gm (2.28)

dimana d adalah vektor dari data input anomali Bouguer, G adalah matriks dari
koordinat stasiun atau disebut juga matriks kernel, dan m adalah vektor konstanta
polinomial (model parameter) yang akan dicari.

Model parameter yang akan dicari terkandung pada elemen-elemen


vektor. Jika data yang kita miliki sangat ideal (tidak ada error sama sekali)  maka
m dapat ditulis: m = G −1d . Namun, semua data pengukuran memiliki error yang
besarnya bervariasi. Oleh karena itu, error tersebut harus dimasukkan pada
persamaan (2.28), sehingga menjadi:

d = Gm + ei (2.29)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
20
 

 
Solusi regresi linear diupayakan dengan cara meminimalkan jumlah
 
kuadrat dari error ei (Supriyanto, 2007). Dalam formulasi matematika, kuadrat
error tersebut dinyatakan dengan:
 
q = e e = (d − Gm) (d − Gm)
T T
(2.30)
 

  dari matriks. Agar kuadrat error minimal,


Dimana T merupakan operasi transpose
maka persamaan (2.30) diturunkan terhadap
  m dan hasilnya harus sama dengan
nol, seperti yang diturunkan pada persamaan dibawah ini:

∂q
=0
∂m
∂ (d T d − d T Gm − mT GT d + mT G T Gm)
=0
∂m
−d T G − G T d + GT Gm + mT G T G = 0
2G T Gm = 2G T d

GT Gm = GT d (2.31)

Sehingga perhitungan model parameter dinyatakan dengan persamaan:

−1
m = G T G  G T d (2.32)

Persamaan trend surface analysis menunjukkan bahwa semakin besar orde


polinomial, maka semakin banyak suku matematika dimana suku matematika
tersebut memiliki kontribusi geologi. Jadi semakin banyak suku matematika,
batuan semakin heterogen yang berarti semakin dangkal, dan kontur semakin
 
tidak smooth. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.7 di bawah.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
21
 

Gambar 2.7 Kontur polinomial TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009)

2.6 Analisa Derivative

2.6.1 First Horizontal Derivative (FHD)

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat


dari satu titik ke titik lainnya secara horizontal dengan jarak tertentu, yang
memiliki karakteristik tajam berupa nilai maksimum atau minimum pada kontak
benda anomali, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur
geologi berdasarkan anomali gayaberat.

Gambar 2.8 Nilai gradien horizontal pada model tabular (Blakely, 1996)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
22
 

 
Turunan horizontal lebih mudah dipalikasikan dengan menggunakan
 
metode turunan berhingga dan perhitungan secara diskrit. Untuk data dua dimensi,
misalnya jika nilai g(i,j), i = 1,2,3, …, j = 1,2,3,…, yang menunjukkan
 
perhitungan diskrit dari g(x,y) pada interval sampel yang sama ∆x dan ∆y, maka
turunan horizontal pertama dari g(x,y)  pada titik i,j diberikan oleh persamaan:

 
dg ( x, y ) gi +1, j − gi −1, j
≈ (2.33)
dx 2 ∆x  

2.6.2 Second Vertical Derivative (SVD)

SVD bersifat sebagai high pass filter, sehingga dapat menggambarkan


anomali residual yang berasosiasi dengan struktur dangkal yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi jenis patahan turun atau patahan naik.

Perhitungan SVD diturunkan langsung dari persamaan Laplace untuk


anomali gayaberat di permukaan, yang dituliskan dalam persamaan:

∇2 g = 0 atau

∂2 g ∂2 g ∂2 g
+ + =0 (2.34)
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2

Sehingga SVD diberikan oleh persamaan:

∂2 g ∂2 g ∂2 g
=− 2 − 2   (2.35)
∂z 2 ∂x ∂y

SVD dari suatu anomali gayaberat permukaan adalah sama dengan negatif
dari second horizontal derivative (SHD). Anomali yang disebabkan oleh struktur
cekungan mempunyai nilai harga mutlak minimal SVD selalu lebih besar daripada
harga maksimalnya. Sedangkan anomali yang disebabkan struktur intrusi berlaku
sebaliknya, harga mutlak minimalnya lebih kecil dari harga maksimalnya
sehingga analisa struktur pada SVD dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
23
 

Gambar 2.9 Respon analisa SVD pada struktur geologi (Reynolds, 1997)

Dalam bukunya, Reynolds (1997) menyatakan bahwa kriteria untuk


menentukan jenis struktur patahan adalah sebagai berikut:

 
 ∂ 2 ∆g   ∂ 2 ∆g 
 2 
>  2 
untuk patahan normal (2.33)
 ∂z  maks  ∂z  min

 ∂ 2 ∆g   ∂ 2 ∆g 
 2 
<  2 
untuk patahan naik (2.34)
 ∂z  maks  ∂z  min

Prinsip dasar dan teknik perhitungan dari metode ini telah dijelaskan oleh
Henderson & Zietz (1949), Elkins (1951), dan Rosenbach (1953). Pada data
gravitasi, nilai anomali akan mengalami perubahan secara vertikal yang

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
24
 

 
diakibatkan karena adanya efek distribusi massa yang tidak merata secara vertikal,
 
maka turunan keduanya akan memperlihatkan besarnya efek gravitasi dari
struktur-struktur yang lebih luas dan terletak jauh lebih dalam. Oleh karena itu
 
struktur-struktur kecil/lokal dan samar-samar dapat diperjelas keberadaannya atau
lebih dipertajam bentuk kurvanya dibanding
  struktur-struktur regional yang lebih
melebar bentuknya.  

Pada metode gravitasi nilai anomali


  Bouguer digunakan sebagai input
pada proses pengolahan data turunan kedua vertikal untuk menghasilkan anomali
residual. Untuk mengubah data anomali Bouguer menjadi data turunan
kedua/anomali residual, dapat digunakan chart dengan beberapa lingkaran
berpusat pada satu titik.

Bila grid data dibuat berspasi S, maka harga turunan kedua pada pusat
lingkaran dengan radius berbeda adalah :

c
D= (a0T0 + a1T1 + a2 T2 + ...) (2.35)
s2

dimana: D: harga turunan kedua pada pusat lingkaran

T0: harga anomali pada pusat lingkaran

T1: harga anomali rata-rata pada lingkaran

C: koefisien numerik

S: jarak antar kisi


 
a0, a1, a2,...: faktor bobot dari harga gravitasi

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
25
 

Gambar 2.10 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)

Persamaan (2.35) di atas merupakan persamaan umum dari pendekatan


turunan kedua vertikal. Kemudian Henderson & Zietz, Elkins, dan Rosenbach
menurunkan persamaan-persamaan yang menjadi solusi penyelesaian dari turunan
vertikal orde dua, sebagai berikut:

a. Henderson & Zietz (1949)

∂ 2Φ 2
= (3T0 − 4T1 + T2 )
∂z 2 s 2

b. Elkins (1951)
∂ 2Φ 1
= (16T0 + 8T1 − 12T2 )
∂z 2
28s 2
c. Rosenbach (1953)
 
∂ 2Φ 1
= (96T0 − 72T1 − 32T2 + 8T3 )
∂z 2
24 s 2

dimana T0: Harga rata-rata medan anomali pada r = 0

T1: Harga rata-rata medan anomali pada r = s

T2: Harga rata-rata medan anomali pada r = s 2

T3: Harga rata-rata medan anomali pada r = s 5

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
BAB III
 
TINJAUAN GEOLOGI
 

3.1 Tinjauan Umum Sulawesi  

 
Sulawesi dalam tektonik global tidak terlepas dari tatanan tektonik
 
Indonesia yang berada pada daerah pertemuan tiga lempeng yang saling
berinteraksi satu sama lain. Sulawesi terletak pada zona pertemuan di antara tiga
pergerakan lempeng besar, yaitu pergerakan lempeng Indo-Australia dari selatan,
lempeng Pasifik dari arah timur, dan lempeng Eurasia bergerak relatif pasif ke
tenggara (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Peta tektonik global Indonesia (Katili, 1973)

26

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
27
 

 
3.2 Sejarah Geologi Sulawesi
 
Sejarah geologi Pulau Sulawesi dapat terbagi menjadi 3 masa, yaitu masa
Paleozoikum, Mesozoikum, dan Kenozoikum. Pada masa Paleozoikum periode
 
Perm (280 Ma) semua benua mulai menyatu membentuk suatu daratan yang
 
sangat luas yang disebut benua Pangea.
 
Kemudian pada masa Mesozoikum periode Trias (250 Ma), pecahnya
 
Pangea menjadi dua yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia meliputi Amerika
Utara, Eropa, dan sebagian besar Asia sekarang. Indonesia dan wilayah sekitar
bagian barat (Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan bagian
barat Sulawesi) merupakan bagian benua Laurasia, sedangkan Indonesia dari
bagian timur (bagian Timur Sulawesi, Timor, Seram, Buru, dan seterusnya) yang
merupakan bagian benua Gondwana.

Pada periode Jura (215 Ma), bagian barat Sulawesi bersama-sama dengan
Sumatera, Kalimantan, dan daratan yang kemudian akan menjadi Kepulauan
Lengkung Banda dianggap terpisahkan dari Antartika dalam pertengahan periode
Jura, atau dengan kata lain, bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma
Thailand, Malaysia, dan Sulawesi Barat terpisah dari benua Laurasia.

Pada masa Kenozoikum kurun Eosen (50 Ma), Australia terpisah dari
Antartika, vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi. Eurasia terbentuk
pada area kontinental yang stabil, dengan batas kontinental Eurasia yang
berorientasi ke arah NE-SW. Taiwan, Palawan Utara, dan continental shelf
(berarah NW dari Kalimantan) berada di luar kondisi passive margin stabil, yang
 
terbentuk sepanjang periode Kapur. Pada zaman ini, Sundaland memisah dari
Eurasia akibat dari kerak samudra Mesozoik.

Pada kurun Miosen (25 Ma), Australia, Irian, dan bagian timur Sulawesi
kemungkinan terpisahkan dari Irian sebelum bertabrakan dengan Sulawesi bagian
barat. Pada periode pertengahan Miosen, mulai muncul daratan. Australia,
Sulawesi Timur dan Irian terus bergarak ke utara kira kira 10 cm pertahun.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
28
 

 
Pada kurun Miosen ini, Lempeng Australia bergerak ke utara
mengakibatkan melengkungnya bagian  timur, Lengkung Banda ke barat. Gerakan
ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan
  arah timur barat, mengubah kedua masa
Sorong dari bagian barat Irian dengan
daratan yang akan menghasilkan bentuk
  khas Sulawesi yang sekarang (bentuk K).

 
Diperkirakan tabrakan ini terjadi sekitar 15 Ma (pertengahan Miosen).
Kepulauan Banggai Sula bertabrakan  dengan Sulawesi Timur dan seakan akan
menjadi ujung tombak yang masuk ke Sulawesi bagian barat, yang menyebabkan
semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar kira-
kira 35°, dan bersama itu membuka Teluk Bone. Semenanjung Utara memutar
ujung utaranya menurut arah jarum jam hampir sebesar 90°, yang menyebabkan
terjadinya subduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi di bawah
bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik) sepanjang alur Sulawesi Utara
dan Teluk Gorontalo, dan obduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak
bumi diatas bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik).

Diperkirakan juga bahwa Sulawesi Barat bertabrakan dengan Kalimantan


Timur pada Akhir Pliosen (3 Ma yang lalu) yang sementara itu menutup Selat
Makassar dan baru membuka kembali dalam periode Kwarter, meskipun tidak ada
data pasti yang menunjang pendapat ini. Endapan tebal dari sebelum Miosen di
Selat Makassar memberikan petunjuk bahwa Kalimantan dan Sulawesi pernah
terpisahkan sekurang-kurangnya 25 Ma.

Gambar 3.2 Sejarah Pembentukan Pulau Sulawesi (Satyana, 2008)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
29
 

 
3.3 Tektonik Sulawesi
 
Tektonik Pulau Sulawesi terbentuk akibat dari peristiwa konvergen dan
transform. Untuk kawasan konvergen di Sulawesi, lempeng Eurasia, lempeng
 
Pasifik, dan lempeng Indo-Australia saling bergerak dan mendekati. Pergerakan
 
ketiga lempeng ini bersifat tumbukan. Tumbukan antar ketiganya tertekuk dan
 
menyusup kebawah lempeng benua hingga masuk ke Astenosfer (zona melange),
yang merupakan kedudukan titik-titik fokus
  gempa tektonik.

Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan evolusi


tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang terjadi di Sulawesi
bagian barat pada masa Kenozoikum. Yang pertama adalah rifting dan pemekaran
lantai samudera di Selat Makassar pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk
pengendapan material klastik yang berasal dari Kalirnantan. Yang kedua adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak kala Miosen, kompresi ini dipengaruhi
oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen-fragmen busur
kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen ini termasuk mikro-kontinen Buton,
Tukang Besi dan Banggai Sula. Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan
Sulawesi Barat (West Sulawesi Fold Belt) yang berkembang pada kala Pliosen
Awal. Meskipun ukuran fragmen-fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya
dipercaya menjadi penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di seluruh
bagian Sulawesi (Sompotan, 2012).

Secara regional, Pulau Sulawesi mendapat tekanan dari luar sehingga


terjadi deformasi secara terus menerus, seperti tekanan dari Laut Flores di bagian
selatan mengaktifkan patahan Palu-Koro dan Walanae, Banggai-Sula, dan
  Laut
Banda. Dari timur mengaktifkan Patahan Matano, Batui, Lawanoppo, dan Kolaka.
Laut Sulawesi dari utara mengaktifkan subduksi Laut Sulawesi, Patahan
Gorontalo, dan aktivitas gunung api di utara. Tekanan dari lempeng Laut Maluku
dari timur menimbulkan gempa dan gunung api di Sulawesi Utara (Kaharuddin,
dkk., 2011). Sehubungan dengan fenomena tektonik tersebut di atas, maka di
kawasan Pulau Sulawesi terdapat banyak patahan besar.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
30
 

Gambar 3.3 Cross section geologi regional Sulawesi (Satyana, 2008)

Struktur regional yang mempengaruhi perkembangan tektonik geologi


Pulau Sulawesi menurut Katili (1973) adalah:

1. Selat Makassar yang memisahkan Paparan Sunda


Sunda (yang merupakan bagian
dari lempeng Eurasia) dengan Sulawesi Selatan dan Tengah, terbentuk
karena pemekaran samudra sejak kala Miosen.
2. Adanya konvergensi antara lengan tenggara Sulawesi dengan Laut Banda
melalui Tolo Trench di bagian tenggara.
3. Dalaman Sulawesi Utara yang terbentuk akibat penujaman lempeng
 
Pasifik.

Berdasarkan litotektonik, Pulau Sulawesi dibagi menjadi 4 kelompok


(Leeuwen, 1994), yaitu:

1. Mandala Barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc), sebagai


busur magmatik dibagi menjadi bagian utara dan bagian barat. Bagian
utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, sedangkan bagian
barat memanjang dari Buol sampai sekitar Makassar.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
31
 

 
a. Mandala Barat Bagian Utara (Manado), terdiri dominasi batugamping
 
sebagai satuan batuan penyusun Cekungan Ratatotok. Satuan batuan
lainnya yaitu kelompok breksi dan batupasir, kemudian kelompok
 
Tufa Tondano berumur Pliosen, batuan Kuarter terdiri kelompok
batuan gunung api muda,  kelompok batuan termuda terdiri atas
batugamping koral, endapan
 
aluvial sungai, dan danau.
b. Mandala Barat Bagian Barat (Enrekang), terdiri dari satuan batupasir
 
malih berumur Kapur Akhir, satuan batuserpih berumur Eosen-
Oligosen Awal, satuan batugamping berumur Eosen, satuan batupasir
gampingan berumur Oligosen-Miosen Tengah, satuan batugamping
berlapis berumur Oligosen-Miosen Tengah, satuan klastika gunung api
berumur Miosen Akhir, satuan batugamping terumbu berumur Pliosen
Awal, dan satuan konglomerat berumur Pliosen.
2. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt), berupa batuan
malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian blok dari
Australia. Meliputi Kabupaten Donggala dan Toli-Toli Sulawesi Tengah.
Urutan stratigrafi dari termuda yaitu endapan aluvium, endapan teras
Kuarter, batuan tufa berumur Pliosen-Kuarter, batuan yang
termetamorfkan rendah dan batuan malihan yang keduanya termasuk ke
dalam Formasi Tinombo berumur Kapur Akhir-Eosen Awal, batuan
gunung api yang menjari dengan Formasi Tinombo berumur Kapur
Akhir-Oligosen Awal, inrtusi garanit berumur Miosen Tengah-Miosen
Akhir yang ditemukan menerobos Formasi Tinombo.
3. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), merupakan ofiolit yang
 
merupakan segmen kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen
berumur Trias-Miosen. Terdapat sesar Lasolo yang membagi lembar
daerah Kendari menjadi dua yaitu Lajur Tinondo yang merupakan
himpunan batuan yang bercirikan asal paparan benua terdiri batuan
malihan berumur Paleozoikum yang diduga zaman Karbon serta Lajur
Hialu yang merupakan himpunan batuan bercirikan asal kerak samudera.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
32
 

 
4. Banggai-Sula dan Tukang Besi Continental Fragments, kepulauan yang
 
terdiri dari Banggai, Sula dan Buton yang merupakan pecahan benua yang
berpindah dikarenakan sesar strike slip dari New Guinea.
 

Gambar 3.4 Pembagian keadaan tektonik Pulau Sulawesi (Leeuwen, 1994)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
33
 

Gambar 3.5 Peta cekungan Sulawesi (Badan Geologi, 2010)

3.4 Geologi Daerah Penelitian

3.4.1 Sulawesi Selatan

Struktur utama yang terdapat di Sulawesi Selatan ini adalah patahan


normal Walanae. Patahan Walanae merupakan patahan normal yang berarah NW-
SE memotong lengan Sulawesi Selatan. Patahan ini memanjang ke arah barat laut
Paternoster-Lupar di
Makassar dan bersatu dengan sutur Paternoster
memotong selat Makas
 
Kalimantan, sementara di selatan berakhir di patahan Flores.

Sukamto (1982) berpendapat bahwa kegiatan tektonik di wilayah Sulawesi


Selatan pada kala Miosen Awal menyebabkan terjadinya permulaan terban
(graben) Walanae yang memanjang dari utara ke selatan pada Lengan Sulawesi
bagian barat. Struktur sesar berpengaruh terhadap struktur geologi sekitarnya.

Tektonik ini menyebabkan terjadinya cekungan tempat terbentuknya


Formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
34
 

 
Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai kala Pliosen.
Menurunnya Terban Walanae dibatasi  oleh sistem sesar normal Walanae, dimana
bagian turun dari sesar normal ini berada di sebelah timur.
 
Di wilayah Sulawesi Selatan ini juga terdapat zona depresi yang terbentuk
 
oleh sesar normal Walanae yang terjadi sejak Miosen Tengah hingga Pliosen.
 
Akibat pembentukan sesar normal ini blok bagian timurlaut mengalami penurunan
dan terisi oleh material membentuk batuan
  Walanae.
sedimen Formasi Walanae

Gambar 3.6 Peta Geologi Sulawesi Selatan (Leeuwen, 199)

Geologi daerah bagian timur dan barat Sulawesi Selatan pada dasarnya
berbeda, dimana kedua daerah ini dipisahkan oleh sesar Walanae. Di  masa
Mesozoikum, basement yang kompleks terdiri dari batuan metamorf, ultramafik,
dan sedimen. Adanya batuan metamorf yang sama dengan batuan metamorf di
Pulau Jawa, pegunungan Meratus di Kalimantan, dan batuan di Sulawesi Tengah
menunjukkan bahwa basement kompleks Sulawesi Selatan mungkin merupakan
pecahan fragmen akibat akresi kompleks yang lebih besar di masa Awal Kapur
(Sompotan, 2012).

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
35
 

Gambar 3.7 Stratigrafi Sulawesi Selatan (Wilson, 1995)

Adapun sedimen-sedimen di masa Akhir Kapur mencakup Formasi


Balangbaru dan Marada, dimana formasi-formasi ini terdiri dari sedimen tipe
flysch yang pada umumnya menunjukkan struktur turbidit. Dibeberapa tempat
ditemukan konglomerat dengan susunan basalt, andesit, diorit, serpih, tufa
terkesikkan, sekis, kuarsa, dan bersemen batupasir (Sompotan, 2012).

Batuan vulkanik berumur Paleosen yang terdapat di bagian timur daerah


Sulawesi Selatan disebut Langi. Formasi ini terdiri dari lava dan endapan
 
piroklastik andesit dengan komposisi andesit dengan sisipan limestone dan shale.

Formasi Tonasa berumur Eosen sampai dengan pertengahan Miosen.


Formasi Tonasa tersebar luas di bagian barat Sulawesi Selatan, dimana formasi ini
tidak tersingkap di bagian timur sesar Walanae selain singkapan kecil Formasi
limestone Tonasa.

Formasi Salo Kalupang yang sekarang terletak sebelah timur Sulawesi


Selatan terdiri dari shale dan claystone interbedded dengan batuan vulkanik

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
36
 

 
konglomerat, breksi, tufa, limestone, dan napal. Berdasarkan teknik foraminifera
 
dating, usia Formasi Salo Kalupang diyakini berkisar Awal Eosen sampai dengan
Akhir Oligosen. Formasi ini seusia dengan bagian bawah Formasi Tonasa.
 
Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut yang berselingan dengan
 
batuan vulkanik. Bagian teratas Formasi Camba yaitu batuan vulkanik Camba
 
yang terletak di bagian barat, terdiri dari breksi vulkanik dan konglomerat, lava
dan tuf interbedded dengan marine  sedimen. Foraminifera dating menduga
batuan vulkanik Camba berumur Akhir Miosen.

Formasi Walanae merupakan batuan yang tersingkap di bawah endapan


danau dan endapan alluvial, terdiri dari perselingan sandstone, conglomerate dan
sisipan limestone, yang diperkirakan berumur pertengahan Miosen sampai
dengan Pliosen.

3.4.2 Lengan Timur Sulawesi

Wilayah lengan Timur Sulawesi termasuk ke dalam Mandala Banggai-


Sula. Mandala Banggai-Sula mempunyai urutan sedimen yang menonjol, yang
diendapkan selama Jura dan Kapur. Urutan ini menindih batuan sedimen yang
diendapkan tak selaras di atas batuan gunung api dan kompleks alas batuan
metamorf dan batuan bersifat granit.

Struktur utama yang terdapat di daerah lengan Timur Sulawesi ini adalah
patahan naik Batui, yang merupakan ekspresi permukaan dari tumbukan antara
 
paparan Banggai-Sula dengan jalur Ophiolite Sulawesi Timur yang membentang
dari Balantak sampai Teluk Tomori. Patahan ini membatasi Jalur Ophiolite di
hanging wall dengan Paparan Banggai-Sula di bagian foot wall.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
37
 

Gambar 3.8 Peta Geologi Lengan Timur Sulawesi (Leeuwen, 1994)

Gambar 3.9 Stratigrafi Lengan Timur Sulawesi (Satyana, 2008)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
38
 

 
Batuan-batuan penyusun daerah lengan Timur Sulawesi seperti yang
  geologi pada Gambar 3.8 dan 3.9 di atas
terlihat pada kolom stratigrafi dan peta
terdiri dari formasi-formasi yang berasal dari zaman Mesozoikum dan Tersier.
 
Formasi batuan tertua pada masa Trias disebut Formasi Tokala. Formasi
 
ini terdiri dari batuan limestone dan napal dengan sisipan shale dan chert (rijang),
  batuan lain pada usia yang sama yang
yang diendapkan di laut dalam. Fasies
diendapkan di laut dangkal dibentuk oleh
  Formasi Bunta yang terdiri dari butiran
halus sedimen klastik seperti batu tulis, metasandstone, silt, phyllite, dan schist.
Pada lengan Timur Sulawesi juga ditemukan batuan kompleks ofiolit yang
berumur Akhir Jura sampai dengan Eosen yang berasal kerak samudera
(Simandjuntak, 1986).

Batuan kompleks ofiolit ini ditemukan dalam kontak tektonik dengan


sedimen berumur Mesozoikum dan terdiri dari batuan mafik dan ultramafik
seperti harzburgite, lherzolite, pyroxenite, serpentinite, dunite, gabro, diabase,
basalt, dan microdiorite. Batuan ini dipindahkan beberapa kali akibat deformasi
dan displacement sampai dengan pertengahan masa Miosen.

Formasi Tokala dan Bunta yang tidak selaras ditindih oleh Formasi
Nanaka yang terdiri dari butiran kasar sedimen klastik seperti batuan
konglomerat, batupasir dengan sisipan silts dan batubara. Diantara fragmen dalam
batuan konglomerat ditemukan granit merah, batu metamorfik dan chert (rijang)
yang diperkirakan berasal dari mikrokontinen Banggai-sula (Simandjuntak, 1986).
Umur formasi ini dianggap kurang dari pertengahan masa Jura dan terbentuk di
lingkungan paralik.  

Selaras dengan hal itu Formasi Nanaka bertemu Formasi Nambo di


pertengahan masa Jura. Unit laut dalam ini terdiri dari sedimen klastik napal
berpasir dan napal yang mengandung belemnite dan inoceramus. Sedangkan
Formasi Matano ada di akhir masa Jura sampai dengan akhir masa Kapur terdiri
dari sandstone dengan sisipan chert (rijang), napal, dan silt.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
39
 

 
3.4.3 Gorontalo
 
Daerah lengan utara Sulawesi ini merupakan busur gunung api yang
terbentuk karena adanya penunjaman ganda yang terdiri dari lajur penunjaman
 
Sulawesi Utara di sebelah lengan utara Sulawesi dan lajur penunjaman Sangihe
 
timur di sebelah timur dan selatan lengan utara. Penunjaman ini mengakibatkan
terjadinya kegiatan magmatisme dan  kegunung-apian yang menghasilkan batuan
-kerucut vulkanik  muda (Simanjuntak, 1986).
plutonik dan kerucut-kerucut

Wilayah Gorontalo yang ditempati oleh Cekungan Limboto berada pada


bagian lengan utara Sulawesi, dimana sebagian besar daerah ini ditempati oleh
satuan batuan Gunung Api Tersier. Di wilayah bagian tengah daerah ini dijumpai
dataran rendah berbentuk memanjang yang terbentang dari arah barat-barat laut ke
timur-tenggara yang diduga semula merupakan danau dengan pusatnya berada di
Danau Limboto.

Sesar besar yang melintasi sepanjang Sulawesi Utara ini adalah sesar
Gorontalo yang menghasilkan fault trap dan kemudian membentuk depresi graben
dengan memotong struktur yang terbentuk sebelumnya.

Gambar 3.10 Peta geologi Gorontalo (Leeuwen, 1994)

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
40
 

 
Wilayah ini disusun oleh batuan dengan urutan stratigrafi sebagai berikut :
 
• Batuan beku, berupa: gabro, diorit, granodiorit, granit, dasit, dan munzonit
kwarsa.
 

• Batuan piroklastik, berupa: lava basalt,


  lava andesit, tuf, tuf lapili, dan breksi
gunung api.
 

• Batuan sedimen, berupa: batupasir  wake, batulanau, batupasir hijau dengan


sisipan batugamping merah, batugamping klastik, dan batugamping terumbu.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
BAB IV
 
PENGOLAHAN DATA
 

 
4.1 Pendigitan
 
Tahap awal yang dilakukan dalam
  melakukan pengolahan data adalah
tahap pendigitan peta kontur anomali Bouguer di Pulau Sulawesi. Peta kontur
anomali Bouguer ini diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi dengan skala peta
1:2.500.000.

Peta tersebut di scan agar data anomali Bouguer yang masih berupa peta
analog dapat digitasi sehingga mendapatkan data digital yang dapat diolah untuk
proses pengolahan data selanjutnya. Proses pendigitan peta dilakukan dengan
menggunakan software Surfer 9. Hasil pendigitan ditampilkan dalam bentuk
kontur yang kemudian di grid dengan spasi grid 10 km.

(mgal)

Gambar 4.1 Peta kontur anomali Bouguer Pulau Sulawesi

41

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
42
 

 
4.2 Anomali Bouguer
 
Data yang diolah untuk dianalisa lebih lanjut dalam penelitian ini hanya
beberapa bagian di Pulau Sulawesi yang terindikasi adanya patahan, yaitu daerah
 
Sulawesi Selatan, lengan Timur Sulawesi, dan Gorontalo yang ditunjukkan pada
 
Gambar 4.2 di bawah.
 

(mgal)

Gambar 4.2 Peta kontur anomali Bouguer yang menunjukkan daerah penelitian

Daerah yang dipilih merupakan daerah yang terindikasi adanya patahan,


 
baik secara anomali Bouguer maupun secara peta geologi. Karena peta anomali
Bouguer yang dihasilkan merupakan peta yang cakupannya regional, maka dapat
terlihat indikasi keberadaan patahan besar di Pulau Sulawesi. Dari peta kontur
anomali Bouguer, patahan ditunjukkan dengan adanya nilai anomali positif dan
negatif yang dibatasi dengan kontur yang rapat, karena semakin rapat jarak antar
kontur menunjukkan semakin curam daerah tersebut.

Berikut adalah gambar peta anomali Bouguer pada tiap-tiap daerah yang
akan diproses lebih lanjut.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
43
 

 
(a)
 

(b)

(c)

Gambar 4.3 Peta anomali Bouguer (a) Sulawesi Selatan, (b) lengan Timur Sulawesi, dan
(c) Gorontalo

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
44
 

 
4.3 Analisa Spektrum
 
Analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kandungan frekuensi dari
data, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi dapat diestimasi. Frekuensi
 
rendah yang berasosiasi dengan panjang gelombang panjang mengindikasikan
 
daerah regional yang mewakili struktur dalam dan luas. Sedangkan sebaliknya,
frekuensi tinggi yang berasosiasi  dengan panjang gelombang pendek
mengindikasikan daerah residual (lokal)
  yang mewakili struktur dangkal dan
umumnya frekuensi sangat tinggi menunjukkan noise yang diakibatkan kesalahan
pengukuran, kesalahan digitasi, dan lain-lain.

Pada analisa spektrum ini, kandungan frekuensi didapatkan dari lintasan


pada anomali Bouguer yang telah ditransformasi Fourier. Proses transformasi
Fourier dilakukan dengan menggunakan software Numeri, yang dengan
memasukkan nilai jarak spasi dan nilai anomali Bouguer pada lintasan tersebut,
didapatkan nilai frekuensi, real, dan imajiner yang kemudian didapatkan nilai
amplitudo dengan persamaan:

A = r 2 + i2
(4.1)
ln A = ln r + i
2 2

dimana r merupakan bilangan real dan i merupakan bilangan imajiner. Dan


didapatkan pula nilai bilangan gelombang (k) dari persamaan:

k = 2π f (4.2)

Setelah didapatkan nilai amplitudo dan panjang gelombang   sesuai


persamaan (4.1) dan (4.2), kemudian dibuat plot grafik ln A terhadap k. Setelah
itu estimasi kedalaman dapat dilakukan dengan membuat regresi linear pada zona
regional dan residual.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
45
 

 
7
y = -20680x + 6.124
 
6
5 y = -6203.x + 5.008

4  

ln A
3   Regional
2 Residual
 
1
0  
0 0.0001 0.0002 0.0003
k

Gambar 4.4 Pemisahan anomali regional dan residual

Gambar 4.4 di atas merupakan gambar salah satu hasil analisa spektrum
yang menunjukkan kedalaman regional dan kedalaman residual berdasarkan nilai
gradien dari kedua garis regresi linear. Kedalaman regional pada daerah diatas
mencapai 20.680 m, dan kedalaman residualnya sekitar 6.203 m. Untuk hasil
analisa spektrum selengkapnya akan dibahas di Bab selanjutnya, yaitu Bab Hasil
dan Pembahasan.

4.4 Pemisahan Anomali Regional dan Residual (Filtering)

Proses pemisahan anomali regional dan residual pada penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode polinomial, dimana yang digunakan adalah
polinomial orde 1, 2, dan 3 di setiap daerah penelitian. Hal ini dilakukan  untuk
dapat melihat kemenerusan patahan di bawah permukaan.

Adapun proses filtering menggunakan metode polinomial dilakukan


dengan perhitungan matematis polinomial yang dilakukan dengan menggunakan
software MATLAB 7.1. Persamaan polinomial setiap orde adalah:

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
46
 

 
Orde 1:
 
gi = C1 + C2 xi + C3 yi (4.3)

 
Orde 2:
 
gi = C1 + C2 xi + C3 yi + C4 xi yi + C5 xi + C6 yi 2
2
(4.4)
 

Orde 3:  

gi = C1 + C2 xi + C3 yi + C4 xi yi + C5 xi 2 + C6 yi 2 + C7 xi 2 yi + C8 xi yi 2 + C9 xi 3 + C10 yi 3 (4.5)

Dimana untuk mencari konstanta C, persamaan diatas ditulis dalam bentuk


matriks dan diselesaikan dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya
pada Sub Bab 2.5 (Pemisahan Anomali Regional-Residual), dengan memasukkan
nilai anomali Bouguer g serta koordinat x dan y. Karena anomali Bouguer
merupakan gabungan dari anomali regional dan residual, maka data input pada
proses filtering ini adalah data anomali Bouguer.

Dari persamaan tersebut terlihat bahwa jumlah stasiun (i) lebih besar
daripada konstanta polinomial. Kondisi seperti ini dikenal sebagai over
determined dimana untuk menyelesaikan persamaan seperti ini digunakan metode
least square/regresi linear untuk meminimalkan jumlah kuadrat dari error.

Konstanta C didapatkan dengan menuliskan perintah MATLAB:

C = inv(GT + G)* GT * d (4.6)

 
Setelah mendapatkan nilai konstanta, maka nilai anomali regional didapatkan
melalui persamaan polinomial awal setiap orde, yang ditunjukkan pada persamaan
(4.3), (4.4), dan (4.5). Dan kemudian anomali residual didapatkan dengan
mengurangkan anomali Bouguer terhadap anomali regional.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
47
 

 
Tabel 4.1 Konstanta polinomial orde 1, 2, dan 3 di setiap daerah
 
Polinomial Konstanta Sulawesi Lengan Gorontalo
Selatan Timur
  Sulawesi
Orde 1 C1 1,825 x  103 -2,669 x 103 -1,798 x 104
C2 -1,561 x 10-5 1,659 x 10-6 3,798 x 10-4
C3 -1,869 x  10-4 2,715 x 10-4 1,800 x 10-3
Orde 2 C1 -6,511 x  104 3,265 x 106 1,271 x 106
C2 4,000 x 10-2 1,507 x 10-1 -4,350 x 10-2
C3 1,320 x 10-2 -6,678 x 10-1 -2,522 x 10-1
C4 2,456 x 10-8 2,855 x 10-10 9,752 x 10-9
C5 -6,629 x 10-10 3,413 x 10-8 1,253 x 10-8
C6 -5,052 x 10-9 -1,525 x 10-8 3,430 x 10-9
Orde 3 C1 -1,528 x 108 -4,906 x 106 -2,807 x 106
C2 1,865 x 101 2,146 x 101 6,038 x 100
C3 4,783 x 101 9,222 x 10-1 5,939 x 10-1
C4 8,982 x 10-7 -2,383 x 10-6 2,713 x 10-6
C5 -3,940 x 10-6 -4,093 x 10-6 -1,456 x 10-6
C6 -4,988 x 10-6 -4,232 x 10-8 -2,910 x 10-8
C7 4,476 x 10-13 -9,719 x 10-14 -1,514 x 10-13
C8 -1,150 x 10-13 2,548 x 10-13 -2,470 x 10-13
C9 2,085 x 10-13 1,938 x 10-13 8,396 x 10-14
C10 1,734 x 10-13 -6,681 x 10-17 -2,010 x 10-16

4.5 Analisa Derivative

Analisa derivative untuk menentukan batas dan mengetahui jenis patahan


dilakukan dengan cara menghitung first horizontal derivative (FHD) dan   second
vertical derivative (SVD) dari lintasan pada anomali Bouguer, yang kemudian
dibuat penampangnya. Perhitungan FHD dihitung dengan menggunakan
persamaan:

g (i ) − g (i − 1)
FHD = (4.7)
∆x

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
48
 

 
dimana g merupakan nilai anomali Bouguer (mgal) dan ∆x selisih jarak lintasan
(m). Berikut adalah salah satu proses  perhitungan FHD yang dibuat di program
Excel.
 
Tabel 4.2 Salah satu contoh hasil perhitungan FHD
 
Jarak (m) Bouguer (mgal) FHD (mgal)
 
0 46.94279 0
6557.213128  
60.82999 0.002118
17476.15216 66.69765 0.000537
28395.09119 23.37211 -0.00397
31652.21632 14.52945 -0.00271
39314.03023 -4.22535 -0.00245
50232.96926 -10.2217 -0.00055
61151.90829 -7.77477 0.000224
64009.7745 -0.01671 0.002715
72070.84733 27.68906 0.003437
82989.78636 64.86018 0.003404

Dari penampang FHD terhadap jarak, dapat diketahui batas struktur


arakteristik tajam berupa nilai maksimum atau minimum
patahan berdasarkan kkarakteristik
pada kontak benda anomali.

0.005
0.004
0.003
FHD (mgal/m)

0.002
0.001
0
-0.001 0 20000 40000 60000 80000 100000
 
-0.002
-0.003
-0.004
-0.005

Gambar 4.5 Salah satu tampilan kurva penampang FHD

Peta kontur SVD dibuat berdasarkan prinsip dasar dan teknik perhitungan
yang telah dijelaskan oleh Henderson & Zietz (1949), Elkins (1951), dan
Rosenbach (1953). Namun dalam penelitian kali ini, hanya menggunakan salah

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
49
 

 
tersebut.. Menurut penelitian yang telah dilakukan
satu dari ketiga perhitungan tersebut
oleh Harhale (2007), filter Rosenbach  adalah filter yang memiliki resolusi paling
lainnya. Kemudian penampang SVD didapatkan
baik diantara filter turunan kedua lainnya.
dari lintasan pada peta kontur SVD,  dimana lintasan yang diambil merupakan
lintasan yang sama dengan lintasan pada
  peta anomali Bouguer.

 
60
50
 
Rosenbach (mgal/m2)

40
30
20
10
0
-10 0 20000 40000 60000 80000 100000
-20
-30
-40
-50

Gambar 4.6 Salah satu tampilan kurva penampang SVD

Bidang kontak patahan pada penampang FHD yang berada pada nilai
minimum atau maksimum berasosiasi dengan nilai nol pada penampang SVD,
sehingga dapat diketahui batas-batas terjadinya perubahan nilai anomali.
Diharapkan pada interpretasinya dapat memudahkan dan mengurangi ambiguitas
hasil interpretasi. Untuk mengidentifikasikan patahan pada suatu penampang
Untuk
anomali SVD, didasarkan pada kriteria nilai absolut anomali SVD minimum yang
relatif lebih kecil daripada nilai anomali SVD maksimum untuk patahan normal,
dan nilai absolut anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai
anomali SVD maksimum untuk patahan naik. Seperti yang terlihat pada Gambar
 
4.7 dibawah ini yang teridentifikasi sebagai patahan normal.

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
50
 

Gambar 4.7 Tampilan penampang FHD dan SVD untuk menentukan batas dan tipe patahan

Universitas Indonesia
Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012
 

 
BAB V
 
ANALISA DAN PEMBAHASAN
 

5.1 Sulawesi Selatan  

5.1.1 Anomali Bouguer

Peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan pada Gambar 5.1 di
bawah menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -20 mgal hinggal 120 mgal.
Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna hijau dan kuning
menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut lebih
tinggi dari daerah sekitarnya,
sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan dengan
kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan
daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.

Gambar 5.1 Peta kontur anomali Bouguer Sulawesi Selatan

51

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  52

 
Nilai anomali positif berada pada bagian tengah daerah Sulawesi Selatan yang
memanjang ke arah selatan, sedangkan an
  omali negatif berada di bagian barat, timur,
dan selatan peta kontur. Dugaan awal keberadaan patahan di Sulawesi Selatan ini ada
 
pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana arah bidang patahan
(strike) adalah barat laut-selatan.  

5.1.2 Analisa Spektrum

Proses analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalam anomali


regional dan residual yang didapatkan dari kandungan frekuensinya. Untuk itu, maka
dibuat lintasan yang melintang pada peta anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan.
Adapun arah lintasan dibuat berdasarkan arah yang
yang tegak lurus dengan strike patahan
yang telah diindikasikan sebelumnya.

Gambar 5.2 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  53

 
Lintasan AA’
 

Lintasan BB’

Lintasan CC’

Gambar 5.3 Hasil analisa spektrum lintasan AA’. BB’, dan CC’

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  54

 
Dari analisa spektrum daerah Sulawesi Selatan (Gambar 5.3), estimasi
kedalaman regional pada lintasan AA’  adalah 20.680 m dan kedalaman residualnya
sekitar 6.203 m. Untuk lintasan BB’, kedalaman regional adalah 16.420 m dan
 
residual 9.621 m. Sedangkan untuk lintasan CC’, kedalaman regional adalah 21.919
 
m dan residual 5.546 m. Sehingga estimasi kedalaman regional daerah Sulawesi
Selatan yang didapatkan dari rerata ketiga
  lintasan tersebut adalah sekitar 20 km, dan
residualnya adalah sekitar 7 km.

5.1.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual

Proses pemisahan anomali regional dan residual dilakukan untuk dapat


memisahkan sumber anomali dalam dan dangkal, dimana dalam penelitian ini proses
pemisahan dilakukan dengan menggunakan metode polinomial. Anomali regional
dapat diidentifikasi adanya sumber penyebab anomali yang memiliki kedalaman yang
dalam, sedangkan anomali residual berasosiasi dengan sumber penyebab anomali
yang memiliki kedalaman yang relatif lebih dangkal.

Perhitungan pemisahan anomali regional dan residual dengan metode


polinomial dalam penelitian ini dilakukan pada orde 1, 2, dan 3, dimana semakin
besar orde berasosiasi dengan pemisahan anomali yang semakin dangkal.
Penggunaan orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk dapat melihat kemenerusan patahan di
bawah permukaan. Berikut adalah gambar pemisahan anomali regional dan residual
di daerah Sulawesi Selatan di setiap ordenya.
 

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  55

(a)
 

(b)

(c)

Gambar 5.4 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2, dan
(c) orde 3 Sulawesi Selatan

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  56

 
Gambar 5.5 di bawah merupakan kontur residual orde 1, 2, dan 3 yang
menunjukkan bahwa adanya keberadaan  patahan yang menerus dari bawah hingga ke
atas dengan strike yang sama, yaitu arah barat laut-selatan. Dan terlihat pula anomali
 
positif (kontur berwarna hijau) yang semakin ke atas semakin mengecil, hal ini
  semakin kepermukaan semakin mengecil,
dimungkinkan sebagai body patahan yang
dan menyerupai bentuk trapesium (seperti
  yang ditunjukkan oleh garis putus
berwarna merah).

Orde 3

Orde 2

Orde 1

Gambar 5.5 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Sulawesi Selatan

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  57

 
5.1.4 Analisa Derivative

 
FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari
satu titik ke titik lainnya secara horizontal
  dengan jarak tertentu, yang dapat
digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali
 
gayaberat. Sedangkan SVD dilakukan untuk memunculkan efek dangkal dari
 
pengaruh regionalnya yang digunakan untuk mendeteksi jenis struktur patahan
normal atau patahan naik. Peta anomali SVD yang digunakan dalam penelitian ini
adalah SVD dengan filter Rosenbach, yang ditunjukkan pada Gambar 5.6 dibawah.

Gambar 5.6 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Sulawesi Selatan

Dan untuk mengidentifikasikan patahan, maka dilakukan analisa penampang


FHD dan SVD dari berbagai lintasan di Sulawesi Selatan, yang dapat dilihat pada
 
Gambar 5.7 di bawah ini. Penampang atas, tengah, dan bawah berturut-turut adalah
penampang anomali Bouguer, FHD, dan SVD. Bidang kontak patahan berada pada
penampang FHD dengan nilai minimum atau maksimum dan berada pada nilai nol
pada penampang SVD, sehingga dapat diketahui batas-batas terjadinya perubahan
nilai anomali.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  58

Gambar 5.7 Analisa derivative pada lintasan di Sulawesi Selatan

Dari ketiga penampang diatas, terlihat pada analisa penampang SVD (paling
bawah) menunjukkan nilai absolut anomali SVD minimum yang relatif lebih kecil
daripada nilai anomali SVD maksimum. Hal ini diinterpretasikan bahwa pada daerah
at patahan yang diidentifikasi sebagai patahan normal.
terdapat
Sulawesi Selatan terdap

5.1.5 Pemodelan 2D

Pemodelan 2D gravitasi pada daerah penelitian ini dilakukan dengan bantuan


analisa spektrum, analisa derivative, yang juga didukung dengan data geologi.
Adapun pemodelan 2D ini dilakukan di lintasan pada peta anomali residual orde 1.

Data geologi untuk daerah Sulawesi Selatan juga menunjukkan hasil yang
 
sama dengan analisa derivative, yaitu adanya patahan normal. Patahan normal
Walanae merupakan patahan utama yang memisahkan bagian barat dan timur
Sulawesi Selatan. Bagian turun dari sesar normal ini berada di sebelah timur.

Sehingga pemodelan 2D untuk daerah ini menjadi

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  59

 
B B’
 

Gambar 5.8 Pemodelan 2D daerah Sulawesi Selatan

Pemodelan 2D yang melalui lintasan BB’ daerah Sulawesi Selatan seperti


yang terlihat pada Gambar 5.8 diatas dilakukan pada peta residual. Dimana
kedalaman anomali residual yang didapat dengan analisa spektrum lintasan BB’
mencapai 9,6 km.

Akibat pembentukan sesar normal di wilayah ini, blok bagian timur


mengalami penurunan dan terisi oleh sedimen-sedimen. Berdasarkan data stratigrafi,
terdapat 8 formasi yang terdapat pada Sulawesi Selatan. Batuan paling bawah
 
merupakan basement (2,9 gr/cc) yang terdiri dari metamorf dan ultrabasa. Dan
formasi diatasnya adalah Formasi Balangbaru dan Marada yang berada dalam kondisi
litologi yang sama dan umur yang sama (Zaman Kapur Akhir), dimana kedua formasi
ini terdiri dari sedimen tipe flysch, dan ditemukannya konglomerat, basal, serta
andesit dibeberapa tempat yang membuat densitas lapisan ini relatif besar, 2,76 gr/cc.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  60

 
Formasi diatasnya, yaitu Formasi Langi, dengan densitas 2,60 gr/cc terdiri
dari lava dan endapan piroklastik andesit
  dengan sisipan limestone dan shale. Diatas
Formasi Langi terdapat Formasi Tonasa yang terdiri dari limestone , dengan densitas
 
2,54 gr/cc. Kemudian terdapat Formasi Camba diatas Formasi Tonasa, dimana
  yang berselingan dengan batuan vulkanik,
Formasi ini terdiri dari batuan sedimen laut
dan memiliki densitas 2,43 gr/cc.  

Dan sedimen pengisi yang berada pada batuan teratas adalah Formasi Tacipi
dan Formasi Walanae, dimana formasi-formasi ini merupakan perselingan sandstone,
conglomerate, dan sisipan limestone, sehingga rata-rata densitas formasi ini adalah
2,35 gr/cc.

Informasi yang juga didapatkan dari pemodelan diatas adalah informasi


mengenai dip, yaitu sudut patahan terhadap permukaan. Besar dip pada patahan
daerah Sulawesi Selatan adalah sebesar 18°.

5.1.6 Analisa Patahan

Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.9 di bawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.
 

Seperti yang telah diketahui dari analisa derivative dan dibuktikan dengan
pemodelan 2D, pada daerah Sulawesi Selatan diidentifikasi adanya struktur patahan
normal dengan arah barat laut-selatan, dengan bagian patahan yang turun adalah
bagian timur dari Sulawesi Selatan. Dan dapat diperkirakan pula strike dari patahan
normal ini sebesar N 14° W.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  61

Gambar 5.9 Rekonstruksi patahan daerah Sulawesi Selatan

5.2 Lengan Timur Sulawesi

5.2.1 Anomali Bouguer

Peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur Sulawesi pada Gambar
5.10 di bawah menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -50 mgal hinggal 80
mgal. Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna hijau
menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut lebih
tinggi dari daerah sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan dengan
kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan
 
daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.

Nilai anomali positif berada pada bagian tengah daerah lengan Timur
Sulawesi yang memanjang ke arah timur, sedangkan anomali negatif berada di bagian
utara dan barat daya peta kontur. Dugaan awal keberadaan patahan di lengan Timur
Sulawesi ini ada pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana arah
bidang patahan (strike) adalah barat daya-timur.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  62

Gambar 5.10 Peta kontur anomali Bouguer lengan Timur Sulawesi

5.2.2 Analisa Spektrum

Proses analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalam anomali


regional dan residual yang didapatkan dari kandungan frekuensinya. Untuk itu, maka
dibuat lintasan yang melintang pada peta anomali Bouguer daerah lengan Timur
Sulawesi. Adapun arah lintasan
lintasan dibuat berdasarkan arah yang tegak lurus dengan
strike patahan yang telah diindikasikan sebelumnya.
 

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  63

Gambar 5.11 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur Sulawesi

Lintasan PP’

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  64

 
Lintasan RR’
 

Gambar 5.12 Hasil analisa spektrum Lintasan PP’ dan RR’

Dari analisa spektrum daerah lengan Timur Sulawesi (Gambar 5.12), estimasi
kedalaman regional pada lintasan PP’ dan RR’ adalah 23.258 m dan 17.308 m, dan
kedalaman residualnya 2.362 m dan 3.832 m. Sehingga rata-rata kedalaman regional
daerah lengan Timur Sulawesi adalah sekitar 20 km, dan residualnya adalah sekitar 3
km.

5.2.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual

Proses pemisahan anomali regional dan residual dilakukan untuk dapat


memisahkan sumber anomali dalam dan dangkal, dimana dalam penelitian ini proses
pemisahan dilakukan dengan menggunakan metode polinomial. Anomali regional
dapat diidentifikasi adanya sumber penyebab anomali yang memiliki kedalaman yang
dalam, sedangkan anomali residual berasosiasi dengan sumber penyebab anomali
 
yang memiliki kedalaman yang relatif lebih dangkal.

Perhitungan pemisahan anomali regional dan residual dengan metode


polinomial dalam penelitian ini dilakukan pada orde 1, 2, dan 3, dimana semakin
besar orde berasosiasi dengan pemisahan anomali yang semakin dangkal.
Penggunaan orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk dapat melihat kemenerusan patahan di

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  65

 
bawah permukaan. Berikut adalah gambar pemisahan anomali regional dan residual
di daerah lengan Timur Sulawesi di setiap
  ordenya.

 
(a)
 

(b)

(c)

Gambar 5.13 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2,
dan (c) orde 3 lengan Timur Sulawesi

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  66

 
Gambar 5.14 di bawah merupakan kontur residual orde 1, 2, dan 3 yang
dibawah
menunjukkan bahwa adanya keberadaan  patahan yang menerus dari bawah hingga ke
atas dengan strike yang sama, yaitu arah barat daya-timur. Walaupun patahan pada
 
lebihh besar dan terlihat jelas, namun masih
anomali residual orde 1 (paling bawah) lebi
  residual orde 3 (paling atas) yang terlihat
terindikasi struktur patahan pada anomali
dari adanya anomali positif dan negatif.  

Orde 3

Orde 2

Orde 1

 
Gambar 5.14 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 lengan Timur Sulawesi

5.2.4 Analisa Derivative

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari


satu titik ke titik lainnya secara horizontal dengan jarak tertentu, yang dapat

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  67

 
digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali
gayaberat. Sedangkan SVD dilakukan
  untuk memunculkan efek dangkal dari
pengaruh regionalnya yang digunakan untuk mendeteksi jenis struktur patahan
 
normal atau patahan naik. Peta anomali SVD yang digunakan dalam penelitian ini
  ditunjukkan pada Gambar 5.15 dibawah.
adalah SVD dengan filter Rosenbach, yang
 

Gambar 5.15 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah lengan Timur Sulawesi

Dan untuk mengidentifikasikan patahan, maka dilakukan analisa penampang


FHD dan SVD dari berbagai lintasan di Sulawesi Selatan, yang dapat dilihat pada
Gambar di bawah ini. Penampang atas, tengah, dan bawah berturut-turut adalah
penampang anomali Bouguer, FHD, dan SVD. Bidang kontak patahan berada pada
penampang FHD dengan nilai minimum atau maksimum dan berada pada nilai nol
pada penampang SVD, sehingga dapat diketahui batas-batas terjadinya perubahan
nilai anomali.  

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  68

Gambar 5.16 Analisa derivative pada lintasan di lengan Timur Sulawesi

Dan seperti yang terlihat pada analisa kurva SVD Gambar 5.16, nilai absolut
anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai anomali SVD
maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah lengan Timur Sulawesi terdapat
patahan besar yang diidentifikasi sebagai patahan naik.

5.2.5 Pemodelan 2D

Pemodelan 2D gravitasi pada daerah penelitian ini dilakukan dengan bantuan


analisa spektrum, analisa derivative, yang juga didukung dengan data geologi.
Adapun pemodelan 2D ini dilakukan di lintasan pada peta anomali residual orde 1.
Data geologi untuk daerah lengan Timur Sulawesi juga menunjukkan hasil yang sama
dengan analisa derivative, yaitu adanya patahan naik Batui.
 

Sehingga pemodelan 2D untuk daerah ini menjadi

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  69

 
R R’

Gambar 5.17 Pemodelan 2D daerah lengan Timur Sulawesi

Lintasan RR’ dari pemodelan diatas memiliki kedalaman model 4 km yang


sesuai dengan kedalaman residual hasil analisa spektrum. Terdapat basement dan 6
formasi yang ada pada daerah ini. Lapisan paling bawah adalah basement yang
merupakan batuan ophiolite dengan densitas 2,9 gr/cc. Lapisan diatasnya merupakan
Formasi Tokala yang merupakan formasi batuan tertua pada masa Trias, dimana pada
  yaitu
usia yang sama terdapat fasies batuan lain yang diendapkan di laut dangkal,
Formasi Bunta. Formasi Tokala terdiri dari limestone dan napal yang diendapkan di
laut dalam, sedangkan formasi Bunta terdiri dari sedimen klastik, kedua formasi
tersebut memiliki rata-rata densitas 2,79 gr/cc.

Formasi Tokala dan Bunta yang tidak selaras ini ditindih oleh Formasi
Nanaka yang terdiri dari butiran kasar sedimen klastik seperti batuan konglomerat
dan batupasir. Formasi yang ada pada pertengahan masa Jurassic ini memiliki

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  70

 
densitas 2,74 gr/cc. Selaras dengan itu, Formasi Nanaka bertemu dengan Formasi
Nambo dan formasi Tetambahu di pertengahan
  masa Jurassic, dimana formasi-
formasi ini terdiri dari sedimen klastik napal berpasir yang memiliki densitas 2.68
 
gr/cc. Formasi diatasnya merupakan Formasi Matano yang terdiri dari sandstone
  memiliki densitas 2.63 gr/cc.
dengan sisipan rijang, napal, dan silt, yang
 
Informasi yang juga didapatkan dari pemodelan di atas adalah informasi
mengenai dip, yaitu sudut patahan terhadap permukaan. Besar dip pada patahan
daerah lengan Timur Sulawesi adalah sebesar 10°.

5.2.6 Analisa Patahan

Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.18 dibawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.

Seperti yang telah diketahui dari analisa derivative dan dibuktikan dengan
pemodelan 2D, pada daerah lengan Timur Sulawesi diidentifikasi adanya struktur
patahan naik dengan arah barat daya-timur, dengan bagian patahan yang turun adalah
bagian utara dari lengan Timur Sulawesi. Dan dapat diperkirakan pula arah strike dari
patahan naik ini sebesar N 74° E  

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  71

Gambar 5.18 Rekonstruksi patahan daerah lengan Timur Sulawesi

5.3 Gorontalo

5.3.1 Anomali Bouguer

Peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo pada Gambar 5.19 dibawah
menunjukkan bahwa nilai anomali berkisar antara -20 mgal hinggal 170 mgal.
Dimana anomali positif yang ditunjukkan dengan kontur berwarna merah, kuning,
dan hijau menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah permukaan daerah tersebut
lebih tinggi dari daerah sekitarnya, sedangkan anomali negatif yang ditunjukkan
dengan kontur berwarna biru menunjukkan bahwa distribusi densitas bawah
permukaan daerah tersebut lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya.  

Nilai anomali positif berada pada bagian tengah selatan daerah Gorontalo,
sedangkan anomali negatif berada di sekelilingnya. Dugaan awal keberadaan patahan
di Gorontalo ini ada pada kontur rapat diantara anomali positif dan negatif, dimana
arah bidang patahan (strike) adalah barat-timur.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  72

Gambar 5.19 Peta kontur anomali Bouguer Gorontalo

5.3.2 Analisa Spektrum

Proses analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalam anomali


regional dan residual yang didapatkan dari kandungan frekuensinya. Untuk itu, maka
dibuat lintasan yang melintang pada peta anomali Bouguer daerah Gorontalo. Adapun
arah lintasan dibuat berdasarkan arah yang tegak lurus dengan strike patahan yang
telah diindikasikan sebelumnya.
 

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  73

Gambar 5.20 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo

Lintasan XX’

Gambar 5.21 Hasil analisa spektrum Lintasan XX’

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  74

 
Analisa spektrum yang dilakukan pada daerah Gorontalo (Gambar 5.21)
menunjukkan bahwa estimasi kedalaman  regional pada lintasan XX’ adalah 12.907 m
dan kedalaman residualnya sekitar 4.966 m.
 
Hasil analisa spektrum yang dilakukan
 
pada beberapa penampang di Pulau
Sulawesi (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.33, 5.12, dan 5.21) menunjukkan
 
bahwa kedalaman rata-rata anomali residual Pulau Sulawesi mencapai 5 km, yang
diinterpretasikan sebagai kedalaman batuan sedimen Tersier. Sedangkan kedalaman
regionalnya mencapai 17 km, dan diinterpretasikan sebagai kedalaman
ketidakselarasan (diskontinuitas) Moho.

Adapun ketidakselarasan Moho merupakan batas antara kerak dan mantel


bumi. Ketidakselarasan Moho ini secara umum terdapat di bawah kerak benua yang
rata-rata mempunyai ketebalan 35 km. Di daerah yang mempunyai aktifitas tektonik
sangat aktif, ketidakselarasan Moho bisa hanya 20 km, sementara bisa mencapai
80 km di daerah jalur pegunungan lipatan muda (Widianto, 2008).

Gambar 5.22 Ketidakselarasan Mohorovicic yang ditunjukkan pada garis merah (King, 2005)

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  75

 
5.3.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual

 
Proses pemisahan anomali regional dan residual dilakukan untuk dapat
memisahkan sumber anomali dalam dan  dangkal, dimana dalam penelitian ini proses
pemisahan dilakukan dengan menggunakan metode polinomial. Anomali regional
 
dapat diidentifikasi adanya sumber penyebab anomali yang memiliki kedalaman yang
 
dalam, sedangkan anomali residual berasosiasi dengan sumber penyebab anomali
yang memiliki kedalaman yang relatif lebih dangkal.

Perhitungan pemisahan anomali regional dan residual dengan metode


polinomial dalam penelitian ini dilakukan pada orde 1, 2, dan 3, dimana semakin
besar orde berasosiasi dengan pemisahan anomali yang semakin dangkal.
Penggunaan orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk dapat melihat kemenerusan patahan di
bawah permukaan. Pemisahan anomali regional dan residual di daerah Gorontalo di
setiap ordenya dapat dilihat dalam Gambar 2.23.

Patahan yang menerus hingga ke atas juga terjadi pada wilayah Gorontalo,
dimana struktur patahan yang terlihat pada anomali residual dengan polinomial orde
1, 2, dan 3 terlihat jelas berarah utama barat-timur (Gambar 2.24). Dan pada anomali
residual di orde 1, terdapat anomali negatif yang bernilai besar (berwarna ungu) dan
tidak terdapat pada anomali residual orde 2 dan 3. Hal ini dimungkinkan distribusi
densitas rendah di lapisan bawah lebih besar daripada di lapisan atas.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  76

 
(a)
 

(b)

(c)

Gambar 5.23 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2,
dan (c) orde 3 Gorontalo

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  77

Orde 3
 

 
Orde 2

Orde 1

Gambar 5.24 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Gorontalo

5.3.4 Analisa Derivative

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari


satu titik ke titik lainnya secara horizontal dengan jarak tertentu, yang dapat
 
digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali
gayaberat. Sedangkan SVD dilakukan untuk memunculkan efek dangkal dari
pengaruh regionalnya yang digunakan untuk mendeteksi jenis struktur patahan
normal atau patahan naik. Peta anomali SVD yang digunakan dalam penelitian ini
adalah SVD dengan filter Rosenbach, yang ditunjukkan pada Gambar 5.25 dibawah.
ditunjukkan

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  78

Gambar 5.25 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Gorontalo

Dan untuk mengidentifikasikan patahan, maka dilakukan analisa penampang


FHD dan SVD dari berbagai lintasan di Sulawesi Selatan, yang dapat dilihat pada
gambar dibawah ini. Penampang atas, tengah, dan bawah berturut-turut adalah
penampang anomali Bouguer, FHD, dan SVD. Bidang kontak patahan berada pada
penampang FHD dengan nilai minimum atau maksimum dan berada pada nilai nol
pada penampang SVD, sehingga dapat diketahui batas-batas terjadinya perubahan
nilai anomali.

Gambar 5.26Analisa derivative pada lintasan di Gorontalo

Dan seperti yang terlihat pada analisa kurva SVD Gambar 5.26, nilai absolut
anomali SVD minimum yang relatif lebih besar daripada nilai anomali SVD

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  79

 
maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah Gorontalo terdapat patahan
besar yang diidentifikasi sebagai patahan  naik.

5.2.5 Pemodelan 2D  

 
Pemodelan 2D gravitasi pada daerah penelitian ini dilakukan dengan bantuan
analisa spektrum, analisa derivative, yang juga didukung dengan data geologi.
Adapun pemodelan 2D ini dilakukan di lintasan pada peta anomali residual orde 1.
Data geologi daerah Gorontalo menunjukkan bahwa adanya patahan geser di daerah
ini, namun metode gayaberat tidak dapat mendeteksi patahan geser dari anomalinya.
Akan tetapi hasil analisa derivative menunjukkan bahwa di daerah Gorontalo terdapat
patahan naik. Sehingga pemodelan 2D untuk daerah ini menjadi

X’ X

Gambar 5.27 Pemodelan 2D daerah Gorontalo

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  80

 
Kedalaman residual pemodelan 2D daerah Gorontalo pada Gambar 5.27
diatas adalah sebesar 5 km yang dihitung
  melalui analisa spektrum. Berdasarkan
urutan stratigrafi darah Gorontalo, lapisan basement adalah batuan gabro dengan
 
densitas sekitar 3 gr/cc. Lapisan diatasnya merupakan batuan piroklastik, yaitu lava
 
basalt dengan densitas 2,91 gr/cc dan lava andesit dengan densitas 2,76 gr/cc. Dan
diatas batuan piroklastik tersusun dari  batuan sedimen berupa limestone dengan
densitas 2,57 gr/cc dan sandstone dengan densitas 2,41 gr/cc.

Informasi yang juga didapatkan dari pemodelan diatas adalah informasi


mengenai dip, yaitu sudut patahan terhadap permukaan. Besar dip pada patahan
daerah lengan Timur Sulawesi adalah sebesar 12°.

5.3.6 Analisa Patahan

Dari analisa derivative yang telah dilakukan, maka dapat dibuat rekonstruksi
patahan. Rekonstruksi patahan ini dibuat pada peta kontur SVD Rosenbach, dimana
bidang kontak patahan pada FHD yang berada pada nilai minimum atau maksimum,
dan berada pada nilai nol pada kontur SVD. Hasil rekonstruksi patahan pada Gambar
5.28 di bawah merupakan hasil interpretasi batas kontak antara bidang yang
tersesarkan yang diidentifikasi dari nilai anomali SVD yang memiliki nilai nol.

Gambar 5.28 Rekonstruksi patahan daerah Gorontalo

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  81

 
Hasil analisa derivative metode gayaberat menunjukkan bahwa di daerah
Gorontalo terdapat patahan yang teridentifikasi
  sebagai patahan naik, dengan arah
barat-timur. Dan dapat diperkirakan arah strike dari patahan naik ini sebesar N 12° E
 
Namun menurut peta geologi, patahan besar yang terdapat di daerah
 
Gorontalo adalah patahan geser. Hal ini dapat terjadi karena anomali gayaberat
 
kurang efektif dalam mengidentifikasi patahan geser, dimana kontras anomali
gravitasi tidak terlihat pada struktur patahan geser.

Universitas Indonesia

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
BAB VI

KESIMPULAN
  DAN SARAN

 
6.1 Kesimpulan
•  
Analisa derivative pada metode gayaberat sangat efektif dalam
mengidentifikasi struktur patahan, yang terlihat dari adanya korelasi yang
baik dengan sistem patahan dalam peta geologi. Dimana First Horizontal
Derivative (FHD) berperan untuk menentukan batas struktur patahan, dan
Second Vertical Derivative (SVD) berperan dalam mengidentifikasi jenis
patahan, naik atau turun.
• Daerah Sulawesi Selatan diidentifikasi adanya struktur patahan normal
dengan arah Barat Laut-Selatan, dan bagian patahan yang turun adalah
bagian Timur. Patahan ini diperkirakan memiliki dip 18° dan strike
N14°W.
• Daerah lengan Timur Sulawesi diidentifikasi adanya struktur patahan naik
dengan arah Barat Daya-Timur, dan bagian patahan yang naik adalah
bagian Utara. Patahan ini diperkirakan memiliki dip 10° dan strike N74°E.
• Daerah Gorontalo diidentifikasi adanya struktur patahan naik dengan arah
Barat-Timur, dan bagian patahan yang naik adalah bagian Utara. Patahan
ini diperkirakan memiliki dip 12° dan strike N12°E.
• Patahan geser yang berada di daerah Gorontalo pada peta geologi tidak
dapat teridentifikasi oleh analisa derivative metode gayaberat.
 

6.2 Saran
• Untuk dapat melihat struktur patahan kecil, perlu dilakukannya
pengukuran dalam grid yang lebih rapat.
• Perlu dilakukannya penentuan struktur patahan dengan menggunakan
analisa derivative pada semua bagian di Pulau Sulawesi untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.

82

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
DAFTAR ACUAN
 

Abdelrahman, E. M., Riad, S., Refai, E. and Amin, Y., 1985, On the least-squares
 
residual anomaly determination, Geophysics, 50, 473-480.
 
Badan Geologi, 2010, Peta Cekungan Sedimen Indonesia, Bandung: Pusat Survei
Geologi.  

  in Gravity and Magnetic Application,


Blakely, R.J., 1996, Potential Theory
Cambridge: Cambridge Universitasy Press.

Elkins, T.A., 1951, The Second Derivative Method of Gravity Interpretation,


Geophysics, v.23, 97-127.

Grandis, Hendra, 2009, Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, Jakarta:


Himpunan Ahli Geofisika Indonesia.

Harhale, Erlangga, 2007, Aplikasi Turunan Pertama dan Kedua Vertikal pada
Analisis Data Gravitasi dan Geomagnet, Skripsi S1 Fisika FMIPA UI.

Henderson, R.G. and Zietz, I., 1949, The Computation of Second Vertical
Derivative of Geomagnetic Fields, Geophysics, v. 14, hal. 508 – 516.

Kadir, W.G., 1991, Aplikasi Pemodelan dalam Pengolahan Data Gayaberat,


Bandung: HAGI HMGF ITB.

Kadir, W.G., 2000, Eksplorasi Gayaberat dan Magnetik, Bandung: Departemen


Teknik Geofisika, ITB.

Kaharuddin, M.S., Ronald Hutagalung, dan Nurhamdan, 2011, Perkembangan


Tektonik dan Implikasinya terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan
Pulau Sulawesi, Proceedings JCM Makassar 2011, The 36th HAGI and 40th
IAGI Annual Convention and Exhibition.
 
Katili, J.A., 1973, Geologi Indonesia, Memoir 60 th J.A. Katili, Jakarta: IAGI.

King, Hobart, 2005, Mohorovičić Discontinuity - The Moho, [online],


(http://geology.com/articles/mohorovicic-discontinuity.shtml, diakses pada
tanggal 5 Mei 2012)

Leeuwen, Van, 1994, 25 Years of Mineral Exploration and Discovery in


Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, 50, h.13-90.

Longman, I.M., 1959, Formulas for Computing the Tidal Accelerations due to the
Moon and the Sun, Journal of Geophysical Research 64: 2351–2355.

83

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

 
Telford, W.M., L.P. Geldart, and R.E. Sheriff, 1990, Applied Geophysics Second
Edition, Cambridge: Cambridge University
  Press.

Reynolds, J.M., 1997, An Introduction to Applied and Environmental Geophysics,


Chichester: John Wiley and Sons.  

Rosenbach, Otto, 1953, A Contribution


  to The Computation of “Second
Derivative” from Gravity Data, Geophysics, v.18, hal. 894 – 912.
 
Rosid, Syamsu, 2005, Lecture Notes: Gravity Method in Exploration Geophysics,
 
Depok: Geofisika FMIPA UI.

Satyana, A.H., 2008, Petroleum Geology of Indonesia: Sulawesi, Bali: Himpunan


Ahli Geofisika Indonesia.

Simandjuntak, T.O., 1986, Sedimentology and Tectonics of the Collision Complex


in the East Arm of Sulawesi, Indonesia, Ph.D Thesis, University of London.

Sompotan, Armstrong F., 2012, Struktur Geologi Sulawesi, Bandung:


Perpustakaan Sains Kebumian ITB.

Supriyanto, 2007, Analisis Data Geofisika: Memahami Teori Inversi, Depok:


Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia.

Sukamto, Rab, 1982, Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian
Barat, Sulawesi, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Suyono dan Kusnama, 2010, Stratigraphy and Tectonics of the Sengkang Basin,
South Sulawesi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 5 No. 1 Maret 2010: 1-11.

Widianto, Eko, 2008, Penentuan Konfigurasi Struktur Batuan Dasar dan Jenis
Cekungan dengan Data Gayaberat serta Implikasinya pada Target Eksplorasi
Minyak dan Gas Bumi di Pulau Jawa, Disertasi Program Studi Teknik
Geofisika ITB.
 
Wilson, M.E.J., 1995, Evolution and Hydrocarbon Potential of The Tertiary
Tonasa Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia, Proc. Indonesian
Petroleum Association 25th, Silver Anniversary.

84

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  85

 
Lampiran 1. Tabel Densitas Batuan (Telford, 1990)

 
Rock type Range (gr/cc) Average (gr/cc)
 
Sediment (wet)
Overburden 1.92
Soil   1.20 - 2.40 1.92
Clay 1.63 - 2.60 2.21
Gravel 1.70 - 2.40 2.00
Sand 1.70 - 2.30 2.00
Sandstone 1.61 - 2.76 2.35
Shale 1.77 - 3.20 2.40
Limestone 1.93 - 2.90 2.55
Dolomite 2.28 - 2.90 2.70
Sedimentary rocks (average) 2.50
Igneous Rocks
Rhyolite 2.35 - 2.70 2.52
Andesite 2.40 - 2.80 2.61
Granite 2.50 - 2.81 2.64
Granodiorite 2.67 - 2.79 2.73
Porphyry 2.60 - 2.89 2.74
Quartz diorite 2.62 - 2.96 2.79
Diorite 2.72 - 2.99 2.85
Lavas 2.80 - 3.00 2.90
Diabase 2.50 - 3.20 2.91
Basalt 2.70 - 3.30 2.99
Gabbro 2.70 - 3.50 3.03
Peridotite 2.78 - 3.37 3.15
Acid igneous 2.30 - 3.11 2.61
Basic igneous 2.09 - 3.17 2.79
Metamorphic rocks
Quartize 2.50 - 2.70 2.60  
Schist 2.39 - 2.90 2.64
Graywacke 2.60 - 2.70 2.65
Marble 2.60 - 2.90 2.75
Serpentine 2.40 - 3.10 2.78
Slate 2.70 - 2.90 2.79
Gneiss 2.59 - 3.00 2.80
Amphibolite 2.90 - 3.04 2.96
Eclogite 3.20 - 3.54 3.37
Metamorphic 2.40 - 3.10 2.74

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  86

 
Lampiran 2. Penurunan Persamaan Rosenbach

Gambar 1 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)

Ekspansi suatu potensial (g) yang dinyatakan sebagai sebuah deret Taylor,
menggunakan grid dengan tiga lingkaran pada suatu pusat P.

Untuk lingkaran pertama dengan jari-jari r:

 ∂g  1  ∂2 g  1  ∂3 g  1  ∂4 g 
g (r , 0) = g p +   r +  2  r 2 +  3  r 3 +  4  r 4 (1)
 ∂x  p 2!  ∂x  p 3!  ∂x  p 4!  ∂x  p

 ∂g  1  ∂2 g  1  ∂3 g  1  ∂4 g   
g (0, r ) = g p +   r +  2  r 2 +  3  r 3 +  4  r 4 (2)
 ∂y  p 2!  ∂y  p 3!  ∂y  p 4!  ∂y  p

 ∂g  1  ∂2 g  1  ∂3 g  1  ∂4 g 
g (− r , 0) = g p +   (−r ) +  2  r 2 +  3  (−r 3 ) +  4  r 4 (3)
 ∂x  p 2!  ∂x  p 3!  ∂x  p 4!  ∂x  p

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  87

 
 ∂g  1  ∂ g  2 1  ∂3 g 
2
1  ∂4 g  4
g (0, −r ) = g p +   (− r ) +  2  r +  3  (−r ) +  4  r
3
(4)
 ∂y  p 2!  ∂y  p   3!  ∂y  p 4!  ∂y  p

Jika persamaan 1 hingga 4 dijumlahkan,  maka akan menghasilkan:


 
 ∂2 g ∂2 g  2  ∂4 g ∂4 g 
∑ g (r ) = 4 g p +  2 + 2  r 2 +    4 + 4  r 4 (5)
 ∂x ∂y  p 4!  ∂x ∂y  p

Untuk lingkaran kedua dengan jari-jari √2 adalah:

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  2
g (r , r ) = g p +   r +   r +  2  r 2 +  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p 2!  ∂y  p 2!  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+   r (6)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  2
g (− r , r ) = g p +   (−r ) +   r +  2  r 2 +  2  r 2 −   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p 2!  ∂y  p 2!  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+   r (7)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  2
g (−r , − r ) = g p +   (−r ) +   (−r ) +  2  r 2 +  2  r 2 +   r
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p 2!  ∂y  p 2!  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+ ... +   r   (8)
4!  ∂y 4  p

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  88

 
 ∂g   ∂g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  1  ∂2 g  2
g (r , − r ) = g p +   r +   ( −r ) +  2  r 2 +  2  r 2 −   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!
   ∂x  p
2!  ∂y  p
2!  ∂x∂y  p

1  ∂4 g  4
+   r   (9)
4!  ∂y 4  p
 

 
Jika persamaan 6 hingga 9 dijumlahkan, maka akan menghasilkan:

 ∂2 g ∂2 g  4  ∂4 g  4  ∂4 g ∂4 g 
( )
∑ g r 2 = 4g p + 2  2 + 2  r 2 +  2 2  r 4 +  4 + 4  r4
 ∂x ∂y  p 4!  ∂x ∂y  p 4!  ∂x ∂y  p
(10)

Untuk lingkaran ketiga dengan jari-jari √5 adalah:

 ∂g   ∂g   ∂2 g  1  ∂2 g   ∂2 g  2
g (2r , r ) = g p + 2   r +   r + 2  2  r 2 +  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p  ∂x  p 2!  ∂y  p  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+   r (11)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g   ∂2 g   ∂2 g  2
g ( r , 2r ) = g p +   r + 2   r +  2  r 2 + 2  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p  ∂y  p  ∂x∂y  p
16  ∂ 4 g  4
+   r (12)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g   ∂2 g   ∂2 g  2
g ( − r , 2r ) = g p +   ( − r ) + 2   r +  2  r 2 + 2  2  r 2 −     r + ...
 ∂x  p ∂
 p
y 2!  ∂x p  ∂y p  ∂x∂ y p
16  ∂ 4 g  4
+  4 r
4!  ∂y  p (13)

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  89

 
 ∂g   ∂g   ∂2 g  1  ∂2 g   ∂2 g  2
g (−2r , r ) = g p − 2   r +   r + 2  2  r 2 +  2  r 2 −   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p    ∂x  p
2!  ∂y  p  ∂x∂ y  p

1  ∂4 g  4
+   r   (14)
4!  ∂y 4  p
 
 ∂g   ∂g   ∂2 g  1  ∂2 g   ∂2 g  2
g (−2r , − r ) = g p − 2   r −   r +  2  2  r 2 +  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p  ∂x  p 2!  ∂y  p  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+  4 r (15)
4!  ∂y  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g   ∂2 g   ∂2 g  2
g (−r , −2r ) = g p −   r − 2   r +  2  r 2 + 2  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p  ∂y  p  ∂x∂y  p
16  ∂ 4 g  4
+   r (16)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g  1  ∂2 g   ∂2 g   ∂2 g  2
g (r , −2r ) = g p +   r − 2   r +  2  r 2 + 2  2  r 2 −   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p 2!  ∂x  p  ∂y  p  ∂x∂y  p
16  ∂ 4 g  4
+   r
(17)
4!  ∂y 4  p

 ∂g   ∂g   ∂2 g  1  ∂2 g   ∂2 g  2
g (2r , −r ) = g p + 2   r −   r + 2  2  r 2 +  2  r 2 +   r + ...
 ∂x  p  ∂y  p  ∂x  p 2!  ∂y  p  ∂x∂y  p
1  ∂4 g  4
+  4 r (18)
4!  ∂y  p

 
Jika persamaan 11 hingga 18 dijumlahkan, maka akan menghasilkan:

 ∂2 g ∂2 g  32  ∂ 4 g  68  ∂ 4 g ∂ 4 g 
( )
∑ g r 5 = 8 g p + 10  2 + 2  r 2 +  2 2  r 4 +  4 + 4  r 4
 ∂x ∂y  p 4!  ∂x ∂y  p 4!  ∂x ∂y  p
(19)

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  90

 
Pada persamaan 5, 10 dan 19 terdapat tiga variabel yang tidak diketahui yaitu:
 ∂2 g ∂2 g   ∂4 g   ∂ 4 g  ∂ 4 g 
 2 + 2  2 2 dan  4 + 4  . Jika pada 3 persamaan terdapat 3
 ∂x ∂y  p
,  ∂x ∂y  p
,  ∂x ∂y  p
 
variabel, maka nilai masing-masing variabel tersebut dapat dicari. Tetapi nilai
 
 ∂2 g ∂2 g 
variabel yang dibutuhkan dalam penelitian
  ini hanya variabel  2 + 2  yang
 ∂x ∂y  p

merupakan nilai dari turunan kedua vertikal pada suatu potensial.

 ∂2 g ∂2 g   ∂2 g 
− 2 + 2  = 2 
 ∂x ∂y  p  ∂z  p

 ∂2 g ∂2 g 
Dengan menggunakan Matlab, nilai variabel -  2 + 2  dapat dicari. Dimana
 ∂x ∂y  p

nilai gp, Σg(r), Σg( √2), Σg( √5) adalah nilai anomali total pada titik pusat, lingkaran
pertama, kedua dan ketiga. Sehingga didapatkan persamaan Rosenbach sebagai
berikut:

∂2 g
∂x 2
=
1
24r 2
( ( )
96 g p − 18 ∑ g ( r ) − 8 ∑ g r 2 + ∑ g r 5 ( )) (20)

Bila yang digunakan adalah anomali rata-rata, maka persamaan 20 menjadi:

∂2 g
∂x 2
=
1
24r 2
( ( )
96 g p − 72 ∑ g ( r ) − 32 ∑ g r 2 + 8 ∑ g r 5 ( )) (21)

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  91

 
Lampiran 3a. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 1)

clear all  
close all
clc  

%--- load data dan insialisasi ---%


 

[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
 
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);

x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)

n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
end

d=z
m=inv(G'*G)*G'*d;

BA = m(1)+m(2)*x+m(3)*y; %BA = Bouger Anomali

for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1) + m(2)*x(k)+ m(3)*y(k)); %Residual
end
aresidual = residual'

for k=1:n
regional(k)=m(1) + m(2)*x(k)+ m(3)*y(k); %Regional
end
aregional = regional'

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  92

 
Lampiran 3b. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 2)

clear all  
close all
clc  

%--- load data dan insialisasi ---%


 

[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
 
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);

x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)

n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
G(k,4)=x(k).^2;
G(k,5)=y(k).^2;
G(k,6)=x(k).*y(k);
end

d=z;
m=inv(G'*G)*G'*d;

BA = m(1)+m(2)*x+m(3)*y+m(4)*x.^2+m(5)*y.^2+m(6)*x.*y; %Bouguer
Anomali

for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*y(k).^2+m(6)*x(k).*y(k)); %Residual
end
aresidual = residual'

for k=1:n
regional(k)=m(1) + m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+  
m(5)*y(k).^2+m(6)*x(k).*y(k); %Regional
end
aregional = regional'

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  93

 
Lampiran 3c. Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 3)

clear all  
close all
clc  

%--- load data dan insialisasi ---%


 

[fname,pname] = uigetfile('*.dat');
 
fname=fullfile(pname,fname);
data=load(fname);

x = data(:,1)
y = data(:,2)
z = data(:,3)

n=length(x);
for k=1:n
G(k,1)=1;
G(k,2)=x(k);
G(k,3)=y(k);
G(k,4)=x(k).^2;
G(k,5)=x(k).*y(k);
G(k,6)=y(k).^2;
G(k,7)=x(k).^3;
G(k,8)=(x(k).^2).*y(k);
G(k,9)=x(k).*(y(k).^2);
G(k,10)=y(k).^3;
end

d=z;
m=inv(G'*G)*G'*d;

BA = m(1)+m(2)*x+m(3)*y+m(4)*x.^2+m(5)*x.*y+m(6)*y.^2+
m(7)*x.^3+m(8)*(x.^2).*y+m(9)*x.*(y.^2)+m(10)*y.^3; %Bouguer Anomali

for k=1:n
residual(k)=z(k)-(m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*x(k).*y(k)+m(6)*y(k).^2+m(7)*x(k).^3+m(8)*(x(k).^2).*y(k)+
m(9)*x(k).*(y(k).^2)+m(10)*y(k).^3); %Residual  
end
aresidual = residual'

for k=1:n
regional(k)=m(1)+m(2)*x(k)+m(3)*y(k)+m(4)*x(k).^2+
m(5)*x(k).*y(k)+m(6)*y(k).^2+m(7)*x(k).^3+m(8)*(x(k).^2).*y(k)+
m(9)*x(k).*(y(k).^2)+m(10)*y(k).^3; %Regional
end
aregional = regional'

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  94

 
Lampiran 4. Tabel Perhitungan First Horizontal Derivative (FHD) dan Second
Vertical Derivative (SVD)
 

Tabel 1. Perhitungan derivative daerah Sulawesi  Selatan

 
Lintasan AA’ Lintasan BB’
Jarak Bouguer FHD SVD Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m ) 2 (m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 49.14251 0 -5.49862 0 44.10569 0 -13.0819
8331.911 51.52935 0.000286 -23.0704 7774.848 54.61966 0.001352 -5.47897
19002.39 65.35315 0.001296 17.52077 18214.01 72.85747 0.001747 47.56563
29672.87 67.21893 0.000175 84.57047 28653.17 51.94098 -0.002 22.03706
40343.36 18.09442 -0.0046 -23.3324 39092.33 14.02814 -0.00363 -26.7881
41304.5 15.81164 -0.00238 -28.7407 49531.49 4.218474 -0.00094 -11.4694
51013.84 -5.18214 -0.00216 -78.1667 59970.65 8.622121 0.000422 -15.4455
61684.32 32.80332 0.00356 36.32007 61536.98 11.22224 0.00166 -13.397
72354.8 38.5524 0.000539 -29.5584 70409.82 25.88127 0.001652 -2.29333
83025.28 61.74237 0.002173 7.727209 80848.98 49.20734 0.002234 28.64147
83112.71 61.88094 0.001585 7.786089 80934.51 61.88094 0.001585 7.786089

Lintasan CC’
Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 46.94279 0 -26.0868
6557.213 60.82999 0.002118 -5.62575
17476.15 66.69765 0.000537 49.52157
28395.09 23.37211 -0.00397 -15.4977  
31652.22 14.52945 -0.00271 -19.3204
39314.03 -4.22535 -0.00245 -25.1027
50232.97 -10.2217 -0.00055 -12.6062
61151.91 -7.77477 0.000224 -37.2363
64009.77 -0.01671 0.002715 -31.6115
72070.85 27.68906 0.003437 -3.36676
82989.79 64.86018 0.003404 29.80693

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012


 

  95

 
Tabel 2. Perhitungan derivative di daerah lengan Timur Sulawesi

Lintasan PP’   Lintasan RR’


Jarak Bouguer FHD SVD  Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m ) 2 (m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
 
0 47.38327 0 16.71223 0 48.35821 0 -6.24677
5284.564 42.32285 -0.00096 24.51727  9790.585 55.99186 0.00078 56.73033
10003.16 36.0771 -0.00132 26.56714 15091.6 38.39036 -0.00332 23.00081
20673.04 14.33492 -0.00204 4.505946 20725.03 18.46831 -0.00354 -13.9724
31342.93 3.536267 -0.00101 -0.36469 31659.47 -12.7106 -0.00285 -58.3163
42012.81 -9.99955 -0.00127 -14.2763 42593.91 -6.64371 0.000555 -24.1016
44769.49 -20.7636 -0.0039 -77.1444 45376.85 -1.8741 0.001714 -12.4987
52682.69 -32.4859 -0.00148 -179.702 53528.35 10.72711 0.001546 9.961483
63352.57 28.45884 0.005712 24.42748 53948.86 10.83635 0.00026 9.471812
73533.87 31.73625 0.000322 -19.4166

Tabel 3. Perhitungan derivative di daerah Gorontalo

Lintasan XX’
Jarak Bouguer FHD SVD
(m) (mgal) (mgal/m) (mgal/m2)
0 128.3667 0 20.95611
8569.967 115.4672 -0.00151 -0.66452
19024.3 90.25711 -0.00241 30.66925
29478.63 31.15732 -0.00565 -34.276
39932.97 -6.91771 -0.00364 -60.0498
47978.79 -3.87746 0.000378 -24.8904

Identifikasi struktur..., Anita Hartati, FMIPA UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai