Anda di halaman 1dari 16

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Daerah Penelitian

2.2 Parameter Fisis Sedimen Sungai

Sedimen sungai berasal hasil dari sebuah proses sedimentasi di lingkungan sungai

yang berasal dari hasil pelapukan batuan dasar maupun yang berasal dari proses erosi,

bahan organik, material antropogenik (limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia)

(Sudarningsih dkk., 2019). Bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem akuatik

cenderung terakumulasi dan berikatan di sedimen (Wade dkk., 2007; Baldwin dan Howitt

2007 dalam Suryono dkk., 2014). Sebagian besar bahan pencemar yang terendapkan berupa

material antropogenik yang bersifat sebagai polutan.

Maka dari itu, untuk mengetahui kandungan material antropogenik, salah satunya

dapat diketahui melalui karakteristik dari sedimen itu sendiri. Karakteristik sedimen sungai

merupakan suatu sifat atau ciri yang dapat menggambarkan kondisi sedimen sungai yang

dapat diketahui melalui parameter fisisnya, diantaranya yaitu electrical conductivity (EC),

total dissolved solids (TDS), suseptibilitas magnetik, dan parameter histerisis.

2.2.1 Electrical Conductivity (EC)

Konduktivitas listrik merupakan kemampuan suatu media dalam menghantarkan

arus listrik (Sulistiawaty dkk., 2013), dimana arus listrik dalam larutan dihantarkan oleh ion

bermuatan yang berasal dari kandungan garam dalam larutan. Total kandungan garam

dalam air menjadi definisi lain untuk konduktivitas listrik, semakin tinggi kandungan garam

maka semakin tinggi pula nilai konduktivitas listrik (Sulistiawaty dkk., 2013). Sedangkan Nilai
2

konduktivitas listrik yang rendah menunjukkan sulitnya media menghantarkan listrik dan

menjadi pertanda kualitas media yang baik (Arlindia dan Afdal, 2015).

Menurut Johnson dkk (2001), meneliti tentang sifat fisika tanah dan sifat kimia,

pengukuran konduktivitas listrik tanah dapat memberikan informasi sifat fisika tanah, yaitu

kadar fluida dan karakteristik tanah. Semakin tinggi nilai konduktivitas listrik maka semakin

buruk pula kualitas media (air atau tanah) yang membuat media terasa asin atau payau.

2.2.2 Total Dissolved Solid (TDS)

Total Dissolved Solid (TDS) adalah total terlarutnya zat padat, baik berupa ion,

berupa senyawa, koloid di dalam air (Nicola dkk., 2015). Menurut Arlindia dan Afdal (2015),

bahwa nilai TDS dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut yang terdapat dalam larutan.

Dimana nilai TDS akan meningkat ketika keadaan larutan terkontaminasi, begitu pula nilai

konduktivitas listrik (EC) akan ikut meningkat seiring meningkatnya nilai TDS (Nasution dan

Afdal, 2016). Adapun untuk kriteria penilaian TDS berdasarkan tingkat salinitasnya disajikan

dalam Tabel 2.1 (Khairunnas dan Gusman, 2018).

Tabel 2.1 Klasifikasi salinitas berdasarkan nilai TDS

Nilai TDS (ppm) Tingkat Salinitas


0 – 1.000 air tawar
1.001 – 3.000 agak asin/payau (slightly saline)
3.001 – 10.000 sedang/payau (moderately
saline)
10.001 – 100.000 asin (saline)
> 100.000 sangat asin (brine)

Berdasarkan pembagian tingkat penilaian TDS (PPM) secara umum adalah sebagai berikut
(Srikandi, 1992) :

Tabel 2.2 Klasifikasi nilai TDS


3

PPM Keterangan
< 300 Sangat Bagus
300 – 600 Bagus
600 – 900 Bisa Diminum
900 – 1.200 Tidak Bagus
> 1.200 Tidak Dapat Diterima

2.2.3 Suseptibilitas Magnetik

Suseptibilitas magnetik merupakan parameter kerentanan magnetik suatu bahan

terhadap pengaruh medan magnet luar. Suseptibilitas magnetik juga dapat diartikan sebagai

respons sampel terhadap medan magnet luar, respons yang diberikan berupa medan

magnetik juga (Bempong dkk, 2016). Tingkat kemampuan suatu benda untuk dimagnetisasi

ditentukan oleh suseptibilitas magnetik (k), yang di dirumuskan sebagai berikut (Masrayanti,

2013),

M =kH ,(2.1)

Dengan M merupakan Magnetisasi, k ialah Suseptibilitas magnetiknya dan H adalah Kuat

medan. Suseptibilitas magnetik dapat juga dimaknai sebagai derajat kemagnetan dari suatu

bahan. Nilai k pada batuan semakin tinggi jika di dalam batuan tersebut terdapat mineral

magnetik.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai suseptibilitas batuan adalah

jenis batuan dan komposisi batuan (Masrayanti, 2013). Berdasarkan nilai kerentanan

magnetik, suseptibilitas bahan dapat dibedakan menjadi tiga buah bagian, yaitu:

a.) Diamagnetik, mempunyai nilai suseptibilitas yang lebih kecil dan negatif.

b.) Paramagnetik, mempunyai nilai suseptibilitas yang kecil dan positif.

c.) Ferromagnetik, yaitu bahan paramagnetik yang memiliki nilai suseptibilitas besar dan

positif.
4

Pengukuran suseptibilitas magnetik merupakan metode sederhana, cepat, dan non

destruktif yang dapat digunakan sebagai indikator yang efektif untuk mengetahui

pencemaran logam berat pada tanah (Lu dkk, 2010). Dalam menentukan nilai suseptibilitas

magnetik Pengukuran nilai suseptibilitas magnetik dalam dua frekuensi dimaksudkan untuk

memperoleh nilai frequency dependent susceptibility (χFD(%)). χFD(%) merupakan perubahan

suseptibilitas dengan frekuensi rendah χLF dan frekuensi tinggi χHF seperti yang ditunjukkan

sesuai Persamaan 2.2.

χ FD=¿ XLF−XHF ∨ ¿ X 100(2.1)¿


XLF

Untuk mengetahui kandungan bulir dalam sampel, maka dilakukan interpretasi nilai χFD(%)

yang ditunjukkan pada Tabel 2.1 (Dearing, 1999 dalam Hakim, 2020) :

Tabel 2.3 Interpretasi nilai χFD (%)

Nilai χFD (%) KETERANGAN


0,0-2,0 Tidak ada atau mengandung kurang 10% bulir superparamagnetik.
2,0-10,0 Mengandung bulir superparamagnetik antara 10% sampai dengan 75%
yang merupakan campuran antara bulir superparamagnetik yang
berukuran halus dan kasar.
10,0-14,0 Keseluruhan atau mengandung lebih dari 75% bulir superparamagnetik.

Persentase perbandingan pengukuran suseptibilitas magnetik pada frekuensi rendah

dan frekuensi tinggi dinamakan suseptibilitas frekuensi dependen, χfd. Suseptibilitas

frekuensi dependent digunakan untuk mengestimasi kontribusi dari kontaminasi

superparamagnetik (Bloemendal, 1985). Adanya kontaminasi superparamagnetik dapat

dilihat dari hubungan antara nilai suseptibilitas frekuensi rendah dengan nilai suseptibilitas

bergantung frekuensi yang memberikan hubungan negatif atau berbanding terbalik.

Semakin besar nilai suseptibilitas frekuensi dependen maka semakin kecil nilai suseptibilitas
5

frekuensi rendahnya. Hal ini menunjukkan adanya kontribusi kontaminan

superparamagnetik (Nurpadillah, 2019).

Nilai suseptibilitas yang tinggi berasosiasi dengan sedimen yang tercemar dengan

polutan berat. Nilai χFD < 2% mengindikasikan mineral-mineral yang terkandung dalam

sampel bukan SP, 4 < χFD < 6 untuk campuran SP dan single domain (SD) sedangkan 6 <

χFD < 12 untuk SP (Bijaksana dan Huliselan, 2010). Nilai χFD% yang rendah (<2%)

menyimpulkan bahwa tidak ada butiran SP dalam sampel, sedangkan nilai χFD% (>14%)

yang sangat tinggi menyimpulkan bahwa sampel hanya mengandung butiran SP. Jika nilai

χFD% antara 2–14%, sampel mengandung campuran butiran SP dan non-SP. Selain itu,

parameter IRM juga dianalisis untuk mengidentifikasi fasa mineral magnetik dengan

koersivitas rendah dan tinggi. Selain itu, parameter SIRM (10^6 A m2 / kg) digunakan untuk

menunjukkan konsentrasi mineral magnetik total fasa ferrimagnetik dengan ukuran butir

lebih besar dari SP atau domain tunggal (SD) (Yunginger dkk., 2018).

Secara umum tingginya nilai suseptibilitas magnetik mengindikasikan adanya

akumulasi mineral magnetik dengan konsentrasi/jumlah yang cukup tinggi. Sehingga dapat

diindikasikan terdapat akumulasi bahan pencemar atau material antropogenik (Kirana dkk.,

2014). Menurut Putri dan Afdal (2017), besar nilai suseptibilitas magnetik tidak hanya

berasal dari bahan pencemar, melainkan ada faktor lain yang berkontribusi seperti keadaan

geologi, sedimentasi dan keberadaan mineral magnetik.

2.2.4 Parameter Histerisis

Parameter histerisis berguna untuk memberikan informasi mengenai besaran-

besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan

dalam kurva histeresis, sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan suhu, dan sifat-sifat
6

magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran atau kondisi anisotropik bahan (Mujamilah dkk.,

2000 ). Dalam menentukan suatu karakteristik bahan dapat dilihat dari kurva histerisisnya

yang mana yang dipengaruhi oleh induksi magnetik, medan magnet luar, dan magnetisasi

ditunjukkan dalam bentuk kurva histerisis.

Hubungan dari ketiga besaran tersebut ditunjukkan dengan persamaan:

B=μ 0(H + M )(2.2)

Dimana B adalah induksi magnet (Tesla), H adalah medan magnet luar (A/m), M adalah

magnetisasi (A/m), dan μo merupakan permeabilitas ruang hampa.

Ketika suatu bahan ferromagnetik dikenakan medan magnet luar H, maka bahan

akan termagnetisasi. Jika nilai H diperbesar, magnetisasi M juga semakin besar. Pada

keadaan tertentu saat magnetisasi sudah tidak naik dengan kenaikan H keadaan ini disebut

magnetisasi saturasi Ms. Selanjutnya, saat H dikecilkan nilainya dan mencapai nol,

magnetisasi bahan ferromagnetik tidak kembali nol namun memiliki nilai dan disebut

magnetisasi remanen Mr. Magnetisasi remanen merupakan magnetisasi yang didapatkan

setelah memberi perlakuan medan magnet pada bahan dan kemudian dihilangkan. Pada

keadaan ini, ada momen magnetik yang orientasinya tidak kembali ke orientasi awal

sehingga bahan memiliki sisa magnetisasi.


7

Gambar 2.1 Kurva Histerisis untuk bahan ferromagnetik, paramagnetik, diamagnetik, dan

superparamagnetik berdasarkan besaran magnetisasi saturasi (Ms),

magnetisasi remanen (Mr), dan koersivitas (Hc) (Kotnala & Shah, 2015)

Medan koersif Hc merupakan medan yang dibutuhkan untuk membuat magnetisasi

remanen bernilai nol. Medan koersif mengukur besar medan magnet yang harus diberikan

untuk membalik magnetisasi. Pada keadaan Mr bernilai nol ini, orientasi seluruh magnet

bahan ferromagnetik tadi kembali ke orientasi awal. Medan magnet luar kemudian dibalik

polaritasnya dan diperbesar nilainya (dalam H bernilai negatif), hingga keadaan tertentu

magnetisasi saturasi bernilai negatif terjadi. Proses dilanjutkan dengan pemberian medan

magnet luar bernilai nol, dan didapatkan magnetisasi remanen bernilai negatif. Keseluruhan

proses magnetisasi ditunjukkan dalam kurva histerisis pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 juga

menunjukkan kurva histerisis tiap bahan. Terlihat bahwa bahan yang bersifat diamagnetik,

jika diberi medan magnet luar maka akan mengalami magnetisasi dengan nilai sebaliknya.

Jika medan magnet luarnya positif, maka magnetisasinya bernilai negatif. Selain itu, ketika

medan magnet luarnya dihilangkan (bernilai nol), maka tidak ada magnetisasi sisa pada

bahan. Hubungan medan magnet luar dan magnetisasi bahan terlihat jelas pada Gambar

2.1.

Material antropogenik juga dapat diidentifikasi melalui parameter histerisis yang

ditunjukkan dengan ukuran bulir magnetik yang kasar dan memiliki domain domain PSD –

MD (Pseudo Single Domain – Multi Domain) (Zhang dkk., 2011).

2.3 Sedimen Sungai


8

Sedimen pada dasar atau lumpur sungai pada umumnya terdiri dari partikel

tersuspensi yang terbawa dan mengendap pada dasar sungai atau saluran karena aliran air,

sehingga sedimen dasar secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan pada ukuran butir,

berat jenis, bentuk, komposisi mineral, warna dan aspek kimia-fisik lainnya.

Sehubungan dengan pergerakan dan pengendapan partikel, besar butir sedimen dasar

sungai merupakan faktor penting. Pada Tabel 2.4 diuraikan klasifikasi fraksi sedimen dasar

atau lumpur berdasarkan ukuran partikel dan sifat partikelnya. Fraksi sedimen dasar jenis

kerikil (gravel) dan kerakal (boulders) dominan sebagai bed-load, sedangkan jenis sedimen

dasar lanau (silt) dan liat (clay) dominan dalam bentuk partikel tersuspensi. Beban partikel

tersuspensi pada gilirannya adalah bahan yang ideal, tidak terpengaruh oleh perubahan

diagenesis yang diinduksi pengendapan, untuk mengidentifikasi sumber sedimen termasuk

dari pencemaran antropogenik (Franke dkk., 2009).

Tabel 2.4 Klasifikasi Ukuran Butir Sedimen (Nolthing, R.F, 1989)

Besar Butir
No. Jenis Sifat Asli
Sedimen
1 d < 0.5μ Koloid Biasanya ter-flokulasi
2 0.5μ < d < 5μ Clay Ter-flokulasi sebagian
3 5μ < d < 64μ Silt Tidak ter-flokulasi
4 64μ < d < 2mm Sand Fraksi pasir
5 2mm <d Gravel Fraksi dari batu

Kelimpahan polutan di lingkungan yang bersifat antropogenik baik berasal dari

pembangkit listrik, hasil pembakaran bahan bakar, aktivitas industri, aktifitas jalan raya,

limbah, dan lain-lain menghasilkan kelimpahan mineral magnetik di lingkungan (Yang dkk.,

2007 dalam ). Kelimpahan mineral magnetik di lingkungan ternyata memiliki hubungan

yang erat dengan proses-proses pencemaran dan kelimpahannya kemudian dipakai untuk
9

mengestimasi status pencemaran (Chaparro dkk., 2008). Dimana Kelimpahan mineral

magnetik pada suatu bahan dapat diketahui dengan mengukur nilai suseptibilitas magnetik

(Kirana dkk., 2014). Pada batuan khususnya sedimen, sifat magnetik dan magnetisasi

diakibatkan oleh adanya mineral-mineral yang bersifat ferromagnetik (Haris, 2010).

Konduktivitas dan TDS terus meningkat untuk tiap titik pengambilan sampel.

Peningkatan nilai konduktivitas memberikan informasi banyaknya kontaminan yang

terkandung dalam air sungai (Nurpadillah, 2019). Penelitian yang dilakukan di Danau Sub

Das Sarovar dan Rabindra Sarovar, Kolkata, India menunjukkan bahwa EC memiliki

hubungan linear dengan TDS. Dari penelitian tersebut teramati bahwa nilai EC meningkat

seiring peningkatan nilai TDS, yang menunjukkan peningkatan konsentrasi sulfat dan ion

lainnya, sehingga nilai EC secara tidak langsung menunjukkan tingkat polusi dalam air danau

(Das dkk., 2005 dalam Arlindia dan Afdal, 2015).

Menurut Arlindia dan Afdal (2015), Penyebab kenaikan nilai TDS adalah padatan

terlarut yang terkandung pada larutan, sementara nilai konduktivitas listrik pada perairan

dipengaruhi oleh jumlah ion yang terkandung pada perairan tersebut. Semakin banyak

jumlah padatan terlarut maka semakin banyak jumlah ion pada suatu larutan, karena jumlah

padatan terlarut mengandung ion-ion yang tersusun menjadi senyawa pada padatan

terlarut tersebut. Sehingga nilai TDS dan konduktivitas listrik kemungkinan akan memiliki

hubungan yang sebanding.

Menurut Suhanto (2016), penambahan bahan – bahan buangan rumah tangga dan

juga beberapa logam berat dari asap kendaraan maupun dari hasil asap industri akan

mengakibatkan peningkatan nilai TDS. Zat padat terlarut pada lokasi sekitar pemukiman

kemungkinan berasal dari hasil dari kegiatan rumah tangga seperti sampah, sabun mandi

dan sabun cuci (Arlindia dan Afdal, 2015).


10

Sejumlah kasus pada daerah tercemar menunjukan bahwa semakin tinggi kandungan

logam berat, makin tinggi pula nilai χ khususnya χLF. Hal ini ditunjukan pada tanah area

perkotaan Hangzhou China, misalnya pada daerah yang terkontaminasi harga χLF lebih

tinggi dibandingkan dengan yang tidak terkontaminasi (Lu, 2006 dalam Huliselan, 2015)

Untuk sampel alamiah, χFD makin bertambah dengan tingginya χLF. Hal ini disebabkan

karena tingginya produksi ultrafine SP dari mineral-mineral ferrimagnetik yang

menyebabkan tingginya derajat pedogenesis. Proses ini hanya mungkin terjadi secara

alamiah pada tanah atau proses pelapukan batuan. Sedangkan untuk sampel yang terpolusi

χFD makin menurun dengan tingginya χLF. Kondisi ini terjadi karena sampel lebih didominasi

oleh mineral-mineral magnetic yang berukuran besar seperti multi domain (MD) yang

banyak dihasilkan dari proses-proses pencemaran (Wang, 2000 dalam Huliselan, 2015).

Parameter loop histeresis, magnetisasi Ms, magnetisasi saturasi remanen Mrs, gaya

koersif Bc dan koersivitas remanen Bcr diturunkan dari loop koreksi lereng medan tinggi

(diamagnetik dan paramagnetik). Loop ditentukan di kedua bidang maksimum 0,3 dan 1 T.

Untuk memperkirakan konsentrasi komponen koersivitas tinggi dari magnetisasi remanen

isotermal keras (HIRM), magnetisasi remanen isotermal saturasi (SIRM) diperoleh dalam 1 T

setelah pengukuran loop histeresis medan rendah (0,3 T). Selanjutnya, pengukuran

remanensi bidang belakang 0,3 T diterapkan, yang digunakan untuk menghitung HIRM

mengikuti metode yang dijelaskan oleh Stoner dkk., 1996. HIRM didefinisikan sebagai

(SIRM1T + IRM 0.3T) / 2 dan disebut sebagai HIRM 0.3T.


11

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel berupa sedimen sungai di

disepanjang Sungai Ciliwung zona tengah segmen III yang meliputi zona hulu, tengah dan

hilir pada daerah penelitian. Daerah penelitian Sungai Ciliwung ini terletak diantara

perbatasan dua wilayah Kecamatan, yaitu wilayah Kelurahan Karadenan, Kecamatan

Cibinong di sebelah timur dan wilayah Kelurahan Cilebut hingga Desa Pasir Jambu,

Kecamatan Sukaraja disebelah Barat. Pengambilan titik lokasi dilakukan pada setiap zona

tersebut agar dapat merepresentasikan kondisi lingkungannya. Secara garis besar,

penelitian ini terdiri atas dua tahapan, yaitu tahap pengambilan sampel dan tahap

pengukuran sampel.

3.1 Tahap Pengambilan Sampel

Tahap pengambilan sampel ini meliputi tiga zona pada daerah penelitian yaitu, zona

hulu, tengah dan hilir dengan total lokasi pengambilan sampel sebanyak 12 lokasi dengan

jarak antar titik ±200-300 meter dan tiap lokasinya diambil satu sampel sedimen. Lokasi

tiap titik pengambilan sampel umumnya didominasi oleh pemukiman padat penduduk dari

mulai hulu hingga hilirnya. Selain itu, di sepanjang aliran sungai didominasi oleh limbah
12

sampah rumah tangga.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

3.1.1 Zona Hulu

Pada zona hulu terletak pada wilayah Kelurahan Cilebut - Desa Pasir Jambu,

Kecamatan Sukaraja yang berseberangan dengan Kelurahan Karadenan, Kecamatan

Cibinong. Pada zona ini terdiri atas empat lokasi pengambilan sampel, yaitu titik 1

hingga 4. Pengambilan lokasi ini didasarkan karena kondisi pada zona ini didominasi

oleh adanya pabrik gudang penyimpanan barang dan jalan raya pada lokasi titik.

Sedangkan pada lokasi titik 2, 3, dan 4 didominasi oleh pemukiman kampung dan

masih terdapat banyak vegetasi di sekitar bantaran sungai. Selain itu, kelimpahan

sedimen sungai pada zona hulu sangat sedikit dan lebih didominasi oleh batuan

sungai yang besar.


13

Gambar 3.2 Kondisi Alam Sekitar Sungai Ciliwung Zona Hulu

3.1.2 Zona Tengah

Pada lokasi zona tengah terletak pada wilayah Kelurahan Cilebut - Desa Pasir

Jambu, Kecamatan Sukaraja yang berseberangan dengan Kelurahan Karadenan,

Kecamatan Cibinong. Pada zona ini terdiri atas empat lokasi pengambilan sampel,

yaitu titik 5 hingga 8. Pengambilan lokasi ini didasarkan karena kondisi pada zona ini

dekat dengan pemukiman padat penduduk, pembuangan limbah rumah tangga dan

pembuangan limbah pabrik tahu konvensional secara langsung ke sungai serta

terdapat tempat pembuangan sampah berskala sedang di pada bantaran sungai.

Pada lokasi pengambilan sampel 6 terdapat pabrik tahu konvensional yang

mengalirkan limbah akhir langsung ke sungai dan lokasi pengambilan sampel 7

terdapat cairan limbah rumah tangga yang terakumulasi pada bagian bantaran

sungai.
14

Gambar 3.3 Kondisi Alam Sekitar Sungai Ciliwung ZonaTengah

3.1.3 Zona Hilir

Pada lokasi bagian hilir terletak pada wilayah Kelurahan Cilebut, Kecamatan Sukaraja

yang berseberangan dengan Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong. Pada zona ini

terdiri atas empat lokasi pengambilan sampel, yaitu titik 9 hingga 12. Pengambilan lokasi

ini didasarkan karena kondisi pada zona ini di antara daerah pemukiman padat penduduk

dan daerah perkebunan. Dimana lokasi pengambilan sampel 9 merupakan daerah padat

penduduk langsung dari perumahan Bumi pertiwi 2 Kelurahan Cilebut dan lokasi

pengambilan sampel 10 hingga 12 merupakan daerah perkebunan minim penduduk.


15

Gambar 3.4 Kondisi Alam Sekitar Sungai Ciliwung Zona Hilir

Kemudian berdasarkan masing-masing lokasi pengambilan sampel, sampel sedimen

sungai yang diambil berupa sedimen pada bagian permukaan sedimen yang halus dengan

menggunakan sekrup masing-masing sebanyak satu kantong plastik zipper. Setelah itu,

hasil sampel sedimen basah yang telah diambil diolah melalui proses pengeringan dan

pengayakan menggunakan saringan hingga menghasilkan butiran halus lalu dimasukkan

kedalam plastik zipper yang telah diberi label masing-masing sampel sebanyak 100 gram.

3.2 Tahap Pengukuran Sampel

Tahap pengukuran sampel dilakukan di laboratorium yang berbeda, dimana

pengukuran parameter EC dan TDS dilakukan di Laboratorium Geofisika Universitas

Padjadjaran, parameter suseptibilitas magnetik di Laboratorium Universitas Negeri

Padang, dan Pengukuran Parameter Histerisis di Laboratorium BATAN Serpong. Pada

pengukuran parameter EC dan TDS diukur menggunakan alat Hanna Combometer,

pengukuran parameter suseptibilitas diukur menggunakan alat MS2B Magnetic

Suseptibilitymeter, dan pengukuran parameter histerisis menggunakan alat Oxford type

1.2H Vibrating Sample Magnetometer (VSM). Adapun tujuan dari pengukuran ini untuk
16

mengetahui kelimpahan mineral antropogenik yang diukur berdasarkan sifat fisisnya.

Anda mungkin juga menyukai