B. TEORI DASAR
Interferensi adalah superposisi dua buah gelombang atau lebih yang bertemu pada
satu titik ruang. Hasil interfrensi yang berupa pola cincin terang gelap dapat
digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan dengan
interferensi, misalnya panjang gelombang suatu sumber cahaya, indeks bias, dan
ketebalan bahan. Jika 2 buah gelombang dengan frekuensi yang sama tetapi berbeda
amplitudo dan fase bersuperposisi, maka hasilnya dinyatakan dengan persamaan:
y=a1 sin ( ωt−α 1 ) +¿ a2 sin ( ωt−α 2 ) ¿ (1)
y= A sin ( ωt −α ) (2)
Dengan: A2=a21 +a22 +2 a1 a2 cos δ dan δ =α 1 −α 2
Dalam interferometer Michelson, berkas cahaya datang dipecah kedalam dua buah
berkas cahaya menggunakan beam splitter berupa plat kaca yang separuhnya
dilapisi perak. Selanjutnya kedua berkas cahaya ini dipantulkan oleh dua buah
cermin datar untuk kemudian bertemu kembali di beam spliiter dan diteruskan
sehingga membentuk pola interferensi di layar.
Berdasarkan dari beda lintasan berkas cahaya, maka beda fase pola interferensi
dinyatakan dengan:
2π
δ= d sin θ (3)
λ
Dengan d sin θadalah beda panjang lintasan dan λ adalah panjang gelombang
cahaya yang digunakan dalam percobaan. Jika cermin pada interferometer
digerakan dan seting peralatan diputar 900 maka diharapkan terjadi pergeseran pola
(frinji/rumbai) interferensi. Pergeseran yang diharapkan adalah sebesar jumlah
rumbai/frinji ∆ N yang diakibatkan oleh pergeseran lintasan optis ∆ d dan dinyatakan
dengan persamaan:
2∆ d
∆ N= (4)
λ
(Tim Dosen Fisika Modern, 2014)
TEORI TAMBAHAN
Indeks bias dari sebuah material didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antara
kecepatan cahaya dalam ruang hampa terhadap kecepatan cahaya dalam suatu zat.
Pengukuran indeks bias dapat dilakukan dengan metode interferensi. Interferensi
merupakan superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu pada satu titik
ruang. Apabila perbedaan fase 0º atau bilangan bulat kelipatan 360º, gelombang
akan sefase dan berinterferensi saling menguatkan atau disebut dengan interferensi
konstruktif. Sedangkan jika perbedaan fasenya 180º, maka gelombang yang
dihasilkan akan berbeda fase dan berinterferensi saling melemahkan disebut dengan
interferensi destruktif. Interferensi menghasilkan pola – pola interferensi yang
digunakan dalam
penentuan indeks bias.
Pola interferensi tersebut dapat terbentuk dengan menggunakan interferometer.
Interferometer memiliki berbagai macam susunan seperti interferometer Michelson,
Fabry Perot dan Mach Zehnder. Interferometer Michelson memiliki susunan paling
sederhana dan memiliki akurasi yang sangat tinggi diantara interferometer yang
lain. Interferometer Michelson disusun oleh sumber cahaya yang koheren, dua
cermin, beam splitter dan detector.
Nilai indeks bias dipengaruhi oleh panjang gelombang cahaya dan keadaan suatu
medium seperti temperatur dan kerapatan. Pada penelitian Interferometer Michelso
n digunakan untuk menganalisa hasil interferensi berupa cincin – cincin terang gel
ap konsentris, kemudian menghitung jumlah perubahan frinji (∆m) yang terjadi seti
ap perubahan temperatur (∆T) pada sampel.
Indeks bias dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
N m −N a . λ
n= +1
2L (1)
Persamaan tersebut akan digunakan pada program untuk menghitung indeks bias b
ahan yang diuji. Parameter – parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan indeks
bias bahan ( n2 ), diantaranya yaitu jari-jari pusat pola interferensi tanpa sampel ( x 1 ),
selisih jari-jari pusat pola interferensi tanpa sampel dengan sampel ( Δx ), dalam ha
l ini sampel yang diuji yaitu kaca dan akrilik. Ketebalan bahan ( L ) yang digunaka
n pada penelitian ini adalah 2 mm dan 3 mm dan indeks bias udara ( n1 ) yang mem
iliki nilai = 1. Panjang gelombang laser ( λ ) diperoleh dengan persamaan berikut:
ΔN . λ
Δd=
2 (2)
2 Δd
λ=
ΔN (3)
Δd adalah perubahan lintasan optik, ΔN adalah perubahan jumlah frinji, dan λ adal
ah panjang gelombang laser yang digunakan. (Amelia, dkk, 2015)
( 12 ) λ
d sin θ= n+
Untuk sudut yang kecil, yang diukur di sepanjang layar rumbai terang ke-n jarak di
antara dua rumbai terang berurutan diberikan oleh persamaan:
λL
y n=n
d
Jika terdapat tiga sumber atau lebih yang berjarak sama dan sefase satu sama lain,
pola intensitas pada layar yang jauh akan serupa dengan pola yang diberikan oleh
dua sumber, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Kedudukan maksima intensitas
di layar adalah sama tanpa memandang berapa banyak sumber yang ada, tetapi
maksima ini memiliki intensitas yang lebih terang dan lebih tajam jika terdapat
banyak sumber. (Sri Lestari Handayani, 2014)
Interferometer Michelson merupakan susunan alat optik paling umum yang
digunakan untuk interferometer. Pada Michelson Interferometer, sinar datang dibagi
menjadi dua bagian oleh beam splitter atau sepasang fiber optik (salah satu bagian
menjadi acuan). Penggunaan fiber optik yang telah meluas pada aplikasi teknologi
dalam kehidupan sehari – hari membuat peristiwa yang terjadi pada bahan ini
menarik untuk diamati.
Interferometer merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan suatu pola
interferensi. Interferometer dibagi menjadi 2 jenis, yaitu interferometer pembagi
muka gelombang dan interferometer pembagi amplitudo.
Interferometer Michelson adalah termasuk interferometer pembelah amplitudo
dimana interferometer ini sangat berguna dalam pengukuran indeks bias,
pengukuran panjang, pengukuran getaran (vibrasi) dan dapat juga digunakan untuk
pengukuran simpangan permukaan. (Nur Hanifah Fitriana, dkk, 2017)
dY
I akan maksimum jika = πn, maka nλ= . Jarak maksimum ke minimum
L
nλL Y
diperoleh 2 Y = → 2d =nλ →2 d sin θ=nλ , karena θ≪tan θ sin θ=1. Jadi
d L
diperoleh hubungan 2 d=nλ , dimana n = orde interferensi; n = 0, 1, 2, 3, ……
(Halliday &Resnick, 1984)
D. CARA KERJA
Langkah percobaan:
1. Menyusun peralatan seperti gambar 1.
2. Menyalakan sumber laser He-Ne.
3. Mengatur berkas sinar agar mengenai beam splitter dengan sudut datang
450.
4. Mengatur kedudukan kedua cermin sehingga berkas sinar interferensi pada
layar.
5. Memasang lensa sehingga terbentuk pola interferensi dengan jumlah rumbai
terbanyak.
6. Mengatur kembali seluruh komponen peralatan sehingga pola interferensi
cincin (lingkaran konsentrik) terbentuk jelas.
7. Mencatat jumlah rumbai yang terbentuk.
8. Mengubah cermin dan catat panjang lintasan optis.
9. Mengulangi langkah 8 sehingga pergeseran rumbai teramati.
10. Mengulang percobaan untuk panjang gelobang sinar laser yang berbeda.
E. PERTANYAAN AWAL
1. Jelaskan asal mula percobaan interferometer michelson dilakukan, mulai
dari tujuan, metode hingga hasilnya.
Jawab
Tahun 1887 fisikawan Amerika Serikat, Albert A Michelson dan E.W
Morley melakukan percobaan besar untuk menguji keberadaan eter.
Percobaan mereka tersebut pada dasarnya mempergunakan interferometer
Michelson yang di rancang khusus untuk melakukan percobaan ini.
Interferometer Michelson merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi cahaya. Interferensi cahaya sendiri
merupakan perpaduan antara dua gelombang cahaya. Interferensi cahaya ini
akan menghasilkan pola gelap dan terang. Jika kedua gelombang tersebut
memiliki fase yang sama maka akan terjadi interferensi konstruktif (saling
menguatkan) sehingga nantinya akan terbentuk pola terang, sedangkan jika
kedua gelombang tidak mempunyai fase yang sama maka akan terjadi
interferensi dekstruktif (saling melemahkan) sehingga terbentuk pola gelap.
Dalam percobaan ini, seberkas cahaya monokromatik dipisahkan menjadi
dua berkas yang dibuat dengan melewati dua lintasan yang berbeda dan
kemudian di perpadukan kembali. Karena adanya perbedaan panjang
lintasan yang di tempuh kedua berkas, maka akan tercipta suatu pola
interferensi. Di bawah ini adalah skema interferometer Michelson.
Cahaya akan dipancarkan dari laser, Kemudian sebagian cahaya oleh beam
splitter dipantulkan ke kanan dan sisanya di transmisikan ke atas. Bagian
yang ke kanan di pantulkan oleh cermin datar, cahaya akan di pantulkan
oleh cermin datar yang kedua juga akan dipantulkan kembali ke beam
splitter, kemudian bersatu dengan cahaya dari cermin 1 menuju layar,
sehingga kedua sinar akan berinterferensi yang ditunjukkan dengan adanya
pola-pola cincin gelap-terang (frinji).
Namun pada percobaan ini tidak ada perubahan sudut dan arah laser secara
signifikan ketika finjil mulai diubah. Sehingga percobaan ini gagal untuk
mengamati gerak bumi terhadap eter, yang membuktikan bahwasanya eter
itu tidak ada, serta kecepatan cahaya adalah sama untuk ke segala arah, tidak
bergantung pada kerangka acuan inersia.
|
∂ (2 d N )
|
−1
∆ λ= ∆d
∂d
∆ λ=|2 N ∆ d|
−1
−1
∆λ 2N ∆d
=¿ −1
∨¿
λ 2d N
∆ λ= |∆dd|λ
Setelah itu, turunkan terhadap variable bebas
∂N 2
=
∂d λ
Yang dimana yang menjadi variabel bebas adalah panjang lintasan (∂ d )
2∂ d
λ=
∂N
2∂d
∂ N=
λ
2∂d
∂ N=
∆λ
| |
∆d
d
∆ λ |∆ d |
2∂d d
∂ N=
∂ N=|
∆ d ∆ λ|
2 ∂ dd
∆ N =|
∆ λ ∆ d|
2 ∆ dd
2d
∆ N=
∆λ
F. DATA PENGAMATAN
d (mm) ∆ d (mm) N ∆N
2 2 6 0
4 2 7 1
6 2 11 4
8 2 14 3
10 2 17 3
G. PENGOLAHAN DATA
1. Data Tunggal
a. Panjang Lintasan (d)
NST Mikrometer Sekrup = 0,01 mm
d
∆d KSR (d ± ∆ d )
(mm)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
4 1 0,005 (4 ± 0,01)×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 4
∆ d=0,005 mm KSR=0,125 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
6 1 0,005 (6 ± 0,005)× 10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 6
∆ d=0,005 mm KSR=0,083 % (4 AP )
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
8 1 0,005 (8 ± 0,005)× 10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 8
∆ d=0,005 mm KSR=0,0625 % (4 AP )
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
10 1 0,005 (10 ± 0,01)×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 10
∆ d=0,005 mm KSR=0,05 % ( 4 AP )
∆d
∆ (∆ d ¿ KSR ( ∆ d ± ∆( ∆ d ))
(mm)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
N (∆ N ¿ KSR (N ± ∆ N)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
6 1 0,5 (6 ± 0,5)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 6
∆ N =0,5 KSR=8,33 % (2 AP)
7 1 ∆N (7 ± 0,5)
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
1 0,5
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 7
∆ N =0,5 KSR=7,14 %(2 AP)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
11 1 0,5 (11 ±1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 11
∆ N =0,5 KSR=4,54 % (2 AP )
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
14 1 0,5 (14 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 14
∆ N =0,5 KSR=3,57 % (2 AP)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
17 1 0,5 (17 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 17
∆ N =0,5 KSR=2,94 %(2 AP)
∆N ∆ (∆ N ¿ KSR ( ∆ N ± ∆(∆ N ))
1 ∆ (∆ N )
∆ (∆ N )= × nst KSR= ×100 %
2 ∆N
0 1 0,5 (0 ± 0,5)
∆ (∆ N )= ×1 KSR= × 100 %
2 0
∆ (∆ N )=0,5 KSR=Tidak terdefinisi
1 1 ∆N (1 ±1)
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
1 0,5
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 1
∆ N =0,5 KSR=50 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
4 1 0,5 (4 ±1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 4
∆ N =0,5 KSR=12,5 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
3 1 0,5 (3 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 3
∆ N =0,5 KSR=16,7 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
3 1 0,5 (3 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 3
∆ N =0,5 KSR=16,7 % (1 AP/ Error)
2. Data Majemuk
Tidak Ada Data Majemuk
Mencari panjang gelombang cahaya yang digunakan pada praktikum ini (λ), untuk
mencari Panjang gelombang cahaya (λ) menggunakan rumus
2∆d
λ=
∆N
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
Grafik hubungan ∆ N vs ∆ d .
X=∆d
Y=∆N
x x2
NO y xy
(mm) (mm2)
1 2 0 4 0
2 2 1 4 2
3 2 4 4 8
4 2 3 4 6
5 2 3 4 6
∑ 2 2.2 4 4.4
2
Σ y . Σ x −Σ x . Σ xy
a=
n ( Σ x 2 ) −( Σ x )
2
(11 )( 20 ) −2 ( 22 )
a= 2
5 ( 20 )−( 10 )
a=∞
n . Σ xy−Σ x . Σ y
b=
n ( Σ x2 ) − ( Σ x )
2
5 ( 22 ) −( 10 )( 11 )
b= 2
5 ( 20 )−( 10 )
b=∞
y=a+bx
y=∞+ ∞ x
2
Σ y Σ x −Σ x Σ xy
a= 2 2
n Σ x −(Σ x)
a=2.3
n ∑ xy −∑ x ∑ y
b=
n ∑ x 2−(∑ x )²
0.29
b=
0.0002
b=1450
y=a+bx
y=2,3+ 1450 x
x y=a+bx
0.002 5.2
0.004 8.1
0.006 11
0.008 13.9
0.01 16.8
Grafik Hubungan antara Panjang lintasan terhadap
Jumlah Frinji
18
13.9
16
Jumlah Frinji (N)
14 16.8
12 8.1
10
8 11
6
4 5.2
2
0
0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 m
Panjang Lintasan (d)
ANALISIS
Berdasarkan data diatas, semakin besar nilai d (panjang lintasan) maka jumlah frinji
semakin banyak. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan antara d (panjang lintasan)
dan N berbanding lurus.
Berdasarkan data percobaan yang ada, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk
menghitung panjang gelombang (λ). Dengan menggunakan perubahan jumlah frinji
dan perubahan Panjang lintasan optic pada percobaan. Panjang gelombang dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
2∆d
λ=
∆N
Dari rumus berikut, didapatkanlah Panjang gelombang seperti pada tabel dibawah
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
16
14 16.8
12 8.1
10
8 11
6
4 5.2
2
0
0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 m
Panjang Lintasan (d)
Dari grafik diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Panjang
lintasan terhadap jumlah frinji berbanding lurus. Dimana, nilai N akan semakin
besar jika nilai d juga semakin besar, begitupun sebaliknya. Hanya saja kesalahan
yang terjadi ∆d memiliki nilai yang konstan dengan ∆d = 0,002 sedangkan untuk
setiap kenaikan dari N tidak sesuai atau selaras dengan kenaikan variabel (d). Hal
ini memungkinkan terjadi seperti kesalahan yang terjadi dalam proses pengambilan
data.
Perbedaan-perbedaan yang tidak sesuai ini dapat terjadi, dikarenakan adanya
beberapa faktor kesalahan, diantaranya:
Kurangnya ketelitian saat mengambil data praktikum
Faktor alat yang mungkin fungsinya sudah tidak optimal, sehingga dapat
mempengaruhi data praktikum
Faktor kesalahan dalam perhitungan maupun pembulatan angka
I. PERTANYAAN AKHIR
1. Hitung panjang gelombang sinar. Bandingkan dengan literatur. Buat analisa
dan jelaskan.
Jawab
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai Panjang gelombang sebagai
berikut:
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
λ rata−rata=tak terdefinisi
Pada saat mencari panjang gelombang cahaya dengan menggunakan
2∆d
persamaan λ= , pada saat d = 2mm dan N = 6 maka tidak dapat
∆N
ditentukan karena nilai ∆N sama dengan nol yang mengakibatkan panjang
gelombang cahayanya tidak terdefinisi karena pembaginya bernilai nol
Pada kondisi pertama dengan nilai ∆N = 0 tidak dapat didefinisikan berapa
nilai panjang gelombang karena pembanginya 0. Kemudian untuk percobaan
2 – 4 setiap perubahan frinji akan mempengaruhi nilai panjang
gelombangnya. Dari hasil perhitungan dapat di katakana bahwa jika
perubahan frinji semakin besar maka, panjang gelombang yang dihasilkan
akan semakin pendek.
1 2 0 4 0
2 2 1 4 2
3 2 4 4 8
4 2 3 4 6
5 2 3 4 6
∑ 2 2.2 4 4.4
Σ y . Σ x 2−Σ x . Σ xy
a=
n ( Σ x 2 ) −( Σ x )
2
(11 )( 20 ) −2 ( 22 )
a= 2
5 ( 20 )−( 10 )
a=∞
n . Σ xy−Σ x . Σ y
b=
n ( Σ x2 ) − ( Σ x )
2
5 ( 22 ) −( 10 )( 11 )
b= 2
5 ( 20 )−( 10 )
b=∞
y=a+bx
y=∞+ ∞ x
4. Beri kesimpulan
Jawab
Semakin besar panjang lintasan garis, maka jumlah friji akan
semakin besar. Artinya panjang lintasan garis berbanding lurus
dengan jumlah friji
Semakin besar panjang lintasan garis, maka pergeseran jumlah friji
akan semakin besar. Artinya panjang lintasan garis berbanding
lurus dengan pergeseran jumlah friji. Akan tetapi, pada percobaan
ini, ΔN tidak meningkat secara teratur.
Semakin panjang lintasan optik maka pergeseran semakin banyak
juga pergeseran jumlah rumbai yang teramati
Grafik hubungan ∆d dengan ∆N tidak dapat terdefinisi
J. KESIMPULAN
1. Interferensi adalah superposisi dua buah gelombang atau lebih yang bertemu
pada satu titik ruang. Hasil interferensi yang berupa pola cincin terang gelap
dapat digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan
dengan interferensi,
Interferometer michelson merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi cahaya. Interferensi cahaya sendiri
merupakan perpaduan antara dua gelombang cahaya.
Interferometer Michelson mampu mengukur perubahan pengukuran dalam
nilai yang kecil, akan tetapi dibatasi oleh perubahan orde pola frinji pada
interferensi yang terjadi. Pola frinji yang terbentuk, terjadi karena adanya
peristiwa interferensi cahaya.
2. Panjang gelombang yang didapatkan dari percobaan ini meggunakan rumus
2∆d
λ= , dari rumus tersebut didapatkanlah seperti pada tabel
∆N
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
Berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan bahwa hubungan 𝜆 (panjang
gelombang) dengan perubahan jumlah frinji (∆ N) berbanding terbalik,
dimana semakin besar ∆ N (perubahan jumlah frinji), maka 𝜆 (Panjang
gelombang) akan semakin kecil, begitupun sebaliknya
Panjang gelombang (𝜆) pada percobaan keempat dan kelima besarnya sama,
karena pergeseran jumlah frinji (ΔN) sama. Dan jika dibandingkan dengan
teori yang ada, hasil perhitungan untuk Panjang gelombang yang didapatkan
tidak sesuai dengan nilai Panjang gelombang yang disebutkan dalam
literatur.
K. DAFTAR PUSTAKA
Amelia, R, Ahmad Pauzi, G, Warsito 2015, ‘Analisis Pola Interferensi Pada
Interferometer Michelson Untuk Menentukan Indeks Bias Bahan Transparan
Berbasis Image Processing’, JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika, vol. 3, no. 2, pp.
131.
Halliday & Resnick 1984. Fisika Jilid 2 edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Tim Dosen Fisika Modern 2014, ‘PRAKTIKUM FISIKA MODERN’, UNJ: Jurusan
Fisika FMIPA, pp. 25-26