Anda di halaman 1dari 31

Tanggal Percobaan : 14 Oktober 2021

Tanggal Pengumpulan : 21 Oktober 2021

PRAKTIKUM FISIKA MODERN SEMESTER 115


PERCOBAAN MICHELSON

NAMA / NRM : 1. Fadli Handoyo (1306620012)


2. Irsya Luthfiah (1306620010)
3. Delila Septiani Dwi Putri (1306620028)
4. Annisa (1306620034)
KELOMPOK : 3B / 9
DOSEN
LaporanPENGAMPU
Awal : Dr. Esmar
Laporan Akhir Budi, S.Si.,MT
Kinerja Total
ASISTEN LABORATORIUM :
Rista putri nur ifa (1306619012) Risanti (1306619049)
Alayya Binta Maulida (1306619016) Sabila Fiqra Izzani (1306618062)
Ratna Komala Dewi (1306619020) Ridha Octa A.A (1306619066)
Ridho Achmadi (1306619034) Alya Muthiah (1306619071)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2021
A. TUJUAN
1. Mempelajari interferensi pada interferometer Michelson
2. Menentukan panjang gelombang sumber cahaya dengan pola interferensi.

B. TEORI DASAR
Interferensi adalah superposisi dua buah gelombang atau lebih yang bertemu pada
satu titik ruang. Hasil interfrensi yang berupa pola cincin terang gelap dapat
digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan dengan
interferensi, misalnya panjang gelombang suatu sumber cahaya, indeks bias, dan
ketebalan bahan. Jika 2 buah gelombang dengan frekuensi yang sama tetapi berbeda
amplitudo dan fase bersuperposisi, maka hasilnya dinyatakan dengan persamaan:
y=a1 sin ( ωt−α 1 ) +¿ a2 sin ( ωt−α 2 ) ¿ (1)
y= A sin ( ωt −α ) (2)
Dengan: A2=a21 +a22 +2 a1 a2 cos δ dan δ =α 1 −α 2
Dalam interferometer Michelson, berkas cahaya datang dipecah kedalam dua buah
berkas cahaya menggunakan beam splitter berupa plat kaca yang separuhnya
dilapisi perak. Selanjutnya kedua berkas cahaya ini dipantulkan oleh dua buah
cermin datar untuk kemudian bertemu kembali di beam spliiter dan diteruskan
sehingga membentuk pola interferensi di layar.

Gambar 1 Skematik interferometer Michelson dan pola interferensi

Berdasarkan dari beda lintasan berkas cahaya, maka beda fase pola interferensi
dinyatakan dengan:

δ= d sin θ (3)
λ
Dengan d sin θadalah beda panjang lintasan dan λ adalah panjang gelombang
cahaya yang digunakan dalam percobaan. Jika cermin pada interferometer
digerakan dan seting peralatan diputar 900 maka diharapkan terjadi pergeseran pola
(frinji/rumbai) interferensi. Pergeseran yang diharapkan adalah sebesar jumlah
rumbai/frinji ∆ N yang diakibatkan oleh pergeseran lintasan optis ∆ d dan dinyatakan
dengan persamaan:
2∆ d
∆ N= (4)
λ
(Tim Dosen Fisika Modern, 2014)

TEORI TAMBAHAN
Indeks bias dari sebuah material didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antara
kecepatan cahaya dalam ruang hampa terhadap kecepatan cahaya dalam suatu zat.
Pengukuran indeks bias dapat dilakukan dengan metode interferensi. Interferensi
merupakan superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu pada satu titik
ruang. Apabila perbedaan fase 0º atau bilangan bulat kelipatan 360º, gelombang
akan sefase dan berinterferensi saling menguatkan atau disebut dengan interferensi
konstruktif. Sedangkan jika perbedaan fasenya 180º, maka gelombang yang
dihasilkan akan berbeda fase dan berinterferensi saling melemahkan disebut dengan
interferensi destruktif. Interferensi menghasilkan pola – pola interferensi yang
digunakan dalam
penentuan indeks bias.
Pola interferensi tersebut dapat terbentuk dengan menggunakan interferometer.
Interferometer memiliki berbagai macam susunan seperti interferometer Michelson,
Fabry Perot dan Mach Zehnder. Interferometer Michelson memiliki susunan paling
sederhana dan memiliki akurasi yang sangat tinggi diantara interferometer yang
lain. Interferometer Michelson disusun oleh sumber cahaya yang koheren, dua
cermin, beam splitter dan detector.
Nilai indeks bias dipengaruhi oleh panjang gelombang cahaya dan keadaan suatu
medium seperti temperatur dan kerapatan. Pada penelitian Interferometer Michelso
n digunakan untuk menganalisa hasil interferensi berupa cincin – cincin terang gel
ap konsentris, kemudian menghitung jumlah perubahan frinji (∆m) yang terjadi seti
ap perubahan temperatur (∆T) pada sampel.
Indeks bias dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
N m −N a . λ
n= +1
2L (1)
Persamaan tersebut akan digunakan pada program untuk menghitung indeks bias b
ahan yang diuji. Parameter – parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan indeks

bias bahan ( n2 ), diantaranya yaitu jari-jari pusat pola interferensi tanpa sampel ( x 1 ),
selisih jari-jari pusat pola interferensi tanpa sampel dengan sampel ( Δx ), dalam ha
l ini sampel yang diuji yaitu kaca dan akrilik. Ketebalan bahan ( L ) yang digunaka

n pada penelitian ini adalah 2 mm dan 3 mm dan indeks bias udara ( n1 ) yang mem
iliki nilai = 1. Panjang gelombang laser ( λ ) diperoleh dengan persamaan berikut:
ΔN . λ
Δd=
2 (2)
2 Δd
λ=
ΔN (3)
Δd adalah perubahan lintasan optik, ΔN adalah perubahan jumlah frinji, dan λ adal
ah panjang gelombang laser yang digunakan. (Amelia, dkk, 2015)

Superposisi gelombang merupakan penjumlahan dua gelombang atau lebih yang


dapat melintasi ruang sama tanpa ada ketergantungan satu gelombang dengan yang
lain. Jika pada suatu tempat bertemu dua buah gelombang, maka resultan
gelombang di tempat tersebut sama dengan jumlah dari kedua gelombang tersebut.
Peristiwa ini disebut sebagai prinsip superposisi linier. Interferensi cahaya adalah
perpaduan dua atau lebih sumber cahaya sehingga menghasilkan keadaan yang lebih
terang (interferensi maksimum) dan keadaan yang gelap (interferensi minimum).
Syarat terjadinya interferensi cahaya adalah cahaya tersebut harus koheren yaitu
keadaan dua sumber cahaya atau lebih yang mempunyai frekuensi, amplitudo dan
beda fase yang tetap.
Prinsip interferensi adalah jika dua gelombang yang merambat dalam arah yang
sama (hampir sama) dengan beda fase yang tetap konstan terhadap waktu, maka
dapat terjadi keadaan sedemikian rupa sehingga energinya tidak didistribusikan
secara merata, tetapi pada titik-titik tertentu dicapai harga maksimum, dan pada
titik-titik lain dicapai harga minimum.
Pada percobaan Young, setiap celah bertindak sebagai sumber garis yang ekivalen
dengan sumber titik dalam dua dimensi. Pola interferensi diamati pada layar yang
jauh dari celah tadi, yang dipisahkan sejarak d. Pada jarak yang sangat jauh dari
celah, garis-garis dari kedua celah ke satu titik P di layar akan hampir sejajar, dan
perbedaan lintasannya kira-kira d sin θ. Dengan demikian terdapat interferensi
maksimum pada suatu sudut yang diberikan oleh:
d sin θ=nλ dengan n= 0, 1, 2, 3, …..

( 12 ) λ
d sin θ= n+

Untuk sudut yang kecil, yang diukur di sepanjang layar rumbai terang ke-n jarak di
antara dua rumbai terang berurutan diberikan oleh persamaan:
λL
y n=n
d
Jika terdapat tiga sumber atau lebih yang berjarak sama dan sefase satu sama lain,
pola intensitas pada layar yang jauh akan serupa dengan pola yang diberikan oleh
dua sumber, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Kedudukan maksima intensitas
di layar adalah sama tanpa memandang berapa banyak sumber yang ada, tetapi
maksima ini memiliki intensitas yang lebih terang dan lebih tajam jika terdapat
banyak sumber. (Sri Lestari Handayani, 2014)
Interferometer Michelson merupakan susunan alat optik paling umum yang
digunakan untuk interferometer. Pada Michelson Interferometer, sinar datang dibagi
menjadi dua bagian oleh beam splitter atau sepasang fiber optik (salah satu bagian
menjadi acuan). Penggunaan fiber optik yang telah meluas pada aplikasi teknologi
dalam kehidupan sehari – hari membuat peristiwa yang terjadi pada bahan ini
menarik untuk diamati.
Interferometer merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan suatu pola
interferensi. Interferometer dibagi menjadi 2 jenis, yaitu interferometer pembagi
muka gelombang dan interferometer pembagi amplitudo.
Interferometer Michelson adalah termasuk interferometer pembelah amplitudo
dimana interferometer ini sangat berguna dalam pengukuran indeks bias,
pengukuran panjang, pengukuran getaran (vibrasi) dan dapat juga digunakan untuk
pengukuran simpangan permukaan. (Nur Hanifah Fitriana, dkk, 2017)

Fenomena interferensi selalu berkaitan dengan teori gelombang cahaya. Superposisi


adalah salah satu sifat gelombang. Penjumlahan gelombang (superposisi) terjadi
ketika dua buah gelombang atau lebih yang menjalar dalam medium yang sama dan
pada saat yang sama akan menyebabkan simpangan dari partikel dalam medium
menjadi jumlah dari masing-masing simpangan yang mungkin ditimbulkan oleh
masing-masing gelombang. Prinsip penjumlahan simpangan akibat dua buah
gelombang atau lebih yang merambat dalam satu medium yang sama dan pada saat
yang sama sering disebut superposisi. Dalam superposisi dua gelombang atau lebih
dapat menghasilkan sebuah gelombang berdiri yang mungkin simpangannya saling
menguatkan atau saling melemahkan bergantung kepada beda fase gelombang-
gelombang tersebut. Berikut merupakan syarat terjadinya interferensi:
1. Kedua sumber cahaya harus koheren yaitu keduanya harus memiliki beda fase
yang selalu tetap, karena itu keduanya harus memiliki frekuensi yang sama.
2. Kedua gelombang cahaya harus memiliki amplitudo yang hampir sama jika
tidak interferensi yang di hasilkan kurang kontras Interferometer ialah piranti
yang menggunakan rumbai interferensi untuk membuat pengukuran jarak secara
tepat.

Michelson menggunakan interferometer untuk mengukur panjang gelombang garis


spectrum cahaya yang dipancarkan oleh krypton 86 yang dinyatakan dalam batan
meteran standar. Penggunaan lain interferometer Michelson ini ialah untuk
mengukur indeks refraksi udara (sejumlah gas lain). Pada tahun 1887, Albert A.
Michelso bersama Edward W. Morley menggunakan interferometernya dalam
percobaan terkenal, yaitu mengukur perbedaan antara kecepatan cahaya relative
terhadap bumi dalam arah gerak bumi dan dalam arah gerak tegak lurus dengan
medium yang diusulkan ialah eter, dengan hasil laporan bahwa percobaan tersebut
tidak teramati adanya pergeseran rumbai sebagai bukti bahwa bumi tidak bergerak
relative terhadap eter. Secara garis besar prinsip kerjanya digambarkan dalam
diagram skematik berikut ini:

Gambar Diagram skematik


Seperti yang ditunjukan oleh diagram skematik, Interferometer Michelson memiliki
cara kerja sebagai berikut. Gelombang dari sumber (berupa cahaya) dipancarkan
menuju beam splitter. Kemudian sebagian gelombang tersebut dipantulkan ke
cermin 1 dan sebagian lagi diteruskan ke cermin 2 (karena beam splitter memiliki
sifat pembagi gelombang). Gelombang yang dipantulkan oleh beam splitter menuju
C1 akan dipantulkan kembali melewati menuju layar. Sementara sebagian
gelombang yang diteruskan ke C2 akan melewati Plat Compensator () dan
dipantulkan kembali menuju Layar sehingga akan bergabung dengan pantulan
gelombang yang berasal dari C1 dan membentuk pola interferensi yang dapat
diamati dengan mudah di layar. Jika C2 digeser ke arah pembagi sejarak d maka
tebal pola akan bertambah sebanyak d dan akan menghasilkan beda lintasan optis
sejauh 2d karena gelombang cahaya melintasi jara tersebut sebanyak dua kali. Jika
jarak pindahnya C2 diketahui, maka panjang gelombang cahaya dapat ditentukan
dengan hubungan antara jarak pergeseran (C2) dan banyaknya perubahan pola
interferensi lingkaran. Menggeser cermin C2 dilakukan dengan cara memutar
mikrometer sekrup pada alat. Pola interferensi (gelap terang) yang terjadi seperti
gambar di bawah ini:

dY
I akan maksimum jika = πn, maka nλ= . Jarak maksimum ke minimum
L
nλL Y
diperoleh 2 Y = → 2d =nλ →2 d sin θ=nλ , karena θ≪tan θ sin θ=1. Jadi
d L
diperoleh hubungan 2 d=nλ , dimana n = orde interferensi; n = 0, 1, 2, 3, ……
(Halliday &Resnick, 1984)

Interferometer Michelson adalah instrument penting yang melibatkan interferensi


gelombang. Instrumen ini diciptakan oleh Albert A. Michelson.
Cahaya monokromatik dari satu titik pada sumber yang dipanjangkan terlihat
menimpa cermin Ms. Cermin pembagi berkas Ms ini memiliki lapisan perak tipis
yang hanya memantulkan setengah cahaya yang jatuh padanya, sehingga setengah
berkas akan lewat ke cermis M2, dimana berkas tersebut dipantulkan kembali.
Setengah berkas yang lain dipantulkan oleh Ms ke cermin M1 yang bisa digerakkan
(oleh sekrup), dimana berkas ini juga dipantulkan kembali. Pada saat kembali,
Sebagian berkas 1 melewati Ms dan mencapai sensor atau mata. Begitu juga
sebagian berkas 2, pada saat kembali, dipantulkan oleh Ms ke mata. Jika Panjang
kedua lintasan sama, kedua berkas koheren yang memasuki mata akan
berinterferensi konstruktif dan akan terlihat terang.
λ
Jika cermin yang dapat digerakkan sejauh , satu berkas akan menempuh jarak
4
λ λ
ekstra yang sama dengan (karena bergerak mundur maju sepanjang jarak ).
2 4
Dalam hal ini, kedua berkas akan berinterferensi destruktif dan akan terlihat gelap.
Sementara M1 bergerak lebih jauh, terang (Ketika perbedaan lintasan sebesar λ ) dan
kemudian gelap, akanterlihat bergantian. (Giancoli, 2014)
C. ALAT DAN BAHAN
Peralatan yang digunakan adalah:
1. Interferometer Michelson
2. Sumber sinar laser He-Ne.
3. Lensa positif dan pemegang lensa.
4. Pemecah berkas (beam splitter).
5. Layar

D. CARA KERJA
Langkah percobaan:
1. Menyusun peralatan seperti gambar 1.
2. Menyalakan sumber laser He-Ne.
3. Mengatur berkas sinar agar mengenai beam splitter dengan sudut datang
450.
4. Mengatur kedudukan kedua cermin sehingga berkas sinar interferensi pada
layar.
5. Memasang lensa sehingga terbentuk pola interferensi dengan jumlah rumbai
terbanyak.
6. Mengatur kembali seluruh komponen peralatan sehingga pola interferensi
cincin (lingkaran konsentrik) terbentuk jelas.
7. Mencatat jumlah rumbai yang terbentuk.
8. Mengubah cermin dan catat panjang lintasan optis.
9. Mengulangi langkah 8 sehingga pergeseran rumbai teramati.
10. Mengulang percobaan untuk panjang gelobang sinar laser yang berbeda.
E. PERTANYAAN AWAL
1. Jelaskan asal mula percobaan interferometer michelson dilakukan, mulai
dari tujuan, metode hingga hasilnya.
Jawab
Tahun 1887 fisikawan Amerika Serikat, Albert A Michelson dan E.W
Morley melakukan percobaan besar untuk menguji keberadaan eter.
Percobaan mereka tersebut pada dasarnya mempergunakan interferometer
Michelson yang di rancang khusus untuk melakukan percobaan ini.
Interferometer Michelson merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi cahaya. Interferensi cahaya sendiri
merupakan perpaduan antara dua gelombang cahaya. Interferensi cahaya ini
akan menghasilkan pola gelap dan terang. Jika kedua gelombang tersebut
memiliki fase yang sama maka akan terjadi interferensi konstruktif (saling
menguatkan) sehingga nantinya akan terbentuk pola terang, sedangkan jika
kedua gelombang tidak mempunyai fase yang sama maka akan terjadi
interferensi dekstruktif (saling melemahkan) sehingga terbentuk pola gelap.
Dalam percobaan ini, seberkas cahaya monokromatik dipisahkan menjadi
dua berkas yang dibuat dengan melewati dua lintasan yang berbeda dan
kemudian di perpadukan kembali. Karena adanya perbedaan panjang
lintasan yang di tempuh kedua berkas, maka akan tercipta suatu pola
interferensi. Di bawah ini adalah skema interferometer Michelson.
Cahaya akan dipancarkan dari laser, Kemudian sebagian cahaya oleh beam
splitter dipantulkan ke kanan dan sisanya di transmisikan ke atas. Bagian
yang ke kanan di pantulkan oleh cermin datar, cahaya akan di pantulkan
oleh cermin datar yang kedua juga akan dipantulkan kembali ke beam
splitter, kemudian bersatu dengan cahaya dari cermin 1 menuju layar,
sehingga kedua sinar akan berinterferensi yang ditunjukkan dengan adanya
pola-pola cincin gelap-terang (frinji).
Namun pada percobaan ini tidak ada perubahan sudut dan arah laser secara
signifikan ketika finjil mulai diubah. Sehingga percobaan ini gagal untuk
mengamati gerak bumi terhadap eter, yang membuktikan bahwasanya eter
itu tidak ada, serta kecepatan cahaya adalah sama untuk ke segala arah, tidak
bergantung pada kerangka acuan inersia.

2. Turunkan persamaan (4)


Jawab
∂λ
∆ λ=¿ ∨∆ d
∂d

|
∂ (2 d N )
|
−1
∆ λ= ∆d
∂d

∆ λ=|2 N ∆ d|
−1

−1
∆λ 2N ∆d
=¿ −1
∨¿
λ 2d N

∆ λ= |∆dd|λ
Setelah itu, turunkan terhadap variable bebas
∂N 2
=
∂d λ
Yang dimana yang menjadi variabel bebas adalah panjang lintasan (∂ d )
2∂ d
λ=
∂N
2∂d
∂ N=
λ
2∂d
∂ N=
∆λ

| |
∆d
d

∆ λ |∆ d |
2∂d d
∂ N=

∂ N=|
∆ d ∆ λ|
2 ∂ dd

∆ N =|
∆ λ ∆ d|
2 ∆ dd

2d
∆ N=
∆λ
F. DATA PENGAMATAN

d (mm) ∆ d (mm) N ∆N
2 2 6 0
4 2 7 1
6 2 11 4
8 2 14 3
10 2 17 3

NST Mikrometer Sekrup = 0,01 mm


Keterangan:
d = Panjang Lintasan
∆d= Perubahan Panjang Lintasan Optik
N= Jumlah Frinji
∆N = Selisih Jumlah Frinji

G. PENGOLAHAN DATA

1. Data Tunggal
a. Panjang Lintasan (d)
NST Mikrometer Sekrup = 0,01 mm
d
∆d KSR (d ± ∆ d )
(mm)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
4 1 0,005 (4 ± 0,01)×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 4
∆ d=0,005 mm KSR=0,125 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
6 1 0,005 (6 ± 0,005)× 10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 6
∆ d=0,005 mm KSR=0,083 % (4 AP )
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
8 1 0,005 (8 ± 0,005)× 10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 8
∆ d=0,005 mm KSR=0,0625 % (4 AP )
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
10 1 0,005 (10 ± 0,01)×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 10
∆ d=0,005 mm KSR=0,05 % ( 4 AP )

b. Perubahan Panjang Lintasan Optik (∆ d)


NST Mikrometer Sekrup = 0,01 mm

∆d
∆ (∆ d ¿ KSR ( ∆ d ± ∆( ∆ d ))
(mm)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10−3 m
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)
1 ∆d
∆ d= ×nst KSR= × 100 %
2 d
2 1 0,005 (2 ± 0,01) ×10 m
−3
∆ d= ×0,01 KSR= × 100 %
2 2
∆ d=0,005 mm KSR=0,25 % (3 AP)

c. Jumlah Frinji (N)


NST = 1 mm

N (∆ N ¿ KSR (N ± ∆ N)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
6 1 0,5 (6 ± 0,5)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 6
∆ N =0,5 KSR=8,33 % (2 AP)
7 1 ∆N (7 ± 0,5)
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
1 0,5
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 7
∆ N =0,5 KSR=7,14 %(2 AP)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
11 1 0,5 (11 ±1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 11
∆ N =0,5 KSR=4,54 % (2 AP )
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
14 1 0,5 (14 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 14
∆ N =0,5 KSR=3,57 % (2 AP)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
17 1 0,5 (17 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 17
∆ N =0,5 KSR=2,94 %(2 AP)

d. Perubahan Jumlah Frinji ( ∆ N )


NST = 1 mm

∆N ∆ (∆ N ¿ KSR ( ∆ N ± ∆(∆ N ))
1 ∆ (∆ N )
∆ (∆ N )= × nst KSR= ×100 %
2 ∆N
0 1 0,5 (0 ± 0,5)
∆ (∆ N )= ×1 KSR= × 100 %
2 0
∆ (∆ N )=0,5 KSR=Tidak terdefinisi
1 1 ∆N (1 ±1)
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
1 0,5
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 1
∆ N =0,5 KSR=50 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
4 1 0,5 (4 ±1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 4
∆ N =0,5 KSR=12,5 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
3 1 0,5 (3 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 3
∆ N =0,5 KSR=16,7 % (1 AP/ Error)
1 ∆N
∆ N = ×nst KSR= × 100 %
2 N
3 1 0,5 (3 ± 1)
∆ N = ×1 KSR= × 100 %
2 3
∆ N =0,5 KSR=16,7 % (1 AP/ Error)

2. Data Majemuk
Tidak Ada Data Majemuk

H. PERHITUNGAN DAN ANALISIS

Mencari panjang gelombang cahaya yang digunakan pada praktikum ini (λ), untuk
mencari Panjang gelombang cahaya (λ) menggunakan rumus
2∆d
λ=
∆N
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33

Grafik hubungan ∆ N vs ∆ d .
X=∆d
Y=∆N
x x2
NO y xy
(mm) (mm2)

1 2 0 4 0

2 2 1 4 2

3 2 4 4 8

4 2 3 4 6

5 2 3 4 6

∑ 2 2.2 4 4.4

2
Σ y . Σ x −Σ x . Σ xy
a=
n ( Σ x 2 ) −( Σ x )
2

(11 )( 20 ) −2 ( 22 )
a= 2
5 ( 20 )−( 10 )
a=∞

n . Σ xy−Σ x . Σ y
b=
n ( Σ x2 ) − ( Σ x )
2

5 ( 22 ) −( 10 )( 11 )
b= 2
5 ( 20 )−( 10 )
b=∞

y=a+bx
y=∞+ ∞ x

Secara matematis, hubungan antara ∆ d dengan ∆ N tidak menghasilkan


hubungan linear. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai y (atau ∆ N ) yang naik
pada percobaan ke-3, namun turun kembali dari percobaan ke 4-5.
Karena nilai a dan b tidak terdefinisi maka tidak dapat dibuat grafik
hubungan antara ∆ N terhadap ∆ d .

Grafik hubungan antara N terhadap d


X=d
Y=N
x2
NO x (m) y xy
(m2)

1 0,002 6 0,000004 0,012

2 0,004 7 0,000016 0,028

3 0,006 11 0,000036 0,066

4 0,008 14 0,000064 0,112

5 0,01 17 0,0001 0,17

∑ 0,03 55 0,00022 0,388

2
Σ y Σ x −Σ x Σ xy
a= 2 2
n Σ x −(Σ x)

(55 )( 0.00022 ) −(0.03)(0.388)


a= 2
5 ( 0.00022 )−( 0.03 )
0.00046
a=
0.0002

a=2.3

n ∑ xy −∑ x ∑ y
b=
n ∑ x 2−(∑ x )²

5 ( 0.388 )−( 0.03)(55)


b=
5 ( 0.00022 )−( 0.03 )2

0.29
b=
0.0002

b=1450

y=a+bx

y=2,3+ 1450 x

x y=a+bx

0.002 5.2

0.004 8.1

0.006 11

0.008 13.9

0.01 16.8
Grafik Hubungan antara Panjang lintasan terhadap
Jumlah Frinji
18
13.9
16
Jumlah Frinji (N)

14 16.8
12 8.1
10
8 11
6
4 5.2
2
0
0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 m
Panjang Lintasan (d)

ANALISIS

Pada praktikum yang berjudul interferometer Michelson memiliki beberapa tujuan,


diantaranya mempelajari interferensi pada interferometer Michelson dan
menentukan panjang gelombang sumber cahaya dengan pola interferensi.
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Interferometer
Michelson, Sumber sinar laser He-Ne, Lensa positif dan pemegang lensa, Pemecah
berkas (beam splitter), dan Layar.
Interferometer michelson merupakan seperangkat peralatan yang memanfaatkan
gejala interferensi cahaya. Interferensi cahaya sendiri merupakan perpaduan antara
dua gelombang cahaya.
Aplikasi yang paling terkenal dari interferometer Michelson adalah percobaan
Michelson-Morley yang memberikan bukti untuk relativitas khusus. Namun
interferometer Michelson dapat pula digunakan untuk berbagai macam aplikasi
yang berbeda.
Pada praktikum ini, dihitung berapa banyak pola interferensi yang terlihat serta
menghitung berapa panjang lintasanya. Prinsip kerja dari interferometer ini adalah
jika berkas cahaya dari laser jatuh pada permukaan pemecah cahaya (beam spitter),
cahaya akan dipecah menjadi dua, yaitu sebagai berkas akan dipantulkan dan
sebagian lagi akan diteruskan. Bagian yang diteruskan menuju cermin yang bisa
bergerak dan berkas cahaya yang menuju cermin (dipantulkan) tetap. Kedua berkas
cahaya akan dipantulkan oleh cermin masing-masing menuju beam spitter
kemudian ke layer pengamatan. Pada layar akan tampak bitnik-bintik terang gelap.
Lalu, jika diantara laser dan beam spitter diletakkan lensa, maka akan terbentuk
frinji di layar pengamat. Berdasarkan hasil praktikum, kami mengambil data d, N,
Δd, ΔN serta mengulangi percobaan tersebut hingga lima kali. Dan diperoleh data
sebagai berikut:
d (mm) ∆ d (mm) N ∆N
2 2 6 0
4 2 7 1
6 2 11 4
8 2 14 3
10 2 17 3

Berdasarkan data diatas, semakin besar nilai d (panjang lintasan) maka jumlah frinji
semakin banyak. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan antara d (panjang lintasan)
dan N berbanding lurus.
Berdasarkan data percobaan yang ada, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk
menghitung panjang gelombang (λ). Dengan menggunakan perubahan jumlah frinji
dan perubahan Panjang lintasan optic pada percobaan. Panjang gelombang dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
2∆d
λ=
∆N
Dari rumus berikut, didapatkanlah Panjang gelombang seperti pada tabel dibawah
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33

Berdasarkan hasil praktikum, hubungan 𝜆 (panjang gelombang) dengan perubahan


jumlah frinji (∆ N) berbanding terbalik, dimana semakin besar ∆ N (perubahan
jumlah frinji), maka 𝜆 (Panjang gelombang) akan semakin kecil, begitupun
sebaliknya.
Panjang gelombang (𝜆) pada percobaan keempat dan kelima besarnya sama, karena
pergeseran jumlah frinji (ΔN) sama. Dan jika dibandingkan dengan teori yang ada,
hasil perhitungan untuk Panjang gelombang yang didapatkan tidak sesuai dengan
nilai Panjang gelombang yang disebutkan dalam literatur.

Untuk grafik mengenai hubungan antara perubahan jumlah frinji (∆ N) terhadap


Perubahan Panjang Lintasan tidak dapat diperoleh. Hal ini dikarenakan, pada saat
proses membuat grafik dengan metode least square, nilai variabel a dan variabel b
tidak terdefinisi maka tidak dapat dibuat grafik hubungan antara ∆ N terhadap ∆ d .
Akan tetapi, secara matematis hubungan antara ∆ d dengan ∆ N tidak menghasilkan
hubungan linear. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai y (atau ∆ N ) yang naik pada
percobaan ke-3, namun turun kembali dari percobaan ke 4-5.
Untuk grafik mengenai hubungan Panjang lintasan (d) terhadap jumlah frinji (N),
didapatkan sebagai berikut:
Grafik Hubungan antara Panjang lintasan
terhadap Jumlah Frinji
18
13.9
Jumlah Frinji (N)

16
14 16.8
12 8.1
10
8 11
6
4 5.2
2
0
0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 m
Panjang Lintasan (d)

Dari grafik diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Panjang
lintasan terhadap jumlah frinji berbanding lurus. Dimana, nilai N akan semakin
besar jika nilai d juga semakin besar, begitupun sebaliknya. Hanya saja kesalahan
yang terjadi ∆d memiliki nilai yang konstan dengan ∆d = 0,002 sedangkan untuk
setiap kenaikan dari N tidak sesuai atau selaras dengan kenaikan variabel (d). Hal
ini memungkinkan terjadi seperti kesalahan yang terjadi dalam proses pengambilan
data.
Perbedaan-perbedaan yang tidak sesuai ini dapat terjadi, dikarenakan adanya
beberapa faktor kesalahan, diantaranya:
 Kurangnya ketelitian saat mengambil data praktikum
 Faktor alat yang mungkin fungsinya sudah tidak optimal, sehingga dapat
mempengaruhi data praktikum
 Faktor kesalahan dalam perhitungan maupun pembulatan angka

I. PERTANYAAN AKHIR
1. Hitung panjang gelombang sinar. Bandingkan dengan literatur. Buat analisa
dan jelaskan.
Jawab
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai Panjang gelombang sebagai
berikut:
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
λ rata−rata=tak terdefinisi
Pada saat mencari panjang gelombang cahaya dengan menggunakan
2∆d
persamaan λ= , pada saat d = 2mm dan N = 6 maka tidak dapat
∆N
ditentukan karena nilai ∆N sama dengan nol yang mengakibatkan panjang
gelombang cahayanya tidak terdefinisi karena pembaginya bernilai nol
Pada kondisi pertama dengan nilai ∆N = 0 tidak dapat didefinisikan berapa
nilai panjang gelombang karena pembanginya 0. Kemudian untuk percobaan
2 – 4 setiap perubahan frinji akan mempengaruhi nilai panjang
gelombangnya. Dari hasil perhitungan dapat di katakana bahwa jika
perubahan frinji semakin besar maka, panjang gelombang yang dihasilkan
akan semakin pendek.

2. Dengan menggunakan metode least square buat grafik hubungan ∆ d vs ∆ N .


Dari grafik tentukan nilai dan bandingkan dengan literatur. Jelaskan.
Jawab
X=∆d
Y=∆N
x x2
NO y xy
(mm) (mm2)

1 2 0 4 0

2 2 1 4 2

3 2 4 4 8

4 2 3 4 6

5 2 3 4 6

∑ 2 2.2 4 4.4

Σ y . Σ x 2−Σ x . Σ xy
a=
n ( Σ x 2 ) −( Σ x )
2

(11 )( 20 ) −2 ( 22 )
a= 2
5 ( 20 )−( 10 )
a=∞

n . Σ xy−Σ x . Σ y
b=
n ( Σ x2 ) − ( Σ x )
2

5 ( 22 ) −( 10 )( 11 )
b= 2
5 ( 20 )−( 10 )
b=∞

y=a+bx
y=∞+ ∞ x

Secara matematis, hubungan antara ∆ d dengan ∆ N tidak menghasilkan


hubungan linear. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai y (atau ∆ N ) yang naik
pada percobaan ke-3, namun turun kembali dari percobaan ke 4-5.
Karena nilai a dan b tidak terdefinisi maka tidak dapat dibuat grafik
hubungan antara ∆ N terhadap ∆ d .
Untuk mencari λ kita dapat menentukannya dari least square grafik
∆d
hubungan antara N terhadap d, dimana nilai nya sama dengan gradien
∆N
∆y
pada grafik tersebut m= . Diketahui persamaan garisnya adalah
∆x
y=2,3+ 1450 x yang berarti gradiennya adalah m = 1450.
2∆d
Sehingga, rumus λ= dapat dibuat menjadi λ=2 m, dengan m = gradien
∆N
grafik di λ=2 ( 1450 )=2900 m=0,0000029 nm
Panjang gelombang yang di dapat sangat berbeda dengan Panjang
gelombang pada literatur yaitu λ = 633 nm. Hal ini terjadi karena kurang
teliti nya praktikan dalam melihat pola gelap terang pada layar.

3. Jelaskan pergeseran jumlah rumbai yang teramati.


Jawab
Menurut yang didapatkan dari hasil percobaan dan litelatur, pergerseran
rumbai berbanding lurus dengan panjang lintasan optik, semakin panjang
lintasan optiknya maka nilai pergeseran rumbainya semakin besar. Dari nilai
ΔN perubahan frinji akan terus bertambah jika panjang lintasan juga
bertambah. Artinya kedua variabel tersebut memiliki hubungan berbanding
lurus antara perubahan frinji dan panjang lintasan garis.

4. Beri kesimpulan
Jawab
 Semakin besar panjang lintasan garis, maka jumlah friji akan
semakin besar. Artinya panjang lintasan garis berbanding lurus
dengan jumlah friji
 Semakin besar panjang lintasan garis, maka pergeseran jumlah friji
akan semakin besar. Artinya panjang lintasan garis berbanding
lurus dengan pergeseran jumlah friji. Akan tetapi, pada percobaan
ini, ΔN tidak meningkat secara teratur.
 Semakin panjang lintasan optik maka pergeseran semakin banyak
juga pergeseran jumlah rumbai yang teramati
 Grafik hubungan ∆d dengan ∆N tidak dapat terdefinisi

J. KESIMPULAN

1. Interferensi adalah superposisi dua buah gelombang atau lebih yang bertemu
pada satu titik ruang. Hasil interferensi yang berupa pola cincin terang gelap
dapat digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan
dengan interferensi,
Interferometer michelson merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi cahaya. Interferensi cahaya sendiri
merupakan perpaduan antara dua gelombang cahaya.
Interferometer Michelson mampu mengukur perubahan pengukuran dalam
nilai yang kecil, akan tetapi dibatasi oleh perubahan orde pola frinji pada
interferensi yang terjadi. Pola frinji yang terbentuk, terjadi karena adanya
peristiwa interferensi cahaya.
2. Panjang gelombang yang didapatkan dari percobaan ini meggunakan rumus
2∆d
λ= , dari rumus tersebut didapatkanlah seperti pada tabel
∆N
∆N ∆ d(mm) λ (mm)
0 2 Tak Terdefinisi
1 2 4
4 2 1
3 2 1,33
3 2 1,33
Berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan bahwa hubungan 𝜆 (panjang
gelombang) dengan perubahan jumlah frinji (∆ N) berbanding terbalik,
dimana semakin besar ∆ N (perubahan jumlah frinji), maka 𝜆 (Panjang
gelombang) akan semakin kecil, begitupun sebaliknya
Panjang gelombang (𝜆) pada percobaan keempat dan kelima besarnya sama,
karena pergeseran jumlah frinji (ΔN) sama. Dan jika dibandingkan dengan
teori yang ada, hasil perhitungan untuk Panjang gelombang yang didapatkan
tidak sesuai dengan nilai Panjang gelombang yang disebutkan dalam
literatur.

K. DAFTAR PUSTAKA
Amelia, R, Ahmad Pauzi, G, Warsito 2015, ‘Analisis Pola Interferensi Pada
Interferometer Michelson Untuk Menentukan Indeks Bias Bahan Transparan
Berbasis Image Processing’, JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika, vol. 3, no. 2, pp.
131.

Giancoli, D 2014, Fisika Prinsip dan Aplikasi Edisi Ketujuh, Erlangga.

Halliday & Resnick 1984. Fisika Jilid 2 edisi ketiga. Jakarta: Erlangga

Handayani Sri Lestari 2014, ‘ANALISIS POLA INTERFERENSI CELAH


BANYAK UNTUK MENENTUKAN PANJANG GELOMBANG LASER He-Ne
DAN LASER DIODA’, Jurnal Fisika, vol. 4, no. 1, pp. 26-27

Hanifah Fitriani, N, dkk 2017, ‘Pengaruh Suhu Terhadap Perubahan Pola


Interferensi Pada Fiber Optik’, Unnes Physics Journal, vol. 6, no. 1, pp. 46-47.

Tim Dosen Fisika Modern 2014, ‘PRAKTIKUM FISIKA MODERN’, UNJ: Jurusan
Fisika FMIPA, pp. 25-26

Anda mungkin juga menyukai