Oleh:
Frans Deminggus (116090200111011)
Yuris (116090200111004)
Zuri Rismiarti (116090200011007)
Algafari Bakti Manggara (116090200111009)
Candra Irawan (116090200111007)
Pauzan (116090200011005)
Layta Dinira
Nanang Tri Widodo (116090200111006)
Dhesy Galuh R.
Khoirun Nisyak
Risma Putri Disicahyani
Tingginya aktivitas ion Fe2+ sebagai pemicu terjadinya fiksasi hara P sehingga
ketersediaannya berbanding terbalik dengan tingkat aktivitas ion Fe 2+ tetapi berbanding
lurus dengan perubahan nilai Eh. Ponnamperuma, Castro dan Valencia (1969) menyatakan
bahwa umumnya potensial redoks mengalami penurunan dari 700 mV sampai –300 mV,
sedangkan pH sedimen berubah dari 4,5 menjadi 6,5 – 7,0. Patrick dan Redy (1978)
menjelaskan adanya perubahan pada sedimen tergenang yang disertai dengan perubahan
elektrokimia yang dapat merugikan tanaman. Potensial redoks merupakan sifat elektrokimia
yang dapat dipakai sebagai indikasi dalam mengukur derajat anaerobiosis tanah dan tingkat
transformasi biogeokimia yang terjadi (Patrick dan Mahapatra, 1968; Ponnamperuma,
1972). Kondisi anaerob, mikroorganisme fakultatif dan obligat akan menggunakan oksidan
anorganik selain oksigen sebagai akseptor elektron, seperti NO 3- Mn4+, Fe3+, CO2, N2 dan H+,
yang kemudian akan direduksi berturt-turut menjadi N 2, Mn2+, Fe2+, H2S, CH4, NH4+, dan NH2
(Patrick dan Reddy, 1978) yang juga telah diperoleh dari hasil kajian Basir-Cyio (2001) dan
Darman (2003).
Sedimen juga memiliki kemampuan mengikat kation-kation seperti Ca(II), Mg(II), K(I),
Na(I), H(I), Al(III), Fe(II), Mn(II), Zn(II), dan Cu(II). Kapasitas sedimen dalam mengikat dan
melepaskan kation-kation tersebut dinamakan kapasitas tukar kation (cation exchange
capacity). Jumlah ion logam yang terikat pada sedimen dipengaruhi oleh nilai kapasitas tukar
kation. Semakin tinggi kapasitas tukar kationnya, maka semakin banyak ion logam yang
terikat pada sedimen. Nilai kapasitas tukar kation berhubungan dengan banyaknya muatan
negatif dalam sedimen berupa lempung dan C-organik (organic matter). Semakin tinggi
jumlah C-organik sebagai penyumbang muatan negatif, maka semakin tinggi kemampuan
sedimen dalam mengikat kation (Horowitz, 1985; Ketterings et. al.,2007).
Bahan organik merupakan akumulasi dari sisa-sisa tanaman dan hewan yang
mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi faktor biologi, kimia, dan fisika serta
sebagian merupakan bahan yang resisten. Banyak sedikitnya bahan organik dalam sedimen
mempengaruhi sifat-sifat sedimen seperti daya penahanan air, kapasitas jerapan kation,
kapasitas penyediaan unsur-unsur N, P dan S, stabilitas struktur dan aerasi sedimen. Kadar C-
organik berlebih dalam komposisi sedimen dapat menyebabkan terjadinya beberapa efek
yang merugikan secara ekologis, antara lain kerusakan habitat akuatik sehingga memicu
terjadinya perubahan habitat bentik, nilai estetika perairan akan berkurang atau bahkan
hilang, serta mengurangi kapasitasnya sebagai wilayah resapan air (Rayment, G.E. dan F.R.
Higginson. 1992). Oleh karena itu penetapan kadar C-organik dalam sedimen penting untuk
dilakukan karena merupakan parameter kualitas suatu perairan darat.
Kandungan unsur fosfor dalam sedimen juga memiliki peranan yang penting dalam
sedimen, selain unsur logam dan senyawa organik. Fosfor berada di alam dalam bentuk
fosfat, selain itu juga dalam bentuk yang lain yaitu fosfat organik yang sering disebut
polifosfat atau petaposfat. Orto-fosfat terlarut terdiri dari ion-ion H 2PO4¬, HPO42-, PO43-. Orto-
fosfat dalam perairan terdapat dalam jumlah yang kecil, yang meruapakan faktor pembatas
bagi produktivitas perairan dalam. Orto-fosfat merupakan unsur hara yang realatif langka di
perairan sehingga merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis. Ketersediaannya
tidak hanya ditentukan oleh jumlah total fosfat, namun banyak dipengaruhi derajat
keasaman dan kadar Ca sebagai penentu kelarutan fosfat dalam bentuk Orto-fosfat. Orto-
fosfat adalah bentuk fosforus yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme nabati
(fitoplankton dan tumbuahan air). Konsentrasi orto-fosfat dalam air dapat berkurang karena
penyerapan fitoplankton (jasad nabati) dan bakteri serta adanya penyerapan oleh lumpur
dasar akibat kelebihan ion kalsium pada pH tinggi atau ion besi dan ion aluminium pada pH
rendah (Anonim dalam Assiniwora, 2002). Unsur fosfat sama halnya dengan unsur lain yang
terkandung di dalam air laut. Unsur ini juga sangat penting untuk pembentukan protein dan
metabolisme sel organisme. Hal ini dijelaskan oleh Sumawijaya (1974), bahwa fosfor sangat
dibutuhkan dalam transport energi pada sel dan terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit,
sehingga fosfor sering merupakan faktor pembatas bagi produktifitas perairan.
Sedimen berpengaruh terhadap ketersediaan fosfor di daerah perairan. Proporsi
fosfor yang tinggi dalam massa air akan berkurang oleh adanya penyerapan ke dalam
mineral sedimen. Satu fraksi menyerap ke dalam keadaan anionik dan lainnya ke dalam
struktur kisi kristal dengan menggantikan ion-ion hidroksil. Faktor utama yang mengatur
proses ini adalah kemampuan oksidasi reduksi, nilai-nilai pH dan kepekatan zat-zat
lainnya. Kandungan fosfat di dalam sedimen sanagt penting bagi kehidupan mikroorganisme
yang hidup di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan adanya analisis
kandungan fosfat di dalam sedimen.
Parameter kimiawi lain yang juga penting adalah kandungan oksigen terlarut dalam
sedimen atau yang juga disebut dengan Dissolved Oxygen (DO). Oksigen yang terlarut di
dalam sedimen ini berasal dari oksigen yang terlarut di dalam perairan yang dapat keluar
masuk sedimen melalui pori pada sedimen. Kandungan oksigen yang terdapat dalam
sedimen ini digunakan oleh mikroorganisme yang ada di dalam sedimen untuk bernafas
selain itu juga diperlukan utnuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak
tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah
cukup mendukung kehidupan organisme idealnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis
terhadap kadar DO dalam sedimen dengan tujuan untuk mengetahui apakah kandungan
sedimen di waduk Karangkates cukup untuk memenuhi kehidupan mikroorganisme di
dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka analisis terhadap sifat fisika dan sifat kimia sedimen
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui karakterisasi dari sedimen.
1.3 Tujuan
Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah:
1. Untuk mengetahui tekstur sedimen di Waduk Karangkates.
2. Untuk mengetahui porositas sedimen di Waduk Karangkates.
3. Untuk mengetahui densitas sedimen di Waduk Karangkates.
4. Untuk mengetahui pH sedimen di Waduk Karangkates.
5. Untuk mengetahui DO sedimen di Waduk Karangkates.
6. Untuk mengetahui potensial redoks sedimen di Waduk Karangkates.
7. Untuk mengetahui kandungan C organik dalam sedimen di Waduk Karangkates.
8. Untuk mengetahui KTK sedimen di Waduk Karangkates.
9. Untuk mengetahui kandungan nitrat dalam sedimen di Waduk Karangkates.
10. Untuk mengetahui kandungan N total sedimen di Waduk Karangkates.
11. Untuk mengetahui kandungan Fe dan Mn total dalam sedimen di Waduk Karangkates.
12. Untuk mengetahui kandungan fraksi Cu dan Zn dalam sedimen di Waduk Karangkates.
13. Untuk mengetahui kandungan fraksi fosfat dalam sedimen di Waduk Karangkates.
BAB II
PRINSIP METODE
Bi
( )
Porositas= 1−
Bj
×100 %
2.3.6 Penentuan Kadar Nitrat dalam Sedimen dengan Metode Fenol Sulfat
Penentuan kadar nitrat dilakukan secara spektrofotometri (SNI 06-2480-1991) dengan
menggunakan metode fenol sulfat dan absorbansi sampel sedimen diukur dengan alat
spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.
2.3.9 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
ELFE (Easily Leachable and Freely Exchangeable)
ELFE adalah fraksi logam yang terikat secara lemah pada permukaan sedimen melalui gaya
Van der Walls. Fraksi logam ini mudah dilepaskan dan dipertukar bebaskan. Pada penentuan
fraksi logam pada penelitian ini, fraksi ELFE merupakan fraksi pertama (F1) yang didapatkan
dengan cara ekstraksi sampel sedimen dengan asam asetat selama 16 jam (Yobouet dkk.,
2010). Logam pada fraksi mudah berpindah dan diasumsikan selalu tersedia pada sedimen.
Penurunan pH menyebabkan fraksi ini bermigrasi dari fase padat ke fase cair dan tanaman
(Zerbe dkk., 1999 dalam Yobouet dkk., 2010). Ekstraksi sampel sedimen dengan dengan
asam asetat selama 16 jam menyebabkan logam Cu dan Zn sebagai fraksi ELFE akan
terekstraksi pada fasa cair. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan
Zn yang terlarut.
AR (Acid Reduction)
Fraksi logam yang terikat dengan oksida atau hidroksida Fe dan Mn pada sedimen. Fraksi ini
sensitif terhadap perubahan potensial redoks dan mudah larut pada kondisi tereduksi
(Yobouet dkk, 2010). Pada percobaan ini fraksi AR terdapat sebagai filtrat fraksi kedua (F2)
yang didapatkan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut yang dapat mereduksi
keberadaan logam tersebut. Untuk mendapatkan fraksi kedua ini dilakukan ekstraksi dengan
NH2OH.HCl pada pH 2. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan Zn yang
terikat pada oksida besi dan mangan.
OO (Organik Oxidation)
Fraksi logam yang terikat pada asam humat atau asam fulvat. Fraksi logam ini dapat larut
pada pelarut yang mudah mengoksidasi (Yobouet dkk., 2010). Pada percobaan ini untuk
mendapatkan fraksi OO sebagi fraksi ketiga (F3) dilakukan ekstraksi dengan H 2O2 dan
dipanaskan selama 1 jam. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan
Zn yang terikat pada senyawa organik.
RF (Resistant Fraction)
Fraksi logam yang terikat kuat pada mineral sedimen. Pada kondisi alami, keberadaan fraksi
ini tidak dibutuhkan oleh makhluk hidup dan secara permanen tidak dapat berpindah. Fraksi
ini tidak dapat hancur dan mengganggu siklus biogeokimia. Pada percobaan ini untuk
mendapatkan fraksi RF sebagai fraksi keempat dilakukan destruksi dengan HNO 3 dan HClO4
selama ± 2 jam hingga tidak terbentuk asap putih lagi. Filtrat yang didapatkan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui
kadar logam Cu dan Zn yang terikat pada mineral.
2.3.10 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
Senyawa fosfat yang kompleks menyebabkan hampir tidak mungkin untuk
mengidentifikasi senyawa fosfat secara individual dan terpisah. Oleh sebab itu perlu
dilakukan fraksionasi, yaitu pengelompokan senyawa fosfat sedimen menggunakan
pengekstrak tertentu yang mengambilnya dari sedimen secara berurutan. Fraksionasi
didasarkan pada asumsi bahwa pengekstrak kimia akan secara selektif melarutkan senyawa
fosfat yang berbeda, seperti fosfat yang larut dalam air sedimen, terikat pada oksida logam,
terikat pada bahan organik sedimen, dan terikat pada mineral (Balai Penelitian Tanah, 2005).
Prosedur fraksinasi fosfat didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa fosfat
anorganik pada masing-masing ekstraktan. Pada sedimen masam, reagen amonium klorida
digunakan pertama kali untuk memisahkan fosfat yang terlarut pada air sedimen, kemudian
dilanjutkan dengan NaOH untuk memisahkan fosfat dari oksida Fe. Fosfat yang terikat pada
bahan organik sedimen dilepaskan menggunakan ekstraktan natrium sitrat-natrium
bikarbonat dilanjutkan dengan asam sulfat atau asam klorida untuk memisahkan fosfat yang
terikat kuat pada mineral (Zhang dan Kovar, 2000).
Fosfat dapat membentuk larutan kompleks yang berwarna bila direkasikan dengan
vanadomolibdat. Kompleks ini dalam suasana asam (asam nitrat) larut dalam air,
menghasilkan warna kuning yang efektif diukur pada panjang gelombang sekitar 420 – 440
nm dengan alat Spektrofotometer Visible (maupun Spektrofotometer UV-Vis). Intensitas
warna kuning sebanding dengan konsentrasi fosfat. Adanya amonium nitrat atau asam
nitrat, menyebabkan kompleks yang terbentuk tidak mengendap. Adapun reaksi yang terjadi
adalah (Svehla, 1985) :
HPO42- + 3NH4+ + 12MoO42- + 23H+ --> (NH4)3[P(Mo3O10)4]+ 12H2O
(NH4)3[P(Mo3O10)4 adalah kristal yang dapat mengendap, namun dengan adanya vanadat dan
asam nitrat, terjadi pelarutan kembali.
BAB III
METODOLOGI
Mp
- Va), sehingga dapat dihitung berat jenis sedimen dengan rumus: Bj = V p
Mp
- (Mp + Ms). Kemudian dapat dihitung berat isi dengan rumus: Bi = VS .
Untuk mengetahui porositas sedimen, maka dapat dilakukan penghitungan dengan
3.3.12 Penentuan Kadar Nitrat dalam Sedimen dengan Metode Fenol Sulfat
3.3.12.1 Pembuatan Larutan Fenol Sulfat
Larutan fenol sulfat dibuat dengan cara menimbang 7,5 gram fenol dan ditambah
dengan 50 mL larutan H2SO4 pekat dalam gelas kimia. Kemudian dipanaskan di atas
penangas air, didiinginkan dan dibiarkan selama 24 jam dalam botol berwarna.
3.3.12.2 Pembuatan Larutan Standar N-NO3 100 ppm
Padatan KNO3 ditimbang sebanyak 0,1630 gram dan dilarutkan dengan akuades
secukupnya dalam gelas kimia. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL,
ditambahkan akuades sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.12.3 Pembuatan Larutan Standar N-NO3 5 ppm
Larutan standar N-NO3 100 ppm diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL. Akuades ditambahkan sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.12.4 Pembuatan Deret Larutan Standar N-NO3 0-5 ppm
Larutan standar N-NO3 5 ppm diambil sebanyak 0,4; 0,8; 1,2; 1,6 dan 2,0 mL dan
masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dijadikan 5 mL dengan penambahan
air bebas ion. Deret standar ini memiliki konsentrasi 0,4; 0,8; 1,2; 1,6 dan 2,0 ppm N.
Deret standar masing-masing di atas ditambah 2 mL larutan fenol sulfat dan diaduk
sampai rata kemudian ditambah larutan amoniak pekat sebanyak 7 mL sehingga terbentuk
warna kuning. Lalu larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambah akuades sampai
tanda batas dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 410 nm. Setiap pengukuran
standar diikuti dengan blanko.
3.3.12.5 Analisis Kandungan Nitrat dalam Sampel Sedimen
Sampel sedimen ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam Erlemeyer 250
mL. Kemudian ditambahkan akuades sebanyak 50 mL dan diaduk dengan pengaduk
magnetik selama ± 15 menit. Sampel dienapkan kemudian dipisahkan dengan alat
sentrifugasi. Filtrat dimasukkan ke dalam Erlemeyer sambil disaring dengan menggunakan
kertas saring Whatman No. 41 sehingga diperoleh filtrat jernih kekuningan, kemudian
ditambahkan akuades sampai volume 50 mL.
Filtrat diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam beaker gelas 100 mL.
Kemudian dipanaskan di atas penangas air sampai hampir kering dan didinginkan. Setelah itu
ditambahkan larutan fenol sulfat sebanyak 2 mL, diaduk sampai rata kemudian ditambah
larutan amoniak pekat sebanyak 7 mL sehingga terbentuk warna kuning. Lalu larutan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambah akuades sampai tanda batas dan dikocok
hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak
pada panjang gelombang 410 nm.
teliti sebanyak 0,340 g yang sudah dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC. Kemudian
dilarutkan dengan akuades dalam gelas kimia dan ditambahkan 1 ml larutan HNO 3 (1:1).
Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, gelas kimia dibilas sampai bersih, dan
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dikocok sampai homogen, dan disimpan
dalam botol pereaksi polietilena (SNI 13-6974-2003).
3.3.15 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
3.3.15.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 0,11 M
Larutan CH3COOH 0,11 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara mengambil larutan
CH3COOH glasial sebanyak 0,63 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.15.2 Pembuatan Larutan NH2OH.HCl 0,1 M
Larutan NH2OH.HCl 0,1 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara menimbang padatan
NH2OH.HCl sebanyak 0,695 g. Padatan NH 2OH.HCl dilarutkan dengan sedikit akuades dalam
gelas kimia, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Akuades ditambahkan hingga
tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.3 Pembuatan Larutan H2O2 8,8 M
Larutan H2O2 8,8 M sebanyak 50 mL dibuat dengan cara mengambil larutan H 2O2 35%
sebanyak 38,6 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian ditambahkan
akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.15.4 Pembuatan Larutan Induk Cu 500 ppm
Padatan CuSO4.5H2O ditimbang sebanyak 0,1965 g. Padatan CuSO 4.5H2O dilarutkan
dengan sedikit akuades dalam gelas kimia. Larutan CuSO 4.5H2O dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL, ditambahkan akuades hingga tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.5 Pembuatan Larutan Standar Cu 10 ppm
Larutan induk Cu 500 ppm diambil sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.6 Pembuatan Larutan Standar Cu
Larutan standar Cu dibuat dengan konsentrasi yang bervariasi yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5
ppm dengan cara pengenceran dari larutan induk Cu 10 ppm dalam labu ukur 25 mL.
Perhitungan pengenceran digunakan rumus sebagai berikut:
C1 x V1 = C2 x V2
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus tersebut didapatkan volume larutan
induk Cu 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar Cu yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Volume larutan standar Cu 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar
Cu
C1 (ppm) V1 (mL) C2 (ppm) V2 (mL)
10 0 0 25
10 2,5 1 25
10 5 2 25
10 7,5 3 25
10 10 4 25
10 12,5 5 25
3.3.16 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
3.3.16.1 Pembuatan Larutan Amonium Klorida (NH4Cl) 1 M
Padatan NH4Cl ditimbang sebanyak 13,325 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.2 Pembuatan Larutan Amonium Florida (NH4F) 0,5 M pH 8,2
Padatan NH4F ditimbang sebanyak 4,625 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan diatur pH-nya menjadi 8,2
menggunakan larutan NH4OH berbagai konsentrasi. Larutan dimasukkan ke dalam labu takar
250 mL, diencerkan dengan larutan pH 8,2 hingga tanda batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.3 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M
Padatan NaOH ditimbang sebanyak 1 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.4 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M + NaCl 1 M
Padatan NaOH ditimbang sebanyak 1 gram dan padatan NaCl ditimbang 14,625 gram,
dicampur dalam satu gelas kimia, dan dilarutkan secukupnya menggunakan akuades.
Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL, diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.5 Pembuatan Larutan NaCl pekat
Padatan NaCl ditimbang sebanyak 400 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 1 L,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.6 Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M
Larutan H2SO4 pekat diambil sebanyak 3,5 mL menggunakan pipet ukur 10 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.7 Pembuatan Larutan HCl 0,5 M
Larutan HCl pekat diambil sebanyak 10,5 mL menggunakan gelas ukur 50 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.8 Pembuatan Larutan Natrium Sitrat 0,3 M
Padatan Na3C6H5O7.2H2O ditimbang sebanyak 22,05 gram, dipindahkan dalam gelas
kimia, dan dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu
takar 250 mL, diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai
homogen.
3.3.16.9 Pembuatan Larutan Natrium Bikarbonat 1 M
Padatan NaHCO3 ditimbang sebanyak 4,2 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 50 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.10 Pembuatan Larutan Induk Fosfat 2000 ppm
Padatan KH2PO4 ditimbang sebanyak 0,286 gram, (sebelumnya dikeringkan pada suhu
105 oC selama 2 jam), dimasukkan ke dalam gelas kimia, dilarutkan dengan akuades,
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan hingga tanda batas.
3.3.16.11 Pembuatan Larutan Standar Fosfat 200 ppm
Larutan induk fosfat 2000 ppm diambil sebanyak 10 mL, dimasukkan ke dalam gelas
kimia, ditambah 10 mL larutan HCl 25%, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan
diencerkan hingga tanda batas.
3.3.16.12 Pembuatan Deret Larutan Standar Fosfat (0 - 200 ppm)
Larutan standar fosfat 200 ppm diambil masing - masing sebanyak 0; 0,5; 2,5; 5; dan 10
mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Labu pertama hingga ke-empat diencerkan
hingga tanda batas 10 mL. Labu ke-lima tidak perlu diencerkan karena pengambilan larutan
standar adalah sebanyak 10 mL, sehingga diperoleh deret standar I = 0 ppm (blanko),
standar II = 10 ppm, standar III = 50 ppm, standar IV = 100 ppm, dan standar V = 200 ppm.
3.3.16.13 Pembuatan Pereaksi I Amonium Molibdat 1%
Padatan NH4Mo7O24.4H2O ditimbang sebanyak 1 gram, dimasukkan ke dalam gelas
kimia, ditambah air bebas ion hingga larut, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, lalu
ditambah air bebas ion hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.16.14 Pembuatan Pereaksi II Amonium Vanadat 0,5 %
Padatan NH4VO3 ditimbang 0,5 gram, dimasukkan ke dalam gelas kimia, ditambah 7 mL
larutan HNO3 67%, ditambah air bebas ion, dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL,
kemudian ditambah air bebas ion hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.16.15 Pembuatan Pereaksi Campuran
Pereaksi I 100 mL dan Pereaksi II 100 mL, dimasukkan ke dalam gelas kimia ukuran 250
mL.
3.3.16.16 Fraksinasi Fosfat
Langkah-langkah yang dilakukan dalam fraksinasi fosfat bergantung pada pH sampel
sedimen.
1. Fosfat sebagai fraksi ELFE
Untuk sedimen ber-pH asam, sampel dengan ukuran < 2 mm diambil sebanyak 1 gram
kemudian dimasukkan dalam tabung centrifuge 100 mL. Larutan NH4Cl 1 M sebanyak 50 mL
dimasukkan pada tabung tersebut kemudian dikocok selama 30 menit. Suspensi
disentrifugasi dan semua supernatan dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan
hingga tanda batas menggunakan akuades (ekstrak A).
Untuk sedimen ber-pH basa, sampel dengan ukuran <2 mm diambil sebanyak 1 gram
kemudian tambahkan larutan 0,1 M NaOH + 1 M NaCl sebanyak 50 mL dan dikocok selama
17 jam. Suspensi disentrifugasi dan semua supernatan dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL (ekstrak A). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat
ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan
NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan
tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
2. Fosfat sebagai fraksi AR
Untuk sedimen ber-pH asam, residu atau sampel sedimen hasil perlakuan di atas
ditambah dengan larutan NaOH 0,1 M sebanyak 50 mL lalu dikocok selama 17 jam untuk
mengekstrak fosfat yang terikat pada besi. Suspensi disentrifugasi dan semua supernatan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL (ekstrak B). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL
dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi.
Supernatan NaCl pekat ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan
awal. Penambahan larutan NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100
mL dilakukan duplo. Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat
hingga tanda batas, dan dikocok hingga homogen.
Sedangkan untuk sedimen ber-pH basa, residu pada poin 1 dimasukkan ke dalam labu
takar, ditambah 20 ml pengekstrak natrium bikarbonat, kemudian dikocok dan didiamkan
selama 30 menit.
3. Fosfat sebagai fraksi OO
Untuk sedimen dengan pH asam maupun basa perlakuannya sama, yaitu residu atau
sampel sedimen dari poin 2 ditambah dengan larutan Na 3C6H5O7 0,3 M sebanyak 40 mL dan
larutan NaHCO3 1 M sebanyak 5 mL. Suspensi dipanaskan menggunakan penangas air pada
temperatur 85 oC. Padatan Na2S2O4 ditambahkan sebanyak 1 gram sambil diaduk. Pemanasan
dilanjutkan selama 15 menit kemudian disentrifugasi. Semua supernatan dimasukkan labu
takar 100 mL (ekstrak C). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat
ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan
NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan
tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
4. Fosfat sebagai fraksi Refractory
Untuk sedimen ber-pH asam, sedimen atau residu dari poin 3 ditambah dengan larutan
H2SO4 0,25 M sebanyak 50 mL kemudian dikocok selama 1 jam. Suspensi kemudian
disentrifugasi selama 10 menit lalu semua supernatan dimasukkan dalam labu takar 100 mL
(ekstrak D). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi
berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat ditampung dalam
labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan NaCl pekat dan
penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan tersebut
kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok hingga
homogen.
Sedangkan untuk sedimen ber-pH basa sedimen atau residu dari poin 3 ditambah
dengan larutan HCl 0,5 M sebanyak 50 mL kemudian diaduk selama 1 jam menggunakan
shaker. Suspensi kemudian disentrifugasi selama 10 menit lalu semua supernatan
dimasukkan dalam labu takar 100 mL (ekstrak fosfat refractory). Sedimen dicuci dua kali
dengan 25 mL larutan NaCl pekat. Larutan ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah
berisi supernatan, diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
3.3.16.17 Penentuan Kadar Fosfat
a. Optimasi panjang gelombang spektrofotometer
Larutan standar 50 ppm diambil secukupnya lalu diukur serapannya mulai dari panjang
gelombang 400 nm hingga 500 nm dengan kenaikan 10 nm. Panjang gelombang dengan
absrobansi maksimum dicatat.
b. Pengukuran standar dan sampel
Larutan standar masing-masing diambil sebanyak 1 mL, dimasukkan dalam kuvet, dan
ditambahkan 9 mL pereaksi Campuran, lalu dikocok hingga homogen dan diukur serapannya.
Setelah diperoleh data masing-masing standar, kemudian dibuat kurva standar. Demikian
pula dengan larutan sampel (fosfat dari setiap fraksi), diambil 1 mL dan ditambahkan 9 mL
pereaksi campuran, lalu diukur serapannya. Percobaan dilakukan triplo.
y
ppm kurva= =b mg/L
a
Mr N O3 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = × b mg/L × × = c mg/L
Mr KN O3 5 mL 1000 mL
c mg/ L
Kadar NO3 (%) = mg × 100 %
kadar sampel ( )
L
Keterangan:
Massa gelas arloji 1 = 13,952 gram Massa gelas arloji 3 = 34,033 gram
Massa gelas arloji 2 = 13,176 gram Massa gelas arloji 4 = 25,499 gram
Berdasarkan data pada Tabel 4.1 tersebut dapat dihitung kadar air untuk masing-
masing sampel sedimen dari 4 titik adalah sebagai berikut:
1. Sedimen tepi titik 1
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 14,952 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 14,461 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 13,952 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
14,952−14,461
Kadar air ( % )= ×100 %
14,461−13,952
Kadar air ( % )=96,4 %
2. Sedimen tepi titik 2
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 14,176 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 13,654 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 13,176 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
14,176−13,654
Kadar air ( % )= ×100 %
13,654−13,176
Kadar air ( % )=109,2 %
3. Sedimen tengah titik 1
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 35,033 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 34,676 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 34,033 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
35,033−34,676
Kadar air ( % )= × 100 %
34,676−34,033
Kadar air ( % )=58,3 %
4. Sedimen tengah titik 2
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 26,499 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 26,129 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 25,499 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
26,499−26,129
Kadar air ( % )= × 100 %
26,129−25,499
Kadar air ( % )=58,73 %
Hasil perhitungan terhadap kadar air sampel sedimen diperoleh hasil kadar air sampel
sedimen tepi titik 1 sebesar 96,4 %, sedimen tepi titik 2 sebesar 109,2 %, sedimen tengah
titik 1 sebesar 58,3 % dan sedimen tengah titik 2 sebesar 58,73 %. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa untuk sedimen yang berada di tepi waduk memiliki kadar air yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sedimen yang berada di tengah waduk. Hal tersebut disebabkan
oleh sedimen pada tepi titik 1 dan 2 bertekstur liat sedangkan pada tengah titik 1 dan 2
bertekstur lempung berliat sehingga sedimen yang pada tepi memiliki kekuatan mengikat air
yang lebih besar dibandingkan dengan sedimen pada tengah.
Pada Tabel 4.3. dapat dilihat bahwa densitas sedimen tepi titik 1 adalah 2,62 g/cm 3,
sedimen tepi titik 2 adalah 2,75 g/cm3, sedimen tengah titik 1 adalah 2,45 g/cm 3 dan
sedimen tengah titik 2 adalah 2,35 g/cm 3. Data tersebut menunjukkan bahwa sedimen tepi
memiliki densitas yang lebih besar jika dibandingkan dengan sedimen tengah. Jika sedimen
mengandung banyak mineral maka sedimen akan memiliki densitas yang tinggi sedangkan
jika sedimen mengandung banyak senyawa organik maka sedimen akan memiliki densitas
yang rendah (Bashour dan Sayegh, 2007). Dengan demikian dapat diketahui bahwa sedimen
tepi memiliki kandungan mineral yang lebih banyak daripada sedimen tengah.
4.7 Penentuan Potensial Redoks Sedimen dengan Metode Multi Water Quality Checker
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap potensial redoks sedimen diperoleh data yang
ditunjukkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil Pengamatan Potensial Redoks Sedimen
No Lokasi Potensial Redoks
1 Tepi titik 1 156.5
2 Tepi titik 2 180.75
3 Perahu titik 1 198.25
4 Perahu titik 2 156.75
Sumber:
Sumber: LabFakultas
Lab. Tanah Tanah Fakultas
PertanianPertanian
UniversitasUniv. Brawijaya,
Brawijaya Malang,Mei
Mei2012
2012
Nilai potensial redoks suatu sedimen dapat memberikan suatu informasi tentang
kemampuan sedimen untuk mereduksi atau mengoksidasi senyawa, dimana hal ini
berhubungan erat dengan kondisi aerobik dan anaerobik (Rafaelly dan Hawkins, 1996).
Kondisi Eh yang rendah (< 0 mV) mengindikasikan adanya proses reduksi dimana kandungan
oksigen dalam sedimen juga rendah. Menurut Odum (1971) sedimen dasar suatu perairan
dibagi menjadi 3 zona antara lain:
Eh tinggi (> + 200 mv) merupakan zona oksidasi
Eh rendah (< 0 mv) merupakan zona reduksi
Eh sedang (0 – 200 mv) merupakan zona transisi
Jika dilihat dari data tersebut maka sampel sedimen tersebut pada Eh sedang (0 – 200
mv) merupakan zona transisi.
4.8 Penentuan Kandungan C Organik dalam Sedimen
Pada penentuan kandungan C-organik dalam sedimen ini, sebelum dilakukan
pengukuran masing-masing sampel sedimen sejumlah 0,5 gram dan larutan standar C 5000
ppm (0,1,2,3,4,5 mL) ditambah dengan 5 mL K2Cr2O7 1 N yang berfungsi sebagai media yang
direduksi oleh C-organik yang terdapat pada sampel serta 7,5 mL H2SO4 pekat. Tujuan
penambahan asam sulfat adalah untuk memberikan suasana asam karena proses reduksi
Cr6+ menjadi Cr3+ dapat berlangsung pada suasana asam. Larutan sampel dan larutan standar
C kemudian ditambah dengan akuades hingga tanda batas menjadi 100 mL. Hasil
pengamatan diperoleh larutan berwarna orange dan selanjutnya didiamkan selama
semalaman. Keesokan harinya diperoleh larutan sampel sedimen dan standar C berwarna
kuning dan standar C 0 ppm tetap berwarna orange. Menurut teori bahwa larutan yang
dihasilkan seharusnya berwarna hijau dari Cr 3+ (Vogel, 1989), tetapi hasil pengamatan
menunjukkan larutan berwarna kuning. Hal ini dimungkinkan Cr 6+ yang direduksi C-Organik
dalam sampel sedimen dan larutan standar konsentrasinya lebih sedikit daripada Cr 3+ sisa
yang tidak tereduksi sehingga warna hijau dari Cr 3+ tertutupi oleh warna orange dari Cr6+
sehingga warna yang teramati adalah kuning. Langkah ini tidak dilakukan pengulangan untuk
memastikan bahwa dugaan ini adalah benar karena keterbatasan bahan dan waktu, maka
larutan sampel sedimen dan standar C tetap dilakukan pengukuran dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 565 nm.
Tabel 4.9. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar C
Konsentrasi (A) Absorbansi
(ppm)
0 0
50 0,02
100 0,05
150 0,07
200 0,10
250 0,13
0.14
0.12 f(x) = 0 x
0.1
R² = 1
Absorbansi (A)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Konsentrasi (mg/L)
Nilai KTK dipengaruhi oleh jumlah kation-kation yang terikat pada sedimen. Semakin
banyak kation yang terikat pada sedimen, semakin tinggi nilai KTK-nya. Berdasarkan hasil
percobaan penentuan ion logam (Cu, Zn, Fe, Mn), jumlah meq/100 gram tiap-tiap logam
tersebut lebih kecil daripada nilai KTK. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen tidak hanya
mengikat kation-kation tersebut, kemungkinan sedimen juga mengikat kation lain seperti
Ca2+, Mg2+, K+, H+, dan NH4+. Terikatnya ion-ion tersebut dalam sedimen akan mempengaruhi
pH sedimen. Menurut Astera (2007), semakin banyak ion H + yang terikat pada sedimen,
maka pH sedimen akan semakin asam. Sebaliknya, semakin banyak kation seperti K +, Ca2+
dan Mg2+ akan menyebabkan pH sedimen semakin basa. Oleh sebab itu diperlukan analisis
lebih lanjut untuk mengetahui keberadaan ion-ion tersebut dalam sedimen.
Kapasitas sedimen dalam menukarkan kation dipengaruhi oleh material bermuatan
negatif yang terkandung dalam sedimen tersebut, yaitu mineral dan material organik. Oleh
karena nilai C-organik hasil percobaan jumlahnya kecil, maka kemungkinan kemampuan
sedimen mengikat kation hanya dipengaruhi oleh kandungan mineralnya. Berdasarkan nilai
KTK, dapat diketahui mineral yang terkandung dalam sedimen, hal ini kemungkinan dapat
menjelaskan kecilnya jumlah kation logam yang terikat oleh sedimen. Tabel 2 menunjukkan
hubungan antara nilai KTK dengan mineral yang terkandung dalam sedimen (Anonim 2, 2012)
Tabel 4.13. Hubungan KTK dengan Mineral Sedimen
Nilai KTK Mineral
3-15 kaolit
5-10 haloisit (2H2O)
40-50 haloisit (4H2O)
70-100 Golongan montmorilonit
10-40 Illit
100-150 Vermikulit
10-40 Klorit
11-20+ Glaukonit
20-30 Golongan Paligorskit
~ 70 Allofan
0.12
f(x) = 0.06 x
0.1 R² = 1
0.08
Absorbansi
0.06
0.04
0.02
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Konsentrasi (ppm)
0.03
0.02
Kadar Nitrat (%)
0.02
0.01
0.01
0
P-1 P-2 P-3 P4
Kode Sampel Sedimen
Gambar 4.4. Kadar Nitrat (%) dalam sedimen pada 4 titik pengambilan
Nitrat pada titik P-1 yaitu di tepi Waduk Karang Kates memiliki kadar tertinggi yaitu
sebesar 0.025% jika dibandingkan titik yang lainnya, sedangkan kadar nitrat terendah pada
titik P-3 yaitu sebsar 0.014%.
Absorbansi
0.15
0.1
0.05
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Konsentrasi (ppm)
0.5
f(x) = 0.12 x
0.4 R² = 1
Absorbansi
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Konsentrasi (ppm)
0.12
0.06
0.04
0.02
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
Konsentrasi (ppm)
2. Sedimen 2
0, 033
x= =0, 275 ppm
0, 121
3
0,275 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 2 = 1 g = 687,5 µg/g
3. Sedimen 3
0 ,1082
x= =0 ,894 ppm
0 ,121
3
0,894 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 3 = 1 g = 2235 µg/g
4. Sedimen 4
0 , 0980
x= =0 , 810 ppm
0 , 121
3
0,810 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 4 = 1 g = 2025 µg/g
. Data Absorbansi Mn(II) dalam Sampel
Tabel 4.21
Sampel Absorbansi
S1 0,0069
S2 0,0103
S3 0,0085
S4 0,0122
2. Sedimen 2
0 , 0103
x= =0 , 490 ppm
0 , 021
3
0,490 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Mn (µg/g) lokasi 2 = 1 g = 1225 µg/g
3. Sedimen 3
0 , 0085
x= =0 , 405 ppm
0 , 021
3
0,405 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
1g = 1012,5 µg/g
Kadar Mn (µg/g) lokasi 3 =
4. Sedimen 4
0, 0122
x= =0 ,581 ppm
0, 021
3
0,581 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
1g = 1452,5 µg/g
Kadar Mn (µg/g) lokasi 4 =
4.12.3 Pembahasan
Penentuan logam Mn dan Fe total dilakukan menggunakan destruksi basah secara
spektrofotometri dengan AAS. Destruksi basah dilakukan menggunakan aqua regia (HNO 3
dan HCl). Hal ini akan mengakibatkan unsur-unsur besi (Fe 2+ akan mengalami oksidasi seperti
yang disajikan pada reaksi 1 (Svehla, 1985).
2 Fe 2+ +HNO3 + 3HCl 2Fe 3+ + NOCl(g) + 2Cl- + 2H2O (1)
Berdasarkan reaksi di atas terlihat bahwa unsur-unsur Fe dalam sampel sedimen akan
teroksidasi menjadi Fe+3. Oleh sebab itu, pada kurva standar digunakan standar baku Fe (III)
dengan menggunakan garam rangkap NH 4Fe(SO4)2.12H2O. Garam rangkap ini dipilih karena
tergolong garam rangkap yang paling stabil dibandingkan garam rangkap lainnya seperti
FeCl3 dan Fe(NO3)3.
Destruksi basah dalam suasana asam dan pemanasan tersebut juga akan membuat
unsur mangan dalam sedimen akan terurai menjadi ion Mn 2+ seperti yang disajikan pada
reaksi 2 (Svehla, 1985).
Mn2O3 + HCl 2 Mn 2+ + Cl2 + 4 Cl- + 3 H2O (2)
MnO2 + 4HCl Mn 2+ + Cl2 + + 2 Cl- + 2 H2O
MnO3 + 2H+ Mn 2+ + O2 + H2O
Sedimen sampel yang diperoleh adalah sedimen dari Waduk Karangkates, dengan 4
titik lokasi pengambilan sampel yaitu, S1 merupakan tepi 1 waduk, S2 merupakan tepi 2
waduk , S3 merupakan sedimen yang berasal dari kedalaman tertentu (tengah 1), dan S4
berasal dari tengah 2 dengan kedalaman tertentu. Hasil spektrofotometer AAS terhadap
sampel diperoleh kadar Fe dalam sedimen seperti yang disajikan pada Tabel 4.22. dan Grafik
4.8.
Tabel 4.22. Kadar Fe dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Fe (ppm) Kadar Fe (µg/g)
S1 0,586 1465
S2 0,275 687,5
S3 0,894 2235
S4 0,810 2025
2500
2000
Kadar Fe (µg/g)
1500
1000
500
0
S1 S2 S3 S4
Lokasi pengambilan sampel
Data pada Grafik 4.8. menunjukkan bahwa kadar Fe (ppm) pada S1, S2, S3 dan S4
melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan yaitu 0,3 ppm untuk kadar Fe di perairan
dan baku mutu air minum (Environmental Agency of Japanese Government; Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara) dan 0,02 ppm untuk kehidupan ikan di perairan (Sylvester,
1958) serta menurut US EPA kadar Fe dalam sedimen yang dapat diterima sebesar 30 µg/g.
Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Fe dalam sedimen Waduk Karangkates tidak
dapat digunakan sebagai bahan baku air PDAM dan kehidupan ikan dalam waduk.
Besi pada air permukaan terdapat dalam beberapa bentuk, antara lain dalam bentuk
suspensi dari lumpur, sedimen liat dan partikel (dispersi) halus dari besi(III) hidroksida,
[Fe(OH)3] dalam bentuk koloid dan organik kompleks. Besi dalam air sedimen juga terdapat
dalam bentuk Fe(II) dan Fe(III) terlarut. Sifat kimia perairan dari besi adalah sifat redoks.
pembentukan kompleks, metabolisme oleh mikroorganisme, dan pertukaran dari besi antara
fasa dan fase padat yang mengandung besi karbonat, hidroksida dan sulfit. Pada kadar 1- 2
ppm besi dapat menyebabkan air berwarna kuning dan pahit (Amin, dkk., 2007). Filtrat
setelah destruksi berwarna kuning yang mengindikasikan bahwa sampel sedimen banyak
terdapat kandungan besi.
Selain itu, terlihat pada sifat fisik air pada waduk karangkates yang berwarna keruh.
Warna keruh yang dihasilkan, dapat diduga dari oksidasi Fe(II) oleh oksigen yang berasal dari
atmosfer ion ferro yang berubah menjadi ion ferri dengan reaksi sebagai berikut :
4Fe2+ + O2 + 10 H2O 4 Fe(OH)3 + 8H+
Oksidasi tersebut dapat terjadi dalam kondisi tidak ada oksigen air sedimen (DO
rendah). Apabila perairan memiliki kadar besi (Fe2+) yang tinggi maka berkolerasi dengan
kadar bahan organik yang tinggi atau air tersebut berasal dari air sedimen dalam, dengan
suasana anaerob atau dari lapisan dasar perairan yang sudah tak ada oksigen.
Hal ini didukung dari pengukuran DO yang menghasilkan nilai 0,49; 0,55; 0,50; 0,51
mg/L masing-masing berasal dari S1, S2, S3, S4. Nilai perairan yang diperuntukkan untuk
perikanan sebaiknya mengandung oksigen (DO) yang tidak kurang dari 5 ppm.
Besi (II) dapat terjadi sebagai jenis stabil yang larut dalam dasar danau dan sumber air
yang kekurangan oksigen. Ion FeOH + dapat terjadi dalam perairan yang bersifat basa, dan
adanya CO2 dapat membentuk FeCO3 yang tidak larut. Besi(II) dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan zat organik pengompleks yang dapat larut dalam air. Dalam perairan
dengan pH sangat rendah, kedua bentuk ion ferro dan ferri dapat ditemukan.
Hasil spektrofotometer AAS terhadap sampel diperoleh kadar Mn dalam sedimen
seperti yang disajikan pada Tabel 4.23. dan Grafik 4.9.
Tabel 4.23. Kadar Mn dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Mn (ppm) Kadar Mn (µg/g)
S1 0,328 822.5
S2 0,490 1225
S3 0,405 1012.5
S4 0,581 1432.5
1600
1400
1200
Kadar Mn (µg/g)
1000
800
600
400
200
0
S1 S2 S3 S4
Lokasi pengambilan sampel
4.13 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
4.13.1 Data Hasil Absorbansi Larutan Standar
Tabel 4.24. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Cu
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0
1 0,0183
2 0,0469
3 0,0655
4 0,0833
5 0,1043
0.12
Absorbansi
0.06
0.04
0.02
0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)
0.09
0.08
f(x) = 0.08 x
0.07 R² = 0.99
0.06
Absorbansi
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
Konsentrasi (ppm)
Zn ( mgL )= A 0,081
fraksi 2 0,0558
=
0,081
=0,6889 mg/ L
3
0,6889 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 2 = 1 g = 68,89 µg/g
3. Fraksi 3 (OO)
A fraksi 3 0,0516
Zn ( mg/ L )= = =0,6370 mg/ L
0,081 0,081
3
0,6370 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 3 = 1 g = 63,70 µg/g
4. Fraksi 4 (Refraktori)
A fraksi 4 0,0598
Zn ( mg/ L )= = =0,7383 mg/ L
0,081 0,081
3
0,7383 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 4 = 1 g = 73,83 µg/g
4.13.3 Pembahasan
Hasil spektrofotometer AAS terhadap sampel diperoleh kadar Cu dalam sedimen
seperti yang disajikan pada Tabel 4.28. dan Grafik 4.12.
Tabel 4.28. Kadar Cu dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Cu (ppm) Kadar Cu (µg/g)
F1 0,1524 15,24
F2 0,8286 82,86
F3 1,0524 105,24
F4 6,0571 605,71
700
600
500
Kadar Cu (µg/g)
400
300
200
100
0
1 2 3 4
Fraksi Cu
Grafik 4.12. Grafik kadar Cu pada sedimen tengah titik 2 (1) Fraksi Cu ELFE; (2) Fraksi Cu AR;
(3) Fraksi Cu OO dan (4) Fraksi Cu Refraktori
Kadar Zn (µg/g)
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4
Fraksi Zn
Grafik 4.13. Grafik kadar Zn pada sedimen tengah titik 2 (1) Fraksi Zn ELFE; (2) Fraksi Zn AR;
(3) Fraksi Zn OO dan (4) Fraksi Zn Refraktori
Berdasarkan hasil analisa geokimia logam Cu, diketahui fraksi geokimia logam Cu yang
ditunjukkan pada Tabel 4.28 yaitu fraksi EFLE 15,24 μg/g, fraksi AR 82,86 μg/g dan fraksi OO
105,24 μg/g, sedangkan fraksi reafraktori dari logam Cu 605,71 μg/g. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa jumlah fraksi refraktori lebih besar jika dibandingkan dengan ketiga
fraksi lainnya.
Penjumlahan secara matematis fraksi EFLE, acid reducible dan oxidisable organic
disebut sebagai fraksi non-refraktori. Fraksi ini sangat dipengaruhi oleh masukan
antropogenik logam daripada sumber alami logam, sedangkan fraksi refraktori berhubungan
dengan sumber yang berasal dari proses alam, yaitu dari penguraian kristal silikat dari
batuan.
Fraksi refraktori memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat konsentrasi logam Cu
pada sedimen waduk Karang Kates. Hal ini menandakan bahwa kandungan logam Cu pada
sedimen berasal dari proses penguraian kristal silikat, sehingga dapat dikatakan bahwa
sedimen merupakan source untuk logam Cu pada waduk Karang Kates.
Hasil analisa geokimia logam Zn yang ditunjukkan pada Tabel 4.29 menunjukkan fraksi
EFLE 14,44 μg/g, fraksi AR 68,89 μg/g dan fraksi OO 63,70 μg/g, sedangkan fraksi refraktori
dari logam Zn sebesar 73,83 μg/g. Fraksi non-refraktori logam Zn lebih besar dibandingkan
fraksi refraktori. Hak tersebut menunjukkan bahwa fraksi non-refraktori memiliki kontribusi
yang lebih besar terhadap tingkat konsentrasi logam Zn pada sedimen Waduk Karangkates.
Zn biasanya membentuk ikatan kompleks dengan ligan organik seperti asam humus.
Kandungan logam Zn dalam sedimen dimungkinkan sangat dipengaruhi oleh kandungan
bahan organik total. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sedimen
merupakan sink untuk logam Zn pada waduk Karang Kates.
4.14 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang sama untuk setiap
penentuan ELFE, AR, OO, dan refractory di semua stasiun, dimana hasilnya berupa tidak
ditemukan adanya fosfat di dalam sedimen di daerah Waduk Karang Kates. Hasil ini
disimpulkan berdasarkan uji yang telah dilakukan pada fraksi-fraksi yang diperoleh.
(d)
Gambar 4.14. (a) fraksi ELFE dari setiap stasiun, (b) fraksi AR dari setiap stasiun, (c) fraksi OO
dari setiap stasiun, (d) fraksi refractory dari setiap stasiun
Hal serupa juga terjadi pada pereaksi ammonium molidovanadat, awalnya kami
menganggap pereaksi ini telah rusak. Setelah itu, untuk membuktikan pereaksi tersebut
rusak atau tidak dilakukan uji terhadap larutan sampel. Larutan ammonium molibdat dan
beberapa tetes SnCl2 ditambahkan ke dalam larutan sampel, campuran ini seharusnya akan
menghasilkan larutan kompleks berwarna biru antara fosfat dengan ammonium molibdat.
Setelah pencampuran ternyata tidak terbentuk warna biru, warna sampel tetap bening.
Berdasarkan hasil tersebut, maka ditarik kesimpulan bahwa di dalam sampel larutan tidak
terdapat senyawa fosfat.
Gambar 4.16. Hasil reaksi antara larutan sampel, ammonium molibdat dan SnCl 2
Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan keadaan pada Waduk Karang Kates, dimana
pada daerah tersebut terdapat tanaman eceng gondok pada bagian tepi danau. Seperti yang
diketahui, pertumbuhan eceng gondok dipengaruhi oleh kelimpahan fosfat itu sendiri. Tidak
ditemukannya fosfat pada sampel dimungkinkan karena reagen-reagen yang dibuat tidak
menjerap senyawa fosfat pada sampel sedimen. Selain itu kemungkinan karena senyawa
fosfat itu sendiri tidak larut ke dalam sedimen atau jumlahnya sangat rendah.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sedimen di tepi waduk bertekstur liat, sedangkan sedimen di tengah waduk bertekstur
lempung berliat.
2. Sedimen di tepi waduk memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan dengan
sedimen di tengah waduk, sehingga diketahui bahwa sedimen di tepi waduk memiliki
kandungan mineral lebih banyak daripada sedimen di tengah waduk.
3. Sedimen tepi titik 1 dan 2 serta tengah titik 1 terletak pada kelas porous (berpori)
sedangkan sedimen tengah titik 2 terletak pada kelas baik.
4. Sedimen tepi dan tengah waduk memiliki nilai pH yang cenderung netral (pH 7),
sehingga kemampuan sedimen untuk menyimpan unsur hara cukup baik.
5. Kandungan oksigen terlarut di dalam sedimen di Waduk Karangkates tidak memenuhi
standar baku mutu minimal sedimen.
6. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki nilai Eh sedang yang merupakan
zona transisi.
7. Kadar C-Organik dalam sedimen waduk Karangkates tidak melebihi ambang batas atau
masih dalam batas yang diperbolehkan oleh BSN SNI.
8. Hasil pengukuran KTK sedimen waduk Karangkates sesuai dengan hasil analisis tekstur
sedimen dan analisis kandungan C-organik.
9. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki kandungan nitrat yang rendah,
yaitu P-1 =0,025 %, P-2 = 0,017 %, P-3 = 0,014 % dan P-4 = 0,022 %.
10. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki kandungan N total yang rendah
yaitu 0,47% pada lokasi 1; 0,37% pada lokasi 2 dan 0,29% pada lokasi 3.
11. Kandungan total logam Fe dan Mn dalam sedimen waduk Karangkates melebihi ambang
batas minimal untuk sedimen, sehingga jika ditinjau dari kandungan logam tersebut
maka waduk Karangkates tersebut tidak berfungsi sebagai sumber (source) namun
berfungsi sebagai penampung (sink).
12. Sedimen waduk Karangkates merupakan source untuk logam Cu dan merupakan sink
untuk logam Zn.
13. Pada sampel sedimen waduk Karngkataes tidak ditemukan adanya fosfat, kemungkinan
karena reagen-reagen yang dibuat tidak menjerap senyawa fosfat pada sampel sedimen.
Selain itu kemungkinan karena senyawa fosfat itu sendiri tidak larut ke dalam sedimen
atau jumlahnya sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Diagram Alir
1.1 Preparasi Sampel Sedimen
Sedimen basah
ditimbang masing-masing sebanyak 5 g dari keempat titik pengambilan
dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC hingga cukup kering
dikeluarkan dari oven
digerus dengan mortar
diayak dengan ayakan berukuran 40 dan 60 mesh
digunakan untuk analisis selanjutnya
Kadar Air
1.3 Penentuan Tekstur Sedimen
Sampel sedimen dengan ukuran ± 2 mm
ditimbang sebanyak 20 gram
dimasukkan ke dalam erlenmeyer
ditambahkan 50 mL akuades
ditambah 10 mL H2O2 30 %
ditambahkan 10 mL H2O2 30 % sambil dipanaskan hingga mendidih dan tidak bereaksi lag
ditambahkan larutan kalgon 5 %
dibiarkan semalaman
dipindahkan pada tabung pendispersi mekanik dan diaduk selama 5 menit
disaring dengan ayakan 0,05 mm
Hasil 20 mL pertama
Massa Debu
20 mL kedua
diletakkan pada cawan
dikeringkan
ditimbang massanya
Residu Filtrat
ditambah larutan CH3COONH4 0,5 M pH 7 10 mL
filtrat ditampung dalam labu takar 100 mL (penambahan CH3COONH4 pada residu terus dilakukan hingga labu takar menc
dicuci menggunakan etanol 96% sebanyak 20 mL
dikeringkan dalam oven
berat residu kering dicatat
Residu Filtrat
- ditambah larutan NaCl 5% 10 mL - ditampung dalam
labu takar 100 mL
Larutan standar Cu 0, 1,
2, 3, 4 dan 5 ppm
diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang
Kurva Standar Cu
diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang
Kurva Standar Zn
1.13.12 Penentuan Kandungan Cu dan Zn
Endapan F1 Filtrat F1
ditambah NH2OH.HCl 0,1 M pada pH 2 sebanyak 40 mL diukur dengan AAS
diekstraksi selama 16 jam
disaring Fraksi Cu dan Zn
(ELFE)
Endapan F2 Filtrat F2
ditambah H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL diukur dengan AAS
diekstraksi selama 1 jam
dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam Fraksi Cu dan Zn
ditambah H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL (AR)
dipanaskan kembali pada suhu 90oC selama 1 jam
didinginkan
disaring
Endapan F3 Filtrat F3
ditambah HClO4 pekat sebanyak 6 mL dan HNO3 pekat sebanyak 15 mL diukur dengan AAS
didestruksi selama ± 2 jam
disaring Fraksi Cu dan Zn
(OO)
Endapan F4 Filtrat F4
diukur dengan AAS
Fraksi Cu dan Zn
(Refraktori)
3.4 Analisis Kandungan Cu dan Zn
2. Perhitungan Pembuatan Larutan
2.1 Pembuatan Larutan KCl 1 M
Larutan KCl dibuat dengan konsentrasi 1 M sebanyak 100 mL, dengan perhitungan
massa padatan KCl yang dibutuhkan sebagai berikut:
massa 1000mL/L massa 1000mL/L
1M = × = ×
Mr V 74,5g/mol 100mL
Massa KCl = 7,45 g
2.2 Pembuatan Larutan CH3COOH 0,11 M
Larutan CH3COOH 0,11 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara pengenceran dari
larutan CH3COOH glasial 100% dalam labu ukur 100 mL. Perhitungan pengenceran larutan
CH3COOH glasial 100% adalah sebagai berikut:
Konsentrasi = 100 %
Massa jenis = 1,05 kg/L = 1,05 g/mL
Mr CH3COOH = 60 g/mol
100 mL g 105 g 1 1,75 mol 1,75mol
100 %= ×1,05 = × = = =17,5 M
100 mL mL 100 mL 60 g /mol 100 mL 0,1 L
Pengenceran larutan CH3COOH 17,5 M menjadi 0,11 M
C1 . V 1 = C2 . V 2
17,5 M . V1 = 0,11 M . 100 mL
V1 = 0,63 mL
2.3 Pembuatan Larutan NH2OH.HCl 0,1 M
Larutan NH2OH.HCl dibuat dengan konsentrasi 0,1 M sebanyak 100 mL, dengan
perhitungan massa padatan NH2OH.HCl yang dibutuhkan sebagai berikut:
massa 1000mL/L massa 1000mL/L
× = ×
0,1 M = Mr V 69,49g/mol 100mL
Massa NH2OH.HCl = 0,695 g
2.4 Pembuatan Larutan H2O2 8,8 M
Larutan H2O2 8,8 M sebanyak 50 mL dibuat dengan cara pengenceran dari larutan H 2O2
35% dalam labu ukur 50 mL. Perhitungan pengenceran larutan H 2O2 35% adalah sebagai
berikut:
Konsentrasi = 35%
Massa jenis = 1,110 kg/L = 1,110 g/mL
Mr H2O2 = 34 g/mol
35 mL g 38,85 g 1 1,14 mol 1,14 mol
35 %= × 1,110 = × = = =11,4 M
100 mL mL 100 mL 34 g /mol 100 mL 0,1 L