Anda di halaman 1dari 90

PROPOSAL PRAKTIKUM

ANALISA BAHAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN


“Analisis Sedimen Waduk Karang Kates, Malang”

Oleh:
Frans Deminggus (116090200111011)
Yuris (116090200111004)
Zuri Rismiarti (116090200011007)
Algafari Bakti Manggara (116090200111009)
Candra Irawan (116090200111007)
Pauzan (116090200011005)
Layta Dinira
Nanang Tri Widodo (116090200111006)
Dhesy Galuh R.
Khoirun Nisyak
Risma Putri Disicahyani

PROGRAM MAGISTER KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan aktivitas industri telah mengakibatkan semakin banyak bahan-bahan
limbah bersifat racun yang dibuang ke perairan. Bahan limbah dapat berasal dari limbah
industri, limbah rumah tangga, pertambakan PLTU, daerah wisata dan rekreasi, pelabuhan
dan jalur transportasi yang berada di sekitar perairan Malang, salah satunya di waduk
Karangkates. Keberadaan limbah di dalam perairan tersebut akan dapat menyebabkan
penurunan kualitas perairan dan menganggu kehidupan yang ada di dalamnya (Astuty,
2011). Kualitas perairan yang buruk tentu juga berdampak pada buruknya kualitas sedimen
di bawahnya, yang juga akan berakibat buruk pada mikroorganisme yang hidup di dalamnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi pada sedimen perlu
dilakukan analisis terhadap sifat fisika dan sifat kimia sedimen tersebut.
Sifat fisika sedimen, seperti tekstur dan ukuran partikel sedimen yang meliputi pasir,
liat dan debu dapat mempengaruhi kandungan material organik di dalam sedimen dan
menentukan gugus penukar kationnya. Distribusi logam berat pada sedimen juga
dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen, karena ukuran partikel mempunyai hubungan
dengan kandungan bahan organik sedimen. Sedimen dengan ukuran partikel halus memiliki
kandungan bahan organik yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan yang berukuran
kasar. Tingginya kadar bahan organik pada sedimen dengan ukuran butir lebih halus
disebabkan oleh adanya gaya kohesi (tarik-menarik) antara partikel sedimen. Pada sedimen
kasar, kandungan bahan organik rendah karena partikel yang halus tidak mengendap
(Fauziah, 2010).
Sifat fisika tanah yang lain adalah densitas dan porositas. Densitas adalah
perbandingan massa padatan kering dengan volume partikel padatan. Densitas tiap jenis
sedimen berbeda-beda tergantung pada mineral yang terdapat dalam partikel sedimen dan
kandungan senyawa organik dalam sedimen. Jika partikel sedimin mengandung banyak
mineral maka sedimen akan memiliki densitas yang tinggi sedangkan jika partikel sedimen
mengandung banyak senyawa organik maka sedimen akan memiliki densitas yang rendah
(Bashour dan Sayegh, 2007). Oleh karena itu perlu dilakukan uji densitas sedimen untuk
mengetahui komposisi sedimen.
Porositas adalah salah satu parameter fisika sedimen yang menunjukkan jumlah pori
dari sedimen. Pori yang terdapat di dalam sedimen berfungsi untuk pertukaran gas (O 2 dan
CO2) antara sedimen dan atmosfer, dan untuk keluar masuknya air. Porositas dipengaruhi
oleh tekstur dan struktur sedimen. Senyawa organik dapat memberikan pengaruh terhadap
porositas secara tidak langsung dengan memperbaiki struktur tanah (Bashour dan Sayegh,
2007). Jika porositas sedimen tinggi maka oksigen dan air akan tersuplai ke dalam sedimen
dengan baik sehingga akan meningkatkan kesuburan sedimen dan sebaliknya. Oleh karena
itu uji porositas sedimen ini perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas tanah.
Pencemaran logam berat merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan
semakin bertambahnya kebutuhan manusia. Dengan meningkatnya kebutuhan manusia dan
perkembangan teknologi tersebut, menyebabkan tingkat pencemaran logam berat
meningkat dengan pesat di suatu lingkungan. Hal ini dapat disebabkan oleh masuknya
limbah rumah tangga, industri dan pertanian dari berbagai bahan kimia yang sangat
berbahaya dan beracun meskipun dalam konsentrasi yang masih rendah (Naria, 2005).
Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan,
pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan
tersebut. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan
mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat di
dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di dalam air (Ardi, 2009). Kadar logam di dalam
sedimen dapat digunakan sebagai indikator pencemaran karena perannya sebagai ‘sink’ bagi
bahan-bahan pencemar (Arifin dan Diani, 2009).
Konsentrasi logam berat yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan dapat
menimbulkan bahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi. Toksisitas ini dapat
terakumulasi di sedimen karena adanya sifat tahan urai dari logam berat itu sendiri
(Rinawati, 2008). Salah satu contoh logam berat tersebut adalah Cu dan Zn. Berdasarkan
Canadian Standardfor Contaminated Sediments, nilai ambang batas untuk Cu dan Zn dalam
sedimen masing-masing adalah 30 dan 60 ppm (Takarina dkk., 2007).
Sedimen memiliki peranan penting di dalam penentuan kualitas air karena sedimen
dapat berperan sebagai tempat penampungan dari logam-logam berat dan memiliki potensi
melepaskan zat-zat pencemar tersebut kembali ke dalam perairan yang disertai perubahan
kondisi fisik kimiawi. Studi tentang kontaminasi logam berat dari sedimen untuk memonitor
pencemaran industri seringkali bergantung pada analisa kandungan logam secara total.
Tetapi informasi mengenai konsentrasi total tidak cukup untuk memahami tingkat logam
berat di lingkungan. Hal ini disebabkan karena hanya fraksi-fraksi tertentu dari kandungan
total tersebut yang tersedia untuk proses biologi atau diagenesis. Untuk mengetahui logam
berat di sedimen maka digunakan metode sequential extraction (Takarina dkk., 2007), yang
bertujuan untuk mengetahui persentase fraksi logam berat Cu dan Zn di dalam sedimen.
Logam di lingkungan perairan akan berasosiasi dengan berbagai ligan organik dan
anorganik yang terlarut, begitu pula sebaliknya fraksi yang lain akan berasosiasi dengan
bahan partikulat kimia. Sedimen dipengaruhi oleh hubungan logam - logam berat dengan
satu atau lebih dari komponen penyusun sedimen, karenanya konsentrasi logam berat
dalam fraksi sedimen memberikan gambaran tentang ketersediaan logam berat bagi biota.
Secara geokimia, logam berat di dalam sedimen terdapat dalam empat bentuk yaitu logam
berat yang labil dan mudah dipertukarkan hingga terlarut dalam air pori sedimen, logam
berat yang teradsorpsi pada permukaaan besi (III) dan Mn (IV) oksihidroksida, logam berat
yang terikat pada bahan organik sedimen, dan logam berat yang terikat pada mineral-
mineral sedimen (Ardi, 2009). Oleh karena itu pada percobaan ini pengamatan terhadap
kandungan logam berat dalam sedimen dilakukan dengan metode sequential extraction yang
didasarkan pada ektraksi untuk mendapatkan logam berat dalam empat bentuk tersebut.
Logam lain yang mungkin terdapat di dalam sedimen selain Cu dan Zn adalah logam Fe
dan Mn. Logam Fe dan Mn ini juga dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap
kualitas air jika berada dalam jumlah yang melebihi ambang batas, oleh karena itu perlu
dilakukan analisis terhadap logam Fe dan Mn ini. Metode yang digunakan untuk
menentukan kadar Fe dan Mn secara total adalah dengan menggunakan spektroskopi
serapan atom. Metoda ini dipilih karena Spektroskopi Serapan Atom merupakan salah satu
metoda analisa kuantitatif untuk menentukan kadar total logam (Fe dan Mn) yang memiliki
tingkat kepekaan yang lebih tinggi (akurasi dan presisi yang baik). Selain digunakan
spektroskopi serapan atom terlebih dahulu digunakan destruksi basah dalam preparasi
sampel sedimen. Metode destruksi basah menggunakan larutan aqua regia sesuai dengan
metode standar DIN 38 414 S7. Metode dektruksi basah dipilih karena memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan metode dekstruksi kering. Hal ini disebabkan destruksi
basah menggunakan suhu yang lebih rendah dari suhu pada destruksi kering yang
memperkecil kemungkinan hilangnya unsur-unsur, sehingga konsentrasi yang didapat lebih
besar dengan kisaran yang sempit. Waktu yang diperlukan pun relatif lebih cepat dari
destruksi kering (Diana, dkk., 2011).
Sifat kimiawi sedimen yang dapat mempengaruhi fraksi logam adalah pH karena
kelarutan logam di dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan
logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi
hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan
mengendap membentuk lumpur. Selain itu, kenaikan suhu air laut dan penurunan pH akan
mengurangi adsorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air laut yang lebih dingin
akan meningkatkan adsorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar laut (Ardi,
2009).
Salah satu dinamika ion yang paling menonjol dalam sedimen adalah kelarutan besi
dari ion Fe3+ menjadi Fe2+ yang berpotensi menyebabkan keracunan. Perubahan bentuk Fe 3+
menjadi Fe2+ terjadi karena adanya perubahan suasana oksidatif menjadi reduktif. Reaksi
tersebut melibatkan aktivitas mikroba tanah menstimulasi proses reduksi Fe 3+ menjadi Fe2+,
meningkatkan pH, menurunkan Eh, dan terjadi peningkatan ketersediaan P. Reaksi reduksi
besi dapat digambarkan berikut ini (Yoshida, 1981).

Tingginya aktivitas ion Fe2+ sebagai pemicu terjadinya fiksasi hara P sehingga
ketersediaannya berbanding terbalik dengan tingkat aktivitas ion Fe 2+ tetapi berbanding
lurus dengan perubahan nilai Eh. Ponnamperuma, Castro dan Valencia (1969) menyatakan
bahwa umumnya potensial redoks mengalami penurunan dari 700 mV sampai –300 mV,
sedangkan pH sedimen berubah dari 4,5 menjadi 6,5 – 7,0. Patrick dan Redy (1978)
menjelaskan adanya perubahan pada sedimen tergenang yang disertai dengan perubahan
elektrokimia yang dapat merugikan tanaman. Potensial redoks merupakan sifat elektrokimia
yang dapat dipakai sebagai indikasi dalam mengukur derajat anaerobiosis tanah dan tingkat
transformasi biogeokimia yang terjadi (Patrick dan Mahapatra, 1968; Ponnamperuma,
1972). Kondisi anaerob, mikroorganisme fakultatif dan obligat akan menggunakan oksidan
anorganik selain oksigen sebagai akseptor elektron, seperti NO 3- Mn4+, Fe3+, CO2, N2 dan H+,
yang kemudian akan direduksi berturt-turut menjadi N 2, Mn2+, Fe2+, H2S, CH4, NH4+, dan NH2
(Patrick dan Reddy, 1978) yang juga telah diperoleh dari hasil kajian Basir-Cyio (2001) dan
Darman (2003).
Sedimen juga memiliki kemampuan mengikat kation-kation seperti Ca(II), Mg(II), K(I),
Na(I), H(I), Al(III), Fe(II), Mn(II), Zn(II), dan Cu(II). Kapasitas sedimen dalam mengikat dan
melepaskan kation-kation tersebut dinamakan kapasitas tukar kation (cation exchange
capacity). Jumlah ion logam yang terikat pada sedimen dipengaruhi oleh nilai kapasitas tukar
kation. Semakin tinggi kapasitas tukar kationnya, maka semakin banyak ion logam yang
terikat pada sedimen. Nilai kapasitas tukar kation berhubungan dengan banyaknya muatan
negatif dalam sedimen berupa lempung dan C-organik (organic matter). Semakin tinggi
jumlah C-organik sebagai penyumbang muatan negatif, maka semakin tinggi kemampuan
sedimen dalam mengikat kation (Horowitz, 1985; Ketterings et. al.,2007).
Bahan organik merupakan akumulasi dari sisa-sisa tanaman dan hewan yang
mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi faktor biologi, kimia, dan fisika serta
sebagian merupakan bahan yang resisten. Banyak sedikitnya bahan organik dalam sedimen
mempengaruhi sifat-sifat sedimen seperti daya penahanan air, kapasitas jerapan kation,
kapasitas penyediaan unsur-unsur N, P dan S, stabilitas struktur dan aerasi sedimen. Kadar C-
organik berlebih dalam komposisi sedimen dapat menyebabkan terjadinya beberapa efek
yang merugikan secara ekologis, antara lain kerusakan habitat akuatik sehingga memicu
terjadinya perubahan habitat bentik, nilai estetika perairan akan berkurang atau bahkan
hilang, serta mengurangi kapasitasnya sebagai wilayah resapan air (Rayment, G.E. dan F.R.
Higginson. 1992). Oleh karena itu penetapan kadar C-organik dalam sedimen penting untuk
dilakukan karena merupakan parameter kualitas suatu perairan darat.
Kandungan unsur fosfor dalam sedimen juga memiliki peranan yang penting dalam
sedimen, selain unsur logam dan senyawa organik. Fosfor berada di alam dalam bentuk
fosfat, selain itu juga dalam bentuk yang lain yaitu fosfat organik yang sering disebut
polifosfat atau petaposfat. Orto-fosfat terlarut terdiri dari ion-ion H 2PO4¬, HPO42-, PO43-. Orto-
fosfat dalam perairan terdapat dalam jumlah yang kecil, yang meruapakan faktor pembatas
bagi produktivitas perairan dalam. Orto-fosfat merupakan unsur hara yang realatif langka di
perairan sehingga merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis. Ketersediaannya
tidak hanya ditentukan oleh jumlah total fosfat, namun banyak dipengaruhi derajat
keasaman dan kadar Ca sebagai penentu kelarutan fosfat dalam bentuk Orto-fosfat. Orto-
fosfat adalah bentuk fosforus yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme nabati
(fitoplankton dan tumbuahan air). Konsentrasi orto-fosfat dalam air dapat berkurang karena
penyerapan fitoplankton (jasad nabati) dan bakteri serta adanya penyerapan oleh lumpur
dasar akibat kelebihan ion kalsium pada pH tinggi atau ion besi dan ion aluminium pada pH
rendah (Anonim dalam Assiniwora, 2002). Unsur fosfat sama halnya dengan unsur lain yang
terkandung di dalam air laut. Unsur ini juga sangat penting untuk pembentukan protein dan
metabolisme sel organisme. Hal ini dijelaskan oleh Sumawijaya (1974), bahwa fosfor sangat
dibutuhkan dalam transport energi pada sel dan terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit,
sehingga fosfor sering merupakan faktor pembatas bagi produktifitas perairan.
Sedimen berpengaruh terhadap ketersediaan fosfor di daerah perairan. Proporsi
fosfor yang tinggi dalam massa air akan berkurang oleh adanya penyerapan ke dalam
mineral sedimen. Satu fraksi menyerap ke dalam keadaan anionik dan lainnya ke dalam
struktur kisi kristal dengan menggantikan ion-ion hidroksil. Faktor utama yang mengatur
proses ini adalah kemampuan oksidasi reduksi, nilai-nilai pH dan kepekatan zat-zat
lainnya. Kandungan fosfat di dalam sedimen sanagt penting bagi kehidupan mikroorganisme
yang hidup di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan adanya analisis
kandungan fosfat di dalam sedimen.

Parameter kimiawi lain yang juga penting adalah kandungan oksigen terlarut dalam
sedimen atau yang juga disebut dengan Dissolved Oxygen (DO). Oksigen yang terlarut di
dalam sedimen ini berasal dari oksigen yang terlarut di dalam perairan yang dapat keluar
masuk sedimen melalui pori pada sedimen. Kandungan oksigen yang terdapat dalam
sedimen ini digunakan oleh mikroorganisme yang ada di dalam sedimen untuk bernafas
selain itu juga diperlukan utnuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak
tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah
cukup mendukung kehidupan organisme idealnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis
terhadap kadar DO dalam sedimen dengan tujuan untuk mengetahui apakah kandungan
sedimen di waduk Karangkates cukup untuk memenuhi kehidupan mikroorganisme di
dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka analisis terhadap sifat fisika dan sifat kimia sedimen
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui karakterisasi dari sedimen.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah tekstur sedimen di Waduk Karangkates?
2. Bagaimanakah porositas sedimen di Waduk Karangkates?
3. Bagaimanakah densitas sedimen di Waduk Karangkates?
4. Bagaimanakah pH sedimen di Waduk Karangkates?
5. Bagaimanakah DO sedimen di Waduk Karangkates?
6. Bagaimanakah potensial redoks sedimen di Waduk Karangkates?
7. Bagaimanakah kandungan C organik dalam sedimen di Waduk Karangkates?
8. Bagaimanakah KTK sedimen di Waduk Karangkates?
9. Bagaimanakah kandungan nitrat dalam sedimen di Waduk Karangkates?
10. Bagaimanakah kandungan N total sedimen di Waduk Karangkates?
11. Bagaimanakah kandungan Fe dan Mn total dalam sedimen di Waduk Karangkates?
12. Bagaimanakah kandungan fraksi Cu dan Zn dalam sedimen di Waduk Karangkates?
13. Bagaimanakah kandungan fraksi fosfat dalam sedimen di Waduk Karangkates?

1.3 Tujuan
Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah:
1. Untuk mengetahui tekstur sedimen di Waduk Karangkates.
2. Untuk mengetahui porositas sedimen di Waduk Karangkates.
3. Untuk mengetahui densitas sedimen di Waduk Karangkates.
4. Untuk mengetahui pH sedimen di Waduk Karangkates.
5. Untuk mengetahui DO sedimen di Waduk Karangkates.
6. Untuk mengetahui potensial redoks sedimen di Waduk Karangkates.
7. Untuk mengetahui kandungan C organik dalam sedimen di Waduk Karangkates.
8. Untuk mengetahui KTK sedimen di Waduk Karangkates.
9. Untuk mengetahui kandungan nitrat dalam sedimen di Waduk Karangkates.
10. Untuk mengetahui kandungan N total sedimen di Waduk Karangkates.
11. Untuk mengetahui kandungan Fe dan Mn total dalam sedimen di Waduk Karangkates.
12. Untuk mengetahui kandungan fraksi Cu dan Zn dalam sedimen di Waduk Karangkates.
13. Untuk mengetahui kandungan fraksi fosfat dalam sedimen di Waduk Karangkates.
BAB II
PRINSIP METODE

2.1 Penentuan Kadar Air Sedimen


Dasar penentuan kadar air dalam sedimen adalah pengukuran berat dari suatu contoh
sedimen yang lebih lembab setelah dikeringkan pada suhu 105 oC. Kehilangan berat sama
dengan berat air yang terdapat dalam sampel sedimen. Kadar air (0) dihitung secara
gravimetri dengan satuan g/g yaitu berat air yang terdapat di dalam suatu massa sedimen
kering (0 = sedimen lembab - berat kering oven).

2.2 Sifat Fisika


2.2.1 Penentuan Tektur Sedimen
Bahan organik dioksidasi dengan H2O2 dan garam garam yang mudah larut dihilangkan
dari sedimen dengan HCl sambil dipanaskan. Bahan yang tersisa adalah mineral yang terdiri
atas pasir, debu dan liat. Pasir dapat dipisahkan dengan cara pengayakan basah, sedangkan
debu dan liat dipisahkan dengan cara pengendapan yang didasarkan pada hukum Stoke.
Berdasarkan metode tersebut maka akan diperoleh tekstur sedimen sebesar 100 %, dimana
100% tekstur sedimen = % pasir + % debu + % liat. Tekstur sedimen dapat ditentukan dengan
menggunakan segitiga tekstur yang ditunjukkan pada Gambar 1. Tekstur sedimen dapat
dilihat pada titik pertemuan garis dari prosentase ketiga bahan penyusun sedimen tersebut.
Gambar 1. Segitiga Tekstur (As-syakur, 2007)
2.2.2 Penentuan Densitas Sedimen
Berat jenis partikel (particle density) dari suatu sedimen menunjukan kerapatan dari
partikel padat secara keseluruhan. Berat jenis padatan sedimen didefinisikan sebagai
perbandingan antara massa padatan (Mp) dengan volume padatan (Vp) dari suatu sedimen.
Penentuan berat jenis padatan sedimen bisa dilakukan dengan memakai contoh sedimen
biasa. Contoh sedimen dimasukkan ke dalam alat piknometer dan ditentukan berat jenisnya.

2.2.3 Penentuan Porositas Sedimen


Porositas adalah parameter yang menunjukkan banyaknya pori pada sedimen.
Porositas ini sangat dipengaruhi oleh berat isi dan berat jenis dari sedimen, sehingga untuk
menentukan porositas dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Bi
( )
Porositas= 1−
Bj
×100 %

2.3 Sifat Kimia


2.3.1 Penentuan pH Sedimen
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H + dalam larutan sedimen, yang dinyatakan
sebagai -log[H+]. Peningkatan konsentrasi H+ menaikkan potensial larutan yang diukur oleh
alat dan dikonversi dalam skala pH. Konsentrasi H + yang diekstrak dengan air menyatakan
kemasaman aktif (aktual) sedangkan dengan pengekstrak KCl 1 M menyatakan kemasaman
cadangan (potensial).
2.3.2 Penentuan DO Sedimen
Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah oksigen sangat diperlukan oleh
makhluk hidup dalam air tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Konsentrasi oksigen
terlarut dalam sedimen ditentukan dengan menggunakan alat Multi Water Quality Checker.

2.3.3 Penentuan Potensial Rodeks Sedimen


Kemampuan (ability) sedimen untuk mereduksi atau mengoksidasi senyawa dikenal
sebagai potensial redoks (sering disingkat Eh). Dengan mengukur nilai Eh pada kedalaman
berbeda, lokasi dari lapisan Redox Potensial Discontinuity (RPD) dapat ditentukan.
RPD menggambarkan suatu perubahan dari kondisi oksidasi kereduksi, hal ini
berhubungan secara luas dengan lingkungan aerobik dan anaerobik.
Eh tinggi (> + 200 mV) merupakan zona oksidasi
Eh rendah (< 0 mV) merupakan zona reduksi
Eh sedang (0 – 200 mV) merupakan zona transisi

2.3.4 Penentuan Kandungan C Organik Sedimen


Karbon sebagai senyawa organik dalam sedimen akan mereduksi Cr 6+ yang berwarna
orange menjadi Cr3+ yang berwarna hijau dalam suasana asam. Reaksi yang terjadi adalah:
3C + 2 Cr2O72- + 16 H+ → 3 CO2 + 4 Cr3+ + 8H2O
Intensitas warna hijau yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur
dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 565 nm.

2.3.5 Penentuan KTK Sedimen


Sedimen merupakan partikel-partikel yang bermuatan negatif sehingga dapat
menyerap kation-kation. Ketika suatu sedimen direndam dalam suatu larutan garam,
contohnya amonium asetat, ion amonium akan diserap oleh sedimen dan sejumlah kation
akan dilepaskan dari sedimen pada larutan. Peristiwa ini disebut “pertukaran kation”. Ion
NH4+ berlebih dicuci menggunakan etanol 96%. Ion NH 4+ yang teradsorpsi oleh sedimen
kemudian ditukar dengan kation Na+ dari larutan NaCl, sehingga ion-ion NH 4+ terlepas dari
sedimen dan terlarut dalam filtrat. Jumlah mol ion NH 4+ yang terdapat dalam filtrat per
massa sampel yang digunakan ditentukan sebagai kapasitas tukar kation dengan satuan
meq/100 gram (Sarkar dan Haldar, 2005; Balai Penelitian Tanah, 2005).
Jumlah ion NH4+ dalam larutan dapat ditentukan dengan metode Nessler. Apabila ion
ammonium direaksikan dengan reagen Nessler (larutan basa dari kalium tetra iodo merkurat
(II)), akan didapatkan larutan yang berwarna kuning jingga dengan intensitas warna yang
dihasilkan sesuai dengan jumlah kandungan ion ammonium. Reaksi yang terjadi yaitu
(Svehla, 1985):
NH4+ + 2[HgI4]2− + 4OH− → HgO·Hg(NH2)I + 7I− + 3H2O

2.3.6 Penentuan Kadar Nitrat dalam Sedimen dengan Metode Fenol Sulfat
Penentuan kadar nitrat dilakukan secara spektrofotometri (SNI 06-2480-1991) dengan
menggunakan metode fenol sulfat dan absorbansi sampel sedimen diukur dengan alat
spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.

2.3.7 Penentuan Kadar N Total dalam Sedimen


Sampel didestruksi dengan menggunakan H2SO4 pekat untuk mengubah N menjadi
bentuk (NH4)2SO4 dan sedikit dibasakan dengan NaOH yang ditandai dengan terbentuknya
endapan. Kemudian ditambahkan larutan K.Na tartrat dan larutan Nessler sehingga apabila
ion ammonium direaksikan dengan reagen nessler akan didapatkan larutan yang berwarna
kuning dengan intensitas warna yang dihasilkan sesuai dengan jumlah kandungan ammonia
atau ion ammonium. Kemudian filtrat dianalisa menggunakan spektrofotometer sinar
tampak pada panjang gelombang 490 nm. Reaksi yang terjadi yaitu:
NH4+ + 2[HgI4]2− + 4OH− → HgO•Hg(NH2)I + 7I− + 3H2O

2.3.8 Analisis Kandungan Fe dan Mn Total pada Sedimen


Penentuan kadar logam total (Fe dan Mn) dalam sedimen dilakukan dengan cara
melakukan destruksi basah menggunakan aqua regia HNO3: HCl (1:3 v/v). Kemudian filtrat
sampel dilakukan analisis menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang
gelombang masing-masing logam. Hasil pengukuran spektrofotometer diplotkan ke dalam
kurva standar masing-masing logam sehingga dapat diperoleh kadar logam total dalam
sampel.

2.3.9 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
ELFE (Easily Leachable and Freely Exchangeable)
ELFE adalah fraksi logam yang terikat secara lemah pada permukaan sedimen melalui gaya
Van der Walls. Fraksi logam ini mudah dilepaskan dan dipertukar bebaskan. Pada penentuan
fraksi logam pada penelitian ini, fraksi ELFE merupakan fraksi pertama (F1) yang didapatkan
dengan cara ekstraksi sampel sedimen dengan asam asetat selama 16 jam (Yobouet dkk.,
2010). Logam pada fraksi mudah berpindah dan diasumsikan selalu tersedia pada sedimen.
Penurunan pH menyebabkan fraksi ini bermigrasi dari fase padat ke fase cair dan tanaman
(Zerbe dkk., 1999 dalam Yobouet dkk., 2010). Ekstraksi sampel sedimen dengan dengan
asam asetat selama 16 jam menyebabkan logam Cu dan Zn sebagai fraksi ELFE akan
terekstraksi pada fasa cair. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan
Zn yang terlarut.
AR (Acid Reduction)
Fraksi logam yang terikat dengan oksida atau hidroksida Fe dan Mn pada sedimen. Fraksi ini
sensitif terhadap perubahan potensial redoks dan mudah larut pada kondisi tereduksi
(Yobouet dkk, 2010). Pada percobaan ini fraksi AR terdapat sebagai filtrat fraksi kedua (F2)
yang didapatkan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut yang dapat mereduksi
keberadaan logam tersebut. Untuk mendapatkan fraksi kedua ini dilakukan ekstraksi dengan
NH2OH.HCl pada pH 2. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan Zn yang
terikat pada oksida besi dan mangan.
OO (Organik Oxidation)
Fraksi logam yang terikat pada asam humat atau asam fulvat. Fraksi logam ini dapat larut
pada pelarut yang mudah mengoksidasi (Yobouet dkk., 2010). Pada percobaan ini untuk
mendapatkan fraksi OO sebagi fraksi ketiga (F3) dilakukan ekstraksi dengan H 2O2 dan
dipanaskan selama 1 jam. Filtrat yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cu dan
Zn yang terikat pada senyawa organik.
RF (Resistant Fraction)
Fraksi logam yang terikat kuat pada mineral sedimen. Pada kondisi alami, keberadaan fraksi
ini tidak dibutuhkan oleh makhluk hidup dan secara permanen tidak dapat berpindah. Fraksi
ini tidak dapat hancur dan mengganggu siklus biogeokimia. Pada percobaan ini untuk
mendapatkan fraksi RF sebagai fraksi keempat dilakukan destruksi dengan HNO 3 dan HClO4
selama ± 2 jam hingga tidak terbentuk asap putih lagi. Filtrat yang didapatkan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui
kadar logam Cu dan Zn yang terikat pada mineral.

2.3.10 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
Senyawa fosfat yang kompleks menyebabkan hampir tidak mungkin untuk
mengidentifikasi senyawa fosfat secara individual dan terpisah. Oleh sebab itu perlu
dilakukan fraksionasi, yaitu pengelompokan senyawa fosfat sedimen menggunakan
pengekstrak tertentu yang mengambilnya dari sedimen secara berurutan. Fraksionasi
didasarkan pada asumsi bahwa pengekstrak kimia akan secara selektif melarutkan senyawa
fosfat yang berbeda, seperti fosfat yang larut dalam air sedimen, terikat pada oksida logam,
terikat pada bahan organik sedimen, dan terikat pada mineral (Balai Penelitian Tanah, 2005).
Prosedur fraksinasi fosfat didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa fosfat
anorganik pada masing-masing ekstraktan. Pada sedimen masam, reagen amonium klorida
digunakan pertama kali untuk memisahkan fosfat yang terlarut pada air sedimen, kemudian
dilanjutkan dengan NaOH untuk memisahkan fosfat dari oksida Fe. Fosfat yang terikat pada
bahan organik sedimen dilepaskan menggunakan ekstraktan natrium sitrat-natrium
bikarbonat dilanjutkan dengan asam sulfat atau asam klorida untuk memisahkan fosfat yang
terikat kuat pada mineral (Zhang dan Kovar, 2000).
Fosfat dapat membentuk larutan kompleks yang berwarna bila direkasikan dengan
vanadomolibdat. Kompleks ini dalam suasana asam (asam nitrat) larut dalam air,
menghasilkan warna kuning yang efektif diukur pada panjang gelombang sekitar 420 – 440
nm dengan alat Spektrofotometer Visible (maupun Spektrofotometer UV-Vis). Intensitas
warna kuning sebanding dengan konsentrasi fosfat. Adanya amonium nitrat atau asam
nitrat, menyebabkan kompleks yang terbentuk tidak mengendap. Adapun reaksi yang terjadi
adalah (Svehla, 1985) :
HPO42- + 3NH4+ + 12MoO42- + 23H+ --> (NH4)3[P(Mo3O10)4]+ 12H2O
(NH4)3[P(Mo3O10)4 adalah kristal yang dapat mengendap, namun dengan adanya vanadat dan
asam nitrat, terjadi pelarutan kembali.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat Percobaan


Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah gelas kimia 100, 250 dan 500 mL,
pipet ukur 10 mL, pipet volume 5 dan 10 mL, mikropipet 1 mL, labu ukur 25, 100, 250 dan
500 mL, Erlenmeyer 100 dan 250 mL, tabung reaksi dan rak, labu Kjeldahl, batang pengaduk,
gelas arloji, pipet tetes, karet hisap, oven, neraca analitik, mesin pengocok (shaker), kertas
indikator universal, pemanas listrik atau hot plate, gelas ukur 10, 25 dan 100 mL, desikator,
pinggan aluminium, ayakan 40 dan 60 mesh, mortar dan lumpang, spektrofotometer sinar
tampak dan kuvet, spektrofotometer UV-Vis dan kuvet, spektrofotometer serapan atom
(SSA), pH-meter, Multi Water Quality Checker, alat dispersi (mixer), alat sentrifugasi dan
kuvet, botol semprot, corong gelas, kertas saring dan kertas saring Whatman No. 41.

3.2 Bahan Percobaan


Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah CH3COOH glasial (100%, bj = 1,05
g/mL), H2O2 35% (bj = 1,110 g/mL), H2O2 30% (bj = 1,110 g/mL), HNO3 p.a. pekat (67%, bj =
1,51 g/mL), H2SO4 p.a. pekat (96%, bj = 1,84 g/mL), HCl p.a. pekat (37%, bj = 1,19 g/mL),
HClO4 p.a. pekat (bj = 1,67 g/mL), NH 3 pekat, etanol (C2H5OH) 96%, reagen Nessler, larutan
K.Na tartrat, padatan CuSO4.5H2O, padatan ZnSO4.7H2O, padatan hidroksilamin hidroklorida
(NH2OH.HCl), padatan KCl, padatan NaOH, padatan NH4Fe(SO4).12H2O, padatan MnSO4.2H2O,
tablet Kjeldahl, padatan (NH4)2SO4, padatan fenol, padatan KNO3, padatan NaCl, padatan
CH3COONH4, padatan K2Cr2O7, padatan NaPO3, padatan natrium karbonat (Na2CO3), padatan
NH4Cl, padatan NH4F, padatan Na3C6H5O7.2H2O, padatan NaHCO3, padatan natrium ditionat
(Na2S2O4) dan akuades.

3.3 Sampel Percobaan


Sampel sedimen yang digunakan dalam percobaan ini adalah sampel sedimen yang
diambil pada 4 titik pengambilan di Waduk Karang Kates, Malang. Sedimen diambil pada 2
titik di tepi waduk dan 2 titik di tengah waduk.

3.4 Metode Percobaan


3.3.1 Pengambilan Sampel (Sampling) dan Penyimpanan Sampel
Sampel sedimen diambil dengan menggunakan sekop kecil yang kemudian dimasukkan
ke dalam plastik polybag berwarna hitam kira-kira sebanyak 250 gram untuk masing-masing
titik pengambilan sampel. Sampel sedimen diambil pada 4 titik di Waduk Karang Kates yaitu
2 titik di tepi waduk dan 2 titik di tengah waduk. Sampel sedimen yang diambil merupakan
sedimen pada bagian permukaan dasar perairan yang memiliki ketebalan kurang dari 20 cm.
Selanjutnya sampel sedimen yang telah dibungkus dengan plastik polybag dibawa menuju
laboratorium.
Sampel sedimen kemudian dianalisa di laboratorium Fakultas MIPA Universitas
Brawijaya untuk diukur parameter fisika dan kimianya. Pengambilan data sedimen
dimaksudkan sebagai data dasar dalam mengumpulkan dan menganalisis kondisi kualitas
perairan serta sebagai indikator pencemaran lingkungan di lokasi kajian.

3.3.2 Preparasi Sampel


Sampel sedimen yang masih basah dari keempat titik pengambilan ditimbang sebanyak
5 g, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 oC hingga cukup kering. Sampel
dikeluarkan dari oven dan digerus dengan menggunakan mortar. Sampel yang telah digerus
diayak dengan ayakan berukuran 40 dan 60 mesh, diperoleh sampel kering berukuran < 2
mm. Sampel yang telah siap digunakan untuk analisis selanjutnya.

3.3.3 Penentuan Kadar Air Sedimen


Sampel sedimen yang masih basah ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dikeringkan
dalam oven dengan suhu 105 oC selama 1 jam. Sampel dikeluarkan dari oven dan
dimasukkan dalam desikator, kemudian ditimbang massanya. Prosedur tersebut dilakukan
berulang-ulang hingga diperoleh massa yang konstan. Kemudian dihitung kadar air dalam
sedimen.

3.3.4 Penentuan Tekstur Sedimen


3.3.4.1 Pembuatan Larutan HCl 2 M
Larutan HCl 2 M sebanyak 250 mL dibuat dengan cara mengambil larutan HCl 37%
sebanyak 41,7 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL. Kemudian ditambahkan
akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.4.2 Pembuatan Larutan Kalgon 5%
Larutan kalgon 5% sebanyak 1000 mL dibuat dengan cara menimbang padatan NaPO 3
sebanyak 40 gram dan dilarutkan dalam 750 mL akuades dengan cara menaburkan bubuk
tersebut secara perlahan-lahan sambil dikocok. Kemudian ditambahkan padatan Na 2CO3
sebanyak 10 gram dan diaduk hingga terlarut sempurna. Akuades ditambahkan hingga tanda
batas lalu dikocok hingga homogen.

3.3.4.3 Uji Tekstur Sedimen dengan Metode Pipet


Sampel sedimen kering ditimbang sebanyak 20 gram dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 500 mL lalu ditambahkan 50 mL akuades. Kemudian ditambahkan larutan H 2O2
30% sebanyak 10 mL dan ditunggu agar bereaksi sempurna. Lalu ditambahkan lagi 10 mL
larutan H2O2 30% bila reaksi sudah berkurang. Jika sudah tidak terjadi reaksi yang kuat lagi,
Erlenmeyer diletakkan diatas pemanas hot plate dan dinaikkan suhunya perlahan-lahan
sambil menambah hidrogen peroksida setiap 10 menit. Perlakuan tersebut dilakukan terus
sampai mendidih dan tidak bereaksi yang kuat lagi (peroksida aktif di bawah 100 oC).
Larutan HCl 2 M sebanyak 50 mL ke dalam Erlenmeyer dan akuades hingga volumenya
mencapai 250 mL lalu dicuci dengan akuades. Sesudah bersih, ditambahkan larutan kalgon
5% sebanyak 20 mL dan dibiarkan semalaman. Kemudian larutan campuran dituangkan ke
dalam tabung dispersi seluruhnya dan ditambahkan akuades sampai volume tertentu lalu
dikocok dengan pengocok listrik selama 5 menit.
Ayakan 0,5 mm dan corong diletakkan di atas gelas ukur 1000 mL lalu dipindahkan
semua sampel sedimen di atas ayakan dan dicuci dengan cara disemprot akuades hingga
bersih. Akuades ditambahkan lagi hingga tanda batas. Gelas ukur diletakkan di bawah alat
pemipet. Sedimen bersih yang tidak lolos ayakan dipindahkan ke dalam kaleng timbang
dengan akuades dan dikeringkan di atas hot plate. Larutan blanko dibuat dengan melakukan
prosedur 1-8 tetapi tanpa sampel sedimen. Larutan diaduk dengan pengaduk kayu (arah ke
atas dan ke bawah) dan larutan segera diambil sebanyak 10 mL pada kedalaman 10 cm dari
permukaan air (Gambar 3), kemudian sampel dimasukkan ke dalam kaleng timbang.
Sampel larutan sedimen dikeringkan dengan meletakkan kaleng di atas hot plate atau
di dalam oven dan ditimbang. Pengambilan contoh yang kedua dilakukan setelah jangka
waktu tertentu, pada kedalaman tertentu yang tergantung dari ukuran (diameter) partikel
yang akan diambil serta suhu dari larutan. Untuk menentukan sebaran ukuran pasir, pasir
hasil saringan yang telah dikeringkan diayak di atas satu set ayakan yang terdiri dari
beberapa ukuran lubang dengan bantuan mesin pengocok ayakan. Kemudian ditimbang
masing-masing kelas ukuran partikel, lalu dihitung dan diisi tabel penentuan tekstur
sedimen. Setelah masing-masing fraksi partikel diketahui prosentasenya maka kelas tekstur
sedimen yang bersangkutan dapat diketahui dengan menggunakan bantuan segitiga tekstur.

3.3.5 Penentuan Densitas Sedimen


Sampel sedimen diambil sekitar 20-50 g dan dimasukkan ke dalam kaleng timbang dan
ditimbang beratnya (MϮ + K). Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 24
jam. Setelah itu contoh dikeluarkan dari oven, didinginkan dan ditimbang (Mp + K), lalu
dihitung massa padatan (massa sedimen kering) (Mp = (Mp + K) – K). Massa air dapat
dihitung dengan rumus Ma = (MϮ + K) + (Mp + K). Material sedimen yang telah kering ini
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 cm3 dan ditambah dengan air yang sudah disiapkan
sampai sekitar ¾ volume labu secara perlahan-lahan sambil dikocok-kocok dan ditambahkan
air sampai mencapai tanda batas di labu ukur (50 cm3).
Hal yangh perlu diperhatikan adalah jika masih ada gelembung-gelembung udara yang
terperangkap oleh partikel padatan sedimen yang ada dalam labu ukur selama dikocok,
maka gelembung udara itu harus diusir misalnya dengan cara memanaskan labu beserta
isinya sampai mendidih. Kemudian ditambahkan air yang telah direbus sampai tanda batas.
Volume seluruh air yang dimasukkan dalam labu (Va) dicatat dan dihitung volume padatan
sedimen (Va) serta dihitung volume padatan sedimen (Vp) dengan perhitungan Vp = (50 cm 3

Mp
- Va), sehingga dapat dihitung berat jenis sedimen dengan rumus: Bj = V p

3.3.6 Penentuan Porositas Sedimen


Sampel sedimen utuh diambil dengan menggunakan silinder. Kemudian tinggi dan
diameter dalam silinder diukur dan dihitung volumenya, dimana volume silinder ini sama
dengan volume tanah (VϮ = Vs). Contoh sedimen ditimbang dengan silindernya dan
diperoleh massa tanah + massa silinder = (MϮ + Ms). Lalu sedimen dikeluarkan dari
silindernya dan dimasukkan ke dalam kaleng dan dikeringkan dalam oven. Setelah kering
sedimen ditimbang dan diperoleh Mp = massa padatan (kering oven). Massa silinder kosong
juga diukur sehingga diperoleh Ms = massa silinder serta dihitung massa air, Ma = (MϮ + Ms)

Mp
- (Mp + Ms). Kemudian dapat dihitung berat isi dengan rumus: Bi = VS .
Untuk mengetahui porositas sedimen, maka dapat dilakukan penghitungan dengan

menggunakan rumus : Porositas =


(1− BiBj )×100 %
3.3.7 Penentuan pH Sedimen
3.3.7.1 Pembuatan Larutan KCl 1 M
Larutan KCl 1 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara menimbang padatan KCl
sebanyak 7,45 g. Padatan KCl dilarutkan dengan sedikit akuades dalam gelas kimia,
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Akuades ditambahkan hingga tanda batas
lalu dikocok hingga homogen.

3.3.7.2 Analisis pH Sedimen


Sampel sedimen kering ditimbang 5,00 g sebanyak dua kali dan masing-masing
dimasukkan ke dalam gelas kimia 100 mL. Kemudian ditambahkan 25 mL akuades ke dalam
salah satu gelas kimia (pH H2O) dan 25 mL larutan KCl 1 M ke dalam gelas kimia lainnya (pH
KCl). Campuran sedimen diaduk dengan pengaduk magnetik selama ± 20 menit, lalu
campuran sedimen disentrifugasi selama ±10 menit. pH suspensi sedimen diukur dengan
kertas indikator universal.

3.3.8 Penentuan DO Sedimen


Sampel sedimen diambil sebanyak 100 gr kemudian ditambahkan akuades hingga
volume 800 mL. Setelah itu sedimen didispersi dengan menggunakan alat dispersi selama 5
menit. Kemudian filtratnya dimasukkan ke dalam alat penampung sebelum dianalisa
menggunakan alat Multi Water Quality Checker. Lalu dilakukan pengukuran DO sedimen
menggunakan Multi Water Quality Checker.

3.3.9 Penentuan Potesial Redoks Sedimen


Sampel sedimen diambil sebanyak 100 gr kemudian ditambahkan akuades hingga
volume 800 mL. Setelah itu sedimen didispersi dengan menggunakan alat dispersi selama 5
menit. Kemudian filtratnya dimasukkan ke dalam alat penampung sebelum dianalisa
menggunakan alat Multi Water Quality Checker. Lalu dilakukan pengukuran Eh sedimen
menggunakan Eh meter (Multi Water Quality Checker).
3.3.10 Penentuan Kandungan C Organik Sedimen
3.3.10.1 Pembuatan Larutan Kalium Dikromat 1 N
Padatan kalium dikromat sebanyak 98,1 g dilarutkan dengan 600 ml air bebas ion
dalam gelas kimia, kemudian ditambahkan 100 mL asam sulfat pekat. Setelah itu dipanaskan
hingga larut sempurna dan didinginkan. Setelah larutan dingin dipindahkan ke dalam labu
ukur 1 L dan ditambahkan air bebas ion hingga tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.10.2 Pembuatan Larutan Induk C 5000 ppm
Padatan glukosa p.a. sebanyak 12,510 g dilarutkan dengan akuades secukupnya di
dalam gelas kimia 250 mL. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 1 L, ditambahkan
akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.10.3 Analisis Kandungan C Organik Sedimen
Sampel sedimen kering yang berukuran 50 mesh ditimbang sebanyak 0,500 g dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan 5 mL larutan K 2Cr2O7 1 N,
lalu dikocok. Setelah itu ditambahkan 7,5 ml H 2SO4 pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30
menit. Setelah 30 menit, ditambahkan air bebas ion hingga tanda batas, dikocok hingga
homogen dan dibiarkan dingin. Keesokan harinya absorbansi larutan jernih diukur dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding
dibuat larutan standar 0-250 ppm, dengan mengambil larutan standar 5000 ppm sebanyak
0-5 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dengan perlakuan yang sama dengan
perlakuan terhadap sampel. Bila pembacaan sampel melebihi standar tertinggi, penetapan
diulang dengan menimbang sampel lebih sedikit. Faktor dalam perhitungan diubah sesuai
berat sampel yang ditimbang.

3.3.11 Penentuan KTK dalam Sedimen


3.3.11.1 Pembuatan Larutan Amonium Asetat 0,5 M pH 7
Padatan amonium asetat sebanyak 19,25 gram dilarutkan dengan akuades secukupnya
dalam gelas kimia 250 mL. Larutan diatur pH-nya menjadi 7 menggunakan larutan asam
asetat dan amonia berbagai konsentrasi. Larutan diencerkan pada labu takar 500 mL hingga
tanda batas dengan larutan pH 7 dan dikocok hingga homogen.
3.3.11.2 Pembuatan Larutan NaCl 5%
Padatan NaCl sebanyak 25 gram dilarutkan dengan akuades secukupnya dalam gelas
kimia 600 mL. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 500 mL, diencerkan dengan akuades
hingga tanda batas, dan dikocok hingga homogen.
3.3.11.3 Pembuatan Larutan stok NH4+ 100 ppm
Padatan NH4Cl ditimbang sebanyak 0,034 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas
kimia. Larutan NaCl 5% ditambahkan secukupnya dan diaduk hingga padatan larut. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan larutan NaCl 5% hingga
tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.11.4 Pembuatan Larutan Standar NH4+ 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 ppm
Larutan standar dengan konsentrasi 0,5; 1; 1,5; 2 dan 2,5 ppm dibuat dari larutan stok
NH4Cl 100 ppm. Larutan stok NH 4Cl diambil masing masing sebanyak 0,5; 1; 1,5; 2 dan 2,5 mL
menggunakan pipet ukur 5 mL lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambah
larutan NaCl 5% hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.11.5 Analisis KTK dalam Sedimen
Sampel sedimen kering sebanyak 2 gram dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL.
Larutan amonium asetat 0,5 M pH 7 sebanyak 50 mL ditambahkan ke dalam Erlenmeyer
tersebut. Mulut erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil kemudian dikocok selama 1 jam.
Setelah pengocokan suspensi dibiarkan semalaman. Suspensi disaring menggunakan kertas
saring. Pada kertas saring yang berisi sedimen ditambahkan larutan amonium asetat 0,5 M
pH 7 sebanyak 10 mL. Filtrat ditampung dalam labu takar 100 mL. Penambahan amonium
asetat pada kertas saring yang berisi sedimen terus dilakukan hingga labu takar mencapai
tanda batas. Residu yang masih ada dalam kertas saring dicuci menggunakan etanol 96%
sebanyak 10 mL kemudian dikeringkan dalam oven.
Residu kering diambil 1 gram kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL.
Larutan NaCl 5% sebanyak 25 mL ditambahkan ke dalam gelas kimia berisi residu. Mulut
Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil kemudian dikocok selama 1 jam. Setelah
pengocokan suspensi dibiarkan semalaman. Suspensi disaring menggunakan kertas saring.
Filtrat dimasukkan dalam labu takar 100 mL (filtrat awal). Pada kertas saring yang berisi
sedimen ditambahkan larutan NaCl 5% sebanyak 10 mL. Filtrat ini kemudian dicampur
dengan filtrat awal. Penambahan larutan NaCl 5% pada kertas saring yang berisi sedimen
terus dilakukan hingga labu takar mencapai tanda batas lalu larutan dikocok hingga
homogen.
Larutan standar diambil sebanyak 5 mL sedangkan sampel diambil sebanyak 0,1 mL
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Pada tiap-tiap larutan ditambahkan 0,5 mL
larutan K.Na tartrat, dikocok, 0,5 mL larutan Nessler, dikocok, dan 5 mL larutan NaCl 5% lalu
dibiarkan selama + 10 menit. Larutan standar dan sampel diukur nilai absorbansinya dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 399 nm.

3.3.12 Penentuan Kadar Nitrat dalam Sedimen dengan Metode Fenol Sulfat
3.3.12.1 Pembuatan Larutan Fenol Sulfat

Larutan fenol sulfat dibuat dengan cara menimbang 7,5 gram fenol dan ditambah
dengan 50 mL larutan H2SO4 pekat dalam gelas kimia. Kemudian dipanaskan di atas
penangas air, didiinginkan dan dibiarkan selama 24 jam dalam botol berwarna.
3.3.12.2 Pembuatan Larutan Standar N-NO3 100 ppm
Padatan KNO3 ditimbang sebanyak 0,1630 gram dan dilarutkan dengan akuades
secukupnya dalam gelas kimia. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL,
ditambahkan akuades sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.12.3 Pembuatan Larutan Standar N-NO3 5 ppm
Larutan standar N-NO3 100 ppm diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL. Akuades ditambahkan sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.12.4 Pembuatan Deret Larutan Standar N-NO3 0-5 ppm
Larutan standar N-NO3 5 ppm diambil sebanyak 0,4; 0,8; 1,2; 1,6 dan 2,0 mL dan
masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dijadikan 5 mL dengan penambahan
air bebas ion. Deret standar ini memiliki konsentrasi 0,4; 0,8; 1,2; 1,6 dan 2,0 ppm N.
Deret standar masing-masing di atas ditambah 2 mL larutan fenol sulfat dan diaduk
sampai rata kemudian ditambah larutan amoniak pekat sebanyak 7 mL sehingga terbentuk
warna kuning. Lalu larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambah akuades sampai
tanda batas dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 410 nm. Setiap pengukuran
standar diikuti dengan blanko.
3.3.12.5 Analisis Kandungan Nitrat dalam Sampel Sedimen
Sampel sedimen ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam Erlemeyer 250
mL. Kemudian ditambahkan akuades sebanyak 50 mL dan diaduk dengan pengaduk
magnetik selama ± 15 menit. Sampel dienapkan kemudian dipisahkan dengan alat
sentrifugasi. Filtrat dimasukkan ke dalam Erlemeyer sambil disaring dengan menggunakan
kertas saring Whatman No. 41 sehingga diperoleh filtrat jernih kekuningan, kemudian
ditambahkan akuades sampai volume 50 mL.
Filtrat diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam beaker gelas 100 mL.
Kemudian dipanaskan di atas penangas air sampai hampir kering dan didinginkan. Setelah itu
ditambahkan larutan fenol sulfat sebanyak 2 mL, diaduk sampai rata kemudian ditambah
larutan amoniak pekat sebanyak 7 mL sehingga terbentuk warna kuning. Lalu larutan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambah akuades sampai tanda batas dan dikocok
hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak
pada panjang gelombang 410 nm.

3.3.13 Penentuan Kadar N Total dalam Sedimen


3.3.13.1 Pembuatan Larutan Nessler
Padatan KI ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan dalam akuades secukupnya.
Padatan HgCl2 ditambahkan ke dalam larutan KI (1:20) hingga timbul endapan berwarna
merah. Endapan disaring dengan menggunakan glass wool dan ditambah 15 gram padatan
NaOH dalam 30 mL akuades, kemudian ditambah akuades hingga tanda batas, dikocok
hingga homogen dan dibiarkan mengendap.
3.3.13.2 Pembuatan Larutan NaOH 30%
Padatan NaOH ditimbang sebanyak 60 gram dan dilarutkan dengan akuades dalam
gelas kimia sampai volume 200 mL.
3.3.13.3 Pembuatan Larutan K.Na Tartrat
Padatan K. Na tartrat ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan dalam 10 mL akuades
dan dipanaskan. Setelah dingin ditambah 0,5 mL pereaksi Nessler dan didiamkan selama 2
hari kemudian disaring.
3.3.13.4 Pembuatan Larutan Induk N 1000 ppm
Padatan (NH4)2SO4 ditimbang sebanyak 0,471 g, kemudian dimasukan ke dalam gelas
kimia. Akuades ditambahkan sebanyak 10 mL dan diaduk hingga padatan larut. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL secara kuantitatif, kemudian ditambahkan akuades
hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.13.5 Pembuatan Larutan Standar N 100 ppm
Larutan standar N 100 ppm dibuat dengan mengambil 10 mL larutan induk N 1000
ppm dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga
tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.13.6 Pembuatan Kurva Standar N
Larutan standar N 100 ppm diambil sebanyak 1; 1,5; 2 dan 2,5 mL dan masing-masing
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda batas lalu
dikocok hingga homogen. Deret standar ini memiliki konsentrasi 1; 1,5; 2 dan 2,5 ppm N.
Deret larutan standar masing-masing diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berbeda. Masing-masing larutan ditambah dengan 0,5 mL larutan K.Na
tartrat, 0,5 mL larutan Nessler dan 5 mL akuades kemudian dikocok dan dibiarkan selama
+10 menit. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak pada
panjang gelombang 490 nm dan dicatat absorbansinya.
3.3.13.7 Analisis Kandungan N Total dalam Sampel Sedimen
Sampel sedimen ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.
Kemudian ditambahkan satu tablet Kjeldahl, 10 mL larutan H 2SO4 pekat dan 1 buti batu
didih. Setelah itu dilakukan pemanasan pada alat destruksi selama 2 jam lalu didinginkan
selama kurang lebih 1 jam. Setelah dingin larutan dinetralkan dengan penambahan larutan
NaOH 30% sampai sedikit basa dengan ditandai terbentuknya endapan lalu didinginkan.
Larutan yang telah dingin disaring dan filtratnya dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL,
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen. Larutan diambil
sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambahkan akuades hingga
tanda batas dan dikocok hingga homogen. Semua prosedur di atas dilakukan juga untuk
blanko (tanpa sampel).
Larutan sampel dan blanko diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang berbeda. Masing-masing larutan ditambah dengan 0,5 mL larutan K.Na tartrat,
0,5 mL larutan Nessler dan 5 mL akuades untuk sampel sedangkan untuk blanko
ditambahkan 10 mL akuades kemudian dikocok dan dibiarkan selama +15 menit. Selanjutnya
dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 490
nm dan dicatat absorbansinya.
3.3.14 Analisis Kandungan Fe dan Mn Total pada Sedimen
3.3.14.1 Pembuatan Larutan HNO3 1:1
Larutan HNO3 1:1 dibuat dengan cara menambahkan 5 mL HNO 3 p.a. dengan 5 mL

akuades dalam gelas kimia.


3.3.14.2 Pembuatan Larutan HNO3: HCl (1:3 v/v)
Larutan HNO3:HCl (1:3 v/v) dibuat dengan cara mencampurkan 3 mL HNO3 p.a pekat

dengan 9 mL HCl p.a pekat.


3.3.14.3 Pembuatan Larutan Induk Fe 1000 ppm
Larutan induk Fe 1000 ppm dibuat dari padatan NH4Fe(SO4).12H2O dibuat dengan cara
menimbang padatan NH4Fe(SO4).12H2O dengan teliti sebanyak 0,863 g yang sudah
dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC. Lalu dilarutkan dengan akuades dalam gelas kimia
250 mL dan ditambahkan 5 mL larutan HNO 3 1:1 serta ditambahkan akuades. Kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, gelas kimia dibilas sampai bersih, dan diencerkan
sampai tanda batas dengan akuades, dikocok sampai homogen, dan disimpan dalam botol
pereaksi polietilena (SNI 13-6974-2003).
3.3.14.4 Pembuatan Larutan Standar Fe 10 ppm
Larutan standar Fe 10 ppm dibuat dengan mengambil 1 mL larutan induk Fe 1000 ppm
dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tanda
batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.14.5 Pembuatan Larutan Standar Fe 0,5; 1; 2; 3 dan 4 ppm
Larutan standar Fe 0,5; 1; 2; 3 dan 4 ppm dibuat dengan mengambil 2,5 mL; 5 mL; 10
mL; 15 mL dan 20 mL larutan standar Fe 10 ppm dan masing-masing dimasukkan ke dalam
labu ukur 50 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tepat tanda batas dan dikocok
hingga homogen sehingga diperoleh larutan standar Fe 0,5; 1; 2; 3 dan 4 ppm (SNI 06-
6989.4-2004).
3.3.14.6 Larutan Induk Mn 1000 ppm
Larutan induk Mn 1000 ppm dibuat dari padatan MnSO4.2H2O yang ditimbang dengan

teliti sebanyak 0,340 g yang sudah dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC. Kemudian
dilarutkan dengan akuades dalam gelas kimia dan ditambahkan 1 ml larutan HNO 3 (1:1).

Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, gelas kimia dibilas sampai bersih, dan
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dikocok sampai homogen, dan disimpan
dalam botol pereaksi polietilena (SNI 13-6974-2003).

3.3.14.7 Pembuatan Larutan Standar Mn 10 ppm


Larutan standar Mn 10 ppm dibuat dengan cara mengambil 1 mL larutan standar Mn
1000 ppm dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan akuades
sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.14.8 Pembuatan Larutan Standar Mn 0,5; 1; 2; 3; 4 dan 5 ppm
Larutan standar Mn 0,5; 1; 2; 3; 4 dan 5 ppm dibuat dengan mengambil 2,5 mL; 5 mL;
10 mL; 15 mL; 20 mL dan 25 mL larutan standar Mn 10 ppm dan masing-masing dimasukkan
ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tepat tanda batas lalu
dikocok hingga homogen sehingga diperoleh larutan standar Mn 0,5; 1; 2; 3; 4 dan 5 ppm.
3.3.14.9 Destruksi sampel
Sampel sedimen yang telah dipreparasi ditimbang sebanyak 1 gram dengan timbangan
analitis lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL kemudian dilanjutkan proses
destruksi. Proses destruksi dimulai dengan penambahan 10 mL larutan HNO3:HCl (1:3 v/v)
dan dilakukan dalam lemari asam. Kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 2 jam
pada suhu 100oC. Setelah proses destruksi, sampel sedimen didinginkan pada suhu ruang,
lalu dilakukan penambahan larutan HNO3 (1:1) sebanyak 4 mL. Filtrat disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman No. 41 dan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL
lalu diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Setelah itu diambil 1 mL dan
dipindahkan ke dalam labu takar 25 mL, diencerkan dengan akuades hingga tanda batas dan
dikocok hingga homogen. Hasil filtrat tersebut digunakan untuk analisis selanjutnya (DIN 38
414 S7).
3.3.14.10 Pengukuran Secara Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)
Pengukuran spektrosfotometri serapan atom, meliputi: analisis standar dan sampel.
Pengukuran logam Fe dan Mn dapat dibaca langsung pada tampilan komputer yang telah
dihubungkan dengan seperangkat spektrofotometer nyala serapan atom. Pengukuran atau
analisis dilakukan masing-masing untuk blanko, standar maupun sampel. Hasil yang
diperoleh berupa data dalam print out.
Pada pengukuran larutan standar Fe dan Mn yaitu diukur masing-masing larutan
standar Fe dan Mn yang telah dibuat pada panjang gelombang 248,3 nm untuk Fe dan 279,5
nm untuk Mn. Kemudian hasil pengukuran absorbansi larutan standar dibuat kurva standar
untuk mendapatkan persamaan garis regresi dari masing-masing larutan standar, dengan
konsentrasi (ppm) sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y. Lalu dilakukan
pengukuran absorbansi sampel sedimen yang telah dipersiapkan sehingga diperoleh
absorbansi larutan sampel untuk pengukuran Fe dan Mn dan hasil absorbansi tersebut
diplotkan ke dalam persamaan regresi larutan standar dan dapat diperoleh konsentrasi Fe
dan Mn dalam sampel.

3.3.15 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
3.3.15.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 0,11 M
Larutan CH3COOH 0,11 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara mengambil larutan
CH3COOH glasial sebanyak 0,63 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.15.2 Pembuatan Larutan NH2OH.HCl 0,1 M
Larutan NH2OH.HCl 0,1 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara menimbang padatan
NH2OH.HCl sebanyak 0,695 g. Padatan NH 2OH.HCl dilarutkan dengan sedikit akuades dalam
gelas kimia, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Akuades ditambahkan hingga
tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.3 Pembuatan Larutan H2O2 8,8 M
Larutan H2O2 8,8 M sebanyak 50 mL dibuat dengan cara mengambil larutan H 2O2 35%
sebanyak 38,6 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian ditambahkan
akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.15.4 Pembuatan Larutan Induk Cu 500 ppm
Padatan CuSO4.5H2O ditimbang sebanyak 0,1965 g. Padatan CuSO 4.5H2O dilarutkan
dengan sedikit akuades dalam gelas kimia. Larutan CuSO 4.5H2O dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL, ditambahkan akuades hingga tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.5 Pembuatan Larutan Standar Cu 10 ppm
Larutan induk Cu 500 ppm diambil sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.6 Pembuatan Larutan Standar Cu
Larutan standar Cu dibuat dengan konsentrasi yang bervariasi yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5
ppm dengan cara pengenceran dari larutan induk Cu 10 ppm dalam labu ukur 25 mL.
Perhitungan pengenceran digunakan rumus sebagai berikut:
C1 x V1 = C2 x V2
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus tersebut didapatkan volume larutan
induk Cu 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar Cu yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Volume larutan standar Cu 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar
Cu
C1 (ppm) V1 (mL) C2 (ppm) V2 (mL)
10 0 0 25
10 2,5 1 25
10 5 2 25
10 7,5 3 25
10 10 4 25
10 12,5 5 25

3.3.15.7 Pembuatan Kurva Standar Cu


Deret larutan standar Cu masing-masing diukur absorbansinya spektrofotometer
serapan atom (SSA) pada panjang gelombang 324,8 nm.
3.3.15.8 Pembuatan Larutan Induk Zn 500 ppm
Padatan ZnSO4.7H2O ditimbang sebanyak 0,221 g. Padatan ZnSO4.7H2O dilarutkan
dengan sedikit akuades dalam gelas kimia. Larutan ZnSO 4.7H2O dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL, ditambahkan akuades hingga tanda batas lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.9 Pembuatan Larutan Standar Zn 10 ppm
Larutan induk Zn 500 ppm diambil sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL. Kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dikocok hingga homogen.
3.3.15.10 Pembuatan Larutan Standar Zn
Larutan standar Zn dibuat dengan konsentrasi yang bervariasi yaitu 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8
dan 1 ppm dengan cara pengenceran dari larutan induk Zn 10 ppm dalam labu ukur 25 mL.
Perhitungan pengenceran digunakan rumus sebagai berikut:
C1 x V1 = C2 x V2
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus tersebut didapatkan volume larutan
induk Zn 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar Zn yang disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Volume larutan standar Zn 10 ppm yang diperlukan untuk membuat larutan standar
Zn
C1 (ppm) V1 (mL) C2 (ppm) V2 (mL)
10 0 0 25
10 0,5 0,2 25
10 1 0,4 25
10 1,5 0,6 25
10 2 0,8 25
10 2,5 1 25

3.3.15.11 Pembuatan Kurva Standar Zn


Deret larutan standar Zn masing-masing diukur absorbansinya spektrofotometer
serapan atom (SSA) pada panjang gelombang 213,9 nm.
3.3.15.12 Penentuan Kandungan Cu dan Zn
a. Fraksi 1 : Fraksi ELFE (Easily Leachable and Freely Exchangeable)
Sampel sedimen kering yang telah dipreparasi ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Kemudian ditambahkan larutan CH 3COOH 0,11 M sebanyak 40
mL dan dilakukan ekstraksi selama 16 jam. Hasil ekstraksi disaring untuk memisahkan
endapan dan filtratnya. Filtrat 1 yang diperoleh merupakan filtrat yang mengandung fraksi
logam yang terlarut (ELFE). Filtrat 1 diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom (SSA) untuk menentukan kandungan Cu dan Zn yang
terlarut.
b. Fraksi 2 : Fraksi AR (Acid Reducible)
Endapan dari fraksi 1 dimasukkan kembali ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan ditambah
dengan larutan NH2OH.HCl 0,1 M pada pH 2 sebanyak 40 mL. Kemudian dilakukan ekstraksi
selama 16 jam. Hasil ekstraksi disaring untuk memisahkan endapan dan filtratnya. Filtrat 2
yang diperoleh merupakan filtrat yang mengandung fraksi logam yang terikat pada besi
oksida dan mangan oksida (AR). Filtrat 2 diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom (SSA) untuk menentukan kandungan Cu dan Zn yang terikat
pada besi oksida dan mangan oksida.
c. Fraksi 3 : Fraksi OO (Oxidizable Organik)
Endapan dari fraksi 2 dimasukkan kembali ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan ditambah
dengan larutan H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL. Kemudian dilakukan ekstraksi selama
1 jam. Hasil ekstraksi dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Lalu ditambahkan lagi
larutan H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL. Ekstrak dipanaskan kembali pada suhu 90 oC
selama 1 jam kemudian didinginkan. Hasil ekstraksi yang telah dingin, disaring untuk
memisahkan endapan dan filtratnya. Filtrat 3 yang diperoleh merupakan filtrat yang
mengandung fraksi logam yang terikat pada senyawa organik (OO). Filtrat 3 diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) untuk
menentukan kandungan Cu dan Zn yang terikat pada senyawa organik.
d. Fraksi 4 : Fraksi Refraktori/Resistant
Endapan dari fraksi 3 dimasukkan kembali ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan ditambah
dengan larutan HNO3 pekat sebanyak 15 mL dan HClO 4 sebanyak 6 mL. Kemudian dilakukan
destruksi selama ± 2 jam hingga tidak terbentuk asap putih lagi. Hasil destruksi disaring
untuk memisahkan endapan dan filtratnya. Filtrat 4 yang diperoleh merupakan filtrat yang
mengandung fraksi logam yang terikat pada kisi kristal mineral. Filtrat 4 diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) untuk
menentukan kandungan Cu dan Zn yang terikat pada kisi kristal mineral.

3.3.16 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
3.3.16.1 Pembuatan Larutan Amonium Klorida (NH4Cl) 1 M
Padatan NH4Cl ditimbang sebanyak 13,325 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.2 Pembuatan Larutan Amonium Florida (NH4F) 0,5 M pH 8,2
Padatan NH4F ditimbang sebanyak 4,625 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan diatur pH-nya menjadi 8,2
menggunakan larutan NH4OH berbagai konsentrasi. Larutan dimasukkan ke dalam labu takar
250 mL, diencerkan dengan larutan pH 8,2 hingga tanda batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.3 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M
Padatan NaOH ditimbang sebanyak 1 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.4 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M + NaCl 1 M
Padatan NaOH ditimbang sebanyak 1 gram dan padatan NaCl ditimbang 14,625 gram,
dicampur dalam satu gelas kimia, dan dilarutkan secukupnya menggunakan akuades.
Larutan dipindah ke dalam labu takar 250 mL, diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.5 Pembuatan Larutan NaCl pekat
Padatan NaCl ditimbang sebanyak 400 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 1 L,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.6 Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M
Larutan H2SO4 pekat diambil sebanyak 3,5 mL menggunakan pipet ukur 10 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.7 Pembuatan Larutan HCl 0,5 M
Larutan HCl pekat diambil sebanyak 10,5 mL menggunakan gelas ukur 50 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL. Larutan diencerkan dengan akuades hingga tanda
batas dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.8 Pembuatan Larutan Natrium Sitrat 0,3 M
Padatan Na3C6H5O7.2H2O ditimbang sebanyak 22,05 gram, dipindahkan dalam gelas
kimia, dan dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu
takar 250 mL, diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai
homogen.
3.3.16.9 Pembuatan Larutan Natrium Bikarbonat 1 M
Padatan NaHCO3 ditimbang sebanyak 4,2 gram, dipindahkan dalam gelas kimia, dan
dilarutkan secukupnya menggunakan akuades. Larutan dipindah ke dalam labu takar 50 mL,
diencerkan dengan akuades hingga tanda batas, dan dikocok sampai homogen.
3.3.16.10 Pembuatan Larutan Induk Fosfat 2000 ppm
Padatan KH2PO4 ditimbang sebanyak 0,286 gram, (sebelumnya dikeringkan pada suhu
105 oC selama 2 jam), dimasukkan ke dalam gelas kimia, dilarutkan dengan akuades,
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan hingga tanda batas.
3.3.16.11 Pembuatan Larutan Standar Fosfat 200 ppm
Larutan induk fosfat 2000 ppm diambil sebanyak 10 mL, dimasukkan ke dalam gelas
kimia, ditambah 10 mL larutan HCl 25%, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan
diencerkan hingga tanda batas.
3.3.16.12 Pembuatan Deret Larutan Standar Fosfat (0 - 200 ppm)
Larutan standar fosfat 200 ppm diambil masing - masing sebanyak 0; 0,5; 2,5; 5; dan 10
mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Labu pertama hingga ke-empat diencerkan
hingga tanda batas 10 mL. Labu ke-lima tidak perlu diencerkan karena pengambilan larutan
standar adalah sebanyak 10 mL, sehingga diperoleh deret standar I = 0 ppm (blanko),
standar II = 10 ppm, standar III = 50 ppm, standar IV = 100 ppm, dan standar V = 200 ppm.
3.3.16.13 Pembuatan Pereaksi I Amonium Molibdat 1%
Padatan NH4Mo7O24.4H2O ditimbang sebanyak 1 gram, dimasukkan ke dalam gelas
kimia, ditambah air bebas ion hingga larut, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, lalu
ditambah air bebas ion hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.16.14 Pembuatan Pereaksi II Amonium Vanadat 0,5 %
Padatan NH4VO3 ditimbang 0,5 gram, dimasukkan ke dalam gelas kimia, ditambah 7 mL
larutan HNO3 67%, ditambah air bebas ion, dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL,
kemudian ditambah air bebas ion hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
3.3.16.15 Pembuatan Pereaksi Campuran
Pereaksi I 100 mL dan Pereaksi II 100 mL, dimasukkan ke dalam gelas kimia ukuran 250
mL.
3.3.16.16 Fraksinasi Fosfat
Langkah-langkah yang dilakukan dalam fraksinasi fosfat bergantung pada pH sampel
sedimen.
1. Fosfat sebagai fraksi ELFE
Untuk sedimen ber-pH asam, sampel dengan ukuran < 2 mm diambil sebanyak 1 gram
kemudian dimasukkan dalam tabung centrifuge 100 mL. Larutan NH4Cl 1 M sebanyak 50 mL
dimasukkan pada tabung tersebut kemudian dikocok selama 30 menit. Suspensi
disentrifugasi dan semua supernatan dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan
hingga tanda batas menggunakan akuades (ekstrak A).
Untuk sedimen ber-pH basa, sampel dengan ukuran <2 mm diambil sebanyak 1 gram
kemudian tambahkan larutan 0,1 M NaOH + 1 M NaCl sebanyak 50 mL dan dikocok selama
17 jam. Suspensi disentrifugasi dan semua supernatan dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL (ekstrak A). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat
ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan
NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan
tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
2. Fosfat sebagai fraksi AR
Untuk sedimen ber-pH asam, residu atau sampel sedimen hasil perlakuan di atas
ditambah dengan larutan NaOH 0,1 M sebanyak 50 mL lalu dikocok selama 17 jam untuk
mengekstrak fosfat yang terikat pada besi. Suspensi disentrifugasi dan semua supernatan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL (ekstrak B). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL
dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi.
Supernatan NaCl pekat ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan
awal. Penambahan larutan NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100
mL dilakukan duplo. Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat
hingga tanda batas, dan dikocok hingga homogen.
Sedangkan untuk sedimen ber-pH basa, residu pada poin 1 dimasukkan ke dalam labu
takar, ditambah 20 ml pengekstrak natrium bikarbonat, kemudian dikocok dan didiamkan
selama 30 menit.
3. Fosfat sebagai fraksi OO
Untuk sedimen dengan pH asam maupun basa perlakuannya sama, yaitu residu atau
sampel sedimen dari poin 2 ditambah dengan larutan Na 3C6H5O7 0,3 M sebanyak 40 mL dan
larutan NaHCO3 1 M sebanyak 5 mL. Suspensi dipanaskan menggunakan penangas air pada
temperatur 85 oC. Padatan Na2S2O4 ditambahkan sebanyak 1 gram sambil diaduk. Pemanasan
dilanjutkan selama 15 menit kemudian disentrifugasi. Semua supernatan dimasukkan labu
takar 100 mL (ekstrak C). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat
ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan
NaCl pekat dan penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan
tersebut kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
4. Fosfat sebagai fraksi Refractory
Untuk sedimen ber-pH asam, sedimen atau residu dari poin 3 ditambah dengan larutan
H2SO4 0,25 M sebanyak 50 mL kemudian dikocok selama 1 jam. Suspensi kemudian
disentrifugasi selama 10 menit lalu semua supernatan dimasukkan dalam labu takar 100 mL
(ekstrak D). Larutan NaCl pekat sebanyak 25 mL dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi
berisi sampel sedimen kemudian disentrifugasi. Supernatan NaCl pekat ditampung dalam
labu takar 100 mL yang telah berisi supernatan awal. Penambahan larutan NaCl pekat dan
penampungan supernatan dalam labu takar 100 mL dilakukan duplo. Larutan tersebut
kemudian diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok hingga
homogen.
Sedangkan untuk sedimen ber-pH basa sedimen atau residu dari poin 3 ditambah
dengan larutan HCl 0,5 M sebanyak 50 mL kemudian diaduk selama 1 jam menggunakan
shaker. Suspensi kemudian disentrifugasi selama 10 menit lalu semua supernatan
dimasukkan dalam labu takar 100 mL (ekstrak fosfat refractory). Sedimen dicuci dua kali
dengan 25 mL larutan NaCl pekat. Larutan ditampung dalam labu takar 100 mL yang telah
berisi supernatan, diencerkan dengan larutan NaCl pekat hingga tanda batas, dan dikocok
hingga homogen.
3.3.16.17 Penentuan Kadar Fosfat
a. Optimasi panjang gelombang spektrofotometer
Larutan standar 50 ppm diambil secukupnya lalu diukur serapannya mulai dari panjang
gelombang 400 nm hingga 500 nm dengan kenaikan 10 nm. Panjang gelombang dengan
absrobansi maksimum dicatat.
b. Pengukuran standar dan sampel
Larutan standar masing-masing diambil sebanyak 1 mL, dimasukkan dalam kuvet, dan
ditambahkan 9 mL pereaksi Campuran, lalu dikocok hingga homogen dan diukur serapannya.
Setelah diperoleh data masing-masing standar, kemudian dibuat kurva standar. Demikian
pula dengan larutan sampel (fosfat dari setiap fraksi), diambil 1 mL dan ditambahkan 9 mL
pereaksi campuran, lalu diukur serapannya. Percobaan dilakukan triplo.

3.4 Pengolahan Data


3.4.1 Perhitungan Kandungan C Organik
Kadar C-organik (%)
mg 1L volume pengenceran sampel( mL)
= ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL berat sampel (mg)
mg 1L 100 mL
= ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
Keterangan:
ppm kurva = kadar sampel yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar
dengan pembacaannya

3.4.2 Perhitungan Kapasitas Tukar Kation


Hasil absorbansi larutan standar diplotkan dengan konsentrasi sehingga didapatkan
kurva standar dengan persamaan y = ax. Absorbansi sampel diplotkan ke dalam persamaan
tersebut sehingga didapatkan konsentrasi NH 4+ dalam sampel sebesar a ppm. Maka massa
sampel dalam larutan sebesar :
Massa NH4+ (mg) = a mg/L x 6,1 x 10-3 L = b mg = massa NH4+ dalam 0,1 mL sampel
Ca 2+ ¿ 100 mL
Massa NH4+ dalam 100 mL = massa ¿ x b mg = c mg
massa sampel 0,1 mL
c mg
Mol NH4+ = = d mmol
18 mg/mmol
mmol amonium d mmol
Miliequivalen NH4+ = = = d meq
elektron yang dilepaskan 1 mmol/meq
Kapasitas tukar kation merupakan jumlah miliequivalen kation (NH 4+) per 100 gram contoh
sedimen :
Massa sampel (gram) Miliequivalen NH4+ (meq)
1 d
100 x

Jika x adalah kapasitas tukar kation, maka :


100
x= x d = 100 d meq/100 gram
1

3.4.3 Penentuan Kandungan Nitrat


Penentuan kandungan nitrat dalam sedimen dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan kurva standar N-NO3 sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi N-NO3

y
ppm kurva= =b mg/L
a
Mr N O3 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = × b mg/L × × = c mg/L
Mr KN O3 5 mL 1000 mL
c mg/ L
Kadar NO3 (%) = mg × 100 %
kadar sampel ( )
L

3.4.4 Penentuan Kandungan N Total


Penentuan kandungan N total dalam sedimen dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan kurva standar N sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi N
y
=b mg/L
ppm kurva = a
1
Kadar N ( % )= ppmkurva x V . Lar ( L ) x fp x x 100 %
Berat sampel (mg)

3.4.5 Penentuan Kandungan Logam Fe Total


Penentuan kandungan logam Fe total dalam sedimen dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan kurva standar Fe sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi Fe

y 0,1 L×103 μg×fp


×
a berat sampel ( g )
Kadar Fe (µg/g) =

3.4.6 Penentuan Kandungan Logam Mn Total


Penentuan kandungan logam Mn total dalam sedimen dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan kurva standar Mn sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi Mn

y 0,1 L×103 μg×fp


×
Kadar Mn (µg/g) = a berat sampel ( g )

3.4.7 Penentuan Kandungan Logam Cu


Penentuan kandungan logam Cu dalam sedimen dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan kurva standar Cu sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi Cu
y
׿¿
Konsentrasi logam Cu (ppm) = a fp (faktor pengenceran)

3.4.8 Penentuan Kandungan Logam Zn


Penentuan kandungan logam Zn dalam sedimen dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan kurva standar Zn sebagai berikut:
y=a.x
Keterangan:
y = absorbansi sampel
a = slope
x = konsentrasi Zn
y
׿¿
Konsentrasi logam Zn (ppm) = a fp (faktor pengenceran)
3.4.9 Penentuan Kandungan Fosfat
Hasil absorbansi larutan standar diplotkan dengan konsentrasi sehingga didapatkan
kurva standar dengan persamaan y = ax. Absorbansi sampel diplotkan ke dalam persamaan
tersebut sehingga didapatkan konsentrasi fosfat dalam sampel sebesar a ppm. Maka massa
fosfat dalam larutan sebesar :
Massa PO43- (mg) = a mg/L x 10 mL = b mg = massa PO43- dalam 1 mL larutan sampel
Ca 2+ ¿ 100 mL
Massa PO43- dalam 100 mL = massa ¿ x b mg = c mg
massa sampel 1mL
O 3−¿dalam 100 mL
4
Kadar fosfat dalam sampel = massa P ¿ x 100% = d %
massa sampel yang digunakan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Kadar Air Sedimen


4.1.1 Data Hasil Percobaan
Sampel sedimen awal dari 4 titik pengambilan dengan massa masing-masing 1 gram
setelah dilakukan pengeringan dengan suhu 105 oC diperoleh massa akhir (massa sampel +
massa gelas arloji) yang disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Massa sampel sedimen dan gelas arloji pada saat sebelum dan setelah
pengeringan
Sampel Massa awal Massa akhir setelah pengeringan ke- (gram)
No.
Sedimen (gram) 1 2 3 4 5
1. Tepi titik 1 14,952 14,479 14,482 14,473 14,461 14,461
2. Tepi titik 2 14,176 13,668 13,667 13,661 13,654 13,654
3. Tengah titik 1 35,033 34,676 34,676 - - -
4. Tengah titik 2 26,499 26,144 26,143 26,138 26,129 26,129

Keterangan:
Massa gelas arloji 1 = 13,952 gram Massa gelas arloji 3 = 34,033 gram
Massa gelas arloji 2 = 13,176 gram Massa gelas arloji 4 = 25,499 gram
Berdasarkan data pada Tabel 4.1 tersebut dapat dihitung kadar air untuk masing-
masing sampel sedimen dari 4 titik adalah sebagai berikut:
1. Sedimen tepi titik 1
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 14,952 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 14,461 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 13,952 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
14,952−14,461
Kadar air ( % )= ×100 %
14,461−13,952
Kadar air ( % )=96,4 %
2. Sedimen tepi titik 2
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 14,176 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 13,654 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 13,176 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
14,176−13,654
Kadar air ( % )= ×100 %
13,654−13,176
Kadar air ( % )=109,2 %
3. Sedimen tengah titik 1
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 35,033 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 34,676 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 34,033 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
35,033−34,676
Kadar air ( % )= × 100 %
34,676−34,033
Kadar air ( % )=58,3 %
4. Sedimen tengah titik 2
W1 = Massa sampel basah + gelas arloji = 26,499 gram
W2 = Massa sampel kering + gelas arloji = 26,129 gram
W3 = Massa gelas arloji kosong = 25,499 gram
W 1−W 2
Kadar air ( % )= × 100 %
W 2−W 3
26,499−26,129
Kadar air ( % )= × 100 %
26,129−25,499
Kadar air ( % )=58,73 %

Hasil perhitungan terhadap kadar air sampel sedimen diperoleh hasil kadar air sampel
sedimen tepi titik 1 sebesar 96,4 %, sedimen tepi titik 2 sebesar 109,2 %, sedimen tengah
titik 1 sebesar 58,3 % dan sedimen tengah titik 2 sebesar 58,73 %. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa untuk sedimen yang berada di tepi waduk memiliki kadar air yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sedimen yang berada di tengah waduk. Hal tersebut disebabkan
oleh sedimen pada tepi titik 1 dan 2 bertekstur liat sedangkan pada tengah titik 1 dan 2
bertekstur lempung berliat sehingga sedimen yang pada tepi memiliki kekuatan mengikat air
yang lebih besar dibandingkan dengan sedimen pada tengah.

4.2 Penentuan Tekstur Sedimen dengan Metode Pipet


Sampel sedimen yang telah dipreparasi dengan ukuran yang seragam (± 2 mm) diambil
sebanyak 20 gram, dilarutkan dengan akuades dan ditambahkan H 2O2. Penambahan H2O2 ini
bertujuan untuk memutuskan ikatan-ikatan senyawa organik yang ada pada sedimen dan
mendegradasinya menjadi komponen pasir, debu, dan liat yang menyusunnya. Kemudian
dilakukan pemanasan hingga H2O2 tidak bereaksi lagi, dimana pemanasan dapat membantu
laju reaksi pemutusan ikatan-ikatan senyawa organik yang terjadi. Langkah selanjutnya
dilakukan penambahan kalgon 5% dan dibiarkan semalaman, dimana penambahan kalgon ini
berfungsi untuk mendispersikan partikel sedimen agar terpisah dengan sempurna atau juga
disebut sebagai zat pencegah terjadinya ikatan-ikatan antara pasir, debu, dan liat, sehingga
dapat terpisah dengan baik.
Campuran sedimen yang telah direndam dengan larutan kalgon dipindahkan tabung
pendispersi mekanik. Proses ini bertujuan untuk memisahkan komponen yang ukurannya
lebih besar (pasir). Selanjutnya dilakukan penyaringan menggunakan ayakan 0,05 mm,
komponen yang tertahan di ayakan dikeringkan dan ditimbang massanya (pasir). Filtrat hasil
penyaringan tersebut ditampung pada gelas ukur 1000 mL. Filtrat diambil sebanyak 20 mL
pada kedalaman 10 cm dari permukaan filtrat pada waktu 4 detik setelah penyaringan.
Filtrat yang diambil tersebut diletakkan pada cawan dan dikeringkan pada suhu 105 °C,
selanjutnya massanya ditimbang (debu). Filtrat yang tersisa dalam gelas ukur 1000 mL tadi
dibiarkan lagi selama 6 jam. Setelah itu dilakukan pengambilan 20 mL seperti perlakuan
sebelumnya, kemudian dilakukan pengeringan dan ditimbang massanya (liat dan debu). Data
massa pasir, debu, dan liat yang didapatkan kemudian dihitung persentasenya yang
ditunjukkan pada Tabel 4.2. Penentuan jenis tekstur liat ditentukan berdasarkan segitiga
struktur dengan mempertemukan garis hubungan antara persentase pasir, debu, dan liat.
Tabel 4.2. Hasil Analisis Tekstur Sedimen Karang Kates
Kadar (%)
No. Sampel Sedimen Jenis Tekstur
Pasir Debu Liat
1. Tepi titik 1 19 21 60 Liat
2. Tepi titik 2 27 33 40 Liat
3. Tengah Titik 1 26 39 35 Lempung berliat
4. Tengah Titik 2 26 37 37 Lempung berliat
Sumber: Lab. Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Mei 2012
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh komposisi penyusun
sedimen tepi titik 1 adalah 19 % pasir, 21 % debu dan 60 % liat; komposisi penyusun sedimen
tepi titik 2 adalah 27 % pasir, 33 % debu dan 40 % liat; komposisi penyusun sedimen tengah
titik 1 adalah 26 % pasir, 39 % debu, dan 35 % liat sedangkan komposisi penyusun tengah
titik 2 adalah 26 % pasir, 37 % debu, dan 37 % liat. Hasil tersebut kemudian diproyeksikan
pada segitiga tekstur dan diperoleh untuk sedimen tepi titik 1 dan 2 memiliki tekstur yang
sama yaitu liat (clay), sedangkan sedimen tengah titik 1 dan 2 juga memiliki tekstur yang
sama yaitu lempung berliat (clay loam).

4.3 Penentuan Densitas Sedimen


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan diperole hasil densitas sedimen
dari 4 lokasi pengambilan sampel yang ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Densitas Sedimen

No. Lokasi Sampel Berat Jenis (g/cm3)


1. Tepi titik 1 2,62
2. Tepi titik 2 2,75
3. Tengah titik 1 2,45
4. Tengah titik 2 2,35
Sumber: Lab. Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Mei 2012

Pada Tabel 4.3. dapat dilihat bahwa densitas sedimen tepi titik 1 adalah 2,62 g/cm 3,
sedimen tepi titik 2 adalah 2,75 g/cm3, sedimen tengah titik 1 adalah 2,45 g/cm 3 dan
sedimen tengah titik 2 adalah 2,35 g/cm 3. Data tersebut menunjukkan bahwa sedimen tepi
memiliki densitas yang lebih besar jika dibandingkan dengan sedimen tengah. Jika sedimen
mengandung banyak mineral maka sedimen akan memiliki densitas yang tinggi sedangkan
jika sedimen mengandung banyak senyawa organik maka sedimen akan memiliki densitas
yang rendah (Bashour dan Sayegh, 2007). Dengan demikian dapat diketahui bahwa sedimen
tepi memiliki kandungan mineral yang lebih banyak daripada sedimen tengah.

4.4 Penentuan Porositas Sedimen


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil porositas sedimen
dari 4 lokasi pengambilan sampel yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Porositas (%) Sedimen
Berat
No. Lokasi Sampel Porositas (%)
Isi (g/cm3) Jenis (g/cm3)
1. Tepi titik 1 0,8 2,62 69,47
2. Tepi titik 2 0,8 2,75 70,91
3. Tengah titik 1 0,8 2,45 67,35
4. Tengah titik 2 1,0 2,35 57,45
Sumber: Lab. Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Mei 2012

Faktor-faktor yang memperngaruhi porositas adalah kandunagn bahan organik di


dalam sedimen. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (2003) yang menyatakan
apabila di dalam sedimen memiliki pori-pori yang besar maka sedimen akan lebih mudah
menyerap air yang berarti bahwa sedimen tersebut juga memiliki tingkat porositas yang
tinggi pula. Selain itu sedimen yang memiliki tekstur liat memiliki pori sedimen yang lebih
kecil bila dibandingkan dengan sedimen yang memiliki tekstur pasir sehingga sedimen yang
memiliki tekstur pasir umumnya lebih banyak menyerap air dan daya serap sedimen
terhadap air juga tinggi. Hal ini dikarenakan pasir memiliki daya melewatkan air yang lebih
cepat dibandingkan liat sehingga sedimen tersebut memiliki porositas yang berbeda pula.
Jika dilihat dari data kelas porositas sedimen pada Tabel 4.5 diketahui bahwa sedimen tepi
titik 1 dan 2 serta tengah titik 1 terletak pada kelas porous (berpori) sedangkan sedimen
tengah titik 2 terletak pada kelas baik.
Tabel 4.5. Kelas Porositas Sedimen
No Porositas Kelas
1 100 sangat porous
2 80 - 60 porous
3 60 - 50 baik
4 50 - 40 kurang baik
5 40 - 30 Jelek
6 < 30 sangat jelek
Sumber: Arsyad dkk 1975

4.5 Penentuan pH Sedimen


Analisis pH sedimen yang dilakukan pada keempat sampel sedimen dari 4 titik
pengambilan baik pH aktual maupun pH potensial diperoleh hasi seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Nilai pH Sedimen dari 4 Titik Pengambilan
No. Sampel Sedimen pH (Akuades) pH (KCl)
1. Tepi titik 1 7 8
2. Tepi titik 2 7 8
3. Tengah titik 1 7 7
4. Tengah titik 2 7 7
pH sedimen adalah salah satu sifat yang paling penting dalam distribusi, kelimpahan
dan hubungan antara kapasitas tukar kation dan ketersediaan unsur hara. Dari hasil
percobaan pH aktual sedimen dari 4 titik berbeda adalah 7. pH sedimen waduk Karang Kates
berada pada tingkat yang normal, tetapi pH sedimen dipengaruhi oleh kesetimbangan antara
keadaan air dan mineral alami yang ada di sedimen.
Peningkatan bahan organik ke arah bawah diikuti oleh penurunan pH sedimen.
Peningkatan kadar bahan organik dapat menurunkan pH, atau justru sebaliknya dapat
meningkatkan pH. Pada kejadian pertama bahan organik membawa senyawa-senyawa asam,
sedangkan pada kejadian kedua bahan organik memperkuat daya sangga sedimen. Bahan
organik dalam sedimen juga berperan sebagai sumber kemasaman sedimen. Dalam suasana
anaerob bahan organik mengalami proses perombakan yang kurang sempurna sehingga
menghasilkan asam-asam organik, seperti asam asetat dan butirat yang beracun. Nilai pH
yang terlalu rendah dapat menghambat kelancaran perombakan bahan organik, sehingga
terjadi pelonggokan bahan organik. Sebaliknya, perombakan bahan organik menjadi lancar
jika pH cukup tinggi. Hal ini sangat berkenaan dengan pengaruh pH terhadap aktivitas
mikroorganisme dalam merombak bahan organik. Nilai pH sedimen yang tinggi mempunyai
kadar bahan organik kurang lebih seragam sepanjang profil sedimen, meskipun distribusi
vertikal pH tidak seragam. Nilai pH sedimen yang rendah dapat menurunkan daya sangga
dan daya simpan hara di sedimen, sehingga dapat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur
hara dalam sedimen. Selain itu, ketersediaan ion Al, Fe, Mn dan Bo di dalam sedimen akan
meningkat di mana organisme yang hidup dalam sedimen akan mengalami keracunan

4.6 Penentuan DO Sedimen dengan Metode Multi Water Quality Checker


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil DO sedimen dari 4
lokasi pengambilan sampel yang ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Hasil Pengamatan DO Sedimen

No. Lokasi DO (mg/L)


1. Tepi titik 1 0,49
2. Tepi titik 2 0,55
3. Tengah titik 1 0,50
4. Tengah titik 2 0,51
Sumber: Lab. Tanah Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya, Mei 2012
Hasil pengamatan menunjukkan nilai DO untuk sedimen pada titik 1 adalah 0,49 mg/L,
titik 2 adalah 0,55 mg/L, titik 3 adalah 0,50 mg/L dan pada titik 4 adalah 0,51 mg/L dengan
standar baku mutu minimal untuk air dan sedimen adalah 3,0 mg/L. Hal tersebut berarti nilai
DO tersebut tidak memenuhi standar baku mutu yang diperbolehkan. Penurunan oksigen
terlarut dalam sedimen kemungkinan disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah
mikroorganisme yang menguraikan zat organik. Semakin kecil nilai oksigen terlarut di dalam
sedimen maka perairan tersebut dapat diprediksikan sebagai perairan yang tercemar.
Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan O 2 oleh biota air,
sehingga dapat menurunkan kemampuan biota tersebut untuk hidup normal dalam
lingkungannya.

4.7 Penentuan Potensial Redoks Sedimen dengan Metode Multi Water Quality Checker
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap potensial redoks sedimen diperoleh data yang
ditunjukkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil Pengamatan Potensial Redoks Sedimen
No Lokasi Potensial Redoks
1 Tepi titik 1 156.5
2 Tepi titik 2 180.75
3 Perahu titik 1 198.25
4 Perahu titik 2 156.75
Sumber:
Sumber: LabFakultas
Lab. Tanah Tanah Fakultas
PertanianPertanian
UniversitasUniv. Brawijaya,
Brawijaya Malang,Mei
Mei2012
2012

Nilai potensial redoks suatu sedimen dapat memberikan suatu informasi tentang
kemampuan sedimen untuk mereduksi atau mengoksidasi senyawa, dimana hal ini
berhubungan erat dengan kondisi aerobik dan anaerobik (Rafaelly dan Hawkins, 1996).
Kondisi Eh yang rendah (< 0 mV) mengindikasikan adanya proses reduksi dimana kandungan
oksigen dalam sedimen juga rendah. Menurut Odum (1971) sedimen dasar suatu perairan
dibagi menjadi 3 zona antara lain:
Eh tinggi (> + 200 mv) merupakan zona oksidasi
Eh rendah (< 0 mv) merupakan zona reduksi
Eh sedang (0 – 200 mv) merupakan zona transisi
Jika dilihat dari data tersebut maka sampel sedimen tersebut pada Eh sedang (0 – 200
mv) merupakan zona transisi.
4.8 Penentuan Kandungan C Organik dalam Sedimen
Pada penentuan kandungan C-organik dalam sedimen ini, sebelum dilakukan
pengukuran masing-masing sampel sedimen sejumlah 0,5 gram dan larutan standar C 5000
ppm (0,1,2,3,4,5 mL) ditambah dengan 5 mL K2Cr2O7 1 N yang berfungsi sebagai media yang
direduksi oleh C-organik yang terdapat pada sampel serta 7,5 mL H2SO4 pekat. Tujuan
penambahan asam sulfat adalah untuk memberikan suasana asam karena proses reduksi
Cr6+ menjadi Cr3+ dapat berlangsung pada suasana asam. Larutan sampel dan larutan standar
C kemudian ditambah dengan akuades hingga tanda batas menjadi 100 mL. Hasil
pengamatan diperoleh larutan berwarna orange dan selanjutnya didiamkan selama
semalaman. Keesokan harinya diperoleh larutan sampel sedimen dan standar C berwarna
kuning dan standar C 0 ppm tetap berwarna orange. Menurut teori bahwa larutan yang
dihasilkan seharusnya berwarna hijau dari Cr 3+ (Vogel, 1989), tetapi hasil pengamatan
menunjukkan larutan berwarna kuning. Hal ini dimungkinkan Cr 6+ yang direduksi C-Organik
dalam sampel sedimen dan larutan standar konsentrasinya lebih sedikit daripada Cr 3+ sisa
yang tidak tereduksi sehingga warna hijau dari Cr 3+ tertutupi oleh warna orange dari Cr6+
sehingga warna yang teramati adalah kuning. Langkah ini tidak dilakukan pengulangan untuk
memastikan bahwa dugaan ini adalah benar karena keterbatasan bahan dan waktu, maka
larutan sampel sedimen dan standar C tetap dilakukan pengukuran dengan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 565 nm.
Tabel 4.9. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar C
Konsentrasi (A) Absorbansi
(ppm)
0 0
50 0,02
100 0,05
150 0,07
200 0,10
250 0,13

Tabel 4.10. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Sampel Sedimen


Sampel Absorbansi
Tepi titik 1 0,12
Tepi titik 2 0,10
Tengah titik 1 0,07
Tengah titik 2 0,09
Hasil pengukuran larutan standar C selanjutnya dibuat kurva dengan konsentrasi
sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y seperti yang ditunjukkan pada Gambar
4.1.

0.14

0.12 f(x) = 0 x
0.1
R² = 1
Absorbansi (A)

0.08

0.06

0.04

0.02

0
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.1 Kurva Standar C

Berdasarkan kurva standar diperoleh persamaan:


y = ax atau x = y/a
dimana: y = absorbansi (A)
x = konsentrasi (ppm)
y = ax y = 0,0005 x
1. Absorbansi sampel sedimen tepi titik 1 adalah 0,12 sehingga 0,12 = 0,0005x
0,12
C-Organik (ppm) sampel sedimen tepi titik 1 adalah x = 0,0005 = 240 ppm
Perhitungan kadar (% C) dalam sampel sedimen tepi titik 1:
mg 1L volume pengenceran sampel( mL)
Kadar C (%) = ppm kurva ( )x x x 100
L 1000 mL berat sampel (mg)
mg 1L 100 mL
= ppm kurva ( )x x x 100
L 1000 mL 500 mg
mg 1L 100 mL
= 240 ( )x x x 100
L 1000 mL 500 mg
= 240 x 0,02
Kadar C (%) = 4,8%
Jadi kadar C-Organik dalam sampel sedimen tepi titik 1 adalah 4,8%.
2. Absorbansi sampel sedimen tepi titik 2 adalah 0,10 sehingga 0,10 = 0,0005x
0,10
C-Organik (ppm) sampel sedimen tepi titik 1 adalah x = 0,0005 = 200 ppm

Perhitungan kadar (% C) dalam sampel sedimen tepi titik 2:


mg 1L volume pengenceran sampel( mL)
Kadar C (%) = ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL berat sampel (mg)
mg 1L 100 mL
= ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
mg 1L 100 mL
= 200 ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
= 200 x 0,02
Kadar C (%) = 4,0%
Jadi kadar C-Organik dalam sampel sedimen tepi titik 2 adalah 4%.
3. Absorbansi sampel sedimen tengah titik 1 adalah 0,07 sehingga 0,07 = 0,0005x
0 ,07
C-Organik (ppm) sampel sedimen tepi titik 1 adalah x = 0,0005 = 140 ppm
Perhitungan kadar (% C) dalam sedimen tengah titik 1:
mg 1L volume pengenceran sampel( mL)
Kadar C (%) = ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL berat sampel (mg)
mg 1L 100 mL
= ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
mg 1L 100 mL
= 240 ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
= 140 x 0,02
Kadar C (%) = 2,8%
Jadi kadar C-Organik dalam sampel sedimen tengah titik 1 adalah 2,8%.
4. Absorbansi sampel sedimen tengah titik 2 adalah 0,09 sehingga 0,09 = 0,0005x
0,09
C-Organik (ppm) sampel sedimen tepi titik 1 adalah x = 0,0005 = 180 ppm
Perhitungan kadar (% C) dalam sampel sedimen tengah titik 2:
mg 1L volume pengenceran sampel( mL)
Kadar C (%) = ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL berat sampel (mg)
mg 1L 100 mL
= ppm kurva ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
mg 1L 100 mL
= 180 ( )x x x 100%
L 1000 mL 500 mg
= 180 x 0,02
Kadar C (%) = 3,6%
Jadi kadar C-Organik dalam sampel sedimen tengah titik 2 adalah 3,6%.
Jika dilihat dari Tabel 4.10, nilai absorbansi sampel sedimen terletak pada konsentrasi
100 sampai 250 ppm. Setelah dilakukan perhitungan dengan memperhatikan jumlah sampel
dan faktor pengenceran diperoleh kadar C-Organik (%) sampel sedimen Waduk Karangkates
untuk lokasi tepi titik 1 adalah 4,8 %; lokasi tepi titik 2 adalah 4%; lokasi tengah titik 1 adalah
2,8%; dan lokasi tengah titik 2 adalah 3,6%. Berdasarkan BSN (2009) tentang kandungan C-
Organik dalam sedimen sebagai kontrol kualitas perairan darat adalah 3-5 %. Dengan
mengkorelasi informasi dari SNI dan hasil percobaan bahwa kadar C-Organik dalam sedimen
waduk Karang Kates kadarnya tidak melebihi ambang batas atau masih dalam batas yang
diperbolehkan.

4.9 Penentuan KTK Sedimen


4.9.1 Data Hasil Percobaan
Tabel 4.11.. Data Absorbansi Larutan Standar NH4+ dan Sampel
Konsentrasi(mg/L Sampel Sedimen Absorbansi
) Absorbansi
0 0 Tengah titik 1 0,1920
0,5 0,1801 Tengah titik 2 0,4323
1,0 0,3423 Tepi titik 1 0,5321
1,5 0,5024 Tepi titik 2 0,5925
2,5 0,7838
0.9
0.8
f(x) = 0.32 x
0.7 R² = 1
0.6

Absorbansi
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Konsentrasi (mg/L)

Gambar 4.2. Kurva Standar NH4+

Perhitungan Kapasitas Tukar Kation


1. Sampel Tengah Titik 1
y = 0,3226 x
0,1920 = 0,3226 x
x = 0,5952
Jadi, konsentrasi NH4+ dalam sampel sebesar 0,5952 mg/L.
Massa NH4+ (mg) = 0,5952 mg/L x 6,1 x 10 -3 L = 3,63 x 10-3 mg = massa NH4+ dalam 0,1 mL
sampel
Ca2+ ¿ 100 mL
Massa NH4+ dalam 100 mL = massa ¿ x 3,63 x 10-3 mg = 3,63 mg
massa sampel 0,1 mL
3,63 mg
Mol NH4+ = = 0,202 mmol
18 mg/mmol
mmol amonium 0,202 mmol
Miliequivalen NH4+ = = = 0,202 meq
elektron yang dilepaskan 1 mmol/meq
Kapasitas tukar kation = 20,2 meq/100 gram
2. Sampel Tengah Titik 2
y = 0,3226x
0,4323 = 0,3226x
x = 1,3401
Jadi, konsentrasi NH4+ dalam sampel sebesar 1,3401 mg/L.
Massa NH4+ (mg) = 1,3401 mg/L x 6,1 x 10 -3 L = 8,18 x 10-3 mg = massa NH4+ dalam 0,1 mL
sampel
Ca2+ ¿ 100 mL
Massa NH dalam 100 mL = massa
4
+
¿ x 8,18 x 10-3 mg = 8,18 mg
massa sampel 0,1 mL
8,18 mg
Mol NH4+ = = 0,454 mmol
18 mg/mmol
mmol amonium 0,454 mmol
Miliequivalen NH4+ = = = 0,454 meq
elektron yang dilepaskan 1 mmol/meq
Kapasitas tukar kation = 45,4 meq/100 gram
3. Sampel Tepi Titik 1
y = 0,3226x
0,5321 = 0,3226x
x = 1,6494
Jadi, konsentrasi NH4+ dalam sampel sebesar 1,6494 mg/L.
Massa NH4+ (mg) = 1,6494 mg/L x 6,1 x 10-3 L = 0,010 mg = massa NH4+ dalam 0,1 mL
sampel
Ca2+ ¿ 100 mL
Massa NH dalam 100 mL = massa
4
+
¿ x 0,010 mg = 10 mg
massa sampel 0,1 mL
10 mg
Mol NH4+ = = 0,556 mmol
18 mg/mmol
mmol amonium 0,556 mmol
Miliequivalen NH4+ = = = 0,556 meq
elektron yang dilepaskan 1 mmol/meq
Kapasitas tukar kation = 55,6 meq/100 gram

4. Sampel Tepi Titik 2


y = 0,3226x
0,5925 = 0,3226x
x = 1,8366
Jadi, konsentrasi NH4+ dalam sampel sebesar 1,8366 mg/L.
Massa NH4+ (mg) = 1,8366 mg/L x 6,1 x 10-3 L = 0,011 mg = massa NH4+ dalam 0,1 mL
sampel
Ca2+ ¿ 100 mL
Massa NH4+ dalam 100 mL = massa ¿ x 0,011 mg = 11 mg
massa sampel 0,1 mL
11 mg
Mol NH4+ = = 0,611 mmol
18 mg/mmol
mmol amonium 0,61 mmol
Miliequivalen NH4+ = = = 0,611 meq
elektron yang dilepaskan 1 mmol/meq
Kapasitas tukar kation = 61,1 meq/100 gram
4.9.2 Pembahasan
Berdasarkan data hasil percobaan, diperoleh nilai KTK untuk masing-masing sampel
adalah 20,2 (Tengah titik 1); 45,4 (Tengah titik 2); 55,6 (Tepi titik 1); dan 61,1 (Tepi titik 2)
meq/100 gram. Menurut Peacock (tanpa tahun), tekstur sedimen dapat diketahui dari nilai
KTK seperti terlihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sampel
tengah titik 1 memiliki tekstur lempung atau lempung-berlumpur, sedangkan untuk sampel
tengah titik 2, tepi titik 1, dan tepi titik 2 memiliki tekstur liat. Hal ini sesuai dengan hasil
pengujian tekstur sedimen bahwa untuk sedimen tengah titik 1 memiliki tekstur lempung
berliat, sedangkan untuk tepi titik 1 dan 2 memiliki tesktur liat. Namun ada perbedaan untuk
tekstur sedimen tengah titik 2 yang seharusnya memiliki tekstur lempung berliat. Sedimen
dengan tekstur liat hanya mengandung sedikit material organik, hal ini didukung dengan
data percobaan C-organik dimana kandungan C Organik yang terdapat dalam sedimen
berjumlah sedikit yaitu masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh BSN sebesar 5%.
Tabel 4.12. Hubungan Nilai KTK dengan Tekstur Sedimen
Nilai KTK (meq/100 gram) Tekstur Sedimen
2-7 berpasir atau pasir-berlempung
7-15 lempung-berpasir
15-30 lempung atau lempung-berlumpur
30-40 lumpur-liat
>40 liat

Nilai KTK dipengaruhi oleh jumlah kation-kation yang terikat pada sedimen. Semakin
banyak kation yang terikat pada sedimen, semakin tinggi nilai KTK-nya. Berdasarkan hasil
percobaan penentuan ion logam (Cu, Zn, Fe, Mn), jumlah meq/100 gram tiap-tiap logam
tersebut lebih kecil daripada nilai KTK. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen tidak hanya
mengikat kation-kation tersebut, kemungkinan sedimen juga mengikat kation lain seperti
Ca2+, Mg2+, K+, H+, dan NH4+. Terikatnya ion-ion tersebut dalam sedimen akan mempengaruhi
pH sedimen. Menurut Astera (2007), semakin banyak ion H + yang terikat pada sedimen,
maka pH sedimen akan semakin asam. Sebaliknya, semakin banyak kation seperti K +, Ca2+
dan Mg2+ akan menyebabkan pH sedimen semakin basa. Oleh sebab itu diperlukan analisis
lebih lanjut untuk mengetahui keberadaan ion-ion tersebut dalam sedimen.
Kapasitas sedimen dalam menukarkan kation dipengaruhi oleh material bermuatan
negatif yang terkandung dalam sedimen tersebut, yaitu mineral dan material organik. Oleh
karena nilai C-organik hasil percobaan jumlahnya kecil, maka kemungkinan kemampuan
sedimen mengikat kation hanya dipengaruhi oleh kandungan mineralnya. Berdasarkan nilai
KTK, dapat diketahui mineral yang terkandung dalam sedimen, hal ini kemungkinan dapat
menjelaskan kecilnya jumlah kation logam yang terikat oleh sedimen. Tabel 2 menunjukkan
hubungan antara nilai KTK dengan mineral yang terkandung dalam sedimen (Anonim 2, 2012)
Tabel 4.13. Hubungan KTK dengan Mineral Sedimen
Nilai KTK Mineral
3-15 kaolit
5-10 haloisit (2H2O)
40-50 haloisit (4H2O)
70-100 Golongan montmorilonit
10-40 Illit
100-150 Vermikulit
10-40 Klorit
11-20+ Glaukonit
20-30 Golongan Paligorskit
~ 70 Allofan

4.10 Penentuan Kandungan Nitrat dalam Sedimen


4.10.1 Data Hasil Absorbansi Larutan Standar
Tabel 4.14. Data Absorbansi Larutan Standar N-NO3
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0
0,4 0,02
0,8 0,04
1,2 0,07
1,6 0,09
2,0 0,11

0.12

f(x) = 0.06 x
0.1 R² = 1

0.08
Absorbansi

0.06

0.04

0.02

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.3. Kurva Standar N-NO3


Berdasarkan data absorbansi larutan standar N-NO 3 diperoleh persamaan kurva
standar N-NO3 adalah y = 0,055 x dengan R2 = 0,996.
4.10.2 Perhitungan Kandungan Nitrat dalam Sedimen
Tabel 4.15. Data Absorbansi N-NO3 dalam Sampel
Sampel Sedimen Nomor sampel Berat Sampel (g) Absorbansi
Tepi titik 2 P-1 2,002 gr 0,09
Tepi titik 1 P-2 2,002 gr 0,06
Tengah titik 2 P-3 2,003 gr 0,05
Tengah titik 1 P-4 2,003 gr 0,08

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan N-NO3 dalam sampel sedimen adalah


sebagai berikut:
Persamaan kurva standar N-NO3 : y = 0,121 x
1. Sedimen tepi titik 2
0 , 09
x= =1, 64 mg/L
0 , 055
62 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = × 1,64 mg/L × × = 0,503 mg/L
101 5 mL 1000 mL
0.503 mg/ L
Kadar NO3 (%) = × 100 % = 0,025 %
2002 mg/L

2. Sedimen tepi titik 1


0 ,06
x= =1, 09 mg/ L
0, 055
62 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = × 1.09 mg/L× × = 0,334 mg/L
101 5 mL 1000 mL
0.334 mg/ L
Kadar NO3(%) = × 100 % = 0,017 %
2002 mg/L
3. Sedimen tengah titik 2
0,05
x= =0 ,91 mg/L
0,055
62 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = × 0.91 mg/L× × = 0,279 mg/L
101 5 mL 1000 mL
0.279 mg/L
Kadar NO3(%) = × 100 % = 0,014 %
2003 mg/L
4. Sedimen tengah titik 1
0 ,08
x= =1, 45 ppm
0 , 055
62 50 mL 50 mL
Massa NO3 dalam KNO3 = ×1.45 mg/L × × = 0,445 mg/L
101 5 mL 1000 mL
0.445 mg/L
Kadar NO3(%) = × 100 % = 0,022 %
2003 mg/L
4.10.3 Pembahasan
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi
pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat
stabil (Bahri, 2006). Hasil pengukuran nitrat pada sedimen di Waduk Karang Kates pada
beberapa titik pengamatan ditunjukkan pada Gambar 4.4.
0.03

0.03

0.02
Kadar Nitrat (%)

0.02

0.01

0.01

0
P-1 P-2 P-3 P4
Kode Sampel Sedimen

Gambar 4.4. Kadar Nitrat (%) dalam sedimen pada 4 titik pengambilan
Nitrat pada titik P-1 yaitu di tepi Waduk Karang Kates memiliki kadar tertinggi yaitu
sebesar 0.025% jika dibandingkan titik yang lainnya, sedangkan kadar nitrat terendah pada
titik P-3 yaitu sebsar 0.014%.

4.11 Penentuan Kandungan N Total dalam Sedimen


4.11.1 Data Hasil Absorbansi Larutan Standar
Tabel 4.16. Data Absorbansi Larutan Standar N

Konsentrasi (mg/L) Absorbansi


0,0 ppm 0,00
1,0 ppm 0,11
1,5 ppm 0,15
2,0 ppm 0,22
2,5 ppm 0,27
0.3

0.25 f(x) = 0.11 x


R² = 1
0.2

Absorbansi
0.15

0.1

0.05

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.5. Kurva Standar N


Berdasarkan data absorbansi larutan standar N diperoleh persamaan kurva standar N
adalah y = 0,107 x dengan R2 = 0,996.
4.11.2 Perhitungan Kandungan N Total dalam Sedimen
Tabel 4.17. Data Absorbansi N dalam Sampel Sedimen

No. Lokasi Sampel Absorbansi


1. Lokasi 1 0,25
2. Lokasi 2 0,20
3. Lokasi 3 0,16

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan N total dalam sampel sedimen adalah


menggunakan persamaan berikut:
|.| Sampel 1
Kadar N ( %)= x V . Lar ( L ) x fp x x 100 %
Slope Berat sampel (mg)
Persamaan kurva standar N : y = 0,107 x
1. Sedimen lokasi 1
0,25 100 1
Kadar N ( %)= x 100 mL x 10−3 L x x x 100 %
0,107 5 mg
1,0 g x 1000
g
Kadar N ( %)=0,47 %
2. Sedimen lokasi 2
0,20 100 1
Kadar N ( %)= x 100 mL x 10−3 L x x x 100 %
0,107 5 mg
1,0 g x 1000
g
Kadar N ( %)=0,37 %
3. Sedimen lokasi 3
0,16 100 1
Kadar N ( %)= x 100 mL x 10−3 L x x x 100 %
0,107 5 mg
1,0 g x 1000
g
Kadar N (%)=0,29 %
4.11.3 Pembahasan
Pada penetapan N total digunakan metode analisis spektrofotometri dengan pereaksi
reagen Nessler, yang mempertimbangkan batas konsentrasi minimum nitrogen berkisar 0,4-
10 mg/L dengan daerah panjang gelombang 400-500 nm (APHA), konsentrasi nitrogen dalam
sampel yang tidak terlalu besar dan pengerjaannya relatif lebih cepat jika dibandingkan
dengan metode destilasi dengan titrasi.
Tahap destruksi bertujuan untuk memecah ikatan dalam molekul kompleks menjadi
molekul yang lebih sederhana. Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat
dengan tablet Kjeldahl untuk menaikkan titik didih larutan. Reaksi yang terjadi pada proses
dekstruksi ini adalah:
Senyawa N + H2SO4 (NH4)2SO4 + CO2 + H2O + SO2
Proses ini harus dilakukan dalam lemari asam karena menghasilkan gas yang
berbahaya. Analisis N total pupuk didasari oleh prinsip mengubah N-anorganik menjadi N-
ammonium oleh asam sulfat yang dipanaskan. Unsur karbon, hidrogen teroksidasi menjadi
CO, CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya akan berubah menjadi (NH 4)2SO4. Reaksi yang
terjadi pada proses destruksi, netralisasi dengan NaOH dan penambahan reagen Nessler
yaitu:
CO(NH2)2 + H2SO4 (NH4)2SO4 + CO2 + SO2 + H2O
(NH4)2SO4 + 2NaOH 2NH3 + 2H2O + Na2SO4
NH4+ + 2[HgI4]2- + 4OH- HgO(NH2)I + 7I- + 3H2O

4.12 Analisis Kandungan Fe dan Mn Total pada Sedimen


4.12.1 Data Hasil Absorbansi Larutan Standar
Tabel 4.18. Data Absorbansi Larutan Standar Fe(III)
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,0005
0,5 0,0477
1 0,1108
2 0,2611
3 0,3565
4 0,4900
0.6

0.5
f(x) = 0.12 x
0.4 R² = 1

Absorbansi
0.3

0.2

0.1

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.6. Kurva Standar Fe(III)


Berdasarkan data absorbansi larutan standar Fe(III) diperoleh persamaan kurva
standar Fe(III) adalah y = 0,121 x dengan R2 = 0,996.

Tabel 4.19. Data Absorbansi Larutan Standar Mn(II)


Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,0004
0,5 0,0086
1 0,0198
2 0,0423
3 0,0610
4 0,0803
5 0,1129

0.12

0.1 f(x) = 0.02 x


R² = 1
0.08
Absorbansi

0.06

0.04

0.02

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.7. Kurva Standar Mn(II)


Berdasarkan data absorbansi larutan standar Mn(II) diperoleh persamaan kurva
standar Mn(II) adalah y = 0,021 x dengan R2 = 0,992.
4.12.2 Perhitungan Kandungan Fe dan Mn Total dalam Sedimen
Tabel 4.20. Data Absorbansi Fe(III) dalam Sampel
Sampel Absorbansi
S1 0,0709
S2 0,0333
S3 0,1082
S4 0,0980

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan Fe total dalam sampel sedimen adalah


sebagai berikut:
Persamaan kurva standar Fe : y = 0,121 x
1. Sedimen 1
0 , 0709
x= =0 ,586 ppm
0 , 121
3
0,586 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
1g = 1465 µg/g
Kadar Fe (µg/g) lokasi 1 =

2. Sedimen 2
0, 033
x= =0, 275 ppm
0, 121
3
0,275 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 2 = 1 g = 687,5 µg/g
3. Sedimen 3
0 ,1082
x= =0 ,894 ppm
0 ,121
3
0,894 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 3 = 1 g = 2235 µg/g
4. Sedimen 4
0 , 0980
x= =0 , 810 ppm
0 , 121
3
0,810 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Fe (µg/g) lokasi 4 = 1 g = 2025 µg/g
. Data Absorbansi Mn(II) dalam Sampel
Tabel 4.21

Sampel Absorbansi
S1 0,0069
S2 0,0103
S3 0,0085
S4 0,0122

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan Mn total dalam sampel sedimen adalah


sebagai berikut:
Persamaan kurva standar Mn : y = 0,021 x
1. Sedimen 1
0, 0069
x= =0 ,328 ppm
0 ,021
3
0,328 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
(µg/g) lokasi 1 = 1 g = 822,5 µg/g
Kadar Mn

2. Sedimen 2
0 , 0103
x= =0 , 490 ppm
0 , 021
3
0,490 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
Kadar Mn (µg/g) lokasi 2 = 1 g = 1225 µg/g

3. Sedimen 3
0 , 0085
x= =0 , 405 ppm
0 , 021
3
0,405 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
1g = 1012,5 µg/g
Kadar Mn (µg/g) lokasi 3 =

4. Sedimen 4
0, 0122
x= =0 ,581 ppm
0, 021
3
0,581 mg/L ×0,1 L×10 μg×25
1g = 1452,5 µg/g
Kadar Mn (µg/g) lokasi 4 =
4.12.3 Pembahasan
Penentuan logam Mn dan Fe total dilakukan menggunakan destruksi basah secara
spektrofotometri dengan AAS. Destruksi basah dilakukan menggunakan aqua regia (HNO 3
dan HCl). Hal ini akan mengakibatkan unsur-unsur besi (Fe 2+ akan mengalami oksidasi seperti
yang disajikan pada reaksi 1 (Svehla, 1985).
2 Fe 2+ +HNO3 + 3HCl  2Fe 3+ + NOCl(g) + 2Cl- + 2H2O (1)
Berdasarkan reaksi di atas terlihat bahwa unsur-unsur Fe dalam sampel sedimen akan
teroksidasi menjadi Fe+3. Oleh sebab itu, pada kurva standar digunakan standar baku Fe (III)
dengan menggunakan garam rangkap NH 4Fe(SO4)2.12H2O. Garam rangkap ini dipilih karena
tergolong garam rangkap yang paling stabil dibandingkan garam rangkap lainnya seperti
FeCl3 dan Fe(NO3)3.
Destruksi basah dalam suasana asam dan pemanasan tersebut juga akan membuat
unsur mangan dalam sedimen akan terurai menjadi ion Mn 2+ seperti yang disajikan pada
reaksi 2 (Svehla, 1985).
Mn2O3 + HCl  2 Mn 2+ + Cl2 + 4 Cl- + 3 H2O (2)
MnO2 + 4HCl  Mn 2+ + Cl2 + + 2 Cl- + 2 H2O
MnO3 + 2H+  Mn 2+ + O2 + H2O
Sedimen sampel yang diperoleh adalah sedimen dari Waduk Karangkates, dengan 4
titik lokasi pengambilan sampel yaitu, S1 merupakan tepi 1 waduk, S2 merupakan tepi 2
waduk , S3 merupakan sedimen yang berasal dari kedalaman tertentu (tengah 1), dan S4
berasal dari tengah 2 dengan kedalaman tertentu. Hasil spektrofotometer AAS terhadap
sampel diperoleh kadar Fe dalam sedimen seperti yang disajikan pada Tabel 4.22. dan Grafik
4.8.
Tabel 4.22. Kadar Fe dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Fe (ppm) Kadar Fe (µg/g)
S1 0,586 1465
S2 0,275 687,5
S3 0,894 2235
S4 0,810 2025
2500

2000

Kadar Fe (µg/g)
1500

1000

500

0
S1 S2 S3 S4
Lokasi pengambilan sampel

Grafik 4.8. Grafik kadar total Fe di 4 lokasi pengambilan

Data pada Grafik 4.8. menunjukkan bahwa kadar Fe (ppm) pada S1, S2, S3 dan S4
melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan yaitu 0,3 ppm untuk kadar Fe di perairan
dan baku mutu air minum (Environmental Agency of Japanese Government; Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara) dan 0,02 ppm untuk kehidupan ikan di perairan (Sylvester,
1958) serta menurut US EPA kadar Fe dalam sedimen yang dapat diterima sebesar 30 µg/g.
Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Fe dalam sedimen Waduk Karangkates tidak
dapat digunakan sebagai bahan baku air PDAM dan kehidupan ikan dalam waduk.
Besi pada air permukaan terdapat dalam beberapa bentuk, antara lain dalam bentuk
suspensi dari lumpur, sedimen liat dan partikel (dispersi) halus dari besi(III) hidroksida,
[Fe(OH)3] dalam bentuk koloid dan organik kompleks. Besi dalam air sedimen juga terdapat
dalam bentuk Fe(II) dan Fe(III) terlarut. Sifat kimia perairan dari besi adalah sifat redoks.
pembentukan kompleks, metabolisme oleh mikroorganisme, dan pertukaran dari besi antara
fasa dan fase padat yang mengandung besi karbonat, hidroksida dan sulfit. Pada kadar 1- 2
ppm besi dapat menyebabkan air berwarna kuning dan pahit (Amin, dkk., 2007). Filtrat
setelah destruksi berwarna kuning yang mengindikasikan bahwa sampel sedimen banyak
terdapat kandungan besi.
Selain itu, terlihat pada sifat fisik air pada waduk karangkates yang berwarna keruh.
Warna keruh yang dihasilkan, dapat diduga dari oksidasi Fe(II) oleh oksigen yang berasal dari
atmosfer ion ferro yang berubah menjadi ion ferri dengan reaksi sebagai berikut :
4Fe2+ + O2 + 10 H2O  4 Fe(OH)3 + 8H+
Oksidasi tersebut dapat terjadi dalam kondisi tidak ada oksigen air sedimen (DO
rendah). Apabila perairan memiliki kadar besi (Fe2+) yang tinggi maka berkolerasi dengan
kadar bahan organik yang tinggi atau air tersebut berasal dari air sedimen dalam, dengan
suasana anaerob atau dari lapisan dasar perairan yang sudah tak ada oksigen.
Hal ini didukung dari pengukuran DO yang menghasilkan nilai 0,49; 0,55; 0,50; 0,51
mg/L masing-masing berasal dari S1, S2, S3, S4. Nilai perairan yang diperuntukkan untuk
perikanan sebaiknya mengandung oksigen (DO) yang tidak kurang dari 5 ppm.
Besi (II) dapat terjadi sebagai jenis stabil yang larut dalam dasar danau dan sumber air
yang kekurangan oksigen. Ion FeOH + dapat terjadi dalam perairan yang bersifat basa, dan
adanya CO2 dapat membentuk FeCO3 yang tidak larut. Besi(II) dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan zat organik pengompleks yang dapat larut dalam air. Dalam perairan
dengan pH sangat rendah, kedua bentuk ion ferro dan ferri dapat ditemukan.
Hasil spektrofotometer AAS terhadap sampel diperoleh kadar Mn dalam sedimen
seperti yang disajikan pada Tabel 4.23. dan Grafik 4.9.
Tabel 4.23. Kadar Mn dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Mn (ppm) Kadar Mn (µg/g)
S1 0,328 822.5
S2 0,490 1225
S3 0,405 1012.5
S4 0,581 1432.5

1600
1400
1200
Kadar Mn (µg/g)

1000
800
600
400
200
0
S1 S2 S3 S4
Lokasi pengambilan sampel

Grafik 4.9. Grafik kadar total Mn di 4 lokasi pengambilan


Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa kadar Mn (ppm) pada S1, S2, S3 dan S4
melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/L dalam kehidupan ikan di
perairan dan sistem penyediaan air bersih (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
416/MenKes/ PER/IX/1990) serta menurut US EPA nilai batas Mn dalam sedimen adalah 30
µg/g. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Mn dalam sedimen Waduk Karangkates
tidak dapat digunakan sebagai sistem penyediaan air bersih (PDAM), kehidupan ikan atau
organisme perairan dalam waduk. Kadar Mn yang sangat tinggi ini dapat diduga karena
dalam sedimen berada pada kondisi DO rendah, sehingga Mn terdapat dalam bentuk MnO 2
dan pada dasar perairan tereduksi menjadi Mn2+. Selain itu, adanya aktivitas mikroorganisme
dalam menguraikan dan mereduksi bahan organik dan mangan(IV) menjadi mangan(II) pada
kondisi hypolimnion (kondisi adanya cahaya matahari) dapat menyebabkan kandungan Mn
dalam sedimen sangat tinggi.
Kadar Mn dalam sedimen yang tinggi dapat mengakibatkan bioakumulasi dalam
organisme tingkat rendah misalnya, fitoplankton, ganggang, moluska dan beberapa ikan
tetapi tidak pada organisme yang lebih tinggi dan dapat mengakibatkan biomagnifikasi
dalam rantai makanan yang tidak diharapkan akan terjadi sangat signifikan (Akan, et al.,
2010).
Kandungan oksigen yang sangat rendah dalam sedimen Waduk Karangkates
mengakibatkan konsentrasi besi dan mangan dalam bentuk mineral tidak larut (Fe 3+ dan
Mn4+) tereduksi menjadi besi dan mangan yang larut dalam bentuk ion bervalensi dua (Fe 2+
dan Mn2+). Air dalam sedimen umumnya mempunyai konsentrasi karbon dioksida (CO 2) yang
tinggi berasal dari hasil penguraian kembali zat-zat organik dalam sedimen oleh aktivitas
mikroorganisme, serta mempunyai konsentrasi oksigen terlarut yang relatif rendah, sehingga
menyebabkan kondisi anaerobik.
Konsentrasi besi dan mangan di dalam sedimen sangat besar, sehingga akan
memberikan dampak penyumbatan pada pipa disebabkan secara langsung oleh deposit
(tubercule) yang disebabkan oleh endapan besi dan secara tidak langsung, disebabkan oleh
kumpulan bakteri besi yang hidup di dalam pipa, karena air yang mengandung besi, disukai
oleh bakteri besi. Selain itu kumpulan bakteri ini dapat meninggikan gaya gesek (losses) yang
juga berakibat meningkatnya kebutuhan energi. Selain itu pula apabila bakteri tersebut
mengalami degradasi dapat menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada air. Besi dan
mangan sendiri dalam konsentrasi yang lebih besar dan beberapa mg/L, akan memberikan
suatu rasa pada air yang menggambarkan rasa logam, atau rasa obat.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dismpulkan bahwa peran Waduk Karangkates
ditinjau dari kandungan logam total Fe dan Mn maka waduk tersebut bukan merupakan
fungsi sebagai sumber (source) karena kandungan logam Fe dan Mn yang sangat tinggi dapat
merusak pipa maupun turbin yang mengakibatkan korosi. Selain itu, kadar logam yang tinggi
sudah melewati batas ambang untuk kehidupan organisme perairan dan tidak dapat
digunakan sebagai sistem penyediaan air bersih (PDAM). Oleh sebab itu, Waduk Karangkates
berfungsi sebagai penampung (sink).
Kandungan Fe dan Mn di Waduk Karangkates diduga akibat peningkatan aktivitas
industri sehingga semakin banyak bahan bahan limbah bersifat racun yang dibuang ke
perairan. Bahan limbah dapat berasal dari limbah industri, limbah rumah tangga,
pertambakan PLTU, daerah wisata dan rekreasi, pelabuhan dan jalur transportasi yang
berada di sekitar perairan Waduk Karangkates, Malang. Keberadaan limbah di dalam
perairan laut akan dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan dan menganggu
kehidupan yang ada di dalamnya. Hal ini tercemin dari kadar Fe dan Mn jauh melebihi dari
nilai ambang batas dalam perairan.

4.13 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
4.13.1 Data Hasil Absorbansi Larutan Standar
Tabel 4.24. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Cu
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0
1 0,0183
2 0,0469
3 0,0655
4 0,0833
5 0,1043
0.12

0.1 f(x) = 0.02 x


R² = 1
0.08

Absorbansi
0.06

0.04

0.02

0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.10. Kurva Standar Cu


Berdasarkan data absorbansi larutan standar Cu diperoleh persamaan kurva standar
Cu adalah y = 0,021 x dengan R2 = 0,995.

Tabel 4.25. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Zn


Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0
0,2 0,0226
0,4 0,0380
0,6 0,0530
0,8 0,0642
1 0,0763

0.09
0.08
f(x) = 0.08 x
0.07 R² = 0.99

0.06
Absorbansi

0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.11. Kurva Standar Zn


Berdasarkan data absorbansi larutan standar Zn diperoleh persamaan kurva standar Zn
adalah y = 0,081 x dengan R2 = 0,992.

4.13.2 Perhitungan Kandungan Cu dan Zn dalam Sedimen


Tabel 4.26. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Cu dalam Sampel
Sampel Absorbansi
Fraksi 1 0,0032
Fraksi 2 0,0174
Fraksi 3 0,0221
Fraksi 4 0,1272

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan Cu dalam sampel sedimen adalah sebagai


berikut:
Persamaan kurva standar Cu : y = 0,021 x
y
x = 0,021
1. Fraksi 1 (ELFE)
A fraksi 1 0,0032
Cu ( mg/L ) = = =0,1524 mg/ L
0,021 0,021
3
0,1524 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Cu (µg/g) fraksi 1 = 1 g = 15,24 µg/g
2. Fraksi 2 (AR)
A fraksi 2 0,0174
Cu ( mg/L ) = = =0,8286 mg/ L
0,021 0,021
3
0,8286 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Cu (µg/g) fraksi 2 = 1 g = 82,86 µg/g
3. Fraksi 3 (OO)
A fraksi 3 0,0221
Cu ( mg/L ) = = =1,0524 mg/ L
0,021 0,021
3
1,0524 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Cu (µg/g) fraksi 3 = 1 g = 105,24 µg/g
4. Fraksi 4 (Refraktori)
A fraksi 4 0,1272
Cu ( mg/L ) = = =6,0571mg/ L
0,021 0,021
3
6,0571 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Cu (µg/g) fraksi 4 = 1 g = 605,71 µg/g
Tabel 4.27. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Zn dalam Sampel
Sampel Absorbansi
Fraksi 1 0,0117
Fraksi 2 0,0558
Fraksi 3 0,0516
Fraksi 4 0,0598

Perhitungan untuk mendapatkan kandungan Zn dalam sampel sedimen adalah sebagai


berikut:
Persamaan kurva standar Cu : y = 0,081 x
y
x = 0,081
1. Fraksi 1 (ELFE)
A fraksi 1 0,0117
Zn ( mg/ L )= = =0,1444 mg/L
0,081 0,081
3
0,1444 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 1 = 1 g = 14,44 µg/g
2. Fraksi 2 (AR)

Zn ( mgL )= A 0,081
fraksi 2 0,0558
=
0,081
=0,6889 mg/ L

3
0,6889 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 2 = 1 g = 68,89 µg/g
3. Fraksi 3 (OO)
A fraksi 3 0,0516
Zn ( mg/ L )= = =0,6370 mg/ L
0,081 0,081
3
0,6370 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 3 = 1 g = 63,70 µg/g
4. Fraksi 4 (Refraktori)
A fraksi 4 0,0598
Zn ( mg/ L )= = =0,7383 mg/ L
0,081 0,081
3
0,7383 mg/L ×0,1 L×10 μg
Kadar Zn (µg/g) fraksi 4 = 1 g = 73,83 µg/g
4.13.3 Pembahasan
Hasil spektrofotometer AAS terhadap sampel diperoleh kadar Cu dalam sedimen
seperti yang disajikan pada Tabel 4.28. dan Grafik 4.12.
Tabel 4.28. Kadar Cu dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Cu (ppm) Kadar Cu (µg/g)
F1 0,1524 15,24
F2 0,8286 82,86
F3 1,0524 105,24
F4 6,0571 605,71

700

600

500
Kadar Cu (µg/g)

400

300

200

100

0
1 2 3 4
Fraksi Cu

Grafik 4.12. Grafik kadar Cu pada sedimen tengah titik 2 (1) Fraksi Cu ELFE; (2) Fraksi Cu AR;
(3) Fraksi Cu OO dan (4) Fraksi Cu Refraktori

Hasil spektrofotometer AAS terhadap sampel diperoleh kadar Zn dalam sedimen


seperti yang disajikan pada Tabel 4.29. dan Grafik 4.13.
Tabel 4.29. Kadar Zn dalam Sedimen
Sampel Konsentrasi Zn (ppm) Kadar Zn (µg/g)
F1 0,1444 14,44
F2 0,6889 68,89
F3 0,6370 63,70
F4 0,7383 73,83
80
70
60

Kadar Zn (µg/g)
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4
Fraksi Zn

Grafik 4.13. Grafik kadar Zn pada sedimen tengah titik 2 (1) Fraksi Zn ELFE; (2) Fraksi Zn AR;
(3) Fraksi Zn OO dan (4) Fraksi Zn Refraktori

Berdasarkan hasil analisa geokimia logam Cu, diketahui fraksi geokimia logam Cu yang
ditunjukkan pada Tabel 4.28 yaitu fraksi EFLE 15,24 μg/g, fraksi AR 82,86 μg/g dan fraksi OO
105,24 μg/g, sedangkan fraksi reafraktori dari logam Cu 605,71 μg/g. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa jumlah fraksi refraktori lebih besar jika dibandingkan dengan ketiga
fraksi lainnya.
Penjumlahan secara matematis fraksi EFLE, acid reducible dan oxidisable organic
disebut sebagai fraksi non-refraktori. Fraksi ini sangat dipengaruhi oleh masukan
antropogenik logam daripada sumber alami logam, sedangkan fraksi refraktori berhubungan
dengan sumber yang berasal dari proses alam, yaitu dari penguraian kristal silikat dari
batuan.
Fraksi refraktori memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat konsentrasi logam Cu
pada sedimen waduk Karang Kates. Hal ini menandakan bahwa kandungan logam Cu pada
sedimen berasal dari proses penguraian kristal silikat, sehingga dapat dikatakan bahwa
sedimen merupakan source untuk logam Cu pada waduk Karang Kates.
Hasil analisa geokimia logam Zn yang ditunjukkan pada Tabel 4.29 menunjukkan fraksi
EFLE 14,44 μg/g, fraksi AR 68,89 μg/g dan fraksi OO 63,70 μg/g, sedangkan fraksi refraktori
dari logam Zn sebesar 73,83 μg/g. Fraksi non-refraktori logam Zn lebih besar dibandingkan
fraksi refraktori. Hak tersebut menunjukkan bahwa fraksi non-refraktori memiliki kontribusi
yang lebih besar terhadap tingkat konsentrasi logam Zn pada sedimen Waduk Karangkates.
Zn biasanya membentuk ikatan kompleks dengan ligan organik seperti asam humus.
Kandungan logam Zn dalam sedimen dimungkinkan sangat dipengaruhi oleh kandungan
bahan organik total. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sedimen
merupakan sink untuk logam Zn pada waduk Karang Kates.
4.14 Analisis Kandungan Fosfat pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang sama untuk setiap
penentuan ELFE, AR, OO, dan refractory di semua stasiun, dimana hasilnya berupa tidak
ditemukan adanya fosfat di dalam sedimen di daerah Waduk Karang Kates. Hasil ini
disimpulkan berdasarkan uji yang telah dilakukan pada fraksi-fraksi yang diperoleh.

(a) (b) (c)

(d)
Gambar 4.14. (a) fraksi ELFE dari setiap stasiun, (b) fraksi AR dari setiap stasiun, (c) fraksi OO
dari setiap stasiun, (d) fraksi refractory dari setiap stasiun

Dari setiap fraksi kemudian ditambahkan ammonium molibdovanadat untuk keperluan


uji kandungan fosfatnya. Campuran ini menghasilkan warna kuning yang merupakan
kompleks ammonium molibdovanadat dalam suasana asam. Setelah penambahan, ternyata
terbentuk endapan putih pada campuran tersebut (Gambar 4.15.).
Gambar 4.15. Hasil reaksi antara fraksi-fraksi dan ammonium molidovandat menghasilkan
endapan putih

Hal serupa juga terjadi pada pereaksi ammonium molidovanadat, awalnya kami
menganggap pereaksi ini telah rusak. Setelah itu, untuk membuktikan pereaksi tersebut
rusak atau tidak dilakukan uji terhadap larutan sampel. Larutan ammonium molibdat dan
beberapa tetes SnCl2 ditambahkan ke dalam larutan sampel, campuran ini seharusnya akan
menghasilkan larutan kompleks berwarna biru antara fosfat dengan ammonium molibdat.
Setelah pencampuran ternyata tidak terbentuk warna biru, warna sampel tetap bening.
Berdasarkan hasil tersebut, maka ditarik kesimpulan bahwa di dalam sampel larutan tidak
terdapat senyawa fosfat.

Gambar 4.16. Hasil reaksi antara larutan sampel, ammonium molibdat dan SnCl 2

Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan keadaan pada Waduk Karang Kates, dimana
pada daerah tersebut terdapat tanaman eceng gondok pada bagian tepi danau. Seperti yang
diketahui, pertumbuhan eceng gondok dipengaruhi oleh kelimpahan fosfat itu sendiri. Tidak
ditemukannya fosfat pada sampel dimungkinkan karena reagen-reagen yang dibuat tidak
menjerap senyawa fosfat pada sampel sedimen. Selain itu kemungkinan karena senyawa
fosfat itu sendiri tidak larut ke dalam sedimen atau jumlahnya sangat rendah.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sedimen di tepi waduk bertekstur liat, sedangkan sedimen di tengah waduk bertekstur
lempung berliat.
2. Sedimen di tepi waduk memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan dengan
sedimen di tengah waduk, sehingga diketahui bahwa sedimen di tepi waduk memiliki
kandungan mineral lebih banyak daripada sedimen di tengah waduk.
3. Sedimen tepi titik 1 dan 2 serta tengah titik 1 terletak pada kelas porous (berpori)
sedangkan sedimen tengah titik 2 terletak pada kelas baik.
4. Sedimen tepi dan tengah waduk memiliki nilai pH yang cenderung netral (pH 7),
sehingga kemampuan sedimen untuk menyimpan unsur hara cukup baik.
5. Kandungan oksigen terlarut di dalam sedimen di Waduk Karangkates tidak memenuhi
standar baku mutu minimal sedimen.
6. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki nilai Eh sedang yang merupakan
zona transisi.
7. Kadar C-Organik dalam sedimen waduk Karangkates tidak melebihi ambang batas atau
masih dalam batas yang diperbolehkan oleh BSN SNI.
8. Hasil pengukuran KTK sedimen waduk Karangkates sesuai dengan hasil analisis tekstur
sedimen dan analisis kandungan C-organik.
9. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki kandungan nitrat yang rendah,
yaitu P-1 =0,025 %, P-2 = 0,017 %, P-3 = 0,014 % dan P-4 = 0,022 %.
10. Sedimen tepi dan tengah waduk Karangkates memiliki kandungan N total yang rendah
yaitu 0,47% pada lokasi 1; 0,37% pada lokasi 2 dan 0,29% pada lokasi 3.
11. Kandungan total logam Fe dan Mn dalam sedimen waduk Karangkates melebihi ambang
batas minimal untuk sedimen, sehingga jika ditinjau dari kandungan logam tersebut
maka waduk Karangkates tersebut tidak berfungsi sebagai sumber (source) namun
berfungsi sebagai penampung (sink).
12. Sedimen waduk Karangkates merupakan source untuk logam Cu dan merupakan sink
untuk logam Zn.
13. Pada sampel sedimen waduk Karngkataes tidak ditemukan adanya fosfat, kemungkinan
karena reagen-reagen yang dibuat tidak menjerap senyawa fosfat pada sampel sedimen.
Selain itu kemungkinan karena senyawa fosfat itu sendiri tidak larut ke dalam sedimen
atau jumlahnya sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Akan, J.C., F. I. Abdulrahman, O. A. Sodipo, A. E. Ochanya Y. K. Askira, 2010, Heavy metals in


sediments from River Ngada,Maiduguri Metropolis, Borno State, Nigeria, Journal of
Environmental Chemistry and Ecotoxicology Vol. 2(9), pp. 131-140, December 2010
Amin, M., Mustafa, A., 2007, Kandungan LogamBerat Pada Air Dan Sedimen Sungai
Pemasok Danau Tempe, Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros
Andarani, P., dan D. Roosmini, 2011, Profil Pencemaran logam Berat Pada Air Permukaan
Dan Sedimen Di Sekitar Industri Tekstil PT X (Sungai Cikijung), Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Anderson, K.J., M.I Keiser, 2004, Digestion of Solid Matrices, Eurofins A/S, Denmark, NÖ
Umweltschutzanstalt, Austria
APHA., 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including
Bottom sediment and Sludges. 12-th ed. Amer.Publ. Health Association Inc., New York
Ardi, A., 2009, Konsentrasi Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu) dalam Air, Seston, Kerang dan
Fraksinya Dalam Sedimen di Perairan Delta Berau Kalimantan Timur, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor
Arifin, Z. dan Diani F., 2009, Fraksinasi Logam Berat Pb, Cd, Cu dan Zn dalam Sedimen dan
Bioavailabilitasnya bagi Biota di Perairan Teluk Jakarta, ISSN 0853-7291. Vol. 14 (1):
27-32
Arifin., Z., 2011, Konsentrasi Logam Berat Di Air, Sedimen dan Biota Di Teluk Kelabat Pulau
Bangka, Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta
Assoniwora, 2011, Fosfat, http://wwwscienceletter07.blogspot.com/2011/02/fosfat.html,
Diakses pada tanggal 9 Juni 2012
As-syakur, A.R., 2007, Segitiga Tekstur, http://syakur.wordpress.com/2007/08/15/segitiga-
tekstur/, diakses pada tanggal 11 Mei 2012
Astera, M., 2007, Cation Exchange Capacity, http://soilminerals.com, diakses pada tanggal 9
Juni 2012
Astuty, R.D., 2011, Kandungan Logam Berat Cd dan Cu Berdasarkan Ukuran Partikel
Sedimen Di Perairan Teluk Jakarta, Skripsi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI), 2004, SNI 06-6989.6-2004 : Air dan Air limbah
– Bagian 6: Cara Uji Tembaga (Cu) dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-
Nyala
Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI), 2004, SNI 06-6989.7-2004 : Air dan Air limbah
– Bagian 7: Cara Uji Seng (Zn) dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala
Badan Standardisasi Nasional, 2009, Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) di Tambak
dengan Teknologi Sederhana, http://bsn.go.id, diakses pada tanggal 9 Juni 2012
Bahri, A.F., 2006. Analisis Kandungan Nitrat dan Fosfat pada Sedimen Mangrove yang
termanfaatkan di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Baru. Studi Kasus
Pemanfaatan Ekosistem Mangrove & Wilayah Pesisir Oleh Masyarakat di Desa
Bulucindea Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep. Asosiasi Konservator
Lingkungan; Makassar.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005, Petunjuk Teknis: Analisis Kimia
Sedimen, Tanaman, Air dan Pupuk, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian
Bashour, I.I. dan A.H. Sayegh, 2007, Methods of Analysis for Soils of Arid and Semi-Arid
Regions, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome
Boyd C.E, 1990, Water Quality In Pond For Agriculture, Auburn Univ. Agr Exp. Sta. Auburin
Alabama, 359 p.
Council on Soil Testing And Plant Analysis, 1980, Hand Book Of Reference Methode For Soil
Testing (Revised Edition)
Danielsson, A. 2000. Spatial Scale For Metal And Nutrient Concentrations In Sediments.
Environrnetrics 11: 523-539
Darman, S., 2003, Pengaruh Penggenangan dan Pemberian Bahan Organic Terhadap
Potensial Redoks, pH, Status Fe, P, dan Al Dalam Larutan Tanah Ultisol Kulawi, J.
Agroland 10 No (2); 119-125
Davis, M.L. dan Cornwell, D.A, 1991, Introduction to Environmental Engineering, Second
Edition, Mc-Graw-Hill, Inc., New York
Diana, W., O. Farobie., H. Murdani., dan J.A. Wawenstah, 2011, Perbandingan Metode
Destruksi Kering dan Basah Untuk Penetapan Logam Besi dan Zink Pada Tepung
Terigu, Departemen Kimia, Insititut Pertanian Bogor
DIN 38 414 S7, 1983, Sludge and Sediments (Group S). Digestion Using Aqua Regia For
Subsequent Determination Of The Acid-Soluble Of Metals (S7)
Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan, Kanisius
Fagbote, E.O. dan E.O. Olanipekun, 2010, Speciation of Heavy Metals in Sediment of
Agbabu Bitumen Deposit Area, Nigeria, J. Appl. Sci. Environ. Manage. Vol. 14 (4) 47-51
Fauziah, 2010, Profil Logam Berat (Cu dan Cd) pada Sedimen di Sungai Brantas Hulu dengan
Menggunakan Teknik DGT (Diffusive Gradient In Thin Film), Fakultas MIPA,
Universitas Brawijaya, Malang
Hutagalung, H. dan A. Rozak, 1997, Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota, Buku 2.
Puslitbang Oceanologi-LIPI, Jakarta
Jones Jr., J.B. and B. Wolf, 1984, Soil Testing. Soil Testing Procedures Using Modified (Wolf)
Morgan Extracting Reagent. Benton Laboratories, INC, Athens, Georgia
Khairiah, J., H.J. Habibah, I. Anizan, A. Maimon, A. Aminah dan B.S. Ismail, 2009, Content of
Heavy Metals in Soil Collected from Selected Paddy Cultivation Areas in Kedah asn
Perlis, Malaysia, Journal of Applied Science Research, Vol. 5 (12): pp. 2179-2188
Luoma T. Ho. 1993. Approriate Uses Of Marine And Estuarine Sediment Bioassay:
Handbook of Ecotoxicology Vol.l. P. Calow (Ed). Oxford Blackwell
Sci.Publ.London.193-226
Mildan, D., 2011, Sedimen Fosfat, http://bukangeologistbiasa.blogspot.com/2011/11/
sedimen-fosfat.html, diakses pada tanggal 8 Juni 2012
Naria, E., 2005, Mewasapadai Dampak Bahan Pencemar Timbal (Pb) di Lingkungan
Terhadap Kesehatan, Jurnal Komunikasi Penelitian, Vol. 17 (4) 2005, hal 66-72
Öztürk, M., G. Özözen., O. Minareci, E. Minareci, 2008, Determination Of Heavy Metals In
Fish, Water, And Sediments, Of Avsar Dam Lake In Turkey, Iran. J. Environ. Health. Sci.
Eng., 2009, Vol. 6, No. 2, pp: 73-80
Page, A.L., Miller R.H. dan Keeney D.R., 1982, Methods of Soil Analysis, Part 2- Chemical and
Microbiological Properties, 2nd Edition, American Society of Agronomy, Madison,
Wisconsin
Peacock, B., tanpa tahun, The Use of Soil and Water Analysis, http://cetulare.ucdavis.edu,
diakses pada tanggal 9 Juni 2012
Rayment, G.E. dan F.R. Higginson, 1992, Australian Laboratory Handbook of Soil and Water
Chemicals Methods. Australian Soil and Land Survey Handbook. Inkata Press,
Melbourne, Sydney
Rinawati, R. S., dan W. S. Dewi, 2008, Profil Logam Berat (Cd, Co, Cr, Cu, Fe, Mn, Pb dan Zn)
Di Perairan Sungai Kuripan Menggunakan ICP-OES, Prosiding Seminar Nasional Sains
dan Teknologi-II 2008, Universitas Lampung
Rositasari R., 2010, Kajian Terhadap Lingkungan Pesisir Semarang Berdasarkan
Karakteristik Sedimen, Oseanografi, Logam Berat Kontaminan Dan Toksisitasnya,
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Salmin, 2005, Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah
Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan, Oseana, Volume XXX, Nomor 3,
2005 : 21 – 26
Sarkar, D. dan A. Haldar, 2005, Physical and Chemical Methods in Soil Analysis, New Age
International Publishers, New Delhi
SNI 13-6974-2003, 2003, Percontoh Batuan Sulfida – Penentuan Kadar Pb, Cu, Zn, Fe, Mn
Dan Cd dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), ICS 71.040.50 Badan
Standardisasi Nasional
SNI 06-6989.4-2004, 2004, Air dan Air Limbah – Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) dengan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala, ICS 13.060.50, Badan Standardisasi
Nasional
Sumawijaya, 1974, Metode Penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya
Svehla, G., 1985, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif, Edisi ke 5 (terjemahan), Kalman
Media Pustaka, Jakarta
Sylvester, H.S, 1958, Water Quality Studies In Columbia River Basin. US. Dept. Interior,
Washington
Takarina, N. Dian, Yasman dan Sunardi, 2007, Spesiasi Logam Berat Di Sedimen Muara Dan
Perairan Teluk Jakarta: Laporan Hasil Riset, http://pustaka2.ristek.go.id/
katalog/index.php/searchkatalog/byId/54310, diakses pada tanggal 11 Mei 2012
Vogel, A., 1989, Texbook Of Quantitative Chemical Analysis, Longman Scientific and
Technical, New York.
Wetzel, R.G., 1975, Limnology.W.B. SaundersCo. Philadelphia, Pennsylvania, 743 p.
Yobouet, Y.A., Adouby K., Trokourey A. dan Yao B., 2010, Cadmium, Copper, Lead and Zinc
Speciation in Contaminated Soils, International Journal of Engineering Science and
Technology Vol. 2 (5), 2010, pp 802-812
Zerbe, J., T. Sobcznski, H. Elbananowska dan J. Siepak, 1999, Speciation of Heavy Metals in
Bottom Sediments of Lakes, Polish Journal of Environmental Studies, Vol. 8 (5), pp.
331-339
Zhang, H. dan J.L. Kovar, 2000, Phosphorus Fractination, Southern Cooperative Series
Bulletin, 396:50-53.
LAMPIRAN

1. Diagram Alir
1.1 Preparasi Sampel Sedimen
Sedimen basah
ditimbang masing-masing sebanyak 5 g dari keempat titik pengambilan
dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC hingga cukup kering
dikeluarkan dari oven
digerus dengan mortar
diayak dengan ayakan berukuran 40 dan 60 mesh
digunakan untuk analisis selanjutnya

Sedimen kering berukuran < 2 mm

1.2 Penentuan Kadar Air Sedimen


Sedimen basah
ditimbang masing-masing sebanyak 1 g dari keempat titik pengambilan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam
dimasukkan ke dalam desikator
ditimbang massanya
diulangi hingga diperoleh massa konstan

Kadar Air
1.3 Penentuan Tekstur Sedimen
Sampel sedimen dengan ukuran ± 2 mm
ditimbang sebanyak 20 gram
dimasukkan ke dalam erlenmeyer
ditambahkan 50 mL akuades
ditambah 10 mL H2O2 30 %
ditambahkan 10 mL H2O2 30 % sambil dipanaskan hingga mendidih dan tidak bereaksi lag
ditambahkan larutan kalgon 5 %
dibiarkan semalaman
dipindahkan pada tabung pendispersi mekanik dan diaduk selama 5 menit
disaring dengan ayakan 0,05 mm

Filtrat Residu (Pasir)


ditampung pada gelas ukur 1 L diletakkan pada cawan
diaduk dikeringkan
diambil 20 mL pada 4 detik setelahnya ditimbang massanya
dibiarkan selama 6 jam
diambil 20 mL lagi
Massa Pasir

Hasil 20 mL pertama

diletakkan pada cawan


dikeringkan
ditimbang massanya

Massa Debu
20 mL kedua
diletakkan pada cawan
dikeringkan
ditimbang massanya

Massa Debu dan Liat


1.4 Penentuan Porositas Sedimen
1.5 Penentuan Densitas Sedimen
1.6 Penentuan pH Sedimen
1.6.1 Pembuatan Larutan KCl 1 M

1.6.2 Analisis pH Sedimen

1.7 Penentuan DO Sedimen


1.8 Penentuan Potensial Redoks Sedimen
1.9 Penentuan Kandungan C Organik Sedimen
1.10 Penentuan KTK Sedimen

2 gram sedimen kering


- dimasukkan gelas kimia 250 mL
- ditambah larutan CH3COONH4 0,5 M pH 7 50 mL
- ditutup dengan gelas arloji
- diaduk selama 1 jam
- dibiarkan semalaman
- disaring

Residu Filtrat
ditambah larutan CH3COONH4 0,5 M pH 7 10 mL
filtrat ditampung dalam labu takar 100 mL (penambahan CH3COONH4 pada residu terus dilakukan hingga labu takar menc
dicuci menggunakan etanol 96% sebanyak 20 mL
dikeringkan dalam oven
berat residu kering dicatat

1 gram residu kering


- dimasukkan gelas kimia 250 mL
- ditambah larutan NaCl 5% 25 mL
- ditutup dengan gelas arloji
- diaduk selama 1 jam
- dibiarkan semalaman
- disaring

Residu Filtrat
- ditambah larutan NaCl 5% 10 mL - ditampung dalam
labu takar 100 mL

Residu Filtrat dicampur


- ditambahkan larutan
NaCl 5% pada residu
hingga labu takar mencapai
tanda batas

Larutan sampel berisi


NH4+
1.11 Penentuan NOx Sedimen
1.12 Analisis Kandungan Fe dan Mn Total pada Sedimen dengan Metode ...
1.13 Analisis Kandungan Cu dan Zn pada Sedimen dengan Metode Sequential Extraction
1.13.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 0,11 M

1.13.2 Pembuatan Larutan NH2OH.HCl 0,1 M

1.13.3 Pembuatan Larutan H2O2 8,8 M

1.13.4 Pembuatan Larutan Induk Cu 500 ppm


1.13.5 Pembuatan Larutan Standar Cu 10 ppm

1.13.6 Pembuatan Larutan Standar Cu 0-5 ppm

1.13.7 Pembuatan Kurva Standar Cu

Larutan standar Cu 0, 1,
2, 3, 4 dan 5 ppm

diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang

Kurva Standar Cu

1.13.8 Pembuatan Larutan Induk Zn 500 ppm


1.13.9 Pembuatan Larutan Standar Zn 10 ppm

1.13.10 Pembuatan Larutan Standar Zn 0-1 ppm

1.13.11 Pembuatan Kurva Standar Zn

Larutan standar Zn 0; 0,2;


0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm

diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang

Kurva Standar Zn
1.13.12 Penentuan Kandungan Cu dan Zn

Sampel sedimen kering berukuran < 2 mm


ditimbang sebanyak 1 gram
ditambah CH3COOH 0,11 M sebanyak 40 mL
diekstraksi selama 16 jam
disaring

Endapan F1 Filtrat F1
ditambah NH2OH.HCl 0,1 M pada pH 2 sebanyak 40 mL diukur dengan AAS
diekstraksi selama 16 jam
disaring Fraksi Cu dan Zn
(ELFE)

Endapan F2 Filtrat F2
ditambah H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL diukur dengan AAS
diekstraksi selama 1 jam
dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam Fraksi Cu dan Zn
ditambah H2O2 8,8 M pada pH 2 sebanyak 10 mL (AR)
dipanaskan kembali pada suhu 90oC selama 1 jam
didinginkan
disaring

Endapan F3 Filtrat F3
ditambah HClO4 pekat sebanyak 6 mL dan HNO3 pekat sebanyak 15 mL diukur dengan AAS
didestruksi selama ± 2 jam
disaring Fraksi Cu dan Zn
(OO)

Endapan F4 Filtrat F4
diukur dengan AAS

Fraksi Cu dan Zn
(Refraktori)
3.4 Analisis Kandungan Cu dan Zn
2. Perhitungan Pembuatan Larutan
2.1 Pembuatan Larutan KCl 1 M
Larutan KCl dibuat dengan konsentrasi 1 M sebanyak 100 mL, dengan perhitungan
massa padatan KCl yang dibutuhkan sebagai berikut:
massa 1000mL/L massa 1000mL/L
1M = × = ×
Mr V 74,5g/mol 100mL
Massa KCl = 7,45 g
2.2 Pembuatan Larutan CH3COOH 0,11 M
Larutan CH3COOH 0,11 M sebanyak 100 mL dibuat dengan cara pengenceran dari
larutan CH3COOH glasial 100% dalam labu ukur 100 mL. Perhitungan pengenceran larutan
CH3COOH glasial 100% adalah sebagai berikut:
Konsentrasi = 100 %
Massa jenis = 1,05 kg/L = 1,05 g/mL
Mr CH3COOH = 60 g/mol
100 mL g 105 g 1 1,75 mol 1,75mol
100 %= ×1,05 = × = = =17,5 M
100 mL mL 100 mL 60 g /mol 100 mL 0,1 L
Pengenceran larutan CH3COOH 17,5 M menjadi 0,11 M
C1 . V 1 = C2 . V 2
17,5 M . V1 = 0,11 M . 100 mL
V1 = 0,63 mL
2.3 Pembuatan Larutan NH2OH.HCl 0,1 M
Larutan NH2OH.HCl dibuat dengan konsentrasi 0,1 M sebanyak 100 mL, dengan
perhitungan massa padatan NH2OH.HCl yang dibutuhkan sebagai berikut:
massa 1000mL/L massa 1000mL/L
× = ×
0,1 M = Mr V 69,49g/mol 100mL
Massa NH2OH.HCl = 0,695 g
2.4 Pembuatan Larutan H2O2 8,8 M
Larutan H2O2 8,8 M sebanyak 50 mL dibuat dengan cara pengenceran dari larutan H 2O2
35% dalam labu ukur 50 mL. Perhitungan pengenceran larutan H 2O2 35% adalah sebagai
berikut:
Konsentrasi = 35%
Massa jenis = 1,110 kg/L = 1,110 g/mL
Mr H2O2 = 34 g/mol
35 mL g 38,85 g 1 1,14 mol 1,14 mol
35 %= × 1,110 = × = = =11,4 M
100 mL mL 100 mL 34 g /mol 100 mL 0,1 L

Pengenceran larutan H2O2 11,4 M menjadi 8,8 M


C1 . V 1 = C2 . V 2
11,4 M . V1 = 8,8 M . 50 mL
V1 = 38,6 mL
2.5 Pembuatan Larutan Induk Cu 500 ppm
Larutan induk Cu 500 ppm dibuat sebanyak 100 mL yang berarti bahwa 50 mg Cu
dilarutkan hingga volume 100 mL. Oleh karena yang tersedia dalam bentuk CuSO 4.5H2O
maka jumlah padatan CuSO4.5H2O yang diperlukan adalah :
Mr CuS O 4 .5 H 2 O
MassaCuS O 4 .5 H 2 O= × massa Cu
Mr Cu
249,5 g/mol
MassaCuS O 4 .5 H 2 O= ×50 mg
63,5 g/mol
MassaCuS O4 .5 H 2 O=196,5 mg=0,1965 g
2.6 Pembuatan Larutan Induk Zn 500 ppm
Larutan induk Zn 500 ppm dibuat sebanyak 100 mL yang berarti bahwa 50 mg Zn
dilarutkan hingga volume 100 mL. Oleh karena yang tersedia dalam bentuk ZnSO 4.7H2O
maka jumlah padatan ZnSO4.7H2O yang diperlukan adalah :
Mr ZnS O 4 .7 H 2 O
Massa ZnS O 4 .7 H 2 O= × massa Zn
Mr Zn
287 g /mol
Massa ZnS O 4 .7 H 2 O= × 50 mg
65 g /mol
Massa ZnS O 4 .7 H 2 O=220,7 mg=0,221 g

Anda mungkin juga menyukai