Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keracunan sering menjadi masalah di dunia veteriner, keracunan sering
diabaikan oleh beberapa orang dan dianggap tidak penting bagi hewan. Namun
hal itu tidaklah benar, misalnya saja pada hewan laut yang keracunan logam berat
dari limbah industri akan mengalami kerusakan organ hati yang berujung pada
kematian.
Diagnosa keracunan memang sangatlah sulit, karena pada dasarnya mirip
dengan gejala klinis penyakit lainnya. Tidak hanya itu, sifat racun sering bersifat
kronis dan tidak terlihat gejalanya pada hewan tersebut. Lalu yang parahnya lagi
adalah sifat toksin yang tertimbun di dalam daging hewan, jika hewan itu
termakan oleh manusia maka toksin tersebut akan berpindah ke manusia.
Disamping itu, pencegahan akan keracunan lebih baik daripada
pengobatan, karena antidota yang tersedia untuk keracunan sangatlah terbatas
disamping harganya mahal. Pada kasus kesehatan masyarakat veteriner juga
perlu diperhatikan efek pencemaran logam berat yang bersifat racun pada hewan
dan mempengaruhi kesehatan manusia.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari paper in adalah:
a. Apa yang dimaksud dengan logam berat
b. Logam berat apa saja yang dapat menimbulkan efek toksisitas pada hewan laut?
c. Efek toksisitas apa saja yang ditimbulkan pada hewan laut yang habitatnya
sudah terkontaminasi oleh logam berat?
d. Bagaimana penanggulangan kontaminasi logam berat pada hewan laut?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan paper ini adalah untuk
mengetahui logam berat apa saja yang menjadi polutan pada ekosistem laut dan

1
efek toksisitasnya di Indonesia serta mengetahui metode untuk pengolahan air laut
yang sudah tercemar logam berat tersebut.

1.4. Manfaat Penulisan


Penulisan paper ini diharapkan dapat memberi informasi tentang bahaya
dari logam berat bagi ekosistem laut sebagai pengetahuan dalam ilmu toksikologi.

1.5. Metode Penulisan


Adapun metode yang penyusun gunakan dalam penyusunan paper ini
adalah metode studi pustaka. Penulis mengambil bahan maupun rujukan dari
literatur yang berkaitan dengan toksikologi logam.

1.6. Sistematika Penulisan


Dalam penulisan paper ini, penulis menyusun isi paper ini menjadi 3 bab
utama yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, dan penutup.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Ekosistem Laut


Pencemaran laut adalah masuk atau dimasukannya zat, makhluk hidup,
energi, atau komponen lain ke dalam air atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alami sehingga kualitas air turun sampai tingkat tingkat
tertentu yang menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya
(Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Gesamp (1985)
mengemukakan bahwa pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukannya zat
atau energi oleh manusia baik secara langsung maupun tidak ke dalam lingkungan
laut yang menyebabkan efek merugikan karena merusak sumberdaya hayati,
membahayakan kesehatan manusia, menghalangi aktivitas di laut termasuk
perikanan, menurunkan mutu air laut yang digunakan dan mengurangi
kenyamanan di laut.
Lautan sebagai salah satu lingkungan hidup dapat tercemar yang berasal
dari kegiatan manusia di sepanjang pantai atau lautan sendiri (Thoha, 1991).
Lautan dapat melarutkan dan menyebarkan bahan - bahan tersebut sehingga
konsentrasinya menjadi menurun, terutama di daerah laut dalam. Kehidupan laut
dalam juga terbukti lebih sedikit terpengaruh daripada laut dangkal. Daerah
pantai, terutama daerah muara sungai, sering mengalami pencemaran berat, yang
disebabkan karena proses pencemaran yang berjalan sangat lambat (Darmono,
2001).
Baik secara langsung maupun tidak, perairan laut sudah sejak lama
berfungsi sebagai terminal buangan limbah dari berbagai kegiatan manusia
(Nybakken, 1988). Beberapa penyebab antara lain lingkungan akuatik pada
umumnya berada pada daerah yang rendah, masih adanya anggapan bahwa air
merupakan pelarut universal, kurang mendalamnya dan kurang disadarinya bahwa
lingkungan perairan mempunyai batas kemampuan untuk menerima limbah
(Surjadi, 1993).
Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi
kehidupan organisme terutama yang menjadi topik disini adalah spesies ikan.

3
Salah satu jenis unsur kimia yang bisa menyebabkan terjadi kerusakan ekosistem
perairan adalah unsur logam berat. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang
masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan indutsri selain bersumber dari
alam sendiri. Untuk itu sangat diperlukan suatu kajian yang melihat seberapa
besar pengaruh unsur-unsur logam berat tersebut bisa mempengaruhi ekosistem
perairan terutama yang berhubungan langsung dengan kualitas airnya.

Tabel 1. Standar baku mutu air terhadap logam


Logam berat biasanya sangat sedikit dalam air secara ilmiah kurang dari 1
g/l. Menurut Palar (2004) kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat
dalam badan air dikontrol oleh : (1) pH badan air, (2) jenis dan konsentrasi logam
dan khelat (3) keadaan komponen mineral teroksida dan sistem berlingkungan
redoks.
Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun laut
akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses yaitu : pengendapan,
adsorbsi dan absorbsi oleh organisme perairan. Logam berat mempunyai sifat
yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan
bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi
dibandingkan dalam air (Harahap, 1991).
Rochyatun (1997) menyatakan walaupun terjadi peningkatan sumber
logam berat, namun konsentrasinya dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini
terkait dengan berbagai macam proses yang dialami oleh senyawa tersebut selama
dalam kolom air. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat di
perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total atau seston

4
(Nanty, 1999). Dengan sendirinya interaksi dari faktor-faktor tersebut akan
berpengaruh terhadap fluktuasi konsentrasi logam berat dalam air, karena
sebagian logam berat tersebut akan masuk ke dalam sedimen.

2.2. Kandungan Logam Berat dalam Tubuh Ikan


Ikan pada umumnya mempunyai kemampuan menghindarkan diri dari
pengaruh pencemaran air. Namun demikian, pada ikan yang hidup dalam habitat
yang terbatas (seperti sungai, danau, dan laut), ikan itu sulit melarikan diri dari
pengaruh pencemaran tersebut. Akibatnya, unsur-unsur pencemaran itu masuk ke
dalam tubuh ikan.
Terkait dengan itu, secara umum menurut Darmono (2001), alumnus
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, logam berat masuk ke dalam
jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernafasan,
pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi
darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati)
dan ekskresi (ginjal).
Berikut ini, ada beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan. Pertama,
pengaruh toksisitas logam pada insang. Insang selain sebagai alat pernapasan
ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur tekanan antara air dan dalam tubuh
ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang merupakan organ yang penting pada
ikan, di samping insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Dalam
hal ini, logam-logam seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Zn, dan Ni, sangat reaktif terhadap
ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam tersebut sangat penting bagi
fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel.
Di sini, enzim yang sangat berperan dalam insang ikan ialah enzim
karbonik anhidrase dan transpor TP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang
mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat.
Apabila ikatan Zn itu diganti dengan logam lain, fungsi enzim karbonik anhidrase
tersebut akan menurun.
Di samping adanya gangguan biokimiawi tersebut, perubahan struktur
morfologi insang juga terjadi. Hal ini dilaporkan Hughes, dkk. (1979), pengaruh

5
toksisitas Cd, Ni, dan Cr pada morfologi insang ikan salmon. Ikan akan
mengalami hipoksia (karena kesulitan mengambil oksigen dari air), sehingga
terjadi penebalan pada sel epitel insang dan berakibat ikan kurang mampu
berenang.
Kedua, pengaruh toksisitas logam pada alat pencernaan. Toksisitas logam
dalam saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang terkontaminasi logam.
Toksisitas logam pada saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui air yang
mengandung dosis toksik logam. Gardner dan Yevich (1970) melaporkan, ikan
Fundulus heteroclitus yang dipelihara dalam air yang mengandung 50 mg/l Cd,
perubahan patologi terjadi setelah satu jam. Dan dalam waktu satu jam setelah
ikan hidup dalam air yang mengandung 50 mg/l Cd dengan kadar garam 32/1.000,
mukosa usus membengkak, aktivitas sel mukosa meningkat terutama usus bagian
depan.
Ketiga, pengaruh logam pada ginjal ikan. Ginjal ikan ini berfungsi untuk
filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh,
termasuk bahan racun seperti logam berat. Hal ini menyebabkan ginjal sering
mengalami kerusakan akibat daya toksik logam. Sebagai contoh, ikan Brachiario
rerio, yang hidup dalam air tawar yang mengandung 5 mg/l Cd dan 5 mg/l Hg,
mengalami kerusakan ginjal setelah 13 hari. Terlihat adanya endapan dalam
lumen tubulus, dan kerusakan lebih berat pada toksisitas Hg daripada Cd sampai
delapan kali lipat (Delamare dan Truchet, 1984).
Keempat, pengaruh akumulasi logam dalam jaringan (bioakumulasi).
Proses akumulasi ini terjadi setelah absorpsi logam dari air atau melalui pakan
yang terkontaminasi. Kondisi ini berpengaruh terhadap nilai ekonomi, terutama
dalam sistem perikanan komersial, baik ikan air tawar maupun air laut.
Lebih jauh, ikan yang mengalami bioakumulasi logam ini bila dipandang
dari segi ekonomi dan pengaruhnya bila dikonsumsi manusia, adalah dapat
menghambat daya reproduksi ikan dan akhirnya terjadi kemusnahan suatu spesies
ikan tertentu; dapat menurunkan hasil tangkapan atau hasil tambak; dan dapat
menurunkan nilai jual, bahkan dapat ditolak konsumen karena tingginya residu
logam dalam produk perikanan. Hal ini seperti yang terjadi belum lama ini,

6
berupa penolakan ekspor ratusan ton ikan cakalang asal Sulawesi Utara oleh
Amerika Serikat, dengan alasan telah terkena pencemaran.

2.3. Toksikologi Logam Berat


Logam berat adalah logam yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
sulfur, terletak pada sudut bawah daftar periodik pada periode 4-7 dengan nomor
atom 22-92. Logam berat dapat membentuk mineral atau senyawa logam bila
bercampur dengan komponen tertentu yang ada di bumi. Logam berat ada yang
bersifat esensial bagi tubuh, tetapi bila tidak terkontrol dapat berbahaya.
Berdasarkan penelitian terhadap organisme air laut, urutan toksisitas akut logam
berat dari yang paling tinggi adalah Hg2+, Cd2+, Ag+, Ni2+, Pb2+, As3+, Cr2+, Sn2+,
dan Zn2+ .
Logam berat dapat masuk ke tubuh manusia melewati rantai pangan
pendek (hewan-manusia) atau lewat rantai pangan panjang (tumbuhan-hewan-
manusia) yang disebut pencemaran dakhil. Di samping melalui mulut dari
makanan dan minuman, unsur logam berat juga dapat masuk ke dalam tubuh
melalui pernafasan dan kulit. Logam berat juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap senyawa-senyawa sulfida, seperti sulfhidril (-SH) dan disulfida (-S-S).
Gugus-gugus ini banyak terdapat dalam enzim, sehingga dengan terikatnya logam
berat pada gugus-gugus ini, logam berat dapat menghambat kerja enzim tertentu.
Logam berat termasuk zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat
diuraikan secara biologis dan stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari tempatnya
semula. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno dan Salirawati (1993) yang
menyatakan ada 2 hal yang menyebabkan logam berat termasuk sebagai pencemar
yang berbahaya, yaitu :
a. Tidak dihancurkan oleh mikroorganisme yang hidup di lingkungan
b. Terakumulasi dalam komponen-komponen lingkungan, terutama air dan
membentuk kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi
dan kombinasi.
Pemakaian logam berat sangat luas, seperti untuk pereaksi atau katalis
dalam berbagai proses industri. Bersamaan dengan produk industri yang
dihasilkan, dihasilkan pula limbah yang tidak berguna, bahkan dalam jumlah

7
tertentu dapat membahayakan kehidupan manusia. Salah satu zat dalam limbah
adalah logam berat yang akan masuk ke lingkungan, seperti sungai, danau, tanah,
dan udara dan dapat mengalami magnifikasi biologis pada tumbuhan dan hewan
yang akan dikonsumsi manusia sehingga mempengaruhi kesehatannya
Berikut ini adalah penjelasan tentang beberapa logam berat yang paling
umum ditemukan dalam kasus pencemaran ekosistem laut:

A. Air Raksa (Merkuri/Hg)


Air raksa merupakan senyawa berupa cairan pada suhu kamar yang mudah
menguap jika dipanaskan. Air raksa banyak dimanfaatkan dalam industry seperti
pabrik tinta, kertas, tekstil, dan perusahaan farmasi. Sebagian senyawa nerkuri
yang dilepas ke lingkungan akan mengalami suatu proses hingga menjadi metil-
merkuri (MeHg) oleh mikroorganisme dalam air dan tanah. MeHg dengan cepat
akan diakumulasikan ke dalam tubuh ikan atau tumbuhan air. Hal tersebut
mengakibatkan merkuri terakumulasi baik melalui proses bioakumulasi
maupun biomagnifikasi yaitu melalui rantai makanan dalam jaringan tubuh
hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri dapat mencapai level yang berbahaya
baik bagi kehidupan hewan air maupun kesehatan manusia yang makan hasil
tangkap hewan-hewan air tersebut. Terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam
tubuh hewan air, karena kecepatan pengambilan merkuri (up take rate) oleh
organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekresi, yaitu karena metil-
merkuri memiliki paruh waktu sampai beberapa ratus hari di tubuh hewan air,
sehingga zat ini menjadi terakumulasi dan konsentrasinya beribu kali lipat lebih
besar dibanding air disekitarnya.
Berikut ini adalah gambaran bagaimana perjalanan metil-merkuri dari air
hingga masuk ke dalam tubuh manusia dan binatang :
1. Metil-merkuri di dalam air dan sedimen dimakan oleh bakteri, binatang kecil
dan tumbuhan kecil yang dikenal sebagai plankton;
2. Ikan kecil dan sedang kemudian memakan bakteri dan plankton tersebut
dalam jumlah yang sangat besar sepanjang waktu;
3. Ikan besar kemudian memakan ikan kecil tersebut, dan terjadilah akumulasi
metil-merkuri di dalam jaringan. Ikan yang lebih tua dan besar mempunyai

8
potensi yang lebih besar untuk terjadinya akumulasi kadarmerkuri yang tinggi
di dalam tubuhnya;
4. Ikan tersebut kemudian ditangkap dan dimakan oleh manusia dan binatang,
menyebabkan metil-merkuri berakumulasi di dalam jaringannya.
Ikan dapat mengabsorbsi metil-merkuri melalui makanannya dan langsung
dari air dengan melewati insang. Oleh karena merkuri terikat dengan protein di
seluruh jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metoda pemasakan atau
pencucian ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya.
Pengaruh langsung polutan terhadap ikan biasa dinyatakan sebagai lethal (akut),
yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam
atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu lebih dari 96
jam. Sifat toksis yang lethal dan sublethal dapat menimbulkan efek genetik
maupun teratogenik terhadap biota yang
bersangkutan. Pengaruh lethal disebabkan gangguan pada saraf pusat sehingga
ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub
lethal terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati,
mengurangi potensi untuk perkembang-biakan, pertumbuhan dan
sebagainya. Seperti peristiwa yang terjadi di Jepang, dimana penduduk disekitar
teluk Minamata keracunan metil-merkuri akibat hasil buangan dari suatu
pabrik. Metil-merkuri yang terdapat dalam ikan termakan oleh penduduk disekitar
teluk tersebut. Ikan-ikan yang mati disekitar teluk Minamata
mempunyai kadar metil merkuri sebesar 9 sampai 24 ppm.
Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau
menstimuli sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan
kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang
tercemar tersebut. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri
adalah ginjal, hati dan lensa mata.

9
Gambar 1. Ikan mengalami kebutaan akibat merkuri
Sumber: http://www.waterbenefitshealth.com/mercury-in-water.html

B. Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi.
Kadmium adalah produk sampingan yang banyak digunakan oleh berbagai
industri seperti industri plastik dan baterai. Waktu paruh kadnium kira-kira 10-30
tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100 kali konsentrasi pada jaringan yang
lain. Logam kadmium akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi
dalam organisme hidup. Dalam biota perairan jumlah logam yang terakumulasi
akan terus mengalami peningkatan  (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan
biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi kadmium yang lebih banyak.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya perubahan gangguan sistem
enzim di dalam hati yaitu pada ikan Tautogalobrus adspersus yang
dipaparkan kadmium selama 96 jam menyebabkan aktifitas enzim menurun
di dalam hati dan berpotensi mengalami kerusakan (Gould san karolus, 1974
dalamDarmono, 2001). Sedangkan pada ikan Leponis gibbosus yang
dipaparkan kadmium akan menghambat deposit vitamin B12 dalam hati
(Merlini, 1978 dalam Darmono, 2001). Hal ini sesuai pernyataan Ochiai
dalam Connel dan Miller (1995), bahwa salah satu mekanisme toksisitas ion
logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang essensial dalam biomolekul,
misalnya protein dan enzim. Salah satu contoh kasus keracunan akibat
pencemaran kadmium adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang.

C. Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan jenis logam berat yang ditemukan dalam jumlah
yang paling besar baik pada organ insang dan daging udang. Tembaga termasuk
kedalam kelompok logam esensial, di manadalam kadar yang rendah dibutuhkan
oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh, sifat racunnya

10
baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap
kelebihan tembaga dalam badan perairan di mana ia hidup. Konsentrasi tembaga
terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat mengakibatkan kematian
fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun tembaga telah
menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Jenis-jenis yang
termasuk dalam famili Crustasea akan mengalami kematian dalam tenggang
waktu 96 jam, bila konsentrasi tembaga berada dalam kisaran 0.17-100 ppm.
Dalam tenggang waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga
moluska akan mengalami kematian bila kadar tembaga yang terlarut dalam badan
perairan di mana biota tersebut hidup berkisar antara 0.16-0.5 ppm, dan kadar
tembaga sebesar 2.5-3.0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh
ikanikan (Bryan., 1976).

D. Timah hitam atau timbal (Pb)


Timbal adalah salah satu jenis logam berat yang dapat menyebabkan
pencemaran perairan. Suatu perairan yang tercemar oleh timbal akan berdampak
pada organisme perairan. Timbal dapat masuk ke dalam tubuh organisme
melalui rantai makanan, insang atau difusi melalui permukaan kulit,
akibatnya logam itu dapat terserap dalam jaringan, tertimbun dalam jaringan
dan pada konsentrasi tertentu akan dapat merusak organ-organ dalam
jaringan tubuh (Palar 1994). Toksisitas logam timbal terhadap organisme air
dapat menyebabkan kerusakan jaringan organisme terutama pada organ yang
peka seperti insang dan usus kemudian ke jaringan bagian dalam seperti hati
dan ginjal tempat logam tersebut terakumulasi (Darmono, 2001).
Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses
pencernaan. Organ ini umumnya merupakan suatu kelenjar yang kompak,
berwarna merah kecoklatan (Affandi dan Tang, 2002). Hati merupakan organ
yang sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi organ sasaran
utama dari toksikan. Sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh
setelah diserap sel epitel usus halus akan dibawa ke hati oleh vena porta hati.
Organ hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan merupakan
organ tubuh yang sering mengalami kerusakan (Lu, 1995).

11
Lu (1995) menyatakan bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat
kimia dan menjadi organ sasaran utama dari zat beracun. Hal ini terjadi
karena sebagian besar racun atau zat toksik yang masuk ke dalam tubuh
setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga
hati berpotensi mengalami kerusakan. Kerusakan hati akibat timbal disebabkan
aktifitas timbal dalam mempengaruhi kerja enzim.
Pada saat pengambilan organ hati, ikan masih dalam keadaan hidup.
Ikan yang masih hidup ini disebabkan karena ikan masih dapat mentolerir
konsentrasi timbal yang diberikan, walaupun sebenarnya setelah diamati
ternyata jaringan hati ikan telah mengalami kerusakan. Kontaminasi timbal
terhadap hati ikan dengan konsentrasi 0.05 ppm memperlihatkan perubahan
bentuk, dimana pada sel hati mengalami degenerasi lemak (Gambar 2). Sel
hati ikan mempunyai bentuk poligonal dan mempunyai inti sel umumnya
mengakumulasi lemak dan glikogen pada sitoplasma. Degenerasi lemak
terjadi karena adanya penumpukan lemak (lemak netral) dengan kerusakan inti
sel dan mengecilnya jaringan sel hati (Panigoro dkk., 2007). Menurut
penelitian Alifia dan Djawad (2000) menyebutkan bahwa ikan bandeng
(Chanos chanos Forskall) yang terpapar logam timbal mengakibatkan hati
mengalami degenerasi lemak. Degenerasi melemak (Gambar 3) ini ditandai
dengan penampakan histologi berupa vakuola-vakuola. Didukung dengan
penelitian Silviany (2004) menyebutkan bahwa ikan mas yang terpapar logam
timbal mengakibatkan hati mengalami degenerasi lemak sehingga fungsi hati
yang kompleks menjadi hilang. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel
hati stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong (Gambar 2) di
dalam sitoplasma dari sel dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak
nukleus ke tepi sel.

12
Gambar 2: Kondisi histologi hati ikan yang tercemar timbal 0.05ppm. (1.
Degenerasi melemak 2. Degenerasi Hidrofilik)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.

Gambar 3: Kondisi histologi hati ikan yang mengalami degenerasi melemak


Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.
Kerusakan lebih lanjut diperlihatkan oleh hati pada pemaparan timbal
dengan konsentrasi 0,10 ppm, tampak pada perbesaran 40x10 menunjukkan
terjadinya hemoragi (Gambar 4). Keadaan jaringan yang telah mengalami
kerusakan ini disebabkan organ hati telah terpapar zat toksik (timbal). Jika zat
toksik yang masuk ke dalam tubuh relatif kecil atau sedikit dan fungsi
detoksifikasi hati baik, maka tidak akan terjadi kerusakan, namun apabila zat
toksik yang masuk dalam jumlah besar maka fungsi detoksifikasi akan
mengalami kerusakan (Lu, 1995). Hemoragi atau pendarahan ditandai dengan
adanya bintik darah dalam pembuluh darah. Pemaparan timbal pada
konsentrasi 0,10 ppm juga masih terlihat adanya degenerasi lemak dan
degenerasi hidrofik. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya zat toksik

13
yang secara fisologis ada dalam jaringan. Kontaminasi timbal terhadap hati ikan
dengan konsentrasi 0,10 ppm mengakibatkan terjadinya kerusakan kongesti.
Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan karena gangguan
sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi.
Kongesti pada hati, dimulai dari vena sentralis yang kemudian meluas
sampai sinusoid yang tersusun tidak teratur dan di dalamnya terdapat eritrosit
yang diduga akibat pecahnya dinding sinusoid. Vena sentralis juga dipenuhi oleh
banyak eritrosit akibat adanya penyumbatan pada vena hepatika. Apabila
pembendungan ini berlangsung cukup lama, maka sel-sel hati tampak hilang
karena tekanan dan gangguan-gangguan pembawaan zat gizi, hal ini disebabkan
karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena sentralis)
kebanyakan sudah kehilangan zat-zat gizi sewaktu tiba di pertengahan lobulus,
sehingga di pertengahan lobulus menjadi kekurangan zat gizi (Ressang, 1984).

Gbr 4. Kondisi histologi hati ikan pada konsentrasi timbal 0,10 ppm
(1.Hemoragi, 2. Degenerasi melemak, 3. Degenerasi hidrofik, 4. Kongesti)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.

14
Struktur jaringan hati ikan pada konsentrasi 0,15 ppm, menunjukkan
terjadinya nekrosis hepatitis (Gambar 5). Menurut Lu (1995), nekrosis adalah
terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya
membran plasma. Hal ini disebabkan jika lemak tertimbun dalam jumlah
yang banyak sehingga mengakibatkan kematian sel-sel hati. Nekrosis diawali
dengan terjadinya reaksi peradangan hati berupa pembengkakan hepatosit dan
kematian jaringan. Adanya kerusakan yang terlihat pada struktur sel hati
yang terdapat pada konsentrasi 0,15 ppm menunjukkan efek dari toksikan
yaitu logam berat timbal yang terpapar terus-menerus pada ikan. Tingkat
kerusakan hati dikategorikan menjadi tiga, tingkat ringan yaitu perlemakan hati
yang ditandai dengan pembengkakan sel. Kerusakan tingkat sedang yaitu
kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat ditandai dengan nekrosis
(Darmono,1995).

Gambar 5. Kondisi histologi hati ikan pada konsentrasi timbal 0,15 ppm
(Nekrosis hepatitis)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.

2.4. Penanggulangan Kontaminasi Logam Berat pada Hewan Laut


Upaya penanganan pencemaran logam berat pada daging ikan dapat
dilakukan melalui beberapa cara, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan toksisitas dan sifat letal logam berat seperti misalnya Hg, Cd, dan Pb
pada ikan adalah dengan penambahan Etilene Diamine Tetra-acetate Acid

15
(EDTA) (Hutagalung, 1991; Palar, 1994). Hal ini dikarenakan senyawa EDTA
mampu mengikat dan menarik ion logam berat tersebut keluar dari jaringan tubuh
(Linder, 1992). Terjadinya reaksi antara zat pengikat logam (EDTA) dengan ion
logam menyebabkan ion logam kehilangan sifat ionnya dan mengakibatkan logam
berat tersebut kehilangan sebagian besar toksisitasnya (Irwansyah, 1995). EDTA
dapat membentuk ikatan kompleks dan menghalangi kerja enzim untuk berikatan
dengan ion logam (Lehninger, 1982). Umumnya EDTA digunakan untuk
mengobati keracunan oleh logam berat Hg dan Pb (Palar, 1994). Cara lain yang
dapat dan mudah dilakukan oleh masyarakat konsumen ikan untuk mengurangi
masuknya logam berat ke dalam tubuh adalah dengan perendaman dengan larutan
asam cuka 25 % atau yang telah diencerkan, yang banyak ditemui di pasaran.
Larutan asam cuka merupakan larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan
makanan yaitu sebagai pengasam, pengawet dan juga penyedap makanan
mempunyai kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat
menurunkan kadar logam berat pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum
pengolahan menjadi makanan. Imadussin dkk. (2000) melaporkan bahwa
perendaman daging ikan bandeng dalam larutan asam cuka 25 % dengan waktu 1,
2, dan 3 jam menunjukkan penurunan kadar logam berat Timbal (Pb) berturut-
turut sebesar 44,76 %, 49,59 %, 66,45 %. Dari hasil penelitian Sari dan Keman
(2005) dilaporkan bahwa perendaman daging kerang bulu dalam larutan asam
cuka 25 % ataupun 25 % minimal selama 1 jam efektif menurunkan kandungan
logam berat kadmium meskipun belum dapat menurunkan sampai dibawah
ambang batas yang direkomendasikan.

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Logam berat adalah logam yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
sulfur, terletak pada sudut bawah daftar periodik pada periode 4-7 dengan nomor
atom 22-92. Logam berat dapat membentuk mineral atau senyawa logam bila
bercampur dengan komponen tertentu yang ada di bumi. Logam berat ada yang
bersifat esensial bagi tubuh, tetapi bila tidak terkontrol dapat berbahaya.
Berdasarkan penelitian terhadap organisme air laut, urutan toksisitas akut logam
berat dari yang paling tinggi adalah Hg2+, Cd2+, Ag+, Ni2+, Pb2+, As3+, Cr2+, Sn2+,
dan Zn2+ . Pada kasus pencemaran ekosistem laut oleh logam berat, polutan yang
paling umum adalah merkuri, kadmium, tembaga dan timbal. Efek toksisitas yang
terjadi pada hewan laut yang habitatnya terkontaminasi logam berat diantaranya:
kerusakan jaringan hati, ginjal, otot, sistem saraf pusat bahkan berujung pada
kematian. Penanggulangan kontaminasi logam berat pada hewan laut dapat
dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah dengan penambahan Etilene
Diamine Tetra-acetate Acid (EDTA). Hal ini dikarenakan senyawa EDTA mampu
mengikat dan menarik ion logam berat tersebut keluar dari jaringan
tubuh.Terjadinya reaksi antara zat pengikat logam (EDTA) dengan ion logam
menyebabkan ion logam kehilangan sifat ionnya dan mengakibatkan logam berat
tersebut kehilangan sebagian besar toksisitasnya. Cara kedua adalah dengan
perendaman dengan larutan asam cuka 25 % atau yang telah diencerkan. Larutan
asam cuka merupakan larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan
yaitu sebagai pengasam, pengawet dan juga penyedap makanan mempunyai
kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat menurunkan kadar
logam berat pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum pengolahan menjadi
makanan.

17
3.2. Saran
Saran yang dapat saya berikan adalah, untuk mengurangi adanya
pencemaran logam berat harus dilakukan kesadaran pada industri yang membuang
limbahnya sembarangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bryan, G.W. 1984. Pollution due to Heavy metals and Their Compounds, in O.
Kinne (ed), Marine Ecology. Vol. 5. Jhon Willey and Sons Ltd, London.
1289 – 1431 pp
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungan Dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 167
hal
Gesamp (Join Group of Expert on The Scientific Aspect of Marine Pollution),
1985. Marine Pollution Implication of Ocean Energy Development.
Report and Studies, Rome. 43 p
Hutagalung, H.P. dan H. Razak, 1981. Kandungan Logam Berat Dalam Beberapa
Perairan Indonesia. Jurnal Penelitian Pemantauan Kualitas Air Laut.
XXV (14) : 223 - 346
Menteri Negara Kependudikan dan Lingkungan Hidup, 1988. Surat Keputusan
Nomor : Kep – 02/MENKLH/I/1988, Tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, Jakarta. 51 hal
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis Diterjemahkan
Oleh M. Eidman, Koesbiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S.
Sukardjo. Gramedia, Jakarta. 402 hal
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta.
50 hal
Thoha, H. 1991. Pencemaran Laut dan Dampaknya Terhadap Lingkungan.
Amerta VI (2) : 10-13
Triadayani, Ade Elha, Riris Aryawati, dan Gusti Diansyah. 2010. Pengaruh
Logam Timbal (Pb) Terhadap Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek. Malang:
Fakultas Kelautan Universitas Sriwijaya

19

Anda mungkin juga menyukai