PENDAHULUAN
1
efek toksisitasnya di Indonesia serta mengetahui metode untuk pengolahan air laut
yang sudah tercemar logam berat tersebut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Salah satu jenis unsur kimia yang bisa menyebabkan terjadi kerusakan ekosistem
perairan adalah unsur logam berat. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang
masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan indutsri selain bersumber dari
alam sendiri. Untuk itu sangat diperlukan suatu kajian yang melihat seberapa
besar pengaruh unsur-unsur logam berat tersebut bisa mempengaruhi ekosistem
perairan terutama yang berhubungan langsung dengan kualitas airnya.
4
(Nanty, 1999). Dengan sendirinya interaksi dari faktor-faktor tersebut akan
berpengaruh terhadap fluktuasi konsentrasi logam berat dalam air, karena
sebagian logam berat tersebut akan masuk ke dalam sedimen.
5
toksisitas Cd, Ni, dan Cr pada morfologi insang ikan salmon. Ikan akan
mengalami hipoksia (karena kesulitan mengambil oksigen dari air), sehingga
terjadi penebalan pada sel epitel insang dan berakibat ikan kurang mampu
berenang.
Kedua, pengaruh toksisitas logam pada alat pencernaan. Toksisitas logam
dalam saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang terkontaminasi logam.
Toksisitas logam pada saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui air yang
mengandung dosis toksik logam. Gardner dan Yevich (1970) melaporkan, ikan
Fundulus heteroclitus yang dipelihara dalam air yang mengandung 50 mg/l Cd,
perubahan patologi terjadi setelah satu jam. Dan dalam waktu satu jam setelah
ikan hidup dalam air yang mengandung 50 mg/l Cd dengan kadar garam 32/1.000,
mukosa usus membengkak, aktivitas sel mukosa meningkat terutama usus bagian
depan.
Ketiga, pengaruh logam pada ginjal ikan. Ginjal ikan ini berfungsi untuk
filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh,
termasuk bahan racun seperti logam berat. Hal ini menyebabkan ginjal sering
mengalami kerusakan akibat daya toksik logam. Sebagai contoh, ikan Brachiario
rerio, yang hidup dalam air tawar yang mengandung 5 mg/l Cd dan 5 mg/l Hg,
mengalami kerusakan ginjal setelah 13 hari. Terlihat adanya endapan dalam
lumen tubulus, dan kerusakan lebih berat pada toksisitas Hg daripada Cd sampai
delapan kali lipat (Delamare dan Truchet, 1984).
Keempat, pengaruh akumulasi logam dalam jaringan (bioakumulasi).
Proses akumulasi ini terjadi setelah absorpsi logam dari air atau melalui pakan
yang terkontaminasi. Kondisi ini berpengaruh terhadap nilai ekonomi, terutama
dalam sistem perikanan komersial, baik ikan air tawar maupun air laut.
Lebih jauh, ikan yang mengalami bioakumulasi logam ini bila dipandang
dari segi ekonomi dan pengaruhnya bila dikonsumsi manusia, adalah dapat
menghambat daya reproduksi ikan dan akhirnya terjadi kemusnahan suatu spesies
ikan tertentu; dapat menurunkan hasil tangkapan atau hasil tambak; dan dapat
menurunkan nilai jual, bahkan dapat ditolak konsumen karena tingginya residu
logam dalam produk perikanan. Hal ini seperti yang terjadi belum lama ini,
6
berupa penolakan ekspor ratusan ton ikan cakalang asal Sulawesi Utara oleh
Amerika Serikat, dengan alasan telah terkena pencemaran.
7
tertentu dapat membahayakan kehidupan manusia. Salah satu zat dalam limbah
adalah logam berat yang akan masuk ke lingkungan, seperti sungai, danau, tanah,
dan udara dan dapat mengalami magnifikasi biologis pada tumbuhan dan hewan
yang akan dikonsumsi manusia sehingga mempengaruhi kesehatannya
Berikut ini adalah penjelasan tentang beberapa logam berat yang paling
umum ditemukan dalam kasus pencemaran ekosistem laut:
8
potensi yang lebih besar untuk terjadinya akumulasi kadarmerkuri yang tinggi
di dalam tubuhnya;
4. Ikan tersebut kemudian ditangkap dan dimakan oleh manusia dan binatang,
menyebabkan metil-merkuri berakumulasi di dalam jaringannya.
Ikan dapat mengabsorbsi metil-merkuri melalui makanannya dan langsung
dari air dengan melewati insang. Oleh karena merkuri terikat dengan protein di
seluruh jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metoda pemasakan atau
pencucian ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya.
Pengaruh langsung polutan terhadap ikan biasa dinyatakan sebagai lethal (akut),
yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam
atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu lebih dari 96
jam. Sifat toksis yang lethal dan sublethal dapat menimbulkan efek genetik
maupun teratogenik terhadap biota yang
bersangkutan. Pengaruh lethal disebabkan gangguan pada saraf pusat sehingga
ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub
lethal terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati,
mengurangi potensi untuk perkembang-biakan, pertumbuhan dan
sebagainya. Seperti peristiwa yang terjadi di Jepang, dimana penduduk disekitar
teluk Minamata keracunan metil-merkuri akibat hasil buangan dari suatu
pabrik. Metil-merkuri yang terdapat dalam ikan termakan oleh penduduk disekitar
teluk tersebut. Ikan-ikan yang mati disekitar teluk Minamata
mempunyai kadar metil merkuri sebesar 9 sampai 24 ppm.
Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau
menstimuli sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan
kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang
tercemar tersebut. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri
adalah ginjal, hati dan lensa mata.
9
Gambar 1. Ikan mengalami kebutaan akibat merkuri
Sumber: http://www.waterbenefitshealth.com/mercury-in-water.html
B. Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi.
Kadmium adalah produk sampingan yang banyak digunakan oleh berbagai
industri seperti industri plastik dan baterai. Waktu paruh kadnium kira-kira 10-30
tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100 kali konsentrasi pada jaringan yang
lain. Logam kadmium akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi
dalam organisme hidup. Dalam biota perairan jumlah logam yang terakumulasi
akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan
biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi kadmium yang lebih banyak.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya perubahan gangguan sistem
enzim di dalam hati yaitu pada ikan Tautogalobrus adspersus yang
dipaparkan kadmium selama 96 jam menyebabkan aktifitas enzim menurun
di dalam hati dan berpotensi mengalami kerusakan (Gould san karolus, 1974
dalamDarmono, 2001). Sedangkan pada ikan Leponis gibbosus yang
dipaparkan kadmium akan menghambat deposit vitamin B12 dalam hati
(Merlini, 1978 dalam Darmono, 2001). Hal ini sesuai pernyataan Ochiai
dalam Connel dan Miller (1995), bahwa salah satu mekanisme toksisitas ion
logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang essensial dalam biomolekul,
misalnya protein dan enzim. Salah satu contoh kasus keracunan akibat
pencemaran kadmium adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang.
C. Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan jenis logam berat yang ditemukan dalam jumlah
yang paling besar baik pada organ insang dan daging udang. Tembaga termasuk
kedalam kelompok logam esensial, di manadalam kadar yang rendah dibutuhkan
oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh, sifat racunnya
10
baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap
kelebihan tembaga dalam badan perairan di mana ia hidup. Konsentrasi tembaga
terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat mengakibatkan kematian
fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun tembaga telah
menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Jenis-jenis yang
termasuk dalam famili Crustasea akan mengalami kematian dalam tenggang
waktu 96 jam, bila konsentrasi tembaga berada dalam kisaran 0.17-100 ppm.
Dalam tenggang waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga
moluska akan mengalami kematian bila kadar tembaga yang terlarut dalam badan
perairan di mana biota tersebut hidup berkisar antara 0.16-0.5 ppm, dan kadar
tembaga sebesar 2.5-3.0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh
ikanikan (Bryan., 1976).
11
Lu (1995) menyatakan bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat
kimia dan menjadi organ sasaran utama dari zat beracun. Hal ini terjadi
karena sebagian besar racun atau zat toksik yang masuk ke dalam tubuh
setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga
hati berpotensi mengalami kerusakan. Kerusakan hati akibat timbal disebabkan
aktifitas timbal dalam mempengaruhi kerja enzim.
Pada saat pengambilan organ hati, ikan masih dalam keadaan hidup.
Ikan yang masih hidup ini disebabkan karena ikan masih dapat mentolerir
konsentrasi timbal yang diberikan, walaupun sebenarnya setelah diamati
ternyata jaringan hati ikan telah mengalami kerusakan. Kontaminasi timbal
terhadap hati ikan dengan konsentrasi 0.05 ppm memperlihatkan perubahan
bentuk, dimana pada sel hati mengalami degenerasi lemak (Gambar 2). Sel
hati ikan mempunyai bentuk poligonal dan mempunyai inti sel umumnya
mengakumulasi lemak dan glikogen pada sitoplasma. Degenerasi lemak
terjadi karena adanya penumpukan lemak (lemak netral) dengan kerusakan inti
sel dan mengecilnya jaringan sel hati (Panigoro dkk., 2007). Menurut
penelitian Alifia dan Djawad (2000) menyebutkan bahwa ikan bandeng
(Chanos chanos Forskall) yang terpapar logam timbal mengakibatkan hati
mengalami degenerasi lemak. Degenerasi melemak (Gambar 3) ini ditandai
dengan penampakan histologi berupa vakuola-vakuola. Didukung dengan
penelitian Silviany (2004) menyebutkan bahwa ikan mas yang terpapar logam
timbal mengakibatkan hati mengalami degenerasi lemak sehingga fungsi hati
yang kompleks menjadi hilang. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel
hati stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong (Gambar 2) di
dalam sitoplasma dari sel dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak
nukleus ke tepi sel.
12
Gambar 2: Kondisi histologi hati ikan yang tercemar timbal 0.05ppm. (1.
Degenerasi melemak 2. Degenerasi Hidrofilik)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.
13
yang secara fisologis ada dalam jaringan. Kontaminasi timbal terhadap hati ikan
dengan konsentrasi 0,10 ppm mengakibatkan terjadinya kerusakan kongesti.
Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan karena gangguan
sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi.
Kongesti pada hati, dimulai dari vena sentralis yang kemudian meluas
sampai sinusoid yang tersusun tidak teratur dan di dalamnya terdapat eritrosit
yang diduga akibat pecahnya dinding sinusoid. Vena sentralis juga dipenuhi oleh
banyak eritrosit akibat adanya penyumbatan pada vena hepatika. Apabila
pembendungan ini berlangsung cukup lama, maka sel-sel hati tampak hilang
karena tekanan dan gangguan-gangguan pembawaan zat gizi, hal ini disebabkan
karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena sentralis)
kebanyakan sudah kehilangan zat-zat gizi sewaktu tiba di pertengahan lobulus,
sehingga di pertengahan lobulus menjadi kekurangan zat gizi (Ressang, 1984).
Gbr 4. Kondisi histologi hati ikan pada konsentrasi timbal 0,10 ppm
(1.Hemoragi, 2. Degenerasi melemak, 3. Degenerasi hidrofik, 4. Kongesti)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.
14
Struktur jaringan hati ikan pada konsentrasi 0,15 ppm, menunjukkan
terjadinya nekrosis hepatitis (Gambar 5). Menurut Lu (1995), nekrosis adalah
terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya
membran plasma. Hal ini disebabkan jika lemak tertimbun dalam jumlah
yang banyak sehingga mengakibatkan kematian sel-sel hati. Nekrosis diawali
dengan terjadinya reaksi peradangan hati berupa pembengkakan hepatosit dan
kematian jaringan. Adanya kerusakan yang terlihat pada struktur sel hati
yang terdapat pada konsentrasi 0,15 ppm menunjukkan efek dari toksikan
yaitu logam berat timbal yang terpapar terus-menerus pada ikan. Tingkat
kerusakan hati dikategorikan menjadi tiga, tingkat ringan yaitu perlemakan hati
yang ditandai dengan pembengkakan sel. Kerusakan tingkat sedang yaitu
kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat ditandai dengan nekrosis
(Darmono,1995).
Gambar 5. Kondisi histologi hati ikan pada konsentrasi timbal 0,15 ppm
(Nekrosis hepatitis)
Sumber: http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.
15
(EDTA) (Hutagalung, 1991; Palar, 1994). Hal ini dikarenakan senyawa EDTA
mampu mengikat dan menarik ion logam berat tersebut keluar dari jaringan tubuh
(Linder, 1992). Terjadinya reaksi antara zat pengikat logam (EDTA) dengan ion
logam menyebabkan ion logam kehilangan sifat ionnya dan mengakibatkan logam
berat tersebut kehilangan sebagian besar toksisitasnya (Irwansyah, 1995). EDTA
dapat membentuk ikatan kompleks dan menghalangi kerja enzim untuk berikatan
dengan ion logam (Lehninger, 1982). Umumnya EDTA digunakan untuk
mengobati keracunan oleh logam berat Hg dan Pb (Palar, 1994). Cara lain yang
dapat dan mudah dilakukan oleh masyarakat konsumen ikan untuk mengurangi
masuknya logam berat ke dalam tubuh adalah dengan perendaman dengan larutan
asam cuka 25 % atau yang telah diencerkan, yang banyak ditemui di pasaran.
Larutan asam cuka merupakan larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan
makanan yaitu sebagai pengasam, pengawet dan juga penyedap makanan
mempunyai kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat
menurunkan kadar logam berat pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum
pengolahan menjadi makanan. Imadussin dkk. (2000) melaporkan bahwa
perendaman daging ikan bandeng dalam larutan asam cuka 25 % dengan waktu 1,
2, dan 3 jam menunjukkan penurunan kadar logam berat Timbal (Pb) berturut-
turut sebesar 44,76 %, 49,59 %, 66,45 %. Dari hasil penelitian Sari dan Keman
(2005) dilaporkan bahwa perendaman daging kerang bulu dalam larutan asam
cuka 25 % ataupun 25 % minimal selama 1 jam efektif menurunkan kandungan
logam berat kadmium meskipun belum dapat menurunkan sampai dibawah
ambang batas yang direkomendasikan.
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Logam berat adalah logam yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
sulfur, terletak pada sudut bawah daftar periodik pada periode 4-7 dengan nomor
atom 22-92. Logam berat dapat membentuk mineral atau senyawa logam bila
bercampur dengan komponen tertentu yang ada di bumi. Logam berat ada yang
bersifat esensial bagi tubuh, tetapi bila tidak terkontrol dapat berbahaya.
Berdasarkan penelitian terhadap organisme air laut, urutan toksisitas akut logam
berat dari yang paling tinggi adalah Hg2+, Cd2+, Ag+, Ni2+, Pb2+, As3+, Cr2+, Sn2+,
dan Zn2+ . Pada kasus pencemaran ekosistem laut oleh logam berat, polutan yang
paling umum adalah merkuri, kadmium, tembaga dan timbal. Efek toksisitas yang
terjadi pada hewan laut yang habitatnya terkontaminasi logam berat diantaranya:
kerusakan jaringan hati, ginjal, otot, sistem saraf pusat bahkan berujung pada
kematian. Penanggulangan kontaminasi logam berat pada hewan laut dapat
dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah dengan penambahan Etilene
Diamine Tetra-acetate Acid (EDTA). Hal ini dikarenakan senyawa EDTA mampu
mengikat dan menarik ion logam berat tersebut keluar dari jaringan
tubuh.Terjadinya reaksi antara zat pengikat logam (EDTA) dengan ion logam
menyebabkan ion logam kehilangan sifat ionnya dan mengakibatkan logam berat
tersebut kehilangan sebagian besar toksisitasnya. Cara kedua adalah dengan
perendaman dengan larutan asam cuka 25 % atau yang telah diencerkan. Larutan
asam cuka merupakan larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan
yaitu sebagai pengasam, pengawet dan juga penyedap makanan mempunyai
kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat menurunkan kadar
logam berat pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum pengolahan menjadi
makanan.
17
3.2. Saran
Saran yang dapat saya berikan adalah, untuk mengurangi adanya
pencemaran logam berat harus dilakukan kesadaran pada industri yang membuang
limbahnya sembarangan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Bryan, G.W. 1984. Pollution due to Heavy metals and Their Compounds, in O.
Kinne (ed), Marine Ecology. Vol. 5. Jhon Willey and Sons Ltd, London.
1289 – 1431 pp
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungan Dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 167
hal
Gesamp (Join Group of Expert on The Scientific Aspect of Marine Pollution),
1985. Marine Pollution Implication of Ocean Energy Development.
Report and Studies, Rome. 43 p
Hutagalung, H.P. dan H. Razak, 1981. Kandungan Logam Berat Dalam Beberapa
Perairan Indonesia. Jurnal Penelitian Pemantauan Kualitas Air Laut.
XXV (14) : 223 - 346
Menteri Negara Kependudikan dan Lingkungan Hidup, 1988. Surat Keputusan
Nomor : Kep – 02/MENKLH/I/1988, Tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, Jakarta. 51 hal
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis Diterjemahkan
Oleh M. Eidman, Koesbiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S.
Sukardjo. Gramedia, Jakarta. 402 hal
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta.
50 hal
Thoha, H. 1991. Pencemaran Laut dan Dampaknya Terhadap Lingkungan.
Amerta VI (2) : 10-13
Triadayani, Ade Elha, Riris Aryawati, dan Gusti Diansyah. 2010. Pengaruh
Logam Timbal (Pb) Terhadap Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek. Malang:
Fakultas Kelautan Universitas Sriwijaya
19