Anda di halaman 1dari 50

KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN
KEBUTUHAN OKSIGENASI
AKIBAT GANGGUAN PADA
SISTEM RESPIRASI
TBC, PPOK, ASMA, EFUSI PLEURA

ANISSA CINDY NURUL AFNI, S.KEP., NS., M.KEP


kmb 1

1
TB (TUBERCOLOSIS)
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep., Ns., M.Kep

A. Definisi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-
paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar
ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis
pada manusia ditemukan dalam dua bentuk yaitu :
1. Tuberkulosis primer, jika terjadi padpa infeksi yang pertama kali;
2. Tuberkulosis sekunder, kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan aktif
setelah bertahun-tahun, kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa. Mayoritas terjadi karena adanya penurunan imunitas, misalnya karena
malnutrisi, penggunaan alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri atau
kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6
µm. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap
asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah
aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki
kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi
pada penyakit tuberkulosis.

C. Patofisiologi
Seseorang yang dicurigai menghirup basil Mycobacteriumtuberkulosis akan
menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan napas ke alveoli, dimana pada
daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa
juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang,
korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Sistem kekebalan tubuh
berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag
memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan
terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu
kmb 1

setelah terpapar.

2
Massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalanbasil yang hidup
dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding.
Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari
massa tersebut disebut Ghon Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri
menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
terbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif. Penyakit
akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respons sistem imun
yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksi ulang atau
aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada
ghon tubercle, dan akhirnya menajdi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi mengalami
proses penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru- paru yang terinfeksi kemudian
meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel, dan seterusnya.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh denguan sendirinya. Proses ini berjalan
terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga
menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel turbekel epiteloid
yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis serta jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan
menimbulkan respons berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang di
kelilingi oleh turbekel.

D. Manifestasi Klinis
Tuberculosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul
tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinik
TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi
karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batu kering (non
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum) ini terjadi lebih dari 3 minggu. Keadaan yang lanjut
adalah batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
kmb 1

3
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah.
Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah
yang pecah. Gejala klinis haemoptoe:
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara
membedakan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Batuk darah
a) Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b) Darah berbuih bercampur udara
c) Darah segar berwarna merah muda
d) Darah bersifat alkalis
e) Anemia kadang-kadang terjadi
f) Benzidin test negative
2) Muntah darah
a) Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b) Darah bercampur sisa makanan
c) Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d) Darah bersifat asam
e) Anemia sering terjadi
f) Benzidin test positif
3) Epistaksis
a) Darah menetes dari hidung
b) Batuk pelan kadang keluar
c) Darah berwarna merah segar
d) Darah bersifat alkalis
e) Anemia jarang terjadi
c. Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian dari paru-paru. Gejala ini ditemukan bila
kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini
kmb 1

timbul apabila system pernapasan di pleura terkena.

4
2. Gejala sistemik meliputi
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tapi kadang-kadang panas
bahkan dapat mencapai 40-41 C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang
masuk. Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul
pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin
lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek
b. Gejala sistemik lain
Adalah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise
(gejala malaise sering ditemukan berupa tidak ada nafsu makan, sakit
kepala, meriang, nyeri otot dll). Timbulnya gejala biasanya gradual dalam
beberapa minggu- bulan akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas,
sesak nafas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia (Tempo, 2005).

E. Klasifikasi
1. Pembagian secara patologis
2. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (koch pulmonum) aktif, non
aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
3. Pembagian secara radiologi (luas lesi)
a. Tuberculosis minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrate nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru,
tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru
b. Moderately advanced tuberculosis
Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan
halus tidak lebih dari 1 bagian paru. Bila bayangan kasar tidak lebih dari
sepertiga bagian 1 paru
c. Far advanced tuberculosis
d. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada Moderately advanced
tuberculosis

Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologic,


dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan
kmb 1

salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.

5
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB paru dibagi sebagai
berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan criteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA Positif: mikroskopik positif 2 kali,
3) Gambaran radiologic sesuai dengan TB Paru
b. TB Paru BTA Negatif dengan criteria:
1) Gejala klinik dan gambaran radiologic sesuai dengan TB Paru aktif
2) BTA negative biakan negative tetapi radiologik positif
c. Berkas TB Paru dengan criteria:
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative
2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru
d. Radiologic menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan foto yang
tidak berubah
e. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung)

F. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan pada penderita TB selain untuk menyembuhkan/mengobati
penderita juga mencegah kematian, kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta
memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
1. Tahap intensif (2-3 bulan)
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
2. Tahap lanjutan (4-7 bulan)
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin, dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan adalah
Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivate
Rifampisin/INH.
kmb 1

6
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Pasien Penyakit tuberkulosis dapat menyerang semua umur, mulai dari
anak-anak sampai dengan orang dewasa dengan komposisi antara laki-laki
dan perempuan yang hampir sama. Biasanya timbul di lingkungan rumah
dengan kepadatan tinggi yang tidak memungkinkan cahaya matahari masuk ke
dalam rumah. Tuberkulosis paru (TB) pada anak dapat terjadi pada usia
berapa pun, namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun. Anak lebih
sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary) dibanding TB paru-
paru dengan perbandingan 3 :1. TB luar paru-paru merupakan TB yang
berat, terutama ditemukan pada usia < 3 tahun. Angka kejadian
(prevalensi) TB paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian
meningkat setelah masa remaja, di mana TB paru-paru menyerupai kasus
pada orang dewasa (sering disertai lubang/kavitas pada paru-paru). Dari
aspek sosioekonomi, penyakit tuberkulosis paru sering diderita oleh klien dari
golongan ekonomi menengah ke bawah.
b. Riwayat kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain:
1) Demam: subfebris, febris (40- 41 C) hilang timbul
2) Batuk terjadia karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini terjadi untuk
membuang atau mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari batuk
kering sampai dengan batuk purulent (menghasilkan sputum)
3) Sesak nafas bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru-
paru
4) Nyeri dada jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis
5) Malaises ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat malam
6) Sianosis, sesak nafas, kolaps; merupakan gejalan atelektasis. Bagian
dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong
ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit tampak
bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
7) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit
ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi merupakan
penyakit infeksi menular
kmb 1

c. Riwayat kesehatan sebelumnya:


1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh
7
2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh
3) Pernah berobat tetapi tidak teratur
4) Riwayat kontak dengan penderita TB Paru
5) Daya tahan tubuh yang menurun
6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur
e. Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya
2) Jenis, warna, dosis obat yang diminum
3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan
penyakitnya
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir
d. Riwayat sosial ekonomi
1) Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah
penghasilan.
2) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan tidak dapat berkomunikasi dengan
bebas, menarik diri biasanya pada keluarga yang kurang mampu, masalah
berhubungan dengan kondisi ekonomi untuk sembuh perlu waktu yang lama
dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/ pekerjaan pasien,
tidak bersemangat dan putus harapan.
e. Faktor pendukung:
1) Riwayat lingkungan
2) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alcohol, pola istirahat
dan tidur, kebersihan diri
3) Tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan,
pengobatan dan perawatannya
f. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif: rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul sesak (nafas
pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari
Objektif: takikardi, takipnea/ dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap
lanjut: infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40-41 c)
hilang timbul.
2) Pola nutrisi
Subjektif: anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan
Objektif: turgor kulit jelek, kulit kering/ bersisik, kehilangan lemak sub
kmb 1

kutan.
3) Respirasi Subjektif : batuk produktif/ non produktif sesak nafas, sakit dada
8
Objektif: mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/ purulent,
mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe,
terdengar bunyi ronkhi basah, kasar didaerah apeks paru, takipneu
(penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak nafas,
pengembangan pernafasan tidak simetris (effuse pleural), perkusi pekak
dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran
bronkogenik)
4) Rasa nyaman/nyeri
Subjektif: nyeri dada meningkat karena batuk berulang Objektif: berhati-
hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul
bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
5) Integritas ego
Subjektif: faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak
berdaya/tak ada harapan Objektif: menyangkal (selama tahap dini),
ansietas, ketakutan , mudah tersinggung.
g. Pemeriksaan diagnostic
1) Kultur sputum: menunjukkan hasil positif untuk mycobacterium
tuberculosis pada stadium aktif.
2) Ziehl Neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluif):positif untuk
bakteri tahan asam (BTA)
3) Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollner Patch): reaksi positif (area
indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 setelah injeksi antigen
intradermal) mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi tetapi tidak
mengindikasikan penyakit sedang aktif.
4) Foto rontgen dada (chest x-ray): dapat memperlihatkan infiltrasi kecil
pada lesi awal di bagian paru-paru bagian atas, deposit kalsium pada
lesi primer yang membaik atau cairan pada efusi. Perubahan
mengindikasikan TB yang lebih berat, dapat mencakup area berlubang dan
fibrosa.
a) Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan
CSF, serta biopsi kulit): menunjukkan hasil positif untuk
Mycobacterium tuberculosis.
b) Needle biopsi of lung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel-
sel besar yang mengindikasikan nekrosis.
c) Elektrolit: mungkin abnormal bergantung pada lokasi dan beratnya
kmb 1

infeksi, misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, mungkin


ditemukan pada TB paru kronik lanjut.
9
d) ABGs: mungkin abnormal, bergantung pada lokasi, berat, dan sisa
kerusakan paru.
e) Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronkus atau kerusakan paru karena TB.
f) Darah: leukositosis, laju endap darah (LED) meningkat.
g) Tes fungsi paru: VC menurun, dead space meningkat, TLC
meningkat, dan saturasi oksigen menurun yang merupakan gejala
sekunder dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru dan penyakit pleura.
h. Pemeriksaan Fisik
Pada tahap dini klien sering kali tidak menunjukkan kondisi tuberkulosis.
Tanda dan gejala baru dapat terlihat pada tahap selanjutnya berupa :
1) Sistemik
Akan ditemukan malaise, anoreksia, penurunan berat badan, dan
keringat malam. Pada kondisi akut diikuti gejala demam tinggi seperti flu
dan menggigil, sedangkan pada TB milier timbul gejala seperti demam
akut, sesak napas, sianosis, dan konjungtiva dapat terlihat pucat karena
anemia.
2) Sistem pernapasan;
a) Ronchi basah, kasar dan nyaring terjadi akibat adanya peningkatan
produksi sekret pada saluran pernapasan.
b) Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada
auskultasi memberikan suara sedikit bergemuruh (umforik).
c) Tanda-tanda adanya infiltrat luas atau konsolidasi, terdapat fremitus
mengeras.
d) Pemeriksaan ekspansi pernapasan ditemukan gerakan dada asimetris.
e) Pada keadaan lanjut terjadi atropi, retraksi interkostal, dan fibrosis.
f) Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak).
g) Bentuk dinding dada pectus karinatum.
3) Sistem pencernaan
Meningkatnya sputum pada saluran napas secara tidak langsung akan
memengaruhi sistem persarafan khususnya saluran cerna. Klien mungkin
akan mengeluh tidak nafsu makan dikarenakan menurunnya keinginan
untuk makan, disertai dengan batuk, pada akhirnya klien akan mengalami
penurunan berat badan yang signifikan (badan terlihat kurus).
kmb 1

10
2. Diagnosis Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)

Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk


mempertahankan jalan nafas tetap paten.

Penyebab : Kondisi Klinis Terkait


Fisiologis :
1) Gullian barre syndrome.
1) Spasme jalan napas.
2) Sklerosis multipel.
2) Hipersekresi jalan napas.
3) Myasthenia gravis.
3) Disfungsi neuromuskuler.
4) Prosedur diagnostik (mis.
4) Benda asing dalam jalan napas.
bronkoskopi, transesophageal
5) Adanya jalan napas buatan.
echocardiography [TEE] ).
6) Sekresi yang tertahan.
5) Depresi sistem saraf pusat.
7) Hiperplasia dinding jalan napas.
6) Cedera Kepala
8) Proses infeksi .
7) Stroke
9) Respon alergi.
8) Kuadriplegia
10) Efek agen farmakologis (mis.
9) Sindron aspirasi meconium
anastesi).
10) Infeksi saluran Napas.
Penyebab
Situasional :
1) Merokok aktif.
2) Merokok pasif
3) Terpajan polutan.

Gejala dan tanda mayor : Gejala dan Tanda Minor.


Subjektif : tidak tersedia.
Subjektif :
Objektif :
1) batuk tidak efektif 1) Dispnea.
2) tidak mampu batuk. 2) Sulit bicara.
3) sputum berlebih. 3) Ortopnea.
4) Mengi, wheezing dan / atau 4) Objektif :
ronkhi kering 5) Gelisah.
5) Mekonium di jalan nafas pada 6) Sianosis.
Neonatus. 7) Bunyi napas menurun.
8) Frekuensi napas berubah.
9) Pola napas berubah.

b. Risiko Defisit Nutrisi


Definisi : Beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme.

Faktor Risiko Kondisi Klinis Terkait


1) Ketidakmampuan menelan 1) Stroke
makanan 2) Parkinson
2) Ketidakmampuan mencerna 3) Mobius Syndrome
kmb 1

makanan 4) Celebral palsy


3) Ketidakmampuan mengabsorbsi 5) Cleft lip

11
nutrien 6) Cleft palate
4) Peningkatan kebutuhan 7) Amyotropic lateral scierosis
metabolisme 8) Kerusakan neuromuskular
5) Faktor ekonomi (mis. finansial 9) Luka bakar
tidak mencukupi) 10) Kanker
6) Faktor psikologis (mis. stres, 11) Infeksi
keenganan untuk makan 12) AIDS
13) Penyakit Crohn’s

3. Kriteria Hasil dan Intervensi Keperawatan


a. Bersihan Jalan nafas Tidak Efekti
Luaran Utama : Bersihan Jalan Napas
Luaran Tambahan :
1) Kontrol Gejala
2) Pertukaran Gas
3) REspons Alergi Lokal
4) Respons Alergi Sistemik
5) REspons Ventilasi Mekanik
6) Tingkat Infeksi.
SIKI – Intervensi Utama :
1) Latihan Batuk Efektif.
2) Manajemen Jalan Nafas.
3) Pemantauan Respirasi.

b. Risiko Defisit Nutrisi


Luaran Utama : Status Nutrisi
Luaran Tambahan :
1) Berat Badan
2) ELiminasi Fekal
3) Fungsi Gastrointestinal
4) Nafsu makan
5) Perilaku meningkatkan berat badan
6) Status menelan
7) Tingkat depresi
8) Tingkat nyeri
kmb 1

12
PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK)
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep., Ns., M.Kep

A. Pengertian
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit
kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan
aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan
konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat
keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa
merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.
ada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010,
bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis
patologi.

B. Faktor Risiko PPOK


Secara ringkas, Beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK sampai
saat ini dapat disimpulkan: Asap rokok, polusi udara, pajanan zat di tempat kerja,
genetic, usia dan jenis kelamin, tumbuh kembang paru, sosial ekonomi, infeksi paru
berulang, asma/hiperreaktivitas bronkus, bronchitis kronik.
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok, saat ini adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi
yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko
PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok,
jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Merokok
selama kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang
paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok; perokok aktif, perokok pasif, bekas perokok.
b. Derajat berat merokok dengan indeks brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
kmb 1

rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
4) Ringan : 0-200
13
5) Sedang : 201-600 3
6) Berat : > 600
c. 10 Pack-years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : Jumlah Pack-years = jumlah pak
(bungkus) rokok yang x jumlah tahun merokok dihisap perhari 1 pak
(bungkus) rokok = 20 batang rokok, maka 10 pack-years = 10 x 20 batang rokok=
200 batang rokok.
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan
efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah
mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
a. Polusi di dalam ruangan:
1) Asap rokok
2) Asap dapur (kompor, kayu, arang, dll)
b. Polusi di luar ruangan 1) Gas buang kendaraan bermotor 2) Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Infeksi saluran nafas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresivitas PPOK.
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas, berperan secara bermakna
menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada saat anak, akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat
dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab
dasar timbulnya hiper- reaktivitas bronkus yang merupakan faktor risiko pada PPOK.
Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga
merupakan faktor risiko PPOK. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas pada usia lebih dari 40 tahun.
4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara
pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang
buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi, kemungkinan
dapat menjelaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan
kmb 1

serabut otot. Kelaparan dan status anabolik / katabolik berkembang menjadi

14
emfisema pada percobaan binatang. CT-scan paru perempuan dengan kekurangan
nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan gambaran emfisema.
5. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah
risiko untuk terjadinya PPOK. Studi meta-analisa menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP pada masa anak.
6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan.
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen Serpina-1 yang
mengakibatkan kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin.
7. Jenis kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK masih
belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan dan kematian
akibat PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, namun saat ini
angka kejadian PPOK hampir sama antara laki-laki dan perempuan, terkait dengan
bertambahnya jumlah perokok perempuan.

C. Patogenesis dan patofisiologi


1. Patogenesis
Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi
ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien
menderita PPOK tanpa merokok, respons inflamasi pada pasien ini belum diketahui.
Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua
mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) Limfosit Tc1 yang hanya terjadi
pada perokok, bersama sel neutrofil, makrofag melepaskan mediator inflamasi dan
enzim yang berinteraksi dengan sel saluran nafas, parenkim paru dan vaskular paru.
a. Stres oksidatif
Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam PPOK. Biomarker stres
oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8- isoprostan) meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan nafas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres
oksidatif meningkat saat eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok
kmb 1

dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi (seperti

15
makrofag dan neutrophil) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan
endogen pada pasien PPOK.
Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru,
termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi lendir,
dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping dimediasi
oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion superoksida dan
oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida nitrat induktif,
terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien PPOK. Stres
oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase
pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan peningkatan
ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan anti-inflamasi
glukokortikosteroid.
b. Perbedaan asma dan PPOK
Tabel Perbedaan Asma dan PPOK
Perbedaan PPOK Asma
Onset Biasanya > 40 tahun Semua umur, biasanya
anak-anak
Riwayat merokok Biasanya > 20 bks/thn (IB Biasanya tidak merokok
200)
Riwayat keluarga Biasanya tidak ada, kecuali Biasanya ada
kekurangan α1- antitrypsin
Reversibel saluran Tidak reversibel penuh, hanya Sangat reversibel
nafas reversibel sebagian dengan Biasanya fungsi paru
bronkodilator Berhenti hampir normal
merokok dapat mengurangi
penurunan fungsi paru
Pola gejala Biasanya kronik Bervariasi dari hari ke hari
Progresif lambat Tidak Malam/menjelang pagi
spesifik
Batuk (paling Dini hari Malam/ setelah latihan
menonjol)
Sputum purulen khas Jarang
Peningkatan IgE Jarang Sering
Eosinofil Jarang Sering

2. Patofisiologi
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologi yang
mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya penurunan
FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran nafas perifer,
sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi
pada emfisema.
a. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
kmb 1

16
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan nafas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun
emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan
FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang
terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran nafas kecil akan menjadi
hancur ketika penyakit menjadi lebih parah. Hiperinflasi mengurangi kapasitas
inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama
latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai
dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang
pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak pada
aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas perifer mengurangi
perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta
meningkatkan kapasitas inspirasi dan latihan.
b. Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum,
pertukaran gas akan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat
keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidak
seimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q). Obstruksi jalan nafas perifer menghasilkan
ketidak seimbangan VA/Q. Gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang
sudah parah akan mengurangi ventilasi. Kedua hal tersebut menyebabkan
retensi karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya
pembuluh darah paru memperburuk kelainan VA/Q.
c. Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus yang mengakibatkan batuk produktif kronik, adalah
gambaran dari bronkitis kronik tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran
udara. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah
sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap
iritasi kronik saluran nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya.
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui
aktivasi reseptor faktor EGFR. Namun tidak semua pasien dengan PPOK
memiliki gejala hipersekresi mukus.
d. Hipertensi pulmoner
kmb 1

Hipertensi pulmoner ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
17
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intima
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respons inflamasi dalam
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran nafas dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi
hipertensi pulmoner yang progresif sehingga mengakibatkan hipertrofi ventrikel
kanan dan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
e. Gambaran dampak sistemik
Beberapa studi melaporkan bahwa PPOK memberikan gambaran sistemik,
khususnya pada PPOK yang berat. Hal ini berdampak besar terhadap kualitas
hidup. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien PPOK berat, disebabkan oleh
hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot akibat dari apoptosis yang
meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot tersebut. Peningkatan proses
osteoporosis, depresi dan anemia kronik juga terjadi pada PPOK. Peningkatan
konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, radikal bebas oksigen dan
turunannya, dapat menimbulkan efek sistemik. Peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, berkorelasi dengan peningkatan protein C- reaktif (CRP).
f. Eksaserbasi Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang ditandai
dengan perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan
membutuhkan perubahan terapi. Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK
yang dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain
yang belum diketahui. Infeksi bakteri dan virus memiliki karakteristik peningkatan
respons inflamasi. Selama eksaserbasi gejala sesak meningkat karena
peningkatan hiperinflasi, air trapping dan penurunan aliran udara. Eksaserbasi
juga menyebabkan penurunan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia berat.
Beberapa keadaan menyerupai eksaserbasi PPOK adalah pneumonia,
tromboemboli, dan gagal jantung akut.

D. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis pun mulai dari tidak ada kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul
tanda dan gejala yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Gejala Keterangan
kmb 1

Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya


waktu) Bertambah berat dengan aktivitas Menetap
sepanjang hari Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
18
"Perlu usaha untuk bernafas," Berat, sukar bernafas,
terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK.
Riwayat terpajan faktor Asap rokok Debu dan bahan kimia di tempat kerja Asap
risiko Riwayat keluarga dapur
menderita PPOK

Jika salah satu indikator pada Tabel di atas ditemukan pada pasien di atas usia 40
tahun maka pertimbangkan diagnosis PPOK dan lakukan uji spirometri untuk memastikan
diagnosis PPOK.
Penilaian PPOK perlu mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:
1. Penilaian gejala PPOK
Pengukuran gejala sesak nafas secara sederhana dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner mMRC (modified British Medical Research Council). Untuk
menilai gejala PPOK yang lebih komprehensif dan dihubungkan dengan status
kesehatan dan kualitas hidup digunakan CRQ (Chronic Respiratory Disease
Questionnaire) dan SGRQ (St. George’s Respiratory Questionnaire), tetapi kedua
kuesioner ini terlalu kompleks untuk dilakukan dalam praktek klinis. Kuesioner lain
yang lebih sederhana adalah CAT (COPD Assessment Test), memiliki 8 butir
pertanyaan yang menggambarkan status kesehatan pasien, mempunyai rentang
skor 0-40. Skor sampai nilai 10 menunjukkan pasien PPOK dalam keadaan stabil
dan terapi yang dipakai saat penilaian tersebut dapat dilanjutkan.
2. Penilaian risiko eksaserbasi
Prediktor terhadap risiko eksaserbasi terbaik dilakukan dengan mengetahui riwayat
penyakit sebelumnya. Disamping itu, adanya perburukan keterbatasan aliran udara
yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya eksaserbasi dan risiko kematian.
Rawat inap pada kejadian eksaserbasi PPOK berhubungan dengan prognosis yang
buruk.
3. Penilaian komorbiditas
Pada PPOK terdapat manifestasi ekstra paru yang bermakna meliputi penurunan
berat badan, abnormalitas status nutrisi dan disfungsi otot skeletal, yang diakibatkan
oleh berbagai faktor dan dapat berkontribusi terhadap toleransi latihan dan
rendahnya status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa komorbid yang sering
didapatkan pada pasien PPOK adalah penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik,
osteoporosis, depresi, dan kanker paru. Hal ini dihubungkan dengan faktor risiko
utama (merokok), keterlibatan genetik atau faktor karsinogen yang belum jelas.
kmb 1

Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:

19
a. Anamnesis
1) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi yang progresif, memberat dengan
aktivitas dan menetap
2) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
3) Produksi dahak kronik
4) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan
5) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
6) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi / anak, misalnya berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara (asap dapur, kayu bakar, biomass, gas, dan zat kimia
lainnya)
7) Riwayat keluarga yang menderita PPOK
8) Riwayat perawatan sebelumnya karena penyakit paru
9) Penyakit komorbid seperti penyakit jantung, osteoporosis, muskuloskeletal
dan keganasan
10) Keterbatasan aktivitas, kondisi depresi dan ansietas serta gangguan aktivitas
seksual

b. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
a) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
b) Barrel chest (dada tong), diameter antero- posterior dan transversal sama
besar
c) Penggunaan otot bantu nafas
d) Hipertropi otot bantu nafas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
2) Palpasi
Palpasi Pada emfisema sela iga melebar dan fremitus melemah.
3) Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, serta hati terdorong ke bawah.
4) Auskultasi
a) Suara nafas vesikuler normal atau melemah
kmb 1

b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
20
c) Ekspirasi memanjang
d) Bunyi jantung terdengar jauh
c. Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
1) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1/KVP(%). Menurut GOLD obstruksi
apabila VEP1/KVP <70%, penelitian Pneumobile Indonesia menyatakan
obstruksi apabila VEP1/KVP< 75%.
2) VEP1% (VEP1/VEP1Prediksi) merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
3) Uji bronkolidator dilakukan pada PPOK stabil, dengan menggunakan
spirometri, dan bila tidak ada spirometer dapat digunakan peak flow meter.
Pada PPOK nilai VEP1 setelah pemberian bronkodilator dibandingkan
dengan nilai awal meningkat kurang dari 12% dan 200 ml. Bila
menggunakan peak flow meter maka peningkatannya <20%.
4) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE (arus
puncak ekspirasi) walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
untuk menunjang diagnosis dengan memantau variabilitas harian pagi dan
sore yang tidak lebih dari 20%.
b. Laboratorium darah Hb, Ht, trombosit, leukosit dan analisis gas darah.
c. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran : 1) Hiperinflasi 2) Hiperlusen 3) Ruang
retrosternal melebar 4) Sela iga melebar 5) Diafragma mendatar 6) Jantung
menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance). Pada
bronkitis kronik : 1) Normal 2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21%
kasus
d. Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran nafas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada pasien PPOK di Indonesia.
kmb 1

21
E. Tatalaksana PPOK
Tujuan tata laksana pada PPOK stabil:
1. Mengurangi gejala
a. Menghilangkan gejala
b. Memperbaiki toleransi latihan
c. Memperbaiki kualitas hidup
2. Mengurasi risiko
a. Mencegah progresifitas penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Mengurangi kematian

Tatalaksana PPOK Secara Umum, meliputi :


1. Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktivitas optimal
d. Meningkatkan kualitas hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktivitas
2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A :
a. Ask (tanyakan). Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (nasihati). Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (nilai). Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari
ke depan).
d. Assist (bombing). Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
kmb 1

e. Arrange (atur) Buat jadwal kontak lebih lanjut.

22
3. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan dalam bentuk inhalasi. Saat pemberian terapi inhalasi sebaiknya
tidak menggunakan oksigen 100% karena pada pasien PPOK yang stimulasi
nafasnya terjadi karena hipoksemia dapat terjadi depresi pernafasan. Terapi
inhalasi pada PPOK harus diperhatikan terutama saat menggunakan nebuliser,
disamping kombinasi jenis obat, juga perlu diperhatikan bentuk terapi
inhalasinya, alat bantu serta pemilihan sumber tenaga dari nebulisernya
(tekanan aliran oksigen atau kompresor). Pemilihan sumber tenaga terapi
inhalasi harus berdasarkan pemerikaan analisis gas darah, karena pada PPOK
sudah terjadi retensi CO2 sebelum pemberian terapi inhalasi dengan nebuliser.
Penggunaan nebuliser tidak dianjurkan untuk jangka panjang. Obat
bronkodilator diberikan sebagai basis jika diperlukan atau reguler untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release) atau obat kerja lama (long acting). Kombinasi
bronkodilator dari kelas farmakologi berbeda dapat memperbaiki efikasi dan
menurunkan risiko efek samping dibandingkan dengan meningkatkan satu dosis
bronkodilator. Pemakaian obat nebulisasi tidak dianjurkan dicampur dengan
NaCl atau obat nebulisasi lainnya karena dapat mengurangi konsentrasi obat,
memperlama waktu nebulisasi dan menambah gejala seperti batuk.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednisone
c. Antibiotik Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi
d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein dan carbocystein) (Bukti
D). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin.
kmb 1

f. Antitusif Diberikan dengan hati-hati

23
4. Rehabilitasi PPOK
Rehabilitasi respirasi pada PPOK bertujuan mengontrol dan mengurangi gejala
dan komplikasi, mengoptimalkan status fungsional pasien, meningkatkan
aktivitas dan partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan masyarakat serta
menurunkan biaya perawatan kesehatan dengan menurunkan morbiditas atau
dengan mencegah efek sistemik penyakit. Sebelum tata laksana rehabilitasi
respirasi dimulai, pasien akan menjalani serangkaian penilaian untuk
menentukan indikasi, kontra-indikasi, faktor penyulit program rehabilitasi dan
menentukan peresapan latihan dan program rehabilitasi dengan permasalahan
yang dihadapi pasien secara individual.
5. Fisioterapi dada
Merupakan teknik untuk pembersihan jalan nafas yang bertujuan untuk membantu
pembersihan sputum dari jalan nafas pasien PPOK, baik yang mengalami
serangan akut maupun dalam keadaan stabil.
6. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat terapi oksigen:
a. Mengurangi sesak
b. Memperbaiki aktivitas
c. Mengurangi hipertensi pulmoner
d. Mengurangi vasokonstriksi
e. Mengurangi hematokrit
f. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
g. Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi terapi oksigen:
a. Apabila PaO2 <55 mmHg atau Sat O2 <88% dengan atau tanpa hiperkapnia
yang dikonfirmasi dua kali selama periode tiga minggu
b. Apabila PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai cor pulmonale,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda- tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, dan penyakit paru lain.
7. Ventilasi Mekanis
8. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
kmb 1

energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik
dan hiperkapnia menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
24
menambah mortalitas PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi
paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
a. Penurunan berat badan
b. Kadar albumin darah
c. Antropometri
d. Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma,

F. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas diri: jenis kelamin dan usia
b. Keluhan utama : Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah
berat bila aktivitas, kadang- kadang disertai mengi, batuk kering atau dengan
dahak yang produktif, rasa berat di dada
c. Riwayat Kesehatan
Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan
napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran
napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap
partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan
biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan
bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi
sampai. Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk
dengan ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun dan
paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat memicu terjadinya PPOK.
d. Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK, yaitu:
1) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan berat badan.
Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
2) Aktivitas /istirahat
Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari,
ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau istirahat.
Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa
otot.
kmb 1

3) Sirkulasi.

25
Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah. Tanda: Peningkatan
tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardi berat, distensi
vena leher, edema dependent, bunyi jantung redup, warna kulit/membran
mukosa normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
4) Integritas Ego. Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
5) Hygiene. Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hygiene. Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.
6) Pernapasan. Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun, episode
batuk hilang timbul. Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu
pernapasan, bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area paru, warna
pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu keseluruhan.
7) Keamanan. Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan,
adanya / berulangnya infeksi.
8) Seksualitas. Gejala: Penurunan libido
9) Interaksi Sosial. Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan
terhadap pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena
penyakit lama. Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara
karena disstres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.
10) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien
dengan PPOK , yaitu:
a) Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara
yang tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot,
dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak
fektif dan penggunaan otot- otot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
b) Palpasi. Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
kmb 1

menurun.

26
c) Perkusi. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor
sedangkan diafragma menurun
d) Auskultasi . Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit.
Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk
untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea
eksersorial). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat
ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat
pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi
yang berkepanjangan saat ekspirasi. 2) Kardiovaskuler (B2:Blood).

2. Diagnsosis Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
b. Pola napas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Gangguan ventilasi spontan

3. Kriteria Hasil dan intervensi


a. Bersihan jalan napas (L.01001), dengan kriteria hasil:
1) Batuk efektif meningkat dari skala 1 menjadi skala 5
2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun
5) Dispnea menurun
6) Ortopnea menurun
7) Sulit bicara menurun
8) Gelisah menurun
Intervensi:
1) Manajemen jalan napas (I.01011):
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (D.0005).
Kriteria Hasil: Pola napas (L.01004):
1) Penggunaan otot bantu napas menurun
kmb 1

2) Pernapasan cuping hidung menurun.


3) Frekuensi napas membaik.
27
4) Kedalaman napas membaik
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi (D.0003).
Kriteria hasil
Pertukaran gas (L.01003)
a) Tingkat kesadaran meningkat
b) Dispnea menurun
c) Pusing menurun
d) Penglihatan kabur menurun
e) Gelisah berkurang
f) Spo2 membaik
g) Pola nafas membaik

Intervensi : Pemantauan respirasi (I. 01014)

d. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan


(D.0004).
Kriteria hasil
Ventilasi spontan (L.01007):
a) Penggunaan otot bantu napas menurun.
b) Dispnea menurun
Intervensi
Dukungan ventilasi (I.01002):

kmb 1

28
ASMA
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep., Ns., M.Kep

A. Definisi
Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit
bernafas. Terjadi pada Saluran. Terjadi pada saat saluran pernafasan memberikan
respon yang berlebihan dengan cara menyempit jika mengalami rangsangan atau
gangguan. Asma adalah penyakit inflamsi (radang) kronis saluran nafas
menyebabkan peningktan hiperinponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala
episodic berulang berupa mengi ( nafas berbunyi ngik- ngik), sesak nafas dan dada
terasa berat.
Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat bervariasi. Sekelompok
pasien mungkin bebas dari serangan dari jangka waktu yang lama mengalami
gejala jika berolahraga atau terpapar allergen atau terinfeksi virus pada saluran
pernafasan. Pasien lain mungkin mengalami maslah yang etrus menerus atau
serangan akut yang sering. Pola gejalanya juga berbeda antar satu pasien dnegan
pasien lainnya, contohnya seorang pasien mungkin mengalami batuk hannya pada
malam hari, sedangkan pasien lainnya mengalami gejala dada sesak dan bersin-
bersin baik siang maupun malam. Selain itu, dalam pasien itu sendiri, pola, frekuensi,
dan intensitas gejala bisa bervariaasi antara waktu ke waktu.
Asma adalah penyakit jalaan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu.
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodic berulang berupa wheezing, sesak nafas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama pada waktu malam atau dini hari. Serangan asma
mengakibatkan pasien tidak dapat beraktivitas. melakukan kegiatan harian, sehingga
menambah produktifitas menurun serta menurunkan kualitas hidup. Asma merupakan
probelam masalah diseluruh dunia, yang mempengaruhi kurang lebih 300 jiwa.
Angka kematian asma di dunia di perkirakan mencapai 250.00 orang pertahunnya.
Penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan psien
yang memerlukan perawatan, baik dirumah sakit maupun dirumah. Separuh dari
semua kasus asma bberkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertinya
pada saat dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian Asma dapat dimulai
dari segala usia mempengaruhi pria dan wanita tanpa terkecuali dan bisa terjadi
pada setiap orang pada segala etnis.
kmb 1

29
B. Etiologi
Etiologi Asma dapat dibagi menjadi atas:
1. Asma Ekstrinsik/ Alergi
Asma yang disebabkan oleh allergen yang diketahui masanya sudah terdapat
semenjak anak-anak seperti alergi terhadap protein, serbuk sari, bulu halus,
binatang dan debu.
2. Asma Intrinsik/idopatik
Asma yang ditemukan factor pencetusnya yang jelas tapi adanya factor- factor
yang non spesifik sperti : flu, latihan fisik atau emosi sering memicu serangan asma.
Asma ini sering muncul atau timbul sesudah 40 tahun setelah menderita infeksi
sinus/ cabang trakeabronchial.
3. Asma Campuran
Asma yang terjadi atau timbul karena adanya komponen ekstrensik dan intrinsik.

C. Tipe Asma
1. Asma Alergik/Ekstrinsik,
merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu binatang, debu,
ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airbone
dan misiman (seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai
riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau
rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencentuskan serangan asma.
Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
2. Idiopatik atau Nonalergik Asma/Instrinsik
Tidak berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor
seperti common cold, infksi saluran nafas atas,emosi atau stress, dan polusi
lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti
antagonis β-adrenergik dan bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat
menajdi faktor penyebab. Serangan dari asma idiopatik atau nonalergik menjadi
lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi bronkitis dan emfisema. Pada beberapa kasus dapat berkembang
menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa (>35
tahun).
3. Asma Campuran (Mixed Asma)
Merupakan bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikan dengan bentuk
kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.
kmb 1

30
D. Patofisiologi
Para ahli mengemukakan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi, pada
saluran nafas, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi dan respon yang
berlebihan terhadap rangsangan (hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat
penghambatan terhadap aliran udara dan penurunan kecepatan aliran udara dan
penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus. Akibatnya terjadi
hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru, dan meningkatnya kesulitan
bernafas. Selain itu juga terjadi peningkatan sekresi mukus yang berlebihan.
Secara klasik, asma dibagi dalam dua kategori berdasar faktor pemicunya,
yaitu asma ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma
ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena menghirup alergen, yang
biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit
alergi (baik eksim, utikaria, atau hay fever). Asma intrinsik mengacu pada asma
yang disebabkankarena faktor- faktor diluar mekanisme imunitas, dan umumnya
dijumpai pada orang dewasa. Beberapa faktor yang memicu terjadinya asma
antara lain: udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga. Khusus untuk asma
yang dipicu oleh olahraga dikenal dengan dengan istileh exercise-induced asthma.
Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu respon inflamasi, baik
pada asma ekstrinsik maupun intrinsik, tetapi karakteristik inflamasi pada asma
umumnya sama, yaitu terjadinya infiltrasi eosinofil dan limfosit serta terjadi
pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran napas dan peningkatan permeabilitas
mukosa. Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita asma yang ringan.
Pada pasien yang meninggal karena serangan asma,secara histologis terlihat adanya
sumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus glikoprotein dan eksudat pritein plasma
yang memperangkap debris yang berisi sel-sel epitelial yang terkelupas dan sel-sel
inflamasi. Selain itu, terlihat adanya penebalan lapisan subepitelial saluran nafas,
dari trakea sampai ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari kelenjar- kelenjar
sel goblet yang menyebabkan hiperserkesi mukus yang kemudian turut menyumbat
saluran nafas.
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema
mukosa, sekresi mukus, dan peradangan saluran nafas. Ketika orang dengan
asma terpapar oleh alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya debu, serbuk sari, asap,
tungau, obat-obatan, makanan, infeksi saluran nafas) saluran nafasnya akan
meradang dan menyebabkan kesulitan bernafas, dada terasa sesak dan mengi.
Manifestasi klinis awal, disebut reaksi fase cepat (early-phase), berkembang dengan
kmb 1

cepat dan bertahan sekitar satu jam.

31
Ketika seorang klien terpaparoleh alergen, imunoglobulin E (IgE) akan
diproduksi oleh limfosit B. Antibodi IgE akan melekat pada selmast dan basofil di
dinding bronkus. Seperti ditunjukkan pada peta konsep, sel mast akan
mengosongkan dirinya melepaskan mediator peradangan kimia, seperti histamin,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi reaksi lambat ( slow- reacting substance/
SRS-A). Zat-zat tersebut menginduksi dilatasi kapiler yang menyebabkan edema
saluran nafas dalam usaha untuk menyingkirkan alergen. Mereka jugamenginduksi
kontriksi saluran nafas untuk menutupnya sehingga tidak menghirup alergen lebih
banyak lagi.

Gambar: Pathway Asma

E. Faktor Pencetus
1. Allergen
Factor alergi dianggap mempunyai peranan pada sebagai penderita asma,
disamping itu hiperaktivitas saluran nafas juga merupakan factor yang penting
bila tidak hiperaktivitas bronkus tinggi diperlukan jumlah allergen yang sedikit dan
sebaiknya untuk menurunkan serangan asma.
2. Infeksi
Biasanya virus penyebabnya respitratory synchyhal virus (RSV) dan firus para
influenza
kmb 1

32
3. Iritasi
Hairspray, minyak wangi, assap rokok bau aasam dari cat dan polutsn udara air
dingin dan udara dingin
4. ISPA
Adalah infeksi di saluran pernafasan, mulai dari hidung hingga paru-paru
5. Reflek gastroesapagus
Iritasi trakeobronkheal karena iritasi dapat memperberat penyakit asma.

F. Manifestasi Klinis
Gejala asma terdiri atas triad, yaitu dispnea, batuk, dan mengi. Gejala yang
disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (sine qua non),
data lainnya seperti terlihat pada pemeriksaan fisik.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan untuk melihat adanya:
f. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degarnulasi dari Kristal
eosinophil
g. Spiral currhman, yakni merupakan cast cell(sel cetakan dari bronkus)
h. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
i. Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum , umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang mucus plug
b. Pemeriksaan Darah
1) Analisa Gas Darah (AGD) pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang di atas 15.000/mmm3 yang
memandakan adanya infeksi.
4) Pemeriksaan alergi menunjukan peningkatan Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada saat bebas serangan asma.
ii. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi Pada waktu serangan menunjukan hiperinflasi paru
yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
kmb 1

gambaran sebagai berikut:

33
1) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak bercak di hilus akan
bertambah
2) Bila ada emfisema (COPD), gambaran raduolusen semakin bertambah
3) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltase paru
4) Dapat ,menimbulkan gambaran atelectasis paru
5) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
b. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari factor allergen yang dapat bereaksi positif pada asma
c. Elektrokardiografi
1) Terjadi right axis deviation
2) Adanya hipertropo otot jantung Right bundle branch bock
3) Adanya tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi,SVES, VES atau terjadi
depresi segmen ST negative
d. Scanning paru
Melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Menunjukan adanya obstruksi jalan nafas revesible, cara tepat diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
sprirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol
bronchodilator (inhaler dan nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak
lebih dari 20% menunjukan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronchodilator lebih 20%. Pemeriksaan ini berfungsi untuk memegakan
diagnosis keperawatan , menilai berat obstruksi dan efek pengobatan banyak
penderita tanpa keluhan pada pemeriksaan ini menunjukan adanya obstruksi.

H. Penilaian Derajat Serangan Asma


Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman henti
nafas
Aktifitas Berjalan bayi: BErbicara bayi: Istirahat bayi:
menangis keras tangis pendek dan berhenti makan
lemah
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang
lengan
Kesadaran Mungkin Biasanya teragitasi Biasanya Kebingungan
teragitasi teragitasi
Mengi Sedang sering Nyaring, sepanjang Sangat nyaring Sulit/ tidak
hanya pada akhir ekspirasi + terdengar tanpa terdengar
ekspirasi inspirasi stetoskop
kmb 1

Sesak Minimal Sedang Berat


nafas

34
Otot bantu Biasanya tidak Biasanya ya ya Gerakan paradox
nafas torako abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi Sedang, ditambah Dalam, ditambah Dangkal/ hilang
interkostal retraksi superterma nafas cuping
l hidung
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar:
Usia Laju nafas normal
<2 bulan <60/menit
2-12 bulan <50/menit
1-5 tahun <40/menit
6-8 tahun <30/menit
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai buku laju nadi pada anak
Usia Laju nafas normal
2-12 bulan <160/menit
1-2 tahun <120/menit
3-8 tahun <110/menit
Pulsus Tidak ada < 10 Ada 10-20 mmHg Ada > 20 mmHg Tidak ada, tanda
paradoksus mmHg kelelahan otot nafas
PEFR atau % nilai dugaan/ % nilai dugaa n/ % nilai dugaan/
FEV1 nilai nilai terbaik nilai terbaik nilai terbaik
- Pra >60% 40-60% <40%
bronco
dilator
- Pasca >80% 60- 80% < 60% respons <
bronco 2 jam
dilator
SaO2 (%) >95% 91- 95% <90%
PaO2 Normal (biasanya >60 mmHg <60 mmHg
tidak perlu
diperiksa)
PaCO2 <45 mmHg < 45 mmHg >45mmH g

I. Penatalaksanaan
1. Prinsip umum dalam pengobatan asma:
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
b. Menghindari faktor yang bias menimbulkan serangan asma
c. Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma,
pengobatannya
2. Pengobatan pada asma:
a. Pengobatan farmakologi
1) Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas terbagi dua golongan:
a) Andrenergik (adrenalin dan efedrin) misalnya terbutalin/ bricasama
Obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,
suntikan dan semprotan (Metered dose inhaler) ada yang berbentuk
hiru (ventolin diskhaler dan bricasma turbuhaler) atau cairan
bronchodilator (Alupent, berotec brivasma sets ventolin) yang oleh alat
kmb 1

35
khusus diubah menjadi aerosol (partikel sangat halus) untuk selanjutnya
dihirup.
b) Santin/ teofilin (aminofilin)
Cara pemakaian adalah dengan disuntikkan langsung ke pembuluh
darah secara perlahan. Karena sering merangsang lambung bentuk
sirup atau tablet sebaiknya diminum setelah makan, ada juga yang
berbentuk supositoria untuk penderita yang tidak memungkinkan untuk
minum obat misalnya dalam kondisi muntah atau lambungnya kering.
2) Kromalin
Bukan bronkodilator tetapi obat pencegah serangan asma pada penderita
anak. Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti asma dan efeknya
baru terlihat setelah satu bulan.
3) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis
dua kali 1 mg/ hari. Keuntungannya adalah dapat diberikan secara oral.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon maka
segera penderita diberi steroid oral
b. Pengobatan non farmakologik
1) Memberikan penyuluhan
2) Menhindari faktor pencetus
3) Pemberian cairan
4) Fisioterapi nafas (senam asma)
5) Pemberian oksigen bila perlu

J. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Asma bronkial terjadi dapat menyerang segala usia tetapi lebih sering dijumpai
pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga
kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.predisposisi laki-laki dan
perempuan diusia dini sebesar 2 : 1 yang kemudian sama pada usia 30
tahun.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
kmb 1

36
Keluhan utama yang timbul dengan klien yang asama bronkial adalah
dispnea (bisa sampai berhari-hari atau berbulan- bulan),batuk ,dan mengi
(pada beberapa kasus lebih banyak paroksismal).
2) Riwayat kesehatan dahulu Terdapat data yang menyatakan adanya faktor
prediposisi timbulnya penyakit ini,diantaranya adalah riwayat elegi dan
riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis,urtikaria,dan eksim)
3) Riwayat kesehatan keluarga Klien dengan asma bronkial seringkali
didapatkan adanya riwayat penayakit keturunan,tetpi pada beberapa klien
lainnya tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing )semakin
menonjol
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit dkeluarkan
d) Bernafas dengan menggunakan otot- otot nafas tambahan
e) Sianosis, takikardi, gelisah , dan pulsus paradoks
f) Fase ekspirasi memenjang disertai wheezing (diapeks dan hilus)
g) Penurunan berat badan secara bermakna
2) Subjektif
Klien mersa sukar bernafas,sesak dan anoreksia
3) Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.
c) Data tambahan ( Medikal terapi)
2. Diagnosisi Keperawatan
a. Diagnosa Kep; Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif (D.0001)
Penyebab: Penyebab:
Fisiologis: Situasional:
1) Spasme jalan napas 1) Merokok aktif
2) Hipersekresi jalan napas 2) Merokok pasif
3) Disfungsi neuromuscular 3) Terpajan polutam
4) Benda asing dalam jalan napas
5) Adanya jalan napas buatan
6) Sekresi yang tertahan
7) Hyperplasia dinding jalan napas
8) Proses infeksi
kmb 1

9) Respon alergi
10) Efek agen farmakologis (mis.
Anastesi)
37
Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor
Subjektif: (tidak tersedia) Subjektif:
Objektif: 1) Dispnea
1) Batuk tidak efektif 2) Sulit bicara
2) Tidak mampu batuk 3) Otopnea
3) Sputum berlebih
4) Mengi, wheezing dan/atau Objektif:
ronkhi kering 1) Gelisah
5) Meconium di jalan napas (pada 2) Sianosis
neonates) 3) Bunyi napas menurun
4) Frekuensi napas berubah
5) Pola napas berubah

Kondisi Klinis Terkait


1) SGB
2) Sclerosis multiple
3) Myasthenia gravis
4) Prosedur diagnostic (mis.
Bronskoskopi, transesofagea
echocardiography (TEE)
5) Depresi system saraf pusat
6) Cedera kepala
7) Stroke
8) Kuadriplegi
9) Sindrom aspirasi meconium
10) Infeksi saluran napas

Standar Luara Keperawatan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif (L.01001)


Kriteria Hasil: Jalan napas paten, dengan kriteria hasil:
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Meconium menurun
5) Dispnea menurun
6) Otopnea mneurun
7) Sulit bicara menurun
8) Sianosis menurun
9) Gelisah menuruan
10) Frekuensi napas membaik
11) Pola napas membaik
Intervensi
12) Intervensi Utama
a) Latihan batuk efektif
b) Manajemen jalan napas
kmb 1

c) Pemantauan respirasi

38
Intervensi pendukung
a) Dukung kepatuhan program pengobatan
b) Edukasi fisioterapi dada
c) Edukasi pengukuran respirasi
d) Fisioterapi dada
e) Konsultasi via telpon
f) Manajemen asma
g) Manajemen alergi
h) Manajemen anafilaksis
i) Manajemen isolasi
j) Manajemen ventilasi mekanik
k) Manajemen jalan napas buatan
l) Pemberian obat inhalasi
m) Pemberian obat intrapleural
n) Pemberian obat intradermal
o) Pemberian obat nasal
p) Pencegahan aspirasi
q) Pengaturan posisi
r) Penghisapan jalan napas
s) Penyapihan ventilasi mekanik
t) Perawatan trakheostomi
u) Skrining tuberculosis
v) Stabilisasi jalan napas
w) Terapi oksigen

b. Diagnosa Keperawatan: Pola nafas tidak efektif


Definisi : Penyebab:
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak Etiologi:
memberikan ventilasi adekuat 1. Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan upaya napas (mis.
nyeri saat bernapas,
kelemahan otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulamnng dada
5. Gangguan neuromuscular
6. Gangguan neurologis (mis.
elektroensefalog ram [EEG]
positif, cedera kepala,
gangguan kejang)
kmb 1

7. Iamturitas neurologis
8. Penurunan energy
9. Obesitas
39
10. Posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma
(kerusakan saraf C5 ke atas)
13. Cedera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan

Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor


Subjektif: Subjektif:
1) Dispnea 1) Otopnea
Objektif:
1) Penggunaan otot bantu napas Objektif:
2) FAse ekispirasi memanjang 1) Pernapasan pursed-lip
3) Pola napas abnormal (mis. 2) Pernapasan cuping hidung
takipnea, bradipnea, 3) Diameter thoraks anterior-
hiperventilasi, kussmaul, posterior meningkat
cheyne-stokes) 4) Ventilasi semenit menurun
5) Kapasitas vital menurun
6) Tekanan ekspirasi menururun
7) Tekanan inspirasi menurun
8) Ekskursi dada berubah

Kondisi Klinis Terkait


1) SGB
2) Sclerosis multiple
3) Myasthenia gravis
4) Depresi system saraf pusat
5) Cedera kepala
6) Stroke
7) Kuadriplegi
8) Intoksikasi alkohol

Kriteria Hasil
Status pernapasan membaik dengan KH:
1) Ventilasi semenit meningkat
2) Kapasitas vital meningkat
3) Diameter thoraks anterior- posteilor meningkat
4) Tekanan ekspirasi meningkat
5) Tekanan inspirasi meningkat
6) Dyspnea menurun
7) Penggunaan otot bantu napas menurun
8) Pemanjangan fase ekspirasi menurun
9) Ortopnea menurun
kmb 1

10) Pernapasan purse lib breathing menurun


11) Pernapasan cuping hidung menurun

40
12) Frekuensi napas membaik
13) Kedalaman napas membaik
14) Ekskursi dada membaik
Intervensi
15) 1.01011 Manajemen Jalan Napas
16) 1.01014 Pemantauan Respirasi

c. Diagnosa Keperawatan: Risiko Defisti Nutrisi


Definisi : Beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme.

Faktor Risiko Kondisi Klinis Terkait


1) Ketidakmampuan menelan 1) Stroke
makanan 2) Parkinson
2) Ketidakmampuan mencerna 3) Mobius Syndrome
makanan 4) Celebral palsy
3) Ketidakmampuan mengabsorbsi 5) Cleft lip
nutrien 6) Cleft palate
4) Peningkatan kebutuhan 7) Amyotropic lateral scierosis
metabolisme 8) Kerusakan neuromuskular
5) Faktor ekonomi (mis. finansial 9) Luka bakar
tidak mencukupi) 10) Kanker
6) Faktor psikologis (mis. stres, 11) Infeksi
keenganan untuk makan 12) AIDS
13) Penyakit Crohn’s

Luaran Utama : Status Nutrisi


Luaran Tambahan :
9) Berat Badan
10) ELiminasi Fekal
11) Fungsi Gastrointestinal
12) Nafsu makan
13) Perilaku meningkatkan berat badan
14) Status menelan
15) Tingkat depresi
16) Tingkat nyeri

d. Gangguan Pertukaran Gas


Diagnose keperawatan: Gangguan pertukaran Gas
Definisi : Penyebab:
Kelebihan atau kekurangan Etiologi:
oksigenasi dan/atau eleminasi 1) Ketidakseimbang an ventilasi-
kmb 1

karbondioksida pada membrane perfusi


alveolus- kapiler. 2) Perubahan membrane alveolus-

41
kapiler

Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor


Subjektif: Subjektif:
1) Dispnea 1) Pusing
Objektif: 2) Penglihatan kabur
1) PCO2 meningkat/menurun
2) PO2 menurun Objektif:
3) Takikardia 1) Sianosis
4) PH arteri meningkat/menurun 2) Diaforesisi
5) Bunyi napas tambahan 3) Gelisah
4) Napas cuping hidung
5) Pola napas abnormal
(cepat/lambat, regular/ireguler,
dalam/dangkal)
6) Warna kulit abnormal (mis.
pucat, kebiruan)
7) Kesadaran menurun
Kondisi Klinis Terkait
1) PPOK
2) CHF
3) Asma
4) Pneumonia
5) TBC
6) Penyakit membrane hialin
7) Asfiksia
8) Persisten Pulmonary
Hipertension
9) Prematuritas
10) Infeksi Saluran napas

Kriteria Hasil
Pertukaran Gas Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x 24 jam,
maka status kenyamanan meningkat dengan kriteria hasil:
1) Tingkat kesadaran meningkat
2) Dyspnea menurun
3) Bunyi napas tambahan menurun
4) Pusing menurun
5) Penglihatan kabur menurun
6) Diaphoresis menurun
7) Gelisah menurun
8) Napas cuping hidung menurun
kmb 1

9) PSO2 membaik
10) PO2 membaik

42
11) PH arteri membaik
12) Takikardia membaik
13) Sianosis membaik
14) Pola napas membaik
15) Warna kulit membaik

Intervensi
1) Pemantauan Respirasi (1.01014)
2) Terapi Oksigen (1.01026)

kmb 1

43
EFUSI PLEURA
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep., Ns., M.Kep

A. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan
(terjadi penumpukan cairan dalam rongga pleura).

B. Etiologi
Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan
primer pada pleura hanya ada dua macam, yaitu:
1) Infeksi kuman primer intrapleura;
2) Tumor primer pleura.

C. Patogenesis
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi- kondisi seperti adanya
gangguan dalam reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena adanya tumor), peningkatan
produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura). Sedangkan secara
patologis, efusi pleura terjadi dikarenakan keadaan-keadaan seperti:
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung);
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma ( misalnya hipoproteinemia);
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri);
4. Berkurangnya absorbsi limfatik.

Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah sebagai
berikut.
1. Transudat
Gagal jantung, sirosis heaptis dan asites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom,
obstruksi vena kava superior, pascabedah abdomen, dialisis peritoneal, dan
atelektasis.
2. Eksudat
a. Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, abses).
b. Neoplasma (Ca. Paru, metastasis, limfoma, leukimia).
c. Emboli/infark paru.
d. Penyakit kolagen (SLE, reumatoid artritis).
e. Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, ruptur esofagsus, abses hati).
kmb 1

f. Trauma (hemotorak, khilotorak).

44
D. Tanda dn Gejala
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,
setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita
akan sesak napas.
2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dan nyeri
dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleura yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentukgaris melengkung
(garis Ellis Damouiseu).
5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani bagian
atas garis Ellis Domouiseu. Segitiga Grocco-Rochfush, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum ke sisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

E. Patofisiologi
Patofisiologi terajdinya efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terajdi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura,
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada umumnya, efusi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat),
sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltratplasma
(transudat). Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pleura parieatlis sekunder (akibat samping) terhadap peradangan atau
adanya neoplasma.
Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketika terjadi payah/gagal
jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya secara
maksimal ke seluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada
kmb 1

kapiler selanjutnya timbul hipertensi kapiler sistemik dan cairan yang berada dalam
pembuluh darah pada area tersebut menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura,
45
ditambah dengan adanya penurunan reabsorbsi cairan tadi oleh kelenajr limfe di
pleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang abnormal/berlebihan.
Hipoalbuminemia (misal pada klien nefrotik sindrom, malabsorbsi atau keadaan lain
dengan asites dan edema anasarka) akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan reabsorbsi yang berkurang. Hal tersebut
dikarenakan adanya penurunan pada tekananan onkotik intravaskular yang
mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk ke dalam rongga pleura. Luas efusi
pleura yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan
relatif paru dan dinding dada. Pada volume paru dalam batas pernapasan normal,
dinding dan cenderung rekoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk rekoil
ke dalam.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Radiologi
Pada Fluoroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300 cc
tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan
kostofrenikus. Pada efusi pleura subplumonal, meskipun cairan pleura lebih dari
300 cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diafragma kelihatan meninggi. Untuk
memastikannya, perlu dilakukan dengan foto thoraks lateral dari sisi yang sakit
(lateral dekubitus). Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai
monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinis
yang membaik dapat lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksaan foto thoraks.
2. Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsy
jalur perkutaneus. Biopsy ini dilakukan untuk menegtahui adanya sel-sel ganas
atau kuman-kuman penyakit.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Pengukuran kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total
paru, dan penyakit pleura pada tuberculosis kronis tahap lanjut.
4. Pemriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan
pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat
dinlai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan
cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopis biasanya dapt berupa cairan
hemoragi, eksudat dan transudat.
kmb 1

46
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan klien dengan efusi pleura adalah dengan mengatasi penyakit
yang mendasarinya, mencegah re- accumulation cairan dan mengurangi
ketidaknyamanan dan dispnea.

H. Asuhan Keperawatan
7. Pengkajian
a. Biodata
Sesuai dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul pada seluruh
usia. Status ekonomi (tempat tinggal) sangat berperan terhadap timbulnya
penyakit ini terutama yang didahului oleh tuberkulosis paru.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatik, gejala yang timbul sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan
demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritik, ketika efusi sudah membesar
dan menyebar kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang
besar akan mengakibatkan napas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi
trakea menjauhi sisi yang terkena, dullness pada
2) Riwayat kesehatan Dahulu
Klien dengan efusi pleura terutama akibat adanya infeksi non-pleura
biasanya mempunyai riwayat penyakit tuberkulosis paru.
3) Riwayat kesehatan Keluarga
Tidak ditemukan data peyakit yang sama ataupun diturunkan dari
anggota keluarganya yang lain, terkecuali penularan infeksi tuberkulosis
yang menjadi faktor penyebab timbulnya efusi pleura.
c. Pemeriksaan Fisik
a) Pada klien efusi pleura bentuk hemitorak yang sakit mencembung, kosta
mendatar, ruang interkosta melebar, pergerakan pernapasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemitorak kontralateral yang
diketahui dari posisi trakea dan iktus kordis. RR cenderung meningkat
dan klien biasanya dispneu.
b) Vokal premitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
kmb 1

c) Suara perkusi redup sampai pekak bergantung pada jumlah cairannya.


Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka pada
47
pemeriksaan ekskursi diafragma akan didapatkan adanya penurunan
kemampuan pengembangan diafragma.
d) Auskultasi suara napas menurun sampai menghilang

d. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja,
tetapi kadang-kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaan penunjang
seperti sinar tembus dada. Diagnosis yang pasti bisa didapatkan melalui
tindakan torakosentesis dan biopsi pada beberapa kasus.
1) Sinar Tembus Dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi
daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial,
pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang bisa berasal dari luar atau
dari dalam paru-paru itu sendiri. Hal lain yang dapat terlihat dalam foto
dada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang
berlawanan dengan cairan. Akan tetapi, bila terdapat atelektasis pada sisi
yang bersamaan dengan cairan, mediastinum akan tetap pada tempatnya.
2) Torakosentesis
3) Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun
terapeutik. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi
aspirasi adalah pada bagian bawah paru di sela iga ke-9 garis aksila
posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1.000- 1.500 cc pada setiap
kali aspirasi. Jika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak,
maka akan menimbulkan syok pleural (hipotensi) atau edema paru.
Edema paru terjadi karena paru- paru terlalu cepat mengembang.

Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat


Karakteristik Transudat Eksudat
Warna Kuning pucat, jernih Jernih, keruh, purulen, hemoragik
Bekuan - –/+
Berat jenis <1018 > 1018
Leukosit <1000/uL Bervariasi, > 1000 /uL
kmb 1

Eritrosit Sedikit Biasanya banyak

48
Hitung jenis MN (limfosit/metotel) Terutama polimorfonukl ear (PMN)
Protein total <50% serum >50% serum
LDH <60% serum >60% serum
Glukosa = plasma =/< plas,a
Fibrinogen 0,3-4% 4-6 % lebih
Amilase - > 50 % serum
Bakter - –/=

4) Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor
pleura. Bila hasil biopsi pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsi
ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran
infeksi atau tumor pada dinding dada.
5) Pendekatan pada efusi yang tidak terdiagnosis
6) Pemeriksaan penunjang lainnya
a) Bronkoskopi: pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses
paru.
b) Scanning isotop: pada kasus-kasus dengan emboli paru.
c) Torakoskopi (fiber-optic pleuroscopy): pada kasus dengan neoplasma
atau TBC.

8. Diagnosa Keperawatan
a. Pola Nafas tidak efektif
b. Risiko tinggi terhadap trauma
c. Nyeri akut
d. Kerusakan pertukaran gas
kmb 1

49
Daftar Pustaka

Ross and Wilson, 2011. Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi Adaptasi Indonesia. Penerbit
Salemba Medika Jakarta
Ross and Wilson, 2014. Buku Kerja Anatomi dan Fisiologi, edisi 3, edisi Bahasa Indonesia.
Penerbit Salemba Medika Jakarta
Brunner & Suddarth, 2006. Buku Ajar Medikal Bedah, edisi bahasa Indonesia, vol.8,
Jakarta.
Ganong, William F. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2008.
Guyton & Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Kusnanto. (2016). Modul Pembelajaran Pemenuhan Kebutuhan Oksigen. Mulyorejo,
Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

kmb 1

50

Anda mungkin juga menyukai