meskipun aku tak lagi berada disampingmu bayanganmu lah yang selalu membuatku merasa gelisah. 5 tahun berlalu kisah kita yang nyatanya tak pernah sejalan, mungkin memang benar kata orang. Ketika kita tak mampu untuk bergandengan mungkin kita hanya diijinkan untuk berjabat tangan. Hari ini entah kenapa setelah aku berusaha membuka lembar baru, sosokmu datang tepat dihadapanku membuat dinding pertahananku untuk melupakanmu runtuh tak terbendu. **** Pagi ini sinar mentari terasa sangat menyengat kulit meski waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Tetesan keringat yang turun disambut hangat oleh suara perut yang terus meronta meminta jatahnya. Masih cukup lama untuk terduduk pada barisan meja kantin ataupun sekedar duduk dibawah pohon mangga dengan segalas aqua. Berharap suara baritore itu berhenti mengucapkan amanahnya dan berganti pada doa untuk menutup upacara. "Vall kata Rara mau ada murid baru yang gantengnya kayak Gimmick " entah sudah berapa kali Alletha mengucapkan itu. Jiwanya masih terpacu untuk membahas lelaki yang sebentar lagi akan berdiri di podium untuk memperkenalkan diri. "Hmm" Sebenarnya baik Alletha, Rara, atau Balqis mengerti bahwa temannya itu sudah tahu tentang siswa baru yang tengah menjadi perbincangan seluruh siswa SMA Garuda. Bagimana tidak, lusa ketika ketiganya akan menjemput Valleri untuk mengerjakan tugas kelompoknya pada salah satu café, mereka melihat seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu yang dibalut sweater putih itu tengah memberikan tatapan tajam pada Valleri yang perlahan menghilang dibalik pintu mobilnya. Deru mobil Valleri tak mampu menyembunyikan kekesalannya pada lelaki itu. Bahkan serpihan hitam putih bamper mereka mengotori jalan perumahan Amareta, Jimbaran, Kuta Selatan, Bali. Awan hitam yang mulai menjatuhkan bebannya perlahan membuat lelaki tampan bak dewa Yunani itu berlari menjauhi bampernya yang terlihat mengenaskan. "Cantik tapi kasar, manis tapi keras kepala, menenangkan tapi juga .” Suara samar yang terdengar begitu lirih itu beradu dengan petikan suara gitar ditambah aroma kafein yang menenangkan. "Ngomong apa sih kamu dan, nggak denger aku!" "Noh soto mang Ujang enak.” **** Hari ini Valleri memutuskan untuk bangun lebih pagi, yang dia ingat hanya membuat roti bakar dengan segelas susu coklat untuknya dan Zevan. Setelah hari kelulusan dia memutuskan untuk satu fakultas dengan Zevan , bahkan mereka memilih apartemen yang bersebelahan. Membuat sarapan adalah rutinitas Valleri sebelum berangkat kuliah. Entah sejak kapan mereka dekat, mungkin karena dulu mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama meski karena terpaksa atau sejak kejadian dilapangan basket yang membuat status persahabatan mereka menjadi sepasang kekasih. “Vall aku tahu awal kita ketemu emang kaga ada bagus- bagusnya, sahabatan kita emang berantem terus tiap hari, yang kamu harus tau cukup satu Valleri” Zevan mengambil napas dalam dalam untuk meyakinkan diri sendiri atas perasaannya. Zevan menatap mata coklat Valleri lebih dalam, menggengam erat tangan mulusnya seakan berusaha mencari ketenangan. “Aku sayang kamu, Vall.” Sebuah senyum tipis tergambar pada wajah manis Valleri. Jiwanya terbang keawan-awan kala mengingat masa dimana Zevan terlampau romantis, mengingat sepersekian detik ketika Zevan memeluknya hangat dibawah guyuran air hujan, mengingat tangan besar Jordan ketika menggandengnya, bahkan aroma vanilla parfum Zevan bisa ia rasakan. Berapa banyak lagi hoodie dan sweater milik Zevan yang ia bawa pulang, harus berapa kali lagi pesan dan panggilan yang harus ia jawab. “Van mau beli soto ga?” “Ya uda tunggu ganti baju dulu ya” sambungan telepon itu diputuskan sepihak oleh Zevan. “Makasih mamang gofood” “Temenin ke geraja ya Vall” “Kapan?” “Mungkin nanti jam 8” “Ya uda aku sholat dhuha dulu” Valleri pergi meninggal Jordan untuk membersihkan bekas makannya dan mengambil air wudlu. “Zevan kamu ngapain sih deket-deket aku kan aku udah wudhu!” “Biar kamu wudhu lagi” “ZEVANNN!!” Sudah 4 kali Valleri mengambil wudhu tapi Zevan masih tak berhenti mengganggunya. Entah harus berapa kali lagi Valleri kembali ke kamar mandi. Hal seperti ini memang sering terjadi diantaranya, setelah Zevan lelah mengganggu baru Vallleri akan dibiarkan pergi tapi jika tidak? Kegiatan membatalkan air wudhu itu akan berlangsung lama. **** Setelah mendapatkan gelar sarjananya, Valleri memutuskan untuk pergi sejauh mungkin meninggalkan Zevan dan segala kenangannya. Hatinya sakit sekali ketika mengingat semua hal itu. Ia tak percaya lagi bahwa perbedaan diciptakan untuk saling melengkapi, justru karena perbedaanlah sebuah perpecahan terjadi. Valleri sadar bahwa saat ia mengucapkan alhamdulilah, Zevan hanya aamiin. Atau bahkan ketika Valleri mengucap assalamulaikum, Zevan hanya permisi. Tembok yang ia terjang memang setinggi itu, ia berharap bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik. “Kenapa kamu ingin meninggalkan Tuhanmu hanya karna kamu ingin bersamaku?” Suara tidak terima dari Valleri. “Maafkan aku. Tapi aku ingin hidup bersamamu.” “Kita nggak akan pernah bisa bersatu, Van.” Ucap Valleri menahan tangis. **** Jimbaran terasa hangat sore ini, deburan ombak yang seiras bak iringan musik romantis untuk penikmat senja. Tangan manis Valleri merengkuh tubuh mungilnya, seakan menguatkan dirinya pada kenyataan yang ada. Dulu ketika jimbaran adalah tempat untuk mereka saling mengejar justru sekarang jimbaran adalah tempat untuk menenangkan pikiran. Meski bukan mereka, Valleri! Hanya Valleri saja yang datang. Zevan tak pernah terlihat lagi meski selalu terlintas pada setiap angan dan sepertiga malam Valleri, entah untuk apalagi Valleri megingatnya. “Vall kenapa sih? Murung mulu kaga ada bahagia- bahagianya.” “Tau nih onta jawa diem-diem bae.” “Kamu tau ga si kata pepatah? Kalau murung terus cepat tua.” “Apaansi. Aku lagi ga mood aja” elak Valleri. “Affah iyahh?” “Tarik sist.” “Semongko!” tawa keempat sahabat ini pecah ketika mendengar ucapan Valleri. Jarak yang memisahkan keempatnya bukanlah hal yang sangat meresahkan, karena menurut mereka jarak adalah parameter rindu. Sebenarnya Valleri menyadari bahwa setelah perpisahanya dengan Zevan, seakan dunia juga merebut paksa kebahagiannya. Banyak cara yang ia lakukan hanya untuk melupakan Zevan, tapi semakin ingin melupakan malah bayangannya sering muncul pada pikiran. Bahkan Valleri menambah aktivitasnya hanya untuk membuat fisiknya lelah agar ketika malam datang ia cepat tertidur. **** “Valleri.” “Valll!” “Kamu kenapa sih Van? Kenapa sekarang kamu harus muncul dihadapanku lagi? Kenapa? Setelah semua usaha yang aku lakuin buat ngelupain kamu, kenapa kamu harus muncul lagi?” Pecah tangis Valleri. “Vall.” “Kamu tau Van gimana sesaknya hati aku waktu kamu bilang kamu mau mualaf agar bisa hidup bareng aku. Kamu bener-bener bikin hati aku sakit. Aku nggak mau kamu ninggalin Tuhan kamu, agama kamu cuman supaya bisa sama aku.” “Vall dengerin aku.” “Aku emang sayang banget sama kamu, aku cinta banget sama kamu, tapi aku sadar kalau kita nggak akan pernah bisa bersama. Kita itu beda, Van!” isak tangis Valleri tak bisa lagi ditahan, ia tak mampu mengendalikan emosi, kecewa, marah, benci menjadi satu. Pikir dan emosinya tak terima atas kedatangan Jordan namun hati dan nalurinya ingin merengkuh Zevan dalam dekapannya. “Aku pergi karena aku sadar Vall! Penghalang kita bukan Cuma keluarga tapi juga kepercayaan kita. Aku dateng lagi karna aku bener-bener ga bisa lupa dari kamu Val. Aku udah terlanjur sayang banget sama kamu. Apa kita bener-bener ga bisa bersatu, Val? Aku rela kalau harus mualaf, Val. Aku bener-bener ga bisa jauh dari kamu.” Emosi Zevan yang meluap. “Kamu udah gila? Itu sama aja kamu ngehianatin Tuhanmu. Aku gamau ngambil kamu dari Tuhanmu. Tuhan ku juga sangat melarang umatnya mencintai yang bukan umatnya.” valleri benar-benar kacau sekarang. “Terus aku harus gimana, Vall? Aku ngerasa hancur banget kalo nggak sama kamu.” “Kita masih bisa berteman, Zevan. Aku sama kamu masih bisa berteman baik. Dan kamu sebaiknya mencari pasangan yang seiman denganmu.” Ucap Valleri disela isakannya. Mata Zevan memanas, air matanya berhasil lolos. Ia tak bisa lagi menjadi Zevan yang kuat ketika berada pada situasi seperti ini. Rasanya dunia yang ia perjuangkan sia-sia, apa yang ia harapkan ditangkis paksa. Tembok yang sangat kuat telah menghacurkan hatinya dan kisah mereka ini sangat memilukan hati kedua belah pihak. Mereka tidak bisa saling memiliki. Ditakdirkan atau tidaknya hanya Tuhan yang bisa menjawab. **** “Rosario dan arah kiblat tidak pernah searah. Kita hanya seamin tapi tak seiman. Tuhan tak pernah jahat, kita yang menentang akal sehat.”