Anda di halaman 1dari 143

DAFTAR ISI

PRAKATA

BAB I PENTINGNYA MENGENAL SIAPA MANUSIA 5


BAB II HAKIKAT MANUSIA 7
BAB III SEBAGAI MAKHLUK CIPTAAN 12
BAB IV MAKHLUK KEKAL 15
BAB V STRUKTUR PERMANEN MANUSIA 19
BAB VI NURANI MANUSIA 24
BAB VII FUNGSI HATI NURANI 31
BAB VIII MAKSUD DAN TUJUAN ILAHI 38
BAB IX IMPLIKASI SEGAMBAR DENGAN ALLAH 42
BAB X STANDAR MORAL MANUSIA 47
BAB XI AGENDA DALAM PENCIPTAAN MANUSIA 51
BAB XII FIGURATIF POHON DI TENGAH TAMAN 61
BAB XIII PROGRESIVITAS MANUSIA 65
BAB XIV PENGERTIAN KEBEBASAN 69
BAB XV KEHENDAK BEBAS SEBAGAI TATANAN 76
BAB XVI KEMAMPUAN MEMPERTIMBANGKAN 83
BAB XVII KEDAULATAN MANUSIA 86
BAB XVIII TAKDIR DAN TANGGUNGJAWAB MANUSIA 89
BAB XIX HAKIKAT KERJA MANUSIA 97
BAB XX MANDAT BUDAYA 104
BAB XXI MANDAT PROKREASI MANUSIA 110
BAB XXII MANUSIA SEBAGAI ANAK ALLAH 117
BAB XXIII KESELAMATAN BAGI MANUSIA 121
BAB XXIV GAMBAR DIRI 126
BAB XXV PERJUANGAN PEMULIHAN GAMBAR DIRI 133
BAB XXVI PROSES PEMULIHAN GAMBAR DIRI 135
BAB XXVII PEMULIHAN GAMBAR DIRI DALAM KESELAMATAN 140

2
P R A K A TA

Doktrin mengenai manusia adalah doktrin yang sangat penting dan fundamental. Dari
pemahaman mengenai siapa dan bagaimana manusia itu, orang percaya dapat membangun
relasi yang benar dengan Tuhan. Tulisan dalam buku ini sebenarnya hasil dari penggalian
panjang selama bertahun-tahun mengajar sebagai dosen di Sekolah Tinggi Teologi, sebagai
pembicara di banyak kesempatan dan khususnya ketika saya harus menyusun pelajaran
pendalaman Alkitab di gereja Tuhan yang saya gembalakan. Dari bahan-bahan tersebut maka
tersusunlah buku ini. Jadi, tulisan dalam buku ini adalah hasil dari penggalian kebenaran Firman
Tuhan dalam waktu panjang selama studi di Sekolah Tinggi Teologi, perjalanan pelayanan
pastoral sebagai gembala jemaat, sebagai pembicara di banyak tempat dan lingkungan, serta
kehidupan sehari-hari dengan segala permasalahannya.

Sebenarnya bahan-bahan mengenai manusia ini sudah lama terkumpul, tetapi saya belum
merasa yakin untuk diwujudkan dalam bentuk buku, sebab saya merasa masih banyak bahan
yang harus ditambahkan di dalamnya. Sampai ketika saya merasa bahwa perbendaharaan isi
tulisan ini sudah lebih lengkap, maka saya wujudkan dalam bentuk buku. Saya juga masih
membuka diri untuk menerima kebenaran mengenai manusia guna melengkapi isi buku ini.
Alkitab adalah sumur kebenaran yang tidak pernah kering, kekayaan kebenaran Alkitab tidak
pernah habis sampai langit baru dan bumi yang baru dinyatakan, bahkan sampai kekekalan.

Tema mengenai manusia ini tentu saja sudah tidak asing bagi orang-orang Kristen.
Banyak khotbah, seminar, atau ceramah dan literatur yang membicarakan pokok ini. Oleh
karena banyak orang Kristen sudah merasa bahwa pemahaman mereka mengenai manusia
sudah cukup, maka mereka tidak lagi memperdalam pengertiannya mengenai manusia dari
Alkitab. Padahal pemahaman mereka mengenai manusia, selain belum memadai, juga belum
tentu sudah benar.

Sebenarnya, masih banyak yang harus diungkapkan mengenai manusia supaya


pemahaman mengenai pengajaran ini lebih lengkap. Tulisan ini diharapkan dapat melengkapi
apa yang selama ini sudah ditulis dan dipahami oleh banyak orang, sehingga pembaca
memperoleh manfaat bagi kehidupan iman Kristianinya. Saya menyadari bahwa tulisan dalam
buku ini bukanlah tulisan yang ringan seperti kebanyakan bacaan buku rohani, sebab tulisan ini
lebih bersifat dogmatis. Tentu saja ini cukup berat untuk dibaca jemaat awam apalagi pemula
atau orang Kristen baru. Tetapi saya mencoba untuk mengemas tulisan ini sedemikian rupa,
sesederhana mungkin, agar dapat menjangkau sebanyak mungkin kalangan pembaca dari
berbagai tingkatan dan latar belakang. Saya merasa bahwa sudah saatnya kebenaran disuarakan
dengan kuat, terang atau jelas, serta terbuka. Tentu dengan segala risiko yang harus dibayar.
Konsekuensi logisnya, bila suatu kebenaran dikemukakan maka ketidakbenaran akan terusik.
Bagaimanapun, mengemukakan kebenaran adalah tanggung jawab dan pembelaan kita bagi
Bapa dan Tuhan Yesus Kristus.
3
Dalam buku ini saya hanya sedikit menyinggung pandangan para teolog-teolog lain, tidak
seperti banyak buku-buku doktrin yang memenuhi halamannya dengan hanya menyoroti dan
membandingkan pandangan para teolog. Buku ini lebih banyak menganalisa ayat-ayat Alkitab
yang berbicara mengenai manusia. Dengan demikian, jemaat diajak bukan saja untuk
menganalisa dan mempelajari pandangan pikiran manusia, tetapi menggali kekayaan kebenaran
yang ditulis Alkitab.

Saya menyadari bahwa pembahasan mengenai manusia adalah pembahasan yang bersifat
progresif, jadi tidak menutup kemungkinan akan ada edisi berikutnya untuk lebih melengkapi
tulisan ini. Saya juga menyadari banyak hal yang masih harus ditambahkan di dalam buku ini
seiring dengan perjalanan waktu, di mana Tuhan akan menyingkapkan lebih banyak lagi rahasia
Firman-Nya mengenai siapa dan bagaimana manusia itu.

Jika pembaca mendapat kesulitan memahami isi buku ini, hendaknya pembaca tidak
putus asa. Pembaca dapat membaca berulang-ulang sehingga pengertian buku ini menjadi jelas.
Dengan doa dan ketekunan, Tuhan melalui Roh Kudus akan menolong kita untuk memahami
kebenaran mengenai siapa dan bagaimana manusia itu. Kiranya Tuhan menambahkan hikmat
dan marifat untuk memahami kebenaran-Nya lebih berlimpah.

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

4
BAB I

PENTINGNYA MENGENAL SIAPA MANUSIA

Pengertian mengenai siapa manusia sangatlah penting, sebab pengertian ini sangat
memengaruhi seluruh perilaku hidup seseorang. Pemahaman seseorang mengenai siapa dirinya
sebenarnya adalah dasar sebuah pertimbangan etis yaitu pengertian mengenai yang baik dan
yang buruk, yang patut dilakukan dan yang tidak patut dilakukan- serta tujuan kehidupannya.
Seseorang yang tidak mengenal siapa dirinya sesuai dengan kebenaran Alkitab, tidak akan
pernah menjadi pribadi yang berkenan di hadapan Tuhan, dan tidak akan pernah tahu tujuan
what is the reason of life. Inilah yang membedakan antara manusia dan hewan. Hewan tidak
memiliki landasan etika atau pertimbangan etis, sebab hewan tidak mengenal siapa dirinya, dan
tidak memiliki pilihan bagaimana menempatkan diri di hadapan Tuhan, serta tidak memiliki
tujuan hidup. Pertanyaan penting yang harus dijawab dalam kehidupan ini adalah who am I?

Seseorang yang mengenal siapa dirinya dengan benar berpotensi menempatkan diri di
hadapan Tuhan dengan benar pula. Menempatkan diri di hadapan Tuhan artinya mengerti
bagaimana seharusnya bersikap terhadap Tuhan dan sesama. Seseorang yang mengenal siapa
dirinya pasti berusaha mengenal lebih mendalam siapa Tuhan bagi dirinya, dan siapa dirinya
bagi Tuhan. Dengan demikian ia dapat menghormati Tuhan secara pantas. Hal ini merupakan
fondasi utama untuk berinteraksi dengan Tuhan dalam hubungan interpersonal yang seharusnya
terjalin, baik di bumi ini maupun di kekekalan nanti.

Seseorang yang mengenal dirinya dengan benar berpotensi memperlakukan dirinya


sendiri dan sesamanya dengan benar pula. Sebaliknya, orang yang tidak mengenal dirinya
sendiri tidak dapat menghargai dirinya dengan benar pula, yang sama artinya dengan tidak dapat
mengasihi dirinya sendiri. Orang yang tidak mengasihi dirinya sendiri tidak akan dapat
mengasihi sesamanya secara benar, sebab landasan mengasihi sesama adalah mengasihi diri
sendiri terlebih dahulu (Mat. 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri). Orang yang tidak mengasihi dirinya
sendiri berarti tidak memanusiakan dirinya dengan benar. Dengan demikian ia juga tidak akan
dapat memanusiakan orang lain. Biasanya, langkah hidup orang seperti ini dipenuhi dengan
tindakan yang melukai, mencelakai, merugikan, dan akhirnya dapat membinasakan dirinya
sendiri serta orang lain.

Pengenalan yang benar mengenai siapa manusia itu sebenarnya merupakan pijakan untuk
menemukan maksud rencana Allah menciptakan manusia, yaitu untuk membinasakan
pekerjaan Iblis; Lusifer. Mandat untuk menaklukkan bumi tentu bukan hanya aspek fisiknya,
tetapi juga aspek metafisiknya. Metafisik di sini maksudnya adalah alam roh atau alam rohani
yang memiliki peranan lebih besar dalam kehidupan, di mana terdapat oknum Iblis atau Setan
yang telah memberontak kepada Allah dan juga merupakan lawan yang tidak boleh dianggap

5
remeh. Adam memang dirancang untuk mengalahkan, menaklukkan, dan membinasakan Iblis.
Penjelasan mengenai hal ini akan dikupas lengkap dalam pembahasan mengenai corpus delicti.

Kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan saja membuat manusia tidak lagi memiliki
standar kebenaran dan kesucian yang Tuhan kehendaki, tetapi juga telah kehilangan
pengetahuan mengenai siapa dirinya. Manusia kehilangan pengetahuan mengenai rencana
Allah atas maksud penciptaan dirinya. Kalau sudah demikian keadaannya, maka manusia tidak
mampu membangun hubungan yang harmoni atau sebagaimana mestinya dengan Allah,
Penciptanya. Manusia juga tidak akan dapat membangun hubungan yang harmoni dengan
sesamanya dan alam lingkungannya. Sesungguhnya, pengertian mengenai siapa manusia itu
sebenarnya dapat menjadi landasan hubungan antara Allah dan umat, antara manusia dan
sesamanya, serta dengan alam ciptaan. Tanpa landasan hubungan yang benar ini maka
kehidupan menjadi rusak.

Manusia yang mengenal dirinya sebagai makhluk ciptaan yang diciptakan untuk melayani
Tuhan, akan mengelola alam ciptaan Tuhan sebagai sebuah tanggung jawab. Kalau hari ini
bumi dan alamnya menjadi rusak, hal ini disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yang tidak
mengelola alam dan melestarikannya dengan bijak. Pada umumnya, manusia tidak memahami
atau tidak mau mengerti bahwa tugas untuk mengelola alam ini adalah juga menjadi tanggung
jawabnya. Keserakahan manusia telah merusak ekosistem bumi ini dalam skala yang semakin
besar. Jika hari ini banyak bencana alam, itu pun disebabkan oleh karena perbuatan manusia itu
sendiri.

Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus merupakan proses ditemukannya kembali


pengetahuan mengenai siapa manusia. Melaluinya, manusia dapat dikembalikan kepada
rancangan semula atau tujuan awal Allah menciptakan manusia. Itulah sebabnya orang percaya
harus belajar untuk mengenal dengan benar siapa dirinya menurut Alkitab. Selain itu juga harus
terus berusaha untuk bertumbuh menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Oleh
sebab itulah, selama tiga setengah tahun Tuhan Yesus mengajarkan Injil untuk membuka
pengertian manusia agar memahami kebenaran mengenai bagaimana manusia yang
dikehendaki oleh Allah Bapa. Tuhan Yesus adalah model manusia yang berkenan kepada Allah
bagi semua orang yang bersedia gambar dirinya dipulihkan melalui proses pemuridan yang
dituntun oleh Roh Kudus dan Injil-Nya. Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana menjadi
manusia yang dikehendaki oleh Bapa dan juga memperagakannya.

6
BAB II

HAKIKAT MANUSIA

Sebelum lebih mendalam membahas pokok ini, ada baiknya terlebih dahulu memahami
pengertian kata hakikat. Hakikat menunjuk kepada inti dasar dari sesuatu. Kalau dikenakan
pada manusia, hakikat berarti unsur dasar atau esensial yang memberi nilai pada manusia, yang
menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari diri manusia itu. Berbicara mengenai
hakikat manusia, hal tersebut menunjuk kepada rancangan awal manusia diciptakan, bagaimana
manusia diciptakan pada mulanya, dan maksud penciptaan manusia itu.

Banyak pandangan dari berbagai sumber mengenai hakikat manusia, baik dari perspektif
filsafat maupun perspektif teologis berbagai agama. Bagi orang percaya, pandangan mengenai
hakikat manusia harus berpijak hanya pada Alkitab sebagai satu-satunya landasan. Dalam kitab
Kejadian 1:26-27; 2:7 yaitu bagian dari catatan Alkitab yang memuat pernyataan Allah
mengenai penciptaan alam semesta beserta isinya, dimana manusia termasuk di dalamnya,
terdapat penjelasan mengenai hakikat manusia tersebut.

Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kata-
kata yang digunakan untuk "gambar dan rupa" di dalam teks asli Alkitab, Bahasa Ibrani adalah
tselem demuth (‫)צלם דמותה‬. Dua kata ini digabung tanpa kata penghubung, tetapi kalau secara
terpisah tselem sering diartikan sebagai gambar, sedangkan demuth artinya keserupaan atau
kemiripan. Kata tselem hendak menunjuk gambar dalam arti bahwa komponen-komponen yang
dimiliki Allah yang juga dimiliki manusia; yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak. Dalam
Perjanjian Baru kata tersebut diterjemahkan eikona theou (εικόνα θεού). Kata tselem lebih
menunjuk kepada bentuk gambaran atau image.

Adapun demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas komponen-
komponennya (pikiran, perasaan, dan kehendak). Kata demuth lebih menunjuk kepada
kemiripan (Ing. fashion, like, similitude). Keserupaan yang sama seperti kemiripan lebih
menunjuk kepada kualitas moral. Demuth adalah variabel dari tselem manusia (pikiran,
perasaan, dan kehendak). Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia ini bukan sesuatu
yang sifatnya statis, tetapi progresif. Kemiripan ini (demuth) mengalami proses perkembangan.
Jadi, proses pendewasaan menuju kesempurnaan sudah terjadi atau berlangsung sejak manusia
pertama di Taman Eden, yaitu sebelum manusia dinyatakan berdosa atau meleset (Yun.
hamartano ; artinya tidak lagi mampu bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan).

Manusia dirancang untuk memiliki Tselem dan Demuth seperti Allah (Elohim). Itulah
sebabnya dalam Kejadian 1:26 Firman Tuhan menyatakan: Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan
di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi." Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah (Elohim)
7
menghendaki manusia berkeadaan seperti diri-Nya, yaitu memiliki gambar dan rupa ( tselem
dan demuth) Elohim.

Manusia diciptakan lebih mulia dari segala sesuatu yang Allah ciptakan. Manusia adalah
citra dan mahkota dari segala ciptaan Allah. Dalam diri manusia dilengkapi komponen-
komponen yang tidak ada di dalam makhluk lain, dimana komponen-komponen tersebut juga
ada di dalam diri Allah. Dikatakan segambar dengan Allah, jelas mengindikasikan bahwa
manusia memiliki keberadaan dan kemampuan seperti Allah. Tentu saja kualitas dan skala yang
ada pada Allah jauh lebih besar dan sempurna. Kemuliaan atau keagungan yang dimiliki oleh
manusia terletak pada kesegambaran dan keserupaan dengan Allah.

Rancangan Allah (Elohim) adalah bahwa manusia diciptakan berkeadaan segambar dan
serupa dengan diri-Nya. Namun demikian, faktanya dalam penciptaan, Elohim hanya
menciptakan "gambar" dalam diri manusia. Kejadian 1:27 tertulis: "Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka." Dalam ayat ini ditunjukkan kepada kita, bahwa Allah
menciptakan manusia hanya gambarnya (tselem) saja. Adapun kualitas dari gambar manusia
yaitu rupanya (demuth) menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri untuk membangunnya.
Dengan demikian, sesungguhnya manusia bukanlah makhluk yang diciptakan tanpa
tanggungjawab. Manusia diberi tanggungjawab untuk mencapai apa yang harus dicapai, yaitu
membangun pikiran, perasaan, dan kehendaknya (tselem) agar serupa dengan Tuhan.
Keserupaan itulah demuth-nya.

Kalau dipersoalkan, bukankah Allah (Theos) adalah Roh adanya, sehingga kesegambaran
dan keserupaan dengan siapakah yang harus manusia itu miliki? Jawabnya adalah segambaran
dan keserupaan dengan Pribadi Kedua dari Elohim Yahweh tersebut. Kesegambaran tersebut
bukan hanya menyangkut aspek batiniah atau rohaniahnya saja, tetapi juga secara fisik.
Sangatlah besar kemungkinan sebelum berinkarnasi menjadi manusia, Anak Tunggal Bapa
memang memiliki bentuk fisik seperti manusia saat ini. Jadi, bentuk yang ada pada manusia
saat ini adalah bentuk paling sempurna. Itulah sebabnya para malaikat juga memiliki bentuk
yang sama. Tentu saja Anak Tunggal Bapa juga berkeadaan sama dengan Bapa, tetapi yang
dimaksud dengan berkeadaan sama di sini adalah berkeadaan sama dalam moral-Nya. Anak
Tunggal Bapa sebelum berinkarnasi telah memiliki keserupaan dengan Bapa dalam kualitas
moral-Nya atau kesucian-Nya. Sebelum berinkarnasi sebagai manusia, Ia sudah teruji sebagai
Anak Tunggal Bapa yang berkenan kepada Bapa. Sebelum berinkarnasi menjadi manusia yaitu
pra-natal Anak Tunggal Bapa adalah yang sulung di antara banyak saudara, Adam adalah anak
Allah juga. Dalam hal ini, sebenarnya betapa hebat keberadaan manusia itu.

Komponen-komponen yang ada pada Elohim khususnya yang ada pada Anak Tunggal-
Nya juga ada pada manusia, antara lain kecerdasan (rasio) atau intelektual. Hal ini
memampukan manusia berpikir, berlogika, dan menganalisis. Berikutnya, manusia juga
memiliki perasaan dan emosi, hal inilah yang membuat manusia dapat memiliki rasa sayang,
benci, cemburu, cinta, marah, dan lain-lain. Dari dua komponen tersebut yaitu pikiran dan

8
perasaan maka manusia dapat memiliki kehendak. Dengan kehendak (will) tersebut manusia
dapat memilih dan mengambil keputusan. Kehendak manusia ini adalah kehendak bebas untuk
memilih (Latin: Liberum arbitrium), maksudnya adalah manusia dengan kehendaknya dapat
memilih mematuhi Tuhan atau memberontak terhadap-Nya. Fragmen yang tertulis dalam
Kejadian 3 mengenai kejatuhan manusia, memberi bukti dengan sangat jelas bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan atau memilih, dan
akhirnya manusia harus bertanggung jawab atas setiap keputusan dan pilihannya, serta dengan
segala konsekuensi dan risikonya.

Banyak penjelasan dari para teolog mengenai dua kata tersebut (tselem dan demuth).
Tetapi pada umumnya kata-kata itu diartikan tunggal (bersinonim), bahwa manusia diciptakan
segambar dengan Allah (Ing. In His own image. Latin: Imago Dei; similitudo). Segambar
dengan Allah juga dapat diartikan sederhana, yaitu "mirip seperti Tuhan sendiri". Gambar Allah
atas manusia inilah yang memberi nilai pada manusia (The image of God is what makes man).
Inilah letak keagungan manusia atau kemuliaannya. Kemuliaan manusia ini adalah kemuliaan
Allah atau dengan kata lain manusia memancarkan kemuliaan Allah.

Pikiran adalah komponen dalam diri manusia yang memampukan manusia berlogika,
sedangkan perasaan merupakan komponen dalam diri manusia untuk dapat merasa. Dari pikiran
dan perasaan ini maka manusia dapat memiliki kehendak, mengingini sesuatu, memilih, dan
mengambil keputusan. Komponen-komponen di atas (pikiran, perasaan, dan kehendak) inilah
yang memberi nilai pada manusia, sehingga manusia berpotensi untuk dapat memiliki kodrat
Ilahi, artinya bisa bersifat seperti Allah. Bersifat seperti Allah bukan berarti manusia memiliki
level yang dapat menyamai Allah, tetapi manusia dapat memiliki potensi seperti yang dimiliki
oleh Allah.

Jadi, ketika manusia dinyatakan jatuh dalam dosa, sebagai akibatnya kemuliaan tersebut
hilang atau berkurang atau tidak tepat seperti yang dikehendaki oleh Allah. Dalam teks Bahasa
Yunani, kata kehilangan atau berkurang ini adalah hustereo (Rm. 3:23) Gambar Allah
merupakan sesuatu yang inheren di dalam diri manusia yaitu sesuatu yang tidak dapat
dilepaskan dari diri manusia. Itulah sebabnya walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa, tidak
dinyatakan bahwa gambar Allah tselem telah hilang sama sekali, tetapi berkurang kualitasnya
seperti yang Allah kehendaki.

Dalam Kejadian 9:6, Alkitab mencatat bahwa siapa yang menumpahkan darah manusia,
darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-
Nya sendiri. Dalam teks aslinya (Kej. 9:6) kata "gambar" adalah tselem (‫)צלם‬. Hal ini
menunjukkan bahwa sekalipun manusia telah jatuh dalam dosa tetapi manusia masih memiliki
komponen yang juga ada pada Allah. Komponen-komponen itu tidak hilang yaitu pikiran,
perasaan dan kehendak. Adapun yang hilang atau kurang adalah kemuliaan Allah atau keadaan
dimana manusia tidak serupa dengan Allah yang berkodrat Ilahi. Manusia tidak mampu
menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya sesuai dengan pikiran, perasaan Allah dan

9
kehendak-Nya. Jadi, sesungguhnya yang memberi nilai pada diri manusia sebagai anak Allah
yang berkodrat Ilahi adalah kualitas dari gambarnya, yaitu pada demuth-nya.

Memperjelas uraian di atas, perlu diamati Kejadian 5:3, yang tertulis: "Setelah Adam
hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan
gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya." Kata "rupa dan gambar" dalam teks aslinya
(Kej. 5:3) adalah tselem dan demuth( ‫)צלם דמותה‬. Set memiliki rupa dan gambar Adam, bukan
rupa dan gambar Allah. Hal ini hendak menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh Adam
segambar dengan "diri Adam", yang sama kualitasnya dengan Adam yang sudah jatuh dalam
dosa. Tselem dan demuth-nya sama dengan Adam, yaitu kualitas manusia yang telah jatuh
dalam dosa yang tidak bisa lagi bertumbuh atau berkembang untuk mencapai kualitas tselem
demuth seperti yang dikehendaki oleh Allah.

Sejak manusia berdosa maka kemuliaan Allah telah hilang, artinya manusia tidak mampu
mencapai standar kesucian Allah. Tetapi manusia tidak kehilangan kemuliaan manusia.
Manusia masih bisa menjadi manusia yang beradab yang jauh lebih mulia dari hewan.
Pengertian ini penting, sebab dalam proses keselamatan atas gambar Allah yang rusak ini
dipulihkan kembali (Lat. Restitutio imaginus Dei). Pikiran, perasaan, dan kehendak manusia
yang rusak atau cacat diberi kemampuan untuk dipulihkan atau diproses menjadi seperti demuth
Allah atau berkualitas seperti kualitas yang Allah kehendaki.

Oleh karena kejatuhannya, manusia telah menjadi manusia yang kehilangan kemuliaan
Allah, artinya gambar Allah telah rusak (Rm. 3:23). Kata berdosa dalam teks tersebut adalah
hamartano; yang artinya meleset, melukai hati, dan hilangnya tanda. Ini berarti manusia telah
menyimpang atau meleset dari kehendak Allah. Gambar Allah yang rusak mengakibatkan
manusia tidak mampu mencapai kesucian Allah. Hal ini melukai hati Allah, sebab manusia
tidak mampu melakukan sesuatu secara tepat seperti yang dikehendaki oleh Allah. Padahal,
inilah maksud tujuan manusia diciptakan. Kejatuhan manusia membuat manusia kehilangan
"tanda". Tanda ini bisa menunjuk kepada kodrat Ilahi atau keberadaan dimana manusia bisa
mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau mengenakan kodrat Ilahi.

Sejak kejatuhannya, komponen-komponen yang dimiliki manusia tidak lagi digunakan


untuk melakukan kehendak Allah yaitu untuk kesenangan dan kepuasan-Nya tetapi untuk apa
yang dirasakan menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Ini berarti manusia tidak lagi
melayani dan mengabdi kepada Tuhan secara benar. Pada dasarnya, dosa membuat manusia
membuka peluang untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai tuan atau majikan. Karakter
manusia menjadi rusak, tidak segambar lagi dengan Allah. Manusia terkunci dalam kondisi
tidak mampu mencapai kesucian Tuhan.

Keselamatan dalam Yesus Kristus dimaksudkan agar karakter manusia yang rusak dapat
diperbaiki kembali. Inilah proses pemulihan gambar Allah (Lat. Restitutio imaginus Dei).
Dalam proses keselamatan, Tuhan Yesus bukan hanya menyelamatkan jiwa dan roh dari neraka,
tetapi juga karakter atau watak manusia. Justru jika seseorang mengalami proses keselamatan,

10
maka hal itu nyata dalam perubahan karakter atau watak secara bertahap dan terus menerus
untuk kembali serupa dengan Allah sejak masih di dunia. Dalam hal ini Tuhan Yesus adalah
modelnya.

11
BAB III

SEBAGAI MAKHLUK CIPTAAN

Dalam kitab Kejadian terdapat prinsip penting yang yang harus diperhatikan berkaitan
dengan hakikat manusia. Manusia adalah hasil karya Allah (Elohim) (Kej. 1:26-27; 2:7).
Manusia adalah hasil karya dari tangan agung Sang Khalik. Untuk ini, harus dicamkan bahwa
bagaimanapun manusia berbeda dengan Allah. Allah adalah khalik dan manusia adalah
makhluk ciptaan hasil karya-Nya. Manusia tidak pernah sejajar dengan Allah. Hierarki ini tidak
boleh diubah dan tidak akan pernah bisa diubah. Manusia diciptakan dari tidak ada menjadi
ada. Dalam Bahasa Ibrani, salah satu kata untuk "menciptakan", yang digunakan dalam kitab
Kejadian adalah bara. Kata ini artinya menciptakan tanpa bahan. Bahan di sini bukan hanya
berarti bahan materialnya, tetapi juga idenya. Kata bara menunjuk suatu kreasi yang bersifat
inovasi atau sebuah penemuan awal. Kata bara menunjuk tindakan Allah dalam mengadakan
sesuatu yang tadinya belum ada menjadi ada. Dalam istilah Latin terdapat kata creatio ex
nihilo, artinya diciptakan dari keadaan ketiadaan dari tidak ada menjadi ada. Hanya Allah yang
Mahacerdas yang dapat melakukan penciptaan dengan kualitas demikian. Kesadaran terhadap
fakta creatio ex nihilo ini seharusnya membuat seseorang bersikap rendah hati di hadapan
Tuhan semesta alam. Dan hal yang luar biasa jika dilihat dari asal muasal roh manusia, yaitu
pada waktu penciptaan manusia, Allah menghembuskan roh kepada manusia, jadi roh manusia
berasal dari Allah (Ibr. 12:9, Bapa segala roh), maka penciptaan manusia dapat juga disebut
dengan creatio ex Deo . Jadi harus selalu direnungkan: Siapakah manusia itu? Who am I?
Manusia eksis karena adanya tangan yang mendesainnya, yaitu tangan Tuhan.

Manusia adalah umat yang harus menyembah dan memuja Penciptanya, adapun Sang
Khalik adalah Allah (Elohim Yahweh) yang menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Allah
tidak pernah berubah menjadi manusia secara permanen atau sebaliknya. Kalau Allah Anak -
yaitu Tuhan Yesus turun ke bumi- Dia hanya sementara waktu menjadi manusia, kemudian Dia
kembali ke surga; kembali ke keadaan-Nya semula. Dalam hal ini nyata bahwa manusia
bukanlah eksistensi yang berdiri sendiri (independent). Manusia ada karena Allah yang
menghendaki manusia itu ada dan selamanya berkeadaan sebagai manusia yang harus ada pada
tempat yang semestinya di hadapan Allah, Penciptanya, secara tetap atau permanen.

Manusia diciptakan dengan cara yang sangat unik, tidak seperti ciptaan-Nya yang lain.
Manusia diciptakan dengan tangan Tuhan sendiri (Kejadian 2:7). Kata "menciptakan" atau
membentuk dalam Kejadian 2:7 adalah yatsar(‫)ייעצר‬, yang mengandung pengertian aktifitas
yang kreatif. Allah membentuk, yang juga berarti mengukir (Ing. to carve). Di dalam kata
yatsar mengandung unsur seni. Kemudian Allah menghembuskan nafas ke lubang hidung
manusia, sehingga manusia menjadi makhluk hidup.

Manusia bukanlah hasil proses evolusi suatu proses perubahan makhluk hidup secara
bertahap dalam kurun waktu yang panjang dari bentuk yang sederhana, menjadi bentuk yang
12
lebih kompleks atau dari binatang tingkat rendah kepada bentuk binatang tingkat tinggi.
Manusia adalah hasil karya tangan Tuhan yang ajaib. Pengakuan ini penting, agar orang percaya
tidak terhanyut oleh filsafat dunia yang menolak keberadaan Allah (nihilistik) dan tidak
mengakui bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Dengan
demikian Teori Evolusi Ilmiah (Naturalist Evolution) adalah teori yang menyesatkan dan
memicu orang menjadi ateis (tidak percaya terhadap eksistensi atau keberadaan Allah).

Ajaran penciptaan yang benar adalah penciptaan oleh Allah sendiri. Ini adalah penciptaan
Teistis, berbeda dengan Teori Evolusi Ateis. Penciptaan Teistis berdasarkan pada Alkitab,
bahwa Allah adalah sumber yang menciptakan segala sesuatu; yaitu terang, daratan dan lautan,
binatang di udara, di laut, di darat, dan manusia. Pada mulanya manusia diciptakan sepasang;
Adam dan Hawa. Sehingga semua manusia hari ini merupakan satu ras manusia, yang
diturunkan dari pasangan manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa (Kej. 3:20; 7:23; 9:1, 19;
10:32; Kis. 17:26; Rm. 5:12-19; Ibr. 2:16). Semua manusia mempunyai satu jenis entitas yang
khusus dan khas, berbeda dari ciptaan Allah yang lain, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Manusia diciptakan melalui sebuah musyawarah dan pertimbangan dalam diri Allah
(Kej. 1:26-27). Oleh sebab itu kalau dalam ayat tersebut tertulis: Tuhan berkata: "Baiklah Kita
menjadikan manusia ... " Kata "Kita" menunjukkan "Pribadi Allah" yang jamak. Musyawarah
ini menunjuk bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang sangat unik sekaligus "dahsyat"
(Kej. 1:26-27). Di dalam pernyataan ini tersimpul bahwa hakikat manusia adalah luar biasa,
yang memiliki perbedaan dari ciptaan Allah yang lain.

Musyawarah dan pertimbangan ini bisa juga berarti tuntunan Bapa kepada Tuhan Yesus
untuk menciptakan langit dan bumi. Hal ini didasarkan pada tulisan Yohanes bahwa segala
sesuatu ada karena Logos, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Tanpa Dia, tidak ada sesuatu pun yang
jadi (Yoh. 1:1-3). Di lain pihak, Tuhan Yesus menyatakan bahwa Anak tidak bisa berbuat apa-
apa kalau tidak melihat apa yang Bapa lakukan, artinya Anak bisa melakukan segala sesuatu
karena Bapa yang memberi petunjuk (Yoh. 5:19). Tentu saja yang dikatakan oleh Tuhan Yesus
bukan hanya berkisar segala hal yang menyangkut karya-Nya di atas muka bumi ini, tetapi juga
karya-Nya sejak dunia dijadikan bersama Bapa. Tuhan Yesus juga menegaskan bahwa Bapa
yang memiliki kuasa, kemuliaan, dan Kerajaan. Bapa memercayakan kepada Anak Tunggal-
Nya untuk memerintah sejak zaman purbakala, sejak zaman dahulu kala (Mik. 5:1-2). Akhirnya
harus ditegaskan di sini bahwa Tuhan Yesuslah Pemilik kehidupan ini.

Orang percaya tidak perlu bingung bila tertumbuk dengan kata "Kita" dalam teks
tersebut. Memang di dalam Allah (Elohim), selain menjadi Pribadi Bapa terdapat juga Pribadi
Anak yang turun ke dunia menjadi manusia untuk menebus dosa manusia. Keraguan menerima
fakta bahwa Allah bukan satu dalam arti matematis, disebabkan oleh konsep mengakar yang
dikampanyekan agama lain yang mengatakan bahwa Allah tidak mungkin memiliki anak dan
Allah tidak mungkin lebih dari satu. Padahal bukan hal yang sulit Bapa memperanakkan pribadi
lain. Hal ini tidak boleh dipahami secara kodrat manusiawi. Dalam pembahasan mengenai
Kristologi dijelaskan bahwa Allah Anak atau Yesus keluar dari Bapa.

13
Orang percaya harus jujur mengakui bahwa Alkitab Perjanjian Lama adalah satu-satunya
sumber kebenaran yang daripadanya Kekristenan berakar. Dari Perjanjian Lama jelas
menunjukkan bahwa dalam lembaga atau institusi Allah atau Elohim( ‫ )אלוהים‬terdapat lebih
dari satu Pribadi (Kej. 1). Jadi, musyawarah ini juga menunjukkan bahwa segala konsekuensi
dan risiko penciptaan manusia telah dipertimbangkan dan diperhitungkan oleh Penciptanya.
"Musyawarah" di sini menunjuk kepada kenyataan betapa berartinya manusia ini di mata Allah.
Oleh karenanya atas hasil karya-Nya Allah mengevaluasi dan menyatakan "sungguh sangat
amat baik". Dalam Bahasa Ibraninya adalah wehinneh tov meod - ‫( והינח טוב מאוד‬Kej. 1:31).

Jika Tuhan memandang bahwa manusia "sungguh sangat amat baik", maka manusia
harus menghargai dirinya sendiri secara benar. Menghargai diri sendiri secara benar sama
artinya mengasihi diri sendiri secara benar berdasarkan Firman Tuhan. Orang yang mengasihi
diri sendiri dengan benar akan dapat mengasihi sesamanya juga dengan benar. Untuk dapat
menghargai diri sendiri secara benar, seseorang harus mengerti bagaimana Tuhan mengasihi
manusia dan menemukan maksud tujuan dirinya diciptakan. Cara Tuhan mengasihi manusia
adalah mengembalikan manusia menjadi manusia sesuai dengan rancangan-Nya atau maksud
semula manusia diciptakan. Orang yang mengasihi sesamanya dengan benar juga akan
mengupayakan bagaimana sesamanya dapat diselamatkan, yaitu dikembalikan ke rancangan
Allah semula.

14
BAB IV

MAKHLUK KEKAL

Selain Tuhan, tidak ada hal lain yang lebih dahsyat dari kekekalan. Di antara kedahsyatan
Tuhan juga karena faktor ini, bahwa Tuhan adalah kekal. (Mzm. 93:1-5; Yes. 40:28). Kekekalan
menunjuk sebuah masa yang tidak berdurasi. Dunia yang akan datang nanti adalah sebuah
negeri yang berdurasi kekal. Satu hal yang menarik adalah ternyata suku-suku bangsa di dunia
memiliki keyakinan bahwa di balik kehidupan di dunia ini masih ada kesadaran atau kehidupan
selanjutnya. Ini sebuah konsep universal, walau konsep-konsep mereka agak kacau bahkan
kacau sama sekali, namun demikian dari tradisi-tradisi mereka nampak keyakinan adanya
kehidupan di balik kematian. Rupanya manusia memiliki nurani yang bisa menyadari dan
menghayati realitas kekekalan ini walau mereka tidak mengenal kebenaran Alkitab. Dalam hal
ini pada dasarnya atau prinsipnya manusia adalah makhluk kekal (immortal).

Para penganut skeptisisme menolak adanya realitas kekekalan ini, karena mereka
menganggap bahwa hal ini adalah mitos yang lahir dari agama-agama dan kepercayaan kuno.
Kelompok agnotisisme menolak adanya realitas kekekalan karena menurut mereka hal ini tidak
dapat dibuktikan secara sains. Dan segala sesuatu yang tidak dibuktikan secara sains adalah
nonsense (omong kosong). Orang-orang yang berpendirian seperti ini, tidak mungkin berurusan
dengan Tuhan secara benar. Sebaliknya, orang yang memercayai fakta kekekalan pasti berusaha
untuk berdamai dengan Tuhan guna persiapan untuk kehidupan kekalnya. Banyak orang
Kristen yang sebenarnya belum sepenuhnya meyakini adanya kekekalan.

Sebagian ilmuwan juga menolak realitas kekekalan ini, sebab menurut mereka kematian
mengakibatkan rusaknya fungsi otak. Ini berarti menurut mereka manusia tidak lagi
berkemampuan untuk berpikir, sehingga bagi mereka setelah mati, tidak ada lagi kesadaran.
Hal tersebut menurut mereka, membuktikan bahwa tidak ada kehidupan di balik kematian.
Persepsi manusia yang tidak mengenal kebenaran ini tidak dapat dipercayai. Patut
dipertimbangkan bahwa hidup ini penuh dengan misteri, bukan hanya yang tidak kelihatan,
yang kelihatan pun penuh rahasia yang mengagumkan. Kekekalan adalah misteri kehidupan
yang harus dipercayai, sebab Tuhan yang mengatakannya.

Realitas kekekalan inilah yang seharusnya membuat manusia menjadi gentar menghadapi
hidup ini. Kegentaran yang mendorong manusia berlindung kepada Tuhan. Kegentaran tersebut
berangkat dari kesadaran bahwa pertaruhan hidup ini sangat mahal. Kalau orang main judi
dengan taruhan kecil, maka perjudian tersebut tidak beresiko. Tetapi kalau taruhannya tinggi,
maka permainan tersebut menjadi sangat berisiko. Hidup ini memuat pertaruhan yang sangat
tinggi yaitu kekekalan , surga kekal atau neraka kekal. Hal ini sungguh-sungguh menggetarkan.
Tuhan mengajar orang percaya untuk memiliki kegentaran terhadap kenyataan ini, kenyataan
adanya kebinasaan. Supaya sejak hidup di bumi orang percaya sudah mempersiapkan diri
menghadapi kekekalan sedini mungkin.
15
Tuhan Yesus berkata: "Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat
membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia
yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka" (Mat. 10:28). Kata
"membinasakan" dalam ayat ini adalah apollumi (απολλυμι) yang artinya to destroy fully.
Adapun kata "neraka" di ayat ini adalah gehenna yang artinya the place of everlasting
punishment (tempat penghukuman selamanya). Dalam Alkitab King James diterjemahkan hell,
yang dalam Bahasa Yunaninya gehenna. Kata gehenna berasal dari kata Bahasa Ibrani ge-
hinom. Disinyalir oleh beberapa ahli bahwa kata ini berarti "meratap". Lembah Ben-Hinom
adalah sebuah lembah atau jurang yang terletak di bagian selatan Yerusalem, pusat
penyembahan berhala pada zaman raja-raja (2Raj. 23:9-10). Di tempat inilah diselenggarakan
persembahan korban anak-anak kepada Dewa Molokh yang menjijikkan di hadapan Tuhan
(2Taw. 28:3; 33:6). Karena upacara-upacara yang pernah diadakan di tempat tersebut, maka
tempat dan nama itu menjadi lambang api neraka. Api yang digunakan membakar anak-anak
yang dikorbankan bagi Dewa Molokh memberi inspirasi neraka. Tempat tersebut juga dikenal
sebagai "lembah pembunuhan atau pembinasaan" (Yer. 7:31-32 The Valley of Slaughter).

Bagi orang Yahudi, kata gehenna mempunyai pengertian tempat penghukuman bagi
orang-orang berdosa. Kata gehenna biasanya hampir selalu menunjuk tempat penyiksaan.
Tempat yang disediakan bagi orang-orang jahat. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia, gehenna
yang diterjemahkan "neraka", ditulis sebanyak dua belas kali, sebelas di antaranya diucapkan
oleh Tuhan Yesus sendiri (Mat. 5:22, 29-30; 10:28). Ayat-ayat lain dalam Alkitab Perjanjian
Baru yang menyebut neraka, antara lain: Matius 18:9; 23:15, 33; Markus 9:43, 45, 47; Lukas
12:5; Yakobus 3:6. Kata gehenna sering disertai keterangan tambahan yang dikalimatkan
dengan "api yang menyala-nyala" atau kata "api". Hal ini menunjukkan bahwa tempat ini adalah
tempat hukuman kekal (Ing. everlasting punishment). Gehenna ini bisa menunjuk tempat
terakhir penghukuman setelah penghakiman. Kata gehenna dalam Bahasa Inggris
diterjemahkan hell. Kata hell menjadi lebih populer dibanding gehenna sendiri.

Konsep tentang tempat penghukuman yang diilustrasikan secara dramatis mengerikan ini
baru muncul dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama syeol tidak selalu dianggap
menjadi tempat penyiksaan atau tempat penghukuman. Kalaupun syeol juga diisyaratkan
sebagai tempat penghukuman, tetapi tidak diilustrasikan secara dramatis mengerikan seperti
gehenna. Gehenna inilah tempat pembuangan permanen bagi mereka yang tidak diperkenan
tinggal dalam Kerajaan Bapa. Sebaliknya, Kerajaan Surga adalah kekekalan yang indah selama-
lamanya (Why. 22:5; 7:17; 21:4). Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa penderitaan zaman
sekarang tidak ada artinya dibanding dengan kemuliaan yang akan kita terima (Rm. 8:18).
Tetapi kata syeol bila dibandingkan dengan kata hades (dunia orang mati), kata syeol lebih
mengisyaratkan keadaan yang lebih mengerikan.

Manusia memiliki unsur kekekalan yang dari Allah (Kej. 2:7). Karena Tuhan adalah
kekal, maka manusia yang diciptakan segambar dengan diri-Nya dirancang untuk
berkeberadaan yang sama juga. Ketika manusia diciptakan, padanya Tuhan menghembuskan

16
nafas hidup ke dalam hidungnya. Nafas yang dihembuskan Allah kepada manusia adalah unsur
kekekalan dalam diri manusia, sehingga manusia berkeadaan sebagai makhluk yang kekal.
Tidak ada sesuatu yang lebih dahsyat dalam kehidupan ini lebih dari fakta kekekalan tersebut.
Karena fakta ini maka Tuhan Yesus berkata dalam Matius 16:26: "Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya
sebagai ganti nyawanya?" Nyawa dalam teks aslinya adalah psukhe, yang sama artinya dengan
jiwa. Inilah tselem manusia. Dalam jiwa ada pikiran, perasaan, dan kehendak. Kebinasaan
dalam teks ini maksudnya adalah bahwa keterpisahan dari Tuhan juga mengakibatkan manusia
tidak dapat menikmati dan mengembangkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya baik di bumi
ini maupun di kekekalan (langit baru dan bumi yang baru). Jiwanya dibelenggu oleh Iblis dalam
penderitaan abadi.

Mati bukanlah seperti orang tidur. Setelah mengalami kematian secara jasmani, manusia
tetap memiliki dan mengalami kesadaran kekal. Dalam hal ini manusia diperhadapkan kepada
realitas, yaitu sengsara kekal atau bahagia kekal (Dan. 12:2; Why. 20:13-15). Oleh karena itu
harus dimengerti bila satu jiwa bertobat maka malaikat di surga bersukacita (Luk. 15:7). Tentu
pertobatan yang dimaksud di dalam ayat ini bukan sekadar berubah menjadi baik, tetapi
mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-10) atau mengenakan kodrat Ilahi (2Ptr.
1:3-4). Orang-orang seperti ini barulah dapat disebut sebagai anak Allah yang sah.

Dengan keberadaannya sebagai makhluk kekal, manusia harus bertanggung jawab atas
pilihan dan keputusan-keputusannya Kehidupan ini benar-benar sebuah keadaan yang berisiko
tinggi, sebab manusia diperhadapkan kepada surga kekal atau neraka kekal. Dengan kesadaran
terhadap fakta ini, maka seseorang lebih berhati-hati dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan harus dipahami sebagai keadaan yang berisiko sangat tinggi. Dengan memahami
hal ini, maka seseorang cenderung tidak menjadi ceroboh. Kehidupan harus diterima bukan
sebagai "gambling", seperti judi yang sifatnya spekulatif atau untung-untungan. Masuk surga
abadi bukanlah keberuntungan dan masuk neraka kekal bukanlah kecelakaan. Nasib kekal
manusia adalah pilihan dan tanggung jawab setiap individu. Setiap orang harus menetapkan
apakah dirinya akan bersama dengan Tuhan dalam kekekalan atau terbuang dari hadirat-Nya
selama-lamanya di kegelapan abadi. Bagaimanapun setiap orang harus memilih dan
menentukan nasib kekalnya.

Orang yang mengabaikan fakta ini adalah orang-orang bodoh yang tidak berakal.
Sesungguhnya sejak hidup di dunia ini sudah nampak gejala-gejala seseorang akan beroleh
kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Dari keputusan, pilihan, dan tindakan hidup seseorang
nampak apakah ia menuju Kerajaan Terang atau kerajaan kegelapan yang kekal. Dengan
demikian harus diterima bahwa hidup ini tidak bertepi. Kehidupan yang tidak bertepi adalah
realitas yang sangat dahsyat dan benar-benar menggetarkan.

Hidup tidak bertepi sama artinya dengan hidup tidak terbatas, yang mengandung yang
rahasia kehidupan yang penting untuk dimengerti dan direnungkan. Mengapa penting? Sebab
berangkat dari pemahaman tentang hidup yang tidak bertepi ini, seseorang menyelenggarakan

17
hidupnya. Banyak orang tidak mengerti atau tidak mau mengerti rahasia kehidupan ini. Jika
seseorang tidak mengerti rahasia hidup ini, berarti ia berjalan atau hidup dalam kegelapan.
Sehebat apa pun seseorang, tetapi kalau tidak memahami realitas kekekalan ini, hidupnya di
dalam kegelapan.

Mengapa hidup ini tidak terbatas, apakah artinya? Artinya, pertama, bahwa manusia
adalah makhluk kekal. Dalam Kejadian 2:7 Allah menghembuskan nafas ( nishmat khayyim )
sehingga manusia menjadi makhluk yang kekal. Kedua, manusia adalah makhluk yang diberi
Tuhan kehendak bebas. Dengan kehendak bebas tersebut manusia menentukan nasibnya atau
keadaan hidupnya. Keberadaan ini mengandung risiko yang luar biasa dahsyatnya. Ini adalah
keadaan yang sangat dahsyat. Manusia diperhadapkan kepada surga kekal atau neraka kekal.

Adanya surga kekal atau neraka kekal berarti manusia dibawa kepada kemungkinan
tinggal dalam persekutuan dengan Tuhan di keabadian-Nya atau tinggal bersama dengan musuh
Allah yaitu Iblis di keabadiannya. Manusia diperhadapkan kepada kemungkinan kebahagiaan
yang tidak terbatas, tak terbayangkan atau siksaan yang tidak terbatas dan tidak terbayangkan.
Tuhan Yesus mengidentifikasi tempat itu sebagai tempat berapi di mana ulat tidak mati (Mrk.
9:44,46,48). Dalam hidup manusia hari ini, manusia berdosa diberi kesempatan bertobat dan
berbalik kepada Tuhan kemudian mengalami perbaikan dan penyempurnaan yang tidak terbatas
atau kalau manusia menolak bertobat menjadi rusak tidak terbatas. Bagi yang mau bertobat dan
dimuridkan, akan diproses kepada kebaikan atau kesempurnaan tidak terbatas sebagaimana
Kristus yang kesempurnaan-Nya tidak terbatas. Sebaliknya, kalau seseorang menolak bertobat
maka ia dirusak oleh Iblis dalam kerusakan yang tidak terbatas, sebagaimana Iblis yang
kejahatannya tidak terbatas.

Oleh karena dalam hidup ini manusia berhadapan dengan Tuhan yang tidak terbatas,
maka mereka diperhadapkan pula kepada hal-hal yang tidak terbatas pula. Manusia
diperhadapkan kepada hidup yang dihujani anugerah yang tidak terbatas atau laknat yang tak
terbatas. Hidup ini bisa menjadi manis atau pahit. Manis tak terbatas atau pahit tidak terbatas.
Seseorang bisa dipakai Tuhan tidak terbatas sesuai dengan anugerah yang Tuhan percayakan
kepada seseorang atau dipakai Iblis tidak terbatas pula.

Menyadari hal ini maka orang percaya bisa mengerti betapa luar biasa hidup ini. Hidup
tidak bisa atau tidak boleh diperlakukan secara sembrono atau ceroboh. Oleh karena itu Paulus
berkata dalam Efesus 5:15-17 "Karena itu perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup,
janganlah seperti orang bebal tetapi seperti orang arif atau bijaksana ... sebab itu janganlah
kamu bodoh tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan." Kalimat "perhatikan
dengan saksama bagaimana kamu hidup" dalam teks aslinya berbunyi blepete oun pos akribos
peripatiete. Pos peripatiete bisa berarti "bagaimana kebiasaan perilakumu" - "How we walk".
Tuhan menghendaki agar orang percaya menghargai hidup ini dengan cara hidup sesuai dengan
kehendak Tuhan dan berjalan dengan Tuhan. Alkitab menuntun orang percaya kepada jalan ini.

18
BAB V

STRUKTUR PERMANEN MANUSIA

Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan yang tiada henti mengenai struktur permanen
manusia. Hal ini merupakan rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan
formulasinya dengan sempurna. Di sini ditemukan dua pandangan yang diakui oleh gereja-
gereja, yaitu teori dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima
teori dikhotomi, bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu manusia batiniah dan manusia
lahiriah atau unsur materi dan non materi. Tetapi gereja-gereja di Timur menganut pandangan
teori trikhotomi. Dikatakan bahwa manusia terdiri dari 3 unsur, yaitu roh (unsur religius), jiwa
(unsur psikologis), dan tubuh (unsur fisik). Sebaiknya, kita tidak terjebak dalam berpihak
kepada salah satu dari pandangan di atas.

Tentu masing-masing pandangan di atas memiliki argumentasi yang menggunakan


landasan Alkitab. Sangat besar kemungkinan pandangan gereja di Barat dipengaruhi oleh
filsafat Yunani yang ikut memberi warna teologinya. Filsafat Yunani lebih sering membagi
manusia dalam dua realitas, yaitu realitas yang kelihatan atau materi dan realitas yang tidak
kelihatan, yaitu dunia ide yang dianggap lebih mulia. Pandangan ini lahir dari gagasan seorang
filsuf yang dipandang dan diakui dunia sebagai filsuf hebat sepanjang zaman. Pandangan yang
platonis merusak bangunan berpikir Kristiani dalam kehidupan banyak orang Kristen, dimana
mereka memandang bahwa yang bersifat bendani itu bernilai rendah. Padahal Tuhan yang
menyatakan semua yang diciptakan sungguh amat baik. Dengan pernyataan ini bukan berarti
orang percaya boleh mencintai dunia dan terikat dengan dunia ini.

Pandangan lain yang cukup populer adalah pandangan monisme. Monisme berpandangan
bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Menurut pandangan ini,
manusia tidak dapat dibagi atas beberapa unsur. Menurut faham ini sebutan tubuh, jiwa, dan
roh hanya sebagai sinonim. Monisme menolak dualisme atau trialisme atas diri manusia. Oleh
sebab itu monisme juga tidak percaya adanya kenyataan "keadaan sementara"
(intermediate state), yaitu terpisahnya jiwa dan roh dari tubuh pada saat kematian sampai Tuhan
Yesus datang kembali. Di sini manusia dipandang sebagai kesatuan secara psikofisik.

Sebenarnya memang sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari dua atau
tiga unsur. Sebab kalau mencoba untuk membagi manusia secara mutlak dalam beberapa unsur
atau unit, maka akan terjadi kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas totalitas yang
tidak terpisahkan, tetapi juga bukan satu dalam arti hanya berunsur satu komponen saja seperti
pandangan monisme. Berdasarkan berita Alkitab, ternyata memang ada unsur-unsur yang
tergabung dalam diri makhluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur itu adalah roh, jiwa, dan
tubuh (1Tes. 5:23), ini disebut trikhotomi yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi
dua saja, yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah (2Kor. 4:16). Dalam teori dikhotomi, roh
dan jiwa disatukan.
19
Sebagai kerangka untuk memahami struktur permanen manusia ini, maka perlu
dijelaskan bagaimana Tuhan menciptakan manusia; Tuhan menghembuskan nafas hidup (Ibr.
neshamah) ke sosok tubuh yang terbuat dari tanah liat, kemudian manusia menjadi makhluk
yang hidup. Ketika roh (Ibr. Neshamah) kontak dengan tubuh, maka manusia menjadi makhluk
yang hidup (Kej. 2:7). Hal ini paralel dengan proses pembuahan. Dalam proses pembuahan,
sperma (benih pria) bertemu dengan ovum atau sel telur (benih wanita). Pertemuan ini
menghasilkan zigot yang menjadi janin. Zigot inilah bakal tubuh manusia yang pada mulanya
sangat kecil, tidak kelihatan kalau tidak menggunakan kaca pembesar. Dalam zigot terdapat
roh, itulah sebabnya bisa dikatakan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak terbentuknya janin.
Di dalam kandungan, proses terbentuknya anak manusia sudah mulai berlangsung. Roh
manusia atau unsur kehidupan membuat zigot berkembang. Pada waktu bayi baru lahir yaitu
setelah sembilan bulan ia sudah memiliki tubuh dan roh, tetapi jiwanya belum lengkap atau
belum sadar sepenuhnya. Jiwanya masih kosong, demikian pula dengan hati nurani yang ada
pada roh atau neshamah-nya juga belum terbentuk sama sekali. Neshamah adalah rumah untuk
hati nurani. Dalam Bahasa Ibrani ada dua kata yang dapat diterjemahkan "roh". Pertama adalah
ruakh. Kata ini lebih menunjuk kepada pribadi dan unsur kehidupan. Sedangkan kata kedua
adalah neshamah (‫)נשמח‬. Neshamah lebih menunjuk kepada unsur kesadaran pada manusia,
yang memuat hati nurani atau letak hati nurani. Dengan demikian, hati nurani ada di dalam
bagian terdalam kehidupan manusia, yaitu di dalam rohnya (neshamah).

Ketika seorang anak manusia baru lahir, roh atau neshamah-nya belum berkualitas sama
sekali atau belum memiliki isi, sebab hati nuraninya belum terbentuk sama sekali. Seiring
dengan perjalanan waktu, ketika jiwa menjadi lengkap sehingga memiliki kesadaran maka jiwa
mulai mendapat masukan atau isi. Dari kesadaran ini, jiwa menyerap segala sesuatu melalui
jendela jiwa- yaitu panca indera khususnya mata dan telinga. Masukan yang terbanyak ke dalam
jiwa akan mewarnai hati nurani. Dari hal ini, kita pahami bahwa hati nurani seseorang baru
terbangun atau terbentuk dalam rohnya ketika jiwanya mendapat isi atau masukan. Di sini
kualitas neshamah mulai ada, yaitu tergantung dari apa yang dimasukkan ke dalam neshamah-
nya.

Kalau dianalogikan, pada lampu terdapat beberapa komponen, yaitu komponen fisik
yang kelihatan, arus listrik, dan terang atau cahaya. Pertemuan antara arus listrik dan komponen
fisik menghasilkan terang. Terang atau cahaya lampu itu ada karena pertemuan antara arus
listrik dan komponen yang kelihatan. Terang adalah jiwa itu. Jiwa adalah kesadaran (self-
consciousness). Jiwa inilah tempat pikiran, perasaan, dan kehendak yang menjadi penghubung
antara nurani di dalam neshamah (roh) dengan jendela jiwa, yaitu indera manusia. Pada waktu
bayi lahir, jiwa atau kesadarannya belum lengkap, tetapi seiring dengan perjalanan waktu
kesadarannya menjadi lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa bukan sesuatu yang statis,
tetapi progresif, sejajar dengan pertumbuhan fisik. Dari jiwa membentuk nurani. Nurani ini ada
di dalam neshamah atau roh manusia. Sesungguhnya neshamah manusia yang mengendalikan
seluruh tubuh atau kehidupan seseorang, sebab di dalam neshamah inilah terdapat cara berpikir.

20
Dalam Kejadian 2:7 diungkapkan cara Tuhan menciptakan manusia. Setelah Tuhan
membentuk fisik atau tubuh manusia, lalu Tuhan menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Kata "nafas hidup" (breath
of life), dalam Bahasa Ibrani nephes khayah. Nephes khayah juga digunakan untuk menunjuk
kehidupan pada binatang, tetapi tentunya untuk manusia sangat berbeda, sebab hembusan nafas
terjadi dari Allah sendiri yang menghembuskannya. Dalam salah satu terjemahan Bahasa Ibrani
nephes khayah tertulis sebagai nishmat khayyim. Kata khayyim adalah bentuk jamak dari khay
yang artinya hidup. Mengapa dikatakan khayyim bukan khay saja? Jawabnya ada dua
kemungkinan:

Pertama, menunjukkan bahwa di dalam diri manusia ada dua komponen kehidupan, yaitu
roh dari Allah dan nyawa yang disebut insan manusia yang bertalian dengan panca indera dan
keinginan daging. Dengan penjelasan ini dapat dimengerti mengapa Paulus berbicara mengenai
keinginan daging dan keinginan roh (Gal. 5:16-26). Kemungkinan yang kedua adalah bahwa
Tuhan menempatkan roh yang memampukan manusia menggandakan rohnya melalui proses
perkawinan sehingga dapat dilahirkan manusia lain dengan jenis roh manusia yang sama.
Sesungguhnya ini adalah suatu keajaiban yang luar biasa. Seandainya manusia tidak menerima
hembusan nafas Allah, apakah manusia bisa menjadi makhluk yang bernyawa? Mengapa tidak
bisa? Bukankah hewan diciptakan Tuhan tanpa hembusan nafas juga menjadi makhluk hidup
yang bernyawa (Kej. 1:21-24)? Seandainya manusia tidak menerima hembusan nafas Allah,
manusia menjadi binatang yang cantik dan ganteng. Fisiknya manusia tetapi karakternya tidak
berbeda jauh dengan hewan. Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan yang sangat mencolok antara
manusia dengan hewan, manusia menerima hembusan nafas Allah sedangkan binatang tidak.

Hanya manusia yang memiliki roh dari Allah, tetapi binatang tidak memiliki roh dari
Allah. Oleh sebab itu kualitas hidup manusia harus lebih tinggi dari kualitas hidup binatang.
Manusia adalah mahkota dari ciptaan Allah. Kenyataan ini sangat luar biasa. Oleh sebab itu
manusia tidak boleh memiliki kualitas moral seperti binatang yang menjadikan sesamanya
sebagai mangsa (homo homini lupus). Martabat manusia bukan hanya terletak pada keberadaan
fisiknya yang luar biasa, tetapi juga moralnya. Apakah arti hembusan dari Allah dalam Kejadian
2:7 itu? Kalau manusia menghembuskan udara, perlu menarik oksigen terlebih dahulu, tetapi
kalau Allah tentu tidak. Kalau Allah menghembuskan sesuatu, maka ada sesuatu yang keluar
dari diri-Nya. Inilah "roh" dari Allah itu. Itulah sebabnya dikatakan bahwa debu kembali
menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya (Pkh.
12:7). Kata kembali dalam teks aslinya shub( ‫) שוב‬, yang berarti juga kembali kepada asalnya.

Oleh penjelasan di atas ini maka dapat dimengerti yang dimaksud oleh kitab Ibrani
bahwa Allah disebut sebagai Bapa segala roh. Dari Allah mengalir atau keluar roh yang menjadi
roh manusia (Ibr. 12:9). Roh dari Allah yang menjadi roh manusia inilah yang membuat
manusia berkeberadaan segambar dengan Allah dan memiliki kemampuan untuk mengerti
kehendak Tuhan; apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Roh manusia yang berasal
dari Allah bukan hanya kekuatan yang menghidupkan tetapi juga memuat nurani yang terbentuk
oleh pikiran, perasaan, dan kehendak yang sesuai dengan Allah. Jadi di dalam roh manusia ini

21
terdapat nurani yang terdalam yang menyuarakan suara Tuhan. Itulah sebabnya Amsal
mengatakan bahwa "Roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk
hatinya"(Ams. 20:27). Kata "roh" manusia dalam teks aslinya adalah neshamah, sama dengan
kata neshamah dalam Kejadian 2:7.

Selama bertahun-tahun para teolog Kristen menentang keras kalau ada usaha untuk
mencoba menyejajarkan Allah dengan manusia. Memang benar, Allah tidak bisa disejajarkan
dengan apa pun dan siapa pun. Apalagi disejajarkan dengan ciptaan-Nya, seperti manusia.
Tetapi sikap tersebut jangan sampai menjadi ekstrem sehingga gagal menempatkan manusia
pada proporsinya. Tanpa disadari, manusia ditempatkan sekadar sebagai makhluk ciptaan yang
tidak memiliki unsur ke-Ilahian sama sekali, seakan-akan sama dengan ciptaan Allah yang lain.
Unsur ke-Ilahian artinya unsur-unsur yang ada pada Allah sebagai "Master Plan"-nya, unsur-
unsur itu adalah kemampuan moralnya.

Alkitab jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah.
Pernyataan ini sendiri sudah memberi indikasi bahwa pasti ada unsur-unsur yang ada pada
Allah juga ada pada manusia. Dengan unsur-unsur yang ada pada Allah juga ada pada manusia,
menjadikan manusia sekutu Allah, dimana manusia dapat memiliki hubungan interaktif
interpersonal dengan Allah secara jujur, natural, dan harmoni. Dalam Alkitab dikatakan bahwa
Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Lebih tegas dan bisa dipandang kontraversi, Paulus
menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis, 17:28-29). Kata keturunan dalam
teks aslinya adalah genos, yang artinya keturunan (Ing. offspring, race, stock, descendants),
kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum, Pernyataan ini bukan
bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus sendiri -rasul yang
dapat dipercaya memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah- menyatakan demikian.

Pernyataan Paulus tersebut bukan tidak berdasar, sebab kalau kita memperhatikan kisah
penciptaan manusia maka didapati bahwa "roh" manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari
sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi "dikeluarkan" dari dalam diri Allah. Jadi
roh manusia adalah roh berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan diciptakan,
sebab keluar dari diri Allah ketika Allah menghembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7). Tentu saja
ketika Allah menghembuskan "sesuatu" tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu. Dalam hal
ini berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar. Itulah sebabnya
dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-
Nya dengan cemburu. Allah menghendaki roh manusia kembali kepada-Nya dan menjadi
milik-Nya, sebab memang roh itu milik-Nya. Dengan demikian, bisa dimengerti tulisan dalam
Pengkhotbah 12:7 yang mengatakan: "dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh
kembali kepada Allah yang mengaruniakannya."

Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa Allah adalah Bapa segala roh, artinya semua roh
yang ada berasal dari Dia, termasuk roh manusia berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya pula
dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah "manusia Allah" (Ing. man of
God; Yun. Anthrope tou theou) (1Tim. 6:11). Maksudnya, manusia Allah di sini bukan berarti

22
manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, tetapi manusia bisa memiliki karakter
atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya. Manusia adalah makhluk yang sangat berharga
di mata Allah Bapa. Tentu kalau berharga di mata Allah Bapa berarti memang sangat berharga
adanya. Allah tidak menghargai sesuatu yang memang tidak memiliki nilai. Keberhargaan itu
didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah anak-anak-Nya sendiri. Di dalam diri
manusia Allah menempatkan roh yang berasal dari diri-Nya (Kej. 2:7; Yak 4:5). Dari kenyataan
bahwa Allah menempatkan roh yang berasal dari diri-Nya pada manusia, secara tidak langsung
menempatkan manusia sebagai bagian dari diri dan hidup Allah sebagai Bapa, sebagaimana
anak-anak adalah bagian hidup dari orang tua. Itulah sebabnya Allah Bapa menghendaki roh
itu kembali kepada-Nya (Pkh. 12:7). Dengan demikian bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela
memberikan Putra Tunggal-Nya.

Hal tersebut di atas jelas menunjukkan seakan-akan nilai jiwa manusia seharga dengan
nilai Putra Tunggal-Nya. Padahal nilai Putra Tunggal-Nya tak terhingga, sebab Dia adalah
Anak Tunggal-Nya. Dalam hal ini seakan-akan demi menyelamatkan manusia Allah Bapa
memberikan diri-Nya sendiri. Dengan demikian betapa mahal harga keselamatan yang Tuhan
berikan tersebut. Itulah sebabnya manusia tidak boleh menyia-nyiakan keselamatan yang begitu
besar yang diberikan Allah kepada dunia ini (Ibr. 2:3). Dengan memahami hal ini maka
seseorang dapat menghargai dirinya sendiri dengan benar, sebab menyadari betapa mulia
dirinya itu. Itulah sebabnya kita tidak boleh membuat diri merasa berharga karena faktor lain
(kedudukan atau pangkat, gelar, penampilan, kekayaan, popularitas, dan lain sebagainya).
Manusia berharga sebab memang manusia bernilai tinggi sebagai keturunan Allah sendiri.

Banyak orang menghargai diri secara salah, yang justru berakibat menyia-nyiakan
hidupnya. Pada umumnya manusia menghargai diri dengan membuat dirinya dihormati orang
lain. Untuk itu dibutuhkan sarana, antara lain kedudukan atau pangkat, gelar, penampilan,
kekayaan, popularitas, dan berbagai hal yang dianggap sebagai nilai lebih. Itulah sebabnya
manusia bergerak setiap hari untuk mencapai hal-hal tersebut. Inilah sebenarnya yang disebut
sebagai haus kehormatan sampai pada tingkat gila hormat. Dengan gaya hidup seperti ini
seseorang membinasakan dirinya. Kalau seseorang sudah tidak menghargai dirinya secara
benar dan mengalihkan penghargaan kepada hal-hal lain, dia tidak pernah mengenal
keselamatan yang Tuhan berikan. Keselamatan yang Tuhan sediakan, diajarkan hanya untuk
menyelamatkan kehidupan di bumi ini. Inilah Teologi Kemakmuran yang salah.

Sesungguhnya, keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada


rancangan-Nya yang semula. Rancangan semula Allah adalah menjadikan manusia berkeadaan
sebagai anak-anak Allah dengan kualitas hidup yang berstandar hidup sebagai anak-anak Allah.

23
BAB VI

NURANI MANUSIA

Berbicara mengenai antropologi hal ini tidak bisa dipisahkan dari nurani, Sebab ini
adalah komponen penting dalam kehidupan manusia. Nurani, kata yang tidak asing di telinga
banyak orang. Kata ini bersinonim dengan hati nurani, ada pula yang menyebut sebagai suara
hati. Banyak orang mempercakapkan, tetapi mereka tidak memahami yang dimaksud dengan
hati nurani itu. Dalam Bahasa Indonesia, kata "hati nurani" ini sangat besar kemungkinan
berasal dari bahasa di Timur Tengah, khususnya Bahasa Arab. Dari Bahasa Arab diperoleh kata
nur, artinya cahaya atau terang. Dari kata inilah terbangun kata "nurani". Dalam hal ini, sejak
dulu sudah terdapat pemikiran bahwa hati nurani menunjuk kepada terang atau cahaya yang
memberikan keinsyafan terhadap kondisi moral seseorang.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.I.S Poerwadarminta), hati nurani artinya
hati yang telah mendapat cahaya atau terang Tuhan. Biasanya orang menyamakan kata hati dan
nurani. Dalam Bahasa Ibrani terdapat kata yang bertalian dengan kata nur, yaitu kata nir (‫)ניר‬,
artinya pelita. Kata yang yang bertalian dengan kata nir dalam Bahasa Ibrani adalah neharah
(‫)נחרה‬. Dalam Bahasa Latin, nurani atau hati nurani ini terjemahan dari conscientia, kata ini
berasal dari kata kerja scire yang artinya mengetahui dan awalan con yang berarti bersama-
sama dengan atau turut. Jadi, conscientia berarti turut mengetahui untuk menunjukkan
kesadaran.

Dari kata conscientia dalam Bahasa Inggris terbangun kata conscience, yang dalam
Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai hati nurani atau suara hati. Dalam Perjanjian Baru,
baik hati nurani maupun suara hati diterjemahkan suneidesis (συνειδησης). Kata suneidesis
sebenarnya berasal dari dua kata, yaitu sun artinya bersama atau turut serta, dan eido yang
berarti mengetahui. Jadi suneidesis berarti ikut bersama tahu. Suneidesis memiliki pengertian
yang sama dengan conscientia. Dalam Bahasa Inggris, kata suneidesis dapat diterjemahkan
coperception (bersama memahami) dan moral consciousness (kesadaran moral).

Dalam Perjanjian Lama, kata "hati nurani" hanya terdapat dalam Mazmur 16:7. Kata itu
dalam teks aslinya adalah kilyah ( ‫)קיליח‬. Kata ini berbentuk jamak, yang berarti kidneys
(ginjal). Dalam Alkitab Bahasa Inggris, ada yang menerjemahkan reins. Satu hal yang sangat
menarik sekali, bahwa ginjal dalam tubuh manusia berfungsi mengeluarkan dan memisahkan
produk buangan metabolisme dari darah. Betapa pentingnya ginjal bagi tubuh manusia. Tanpa
ginjal, maka darah tidak bisa bersih sehingga tubuh akan teracuni. Hal ini sama dengan fungsi
hati nurani yang bisa memisahkan apa yang baik dan buruk. Kata kilyah juga berarti rein
(kekang atau pengontrol). Hal ini sejajar dengan fungsi hati nurani sebagai pengontrol sikap
dan perilaku kehidupan seseorang. Tetapi kalau hati nurani seseorang tidak dewasa, apalagi
kalau rusak, maka manusia tersebut tidak memiliki keinsyafan batin yang baik, sehingga tidak
dapat menjadi pengontrol yang baik pula dari perilakunya.
24
Hati nurani berfungsi sebagai pengontrol sikap dan perilaku kehidupan seseorang. Kalau
hati nurani seseorang tidak dewasa, maka manusia tersebut tidak memiliki keinsyafan batin
yang baik, sehingga tidak dapat menjadi pengontrol yang baik pula dari perilakunya. Hati
nurani adalah kemampuan yang dimiliki manusia dari fenomena pengertiannya mengenai moral
untuk menetapkan dan memutuskan apa yang baik dan buruk secara subyektif. Secara subyektif
artinya masing-masing individu memiliki cara pandang mengenai kebaikan yang khas, sesuai
dengan pengertiannya terhadap kebenaran atau filosofi hidup yang diserapnya. Hati nurani bisa
dikatakan sebagai inti pengertian seseorang terhadap apa yang dianggapnya benar atau salah,
apa yang bernilai tinggi dan yang tidak bernilai, kebenaran atau bukan kebenaran. Hati nurani
juga sebagai perumus nilai-nilai kehidupan, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Itulah
sebabnya hati nurani dapat menuduh, mencela, dan menegur.

Hati nurani juga memberikan hukuman atau bertindak seperti hakim, sebab hati nurani
yang merumuskan hukum dan sekaligus menjadi institusi dalam diri manusia untuk menetapkan
sesuatu itu salah atau benar. Hati nurani juga berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol
kehidupan seseorang. Hati nurani adalah polisi kehidupan yang menunjukkan kesalahan dan
langkah yang harus ditempuh.

Untuk memahami mengenai letak hati nurani, perlu sekali mengerti mengenai struktur
permanen manusia. Sebenarnya memang sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri
dari dua atau tiga unsur, sebab manusia sebuah "personalitas totalitas" yang tidak terpisahkan,
tetapi juga bukan satu dalam arti hanya satu unsur saja. Berdasarkan Alkitab, ternyata memang
ada beberapa unsur yang tergabung dalam diri makhluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur
itu antara lain roh, jiwa, dan tubuh (1Tes. 5:23), teori ini disebut trikhotomi. Di lain pihak ada
sebagian ahli penganut teori dikhotomi yang cukup membagi manusia menjadi dua unsur saja,
yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah. Dalam teori dikhotomi, roh dan jiwa disatukan.
Kedua teori ini memiliki landasan dari Alkitab. Untuk lebih mudahnya memahami struktur
permanen manusia, kita membagi manusia dalam tiga bagian. Tentu pembagian ini tidak secara
mutlak, sebab manusia sebuah personalitas totalitas; suatu kesatuan yang tidak terbagi-bagi.

Pada waktu bayi baru lahir -yaitu setelah sembilan bulan dalam kandungan- ia sudah
memiliki tubuh dan roh, tetapi jiwanya belum lengkap atau belum sadar sepenuhnya. Jiwanya
masih kosong, demikian pula dengan hati nurani yang ada pada roh atau neshamah-nya, juga
belum terbentuk sama sekali. Neshamah adalah rumah untuk hati nurani. Dalam Bahasa Ibrani
ada dua kata yang dapat diterjemahkan roh. Pertama adalah ruakh. Kata ini lebih menunjuk
kepada pribadi dan unsur kehidupan. Sedangkan kata kedua adalah neshamah (‫)נשמח‬.
Neshamah lebih menunjuk kepada unsur kesadaran pada manusia, yang memuat hati nurani
atau letak hati nurani. Dengan demikian, hati nurani ada di dalam bagian terdalam kehidupan
manusia, yaitu di dalam rohnya (neshamah).

Dari pertimbangan individu, yang paling banyak dimasukkan ke dalam neshamah-nya


melalui jiwa, membentuk atau membangun hati nuraninya. Pertimbangan individu maksudnya

25
adalah apa yang dipandang baik atau buruk, indah atau tidak indah, menguntungkan atau
merugikan, membahagiakan atau tidak membahagiakan, memiliki nilai tinggi atau bernilai dan
tidak bernilai, mulia atau hina, sopan atau tidak sopan, dan lain sebagainya. Tentu yang
dimasukkan kedalam neshamah-nya adalah apa yang dipandang positif. Dalam hal ini ada
proses pertimbangan yang hasilnya dimasukkan ke dalam neshamah-nya. Anak-anak yang
belum memiliki pendirian karena pola berpikirnya (mindset) belum terbentuk maka lingkungan
pertama yaitu orang terdekat biasanya orangtua yang mewarnai jiwa dan hati nuraninya. Setelah
pola berpikir (mindset) cukup dewasa, maka diri sendirilah yang memutuskan apa yang
dimasukkan ke dalam neshamah-nya.

Hati nurani memiliki nilai atau ukuran value dalam kehidupan ini, yaitu cara memandang
sesuatu. Nilai-nilai ini terbangun sejak kecil, ketika seorang anak manusia mulai memiliki
kesadaran. Orang pertama yang mengajarkan nilai-nilai adalah orangtua. Dalam hal ini keluarga
adalah tempat pendidikan hati nurani yang pertama. Dalam keluarga seorang anak manusia
mulai memiliki kesadaran mengenai yang baik atau buruk, indah atau tidak indah,
menguntungkan atau merugikan, membahagiakan atau tidak membahagiakan, memiliki nilai
tinggi atau bernilai dan tidak bernilai, mulia atau hina, sopan atau tidak sopan, dan lain
sebagainya. Dari hal ini seorang anak manusia mulai menimbang apa yang harus dimasukkan
ke dalam roh atau neshamah-nya. Ketika masih kanak-kanak, pertimbangan-pertimbangannya
belum kokoh dan cita rasa jiwanya belum permanen. Dari hal ini seseorang memiliki pola
berpikir. Selanjutnya, lingkungan pendidikan, pergaulan, dan berbagai sumber dari berbagai
media (internet, televisi, media sosial, dan lain sebagainya) mengisi jiwa yang kemudian
dimasukkan ke dalam roh (neshamah). Ketika sudah dewasa, seorang anak manusia sudah
memiliki ukuran pertimbangan yang kokoh dan cita rasa jiwa yang permanen. Semakin dewasa
atau tua, pola berpikir seseorang tidak dapat diubah lagi.

Dari hal tersebut berlangsung proses pembentukan nurani. Nurani ini terdapat pada roh
atau neshamah. Nurani merupakan inti kehidupan seseorang, sebab kualitas manusia itu
terdapat pada nuraninya. Nurani seseorang pasti terekspresi dalam perilakunya. Jadi, kalau yang
selalu diterima oleh jiwa bukan kebenaran, maka nuraninya menjadi rusak. Hal ini
menunjukkan bahwa nurani ada di dalam neshamah, bukan sesuatu yang statis, tetapi progresif
seirama dengan pertumbuhan fisik, kesadaran dalam jiwanya dan apa yang dimasukkan melalui
inderanya. Hati nurani terbangun melalui perjalanan waktu yang panjang. Itulah sebabnya kalau
seseorang dalam waktu lama menerima masukan yang buruk, maka hati nuraninya terbangun
buruk sampai tidak bisa diubah lagi.

Pada umumnya hati nurani diberi pengertian sebagai suatu dorongan keinsyafan batin
yang dimiliki seseorang untuk mengontrol sikap dan perilaku seseorang yang menggerakkan
seseorang mengambil keputusan. Setiap kali seseorang mengambil keputusan, pasti
berdasarkan keinsyafan batinnya tersebut. Dengan demikian hati nurani menunjuk adanya suatu
kemampuan khas yang ada pada manusia dari fenomena moralnya untuk menimbang dan
mengukur guna mengambil keputusan. Oleh karena besar peranan hati nurani dalam kehidupan
seseorang, maka orang percaya bertanggung jawab mendewasakan hati nuraninya.

26
Mendewasakan hati nurani artinya bagaimana hati nurani memiliki keinsyafan yang berkualitas
tinggi seperti Tuhan sendiri.

Kalau keinsyafan batin seseorang menjadi dewasa, yang sama artinya dengan berkualitas
tinggi seperti Tuhan sendiri, maka segala tindakannya akan selalu sesuai dengan pikiran dan
perasaan Allah. Inilah sesungguhnya tujuan keselamatan itu. Dalam proses keselamatan, hati
nurani didewasakan untuk menjadi hati nurani yang berkualitas seperti Tuhan. Kalau
keinsyafan batinnya berkualitas tinggi seperti Tuhan, ini berarti ia memiliki pikiran dan
perasaan Kristus. Maka dengan sendirinya seseorang dapat berperilaku seperti Tuhan sendiri.
Dalam hal ini harus dipahami bahwa hati nurani bukan sesuatu yang statis, tetapi progresif.
Setiap individu bertanggung jawab terhadap keadaan nuraninya. Nurani inilah yang nantinya
diperhadapkan kepada pengadilan Allah.

Faktor yang sangat penting dalam pembentukan nurani adalah lingkungan, artinya yang
menjadi media di mana jiwa mendapat masukan. Nurani memiliki warna dari apa yang diterima
oleh jiwa dari lingkungannya melalui jendela inderanya, khususnya apa yang dilihat dan di
dengar. Dari hal ini dapat dipahami, kalau dunia (lingkungan) semakin jahat atau rusak, maka
nurani manusia semakin jahat atau rusak pula. Melalui cara ini kuasa jahat merusak kehidupan
manusia, sehingga di hadapan takhta pengadilan Allah nanti banyak manusia terbuang dari
hadirat-Nya, di dalamnya termasuk banyak orang Kristen dan tidak sedikit mereka yang
mengaku dirinya sebagai hamba Tuhan.

Firman Tuhan mengatakan bahwa Roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki
seluruh lubuk hatinya (Ams. 20:27). Kata "menyelidiki" dalam teks aslinya adalah khefes. Kata
ini berarti sama dengan melihat dengan teliti untuk menemukan sesuatu. Adapun terjemahan
kata "lubuk hati" menunjuk ruangan yang terdalam (Ibr. kol-khadre-vathen,). Adapun "pelita"
dalam teks adalah nir (kol-khadre-vathen). Kalimat "seluruh lubuk hatinya" dalam Bahasa
Inggris diterjemahkan "the inward parts of the belly or womb." Hal ini menunjuk ruangan yang
paling terdalam di hati manusia. Sesungguhnya maksud Amsal 20:27 adalah bahwa roh
manusia bisa menjadi mata Tuhan yang menyelidiki keberadaan hidup seseorang, bahkan
sampai hal yang terdalam atau tersembunyi dalam diri seseorang.

Dalam Amsal 20:27 kata "roh manusia" adalah neshamah. Jadi, neshamah manusia
sendiri yang menyelidiki diri manusia itu sendiri. Hal ini mengingatkan kita kepada pernyataan
Paulus dalam Roma 8. Dalam Roma 8, Paulus menunjukkan bahwa hasil dari kehidupan orang
percaya yang dipimpin Roh Kudus melahirkan "roh" yang menolong orang percaya untuk hidup
dalam penurutan terhadap kehendak Allah, yaitu selama mereka menuruti roh tersebut. Roh di
sini bukan Roh Kudus. Roh tersebut bukan dalam arti pribadi, tetapi spirit atau gairah yang juga
memiliki kecerdasan untuk mengerti kehendak Allah dan selera seperti Tuhan sendiri. Jadi, roh
tersebut dihasilkan atau buah dari pergumulan hidup yang dipimpin oleh Roh Kudus. Roh itu
juga membantu orang percaya dalam berdoa. Hal ini sebenarnya paralel dengan fakta di mana
nurani orang percaya (dalam neshamah-nya) oleh pimpinan Roh Kudus memiliki kepekaan
untuk menyelidiki dirinya sendiri.

27
Kalau dikatakan bahwa roh manusia (neshamah) menyelidiki seluruh lubuk hati, artinya
neshamah orang percaya diberi kemampuan untuk mengoreksi keadaan batiniahnya sendiri.
Sesungguhnya maksud ayat ini adalah bahwa nurani manusia dalam neshamah tersebut
memiliki kemampuan untuk mengenali keberadaan dirinya dengan tepat. Mereka yang
memiliki kemampuan untuk mengenali keberadaan dirinya dengan tepat. Mereka yang
memiliki kemampuan untuk mengoreksi diri ini adalah mereka yang membuka dirinya hidup
dalam pimpinan Roh Kudus. Hidup dalam pimpinan Roh Kudus membuat seseorang
menemukan spirit atau gairah Roh Kudus serta kecerdasan Roh Kudus, sehingga hati nurani
menjadi cerdas dan memiliki sifat-sifat Allah. Hati nurani yang memiliki spirit, gairah, dan
kecerdasan dapat mengenali lubuk hatinya sendiri secara benar, obyektif, dan tajam.

Ketika seseorang bertumbuh mengenal kebenaran secara memadai atau dalam level
tertentu dan bersungguh-sungguh untuk melakukan keinginan Allah, maka dalam proses untuk
melakukan kehendak Allah tersebut, ia dapat mendengar suara di dalam dirinya melalui
nuraninya. Suara itu adalah nurani yang telah menerima bimbingan Roh Kudus untuk mengerti
kehendak Allah. Suara itu akan semakin akrab dan menyatu dalam dirinya sehingga dapat
mengarahkan kehidupan kepada kehendak Allah yang sempurna. Suara nurani seseorang yang
dipenuhi Firman kebenaran dapat menjadi suara yang seirama dengan suara Tuhan, sehingga
Firman Tuhan dapat digenapi bahwa roh manusia adalah pelita Tuhan. Menjadi pelita artinya
selain mengoreksi, juga memberi petunjuk.

Jika orang percaya terus bertumbuh dalam kebenaran sehingga semakin cerdas, maka
nuraninya dengan mudah mendeteksi kalau ada suara yang tidak senada dengan kebenaran atau
tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Kalau seseorang tidak memahami kebenaran
secara memadai karena tidak bertumbuh dalam kebenaran- maka ia tidak akan dapat mendengar
suara Tuhan atau tidak memiliki kepekaan untuk mendengar suara Tuhan. Sebaliknya, ia
mendengar suara lain tetapi disangkanya suara Tuhan. Dalam hal ini banyak orang Kristen
dalam kebodohannya menganggap banyak suara yang bukan dari Allah dianggap sebagai suara
dari Allah, atau dianggap tidak menyalahi kekudusan Allah, padahal semua itu suara dari dunia
yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Suara yang tidak sesuai dengan
kebenaran, mengarahkan seseorang pada kehidupan yang semakin jauh dari kesempurnaan.

Hati nurani atau suara hati lebih bersifat subyektif, maksudnya bahwa hati nurani kita
sangat dipengaruhi oleh "diri sendiri" (yaitu yang menurut "aku" baik atau buruk). Suara hati
mencerminkan segala pengertian dan prasangka masing-masing individu, sehingga jelas
merupakan "sesuatu yang bersumber pada diri sendiri". Dalam hal ini kita tidak boleh
mengidentifikasikan dan mengidentikkan hati nurani dengan suara Allah. Walaupun hati nurani
tidak dapat diidentikkan dan tidak boleh diidentifikasikan sebagai suara Allah, tetapi hati nurani
berhubungan dengan "yang Ilahi", sebab komponen itu memang dari Allah dan diharapkan
dapat se-chemistry atau sewarna dengan Allah, sehingga subyektivitasnya dapat dipercaya.
Subyektivitasnya dapat dipercaya sebab seirama dengan Allah. Sampai pada level ini neshamah
manusia dapat menjadi pelita Tuhan.

28
Kalau hati nurani digarap dengan benar, maka menjadi hati nurani yang se-chemistry
dengan Allah, ini disebut sebagai nurani Ilahi. Tetapi kalau tidak digarap dengan baik, maka
yang baik menjadi jahat. Orang yang memiliki hati nurani yang berkelas "Ilahi" tidak
membutuhkan hukum atau peraturan untuk memiliki kelakuan yang baik. Tidak perlu diancam
hukuman untuk melakukan hukum, sebab ada "polisi" di dalam dirinya sendiri (Rm. 2:15).
Kalaupun seseorang berbuat baik, bukan hanya karena ancaman neraka, tetap hati nuraninya
memang terbentuk demikian, yaitu tidak bisa berbuat salah. Dalam Roma 13:5 Paulus menulis
kalimat ini: "Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah,
tetapi juga oleh karena suara hati kita."

Oleh karena hati nurani belum tentu bisa mewakili suara Allah, maka hati nurani belum
tentu dapat selalu dipercaya. Belum tentu suara hati nurani sesuai dengan pertimbangan dan
keputusan Allah, oleh sebab itu hati nurani harus tunduk pada otoritas Firman Allah dan
pengadilan Allah. Bagi orang pilihan Allah yang direncanakan Allah untuk sempurna, harus
selalu mempertimbangkan kemungkinan kesalahan pada suara hati nuraninya. Menyadari hal
ini, maka orang percaya tidak boleh berhenti dalam memperbaharui pikiran dan hatinya, sampai
makin memiliki pengertian seperti pengertian Allah. Sehingga suara hati dapat mewakili suara
Allah dan segala pertimbangan dan keputusannya sesuai dengan yang Allah inginkan. Ini
barulah dapat dikatakan tidak meleset. Inilah yang disebut dengan hati nurani yang murni, yaitu
keberadaan manusia batiniah yang tidak menyimpan niat kejahatan (Kis. 23:1; 24:16; 2Kor.
1:12).

Keberadaan hati nurani yang murni ini membuat seseorang memiliki beban yang tulus
terhadap keselamatan jiwa orang lain. Seperti Tuhan juga tidak menghendaki seorang pun
binasa, la akan rela mengorbankan apa pun demi keselamatan jiwa orang lain (Rm. 9:1-3).
Orang-orang seperti ini melayani bukan karena upah atau imbalan yang disediakan. Di dalam
dirinya ada "beban" dan irama melayani. Hati nurani yang terbeban bagi keselamatan jiwa
orang lain ini berusaha untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Ia rela
kebebasannya terampas demi supaya menjadi berkat bagi sesama (1Kor. 10:25-29). Kalau
berbuat suatu kesalahan, maka hati nuraninya sangat terganggu. Hal ini menjadi hukuman bagi
orang tersebut.

Dalam proses pembentukan hati nurani, yang memegang peranan adalah jiwa. Unsur
yang masuk ke dalam jiwa menentukan kualitas dari jiwanya tersebut, dan kualitas jiwa
menentukan kualitas hati nuraninya. Kalau unsur dunia atau kuasa jahat masuk ke dalam jiwa
seseorang, maka hati nuraninya bisa menjadi rusak. Unsur-unsur dunia adalah keinginan
daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17). Ini sama dengan percintaan
dunia atau mengasihi dunia (Yak. 4:1-4). Hal inilah yang menyeret jiwa dan roh ke dalam
kegelapan abadi. Itulah sebabnya dikatakan dalam Firman-Nya bahwa bukan tanpa alasan kalau
Kitab Suci berkata: "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan
cemburu!" (Yak. 4:5). Allah mengingini roh yang keluar dari diri-Nya yang ada pada manusia
dapat kembali kepada-Nya. Kalau hati nurani seseorang baik, maka roh atau neshamah-nya

29
menjadi bersih atau kudus sehingga dilayakkan menerima kemah baru; kembali kepada Bapa
dalam Kerajaan Surga.

30
BAB VII

FUNGSI HATI NURANI

Hati nurani adalah kemampuan yang dimiliki manusia dari fenomena pengertiannya
mengenai moral untuk menetapkan dan memutuskan apa yang baik dan buruk secara subyektif.
Secara subyektif artinya masing-masing individu memiliki cara pandang mengenai kebaikan
yang khas sesuai dengan pengertiannya terhadap kebenaran atau filosofi hidup yang diserapnya.
Dikatakan bahwa hati nurani atau suara hati lebih bersifat subyektif, berarti hati nurani sangat
dipengaruhi oleh "diri sendiri" (yaitu apa yang menurut "aku" baik atau buruk). Suara hati
mencerminkan segala pengertian masing-masing individu sehingga jelas merupakan "sesuatu
yang bersumber pada diri sendiri". Hati nurani bisa dikatakan sebagai inti pengertian seseorang
terhadap apa yang dianggapnya benar atau salah, apa yang bernilai tinggi atau yang tidak
bernilai tinggi, kebenaran atau bukan kebenaran. Hati nurani berfungsi sebagai perumus nilai-
nilai kehidupan, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Itulah sebabnya hati nurani dapat
menuduh, mencela, dan menegur.

Dalam merumuskan suatu nilai kehidupan, seseorang mendapat input dari apa yang
didengar dan dilihatnya melalui agama, budaya, pergaulan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Inilah lingkungan yang membentuk hati nurani seseorang. Dalam hal ini pengaruh lingkungan
sangat kuat. Lingkungan seperti melukis diri seseorang. Jadi tidak heran kalau orang
berpandangan, bagaimana keadaan seseorang tergantung dari lingkungan yang mewarnai atau
melukis hidupnya. Dengan demikian, ukuran yang dikenal lingkungan itulah yang menjadi
ukuran yang dikenakan seseorang, sebab terlukis di dalam hati nuraninya.

Hati nuranilah yang membuat ukuran, apakah suatu tindakan itu bernilai kebaikan atau
kejahatan. Dengan demikian hati nurani juga merupakan institusi dalam diri manusia yang
membuat peraturan, artinya yang menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Dengan hal ini tentu saja hati nurani juga yang mendorong seseorang
mengambil suatu keputusan. Dalam hal ini hati nurani merupakan kemudi kehidupan seseorang
yang tidak terlihat. Kemudi untuk mengarahkan seluruh pertimbangan manusia itu. Dalam teks
Bahasa Ibrani, kata hati nurani adalah kilyah yang juga berarti tali kekang atau kendali atau
pengontrol (Ing. rein). Allah memberi manusia kontrol atau kendali yang harus dikontrol atau
dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Hal ini jelas menunjukkan bahwa manusia memiliki
"kesadaran" yang memungkinkan manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan mengambil
keputusan. Hal ini meletakkan manusia sebagai pribadi yang harus bertanggung jawab kepada
Allah (Rm 14:12).

Institusi (hati nurani) ini tidak dimiliki oleh hewan. Itulah sebabnya hewan tidak memiliki
kesadaran mengenai moral dan tidak memiliki kehendak bebas juga. Jadi, kalau kemudi
kehidupan ini sudah rusak yang sama dengan mata hatinya gelap maka rusaklah seluruh
kehidupan seseorang. Tuhan Yesus berkata: "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik,
31
teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang
yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu" (Mat. 6:23). Hati nurani adalah
institusi dalam diri manusia yang paling berperan mengarahkan hidup individu. Dalam Mazmur
16:7 tertulis: "Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu
malam hati nuraniku mengajari aku." Suara hati atau hati nurani terbangun atau terbentuk oleh
apa yang didengarnya. Hati nurani menyimpan segala kebenaran yang diterimanya.

Kalau seseorang mendengar Firman Tuhan, kebenaran Firman Tuhan itu akan mengajar
terus. Firman yang murni akan memburu seseorang sehingga orang itu tersandera olehnya.
Firman Tuhan yang murni akan menuntut untuk diaplikasikan dalam kehidupan secara konkret.
Inilah yang seharusnya dilakukan gereja kepada jemaat sejak jemaat tersebut masih berusia
dini. Semakin dini pendidikan agama dimulai, maka semakin kuat bangunan hati nuraninya
sesuai dengan kebenaran yang diajarkan kepada seorang anak manusia. Kalau sudah terlanjur
dewasa, maka sulitlah kebenaran digoreskan atau dilukiskan di dalam hati nuraninya. Dalam
hal ini, momentum sangat penting.

Hati nurani juga memberikan hukuman atau bertindak seperti hakim, sebab hati nurani
yang merumuskan hukum dan sekaligus menjadi institusi dalam diri manusia yang menetapkan
sesuatu itu salah atau benar. Selanjutnya sebagai hakim, hati nurani akan memberikan sanksi
atas suatu kesalahan; tetapi juga "reward" (upah dan penghargaan) atas suatu perbuatan baik.
Itulah sebabnya kalau seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya,
maka jiwanya akan terganggu, tidak damai, dan menjadi gusar. Inilah bentuk hukuman yang
diberikan oleh hati nurani. Tetapi sebaliknya, kalau seseorang melakukan sesuatu yang sesuai
dengan hati nuraninya, maka ia merasa puas, senang, dan bahagia. Itulah "reward" yang dapat
diberikan oleh hati nurani.

Jadi, jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dipahami hati
nurani sebagai kebenaran, maka hati nurani akan memberikan hukuman dalam bentuk suasana
batin yang tidak sejahtera. Ini sama dengan ketika seseorang melihat suatu kejadian yang
bertentangan dengan norma yang dipahami, maka suasana hatinya terganggu atau tidak tenang.
Tentu saja hal ini hanya terjadi atas mereka yang sejak muda hati nuraninya dididik mengenal
kebenaran atau norma-norma yang baik. Norma yang baik atau kebenaran tersebut menjadi
seperti mata hakim yang menilai setiap tindakan seseorang. Mata hakim yang baik dalam hati
nuraninya dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan yang melanggar kebaikan atau norma
yang dipahami. Tetapi kalau pelanggaran itu dilakukan terus menerus, dan mengabaikan suara
hati nuraninya, maka hati nurani yang baik akan bungkam sehingga perbuatan yang salah
menjadi kebiasaan dan menjadi suatu kenikmatan untuk terus menerus dilakukan. Akhirnya
suara hati yang baik yang dimilikinya menjadi rusak. Sebaliknya, kalau seseorang melalui
proses pendidikan -kadang disertai dengan tekanan- menerima sesuatu yang baik, maka walau
hati nuraninya bukan hakim yang baik bisa diubah menjadi hakim yang baik. Tentu selama
kerusakan hati nuraninya masih dalam tahap atau tingkatan bisa diperbaiki.

32
Kalau tadinya melakukan kesalahan hatinya merasa sejahtera saja, tetapi setelah diajarkan
suatu kebenaran, maka ketika ia melakukan kesalahan, hati nuraninya yang terbentuk menjadi
baik oleh karena kebenaran tersebut akan merasa tidak sejahtera. Hal merubah hati nurani
sebagai hakim yang buruk menjadi hakim yang baik membutuhkan waktu yang panjang. Hal
ini juga tergantung tingkat kerusakan hati nurani dan intensitas kebenaran yang diajarkan.
Mengamati apa yang dikemukakan ini, maka masalahnya adalah bagaimanakah hati nurani bisa
menjadi hakim yang baik atau hakim yang jahat?

Hal ini tergantung pada apa yang membangun, membentuk, dan mengisi hati nuraninya
tersebut melalui jiwa yang berinteraksi langsung dengan lingkungannya. Dalam hal ini
pertumbuhan kedewasaan rohani sama dengan pendewasaan hati nurani yang juga berarti
melahirkan hakim yang baik. Lingkungan dan segala sesuatu yang masuk ke dalam jiwa
seseorang menentukan apakah di dalam diri orang tersebut akan terbangun hakim yang baik
atau hakim yang jahat. Setiap individu memiliki kebebasan apakah menyerap sesuatu yang
buruk atau yang baik, sama dengan apakah mengkonsumsi buah pengetahuan yang baik dan
jahat atau buah kehidupan. Dalam hal ini akhirnya kualitas hati nurani tergantung masing-
masing individu.

Kalau lingkungan dan yang masuk ke dalam jiwa adalah hal-hal yang buruk, maka hakim
yang terbangun dalam dirinya adalah hakim yang jahat. Hakim yang jahat tidak akan
menghukum suatu kesalahan, bahkan bisa mendukung suatu tindakan yang salah. Hakim
tersebut yaitu nuraninya ikut menikmati kesalahan yang dilakukan oleh diri manusia. Hal ini
sama dengan hakim yang tidak bermoral atau tidak memahami hukum akan bertindak
sewenang-wenang dan sesukanya sendiri. Orang seperti ini digambarkan oleh Tuhan Yesus
seperti mata yang gelap: Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh
tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu
gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. (Mat. 6:22-23). Setiap orang bertanggung jawab atas
keadaan "matanya", gelap atau terang.

Dalam beberapa ayat, Alkitab menunjukkan bahwa hati nurani juga berfungsi sebagai
pengawas dan pengontrol kehidupan seseorang. Hati nurani adalah polisi kehidupan yang
menunjukkan kesalahan dan langkah yang harus ditempuh. Dalam Roma 13:5 tertulis: "Sebab
itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh
karena suara hati kita." Hati nurani dalam teks ini adalah suneidesis (συνειδησης) yang sama
artinya dengan suara hati. Dalam teks ini Paulus menasihati agar orang percaya menundukkan
diri kepada pemerintah bukan saja karena takut kepada murka Allah tetapi juga karena suara
hati atau hati nurani dalam diri manusia. Hati nurani dapat menekan seseorang agar
menaklukkan diri kepada pemerintah, tentu hati nurani yang sejak kecil diasah untuk mematuhi
hukum negara. Kalau hati nurani dapat diasah untuk mematuhi hukum negara, maka hati nurani
juga dapat mematuhi kehendak Tuhan. Paulus berbicara ini kepada mereka yang hati nuraninya
bisa dipercayai searah atau seiring dengan suara Tuhan.

33
Roh Kudus menggunakan saluran hati nurani manusia untuk berbicara kepada manusia
itu sendiri, tentu hal ini terjadi dalam kehidupan orang yang hati nuraninya diisi dengan
kebenaran Firman Tuhan. Kalau jiwa di mana ada pikiran dan perasaan adalah sarana untuk
berinteraksi dengan lingkungan melalui mata dan telinga, sangat besar kemungkinan Roh
Kudus berinteraksi dengan manusia melalui hati nurani dan jiwanya. Dalam hal ini, hati nurani
dapat menjadi pengontrol atas kehidupan seseorang dalam perilakunya oleh pimpinan Roh
Kudus. Hati nurani bisa merupakan pikiran dan perasaan roh manusia. Dengan ini kita mengerti
mengapa dikatakan bahwa roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk
hatinya (Ams.20:27). Roh manusia dalam teks ini adalah neshamah. Kata ini juga ada dalam
Kejadian 2:7. Ini adalah komponen yang memungkinkan manusia dapat memiliki kecerdasan
seperti Allah untuk memahami apa yang baik dan jahat dari perspektif Allah. Kata neshamah
ternyata juga bisa berarti divine inspiration (inspirasi Ilahi) dan intellect (kecerdasan; tentu
kecerdasan sesuai dengan pikiran Allah). Roh manusia (neshamah) bisa menjadi pelita Tuhan,
kalau hati nuraninya didewasakan oleh kebenaran Firman Tuhan secara memadai.

Hati nurani yang dapat dipercaya adalah hati nurani yang dewasa, sehingga memiliki
pikiran dan perasaan Tuhan. Hati nurani seperti ini adalah hati nurani yang satu chemistry atau
satu unsur dengan Allah. Sangatlah mungkin maksud pikiran Kristus dalam Filipi 2:5-7 (Yun.
phroneo) menunjuk pada pikiran dalam hati nurani atau yang sama dengan cara berpikir atau
mindset. Mindset yang cerdas dapat menjadi pengawas yang cerdas pula, yaitu kalau hati
nuraninya telah didewasakan oleh kebenaran Firman Tuhan. Dalam hal ini, hati nurani bisa
menjadi pengawas yang "mengancam" dengan keras pada waktu seseorang berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan kehendak Allah. Setiap kesalahan yang dilakukan yang bertentangan
dengan kebenaran Firman Tuhan yang dipahami akan membangkitkan ancaman terhadap diri
orang tersebut. Ancaman tersebut adalah teguran.

Kalau suara hati nurani tidak didengar, maka ia akan memberi hukuman, yaitu suasana
jiwa orang tersebut menjadi tidak sejahtera; merasa kehilangan perasaan damai dan ketenangan.
Jadi kalau kita berbuat sesuatu yang membuat sejahtera kita hilang, maka kita harus mulai
mengoreksi diri: Apakah ada tindakan yang kita lakukan yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan? Kalau kita menyadari kesalahan kita, maka kita harus segera melakukan pertobatan.
Kalau hukuman ini tidak dipedulikan, artinya tidak mau dikoreksi dan tidak mau bertobat, maka
seseorang akan menjadi keras kepala dan tidak bisa diubah lagi. Kadang-kadang untuk
menyadarkan seseorang, Tuhan terpaksa menegur melalui suatu kejadian; tetapi kalau melalui
suatu kejadian masih tidak mau bertobat, maka Tuhan membiarkannya. Ini berarti tahapan
menuju kondisi menghujat Roh Kudus. Oleh sebab itu sekecil apa pun perasaan tidak sejahtera
di dalam diri kita harus menjadi semacam alarm hukum untuk mengingatkan kita, kalau-kalau
ada sesuatu yang salah yang kita lakukan yang mendukakan hati Allah. Respon kita yang
sungguh-sungguh dalam hal ini akan membuat kita menjadi semakin peka terhadap kesucian
dan ketidaksucian.

Melalui korban Tuhan Yesus Kristus, kematian hati nurani manusia yang mengakibatkan
manusia tidak mampu mencapai kesucian Tuhan, bisa dibangkitkan atau dipulihkan. Inilah

34
sesungguhnya maksud dan tujuan keselamatan diberikan. Bagi orang percaya yang memiliki
kuasa supaya menjadi anak Allah, mereka harus bekerja keras memanfaatkan kuasa tersebut
guna mengerjakan dengan takut dan gentar (Yoh. 1:11-13; Flp. 2:12-13). kuasa itu (exousia)
yang diberikan kepada mereka yang menerima Yesus, mereka dimungkinkan memiliki hati
nurani Ilahi, artinya sanggup bertindak seperti Allah bertindak. Jika seseorang berhasil
mencapainya, maka orang tersebut barulah pantas disebut sebagai anak-anak Allah. Semua ini
bisa terjadi oleh karena anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus. Apa yang tidak bisa
dilakukan manusia telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus (Rm. 8:3-4), sehingga la menjadi pokok
keselamatan kita, artinya la memberikan penebusan (membeli kita dari hukum dosa),
mengajarkan kebenaran dari apa yang dikerjakan dan yang diajarkan serta penerangan oleh Roh
Kudus, memberi teladan dan kemudian memuridkan kita melalui segala peristiwa yang terjadi
dalam hidup ini. Semua ini merupakan potensi untuk memiliki nurani seperti Dia, yaitu hati
nurani llahi.

Kalau hati nurani dibentuk atau dibangun dari kebenaran Firman, maka akan menjadi hati
nurani Ilahi. Inilah yang menguasai atau mewarnai seluruh neshamah-nya. Dengan demikian
seseorang bisa menjadi manusia Allah. Sebaliknya, jika jiwa menyerap filosofi dunia maka hati
nuraninya rusak. Hati nurani yang rusak akan mewarnai seluruh kehidupannya. Hati nurani
inilah yang menjadi sosok permanen seseorang atau diri manusia itu. Inilah proses
pengkloningan. Apakah seseorang memberi diri dikloning oleh Tuhan menjadi seperti Tuhan
atau dikloning oleh dunia dengan segala pengaruhnya sehingga menjadi anak Iblis. Idealnya
bagi umat Perjanjian Baru, kita harus memahami apa yang diajarkan dan dilakukan oleh Tuhan
Yesus Kristus, kemudian berusaha untuk melakukan dan meneladani hidup-Nya.

Orang percaya yang bertumbuh dewasa harus mendidik, membentuk atau membangun
hati nuraninya dengan Firman Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Pembaharuan
pikiran merupakan hal mutlak yang harus terjadi dalam kehidupan orang percaya setiap hari.
Jika hal ini dilakukan dengan serius maka hati nuraninya menjadi hati nurani yang Ilahi. Ini
sama dengan memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Sampai taraf ini, hati nurani menjadi suara
Allah. Dalam satu pernyataannya Paulus berkata. "Sebab siapakah yang mengetahui pikiran
Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia? Tetapi kami memiliki pikiran Kristus” (1Kor.2:16).
Pikiran Kristus artinya kemampuan untuk mengerti apa yang Bapa kehendaki untuk dilakukan.

Itulah sebabnya kita dikehendaki untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus yang
dalam teks aslinya adalah phroneo, yang artinya the mind (Ing. "As the interiorself" atau bagian
pikiran yang dalam). Kata ini dalam Bahasa Inggris juga diterjemahkan attitude, artinya sikap
batin atau sikap hati. Hal ini juga menunjuk atau bertalian dengan hati nurani. Sebenarnya
phroneo memiliki pengertian yang sejajar dengan suneidesis. Hati nurani Ilahi inilah yang
dimaksud Tuhan Yesus dengan "mata". Tuhan tegaskan bahwa mata adalah pelita tubuh. Jika
mata baik, teranglah seluruh tubuh; jika mata jahat, gelaplah seluruh tubuhnya. Jadi jika terang
yang ada pada seseorang gelap, betapa kegelapan itu (Mat. 6:22-23). Dari pernyataan Tuhan
Yesus jelaslah bahwa kalau hati nurani seseorang sudah tidak diisi dengan Firman Tuhan, maka
gelaplah kehidupan orang tersebut. di sini artinya tidak mampu mengerti pikiran Tuhan (yang

35
baik, berkenan, dan yang sempurna). Ini juga berarti tidak melakukan kehendak Bapa. Dalam
Injil Matius 6:19-24, orang yang materialistis pasti menjadi buta (Luk. 16:11). Kalimat "harta
yang sesungguhnya" dalam teks aslinya adalah (aletheia) yang artinya kebenaran. Buta di sini
maksudnya adalah tidak mampu mengerti kebenaran Allah. Orang yang bersikap mencintai
dunia tidak akan dapat mengerti kebenaran, artinya hati nuraninya pasti gelap.

Firman Tuhan mengatakan bahwa roh manusia adalah pelita TUHAN yang menyelidiki
seluruh lubuk hatinya (Ams. 20:27). Kata "roh" dalam ayat ini tidak menggunakan kata ruakh,
tetapi neshamah (‫)נשמח‬. Kata neshamah selain memiliki unsur kehidupan juga menunjukkan
adanya unsur kesadaran. Inilah yang dihembuskan Allah pada waktu penciptaan manusia (Kej.
2:7). Tentu pada waktu Allah menghembuskan neshamah, neshamah manusia masih kosong,
karena belum memiliki kualitas. Kualitasnya ada di nuraninya. Dengan neshamah ini, manusia
bukan saja mampu bergerak melakukan aktivitas karena dorongan mempertahankan hidup
seperti hewan, tetapi juga bertindak dalam tatanan Tuhan. Neshamah inilah yang mestinya
berfungsi sebagai pelita Tuhan. Pelita di sini maksudnya adalah sarana untuk memberi tuntunan
agar manusia tidak salah melangkah. Jadi pengertian bahwa roh (neshamah) manusia pelita
Tuhan adalah bahwa Tuhan memberi tuntunan secara berkesinambungan pada nurani manusia
di dalam neshamah-nya agar dapat berperilaku selalu sesuai dengan kehendak-Nya.

Kemampuan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan atau hidup dalam tatanan-Nya, hanya
ada pada manusia yang didewasakan atau disempurnakan. Inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Binatang dengan segala kecerdasannya tidak memiliki komponen ini.
Hanya manusia yang diberi kemampuan untuk mengerti kehendak Penciptanya dengan
sempurna. Kejatuhan manusia ke dalam dosa sama dengan tindakan manusia merusak
neshamah, sehingga neshamah-nya tidak lagi dapat menjadi pelita Tuhan atau tidak dapat
menjadi Sarana Tuhan menuntun manusia hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia yang
berdosa tidak mampu hidup sesuai dengan Tuhan (sempurna). Dalam hal ini manusia
kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Kehilangan kemuliaan Allah pada dasarnya adalah
keadaan dimana nurani manusia tidak mampu memahami kehendak Allah dan melakukannya.

Manusia yang jatuh dalam dosa hanya mampu hidup sesuai dengan hukum yang
diberikan Tuhan secara tidak sempurna, tetapi tidak mampu melakukan segala sesuatu selalu
sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Padahal rancangan Allah sejak semula adalah
manusia memiliki keberadaan segambar dan serupa dengan Allah, dengan keberadaan tersebut
manusia dapat bertindak seperti Allah bertindak; manusia memiliki moralitas Allah.
Sesungguhnya, manusia dirancang bukan saja memiliki pikiran dan perasaan serta kehendak
(tselem) seperti Allah, tetapi juga kualitas (demuth) komponen-komponen tersebut seperti
Allah, sehingga manusia dapat menyelenggarakan hidup dengan sempurna sesuai dengan
kehendak Allah, dalam penggunaan pikiran, perasaan, dan kehendaknya.

Fakta yang terjadi, sebenarnya kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan disebabkan oleh
satu kali tindakan salah, tetapi sebuah proses panjang dimana Adam secara terus menerus
memilih yang bukan dari Allah, sehingga nurani dalam neshamah-nya menjadi rusak. Hal ini

36
mengakibatkan manusia tidak mampu lagi mengerti kehendak Allah dengan sempurna serta
tidak mampu untuk melakukannya. Manusia tidak lagi bisa diperbaiki untuk segambar dengan
Allah.

Kemudian hari, setelah datang keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus, manusia dapat
dikembalikan kepada rancangan semula, yaitu menjadi makhluk yang segambar dengan Allah
sendiri. Jadi, keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus adalah usaha Tuhan mengembalikan
manusia kepada rancangan Allah semula; menempatkan neshamah menjadi pelita Tuhan secara
ideal sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia sesuai dengan kehendak Tuhan secara
sempurna. Hal ini sama dengan memperbaiki nuraninya.

Bagaimana neshamah manusia menjadi pelita Tuhan? Hal ini tidak dapat terjadi secara
otomatis dan mistik. Harus diusahakan dengan terus menerus mengisi pikiran dengan
kebenaran Injil. Pada dasarnya kebenaran Injil itu adalah pikiran Tuhan yang dapat membentuk
cara berpikir Ilahi (pikiran perasaan Kristus) (Mat. 4:4). Kebenaran Injil yang dimengerti
dengan pikiran saja hanya menjadi logos. Melalui pengalaman hidup setiap hari, Roh Kudus
menterjemahkan logos menjadi rhema (Firman). Rhema adalah logos yang diterjemahkan
secara konkret melalui atau di dalam situasi konkret. Seseorang tidak akan mengerti yang
dimaksud dengan mengasihi musuh sebelum ia bertemu dengan orang yang memusuhinya.
Orang tidak mengerti artinya percaya sebelum berinteraksi langsung dengan Tuhan. 'Rhema'
inilah yang menjadi makanan rohani.

Jika secara terus menerus rhema diberikan melalui pengalaman konkret, maka hal
tersebut membentuk atau membangun hati nurani di roh atau neshamah-nya. Pada dasarnya
nurani yang dipenuhi dengan kebenaran Firman menghasilkan kecerdasan roh. Kecerdasan roh
ini sama dengan cara berpikir Tuhan. Kecerdasan roh inilah yang memberi kualitas pada nurani
yang ada di neshamah-nya. Neshamah yang terbentuk tersebut dapat menjadi pelita Tuhan
untuk dapat menuntun seseorang agar dapat berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan dengan
sempurna. Hati nurani di dalam neshamah yang tidak mengalami pembaharuan atau pemulihan,
sehingga tetap dalam keadaan rusak, maka tidak dapat menjadi pelita Tuhan.

37
BAB VIII

MAKSUD DAN TUJUAN ILAHI

Manusia adalah makhluk ciptaan, berarti bahwa manusia ada di bumi ini bukan suatu
kecelakaan atau kebetulan. Keberadaan manusia mengandung atau memuat maksud tujuan
Ilahi. Manusia dirancang untuk suatu maksud tertentu atau untuk suatu alasan tertentu. Maksud
atau alasan itu harus ditemukan oleh setiap orang. Hal ini lebih mutlak dari apa pun dalam
kehidupan di bumi ini. Maksud tujuan manusia diciptakan tidak ditemukan dalam diri manusia
itu sendiri atau alam sekitarnya, tetapi hanya dapat ditemukan dalam diri Allah sebagai
Penciptanya. Oleh sebab itu untuk menemukan maksud dan tujuan manusia diciptakan harus
kita berurusan atau berperkara dengan Tuhan.

Dengan menemukan maksud atau alasan manusia diciptakan, barulah manusia dapat
menemukan tujuan hidupnya. Tanpa menemukan maksud dan alasan tersebut, maka seseorang
tidak menjadi manusia sesuai dengan maksud Allah menciptakannya. Perlu direnungkan,
mengapa kita tidak menjadi kucing atau hewan lainnya? Untuk ini setiap individu harus mulai
serius bertanya dan mempersoalkan what is the reason we live (apakah tujuan aku hidup)? What
on earth am I here for (untuk apa aku ada di bumi ini)? Bila seseorang sadar secara benar dalam
penghayatan yang mendalam bahwa dirinya adalah hasil karya Tuhan, maka ia cenderung rela
mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan. Sama seperti seorang anak yang sadar bahwa dirinya
menjadi besar dan berprestasi karena orangtua, maka anak tersebut cenderung akan mengabdi
kepada orangtua Kenyataannya, manusia masa kini tidak mau tahu bahwa langit dan bumi
diciptakan oleh Tuhan termasuk manusia di dalamnya (2 Ptr. 3:5). Kelompok manusia seperti
itu pasti hidup dalam pemberontakan kepada Tuhan. Mereka tidak menghormati Tuhan secara
pantas.

Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan mendorong seseorang membangun


terus menerus hubungan yang proporsional atau yang benar dengan Tuhan sebagai Sang Khalik.
Hal ini dapat menghindarkan praktik pemutarbalikkan hierarki (urut-urutan prioritas hidup).
Urutan pertama dalam hidup adalah Tuhan, bukan materi atau sesuatu yang lain. Memang
seharusnya segala sesuatu yang dilakukan harus dilakukan bagi Tuhan, sebab segala sesuatu
dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia (Rm. 11:36; 1Kor. 10:31). Jadi, urutan prioritas pertama adalah
Tuhan, kedua, sampai ke berapa pun juga tetap Tuhan, artinya bahwa kita hidup hanya untuk
kepentingan Tuhan semata-mata. Manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri, manusia
harus hidup hanya bagi Dia yang menciptakannya. Bila tidak demikian, maka sikap tersebut
berarti suatu pemberontakan terhadap Penciptanya. Pendewasaan rohani harus menggiring
pemberontakan umat kepada kesadaran seperti ini. Pada tingkat kedewasaan tertentu seseorang
memiliki pengakuan seperti: Allah ada bukan untukku, tetapi aku ada untuk Tuhan (God doesn't
exist for me, I exist for the Lord). Sampai pada pengakuan ini manusia akan mengenal dirinya
dengan benar. Bila belum, itu berarti manusia tersebut masih berkategori sebagai manusia yang
"tidak tahu diri".
38
Pada kenyataannya, lebih banyak orang yang tidak dewasa sehingga dalam hubungannya
dengan Tuhan masih saja terus bersikap kekanak-kanakan. Mereka seperti anak-anak kecil yang
belum dewasa berperilaku terhadap orangtuanya. Mereka memandang orangtua ada hanya
untuk anak. Oleh karena itu masih banyak dijumpai orang Kristen yang tahunya hanya
menuntut Tuhan melakukan apa saja yang mereka inginkan dan butuhkan. Mereka juga merasa
seakan-akan selalu berhak ”mengklaim” (menuntut) Tuhan untuk melakukan sesuatu
berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai ayat Firman Tuhan. Padahal banyak mereka yang
salah mengerti ayat-ayat Alkitab tersebut. Orang-orang Kristen seperti ini adalah orang-orang
Kristen oportunis.

"God doesn't exist for me, I exist for The Lord," prinsip ini harus dipahami dan orang percaya
harus belajar terus menerus untuk mengenakannya. Pada saat seseorang sampai pada
pengakuan hidup seperti ini maka akan berhasil menempatkan diri sebagai hamba bagi Tuhan
untuk dimiliki sepenuhnya bagi Dia. Selanjutnya Tuhan Yesus menjadi Tuan dan Majikan.
Inilah sebenarnya tujuan Kekristenan itu. Manusia adalah makhluk ciptaan. Bukan ada tanpa
sebab atau kausalitasnya. Manusia ada karena ada Sang Khalik yang menciptakannya. Ini
adalah harga mati yang harus diakui dan diterima setiap orang. Sampai kapan pun dan di mana
pun seseorang berada, ia harus mengakui bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan. Berkenaan
dengan hal ini, ada beberapa rumusan penting, bahwa:

• Sebagai makhluk ciptaan, seseorang harus menemukan tujuan hidupnya.


• Sebagai makhluk ciptaan, dirinya adalah hamba Tuhan.
• Sebagai makhluk ciptaan, seseorang harus mencari dan menemukan hubungan yang ideal
dengan Penciptanya, dengan sesama, dan alam ciptaan.
• Sebagai makhluk ciptaan, seseorang harus mempersoalkan: Untuk apakah dirinya
diciptakan?

Tentu Tuhan sebagai Sang Arsitek Agung tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa
tujuan.Tujuan hidup manusia tidak ditemukan di dalam apa pun juga, selain ditemukan di dalam
Tuhan sebagai Penciptanya. Untuk ini orang percaya harus meneliti Alkitab dengan serius
untuk menemukan tujuan hidupnya. Meneliti Alkitab sama dengan belajar teologi. Ini adalah
kegiatan mutlak yang harus diselenggarakan. Untuk ini seseorang tidak harus masuk Sekolah
Tinggi Teologi. Melalui berbagai sumber yang baik yang dapat dipercaya yaitu literatur, media
internet, media elektronik (TV dan Radio), CD dan DVD seseorang bisa belajar kebenaran
Firman Tuhan. Tentu kita harus teliti dan selektif terhadap sumber pengajarnya.

Sebagai makhluk ciptaan, bagaimanapun manusia adalah hamba. Bagaimanapun


manusia tidak pernah menjadi majikan. Sang Penciptanyalah yang menjadi Tuan atas dirinya.
Ia tidak pernah menjadi orang merdeka, tetapi selalu terbelenggu oleh Tuhan sebagai
penciptanya. Bila seseorang mau bebas dari Tuhan, ia akan terbelenggu oleh majikan yang lain.
Satu-satunya tuan di luar Tuhan adalah Lusifer yang jatuh, penguasa kegelapan yang sangat
jahat. Banyak orang berharap dapat merdeka atau hidup suka-suka sendiri tanpa dikuasai atau

39
didominasi oleh Tuhan, tetapi juga berharap tidak dikuasai oleh setan. Hal ini tidak mungkin
bisa terjadi. Sejatinya, sampai kapan pun manusia adalah hamba. Hamba Tuhan atau hamba
setan. Bagaimanapun seseorang harus memilih, apakah mau menjadi hamba Tuhan atau hamba
setan.

Bagaimanapun manusia adalah makhluk yang terbelenggu, yaitu terbelenggu oleh Tuhan
atau terbelenggu oleh setan. Hal ini dipersoalkan dalam hidup masing-masing kita: Sekarang
ini kita sedang ada dalam belenggu siapa? Tuhan atau setan? Ketidakjelasan posisi seseorang
bisa dipastikan berarti sudah menjadi hamba setan. Sekilas, kebenaran ini nampak sangat
sederhana, tetapi sebenarnya tidak sederhana. Hal ini menggiring orang percaya untuk tegas
mengambil keputusan untuk melayani Tuhan dengan benar atau tidak sama sekali.

Dengan pengakuan bahwa orang percaya adalah makhluk ciptaan, berarti ia harus rela
kehilangan hak dan kehilangan kebebasan. Penolakan terhadap realitas ini berarti
pemberontakan. Sebagai makhluk ciptaan harus menempatkan diri sebagai sebagai hamba di
hadapan Sang Pencipta yang harus ditempatkan atau diperlakukan sebagai Tuan atau Majikan.
Pada kenyataannya banyak orang yang menolak keberadaan Tuhan sebagai Tuan atau Majikan.
Ini berarti juga menolak realitas bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan yang harus
menundukkan diri sebagai hamba.

Dalam kesibukan kehidupan banyak orang sudah lupa diri, tidak menyadari bahwa
dirinya adalah makhluk ciptaan. Banyak orang tidak peduli terhadap kenyataan bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan yang harus menempatkan diri secara benar di hadapan-Nya. Hal ini
memicu seseorang tenggelam dengan berbagai kesenangan dan cita-cita yang membuat Tuhan
tersingkir dari hidupnya. Bila merasa membutuhkan Tuhan, itupun hanya karena hendak
memakai Tuhan sebagai alat guna meraih sesuatu, yaitu dunia ini (Yak. 4:1-4). Akhirnya orang-
orang seperti ini tidak berbakti kepada Tuhan, walaupun kelihatannya sedang melayani Tuhan
dalam kegiatan gereja, padahal ada sesuatu yang lain yang menjadi tujuan. Inilah orang-orang
yang manipulatif dan oportunis.

Sebagai makhluk ciptaan, orang percaya harus mencari hubungan yang baik dengan
Penciptanya. Mengapa demikian? Sebab manusia tidak bisa hidup dengan benar tanpa
persekutuan dengan Penciptanya. Sejak semula Tuhan menciptakan manusia memang hanya
untuk menjadi sekutu-Nya. Dan manusia harus menyadari bahwa dirinya adalah satu-satunya
sekutu Allah. Pengakuan yang jujur dan benar dari seseorang bahwa dirinya adalah makhluk
ciptaan yang dimiliki Tuhan secara penuh membuahkan hal-hal ini:

Pertama, memiliki kerendahan hati yang benar. Sebab bila mengakui bahwa dirinya
adalah ciptaan, maka apakah yang bisa dibanggakan? Bahwa segala sesuatu dari Dia (Mzm.
139:13-16). Dengan demikian seseorang dapat menghormati Tuhan dengan benar.
Kesombongan manusia hari ini berakar pada ketidaksediaannya mengakui bahwa dirinya
adalah makhluk ciptaan. Tanpa Sang Penjunan, manusia tetap tinggal sebagai debu (Mzm.

40
103:14). Mengapa banyak orang sukar bersikap rendah hati di hadapan Tuhan? Sebab mereka
tidak tahu realitas ini (Yes. 40:15).

Kedua, merasa tidak bermilik. Pengakuan ini membuahkan kerelaan mempersembahkan


segenap hidup untuk kesukaan-Nya atau kepentingan-Nya. Dan kalau mereka berbuat sesuatu
bagi Tuhan mereka tidak merasa memberi, tetapi mengembalikan (Mat. 22:21). Buah
berikutnya adalah tidak merasa sakit ketika harus melepaskan atau kehilangan segala sesuatu.
Dengan demikian dapat bersikap seperti Ayub dengan pengakuannya: "Dengan telanjang aku
keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan
yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan" (Ay. 1:21).

Ketiga, hidup dalam kesadaran terus menerus bahwa semua orang akan kembali kepada
Sang Pemilik (Pkh. 12:7). Inilah yang membuat seseorang lebih berhati-hati menjalani hidup
ini. Kesadaran inilah yang membuat orang percaya beribadah dengan benar kepada Tuhan dan
dapat mengembangkan jiwa musafir agar tidak terikat dengan materialisme. Dan memang
orang percaya adalah orang yang menumpang di dunia ini (1 Ptr. 1:7). Tuhan Yesus sendiri
berulang-ulang menyatakan bahwa orang percaya seperti diri-Nya, tidak berasal dari dunia ini.

41
BAB IX

IMPLIKASI SEGAMBAR DENGAN ALLAH

Ternyata kesegambaran manusia dengan Allah memiliki implikasi yang harus ditelaah
dengan seksama, sebab implikasi ini menunjuk pula kepada kualitas manusia sebagai makhluk
istimewa-Nya. Di dalamnya nampak jelas tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan sebagai
makhluk ciptaan dan anak tebusan. Tanpa mengerti hal ini, percuma seseorang menjadi orang
percaya atau lebih baik kalau ia tidak pernah menjadi manusia. Dengan demikian dapat kita
peroleh fakta betapa agungnya martabat manusia, tetapi juga betapa besar tanggung jawabnya.

Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah, manusia dituntut untuk memiliki
tindakan-tindakan yang mulia seperti Allah sendiri. Oleh sebab itu, mutlak manusia mengenali
Allahnya dan menjadikan-Nya sebagai teladan satu-satunya. Tuhan Yesus, Allah Anak yang
menjadi manusia sebagai prototipenya. Pemulihan gambar Allah yang rusak merupakan upaya
mengembalikan manusia yang sudah rusak tersebut sebagai manusia Allah. Dan pemulihan
harus dipandang sebagai pemulihan yang bertolak pada pemulihan karakter. Standar yang harus
dicapai adalah kesempurnaan standar Allah sendiri (Mat. 5:48).

Manusia yang diselamatkan melalui anugerah dalam Yesus Kristus adalah manusia yang
dikembalikan kepada kualitas manusia pertama, bahkan lebih dari itu. Ini adalah keharusan!
Hukumnya adalah mutlak. Tuhan Yesus berkata: "Kamu harus sempurna". Kemungkinan
untuk ini telah diadakan oleh Tuhan dengan membatalkan hukum dosa atau hukum maut dan
menggantikan dengan hukum Roh yang memerdekakan melalui Tuhan Yesus Kristus.
Kejatuhan manusia dalam dosa membawa manusia kepada keadaan tidak mungkin mampu
melakukan kehendak Allah dengan sempurna, tetapi keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus
membuka peluang seseorang tidak terikat oleh hukum dosa, dan itu berarti kemampuan untuk
melakukan kehendak Allah dengan sempurna dimungkinkan.

Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah, manusia patut memberikan seluruh
kehidupannya bagi Sang Khalik, sebab Dia adalah pemiliknya (Yoh. 1:10-11; 1 Kor. 6:19-20).
Oleh sebab itu manusia wajib mengarahkan seluruh miliknya bagi Tuhan untuk digunakan bagi
kepentingan Tuhan. Manusia diciptakan untuk mengabdi bagi Dia, sebab justru penciptaan
manusia yang segambar dengan Allah dimaksudkan agar manusia mampu mengabdi kepada
Tuhan dengan ibadah dan berbakti yang benar. Kemampuan hebat yang manusia miliki bukan
untuk dirinya sendiri, tetapi bagi Dia yang memberikannya. Tidak hidup bagi Tuhan berarti
meneladani Lusifer.

Kehidupan harus dipersembahkan kepada Tuhan, itulah sebabnya Allah menghukum


manusia yang mengambil kehidupan manusia lain dengan memadamkan kehidupan itu sendiri
melalui pembunuhan. Dalam hal ini berlaku hukum: "Jangan membunuh." Pembunuhan di sini
bukan hanya pembunuhan fisik sampai tingkat merenggut nyawa, tetapi juga perampasan hak-
42
hak hidup sesamanya sehingga seseorang tidak menikmati kehidupan dengan baik. Manusia
tidak berhak mengambil hak-hak diri sendiri dan sesamanya untuk kepentingan diri sendiri.
Semuanya harus dipersembahkan bagi kemuliaan Allah (1Kor. 10:31).

Ketika seseorang membuat sesamanya menemukan hidup, yaitu kehidupan di bumi ini
dengan baik dan mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, itu berarti seseorang memuliakan
Tuhan. Orang percaya yang terus bertumbuh dalam iman akan sampai pada prinsip hidup:
"Bagiku hidup adalah Kristus" (Flp. 1:21). Hal inilah yang menjadikan hidup seseorang
berbunga-bunga dengan indahnya. Ketika seseorang melepaskan hidupnya bagi Kristus, maka
ia memiliki hidup yang berkualitas tinggi. Kehidupan seperti ini tidak bisa dijelaskan dengan
kata-kata, tetapi harus dialami dan dirasakan sendiri.

Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah, manusia harus hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan. Sebab inilah yang menjadi tujuan (telos) utama Allah menciptakan manusia,
yaitu agar manusia hidup dalam persekutuan dengan diri-Nya. Diciptakannya manusia
segambar dan serupa dengan diri-Nya dimaksudkan agar manusia dapat mengimbangi Tuhan
dan dapat menjadi teman interaksi-Nya. Kalau manusia sekualitas dengan monyet, manusia
tidak berkapasitas sebagai teman interaksi-Nya. Jadi, kalau manusia tidak hidup dalam
persekutuan dengan Tuhan, maka ia mengkhianati Tuhan. Untuk itu manusia harus mematuhi
perintah-perintahNya, hidup dalam ketaatan terus menerus sehingga dapat mengerti kehendak
Tuhan untuk dilakukannya dan hidup dalam fellowship yang benar dengan Dia.

Di antara perintah-perintah Tuhan, salah satunya adalah agar manusia mengelola bumi
ini sebagai mandataris Allah supaya tercipta keharmonisan antara alam ciptaan Allah dengan
makhluk yang hidup di bumi ini. Selanjutnya dalam zaman anugerah, manusia tebusan
dipanggil untuk meneruskan karya keselamatan Kristus bagi umat manusia lain yang belum
menerima Injil. Hidup dalam persekutuan dengan Tuhan adalah hidup dalam persekutuan
dalam penyelenggaraan karya-Nya. Bagi orang percaya diharuskan untuk mengambil bagian
dalam pelebaran Kerajaan Allah di muka bumi ini. Mengusahakan bagaimana orang mengenal
keselamatan dalam Yesus Kristus dan didewasakan. Seorang yang tidak turut terlibat dalam
pekerjaan-Nya tidak bisa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Persekutuan itu juga harus
persekutuan dalam penderitaan-Nya (Flp. 3:9-11). Orang yang hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan Yesus dalam penderitaan-Nya pastilah berjuang untuk menjadi semakin seperti
atau serupa dengan Yesus. Selanjutnya juga menolong orang lain untuk memiliki perubahan
yang sama dengan dirinya.

Ini adalah suatu kehormatan yang luar biasa. Persekutuan Tuhan merupakan Firdaus itu.
Tidak ada taman indah dalam kehidupan ini selain Firdaus-Nya, yaitu hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: Aku datang, supaya mereka mempunyai
hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh. 10:10). Kelimpahan tersebut adalah
damai sejahtera Tuhan yang tiada tara (Yoh. 14:27). Tetapi damai sejahtera ini tidak dapat
dinikmati kalau seseorang tidak memiliki karakter yang telah diubah dan tidak mengerti
kehendak Tuhan.

43
Manusia adalah makhluk ciptaan yang lebih unggul dari segala ciptaan Allah yang lain.
Manusia diberi Tuhan kepercayaan untuk memiliki kedaulatan, tentu saja kedaulatan yang
terbatas. Kedaulatan untuk memerintah segala ciptaan Allah yang lain. Manusia sebagai anak
Allah dijadikan "raja" atau penguasa atas bumi ini. Tentu saja manusia tetap ada dalam
dominasi atau kekuasaan Allah. Manusia selamanya adalah mandataris Allah, ia hanya
melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah dan demi kepentingan-Nya. Mandat ini dapat
ditemukan dalam Kejadian 1:28. Untuk itu Tuhan memberikan kepada manusia keberadaan
yang luar biasa, yaitu manusia diciptakan menurut rupa dan gambar-Nya (Lat. Imago Dei).
Manusia memiliki komponen-komponen yang juga terdapat dalam diri Allah. Komponen-
komponen itu adalah pikiran, perasaan, dan kehendak. Dengan keberadaan ini manusia
berkemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu, mengambil pilihan, dan keputusan-
keputusan. Inilah kedaulatan manusia di bawah kedaulatan Allah.

Kedaulatan manusia bukan saja atas makhluk ciptaan lain yang Allah ciptakan yaitu
bahwa manusia berdaulat atas hewan dan tumbuh-tumbuhan tetapi manusia juga memiliki
kedaulatan atas dirinya sendiri, yaitu di dalam moralnya dengan kedaulatan yang tidak terbatas.
Manusia bisa mencapai kesucian seperti Allah, Bapanya. Maksudnya adalah bahwa manusia
dalam mempertimbangkan sesuatu, mengambil pilihan dan keputusan-keputusan tidak
melanggar azas-azas kesucian dan keadilan Allah sendiri. Ini adalah kedaulatan yang tidak
terbatas sesuai dengan moral Tuhan. Inilah sebenarnya maksud Tuhan menciptakan manusia,
agar manusia bisa mencapai kesucian Tuhan sehingga bisa menjadi corpus delicti (fakta yang
membuktikan bahwa Lusifer yang memberontak telah melakukan suatu pelanggaran).

Kejatuhan manusia ke dalam dosa, membuat kedaulatan manusia menjadi terbatas, baik
atas makhluk ciptaan Allah secara materi maupun kedaulatan manusia atas moralnya. Terhadap
makhluk ciptaan, manusia tidak berdaulat secara proporsional, buktinya binatang bisa melukai
manusia. Kedaulatan manusia atas moralnya pun menjadi terbatas. Manusia tidak mampu lagi
mencapai kesucian Allah. Inilah yang dimaksud oleh Paulus dalam Roma 3:23, manusia telah
kehilangan kemuliaan Allah. Bagaimanapun manusia tidak mampu melakukan kebaikan yang
berstandar moral Allah (Lat. non posse non peccare). Manusia telah berdosa, artinya meleset
(Yun. Hamartia). Kedaulatan manusia yang tadinya tidak terbatas sesuai dengan moral Tuhan,
sekarang menjadi kedaulatan yang terbatas sesuai dengan hukum atau peraturan atau kebaikan
manusia.

Walaupun manusia telah berdosa (artinya: meleset) sehingga kehilangan kemuliaan Allah
tetapi manusia tidak kehilangan kemuliaan sebagai manusia. Bagaimanapun manusia memiliki
keberadaan moral yang lebih baik dari binatang. Manusia masih memiliki kemampuan untuk
berdaulat atas moralnya secara terbatas, artinya masih bisa berbuat baik menurut ukuran
kebaikan manusia. Tentu kebaikan seperti itu dibanding dengan kesucian Tuhan masih seperti
kain kotor, belum kebaikan standar yang ideal seperti yang Allah kehendaki sesuai dengan
rencana-Nya semula.

44
Dalam Kejadian 4:6-7, terdapat pernyataan Allah yang menunjukkan bahwa manusia
masih bisa berdaulat atas dirinya sendiri di dalam moralnya secara terbatas. Kain sebenarnya
bisa, ia tidak perlu memiliki hati yang panas dan muka yang muram. Dan walaupun dosa sudah
mengintip di depan pintu dan sangat menggoda Kain, tetapi la sebenarnya masih bisa berkuasa
atasnya. Allah berfirman bahwa Kain harus berkuasa atas dosa tersebut. Kata "berkuasa" dalam
teks aslinya adalah mashal (‫) משל‬.Kata ini bisa berarti rule over, memerintah atau mengatasi
sesuatu, tetapi juga bisa berarti menjadi tuan (master it). Ini berarti Kain sebenarnya bisa
menghindarkan diri dari tindakan pembunuhan terhadap Habel, jika ia mau. Tetapi Kain
memilih untuk membunuh adiknya, ia membiarkan dirinya dikuasai oleh kemarahan dan
kecemburuan. la tidak menjadi tuan atas moralnya, tetapi la dikuasai oleh hasrat yang
bertentangan dengan kebaikan.

Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus hendak mengembalikan manusia kembali


kepada rancangan-Nya semula, yaitu menciptakan manusia dengan kedaulatan yang tidak
terbatas atas moralnya, sehingga dapat kembali mencapai kesucian Tuhan. Hal inilah yang
dimaksud oleh Firman Tuhan mengambil bagian dalam kodrat llahi (2 Ptr. 1:3-4) atau yang
sama dengan maksud penulis kitab Ibrani yaitu beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr.
12:10). Itulah sebabnya Firman Tuhan jelas sekali menyatakan agar orang percaya memiliki
pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Flp. 2:5-7). Memiliki pikiran dan
perasaan Kristus artinya bahwa orang percaya mampu bertindak, mengambil keputusan dalam
segala pertimbangannya seperti Tuhan Yesus yang dalam segala tindakannya sesuai dengan
kehendak Bapa. Inilah kedaulatan tak terbatas dalam moral Allah. Kekristenan harus
difokuskan pada hal ini, sebab inilah sebenarnya inti atau esensi Kekristenan itu. Jika jemaat
tidak sampai pada level ini berarti mereka belum sampai tujuan imannya yaitu keselamatan jiwa
yaitu usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula.

Mengapa seseorang disebut sebagai anak-anak Allah? Sebab ia memiliki kedaulatan


moral yang tidak terbatas untuk mencapai kesucian Tuhan, artinya bisa mempertimbangkan
sesuatu, mengambil pilihan, dan keputusan yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Dalam hal ini
harus dipahami bahwa sebutan anak Allah bagi manusia bukan hanya sebuah sebutan tetapi
sebuah keberadaan. Dengan keberadaan memiliki kedaulatan tanpa batas sesuai dengan moral
Tuhan tersebut, maka barulah seseorang pantas mendapat status sebagai anak-anak Allah di
hadapan-Nya. Berkenaan dengan hal ini, kita dapati bahwa keturunan Set yang masih hidup
dalam pimpinan Roh Allah dapat disebut anak-anak Allah (Kej. 6:1-4), sedangkan keturunan
Kain yang hidup "sesuka hatinya sendiri" atau hidup menurut dagingnya adalah anak manusia
(Rm. 8:9-14).

Di antara keturunan Set yang berprestasi secara spiritual adalah Henokh yang di tengah-
tengah kesibukannya sebagai pria yang berkeluarga, ia bisa bergaul dengan Allah sampai
diangkat Tuhan (Kej. 5:21-24). Oleh karena keturunan Set yang disebut sebagai anak-anak
Allah tidak hidup menurut tuntunan Roh Allah, dimana mereka mengambil istri dari keturunan
Kain sesuai dengan keinginan mereka sendiri, maka Roh Allah undur dari mereka. Sejak saat
itu tidak ada lagi sebutan anak Allah secara proporsional. Sampai pada zaman anugerah di mana

45
Allah memberi keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus, manusia dimungkinkan kembali
menjadi anak-anak Allah, Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus menyediakan kuasa (Yun.
Exousia) supaya mereka yang percaya bisa menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:11-13).

Kuasa supaya menjadi anak-anak Allah tidak otomatis dapat membuat seseorang
berkeadaan sebagai anak-anak Allah dengan moral tanpa batas sesuai dengan moral Tuhan.
Dalam hal ini setiap orang harus menjadi murid Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tegas menyatakan
bahwa orang percaya harus menjadikan semua bangsa menjadi murid Tuhan Yesus. Bukan
murid manusia. Dalam hal ini pelayanan gereja hanya sampai wilayah tertentu saja dalam
membimbing umat kepada kebenaran Tuhan oleh tuntunan Roh Kudus, selanjutnya setiap
pribadi harus belajar dari Tuhan Yesus bagaimana memiliki pikiran dan perasaan Tuhan.

Inilah proses legalitas sebagai anak-anak Allah, dimana seseorang dididik oleh Allah
supaya beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr. 12:6-10). Proses legalitas untuk diakui
sebagai anak Allah (Yun. Huios) merupakan sebuah proses yang menyita seluruh kehidupan
ini. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menyatakan agar orang percaya sempurna seperti Bapa (Mat.
5:48). Sepanjang perjalanan hidup ini, orang percaya harus dengan segenap hidup
mengumpulkan harta di surga (Mat. 6:19-20). Hidup yang Tuhan berikan sangat berharga.
Tetapi pada kenyataannya banyak orang yang tidak menghargai hidup ini dengan benar. Hal ini
disebabkan karena mereka salah dalam menanggapi Tuhan. Pada umumnya, mereka berurusan
dengan Tuhan hanya karena hendak menjadikan Tuhan sebagai perlindungan bagi masalah
hidup di dunia ini. Mereka hanya hendak menjadikan Tuhan sebagai kontributor utama untuk
membantu menjalani kehidupan dengan segala kesulitannya. Dengan ber-Tuhan, mereka
berkeyakinan dan merasa bahwa hidup ini bisa dijalani dengan lebih menyenangkan menurut
versinya.

Mereka berkeyakinan bahwa dengan bergereja maka Tuhan akan memberikan


kemudahan-kemudahan dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, dari soal ekonomi,
kesehatan, sampai masalah surga neraka. Ini adalah sikap yang sebenarnya tidak dewasa. Kalau
sikap seperti ini ada dalam kehidupan orang Kristen yang baru atau masih kanak-kanak rohani,
bisa dimengerti; tetapi kalau sudah bertahun-tahun menjadi orang Kristen masih memilki sikap
seperti ini, berarti ia tidak menghormati Tuhan dan tidak pernah menjadi dewasa.

46
BAB X

STANDAR MORAL MANUSIA

Manusia adalah makhluk yang luar biasa, keluarbiasaannya terdapat pada moralnya.
Manusia adalah makhluk bermoral (moral being). Sebelum jatuh dalam dosa, manusia
berpotensi menjadi manusia yang sempurna. Tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia
tidak mampu lagi mencapai kesempurnaan seperti yang dikehendaki oleh Allah. Memang bila
ditinjau secara moral umum, setelah jatuh dalam dosa, manusia bukanlah makhluk yang rusak
total atau mutlak atau apa pun istilahnya seperti yang banyak dideskripsikan oleh beberapa
teolog. Mereka memandang semua manusia sudah rusak sama sekali, ibarat barang sudah
menjadi sampah yang tidak bernilai sama sekali. Pandangan tersebut hanya untuk membela
pandangan bahwa manusia dengan keadaannya sebagai manusia yang berdosa tidak mampu
sama sekali meresponi anugerah Allah. Jadi, keselamatan sepenuhnya tergantung pada Allah.

Semua manusia dipandang tidak mampu sama sekali menyambut keselamatan, jika tidak
digerakkan oleh Tuhan. Selanjutnya, mereka berkeyakinan bahwa keselamatan hanya
disediakan bagi orang-orang tertentu saja. Padahal pengertian keselamatan itu sendiri belum
dibedah dengan jujur dan mendalam. Jika semua manusia sudah rusak total atau mutlak atau
apa pun istilahnya dan tidak bisa diperbaiki, itu berarti bahwa semua manusia yang hidup di
zaman sebelum Tuhan Yesus pasti masuk neraka; termasuk di dalamnya Henokh, Ayub,
Abraham, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya, ada orang-orang di Perjanjian Lama yang
dinilai Tuhan sebagai dan pantas menjadi sahabat-Nya. Henokh bergaul dengan Allah sampai
ia diangkat oleh Allah. Ayub dikatakan seorang yang saleh di mata Allah, Abraham adalah
sahabat Allah, dan lain sebagainya.

Memang bila ditinjau dari standar kesucian Tuhan dan maksud Allah menciptakan
manusia yaitu bagaimana manusia harus menampilkan satu pribadi yang taat kepada Bapa,
sepikiran dan seperasaan dengan Bapa, menghormati Bapa dan melakukan kehendak serta
rencana-Nya dengan sempurna maka kebaikan yang dicapai oleh manusia seperti kain kotor.
Mereka tidak bisa disebut sebagai anak-anak Allah yang berkarakter seperti Bapa. Abraham
sendiri memiliki gundik-gundik. Pantaskah ia menjadi anak Allah dan masuk Rumah Bapa?
Tentu tidak. Tetapi dalam skala hidup umat Perjanjian Lama yang tidak mendengar kebenaran
Injil, mereka diterima sebagai umat dan keberadaan mereka pun ditolerir. Nyatanya Abraham
bisa menjadi sahabat Allah dan Allah mengaku mereka sebagai umat-Nya (Ibr. 11:16).

Oleh sebab itu standar hidup umat Perjanjian Lama, sesaleh apa pun tidak bisa menjadi
standar hidup orang percaya. Mereka bisa menjadi umat Allah dan sebagian mereka bisa
menjadi kekasih-kekasih dan sahabat Allah, tetapi mereka tidak bisa menjadi umat Tuhan yang
mencapai standar kesucian seperti yang dikehendaki oleh Allah Bapa. Kalau di dunia yang akan
datang mereka diperkenankan masuk "surga", maka mereka tidak akan menduduki

47
pemerintahan bersama-sama dengan Kristus (Rm. 8:17). Mereka hanya akan menjadi anggota
masyarakat bersama dengan banyak orang dari segala suku bangsa.

Manusia yang tidak mencapai standar hidup seperti yang dikehendaki oleh Allah adalah
manusia yang dinilai gagal. Gagal di sini bukan berarti manusia menjadi biadab seperti hewan,
tetapi manusia yang berkeadaan tidak menjadi persis seperti yang Allah Bapa kehendaki.
Standar yang benar atau tepat seperti yang Allah kehendaki adalah kehidupan yang diperagakan
oleh Tuhan Yesus. Kehidupan Tuhan Yesus adalah kehidupan dalam ketaatan yang tidak
bersyarat kepada Allah Bapa (Flp. 2:7-10), penghormatan yang sempurna kepada Bapa dan
kasih cintanya yang sangat mendalam kepada Allah Bapa tanpa batas. Kurang dari standar
hidup tersebut berarti manusia gagal menjadi corpus delicti.

Gagal menjadi corpus delicti maksudnya tidak bisa membuktikan bahwa Iblis bersalah.
Sebenarnya Iblis sebagai makhluk ciptaan dirancang untuk bersikap seperti yang Tuhan Yesus
peragakan. Tetapi Iblis memilih jalannya sendiri. la tidak bisa dihukum sebelum dibuktikan
kesalahannya. Pembuktiannya adalah bila ada pribadi yang menunjukkan bagaimana
seharusnya makhluk ciptaan hidup di hadapan Allah Bapa sebagai Penciptanya. Manusia
(Adam) yang seharusnya bisa membuktikan kesalahan Iblis telah gagal, karena manusia tidak
menampilkan kehidupan yang Allah Bapa inginkan. Manusia gagal mencapai target tersebut.
Kerusakan tersebut menempatkan manusia sebagai makhluk yang gagal memuaskan hati Bapa,
walaupun manusia masih bisa memiliki moral yang baik. tidak seperti hewan. Manusia
mengecewakan Allah karena tidak memuaskan keinginan-Nya. Kehidupan yang dimiliki
manusia menjadi tidak ideal.

Standar kehidupan yang dirancang Allah Bapa untuk dikenakan dalam hidup manusia
hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang hidup pada zaman Perjanjian Baru, sebab Terang
itu datang pada zaman penggenapan. Dalam Dia ada hidup, dan hidup itu terang manusia (Yoh.
1:4). Hidup di sini adalah tata laksana kehidupan yang dikehendaki oleh Allah. Di dalam diri
Tuhan Yesus ada standar kehidupan yang Allah Bapa kehendaki dan Tuhan Yesus
memperagakannya dengan sangat sempurna. Terang itu menunjuk standar kehidupan yang
dikehendaki oleh Allah Bapa. Berjalan atau hidup dalam terang artinya memahami standar
kehidupan. Kehidupan bangsa Israel adalah peta kehidupan manusia pada umumnya yang
belum mengenal terang. Standar kehidupan bukan pada kehidupan beragama seperti yang
diterapkan bangsa Israel. Kalau standar kehidupan cukup dengan aturan agama, maka Tuhan
Yesus tidak perlu datang sebagai Terang. Orang percaya dipanggil untuk memiliki kualitas
hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan, bukan berdasarkan tokoh saleh dalam Perjanjian
Lama.

Standar kehidupan ideal ini adalah kehidupan yang dalam segala geraknya
mempermuliakan Allah (1Kor. 10:31). Kehidupan yang memuliakan Allah adalah kehidupan
yang diperagakan oleh Tuhan Yesus. Bukan pada nyanyian, bukan pada liturgi atau misa, tetapi
pada Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Berkenaan dengan ini justru tata cara liturgi atau
ritual agama apa pun bentuknya bisa berpotensi menyesatkan (kalau dipahami keliru), sebab

48
seakan-akan bisa menggantikan ruangan untuk mempermuliakan Tuhan. Pujian, sanjungan, dan
penyembahan dengan gerak dan mulut bagi Tuhan justru menjijikkan kalau tidak disertai
tindakan setiap hari yang membuat orang lain diberkati. Diberkati artinya membuat seseorang
mengenal Allah yang benar dan bisa berperilaku baik.

Malang sekali banyak orang Kristen merasa bahwa ia sudah melaksanakan standar hidup
yang benar karena sudah menghiasi hidupnya dengan pergi ke gereja. Apalagi kalau sudah
mengambil bagian dalam kegiatan pelayanan gereja, mereka merasa bahwa mereka telah
memiliki standar hidup yang diinginkan oleh Tuhan. Justru mereka yang merasa diri menjadi
hamba Tuhan tersesat oleh gambar diri yang salah. Mereka merasa sudah melayani Tuhan
sebagai hamba Tuhan, diakui masyarakat sebagai hamba Tuhan atau wakil Tuhan dan memiliki
kegiatan yang dikategorikan sebagai "imam" bagi umat Tuhan. Padahal standar hidup yang
benar bukan ditandai dengan jabatan dan kegiatan lahiriah, tetapi pada sikap batiniah (segala
sesuatu yang kita lakukan sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah).

Betapa konyolnya lagi kalau gereja dan pemberita Firman mengesankan bahwa hidup
dengan cara demikian itu (ke gereja dan mengambil bagian dalam kegiatan gereja) sudah
memenuhi standar hidup yang Allah kehendaki. Mereka tidak berbicara tegas bahwa sekalipun
sudah bergereja dan mengambil bagian dalam kegiatan pelayanan gereja, tetapi kalau tidak
memiliki sikap batiniah seperti Tuhan Yesus, berarti belum memuaskan hati Allah Bapa. Jika
hal ini tidak disampaikan dengan tegas, maka banyak orang menganggap bahwa keselamatan
itu murahan dan tidak perlu ada usaha serius untuk itu.

Padahal Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa kita harus berusaha masuk pintu sesak
kalau mau selamat (Luk. 13:23-24). Dalam bagian lain jelas sekali Tuhan Yesus mengatakan
tidak mudah seseorang bisa masuk surga. Karena kebenaran ini ditutupi. maka jemaat sudah
merasa nyaman dan aman bergereja. Selanjutnya jemaat didorong untuk mendukung kegiatan
gereja, khususnya dalam bidang keuangan. Jemaat hanya dimanfaatkan potensinya untuk
kegiatan gereja tanpa menekankan bahwa mereka harus sungguh-sungguh berjuang untuk
mengenakan kehidupan yang diperagakan oleh Tuhan Yesus.

Standar kehidupan yang dikehendaki oleh Allah Bapa bukan terletak bagaimana
mengatur hidup sesuai dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang diberikan Tuhan
seperti Taurat yang diberikan kepada bangsa Israel, tetapi terletak pada sikap hati atau batin
manusia. Sikap hati ini sama dengan kemampuan merasakan apa yang Tuhan rasakan atau sama
dengan kecerdasan berpikir seperti Tuhan. Kecerdasan ini sangat ditentukan oleh pengertian
terhadap kebenaran yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Kecerdasan ini seperti obat yang
menyembuhkan tubuh yang sakit. Kecerdasan ini juga seperti peta yang menuntun orang yang
sesat. Kecerdasan ini seperti pelita bagi orang yang berjalan dalam gelap.

Firman Tuhan mengatakan: "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa


kabar baik!" Kabar baik itu adalah apa yang diajarkan Tuhan Yesus yang mencelikkan
pengertian seseorang sehingga memahami hikmat Allah (Rm. 10:15). Ini yang dimaksud oleh

49
Tuhan Yesus menjadikan semua bangsa murid Tuhan. Ini bukan hanya berarti
menyelenggarakan program pemuridan tiga bulan atau enam bulan kemudian mewisuda orang-
orang yang dianggap sudah lulus program pemuridan tersebut. Tetapi sebuah proses belajar
yang tidak berhenti sampai mata tertutup untuk selamanya. Sarana utama untuk proses
pemuridan tersebut adalah Firman Tuhan. Jadi, gereja yang tidak mengajarkan Firman Tuhan
yang benar dan murni secara intensif, berarti menipu dan menyesatkan.

Menjadi murid Tuhan bukanlah menjadi murid pendeta atau hamba Tuhan manapun.
Perhatikan Matius 28:18-20, Jadikanlah semua bangsa murid-Ku, murid Tuhan Yesus. Ini
berarti orang percaya harus mengalami pertumbuhan dalam iman sampai bisa bersekutu dengan
Tuhan secara pribadi. Seorang pendeta hanya menjadi tutor sementara waktu, sebab pada
akhirnya setiap individu jemaat harus dapat menjangkau Tuhan tanpa bantuan siapa pun.
Mereka bisa merasakan apa yang Tuhan rasakan dan memiliki kecerdasan berpikir untuk
mengerti kehendak Allah Bapa.

Standar kehidupan yang dikehendaki oleh Allah tersebut harus dipahami dengan benar.
Seseorang harus sungguh-sungguh memahaminya, dimana bila ia berurusan dengan Tuhan
bukan saja karena memerlukan berkat-Nya untuk memenuhi kebutuhan hidup di bumi ini baik
makan, minum, kesehatan, atau apa pun tetapi karena Tuhan sendirilah sebagai kebutuhannya.
la sudah tidak mempersoalkan hal-hal tersebut di atas. Ia tidak akan merindukan dan meminta
apa pun kecuali memahami apa yang diinginkan oleh Tuhan. la pun juga tidak bermaksud hanya
untuk "memberi sesuatu", tetapi dirinya sendirilah yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan
melakukan apa yang diingini oleh Tuhan. Itu berarti segenap hidupnya tanpa batas untuk
kepentingan Tuhan.

50
BAB XI

AGENDA DALAM PENCIPTAAN MANUSIA

Dalam lingkungan orang beragama yang berbicara mengenai hukum, akan selalu
dikaitkan dengan "perintah, peraturan, atau syariat". Berbeda dalam Kekristenan, kalau diteliti
dengan cermat, Alkitab bukan hanya menunjukkan adanya hukum dalam arti perintah,
peraturan atau syariat, tetapi juga berbicara mengenai kodrat atau natur atau ketetapan. Dalam
kehidupan fisik di alam ini juga terdapat adanya seperti hukum gravitasi, hukum Archimedes,
dan lain sebagainya. Hukum-hukum alam ini bukan berbicara mengenai peraturan atau perintah
yang ditujukan langsung kepada manusia untuk ditaati, tetapi fakta kehidupan yang harus
dipahami dengan benar dan dihargai. Dan manusia mau tidak mau tunduk kepadanya, sebab
hukum-hukum tersebut mengikat.

Dari pengertian dan penghargaan terhadap hukum-hukum alam tersebut, manusia mau
menaatinya karena tidak bisa menghindarkannya dan memang tidak boleh dihindari. Mengapa
tidak bisa dihindari? Sebab memang semua itu merupakan fakta yang bertalian langsung dalam
kehidupan manusia. Manusia hidup pasti berurusan dengan hukum-hukum tersebut. Oleh sebab
itu manusia harus memahaminya dengan benar. Dengan pemahaman yang benar, maka manusia
juga akan bisa memanfaatkannya bagi kesejahteraannya. Seperti misalnya dengan memahami
hukum Archimedes, maka orang bisa membuat kapal, dan lain sebagainya.

Sebagaimana manusia harus memahami secara mutlak hukum-hukum alam yang


bertalian dengan hidup mereka setiap hari di dunia ini, maka manusia juga harus memahami
hukum kehidupan yang bertalian dengan Allah guna kehidupan kekal. Hukum kehidupan ini
disebut sebagai hukum rohani. Hukum rohani memuat fakta-fakta dalam alam rohani yang pasti
membawa dampak pula pada kehidupan jasmani atau hukum-hukum alam ini. Dengan
demikian hukum rohani bisa dikatakan lebih bernilai dari hukum alam yang kelihatan dan bisa
dibuktikan secara sains. Adapun hukum rohani bisa dibuktikan secara sempurna nanti dalam
penghakiman terakhir.

Hukum rohani menyangkut ketetapan yang Allah tentukan, berasal dari Pribadi Allah
Bapa yang Mahakudus, Maha Bijaksana, dan Mahaadil. Dalam hukum rohani tersebut terdapat
ketetapan-ketetapan yang harus dihargai baik oleh pihak Allah maupun pihak manapun atau
siapa pun. Allah juga konsekuen atas hukum yang ditetapkan-Nya tersebut yang menjadi
semacam "rule of the game" di kehidupan ini. Kalau orang-orang Kristen baru dan orang-orang
beragama pada umumnya berorientasi pada hukum Allah dalam pengertian perintah, peraturan
atau syariat, tetapi orang percaya yang dewasa berorientasi pada hukum dalam pengertian
kodrat, natur, atau ketetapan. Inilah yang membuat orang percaya bukan saja bisa melakukan
hukum (to do) tetapi bisa memahami hukum kehidupan ini sehingga bisa berkeadaan
melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah (to be). Dalam hal ini kesucian bukan hanya berarti
tidak berbuat dosa, tetapi tidak bisa berbuat dosa. Kesucian bukan berangkat dari melakukan
51
perintah, peraturan, atau syariat Tuhan, tetapi melakukan kehendakNya, memuaskan, dan
menyenangkan hati-Nya.

Dengan memahami hukum dalam pengertian yang kedua, maka kita akan menemukan
jawaban: Mengapa Allah menciptakan manusia? Mengapa harus ada dua buah pohon di taman
Eden? Mengapa Tuhan Yesus harus mati? Apa arti kebangkitan-Nya? Dan lain sebagainya.
Hal ini akan membuka pengertian kita terhadap kebenaran Alkitab yang menakjubkan dan
membuktikan bahwa Kekristenan memuat kebenaran Allah yang tidak tertandingi. Pernah
timbul pertanyaan yang sulit untuk menemukan jawabnya: Mengapa ketika Lusifer beserta para
malaikat yang dihasutnya memberontak kepada Allah, Allah tidak segera membinasakan
mereka seketika itu juga dan menghukumnya? Kalau saja pada waktu mereka memberontak,
Allah segera atau seketika itu membinasakan mereka, maka tidak akan pernah ada kejatuhan
manusia dalam dosa. Dan dunia tidak akan menghadapi bencana oleh sepak terjang Lusifer dan
para malaikat yang jatuh tersebut.

Dalam kitab Wahyu 12:7-9, dikatakan bahwa malaikat-malaikat Allah-lah yang


berperang melawan "naga" yang adalah gambaran Lusifer beserta dengan malaikat-
malaikatnya. Mengapa bukan Allah sendiri yang bertindak, tetapi malaikat-malaikat-Nya yang
berperang? Sulit dibantah, bahwa terkesan begitu alot untuk dapat menaklukkan Lusifer.
Bukankah dengan jentikan jari Allah Bapa bisa memunahkan Lusifer? Mengapa Ia tidak
melakukannya? Memang di kitab Yehezkiel, terdapat catatan seakan-akan atau terkesan Allah
langsung membuang Lusifer, tetapi kalau diamati dengan teliti ayat-ayat itu menunjuk
ringkasan dari akhir hidup Lusifer. Di dalam ayat-ayat tersebut tidak diungkapkan mekanisme
pengusiran tersebut (Yeh. 28:16-19)

Ternyata pada akhirnya bukan malaikat-malaikat Allah yang bisa mengalahkan Iblis,
tetapi darah Tuhan Yesus dan perkataan kesaksian mereka yang dikatakan "tidak
menyayangkan nyawanya" (ini menunjuk orang percaya yang mengikuti gaya hidup Tuhan
Yesus) (Why. 12:11). Pada prinsipnya, jelas sekali bahwa Allah Bapa tidak segera
membinasakan Lusifer yang memberontak kepada-Nya. Seakan-akan ada yang menahan Allah
bertindak membinasakan Lusifer seketika itu. Jawaban mengapa Allah tidak bisa
membinasakan Lusifer seketika itu, akan dikemukakan panjang lebar dalam tulisan ini di bagian
belakang.

Pertanyaan yang senada dengan hal di atas adalah: Mengapa ketika Adam berbuat dosa,
Allah tidak segera mengampuni seketika itu juga sehingga masalah dosa manusia segera bisa
diselesaikan atau ditanggulangi? Bukankah itu hal yang mudah dilakukan oleh Allah? Ternyata
tidak sesederhana yang dapat dipikirkan oleh pikiran manusia. Kalau kita tidak melihat
"sesuatu" di balik semua peristiwa tersebut, maka kita akan memandang Alkitab seperti cerita
dongeng atau mitos banyak agama yang tidak logis.

Di balik fenomena di atas, kita memperoleh pengertian adanya suatu hukum kehidupan
yang luar biasa, sekaligus menemukan hakikat Allah yang Mahaagung yang sangat

52
mengagumkan. Untuk pertanyaan kedua ini bisa dijawab sebagai berikut: Setiap kesalahan
harus ada sanksinya. Allah memang pengasih dan penyayang, tetapi la juga Allah yang adil.
Allah tidak mungkin menyangkali hakikat keadilan-Nya. Keadilan-Nya menuntut setiap
tindakan mendapat ganjaran, juga setiap kesalahan harus ada konsekuensi dan sanksinya.
Firman Tuhan mengatakan bahwa apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Gal.
6:7; Nah. 1:3). Jadi, harus ada yang memikul kesalahan tersebut demi supaya manusia dapat
dibebaskan.

Firman Tuhan mengatakan bahwa upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup
yang kekal dalam Kristus Yesus (Rm. 6:23). Kalau Allah dengan mudah mengampuni kesalahan
Adam dan Hawa, berarti la Allah yang tidak adil, Allah yang tidak tertib, Allah yang tidak
memiliki sistem dan aturan. Ternyata Allah adalah Allah yang memiliki integritas yang
sempurna. Hakikat di dalam diri Allah juga terdapat hukum (rule), sistem, dan aturan. la adalah
Allah yang tertib. Karena integritas Allah tersebut, maka Allah tidak akan bertindak
sembarangan tanpa aturan.

Tuhan Yesus tampil menggantikan tempat manusia yang harus dihukum dengan memikul
atau menanggung dosa manusia. Hal ini dilakukan-Nya untuk memenuhi atau menjawab
keadilan Allah. Sekaligus oleh ketaatan-Nya la bisa menjadi corpus delicti (fakta yang
menunjukkan atau membuktikan bahwa suatu kesalahan atau kejahatan telah dilakukan). Hal
ini membuktikan bahwa Iblis terbukti bersalah dan pantas dihukum.

Hanya dalam Kekristenan terdapat mekanisme keselamatan semacam ini. Itulah


sebabnya hanya Kekristenan yang memiliki konsep keselamatan "hanya oleh anugerah" (Lat.
sola gratia; Ing. only by grace). Wujud anugerah itu adalah pemberian Anak Tunggal Allah
Bapa untuk menyelamatkan manusia. Dengan demikian, kalau seseorang menolak keselamatan
dalam Yesus Kristus, maka ia memandang Allah sebagai Allah yang tidak memiliki aturan.

Dengan hal ini kita mengerti mengapa keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga
selain di dalam Dia (Yesus Kristus), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya manusia dapat diselamatkan (Kis. 4:12). Hanya
dengan jalan penebusan dosa yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus, manusia memperoleh
pengampunan. Dalam hal ini pengampunan tidak hanya berangkat dari kesediaan Allah Bapa
mengampuni, tetapi juga terpenuhinya persyaratan pengampunan, yaitu adanya oknum yang
bersedia menggantikan tempat manusia memikul hukuman atas kesalahan manusia. Mekanisme
keselamatan dalam Kekristenan adalah mekanisme yang logis, jujur, adil, dan cerdas.

Tidak bisa disalahkan kalau ada agama sebelum zaman penggenapan tidak memiliki
konsep ini dan tidak mengenakannya dalam kehidupan mereka, sebab mereka tidak tahu. Tetapi
kalau ada manusia yang hidup pada zaman anugerah atau zaman penggenapan ini, mendengar
Injil tetapi berusaha membangun kebenarannya sendiri, maka ia akan menjadi alat Lusifer
menyerang Kekristenan (Yoh. 9:41; 15:24). Tuhan Yesus menyatakan bahwa pasti akan ada
penyesat (Mat. 18:7). Dalam bagian lain di Alkitab tegas sekali menyatakan bahwa di dunia ini

53
pasti ada antikris, bisa berupa suatu kekuatan, gerakan politik atau komunitas agama yang akan
menyerang Kekristenan. Lusifer akan selalu memiliki antek-antek untuk menyerang kebenaran.

Dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, di mana tindakan-tindakan Allah tercatat


dalam Alkitab dengan jelas, dapat ditarik suatu kesimpulan seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa Allah tidak bertindak tanpa aturan; la adalah Allah yang adil, Allah yang tertib, Allah
yang memiliki sistem dan aturan. Hal ini akan memberi inspirasi kepada kita untuk tidak
bertindak sembrono dalam hidup ini. Manusia terikat dengan hukum kehidupan yang ditetapkan
oleh Allah, bahkan Allah sendiri juga konsekuen terhadap diri-Nya sendiri dengan apa yang
telah ditetapkannya sebagai "rule of the life".

Allah tidak akan pernah bertindak secara sembarangan tanpa aturan, tanpa hukum atau
rule. Allah adalah Allah yang tertib. Di dalam diri-Nya ada hukum, aturan, sistem, atau
kebijakan-kebijakan dari kecerdasan-Nya yang tiada batas. Dalam bertindak ada hukum atau
semacam "The rule of the game" (aturan main) atau "The rule of the life" (hukum kehidupan)
yang oleh kedaulatan-Nya sendiri Allah tetapkan. Allah bertindak sesuai dengan hukum atau
aturan tersebut. Inilah yang pasti dipahami oleh oknum yang disebut Lusifer, sehingga ia berani
memberontak kepada Allah. Ia tahu bahwa Allah terikat dengan hukum dalam diri-Nya dan Ia
tidak dapat menyangkalinya. Lusifer memanfaatkan realitas tersebut untuk mewujudkan
keinginannya.

Seharusnya pemahaman terhadap hakikat Allah dimaksudkan agar makhluk ciptaan


melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Inilah yang Allah Bapa kehendaki; menciptakan
makhluk yang segambar dengan diri-Nya dengan kemampuan mengenal hakikat-Nya agar
bertindak seperti Dia bertindak, sehingga dapat menyenangkan atau memuaskan hati Allah
Bapa. Tetapi Lusifer memanfaatkan pengenalan akan hakikat-Nya tersebut untuk memberontak
kepada-Nya. Seharusnya dengan mengenal seluk beluk Allah (hakikat-Nya), anak-anak-Nya
meninggikan, memuliakan, dan mengokohkan takhta-Nya; tetapi Lusifer sebaliknya
menemukan celah untuk bisa merebut takhta-Nya serta mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri.
Memang hal ini tidak tertulis secara eksplisit (terang-terangan), tetapi inilah fakta yang bisa
ditangkap secara logis yang bisa menjawab pertanyaan di atas (mengapa Allah tidak bisa segera
membinasakan Iblis?). Dengan menganalisa secara jujur, mendalam, dan analistis terhadap
tindakan-tindakan Allah yang ditulis dalam Alkitab, maka kita dapat memperoleh pemahaman
yang tepat berkenaan dengan diri Allah dan hukum kehidupan ini.

Sangatlah logis kalau dipahami bahwa tidak mungkin Lusifer berani melawan Allah Bapa
tanpa alasan atau dasar yang kuat. Ternyata Lusifer melihat celah peluang atau kemungkinan
untuk bisa memenangkan perlawanan terhadap Allah, sebab Allah tidak bisa bertindak di luar
hukum keadilan-Nya. Lusifer mencoba mencari kesempatan untuk mendapat keuntungan dari
realitas tersebut. Ia membawa dirinya dengan Allah pada suatu "pertarungan". Lusifer 'berjudi'
dengan keputusannya sendiri. Ia berharap bisa memperoleh apa yang diinginkan, yaitu
mengangkat diri sebagai penguasa menyamai Allah. Itulah sebabnya dikatakan dalam
Yehezkiel 28:16, bahwa ia berdagang. Berdagang artinya melakukan suatu usaha untuk

54
memperoleh keuntungan, tetapi masih bersifat "spekulatif" (untung-untungan). Di mana pun,
aktivitas perdagangan memiliki unsur spekulatif ini.

Upaya untuk menyamai Tuhan itulah yang dalam Yehezkiel 28:15 disebutkan sebagai
"didapati kecurangan" (wickedness). Dia diciptakan untuk mengabdi, tetapi ternyata ia
berdagang atau "trading" (Yeh. 28:16). Dalam teks aslinya kata "berdagang" terjemahan dari
"rekullotka" dari akar kata (Ibr. rekullah, ‫)ריקולה‬, yang bisa diterjemahkan merchandise.
Trading menunjuk kegiatan mencari keuntungan. Dengan mencari keuntungan, maka Lusifer
yang menjadi jahat ini, tidak lagi mengabdi kepada Tuhan, tetapi mencoba mencari keuntungan
sendiri, yaitu kemuliaan bagi dirinya sendiri (Yeh. 28:16). Dalam hal ini kita temukan bahwa
sebenarnya maksud Tuhan menciptakan Lusifer dan para malaikat adalah untuk melayani diri-
Nya, bukan diri mereka sendiri.

Mengapa Allah tidak bisa membinasakan Lusifer saat itu juga ketika ia memberontak?
Sebab tindakan Lusifer belum bisa dikatakan salah, belum ada verifikasi atau pembuktian
bahwa Lusifer bersalah. Harus ada semacam "corpus delicti" (fakta yang membuktikan bahwa
suatu kesalahan atau kejahatan telah dilakukan). Anak Allah lainnyalah yang seharusnya
membuktikan itu. Sama seperti kasus: Bagaimana bisa membuktikan bahwa suatu benda
warnanya putih kalau tidak ada verifikasi warna lain? Hal ini bisa diteguhkan oleh pernyataan
surat Roma (Roma 4:15: "Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak
ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran." Roma 5:13: "Sebab sebelum hukum
Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada
hukum Taurat").

Dari apa yang dipaparkan dalam Roma 4:15; 5:13 membuka pikiran kita untuk
memahami bahwa Allah bertindak dengan aturan yang sempurna. Seperti misalnya dalam
menunjukkan kesalahan dan menghukum harus ada pembuktian. Itulah sebabnya Taurat
diberikan juga untuk membuktikan bahwa manusia terbukti bersalah (Rm. 4:15; 5:13). Fakta
ini akan menuntun manusia kepada anugerah, bahwa dengan kemampuannya sendiri manusia
tidak akan bisa memiliki keselamatan, sehingga membutuhkan campur tangan Tuhan sendiri
untuk menyelamatkannya. Demikian pula Lusifer yang jatuh, tidak akan terbukti bersalah
sebelum ada pembuktiannya, yaitu adanya makhluk yang memiliki ketaatan dan penghormatan
yang benar kepada Allah dan memiliki persekutuan dengan Dia secara benar. Makhluk yang
memiliki ketaatan kepada Bapa itulah disebut semacam "corpus delicti". Hal ini membungkam
Iblis sehingga tidak bisa mengelak, sebab Iblis terbukti melakukan suatu kesalahan. Inilah rule
of the game (life)-nya.

Ketika Iblis memberontak melawan Allah, Allah tidak seketika bisa membinasakan. Ada
"rule", hukum atau aturan untuk bisa menunjukkan bahwa Iblis bersalah dan pantas dihukum.
Rupanya pada waktu itu belum ada pembuktian bahwa tindakan Iblis bersalah dan patut
dihukum, sebab jika pada waktu itu sudah bisa terbukti Iblis bersalah, niscaya Iblis sudah
dihukum. Bagaimana membuktikan bahwa Iblis bersalah? Jawaban yang paling logis adalah
Allah harus menciptakan makhluk yang melakukan kehendak-Nya, menjadi makhluk seperti

55
yang dikehendaki-Nya atau yang dirancang-Nya. Untuk ini Allah melahirkan anak-Nya yang
lain, yaitu Adam.

Manusia yang diciptakan ini diharapkan dapat menampilkan suatu kehidupan yang
bersekutu dengan Bapa, taat, menghormati, memuliakan Allah, dan meninggikan Allah Bapa,
serta mengabdi dan melayani-Nya secara pantas. Hal itu akan menjadi pembuktian terhadap
kesalahan Iblis sehingga ia bisa dihukum. Inilah rule of the game-nya. Kalau ada pertanyaan:
Mengapa bukan malaikat lain yang tidak jatuh yang membuktikan kesalahan Lusifer?
Jawabnya adalah bahwa Lusifer bukanlah malaikat, tetapi anak Allah. Itulah sebabnya Allah
harus menciptakan anak-Nya yang lain (Yeh. 28:12-19).

Ternyata Allah menciptakan manusia bukan sekadar ingin memiliki makhluk yang
segambar dengan diri-Nya dan ditempatkan dalam sebuah taman untuk mengelolanya. Tentu
tidak sesederhana itu. Ada rancangan atau agenda yang lebih besar dari hal tersebut. Ternyata
manusia diciptakan untuk menggenapi rencana Bapa, yaitu mengalahkan Iblis dengan
membuktikan bahwa ia bersalah (corpus delicti). Itulah sebabnya bahan dasar yang dimiliki
manusia pada hakikatnya adalah dari dalam Allah sendiri, yaitu melalui hembusan nafas-Nya.
Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya sendiri. Sangat luar biasa! Hal itu
dilakukan Bapa agar manusia bisa mengalahkan Lusifer yang jatuh tersebut. Di sini manusia
menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk mengakhiri sepak terjang Lusifer.

Mandat untuk menaklukkan Lusifer jelas sekali terdapat pada mandat yang diberikan
kepada manusia yang tertulis dalam Kejadian 1:28, "Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Dalam teks ini nampak sekali mandat
untuk berperang melawan musuh Allah dan mengalahkannya. Beranak cucu (Ibr. ‫ ;פרו‬peru) dan
bertambah banyak (Ibr. ‫ ;ורבו‬urebu) dimaksudkan agar yang berhak mewarisi Kerajaan-Nya
adalah manusia. Allah hendak menggantikan posisi Lusifer dengan manusia. "Penuhi bumi"
dalam teks aslinya adalah umilu. Kata ini selain berarti mengisi atau memenuhi (to fill, be full)
juga bisa berarti menyelesaikan (accomplish; be at end) dan juga berarti menguduskan
(consecrate). Bumi harus dipenuhi oleh keturunan Adam dan menyingkirkan makhluk lain
yang membuatnya tidak kudus. Kata "taklukkan" dalam teks Ibraninya adalah wekivshuha dari
akar kata kabash (‫)כבש‬. Kata ini bukan hanya berarti menaklukkan (to conquer), tetapi juga
menguasai dan memperbudak (bring into bondage, force, keep under, subdue, bring into
subjection). Dan manusia harus berkuasa atas makhluk ciptaan. Ini berarti manusia dijadikan
"raja" oleh Allah. Manusia dikehendaki menjadi "tuan" bagi kemuliaan Allah. Kata "berkuasa"
dalam teks aslinya adalah urebu (‫)ורבו‬, dari akar kata radah ( ‫ )רדה‬artinya memerintah (come
to, make to have dominion, prevail against, reign, (bear, make to) rule (r), over, take).

Dari penjelasan di atas ini yang penting dan yang hendak dikemukakan adalah bahwa
manusia harus menghadapi segala rintangan kehidupan. Bukan hanya yang material, tetapi juga
yang non-material. Justru yang non-material inilah yang lebih berat, yaitu Lusifer dengan

56
malaikat-malaikat yang jatuh (Yes. 14:12; Yeh. 28:18). Di bumi ini manusia harus bisa
mengalahkan atau menaklukkannya.

Dalam perjalanan sejarah kehidupan, ternyata manusia gagal memenangkan pergumulan


melawan Lusifer. Manusia malah mengikuti jejak atau jalan Lusifer, manusia juga ingin
menjadi seperti Allah. Ada sebagian jejak Iblis yang ditularkan kepada manusia. Hal inilah
yang membuat manusia tidak bisa lagi mencapai kesucian Allah. Manusia telah kehilangan
kemuliaan Allah. Manusia pertama gagal menggenapi rencana Allah. Lusifer adalah makhluk
surgawi yang sangat besar kemungkinan juga adalah pangeran Allah. Dalam Yehezkiel 28:2 ia
disebut pangeran. Kata "raja" dalam Yehezkiel 28:2 (dalam teks bahasa Indonesia) sebenarnya
adalah "pangeran" (Ibr. ‫ ;נגיד‬Nagid). Barulah di ayat 12 sebutan raja memang raja; melekh.

Lusifer sangat besar kemungkinan hendak dipersiapkan sebagai penguasa, la diciptakan


untuk melakukan kehendak Allah Bapa dan hidup dalam persekutuan yang harmonis dengan
Allah, itulah sebabnya ia ditempatkan di dekat Kerubim, tempat di mana Allah bertahta (Yeh.
28:14). Lusifer adalah makhluk berpribadi yang memiliki segambaran dengan Allah yang
dirancang untuk ada dalam persekutuan dengan Allah, tetapi ia memberontak.

Untuk membuktikan kesalahan Lusifer agar ia pantas dihukum, harus ada mahkluk yang
diciptakan oleh Allah yang memiliki segambaran dengan Allah yang bisa hidup dalam
persekutuan dengan Allah. Makhluk yang diciptakan untuk membuktikan kesalahan Lusifer
yang jatuh tersebut adalah manusia. Dengan demikian sejatinya Adam di Taman Eden bukan
hanya dididik untuk bisa taat, tetapi juga bisa mencapai suatu persekutuan yang ideal dengan
Allah untuk membuktikan bahwa Lusifer bersalah dan pantas dihukum.

Kegagalan manusia pertama menyisakan persoalan, siapakah yang dapat mengalahkan


Iblis atau membuktikan bahwa Iblis bersalah dan pantas untuk dihukum? Tidak ada jalan lain
kecuali Anak Tunggal yang bersama-sama dengan Bapa. Anak Tunggal Bapa harus turun ke
bumi menjadi manusia, di mana dalam segala halnya la disamakan dengan manusia (Ibr. 2:17).
Allah Anak menjadi manusia untuk membuktikan bahwa ada Pribadi yang bisa taat tanpa syarat
kepada Bapa dan mengabdi sepenuhnya (Flp. 2:5-11; Yoh. 4:34). Hal ini akan membuktikan
bahwa tindakan Iblis salah dan patut dihukum.

Selama ini hampir semua orang beragama yang memercayai kisah Adam dan Hawa
beranggapan bahwa Taman Eden di mana mereka pertama kali ditempatkan Allah adalah taman
yang nyaman sekali tanpa masalah. Hidup mereka bergulir tanpa perjuangan. Itulah surga
manusia. Pemikiran ini muncul karena yang dibayangkan adalah taman yang penuh dengan
buah-buahan yang segar, bunga-bunga yang bermekaran dan wangi, air gemericik yang bersih
untuk diminum tanpa perlu di-filter, semua binatang yang tidak membahayakan sebagai teman,
dan lain sebagainya. Pandangan ini sebenarnya salah atau tidak tepat. Sejatinya, di taman itu
bukan hanya ada keindahan seperti yang digambarkan di atas, tetapi manusia juga
diperhadapkan pada pergumulan dalam perjuangan menyelamatkan dirinya dan keturunannya
melawan suatu kuasa yang sangat jahat.

57
Ternyata Adam ditempatkan di suatu tempat, di mana ia harus berhadapan dengan Iblis,
ular tua. Manusia harus menentukan nasib dirinya dan keadaan semua keturunannya, bahkan
nasib bumi ini, Di taman itu manusia harus mengemban tugas besar dari Bapa. Tugas besar itu
adalah membuktikan bahwa Iblis bersalah dan patut dihukum. Dengan cara bagaimana manusia
membuktikan bahwa Iblis bersalah kepada Bapa dan patut dihukum? Dengan pembuktian
dalam bentuk cara hidup Adam yang menaati Bapa dan menghormati Bapa sepantasnya, itulah
yang sama dengan memuliakan Bapa. Dengan kehidupan Adam yang benar, maka terbukti
bahwa yang pernah dilakukan oleh Iblis, salah. Dengan demikian, sebenarnya Eden adalah
taman perjuangan, di mana manusia harus bergumul melawan kuasa jahat.

Manusia belum bisa hidup nyaman selama oknum jahat itu belum dihukum. Taman Eden
juga adalah taman harapan, artinya diharapkan taman itu tidak lagi ada "oknum jahat" yang
berusaha menjatuhkan manusia. Kalau manusia menang terhadap Iblis dengan ketaatan kepada
Bapa, maka manusia bisa berkata bahwa segala kuasa di bumi ada dalam tangan manusia. Jika
demikian barulah taman tersebut menjadi taman yang benar-benar indah tanpa masalah. Tetapi
dalam perjalanan sejarah manusia ternyata manusia jatuh dalam dosa, manusia kalah. Tuhan
Yesus lah yang tampil dan mengalahkan Iblis dengan ketaatan-Nya. Tuhan Yesuslah yang
mengatakan segala kuasa di surga dan di bumi dalam tangan-Nya (Mat. 28:18-20). Bumi ini
akhirnya akan menjadi lautan api dan umat pilihan ditempatkan di taman yang lain (langit baru
dan bumi yang baru).

Dalam Alkitab kita menemukan usaha Iblis untuk menghindarkan dan mencegah Tuhan
Yesus dari kematian di kayu salib. Tetapi Tuhan Yesus dalam integritas-Nya yang tinggi tetap
taat sampai mati di kayu salib untuk menyelesaikan tugas penyelamatan. Pertama, Iblis
berusaha mencegah Tuhan Yesus memikul salib dengan cara menawarkan keindahan dan
kemuliaan dunia (Luk. 4:5-8). Berikutnya, Iblis memakai nama Allah melalui Petrus mencegah
Tuhan Yesus ke Yerusalem (Mat. 16:21-23). Selanjutnya, beberapa kali Tuhan Yesus hendak
diangkat jadi raja oleh orang-orang Yahudi (Yoh. 6:15; 12:13). Iblis menjanjikan hidup tanpa
penderitaan di bumi. Di Taman Getsemani Tuhan Yesus menghadapi pergumulan antara
melakukan kehendak Bapa atau kehendak-Nya sendiri (Mat. 26:38-44). Tuhan Yesus juga
menghadapi situasi di mana la bisa memanggil malaikat-malaikat-Nya untuk menyelamatkan
diri-Nya dari pasukan Roma yang menangkapnya (Mat. 26:53). Tetapi Ia tetap pada pendirian-
Nya, yaitu minum cawan (penderitaan) yang harus dialami-Nya. Akhirnya di kayu salib, Ia
bukan tidak bisa turun dari salib (kalau la mau), ketika la ditantang untuk turun dari salib (Mat.
27:40-42). Tetapi sekali lagi la tetap teguh dengan pendirian-Nya, mati di kayu salib.

Kematian Tuhan Yesus di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa di surga adalah
kematian yang sangat mengerikan bagi Lusifer. Karena dengan hal itu ia terbukti bersalah dan
hukumannya ditentukan. Ada semacam "rule of the game" dalam pergulatan antara Kerajaan
Terang dan kerajaan kegelapan. Kalau ada yang bisa melakukan kehendak Bapa dengan
sempurna, berarti Lusifer kalah dan harus dihukum, tetapi kalau tidak ada, maka Lusifer beroleh
kemenangan. Ia akan menguasai jagad raya, manusia dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Manusia

58
yang juga disebut sebagai Adam terakhir yang menjadi "jagonya" Allah Bapa adalah Tuhan
Yesus. Kalau Tuhan Yesus gagal, maka surga dan bumi dalam kekuasaan Lusifer. Ia akan
menjadi "Bintang Timur" yang gilang gemilang, artinya akan menerima kekuasaan baik di
surga maupun di bumi (Why. 22:16). Tetapi kemenangan Tuhan Yesus memproklamirkan
kekuasaan-Nya, bahwa segala kuasa di surga dan di bumi dalam tangan-Nya dan Ia adalah
Bintang Timur yang gilang gemilang itu.

Kalau Tuhan Yesus bisa dicegah atau dihindarkan dari kematian salib dalam ketaatan
kepada Bapa di surga, maka berarti itu kemenangan bagi Lusifer, sehingga apa yang diidam-
idamkannya yaitu takhta Tuhan dapat dicapainya. Dalam hal ini kita dapat menyaksikan dua
Putera Allah yang sedang berjuang untuk merebut kemenangan. Lusifer adalah Putera Allah
yang memberontak dan Tuhan Yesus Kristus Putera Tunggal yang berdiri di pihak Bapa untuk
melakukan kehendak-Nya.

Kehidupan Tuhan Yesus seperti sebuah gelanggang pertandingan untuk menemukan


siapa yang akan menjadi pemenang. Tuhan Yesus adalah pertaruhan Allah Bapa. Kalau Ia kalah
berarti tidak ada keselamatan atas umat ciptaan-Nya. Kalah di sini maksudnya bahwa Tuhan
Yesus gagal hidup dalam ketaatan yang sempurna kepada Bapa di surga (Ibr. 2:9). Kalau Tuhan
Yesus tidak taat kepada Bapa atau berarti kalah atau gagal, maka cita-cita Lusifer berkuasa
menyamai Allah bisa tercapai. Inilah yang memang diingini dan terus diupayakan oleh oknum
jahat tersebut. Dalam hal ini betapa berat beban yang dipikul oleh Tuhan Yesus. la harus
menang untuk menjadi Tuhan "bagi kemuliaan Allah Bapa" (Flp. 2:11), tetapi kalau Tuhan
Yesus kalah maka Iblis menjadi "tuhan" untuk kemuliaan dirinya sendiri. Untuk ini Tuhan
Yesus harus menang untuk merebut "Bintang Timur" tersebut (Why. 22:16).

Mengapa karya keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus harus membawa Tuhan Yesus
sampai kepada kematian? Bagaimana kalau Tuhan Yesus tidak mati? Sekilas pertanyaan ini
konyol atau dianggap mengada-ada, padahal ini termasuk pertanyaan prinsip dan sangat
fundamental. Jawaban atas pertanyaan ini tidak sederhana. Tuhan Yesus harus sampai kepada
kematian untuk membuktikan kesetiaan dan ketaatan-Nya kepada Bapa. Kalau Ayub
membuktikan kesetiaannya kepada Allah hanya sampai pada tubuhnya yang sakit, tetapi Tuhan
Yesus sampai kepada kematian. Berhubung kebangkitan merupakan sarana pembuktian apakah
Tuhan Yesus benar-benar taat dan saleh atau tidak, maka Tuhan Yesus harus mengalami
kematian. Kehidupan Yesus inilah yang harus kita teladani agar kita menjadi corpus delicti
seperti Dia.

Inilah yang dimaksud dengan perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Perlombaan itu
adalah mengambil bagian dalam kekudusan-Nya atau mengenakan kodrat Ilahi. Dan inilah
yang dimaksud Paulus dengan memikirkan dan mencari perkara-perkara yang di atas (Kol. 3:1-
4). Jadi inti Kekristenan adalah mengikut Tuhan Yesus Kristus. Mengikut Tuhan Yesus Kristus
berarti mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya, persekutuan dalam penderitaan-Nya, di
mana seseorang menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Persekutuan dalam
penderitaan berarti berjuang untuk kepentingan Injil, yaitu penyelamatan jiwa-jiwa. Tentu jiwa

59
kita sendiri terlebih dahulu, kemudian jiwa orang lain. Keselamatan ini berarti usaha Tuhan
mengembalikan manusia kepada rancangan semula atau tujuan awal. Hal ini sama dengan
mengenakan kodrat Ilahi atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah.

Untuk meraih kualitas hidup seperti yang dijelaskan di atas dibutuhkan perjuangan yang
sangat berat. Tentu saja tidak ada barang mulia dengan harga murah. Dituntut keberanian untuk
melakukan barter. Paulus menyatakan bahwa ia melepaskan semuanya supaya memperoleh
Kristus (Flp. 3:8). Berada dalam Tuhan artinya dalam persekutuan dengan Allah sebagai
sekutu-Nya bukan karena kebenaran sendiri yaitu melakukan hukum tetapi karena penyerahan
diri kepada kehendak-Nya, yaitu iman kepada Kristus (Flp. 3:9). Iman adalah penyerahan diri
sepenuh kepada pihak yang dipercayai. Hendaknya Filipi 3:9 tidak dipahami seakan-akan
seseorang boleh mengabaikan hukum, justru sebaliknya, orang percaya bukan hanya hidup
dalam kebenaran moral hukum, tetapi hidup dalam kebenaran moral Allah, yaitu mengambil
bagian dalam kekudusan Allah; pola berpikir-Nya. Dengan kualitas hidup seperti ini semua
tindakannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

60
BAB XII

FIGURATIF POHON DI TENGAH TAMAN

Berbicara mengenai mitos dalam pengertian umum adalah cerita atau dongeng yang tidak
faktual, artinya bukan suatu kejadian yang sebenarnya. Biasanya berbicara mengenai mitos
asumsi orang sudah negatif, sebab dikaitkan dengan dongeng-dongeng masyarakat kuno yang
tidak berlogika secara sehat. Mitos selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak logis, mistik dan
okultisme. Sebenarnya kata "mitos" juga memiliki pengertian yang lain, yaitu suatu cara untuk
menjelaskan suatu kebenaran yang tidak bisa dijelaskan apa adanya berhubung keterbatasan si
penerima kebenaran atau karena faktor-faktor lain. Seperti seorang anak umur 5 tahun bertanya:
Dari mana adik berasal? Orang tua akan memberi berbagai jawaban yang "tidak apa adanya".
Orang tua harus menjelaskan dengan cara lain yang bisa dimengerti dan diterima oleh anak-
anak. Ada orang tua yang menjawab membeli di rumah sakit, di bawa burung dari langit, atau
Tuhan yang mengirim ke rumah. Jawaban-jawaban ini bisa disebut mitos dalam pengertian
yang kedua. Hal ini tidak bermaksud berdusta, tetapi menjelaskan suatu fakta dengan cara atau
isi yang berbeda. Tetapi yang penting maknanya bisa ditangkap.

Dalam kitab Kejadian, bila kisah Adam dan Hawa diterima dan dipahami secara harafiah,
maka Alkitab menjadi buku mitos dalam pengertian umum. Itu berarti Alkitab menjadi buku
yang berkualitas rendah, sama dengan buku yang memuat dongeng-dongeng dari agama-agama
primitif. Tetapi sebenarnya sangatlah lebih mungkin kalau kisah Adam dan Hawa adalah mitos
dalam pengertian kedua. yaitu suatu cara untuk menjelaskan suatu kebenaran yang tidak bisa
dijelaskan apa adanya berhubung keterbatasan si penerima atau karena faktor-faktor lain. Kalau
hal ini sukar diterima, tentu tidak perlu dipaksakan. Orang Kristen dewasa bisa menerima kisah
Adam dan Hawa seperti anak-anak Sekolah Minggu dengan pemikiran yang sangat terbatas.
Kisah itu sendiri memiliki fleksibilitas dan dinamisitas yang luar biasa. Akhirnya yang penting
bukan kisah itu sendiri, tetapi maknanya untuk kita. Tentu hal ini tidak perlu diperdebatkan
tajam sehingga memecah belah persekutuan kita.

Pada mulanya kitab Kejadian ditulis oleh Musa sekitar tahun 1440 sebelum Masehi, yaitu
ketika bangsa Israel keluar dari Mesir. Sulitlah menjelaskan suatu kebenaran kepada suatu
bangsa yang selama 430 tahun tertindas sebagai budak di Mesir. Itulah sebabnya Tuhan dalam
kebijaksanaan-Nya yang luar biasa menggunakan cara lain untuk menjelaskan suatu kebenaran
kepada bangsa primitif yang kurang beradab dan berbudaya tersebut. Jika tidak demikian
mereka tidak memahami pesan dan makna yang hendak disampaikan Tuhan kepada mereka.
Mereka memahami kisah Adam dan Hawa secara praktis dan sederhana, bahwa Tuhan
memberikan kehendak bebas untuk mengambil keputusan, ketaatan mendatangkan berkat,
sedangkan ketidaktaatan mendatangkan kutuk.

Dalam Taman Eden ada 3 jenis buah, yaitu buah yang baik untuk dimakan guna
pemenuhan kebutuhan jasmani, buah kehidupan, dan buah pengetahuan tentang yang baik dan
61
jahat (Kej. 2:9). Buah dari pohon kehidupan dan pengetahuan yang baik dan jahat bukanlah
buah yang dikonsumsi untuk fisik, tetapi untuk dikonsumsi jiwa atau pikiran. Buah ini
sebenarnya sebuah figuratif yang menunjuk pengaruh jahat Lusifer yang jatuh. Kalau kisah
Adam dan Hawa tidak dipahami secara benar, maka kisah Adam dan Hawa adalah dongeng
yang berunsur mitos dalam pengertian umum. Bagaimana mungkin makan buah mengakibatkan
pikiran seseorang jadi terbuka (Kej. 3:7)? Logisnya kalau makan buah tentu perut yang menjadi
kenyang, bukan pikiran yang diisi. Ada sangat banyak pohon buah-buahan yang bisa berjumlah
puluhan ribu sampai ratusan ribu jenis bahkan jutaan, tetapi tidak perlu disebutkan namanya.
Mereka dikelompokkan pada buah yang dimakan untuk fisik, tetapi dua buah yang terletak di
tengah taman tersebut perlu disebutkan namanya, sebab jenisnya berbeda dari buah secara
harafiah. Dalam hal ini buah pengetahuan tentang yang baik dan jahat sebenarnya adalah
figuratif (Ing. The tree of knowledge of good and evil; Ibr. we'ets hadda'ath tov wara').
Namanya saja sudah mengisyaratkan sesuatu atau mengandung pesan. Kenapa tidak disebut
misalnya buah pir, apel, atau rambutan? Sebagai perbandingan, seandainya ada buah yang
dinamai "bangun terlampau pagi bisa masih mengantuk", pasti ini maksudnya kurang tidur,
karenanya jangan kurang tidur. Juga pohon kehidupan. Demikianlah, bahwa dua buah pohon
yang ada di tengah yang taman baik dan yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang
yang baik dan jahat tentu bukan buah untuk makanan atau konsumsi fisik, tetapi jiwa. Manusia
diperhadapkan pada pilihan, apakah mengisi pikirannya dengan kebenaran sehingga bisa
mengerti kehendak Allah dengan sempurna atau mengisi pikirannya dengan filosofi yang tidak
berstandar kebenaran Allah yang sempurna sehingga memiliki pengertian (understanding) yang
mengakibatkan manusia tidak bisa mencapai kesucian Allah.

Kita tidak tahu berapa lama selang waktu antara makan "buah" yang dilarang tersebut
artinya mengkonsumsi sesuatu yang tidak berstandar kebenaran Allah sampai "matanya terbuka
menyadari ketelanjangan mereka" (Kej. 3). Kalau buah pengetahuan tentang yang baik dan
jahat menunjuk kepada "filosofi" yang bertentangan dengan kebenaran Allah, maka mata
terbuka berarti "pola berpikir atau pengertian" yang salah yang mengakibatkan manusia tidak
mampu memahami kehendak Allah apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Ini sama
artinya manusia tidak bisa mencapai level sebagai corpus delicti.

Tentu saja penyesatan pikiran bisa terjadi melalui suatu proses panjang, demikian pula
dengan proses kejatuhan Adam. Seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam suratnya bahwa ia
takut kalau-kalau pikiran orang percaya disesatkan dari kesetiaan yang sejati kepada Kristus
sama seperti Hawa diperdaya oleh ular (2Kor. 11:2-4). Manusia diperdaya melalui pikirannya
atau pikirannya disesatkan. Hal ini membuka rahasia mengenai fragmen di Taman Eden, bahwa
sejatinya pergumulan manusia pertama adalah pergumulan dalam pikirannya. Penyesatan
dalam pikiran tentu terjadi melalui perjalanan waktu yang tidak singkat. Hal ini bisa dipahami
kalau kita memandang kisah mengenai Adam dan Hawa dengan kacamata dewasa, artinya
memahami buah pengetahuan tentang yang baik dan jahat, serta buah kehidupan sebagai
konsumsi bukan untuk fisik tetapi jiwa. Dalam hal ini manusia diperhadapkan, apakah
mengkonsumsi kebenaran yang berasal dari Allah atau suara yang berasal dari sumber lain.

62
Implikasinya bagi kita hari ini adalah, bahwa perjalanan waktu seperti sebuah arena,
dimana kita diperhadapkan kepada lawan yang harus kita kalahkan atau mengalahkan kita.
Peperangan itu merupakan sebuah kompetisi (persaingan), antara Tuhan dan kuasa jahat.
Peperangan itu dimulai dari pikiran. Siapa yang paling banyak mewarnai pikiran kita, dialah
pemenangnya. Apakah seseorang memberi peluang Tuhan sebagai pemenang untuk memiliki
kehidupan ini atau kuasa lain yang memilikinya, hal ini tergantung kepada masing-masing
individu. Kalau kita memberi diri untuk dimiliki oleh Tuhan, berarti kita harus mengisi pikiran
kita dengan kebenaran Firman Tuhan, sehingga kita mengerti kehendak Allah. Ini adalah
prestasi terbaik untuk kekekalan. Dalam hal ini waktu adalah anugerah, modal kehidupan untuk
mencapai prestasi rohani yang memiliki nilai kekal.

Allah masuk dalam arena perjalanan waktu bersama dengan manusia, untuk itu manusia
juga harus serius memperhatikan dan menghargai waktu yang diciptakan Tuhan tersebut di
mana manusia hidup di dalamnya. Tentu Allah hadir di Eden bersama dengan Adam dan Hawa
untuk mengajar mereka kebenaran melalui Roh-Nya. Tetapi Roh Allah undur ketika anak-anak
Allah (keturunan Set yang masih dipimpin oleh Roh-Nya) melakukan kawin campur dengan
anak-anak manusia, yaitu keturunan Kain (Kej. 6:1-4).

Ular yang adalah personifikas dari Lusifer yang menawarkan pengetahuan apa yang baik
dan jahat "menurut versinya". Ular berkata "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah
mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka dan kamu akan
menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kej. 3:5). Manusia terkecoh
oleh ular, dari pernyataan ular seakan-akan Allah menyembunyikan suatu rahasia kepada
manusia, karena takut disaingi. Kecurigaan inilah yang menggerakkan manusia memilih yang
lain, bukan kebenaran yang disediakan Allah.

Allah bukan tidak ingin manusia pertama tersebut mengerti apa yang baik dan jahat.
Allah menghendaki agar manusia memiliki pengertian mengenai apa yang baik dan jahat dari
Allah melalui "proses perjalanan waktu" yang ditetapkan oleh Allah. Allah mengajar kebenaran
selalu melalui proses yang bertahap. Tentu kehendak Allah Bapa, Adam menjadi serupa dengan
Allah atau seperti Allah. Tetapi seperti Allah versi Allah Bapa, bukan versi yang lain. Allah
Bapa menghendaki Adam memahami apa yang baik dan jahat versi Allah, bukan versi Iblis.
Adam bertindak di luar kehendak Allah, ia ingin segera seperti Allah sesuai dengan
kehendaknya sendiri dan besar kemungkinan juga di luar jadwal Allah. Padahal, tentu Tuhan
menghendaki agar manusia menerima pengertian mengenai kebenaran dari sumber yang benar,
yaitu dari Allah sesuai dengan jadwal-Nya. Tetapi kejatuhan manusia ke dalam dosa pada
prinsipnya adalah karena Adam lebih mengisi pikirannya dengan suara yang bukan berasal dari
Bapa. Inilah yang membawa diri manusia kepada dosa atau kemelesetan (Rm. 3:23). Manusia
tidak mampu mencapai standar kesucian yang Allah kehendaki.

Memang hal ini tidak tersurat secara tegas, tetapi bila dianalisa secara teliti hal ini sangat
logis untuk bisa dimengerti dan diterima. Implikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sekarang
ini manusia juga menghadapi realitas limitasi waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada masing-

63
masing individu. Kalau dalam kurun waktu yang tersedia manusia tidak mencapai apa yang
dikehendaki oleh Allah, masing-masing harus memikul risikonya.

64
BAB XIII

PROGRESIVITAS MANUSIA

Ketika Tuhan menciptakan manusia, tidak dikatakan bahwa manusia adalah manusia
yang sempurna. Mengapa? Kalau manusia berkeadaan sempurna berarti manusia tidak bisa
berbuat dosa dan tidak perlu pertumbuhan atau perubahan lagi. Dikatakan segambar dengan
Allah berarti manusia dimungkinkan untuk memiliki kemampuan menjadi pribadi yang
bermoral seperti Allah. Alkitab tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan Allah (Kej.
1:26-27). Perbedaannya dengan manusia adalah bahwa Allah tidak mungkin berbuat sesuatu
yang salah atau jahat. Allah sudah sempurna sehingga tidak perlu ada perubahan dan
perkembangan. Sedangkan manusia bisa melakukan sesuatu yang salah, sebab manusia diberi
kehendak bebas. Ini sama seperti malaikat. Malaikat pun diberi kehendak bebas. Selain itu
manusia juga memiliki potensi untuk berubah dan mengalami perkembangan.

Dalam Alkitab tidak dijelaskan sampai seberapa jauh makna segambaran dengan Allah
yang dimaksud Alkitab tersebut. Juga tidak ditulis sampai sejauh mana manusia dapat
mengembangkan diri. Ini bisa berarti selain potensi moralnya yang luar biasa, manusia juga
memiliki kemampuan yang luar biasa seperti kemampuan Allah sendiri untuk mengelola
ciptaan-Nya. Tentu kemampuan manusia tidak sama dengan Allah, sebab manusia adalah
ciptaan yang secara permanen hidup dalam kekuasaan Allah. Manusia adalah hamba dan Allah
adalah Majikan. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya.

Dari kenyataan bahwa bumi berkeadaan harus dikembangkan (Kej. 1:28-29) dan dalam
proses penciptaan Tuhan menciptakan dengan tahapan-tahapan yang ketat, maka bukan tidak
tertutup kemungkinan manusia secara individu juga harus mengembangkan diri sedemikian
rupa. Sehingga manusia menjadi dewasa atau mengembangkan semua potensi yang telah
ditaruh Tuhan di dalam dirinya untuk dapat menemukan dan mengembangkan alam ciptaan
Tuhan, yaitu potensi moralnya dan potensi yang lain.

Potensi moral artinya bahwa manusia dapat mengembangkan diri dan dapat memiliki
moral yang makin sempurna seperti Bapa di surga. Bagaimana seandainya manusia tidak jatuh
dalam dosa? Apakah manusia tidak mengerti apakah yang baik dan apa yang jahat? Apakah
manusia dapat memahami yang baik dan jahat setelah berbuat dosa? Kemungkinan yang paling
bisa diterima adalah bahwa melalui perjalanan waktu manusia dapat menjadi dewasa dan lebih
bijaksana. Jadi, manusia juga bisa mengalami proses untuk menjadi dewasa atau lebih
sempurna. Seandainya manusia dapat melampaui cobaan di Taman Eden, bisa jadi manusia
dapat mengungguli Iblis.

Manusia menjadi lebih cerdas dan lebih sempurna dalam moralnya. Barangkali ada
pergumulan lain menghadapi pencobaan selain apa yang dikisahkan dalam Kejadian 3. Melalui
segala pergumulan dan berjalannya waktu, manusia dapat menjadi sempurna. Penjelasan ini
65
sulit diterima sebab selama ini pengertian kita, bahwa manusia yang diciptakan Tuhan adalah
manusia yang sempurna, yang tidak perlu ada perkembangan lagi. Bukan tidak mungkin,
akhirnya manusia dapat mengetahui apa yang baik dan jahat seperti Tuhan tetapi tidak berbuat
jahat. Mari kita renungkan. Mengapa manusia jatuh dalam dosa menghadapi pencobaan Iblis?
Apakah manusia diciptakan hanya dengan kemampuan seperti itu? Logikanya, manusia
diperlengkapi kemampuan untuk menang atau mengungguli musuh. Tetapi kemampuan itu
harus dipertahankan dengan cara tidak melanggar apa yang diperintahkan Tuhan dan
ditingkatkan sehingga tidak bisa jatuh dalam dosa.

Dalam ketulusan hati Tuhan dan kesucian-Nya, pasti Tuhan tidak merancang manusia
untuk jatuh dalam dosa. Lebih kita yakini bahwa Tuhan menghendaki manusia menjadi teman
atau sahabat dan sekutu-Nya di keabadian tanpa berbuat dosa. Untuk itu manusia mengalami
proses pendewasaan atau penyempurnaan sehingga bisa tidak berbuat dosa. Namun ternyata
manusia jatuh dalam dosa oleh bujukan Iblis. Pemahaman ini penting, agar orang percaya yang
terpilih sebagai anak Allah mengembangkan diri dimuridkan untuk menjadi sempurna seperti
Bapa agar dapat menggenapi rencana Allah yang tertunda atau gagal atas diri Adam.

Pengembangan ini bisa saja terus berlanjut dalam dunia yang akan datang. Hal ini
didasarkan pada pernyataan Paulus bahwa “Apakah gunanya seorang memperoleh seluruh
dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" (2 Kor. 5:9). Penjelasan yang
terakhir ini tidak terlalu penting. Boleh diyakini boleh tidak, tetapi yang penting orang percaya
harus bersedia diubahkan oleh Tuhan selama hidup di bumi ini. Orang yang bersedia diubahkan
oleh Tuhan adalah orang yang layak menerima kemuliaan. Walaupun manusia sudah jatuh
dalam dosa, tetapi manusia masih bisa berkarya sangat menakjubkan. Hari ini kita dapat
menyaksikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditemukan manusia sangat menakjubkan.
Inilah makhluk cerdas yang Tuhan ciptakan. Tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya
seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa. Betapa luar biasa prestasi yang dapat dicapai
manusia untuk mengelola bumi ini dan atas semua ciptaan Tuhan yang lain, yaitu kalau manusia
tidak jatuh dalam dosa. Dalam hal ini Tuhan tidak membuat pembatasan. Kalau manusia
dijadikan kawan sekerja Allah, tentu manusia dilengkapi dengan segala kemampuan yang luar
biasa.

Ternyata alam yang diciptakan Tuhan ini menyimpan berjuta misteri kekayaan yang tiada
batas. Sebab Allah yang menciptakan alam ini adalah Allah yang Mahacerdas, maka hasil
karya-Nya pun pasti luar biasa. Karena alam adalah karya dari Pribadi yang Mahacerdas, maka
manusia juga harus cerdas. Kecerdasan manusia harus dapat mengimbangi kecerdasan Tuhan
yang menciptakan alam semesta ini. Tentu mengimbangi di sini bukan melampaui. Itulah
sebabnya manusia harus menandatangani "kontrak kerja" dengan Tuhan (Kej. 2:15). Manusia
harus bekerja dan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dalam kerja tersebut manusia
mengembangkan diri, yaitu potensi di dalam diri selain potensi moralnya.

Hal ini sejajar dengan kenyataan bahwa cara Tuhan menciptakan alam semesta ini juga
dalam tahapan-tahapan proses yang ketat dari hari pertama sampai hari keenam. Hal kedua,

66
bahwa bumi diciptakan dalam keadaan yang masih harus digarap. Tidak statis tetapi berpotensi
progresif. Tentu progresif sesuai dengan jadwal Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya. Hari ini kita
melihat progresivitas manusia yang tidak terkendali. Teknologi yang berkembang dengan
sangat modern, nyatanya tidak juga membuat manusia benar-benar nyaman dan aman. Hal ini
tidak terjadi di dunia yang akan datang.

Sekarang ini kita dapat membuktikan bahwa di balik apa yang kelihatan mudah oleh mata
manusia, Tuhan menaruh kekayaan alam yang tiada terbatas. Ini adalah teknologi Tuhan atau
kecerdasan Tuhan yang harus ditemukan oleh manusia dan manusia harus menemukan dan
mengelolanya secara bijaksana. Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa dan manusia
beranak pinak memenuhi bumi, dan manusia tidak bisa mati, tentu akan membuat bumi tidak
akan mampu menampung populasi manusia. Bagaimana penyelesaiannya? Tentu mudah sekali,
sebab manusia yang tidak berdosa dengan kecerdasan seperti Allah mampu menanggulanginya.

Pengertian jatuh dalam dosa harus dipahami dengan benar dan lengkap. Kalau kejatuhan
itu membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23), itu berarti dalam segala
aspeknya manusia telah gagal mencapai standar yang Tuhan rancang. Manusia telah rusak,
tidak memiliki keadaan segambaran dengan Allah dan bumi dalam keadaan terhukum (Kej. 3).
Ini adalah kondisi yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Manusia dan bumi ini berkeadaan telah
jatuh, jauh dari standar kesempurnaan Tuhan. Keselamatan dalam Yesus Kristus memiliki
proyeksi ini, bahwa manusia dibawa kepada rancangan semula Allah di langit baru dan bumi
yang baru. Hal ini dikemukakan untuk membawa kita kepada keyakinan bahwa di balik dunia
hari ini -yaitu di langit baru dan bumi baru nanti- standard kesempurnaan kehidupan yang
dirancang semula, sebelum manusia jatuh dalam dosa diwujudkan oleh Tuhan. Tuhan tidak
pernah gagal atas apa yang direncanakan ( Ay. 42:2)

Dunia yang kita huni hari ini adalah dunia yang jauh dari standar kemakmuran dan
keindahan yang Tuhan maksudkan. Kalau kita mengingininya berarti kita menganggap Tuhan
"bodoh", sebab kita menganggap bahwa hanya kualitas rendah yang dapat diciptakan-Nya dan
disediakan-Nya bagi kita. Apa yang dapat dimiliki manusia hari ini tidak ada artinya dengan
apa yang Tuhan sediakan nanti di belakang langit biru. Alkitab berkata: "Apakah gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?"
(Luk. 9:25). Keindahan apa pun dan dalam jumlah sebanyak berapa pun tidak ada artinya
dengan kesempatan melewati hari kekal di langit baru dan bumi yang baru nanti bersama
dengan Tuhan.

Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggoncang dunia dengan segala
goncangan agar manusia tidak merasa betah di bumi dan merindukan dunia lain yang lebih baik
(Mat. 10:34; Luk. 12:49). Tuhan Yesuslah yang mampu membuka meterai yang membuat kuda-
kuda dapat keluar dan membawa perubahan di bumi, perang, kelaparan, pembunuhan, dan lain
sebagainya (Why. 5). Segala sesuatu itu harus terjadi sebelum datangnya zaman baru, zaman
penuh dengan kesengsaraan (Mat. 24:8).

67
Harus dimengerti bahwa manusia yang diselamatkan adalah manusia yang harus berani
melepaskan diri dari segala milik agar dapat dimuridkan atau didewasakan atau diubah.
Manusia yang tidak bisa diubah seperti yang Tuhan kehendaki adalah manusia yang tidak
selamat (Mat. 18:3). Hal ini memberi kesan bahwa di langit baru dan bumi baru nanti ada
kehidupan yang berlangsung seperti yang dirancang semula oleh Tuhan, di mana ada juga
pertumbuhan dan perubahan. Sebuah kreasi yang luar biasa dari kecerdasan manusia yang
diciptakan Tuhan. Pola yang telah digariskan atau ditetapkan Tuhan di awal penciptaan akan
dilangsungkan di langit baru dan bumi yang baru. Menatap hal ini maka kita barulah dapat
menghayati apa yang dimaksud Petrus dalam suratnya mengenai hidup penuh pengharapan,
bukan di bumi ini tetapi di surga (1Ptr. 1:3-4).

Menimbang kemuliaan yang akan diterima orang percaya, maka pantaslah kalau orang
percaya dituntut untuk melepaskan beban dan dosa (Ibr. 12:1). Orang percaya harus fokus
kepada perkara-perkara yang di atas, bukan yang di bumi (Mat. 6:19-22; Kol. 3:1-4). Pantaslah
Tuhan menyatakan bahwa kalau seseorang masih terikat dengan harta dunia, ia tidak akan
mengerti Firman Tuhan (Luk. 16:11). Pantaslah juga kalau Tuhan menyatakan bahwa
persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah. Orang percaya tidak boleh
mengingini dunia ini. Kalau kita bekerja mencari nafkah sebab kita sedang mewujudkan
rencana Allah dalam hidup kita pribadi dan orang lain yang memberi diri diselamatkan oleh
Tuhan Yesus Kristus.

68
BAB XIV

PENGERTIAN KEBEBASAN

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan dalam konteks manusia dan relasinya
dengan Allah dan keselamatannya sendiri? Bermacam-macam orang mendefinisikan mengenai
kebebasan. Hal ini tergantung dari premis dasar seseorang. Kalau seseorang sudah memiliki
premis dasar bahwa Allah menetapkan segala sesuatu secara mutlak dan sepihak, maka
kebebasan dalam arti yang sebenarnya tidak ada. Kebebasan hanya merupakan sebuah kata di
mana pengertian bebas hanyalah sekadar terhindar atau lepas dari campur tangan pihak lain.
Dalam hal ini manusia tidak memiliki kebebasan, sebab segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupan telah dinaskahkan oleh Allah dan berlangsung sesuai dengan skenario-Nya yang
sangat ketat. Ini berarti semua keputusan dan pilihan serta segala tindakan manusia memang
sudah dirancang Allah sehingga manusia hanya melakukan atau menjalaninya saja. Kalaupun
manusia seakan-akan bertindak berdasarkan keinginannya, keinginannya pun juga
dikendalikan oleh sebuah kekuatan takdir atau ketetapan yang tidak bisa ditolak. Dengan
demikian semua keinginan, dorongan hati, keputusan dan pilihan manusia dikerjakan oleh
Allah yang menetapkan segala sesuatu.

Dengan demikian menurut definisi di atas, kebebasan berarti tidak tersentuh sama sekali
oleh kemungkinan meleset dari script yang telah disusun. Ibarat sandiwara kisah yang bergulir
bebas dari campur tangan pihak mana pun. Sandiwara pasti berlangsung sesuai dengan rencana
dan susunan ceritanya. Dalam hal ini semua pemain yang ada di dalamnya termasuk Allah
sendiri telah diplot alurnya. Jika demikian sebenarnya tidak perlu lagi berbicara mengenai
kehendak bebas. Jika dipaksakan berbicara mengenai kebebasan maka kebebasan yang
dibicarakan adalah kebebasan yang aneh, yang tidak dikenal secara normal dan waras atau sehat
dalam ukuran manusia. Itu adalah kebebasan dari sebuah dunia yang tidak dikenal di bumi yang
Allah ciptakan. Karena di seluruh Alkitab tidak ada kebebasan versi demikian yang diberikan
Allah kepada manusia.

Bila hendak menemukan pengertian kebebasan yang sejati, kita harus melandaskan
kepada Alkitab. Dalam hal ini kitab Kejadian telah meletakkan landasan pengertian bebas yang
benar. Peristiwa Tuhan menaruh dua pohon di tengah taman Eden, menunjukkan dengan sangat
jelas bahwa manusia diberi kehendak bebas. Dalam kehendak bebas manusia harus memilih
antara kehidupan atau kematian; dan dari kerelaan kehendaknya manusia menentukan apakah
taat atau tidak taat. Dalam pengertian bebas, Allah harus membiarkan manusia menentukan
sendiri pilihannya, tanpa intervensi dari pihak mana pun. Dalam pengertian bebas Allah juga
membiarkan Iblis masuk ke dalam taman dan mencobai serta membujuk manusia untuk berbuat
oleh sesuatu, yaitu melanggar apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh Adam.

Dalam pengertian kebebasan yang proporsional, termuat makna di mana manusia harus
mempertimbangkan sendiri segala sesuatu yang hendak dilakukan dan dirinyalah yang menjadi
69
pengambil keputusan akhir. Dalam Kejadian 3:6 tertulis: "Perempuan itu melihat, bahwa buah
pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena
memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya." Sebelum
makan buah yang dilarang tersebut, mereka sudah mempertimbangkannya. Hal ini
menunjukkan bahwa keputusan makan buah tersebut adalah keputusan yang lahir dari
pertimbangan mereka sendiri. Allah memberi nasihat, peringatan, bila perlu teguran, tetapi
keputusan akhir tetap pada diri manusia sendiri.

Bila hal di atas ini dikaitkan dengan tulisan Yakobus, maka menjadi lebih jelas bahwa
manusia dicobai oleh keinginannya sendiri, bukan oleh Tuhan. Yakobus menulis: Apabila
seorang dicobai, janganlah ia berkata: "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak
dapat dicobai oleh yang jahat, dan la sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi tiap-tiap orang
dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila
keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa dan apabila dosa itu sudah matang, ia
melahirkan maut (Yak. 1:13-15). Terkait pula dengan hal ini Paulus menulis: "Sebab aku
cemburu kepada kamu dengan cemburu Ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu
kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku
takut kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus,
sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya" (2 Kor. 11:3).

Dengan demikian dapat disimpulkan: Pertama, Tuhan tidak pernah menjadi kausalitas
atau penyebab kejahatan atau dosa. Allah tidak pernah menetapkan manusia untuk jatuh dalam
dosa dan melakukan kejahatan. Dalam hal ini sangat jelas tak terbantahkan, bahwa Allah tidak
mengendalikan manusia. Manusia mengendalikan dirinya sendiri. Jadi, kalau manusia
melakukan sebuah tindakan itu bukan karena rekayasa Allah atau skenario Allah, tetapi
manusia sendiri yang membuatnya.

Kedua, manusia berinisiatif melakukan tindakan sendiri yang melanggar larangan


Tuhan. Dengan demikian manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dilakukan. Allah tidak ikut mengambil bagian dalam kesalahan yang dilakukan manusia atau
kebaikan yang dilakukan manusia. Allah berdiri di luar sebagai hakim, Allah bukan pelakunya.
Kalau Allah ikut terlibat dalam tindakan manusia, maka Allah tidak bisa berdiri sebagai hakim.
Kalau Allah ikut terlibat dalam kejatuhan manusia, maka Allah tidak seharusnya menghalau
atau mengusir manusia dari Eden (Kej. 3:24). Betapa jahatnya sosok Allah yang menetapkan
suatu kejadian atau perbuatan manusia, kemudian menghukum manusia tersebut. Allah yang
benar tidaklah demikian.

Ketiga, dalam hal ini sulit dikatakan bahwa Allah tidak mengizinkan dosa masuk dalam
kehidupan. Allah memang mengizinkan dosa masuk dalam kehidupan, tetapi Tuhan tidak
menetapkan -apalagi mengupayakan- dosa masuk dalam kehidupan manusia. Dalam Kejadian
2, di balik peringatan Tuhan kepada manusia untuk tidak makan buah yang dilarang (buah
pengetahuan tentang yang baik dan jahat), ada semacam perjanjian atau aturan main antara

70
Allah dengan manusia dan pihak ketiga yang tidak kelihatan, yaitu si jahat. Allah memberi
kehendak bebas kepada manusia untuk digunakan dengan bijaksana. Manusia memiliki
kedaulatan dan kemandirian atau independensi. Manusia bisa memetik buah yang dilarang dan
makan buah tersebut, atau tidak menyentuhnya.

Di pihak lain, Allah tidak melarang Iblis mencobai atau membujuk manusia. Ini berarti
Iblis memiliki license untuk mencobai dan membujuk manusia supaya melanggar larangan
Tuhan. Allah tidak melarang Iblis mencobai dan membujuk manusia untuk melanggar
kehendak Allah, dan Allah sendiri tidak menghalangi manusia ketika bermaksud memetik dan
makan buah yang dilarang untuk dikonsumsi tersebut. Semua Ini merupakan fakta kehidupan
yang tidak bisa dibantah atau dihindari. Kalau kita bertanya mengapa demikian? Jawaban tuntas
dan lengkapnya dapat kita peroleh kalau kita belajar secara memadai mengenai pokok-pokok
penting lainnya dalam teologi seperti corpus delicti, keselamatan, ordo Salutis, doktrin Allah,
Kristologi, pneumatologi, Lusifer, dan lain sebagainya. Pokok pengajaran mengenai kehendak
bebas manusia tidak dapat dilepaskan dari pokok-pokok pengajaran lain di dalam Alkitab. Oleh
sebab itu seseorang tidak akan dapat menemukan pengertian kebebasan secara benar kalau tidak
memiliki pemahaman yang memadai mengenai doktrin-doktrin dalam Alkitab.

Dalam hal tersebut di atas Tuhan seperti menggelar sebuah gelanggang, bukan panggung
sandiwara. Dalam gelanggang tersebut ada pihak-pihak yang terlibat, yaitu Allah sendiri, Iblis
dan para malaikat dan manusia. Allah membiarkan semua berlangsung dengan fair. Tidak ada
rekayasa atau sebuah pengaturan yang dipaksakan. Dalam gelanggang tersebut Allah dalam
kedaulatan-Nya menetapkan aturannya. Semua harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh
Allah, bahkan diri Allah sendiri. Aturan ini ada di dalam diri Allah sebagai hukum dan
penyelenggara kehidupan ini. Masing-masing memiliki kedaulatan atau independensi, baik
manusia, malaikat, Iblis dan Allah sendiri. Dalam hal ini Allah masuk ke dalam dimensi waktu
dan pergumulan ciptaan-ciptaan-Nya.

Dengan memandang kehidupan dari perspektif ini, maka kita bisa menempatkan diri kita
sebagai makhluk ciptaan pada proporsi yang tepat di hadapan Allah, juga relasinya dengan
kuasa jahat atau Iblis. Kita juga bisa menempatkan Tuhan pada tempat yang benar, selain kita
juga bisa memahami di mana tempatnya kuasa jahat atau Iblis. Tanggung jawab hidup bisa
tampil secara wajar. Pengertian kebebasan manusia adalah kebebasan yang benar, bukan
kebebasan yang tidak dikenal dalam kehidupan secara wajar. Kalau kebebasan tidak dipahami
secara benar, maka manusia tidak menempatkan dirinya sebagai makhluk yang harus
bertanggung jawab.

Dalam hal tersebut kita juga bisa memahami betapa dahsyatnya kehidupan ini.
Kehidupan bukanlah untaian sandiwara yang alur ceritanya sudah disusun, tetapi sebuah
gelanggang perjuangan yang akhir ceritanya masih menjadi misteri bagi kita. Menjadi misteri
bagi kita tetapi tidak bagi Tuhan. Harus ditegaskan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan
kemahatahuan Allah yang bisa meneropong akhir sejarah kehidupan masing-masing individu
dan sejarah dunia ini. Kita harus tetap di bagian kita dan menghormati Tuhan di bagian-Nya.

71
Dengan demikian kehidupan menjadi realitas yang sangat menggetarkan. Kita bisa memahami
bahwa manusia adalah makhluk yang berisiko sangat tinggi. Itulah sebabnya kita tidak boleh
ceroboh, sebab kita harus memilih satu di antara dua pilihan, kehidupan atau kebinasaan.

Dengan pemahaman dari perspektif yang benar tersebut, kita dapat memperlakukan dan
menyelenggarakan hidup ini dengan benar serta berusaha menjadi makhluk seperti yang
dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kita dapat mengerti dan menerima bahwa manusia tidak hanya
menjadi obyek bagi Allah, tetapi juga subyek sekutu dan kawan sekerja Allah, sesuai dengan
rancangan Allah semula. Tetapi kalau seseorang ceroboh dalam hidup ini, bukan tidak mungkin
ia dapat menempatkan diri sebagai seteru Allah. Dalam hal ini menjadi sekutu atau seteru
bukanlah penetapan Allah, tetapi buah dari kehendak bebas seseorang. Di sini kita menemukan
kehormatan manusia yang diberikan oleh Allah, bahwa manusia memiliki hak menentukan
takdir atau keadaannya sendiri.

Kehendak adalah dorongan dalam diri manusia untuk meraih atau mengharapkan sesuatu.
Dengan kehendak ini manusia bisa menciptakan berbagai keinginan atau hasrat dan harapan
yang ditujukan kepada sesuatu atau seseorang. Inilah keistimewaan manusia yang melebihi dari
semua ciptaan Allah yang lain. Binatang juga memiliki kehendak, tetapi kehendaknya hanya
dibatasi oleh kebutuhan fisik saja, makan minum, seks, dan kenyamanan fisik. Berbeda dengan
manusia yang bisa memiliki keinginan seluas-luasnya. Hal ini berkenaan dengan keberadaan
manusia itu sendiri yang melebihi ciptaan yang lain. Selain manusia adalah makhluk kekal,
manusia juga memiliki kualitas pikiran dan perasaan yang jauh lebih sempurna dibanding
dengan hewan. Manusia bukan saja membutuhkan kenyamanan secara fisik, tetapi juga
batiniah.

Manusia bukan saja membutuhkan pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi juga


pemenuhan kebutuhan rohani. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: "Ada tertulis: Manusia
hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Mat.4:4).
Selain itu manusia dalam relasinya dengan Tuhan harus bisa menempatkan dirinya dengan
benar di hadapan Tuhan dan menempatkan Tuhan secara pantas. Ini adalah sesuatu yang sangat
luar biasa. Suatu kehormatan yang tiada tara. Dengan hal ini manusia digolongkan sebagai
makhluk Ilahi atau makhluk rohani. Tidaklah heran kalau manusia disebut sebagai anak Allah.
Tentu sebutan ini bukan sekadar sebutan, tetapi di balik sebutan ini terdapat fakta bahwa
keberadaan manusia sangat luar biasa. Manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah.

Meneguhkan hal di atas ini, kita dapati beberapa pernyataan dalam Alkitab yang
menunjukkan keberadaan manusia yang sangat luar biasa. Manusia adalah makhluk yang
memiliki neshamah (roh) yang dapat menjadi pelita Tuhan (Ams. 20:27). Dalam penciptaan,
manusia menerima hembusan nafas hidup dari Allah (Kej. 2:7). Sebuah pola penciptaan yang
berbeda dengan makhluk lain. Manusia yang menjadi orang percaya yang menerima proses
pembentukan atau pendewasaan dari Allah dikatakan sebagai saudara bagi Tuhan Yesus (Rm.
8:28-29). Allah Bapa memberi diri disebut oleh orang percaya sebagai Bapanya (2Kor. 6:17-
18). Dengan keberadaan yang luar biasa ini, sangatlah tidak mungkin manusia hanya menjadi

72
obyek seperti boneka yang dikendalikan oleh Tuhan tanpa kebebasan. Manusia adalah subyek
yang diperkenan berada disamping Tuhan Yesus sebagai saudara. Manusia juga diperkenan
manjadi anak-anak yang ada di sekeliling Bapa, yang dengan kerelaan mengabdi kepada-Nya.

Selanjutnya, apakah kehendak bebas itu? Dalam istilah bahasa Latin, kehendak bebas
disebut Liberum arbitrium. Liber artinya bebas, sedangkan 'arbitrium' artinya kehendak. Inilah
kehendak bebas atau 'freewill' yang Sang Khalik taruh dalam diri manusia. Kata lain dari
kehendak adalah kemauan, hasrat, dan keinginan. Dalam tulisan ini lebih banyak menggunakan
kata kehendak. Manusia diciptakan dengan kehendak dan kehendaknya bebas. Jika tidak
demikian, maka manusia tidak memiliki nilai yang tinggi. Dengan menaruh dan menetapkan
kehendak bebas dalam diri manusia, Sang Khalik sendiri -yaitu Allah semesta alam, Elohim
yang mulia- menghargai manusia, ciptaan-Nya.

Kehendak bebas juga bisa didefinisikan sebagai konsep yang menyatakan bahwa keadaan
perilaku manusia tidak mutlak ditentukan oleh kausalitas di luar dirinya, tetapi merupakan
akibat atau hasil dari keputusan dan pilihan yang dibuat melalui sebuah aksi dan reaksi dari diri
sendiri. Keputusan dan pilihan tersebut ditentukan oleh komponen dalam diri manusia, yaitu
pikiran dan perasaannya. Allah memberi manusia komponen untuk dapat membuat pilihan yang
pasti akan menentukan atau paling tidak memengaruhi keadaan mereka. Komponen itu adalah
pikiran dan perasaan. Dari pikiran perasaan ini seseorang memiliki kemampuan untuk
mempertimbangkan sesuatu. Dari hasil pertimbangannya tersebut, seseorang dapat mengambil
keputusan atau memilih. Inilah kehendak bebas. Jika manusia tidak memiliki pikiran dan
perasaan, maka manusia tidak memerlukan kehendak bebas. Justru karena ada pikiran dan
perasaan tersebut manusia dapat memiliki atau harus memiliki kehendak bebas.

Dalam kehendak bebasnya, manusia dapat memilih taat kepada Allah atau memberontak
kepada-Nya. Dengan demikian kehendak bebas berarti manusia menentukan nasib dan keadaan
diri sendiri. Dalam hal ini manusia bisa mengasihi Allah dengan segenap hati(secara
proporsional) atau tidak mengasihi Tuhan secara proporsional berarti belum mengasihi Tuhan
secara pantas. Dalam kehendak bebas tersebut, manusia dengan pilihannya dapat membenci
Allah dan tidak menghormati-Nya atau mengasihi Allah dan menghormati-Nya. Bila berbicara
mengenai mengasihi atau menghormati, ini adalah bagian terdalam dari diri manusia, yaitu di
dalam hati dan perasaannya, Tentu saja ini adalah bagian atau wilayah manusia yang tidak bisa
diintervensi siapa pun, bahkan oleh Allah sendiri. Kalau Allah berintervensi di dalamnya, maka
manusia total atau mutlak menjadi boneka yang kehilangan integritas dan personalitinya.

Pilihan seperti di atas ini tidak ditentukan oleh penyebab di luar dirinya, namun
ditentukan oleh motif dari diri sendiri, hasil dari pertimbangan nalar atau rasio yang
dimilikinya. Adapun pertimbangan yang dimiliki seseorang sangat ditentukan oleh apa yang
masuk ke dalam pikirannya melalui jendela mata dan telinganya atau panca inderanya. Kalau
seseorang tidak mengakui fakta ini, berarti ia menjadi mistis atau berpikir secara supranatural,
seakan-akan tindakan manusia ditentukan oleh faktor yang bersifat adikodrati. Ada
kecenderungan orang beragama berpikir mistis seperti ini. Itulah sebabnya mereka yang tidak

73
memahami kebenaran yang murni berdasarkan Alkitab mengenai kehendak bebas, memberi
pernyataan bahwa kehendak bebas adalah ajaran yang tidak bisa dipahami secara jelas sebab di
balik ajaran ini menurut mereka ada campur tangan Allah yang secara mistis memengaruhi dan
mengendalikan tindakan manusia. Oleh karena dihubungkan dengan intervensi Allah di balik
keputusan manusia, maka doktrin ini menjadi absurd (tidak masuk akal dan kacau).

Jadi, kehendak bebas adalah kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk membuat
pilihan secara sukarela, terbebas dari semua faktor dari luar diri individu itu. Kehendak bebas
(freewill) adalah suatu istilah yang juga ada dalam dunia filsafat, yaitu mengenai kapasitas
tertentu dari pelaku-pelaku rasional, untuk menentukan dan memilih tindakan di antara
berbagai alternatif tindakan. Memang ada faktor-faktor di luar diri pribadi manusia itu sendiri
dalam mengambil keputusan, seperti misalnya pimpinan Roh Kudus di dalam diri manusia itu,
tetapi pada akhirnya keputusan akhir ada di tangan setiap individu. Keputusan akhir menunjuk
kepada yang mengakibatkan segala tindakan dapat dilakukan atau terwujud. Dengan demikian
kalau manusia yang memegang kendali hidupnya sebagai pengambil keputusan akhir, maka
manusia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya.

Dalam kehidupan ini, manusia bisa mendukakan Roh Allah bila melangkah tidak sesuai
dengan kehendak Allah. Bahkan manusia juga bisa menghujat Roh Kudus, yaitu suatu keadaan
atau stadium di mana seseorang tidak lagi dapat menerima penggarapan Roh Kudus oleh karena
hatinya sudah menjadi keras atau membatu. Adalah percideraan bagi Tuhan, kalau ada yang
berpandangan bahwa tindakan menghujat Roh Kudus juga oleh karena Allah sendiri yang
menetapkan, disebabkan orang tersebut tidak termasuk daftar penetapan orang yang
diselamatkan. Dalam hal ini Tuhan dapat dipandang sebagai yang mengarahkan kehendak
seseorang untuk menghujat diri Tuhan sendiri. Sesungguhnya yang benar adalah orang itu
sendiri dengan kehendaknya dalam perilakunya mendukakan Roh Allah sampai menghujat-
Nya.

Kehendak bebas harus dipahami sebagai anugerah dari Tuhan di mana manusia diberi
kemampuan mempertimbangkan sesuatu yang oleh karenanya dilengkapi rasio. Tuhan
menghargai manusia dengan fakta bahwa "manusia yang membuat keputusan akhir". Tentu saja
ini menjadi kehormatan yang tiada tara bagi manusia.Tetapi sekaligus membawa manusia
menjadi makhluk yang berisiko sangat tinggi. Dalam hal ini jelaslah bahwa anugerah selalu
disertai dengan tanggung jawab. Jika anugerah tanpa tanggung jawab membuat anugerah itu
sendiri tidak berharga. Seperti bumi ini diciptakan dalam keindahan dan kesempurnaan,
diberikan kepada manusia, tetapi manusia harus mengelolanya. Demikian pula dengan
anugerah yang lain, yaitu keadaan manusia yang luar biasa. Manusia diciptakan serupa dan
segambar dengan Allah. Dengan keberadaan ini manusia diberi tanggung jawab untuk dengan
rela dan sukacita memilih untuk mengabdi kepada Allah, Bapa dan Penciptanya.

Sebagai orang percaya yang dewasa, kita harus memahami dan menerima kehendak
bebas ini sebagai kepercayaan, bukan sebagai beban yang menindih atau keberadaan yang
mengancam. Memang kalau seseorang menyalahgunakan kehendak bebasnya, hal ini akan

74
membawa dirinya kepada kebinasaan. Ini sungguh-sungguh berbahaya. Tetapi kalau kita
menggunakan dengan bijaksana, maka kehendak bebas akan menggiring kita kepada kehidupan
atau kemuliaan bersama Tuhan dengan rela tanpa paksaan. Dalam hal ini kehendak bebas
manusia bisa mendatangkan bencana, tetapi juga bisa mendatangkan rahmat atau berkat kekal.
Tentu yang dipersalahkan bukan Tuhan atau keberadaan kehendak bebas itu sendiri, tetapi
manusia yang menjadi pelaku kehidupan.

Bisakah kita berkata: Mengapa aku memiliki kehendak bebas? Bukankah lebih aman
dan baik kalau aku menjadi seperti boneka, tanpa kehendak bebas dikendalikan Tuhan menjadi
manusia baik yang tidak bisa berbuat suatu kesalahan, sehingga dapat dijauhkan dari neraka
dan didekatkan pada surga? Dengan memiliki kehendak bebas manusia dipahami sebagai ada
di wilayah yang berbahaya. Kita tidak bisa mengatakan demikian, sebab faktanya Allah sebagai
Pencipta yang memiliki segala kuasa, kemuliaan, dan Kerajaan menghendaki demikian.
Sebagai makhluk ciptaan kita hanya menerima saja apa yang telah ditentukan atau ditetapkan-
Nya. Penetapan ini bukan penetapan atas manusia sebagai boneka yang seluruh kejadian hidup
dan keselamatannya telah ditentukan oleh Allah, tetapi penetapan Allah atas manusia sebagai
makhluk yang berkeadaan memiliki kehendak bebas. Penetapan ini menempatkan manusia
sebagai pemain, di pihak lain ada kuasa kegelapan -yaitu Iblis- dan Allah sendiri yang
konsekuen dengan diri-Nya sendiri yang melepaskan manusia sebagai makhluk yang bebas
mengambil keputusan.

75
BAB XV

KEHENDAK BEBAS SEBAGAI TATANAN

Salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah kehendak bebas,
ini adalah harta yang sangat berharga dan sangat istimewa yang tidak bisa diintervensi oleh
siapa pun, bahkan oleh Tuhan sendiri. Kalau dinyatakan bahwa Tuhan sendiri tidak
mengintervensi kebebasan yang manusia telah terima dari pada-Nya, bukan bermaksud
mengurangi hormat terhadap supremasi atau keunggulan Tuhan dalam kedaulatan-Nya. Tuhan
sendiri dalam kedaulatan-Nya dengan rela memberikan kedaulatan kepada manusia untuk
menentukan keadaannya. Itulah sebabnya Tuhan memberikan rasio kepada manusia untuk
mempertimbangkan sesuatu dan mengambil keputusan atau menentukan pilihan. Sekecil apa
pun, manusia adalah manusia yang telah diberi kedaulatan dalam wilayah hidupnya yang juga
dihargai oleh Tuhan. Dengan menghargai kedaulatan manusia, berarti Tuhan menghargai
kedaulatan-Nya sendiri. Dalam hal ini Tuhan menunjukkan konsekuensi-Nya dalam
menciptakan manusia dengan keberadaan manusia tersebut.

Pemikiran yang sangat keliru memandang Tuhan sebagai tidak berdaulat dan tidak
terhormat kalau manusia bisa memiliki kedaulatannya sendiri atau memiliki kehendak bebas.
Seakan-akan kehormatan Tuhan ditentukan oleh kedaulatan-Nya yang mutlak atas nasib takdir
atau keberadaan manusia itu. Mereka yang berpandangan demikian menganggap Allah
berdaulat dan terhormat kalau bisa menetapkan dan menentukan takdir manusia. Allah
dipandang berdaulat dan terhormat kalau dapat menjadikan manusia sekadar obyek yang
takdirnya dapat dikendalikan dan diatur secara mutlak. Sejujurnya, di sini manusia menjadi
seperti boneka yang tidak memiliki kemandirian sama sekali.

Justru, Allah adalah Allah yang berdaulat tatkala memberikan kedaulatan kepada
manusia untuk menentukan takdir atau keadaannya. Manusia tidak bisa menghindari tatanan
yang dibuat Allah tersebut. Allah juga sangat terhormat tatkala memberikan kehendak bebas
kepada manusia sehingga manusia dengan kerelaan memuliakan Allah atau menghormati-Nya.
Itu adalah pemuliaan kepada Allah dan pemberian hormat kepada Allah secara proporsional,
bukan paksaan. Kehormatan Allah seperti ini adalah kehormatan yang berkualitas, bukan
penghormatan yang dipaksakan atau direkayasa. Hal yang sama diberikan kepada para
malaikat. Mereka memiliki kehendak bebas sehingga mereka dapat melayani Allah, memuji
dan menyembah Allah di dalam kerelaan. Dengan demikian pujian dan penyembahan Allah di
Kerajaan Surga bukan seperti suara musik dan vokal dalam CD yang diputar tanpa perasaan
yang proporsional.

Kalau kehendak bebas manusia ditampilkan sebagai hakikat permanen manusia, itu tidak
berarti mengurangi supremasi Tuhan atau dianggap sikap kurang ajar terhadap integritas
kedaulatan Allah. Allah adalah Pribadi yang berdaulat mutlak dan absolut, tetapi Allah tidak
menentukan seseorang selamat dan yang lain binasa. Manusia bukanlah makhluk yang hanya
76
menerima saja segala sesuatu yang ditentukan oleh Allah. Kehendak bebas adalah komponen
dalam diri manusia yang menunjukkan keunggulannya dibanding makhluk yang lain. Justru
kedaulatan Allah memuat keputusan dan kehendak-Nya memberi kehendak bebas kepada
manusia.

Adam dan Hawa diciptakan Allah sebagai makhluk yang bebas. Kebebasan ini
ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan pohon "pengetahuan tentang yang baik dan jahat" yang
ada di dalam Eden dan manusia bebas memetiknya (Kej. 2:15-17). Dosa yang dimulai datang
dari godaan "ular" yang diresponi Hawa, merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa
manusia memiliki kebebasan (Kej. 3). Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk
yang netral apalagi makhluk seperti boneka, yang ditentukan oleh takdir di luar dirinya. Tetapi
manusia adalah makhluk yang harus mengambil keputusan.

Peristiwa di Taman Eden jelas menunjukkan bahwa Allah memberi kebebasan kepada
manusia untuk menentukan kehidupannya. Dari peristiwa di Eden itulah nampak jelas bahwa
Allah memberi tanggungjawab kepada manusia. Dalam tanggung jawab terkandung pengertian
penyebab dari apa yang dialami manusia. Orang bertanggungjawab atas sesuatu yang
disebabkan oleh keputusan dari tindakannya. Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu
akibat tidak bertanggungjawab atas sesuatu tersebut. Dalam hal ini keadaan manusia hari ini
adalah hasil atau akibat dari keputusannya.Tuhan tidak bisa dipersalahkan.

Tentu Tuhan yang Mahahadir, mengetahui apa yang sedang terjadi di Eden ketika terjadi
dialog antara Hawa dan ular yang merupakan awal kejatuhan manusia ke dalam dosa. Tuhan
bukan saja tidak memagari pohon terlarang di tengah taman tersebut agar tidak dimakan, tetapi
juga membiarkan terjadinya dialog antara Hawa dan ular yang berbuntut kejatuhan manusia
yang sangat tragis.Tuhan tidak mencegah dan menghalangi kejatuhan itu. Tuhan tidak pernah
mengatakan: "Aku akan menghalangi sedemikian rupa agar kamu tidak pernah makan buah
terlarang ini." Tetapi yang Tuhan lakukan hanya memberi peringatan dengan perkataan:
"Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada
hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. ;2:16-17). Bahkan ketika Adam dan
hawa makan buah terlarang tersebut, Tuhan tidak mencegah.

Hal ini merupakan gambaran yang jelas tatanan atas kehidupan manusia. Fragmen yang
terjadi di Taman Eden adalah gambaran kehidupan manusia, bukan hanya bagi manusia
pertama, tetapi juga bagi manusia di segala tempat dan sepanjang zaman; bahwa manusia
dikendalikan oleh kehendak bebasnya atau freewill (Latin: Liberum arbitrium) dalam
menentukan nasib atau keadaan dirinya. Tuhan sebagai hakim menegakkan hukum itu dengan
segala risiko dan konsekuensinya, baik bagi manusia maupun bagi Tuhan sendiri. Ketika
manusia jatuh dalam dosa, maka manusia kehilangan kemuliaan Allah dan Allah sendiri yang
harus turun menyelamatkannya.

77
Berkali-kali orang bertanya, mengapa Tuhan menaruh pohon pengetahuan yang baik dan
jahat di tengah taman? Apakah ini bukan usaha menjerat manusia atau upaya Tuhan untuk
menjatuhkan manusia? Apakah Tuhan tidak tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa?
Mengapa Tuhan tidak menghindarkannya? Apakah Tuhan justru yang merancang kejatuhan
itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus menggiring manusia kepada kecurigaan kepada
Tuhan, bahkan tuduhan bahwa Tuhan bermaksud jahat kepada mahkota ciptaan-Nya itu. Dari
pandangan negatif, bisa timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Tetapi dengan kaca mata
positif, dapat dilihat bahwa manusia adalah makhluk yang terhormat yang diberi kebebasan
untuk dapat menentukan nasibnya sendiri.

Memang dari satu sisi, manusia adalah makhluk yang memikul risiko dan tanggungjawab
yang berat, sebab manusia diperhadapkan berkat atau kutuk, rahmat atau laknat. Tetapi di sisi
lain, manusia adalah makhluk yang sangat luar biasa. Luar biasa, sebab manusia adalah
makhluk yang berdaulat atas dirinya sendiri. Dalam hal ini manusia ditantang untuk
menundukkan diri kepada Tuhan; hidup di bawah kedaulatan Tuhan, atau hidup dalam
kedaulatannya sendiri sehingga menjadi budak dosa. Kalau manusia memilih taat kepada
Tuhan, maka ia menjadi makhluk yang sangat indah. Dengan demikian keindahan atau
keburukan wajah hidup seseorang tergantung dari dirinya sendiri, bagaimana ia meriasnya.
Tuhan menyediakan alat riasnya dan masing-masing individu memiliki kebebasan untuk
bagaimana merias dirinya.

Dalam Kekristenan hal kehendak bebas mempunyai tempat yang penting, yang harus
dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran mengesampingkan "nilai" manusia. Sebab
kebebasan memberi nilai atas manusia. Itulah sebabnya penghakiman dan upah merupakan
realitas Ilahi. Ada surga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan menjadi hati-
hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum "tabur tuai" merupakan realitas
Ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun (Gal. 6:7-9). Bila manusia tidak memiliki
kehendak bebas dan hidupnya ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak akan memberikan
seruannya: "Bertobatlah kamu, kumpulkan harta di surga, dan lain sebagainya". Seruan-seruan
itu menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas.

Dengan kehendak bebas ini, manusia menjadi sejajar dengan malaikat yang juga
memiliki kehendak bebas dan bisa jatuh dalam pemberontakan kepada Tuhan (Ay. 4:18).
Dalam kitab Ayub 4:18 ditemukan kenyataan bahwa malaikat ada yang sesat (Sesungguhnya,
hamba-hamba-Nya tidak dipercayai-Nya, malaikat-malaikat-Nya pun didapati-Nya tersesat).
Dalam teks asli Bahasa Ibrani kata "sesat" terjemahan dari toholah yang dapat diterjemahkan
fooly, bodoh atau bertindak bodoh. Dalam Alkitab versi New International Version
diterjemahkan error. Dari teks asli Alkitab Bahasa Ibraninya ayat ini bisa diterjemahkan: Ia
meletakkan malaikat-Nya bisa berbuat salah atau sesat atau berlaku bodoh. Seperti malaikat,
manusia bukan robot yang diatur remote control, manusia adalah makhluk yang berkehendak
bebas dalam menentukan takdirnya atau keadaannya. Dalam kedaulatan-Nya, Allah memuat
keputusan dan kehendak-Nya memberi kehendak bebas kepada manusia. Itulah tatanan Tuhan.

78
Tatanan ini akan tetap kekal, bukan hanya di bumi tetapi juga di surga nanti. Tetapi di
surga nanti mereka yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang yang telah terbukti
menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih menaati dan menghormati Allah. Dengan
demikian sesungguhnya sudah nampak bakat atau tanda-tanda nyata orang-orang yang akan
masuk ke dalam Kerajaan Surga atau tidak. Dalam hal ini setiap individu harus berjuang agar
membangun diri menjadi manusia yang dilayakkan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Setiap
orang sejak di dunia sudah dapat mengoreksi diri dengan benar, apakah dirinya pantas masuk
ke dalam anggota keluarga Kerajaan Allah di rumah Bapa atau tidak. Benarlah, Pemazmur yang
mengajarkan doa: "Selidikilah aku ya Allah." Seirama dengan itu Paulus berkata: "Ujilah
dirimu" (2Kor. 13:5). Dari hal ini sangatlah jelas, bahwa manusia memiliki tanggungjawab
untuk mengarahkan dirinya, apakah ke arah Kerajaan Allah atau kerajaan kegelapan. Manusia
yang harus menentukan takdirnya, bukan Tuhan yang nenetapkan dan menentukan takdirnya.
Sebab Tuhan sudah menetapkan bahwa manusia harus menentukan takdirnya sendiri. Dan
Allah akan selalu konsekuen dengan penetapan dari kedaulatan-Nya ini.

Dalam kedaulatan Allah yang tidak terbatas, Tuhan memberi peluang kepada manusia
untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri. Tindakan manusia inilah taburan yang
satu kali harus dituainya. Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk yang netral.
Tetapi manusia adalah makhluk yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di Taman Eden
jelas menunjukkan bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan
kehidupannya. Dan dari peristiwa di Eden nampak jelas bahwa Allah memberi tanggung jawab
kepada manusia.

Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang dialami manusia.
Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan oleh keputusan dari tindakannya. Jadi,
bagaimana harus bertanggung jawab kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah
keadaan yang tidak dapat ditolaknya, semua ditentukan dan ditetapkan untuk dialami? Dalam
Kekristenan hal "kebebasan" manusia mempunyai tempat yang penting, yang harus dipahami.
Ajaran takdir adalah pengajaran yang mengesampingkan "nilai" manusia. Kebebasan sangat
memberi nilai atas manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa penghakiman dan upah
merupakan realitas Ilahi. Ada surga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan
menjadi hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh, dan tanpa perhitungan. Hukum "tabur tuai"
merupakan realitas Ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun (Gal. 6:7-9).

Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep karma dalam suatu agama. Hanya bedanya
karma sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada akibatnya tanpa bisa diperbaiki. Tetapi
dalam Kekristenan, anak-anak Tuhan sudah lepas dari hukuman dan setiap kesalahan ada
pengampunan bila kita menyelesaikannya. Tapi tentu akibat dari kesalahan tersebut harus tetap
ditelannya, bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai disiplin. Daud berdosa kepada Tuhan
dengan mengambil istri punggawanya. Ia bertobat dan Tuhan mengampuni Daud. Tetapi akibat
dari kesalahan itu, Daud tetap harus menanggungnya. Dan itu sangat menyakitkan.

79
Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai akibat.
Kenyataan ini berangkat dari dua hal: Pertama, Allah adalah Allah yang telah memberi
kehendak bebas kepada manusia. Dan Ia sendiri konsekuen dengan kebebasan yang telah
diberikan itu. Sebagai buktinya Allah meletakkan pohon ujian di Taman Eden. Oleh sebab itu
nasib manusia ditentukan oleh tangan manusia itu sendiri. Kedua, Allah adalah Allah yang adil
yang menuntut pertanggungan jawab atas setiap tindakan seseorang. Keadilan Allah tidak
bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu manusia adalah makhluk yang hidup di bawah
bayang-bayang keadilan Allah. Penyaliban Tuhan Yesus adalah bukti penggenapan tuntutan
keadilan Allah yang harus ditegakkan dan hal ini memuaskan hati Allah Bapa.

Dengan penjelasan ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk
yang harus bertanggung jawab (Rm. 14:12). Konsep takdir yang sering kita dengar dalam
pergaulan bukanlah konsep Alkitab, bahkan itu bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan.
Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Keadaan manusia bukanlah hasil dari
penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan
pergumulan antara memilih yang jahat atau yang baik. Keberuntungan atau kemalangan.
Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apa yang kita tabur itu bisa kita tuai baik selama hidup
dalam dunia maupun sesudah mati (2Kor. 5:10).

Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh. Perhatikan kalimat dalam Galatia 6:7 Allah
tidak dapat dipermainkan (Ing. no one makes a fool of God, God is not mocked). Manusia
berurusan dengan Allah dan tidak dapat menghindarinya. Semua yang kita lakukan dalam hidup
ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kita. Sebab kita adalah hasil karya-Nya. Ia
sebagai hakim yang adil untuk memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan menghukum
orang yang tidak hidup dalam kebenaran. Orang-orang bebal yang tidak peduli Allah dan
penghakiman-Nya, suatu hari kelak akan berhadapan kepada kenyataan yang tidak pernah ia
duga. Pada waktu itu penyesalan baru datang, tetapi semua sudah terlambat.

Tuhan menganjurkan kita untuk menabur di dalam Roh, maksudnya mengikuti kehendak
Allah. Tentu hal ini akan menghasilkan buah roh (Gal. 5:22-23). Tetapi sebaliknya kalau
menabur dalam daging, tentu menghasilkan buah-buah daging, maka ia tidak akan memperoleh
bagian dalam Kerajaan Allah (Gal. 5:19-21). Kebenaran Firman Tuhan dan hukum-hukum-Nya
sebenarnya membawa manusia kepada kehidupan yang berkelimpahan. Secara tidak langsung
hukum "tabur tuai" ini juga dipaparkan oleh Pemazmur dalam Mazmur 73, bahwa pada
akhirnya orang fasik akan jatuh dan hancur. Bila manusia tidak memiliki kehendak bebas dan
hidupnya ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak akan berkata "bertobatlah kamu",
"kumpulkan harta di surga", dan lain sebagainya.

Salah satu pra-anggapan bagi penelitian etika adalah keyakinan bahwa manusia ialah
makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Dua kata ini memiliki hubungan timbal balik.
Manusia disebut sebagai makhluk yang bertanggung jawab apabila manusia bereksistensi
sebagai makhluk yang bebas. Manusia sebagai makhluk yang bebas, oleh karena itu ia harus
bertanggung jawab. Seandainya tidak demikian maka mustahillah menilai manusia secara etis.

80
Oleh sebab manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab (responsible), maka manusia
juga adalah makhluk yang memikul imputabilitas (ketergugatan). Dengan realitas ini manusia
tidak boleh ceroboh atau ‘sembrono’ atas setiap perilakunya, sebab apa yang ditabur orang itu
juga akan dituainya (Gal. 6:7).

Jadi kalau ada seorang ibu yang menyesali perkawinannya dengan seorang pria yang
ternyata tidak setia, lalu ia berkata bahwa keadaan tersebut adalah nasibnya, sudah ditakdirkan
dari yang Mahakuasa, ibu ini sesat. Ibu ini sesungguhnya sedang menuai apa yang ia tabur.
Mengapa ia memilih menikah dengan pria tersebut? Mengapa tidak dengan pria lain?
Bukankah di dunia ini ada banyak pria? Jadi, keadaan ibu yang sulit tersebut haruslah diterima
sebagai konsekuensi pilihannya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, ya makanlah bubur itu!
Dalam hal ini kita harus belajar bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan kita sendiri.
Hendaknya kita tidak membela kebodohan kita dalam mengambil keputusan dengan alasan
takdir. Dengan demikian kita mencoba hendak melemparkan atau memindahkan kesalahan
yang kita lakukan kepada Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan yang dipersalahkan. Kita menuduh
Tuhan sebagai sumber kesulitan dan kesusahan kita. Padahal apa yang kita alami adalah buah
dari keputusan kita sendiri secara pribadi.

Kesalahan memilih jodoh jangan ditimpakan kepada Tuhan. Terimalah sebagai


kesalahan kita sendiri, tetapi juga jangan lari dari kenyataan. Tetap pertahankan rumah tangga
semaksimal mungkin. Kenyataan yang kita lihat banyak perceraian yang timbul dari penyesalan
atas pilihan jodohnya. Bila kita menyadari arti tanggung jawab maka kita akan berusaha
mempertahankan rumah tangga. Itulah konsekuensi kehidupan. Jika kita tidak berani memikul
tanggung jawab dengan segala konsekuensinya, jangan menjadi manusia. Bagaimana kalau
suatu hari ada seorang siswa sekolah tidak naik kelas, lalu berkata: Ini adalah cobaan dari
Tuhan. Tuhan sudah menakdirkannya. Sikap ini sungguh merupakan kebodohan. Ia harus
bertanya: mengapa ia tidak naik kelas? Sudah belajar rajinkah selama ini atau belum. Sama
dengan kasus seorang yang jatuh sakit, misalnya sakit jantung. Jangan menyalahkan Tuhan
dengan alasan takdir. Perhatikan pola makan orang tersebut. Kalau seseorang tidak memiliki
pola makan yang baik, berarti ia menimbun kolesterol sehingga pembuluh darahnya tersumbat
dan menjadi stroke. Tentu dalam hal itu ia menimbun kesulitan bagi dirinya sendiri bukan
karena takdir.

Sama dengan kasus ketika seseorang mengalami musibah kecelakaan. Ia tidak mudah
berkata bahwa semua ini takdir. Kalau ia mengendarai mobil dalam keadaan yang tidak siap
yaitu dalam kondisi tubuh letih, mata mengantuk, ngebut dan lain lain tentu lebih dekat kepada
bahaya atau karena malas memeriksa tekanan angin ban mobil sehingga pecah di jalan tol.
Dengan memahami kebenaran ini maka kita harus mulai tidak mudah menyalahkan keadaan
atau Tuhan karena takdir-Nya, tetapi memeriksa diri dengan saksama, bukan tidak mungkin
keadaan buruk yang kita alami karena kesalahan kita sendiri

Konsep salah mengenai takdir ini bisa menyebabkan kurang, bahkan mungkin tidak
adanya dorongan yang memacu manusia untuk mengembangkan diri sesuai dengan rencana

81
Tuhan. Oleh karena tanggung jawab individu tidak jelas, maka hal ini menyebabkan manusia
puas dengan kualitas rohaninya. Ia tidak terpacu untuk bertumbuh secara luar biasa. Tidak
terpacu untuk memeriksa diri dengan saksama. Dari sudut pandangan etika, kebebasan perlu
ada. Sebab bila menolak kenyataan manusia sebagai makhluk yang memiliki unsur kebebasan,
maka etika tidak dapat tampil sewajarnya. Dalam hidup setiap orang, kebebasan adalah suatu
unsur hakiki yang tidak dapat disangkal. Semua manusia mengalami kebebasan justru karena
kita manusia dan kebebasan merupakan suatu realitas yang sangat kompleks.

Kehidupan bukan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan merupakan tantangan
yang menuntut keberanian dan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak
boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Alkitab dengan jelas
menunjukkan bahwa setiap orang harus memberi pertanggunganjawaban kepada Allah (Mat.
12:36; Rm. 14:12; Ibr. 4:13; 1Ptr. 4:5; Why. 20:12). Dalam ayat-ayat ini manusia ditampilkan
sebagai makhluk yang tergugat. Dalam hal ini kita disadarkan bahwa hidup ini bukan sebuah
game murahan, tetapi sebuah medan laga yang berisiko tinggi, high risk. Manusia yang harus
memilih bidang hidup yang digeluti atau profesi, bidang studi, jodoh, tempat tinggal, dan lain
sebagainya. Kalau kemudian seseorang harus memikul akibat dari pilihannya, maka hal itu
bukan karena takdir yang menentukan, tetapi karena manusia itu sendiri yang memilih. Sampai
pada nasib kekal, yaitu surga atau neraka, manusia itu sendiri yang memilih dan menentukan.
Itulah sebabnya manusia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam
hidupnya.

82
BAB XVI

KEMAMPUAN MEMPERTIMBANGKAN

Hanya manusia makhluk hidup yang memiliki kemampuan tinggi untuk


mempertimbangkan sesuatu dalam keputusan dan tindakan-tindakannya. Dengan komponen
pikiran dan perasaan yang Allah berikan, maka manusia dapat membangun atau memiliki
keinginan atau kehendak untuk memilih dan mengambil keputusan. Manusia bukanlah makhluk
atau entitas yang berkeadaan seperti robot yang geraknya diatur oleh remote control. Dengan
keberadaan ini, maka manusia adalah makhluk yang berkeadaan bebas. Itulah sebabnya
manusia harus bertanggung jawab atas kehidupannya. Inilah kehebatan makhluk manusia yang
melampaui ciptaan Allah yang lain. Karena hal ini maka manusia dapat menjadi sekutu Tuhan
yang benar, jujur, natural, seimbang, dan harmoni.

Jadi apakah yang dimiliki dan dialami seseorang hari ini hampir seluruhnya adalah buah
dari pertimbangan hidup masing-masing individu. Keadaan Lusifer, oknum yang memberontak
kepada Tuhan adalah akibat dari pertimbangannya pula. Ternyata para malaikat adalah pribadi
yang memiliki kehendak bebas juga. Itulah sebabnya malaikat-malaikat juga dapat mengambil
keputusan yang salah. Malaikat juga memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.
Malaikat bukanlah seperti benda yang dapat dikontrol guna mengatur dan menguasainya. Hal
ini terbukti dengan adanya malaikat-malaikat yang terhasut oleh Lusifer yang jatuh. Jatuh
artinya memberontak kepada Allah; Khaliknya. Dengan demikian sangatlah jelas, bahwa
malaikat juga memiliki kehendak bebas seperti manusia.

Demikian pula dengan keadaan Adam dan Hawa yang diusir keluar dari Taman Eden.
Hal itu terjadi juga akibat buah pertimbangan dan keputusannya. Kemampuan
mempertimbangkan sesuatu sudah nampak dalam kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Dalam Kejadian 3:6 tertulis: "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk
dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.
Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya
yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya." Catatan di ayat ini
menunjukkan bahwa manusia telah memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu
dan mengambil keputusan.

Dengan demikian harus disadari betapa besar peran pertimbangan seseorang dalam
menentukan nasib atau takdirnya. Betapa sering anak-anak Tuhan mengalami kesukaran-
kesukaran hidup karena pertimbangannya yang salah. Kemampuan manusia
mempertimbangkan sesuatu dengan rasionya, menggiring pemikiran pada kenyataan adanya
kehendak bebas. Manusia harus menentukan takdirnya sendiri. Kalau akibat pertimbangan yang
salah hanya dialami dalam hidup di dunia ini, maka hal itu bukanlah masalah besar. Tetapi
kalau akibat pertimbangan yang salah harus ditelan atau dituai dalam kekekalan, maka hal ini
menjadi masalah yang benar-benar dahsyat yang harus dicamkan dengan saksama.
83
Kalau manusia tidak dibangkitkan, dosa bukan masalah besar, sebab setelah kematian
tidak ada kelanjutan. Tetapi kalau ada realitas kebangkitan, maka hal itu menjadi masalah yang
sangat besar, sebab manusia akan dihakimi dan setelah itu diperhadapkan kepada kemuliaan
kekal atau kehinaan kekal (Why. 20:13-15; Dan. 12:2 "... some will enjoy eternal life, and some
will suffer eternal disgrace"). Itulah sebabnya Paulus menulis dalam suratnya: “Jika orang mati
tidak dibangkitkan, maka "marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati," (1Kor.
15:32).

Oleh karena pertimbangan hidup seseorang menentukan nasib kekalnya, maka betapa
harus benar dan tepat atau akuratnya pertimbangan seseorang. Pertimbangan hidup manusia
sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan segala sesuatu yang memengaruhi pola berpikirnya.
Itulah sebabnya kesempatan yang ada harus digunakan untuk memenuhi pikiran dengan
kebenaran agar pertimbangannya tidak berdasarkan cara berpikir manusia di sekitarnya yang
tidak mengerti nilai kekekalan.

Di dalam waktu hidup ini terdapat kesempatan, kesempatan ini bisa dapat dibaratkan
sebagai kendaraan yang membawa seseorang kepada kebenaran Allah atau tidak. Ke dalam
kehidupan atau kebinasaan. Dalam Efesus 5:16 tertulis: "Pergunakanlah waktu yang ada." Di
sini waktu ibarat kendaraan yang dimanfaatkan. Dimanfaatkan disini lebih tepat digunakan kata
diarahkan ke tujuan yang benar. Sebab waktu tetap berjalan, tidak ada yang dapat
menghentikannya. Setiap orang terseret oleh waktu itu.

Sementara seseorang terseret oleh waktu dan hidup di dalamnva harus diarahkan ke
tujuan yang benar (1Kor. 9:26). Waktu ini sangat singkat artinya kendaraan yang membawa
seseorang kepada kebenaran ini terbatas masa durasi penggunaannya (Yak.4:14; 1Ptr.1:24).
Bila menyadari hal ini, maka orang percaya akan memiliki hati yang bijaksana (Mzm. 90:10).
Oleh sebab itu waktu yang sisa ini hendaknya tidak digunakan untuk hal-hal yang Tuhan tidak
kehendaki, tetapi harus digunakan secara bijaksana (1Ptr. 4:2-3).

Oleh sebab itu seseorang harus mengerti kebenaran dan mengakuinya serta berkomitmen
dengan teguh untuk melakukannya. Supaya waktu yang ada digunakan untuk membawa diri
kepada kebenaran Tuhan. Kenyataan yang dapat dilihat bahwa waktu yang ada digunakan untuk
membawa diri manusia kepada berbagai hal yang tidak membawa kepada kebenaran Allah.
Banyak waktu yang digunakan sekadar mengumpulkan harta, meraih cita-cita duniawi, seperti
pangkat, prestasi, gelar, dan lain sebagainya. Tidak sedikit waktu yang digunakan untuk
memuaskan hasrat daging dan berbagai kesenangan seolah-olah hidup ini adalah kesempatan
sekali-kalinya manusia memiliki kesadaran.

Banyak orang lupa bahwa hidup sekarang ini barulah permulaan dari sebuah kesadaran
abadi (1Kor. 15:32; Luk. 16:19-31). Di balik kehidupan hari ini masih ada kehidupan yang
panjang yang Allah sediakan, yaitu kehidupan di keabadian. Inilah yang dinanti-nantikan oleh
tokoh-tokoh iman (Flp. 3:10-11). Gereja Tuhan harus menggiring jemaat hanya kepada

84
kehidupan yang penuh harapan, yaitu di surga, bukan untuk mengubah bumi ini menjadi
Firdaus (1Ptr. 1:3-4).

85
BAB XVII

KEDAULATAN MANUSIA

Manusia adalah mahkluk ciptaan yang lebih unggul dari segala ciptaan Alah yang lain.
Manusia diberi Tuhan kepercayaan untuk memiliki kedaulatan, tentu saja kedaulatan yang
terbatas. Kedaulatan untuk memerintah segala ciptaan Allah yang lain. Manusia sebagai anak
Allah dijadikan "raja" atau "penguasa" atas bumi ini. Tentu saja manusia tetap ada dalam
dominasi atau kekuasaan Allah. Manusia selamanya adalah mandataris Allah, ia hanya
melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah dan demi kepentingan-Nya. Mandat ini dapat
ditemukan dalam Kejadian 1:28. Untuk ini Tuhan memberikan kepada manusia keberadaan
yang luar biasa, yaitu manusia diciptakan menurut rupa dan gambar-Nya (Lat. Imago Dei).
Manusia memiliki komponen-komponen yang juga terdapat dalam diri Allah. Komponen-
komponen itu adalah pikiran, perasaan, dan kehendak. Dengan keberadaan ini manusia
berkemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu, mengambil pilihan dan keputusan-
keputusan. Inilah kedaulatan manusia di bawah kedaulatan Allah.

Kedaulatan manusia bukan saja atas makhluk ciptaan yang Allah ciptakan yang lain yaitu
atas hewan dan tumbuh-tumbuhan tetapi manusia juga memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri,
yaitu di dalam moralnya dengan kedaulatan yang tidak terbatas. Manusia bisa mencapai
kesucian seperti Allah, Bapanya. Maksudnya adalah bahwa manusia dalam mempertimbangkan
sesuatu, mengambil pilihan dan keputusan-keputusan tidak melanggar azas-azas kesucian dan
keadilan Allah sendiri. Ini adalah kedaulatan yang tidak terbatas sesuai dengan moral Tuhan.
Inilah sebenarnya maksud Tuhan menciptakan manusia, agar manusia bisa mencapai kesucian
Tuhan sehingga bisa menjadi corpus delicti (fakta yang membuktikan bahwa Lusifer yang
memberontak telah melakukan suatu pelanggaran).

Kejatuhan manusia ke dalam dosa, membuat kedaulatan manusia menjadi terbatas, baik
atas makhluk ciptaan Allah secara materi maupun kedaulatan manusia atas moralnya. Terhadap
makhluk ciptaan, manusia tidak berdaulat secara proporsional, buktinya binatang bisa melukai
manusia. Kedaulatan manusia atas moralnya pun menjadi terbatas. Manusia tidak mampu lagi
mencapai kesucian Allah. Inilah yang dimaksud oleh Paulus dalam Roma 3:23, manusia telah
kehilangan kemuliaan Allah. Bagaimanapun manusia tidak mampu melakukan kebaikan yang
berstandar moral Allah (Lat. Non posse non peccare). Manusia telah berdosa, artinya meleset
(Yun. Hamartia). Kedaulatan manusia yang tadinya tidak terbatas sesuai dengan moral Tuhan,
sekarang menjadi kedaulatan yang terbatas sesuai dengan hukum atau peraturan atau kebaikan
manusia.

Walaupun manusia telah berdosa (artinya: meleset) sehingga kehilangan kemuliaan


Allah, tetapi manusia tidak kehilangan kemuliaannya sebagai manusia. Bagaimanapun,
manusia memiliki keberadaan moral yang lebih baik dari binatang. Manusia masih memiliki
kemampuan untuk berdaulat atas moralnya secara terbatas, artinya masih bisa berbuat baik
86
menurut ukuran kebaikan manusia. Tentu kebaikan seperti itu dibanding dengan kesucian
Tuhan masih seperti kain kotor, belum kebaikan standar yang ideal seperti yang Allah
kehendaki sesuai dengan rencana semulanya.

Dalam Kejadian 4:6-7, terdapat pernyataan Allah yang menunjukkan bahwa manusia
masih bisa berdaulat atas dirinya sendiri di dalam moralnya secara terbatas. Kain sebenarnya
bisa tidak perlu memiliki hati yang panas dan muka yang muram. Walaupun dosa sudah
mengintip di depan pintu dan sangat menggoda Kain, tetapi ia sebenarnya masih bisa berkuasa
atasnya. Allah berfirman bahwa Kain harus berkuasa atas dosa tersebut. Kata berkuasa dalam
teks aslinya adalah mashal (‫)משל‬. Kata ini bisa berarti rule over, memerintah atau mengatasi
atas sesuatu tetapi juga berarti menjadi tuan (master it). Ini berarti Kain sebenarnya bisa
menghindarkan diri dari tindakan pembunuhan terhadap Habel, jika ia mau. Tetapi Kain
memilih untuk membunuh adiknya, ia membiarkan dirinya dikuasai oleh kemarahan dan
kecemburuan. Ia tidak menjadi tuan atas moralnya, tetapi ia dikuasai oleh hasrat yang
bertentangan dengan kebaikan.

Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus hendak mengembalikan manusia kembali


kepada rancangan-Nya semula, yaitu menciptakan manusia dengan kedaulatan yang tidak
terbatas atas moralnya, sehingga dapat kembali mencapai kesucian Tuhan. Hal inilah yang
dimaksud oleh Firman Tuhan mengambil bagian dalam kodrat Ilahi (2 Ptr. 1:3-4) atau sama
dengan maksud penulis kitab Ibrani, yaitu beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr. 12:10).
Itulah sebabnya Firman Tuhan jelas sekali menyatakan agar orang percaya memiliki pikiran
dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Flp. 2:5-7).

Memiliki pikiran dan perasaan Kristus artinya bahwa orang percaya mampu bertindak,
mengambil keputusan dalam segala pertimbangannya seperti Tuhan Yesus yang dalam segala
tindakannya sesuai dengan kehendak Bapa. Inilah kedaulatan tak terbatas dalam moral Allah.
Kekristenan harus difokuskan pada hal ini, sebab inilah sebenarnya inti atau esensi Kekristenan
itu. Jika jemaat tidak sampai pada level ini berarti mereka belum sampai tujuan imannya yaitu
keselamatan jiwa yaitu usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang
semula.

Mengapa seseorang disebut sebagai anak-anak Allah? Sebab ia memiliki kedaulatan


moral yang tidak terbatas untuk mencapai kesucian Tuhan, artinya bisa mempertimbangkan
sesuatu, mengambil pilihan dan keputusan yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Dalam hal ini
harus dipahami bahwa sebutan anak Allah di depan manusia bukan hanya sebuah sebutan, tetapi
keberadaan. Dengan keberadaan memiliki kedaulatan tanpa batas sesuai dengan moral Tuhan
tersebut maka seseorang pantas mendapat status sebagai anak-anak Allah di hadapan-Nya.
Berkenaan dengan hal ini, kita dapati bahwa keturunan Set yang masih hidup dalam pimpinan
Roh Allah dapat disebut anak-anak Allah (Kej. 6:1-5), sedangkan keturunan Kain yang hidup
sesuka "hatinya sendiri" atau hidup menurut dagingnya adalah anak manusia (Rm. 8:9-14).

87
Di antara keturunan Set yang berprestasi secara spiritual adalah Henokh yang di tengah-
tengah kesibukannya sebagai pria yang berkeluarga bisa bergaul dengan Allah sampai diangkat
Tuhan (Kej. 5:21-24). Oleh karena keturunan Set yang disebut anak-anak Allah tidak hidup
menurut tuntunan Roh Allah, di mana mereka mengambil istri dari keturunan Kain sesuai
dengan keinginan mereka sendiri, maka Roh Allah undur dari mereka. Sejak saat itu tidak ada
lagi sebutan anak Allah secara proporsional. Sampai pada zaman anugerah di mana Allah
memberi keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus kembali dimungkinkan manusia menjadi
anak-anak Allah. Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus menyediakan kuasa (Yun. exousia)
supaya mereka yang percaya bisa menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:11-13).

Kuasa supaya menjadi anak-anak Allah tidak otomatis dapat membuat seseorang
berkeadaan sebagai anak-anak Allah dengan moral tanpa batas sesuai dengan moral Tuhan.
Dalam hal ini setiap orang harus menjadi murid Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tegas menyatakan
bahwa orang percaya harus menjadikan semua bangsa menjadi murid Tuhan Yesus. Bukan
murid manusia. Dalam hal ini pelayanan gereja hanya sampai wilayah tertentu membimbing
umat kepada kebenaran Tuhan oleh tuntunan Roh Kudus, selanjutnya setiap pribadi harus
belajar dari Tuhan Yesus bagaimana memiliki pikiran dan perasaan Tuhan. Inilah proses
disahkan sebagai anak-anak Allah, di mana seseorang dididik oleh Allah supaya beroleh bagian
dalam kekudusan-Nya (Ibr. 12:6-10). Proses legalitas untuk diakui sebagai anak Allah (Yun.
Huios) merupakan proses yang menyita seluruh kehidupan ini. Itulah sebabnya Tuhan Yesus
menyatakan agar orang percaya sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Sepanjang perjalanan hidup
ini, orang percaya harus segenap hidup mengumpulkan harta di surga (Mat. 6:19-20).

Hidup yang Tuhan berikan sangat berharga, tetapi pada kenyataannya banyak orang yang
tidak menghargai hidup dengan benar. Hal ini disebabkan karena mereka salah dalam
menanggapi Tuhan. Pada umumnya, mereka berurusan dengan Tuhan hanya karena hendak
menjadikan Tuhan sebagai perlindungan bagi masalah hidup di dunia ini. Mereka hanya hendak
menjadikan Tuhan sebagai kontributor utama untuk membantu menjalani kehidupan dengan
segala kesulitannya. Dengan bertuhan, mereka berkeyakinan dan merasa bahwa hidup ini bisa
dijalani dengan lebih menyenangkan menurut versinya. Mereka berkeyakinan bahwa dengan
bergereja maka Tuhan memberikan kemudahan-kemudahan dalam menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan, dari soal ekonomi, kesehatan, sampai masalah surga neraka. Ini adalah
sikap yang sebenarnya tidak dewasa. Kalau sikap seperti ini ada dalam kehidupan orang Kristen
yang baru atau masih kanak-kanak rohani, bisa dimengerti, tetapi kalau sudah bertahun-tahun
menjadi orang Kristen masih memiliki sikap seperti ini, berarti ia tidak menghormati Tuhan
dan tidak pernah menjadi dewasa. Oleh sebab itu setiap orang percaya harus bertumbuh menjadi
manusia yang berdaulat, tetapi sekaligus menyerahkan kedaulatannya kepada Allah, sehingga
segala sesuatu yang dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.

88
BAB XVIII

TAKDIR DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

Kata "takdir" ini tidak asing bagi telinga kita, bahkan akrab di mulut banyak orang di
sekitar kita. Untuk mengomentari suatu realita yang dialami seseorang, mereka biasa
menggunakan kata ini. Kata takdir dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau
dimengerti sebagai penentuan Ilahi. Kata "takdir" juga biasanya disejajarkan maknanya dengan
kata "nasib", yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan fate atau destiny. Kata takdir sangat
populer di lingkungan orang-orang beragama, karena kata ini bertalian dengan "oknum" yang
diakui sebagai berkuasa menentukan apa yang terjadi atas hidup masing-masing individu
manusia secara mikro dan atas alam kosmos (alam semesta) ini secara makro. Baik yang terjadi
atas seseorang maupun yang melibatkan alam semesta dan memengaruhi banyak orang, seperti
misalnya bencana alam. Oknum yang menentukan segala peristiwa dalam kehidupan tersebut
adalah Tuhan.

Di balik kata "takdir" diisyaratkan jelas adanya penentuan Ilahi dalam segala kejadian
atau peristiwa, sebuah devine decree. Jadi takdir dimengerti sebagai penentuan suatu peristiwa
atau kejadian yang berlangsung dalam hidup manusia berdasarkan kedaulatan, kebebasan
kehendak dan kebijaksanaan Tuhan yang mutlak atau absolut. Dalam Bahasa Inggris, kata
"takdir" bisa diterjemahkan predestination yang artinya penentuan sebelumnya atau ditentukan
lebih dahulu. Sebelum suatu peristiwa terjadi, segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan
untuk berlangsung. Hal ini adalah pandangan yang tidak tepat!

Oleh karena segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian
nampak gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah
skenario dari Sutradara Agung, yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan sekaligus berperan sebagai
penulis cerita dan "ki dalang" yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung
sandiwara. Lebih tegas lagi bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka itu
berarti Tuhan berlaku sebagai pengatur "remote control" dan manusia menjadi robot yang
hanya bisa dikendalikan oleh 'remote' tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu
pilihan.

Pemahaman di atas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pengertian dan
pertimbangan rasio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia. Semua sudah diatur
dalam fragmen yang tidak akan keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau
ditetapkan. Akhirnya, anjuran untuk menemukan peran dan tempat di hadapan Tuhan menjadi
panggilan untuk percaya dan terima saja setiap peran yang akan ditemukan secara otomatis.
Semua sudah diatur oleh "The invisible hand" tangan yang tidak kelihatan yaitu tangan Tuhan
yang mengerjakan sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali. Pada prinsipnya umat
hanya menerima saja dengan pasrah tanpa memberontak apa yang dialaminya, sebab Tuhan

89
yang menentukan. Umat dikehendaki untuk diam saja. Pasrah. Diam, titik. Konsep ini tidak
benar!

Bila kita berbicara mengenai takdir, maka mau tidak mau kita harus belajar mengenai
hakikat manusia sekaligus menyinggung mengenai hakikat Allah. Berangkat dari pemahaman
tentang hakikat manusia, maka kita dapat memiliki pijakan pandangan terhadap masalah takdir.
Salah satu persoalan yang harus dibedah menyangkut hakikat manusia adalah: Apakah
kemutlakan kedaulatan Allah (sovereignty of God) mengakibatkan manusia tidak memiliki
kehendak bebas sama sekali? Sekaligus dipertanyakan: Apakah kedaulatan Allah
menenggelamkan manusia secara fatalistis di dalam "penentuan" segala sesuatu yang harus
hanya diterima saja oleh manusia tanpa dapat menolak atau menghindarinya? Tetapi
sebaliknya, kalau manusia memiliki kehendak bebas, sejauh mana kebebasannya tersebut atau
apa batas kehendak bebasnya?

Banyak orang berpendirian bahwa oleh karena Allah adalah Allah yang Mahakuasa,
Allah yang tidak perlu diatur atau dinasihati oleh siapa pun, maka la tidak akan membuat
kekeliruan dalam rencana-Nya, sehingga manusia sepatutnya hanya menerima apa saja yang
Allah perlakukan tanpa memiliki pilihan. Pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik dan pasti
terlaksana. Karena Allah adalah Allah yang tidak terbatas, bahwa la adalah Allah yang
berdaulat, maka kehendak dan rencana-Nya tidak dapat dibatalkan oleh siapa pun dan dengan
kuasa apa pun, jadi apa pun yang dialami manusia adalah rancangan-Nya. Dengan kewenangan-
Nya yang tidak terbatas, Allah bertindak secara absolut.

Berpijak pada anggapan di atas, ini berarti manusia akan selalu diperhadapkan dengan
keadaan yang tidak dapat ditolaknya. Konsep ini sekilas sangat luhur dan agung, akurat dan
Alkitabiah, tetapi konsep ini menghilangkan unsur kebebasan yang Allah telah taruh dalam diri
manusia. Dengan demikian menghilangkan tanggung jawab yang masing-masing individu
harus pikul. Masalah yang bisa muncul kemudian adalah apakah manusia masih dianggap
sebagai manusia berkualitas bila dengan berkeadaan tanpa kehendak bebas untuk memilih dan
bertanggung jawab atas segala tindakannya?

Dalam sejarah pergumulan teologi gereja, hal mengenai "kehendak bebas" (Latin:
Liberum arbitrium) merupakan masalah yang penting. Masalah ini juga diperbincangkan hebat
di dalam sejarah filsafat dan agama. Menyikapi fakta sejarah gereja yaitu terjadinya perselisihan
mengenai hal tersebut maka kita tidak harus berpijak pada pandangan salah satu tokoh yang
merumuskan secara definitive (pasti) mengenai pokok tersebut. Pandangan tokoh-tokoh teolog
dan perumus etika bisa menjadi bahan acuan, tetapi tidak harus menjadi alas penalaran kita.
Kita harus menggunakan koridor Alkitab sebagai tuntunan kebenaran satu-satunya. Berpijak
kepada eksplorasi Alkitab yang teliti kita membangun pandangan etis teologis mengenai
kehendak bebas manusia ini.

Pendahulu-pendahulu kita telah berusaha merumuskan pokok pikiran ini. Ternyata


terdapat polasisasi pandangan yang akhirnya melahirkan perdebatan dan benturan-benturan ide.

90
Dalam hal ini penulis tidak mau terjebak berjalan dalam koridor seorang tokoh teolog dan
membuat perbantahan yang tidak habis-habisnya. Penulis hendak mencoba berjalan dalam
koridor Alkitab dan membatasi diri dalam pembahasan yang harus dimarjin sekitar orientasi
takdir (walau tentu sebagai akibatnya terkesan berat sebelah dan tidak lengkap).

Mistik Pantheistis menyangkal adanya kebebasan kehendak karena tidak adanya


perbedaan kehendak Allah dengan kehendak manusia. Salah satu aliran pemikiran dunia
modern yang senada dengan pandangan di atas adalah filsafat determinisme ( behaviorisme -
ilmu sosial). Aliran ini berpendapat bahwa sikap dan tingkah laku manusia, malah pemikiran
dan cita-citanya pun seluruhnya ditentukan oleh warisan genetika, struktur sistem urat saraf,
proses-proses kimia dalam otak, dan sebagainya.

Dalam memahami pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia
tidak memiliki kedaulatan sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah
mempersiapkan segala kejadian yang akan dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya
menerima apa yang disediakan baginya. Demikianlah kita dapat temukan bila seseorang
mengalami musibah -misalnya suatu kecelakaan, kematian orang yang dikasihinya, jatuh
miskin, sakit yang tak tersembuhkan sampai kematian, dan lain-lain maka mereka menerimanya
sebagai takdir. Di dalamnya Tuhan dianggap sebagai kausalitas prima (penyebab utama),
kasarnya "biang masalah". Menjadi berkembang lagi dalam kasus lain disimpulkan bahwa
jodoh ada di tangan Tuhan, sehat sakit, kaya miskin, gemuk kurus, surga dan neraka atas
seseorang hanya Tuhan yang menentukan.

Biasanya pengakuan terhadap realitas takdir ini dianggap sebagai kesadaran akan
kebesaran Tuhan, mengakui supremasi atau keunggulan Tuhan, menyadari bahwa manusia
hanya hamba, manusia tidak boleh melawan apa yang Tuhan sudah tentukan. Penerimaan
realitas takdir dianggap sebagai tanda pengabdian. Pandangan ini secara tidak langsung hendak
menggiring manusia untuk tidak perlu bertanggung jawab atas keadaan dirinya.

Paham determinisme keturunan menerangkan bahwa manusia itu ditakdirkan oleh bakat
dan keturunannya, jadi tidak ada kebebasan sama sekali. Dalam Kekristenan juga ada
pandangan teologi yang melihat kebebasan manusia dari segi negatif. Kebebasan manusia bila
ditampilkan dianggap oleh kelompok tertentu sebagai mengurangi supremasi Tuhan atau
dianggap berunsur kekurang ajaran terhadap integritas kedaulatan Allah yang absolut dan
mutlak. Determinisme teologis ini sangat timpang dan tidak sesuai dengan apa yang dapat
diamati mengenai kelakuan manusia. Teologi semacam ini menggiring gagasan takdir yang
salah dalam wilayah teologi Alkitab.

Gagasan takdir menyakinkan adanya campur tangan langsung dari Allah yang
mengendalikan nasib manusia di luar kesadarannya, segala sesuatu ditentukan sejak semula. Ini
adalah konsep agama non-Kristen yang tidak banyak membicarakan tentang kebebasan, sebab
mereka hanya mengakui perbuatan-perbuatan yang telah disiapkan oleh Allah di dalamnya.
Konsep takdir ini mengingkari adanya kebebasan yang sungguh-sungguh, selanjutnya peranan

91
etika disia-siakan. Adalah satu hal yang sulit diterima kalau kita menerima konsep takdir
sementara kita juga menyerukan pertobatan dan berbagai panggilan serta seruan lainnya kepada
orang lain untuk hidup di jalan Tuhan. Apakah dalam hal ini kita mulai berpikir bahwa Tuhan
perlu dibantu untuk menggenapi rencana-Nya? Kontradiksi seperti ini harus dianalisa secara
obyektif dan jujur.

Adam dan Hawa diciptakan Allah sebagai makhluk-makhluk yang bebas. Apakah kita
bisa menutup mata terhadap realitas adanya "pilihan"? Ketika Tuhan melarang manusia
pertama untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, tetapi
tidak menyembunyikan pohon tersebut, merupakan sinyal yang jelas adanya kebebasan
memilih. Di dalamnya Tuhan menghargai keputusan yang diambil oleh manusia tersebut, baik
benar maupun salah, baik penurutan maupun pemberontakan.

Jelas bahwa kebebasan kehendak ini ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan pohon
"pengetahuan tentang yang baik dan jahat" yang ada di dalam Eden dan manusia bebas
memetiknya (Kej. 2:16). Dosa yang dimulai datang dari godaan "ular" yang diresponi Hawa
merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih atau
mengambil keputusan. Menaati Tuhan atau memberontak kepada-Nya (Kej. 3). Tentu Tuhan
berkuasa menghindarkan manusia dari kejatuhan, namun Tuhan tidak melakukannya. Ini juga
merupakan wujud konsistensi, keadilan, dan fair-nya Tuhan terhadap apa yang ditetapkan-Nya.

Dalam kedaulatan-Nya yang tidak terbatas, Tuhan masih memberi peluang kepada
manusia untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri. Tindakan manusia inilah
"taburan" yang satu kali harus dituainya. Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk
yang netral. Tetapi manusia adalah makhluk yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di
Taman Eden jelas menunjukkan bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk
menentukan kehidupannya. Dari peristiwa di Eden itulah nampak jelas Allah memberi
tanggung jawab kepada manusia.

Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang dialami manusia.
Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan oleh keputusan dari tindakannya.
Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggung jawab atas sesuatu.
Jadi bagaimana harus bertanggung jawab kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah
keadaan yang tidak dapat ditolaknya, semua sudah ditentukan dan ditetapkan untuk dialami?

Dalam Kekristenan, hal "kebebasan" manusia mempunyai tempat yang penting, yang
harus dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran yang mengesampingkan "nilai" manusia.
Kebebasan sangat memberi nilai atas manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa
penghakiman dan upah merupakan realitas Ilahi. Ada surga dan neraka. Dengan memahami
kebenaran ini kita menjadi hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum
"tabur tuai" merupakan realitas Ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun (Gal. 6:7-9).

92
Dalam Galatia 6:7 ini dimulai dengan kalimat: "Jangan sesat." Dalam teks Bahasa
Yunaninya terjemahan: me planasthe - be not deceived. Dalam salah satu terjemahan Bahasa
Inggris diterjemahkan: do not deceive yourselves. Pemikiran yang salah merupakan potensi
penyesatan yang harus diwaspadai. Kalau Tuhan sendiri yang memperingatkan kita, itu berarti
akibat penyesatan tersebut adalah suatu bahaya besar. Oleh sebab itu betapa pentingnya kita
mengerti kebenaran Firman Tuhan (2Ptr. 1:3) dan pembaharuan pikiran setiap hari untuk
memahami kebenaran-Nya (Rm. 12:2). Terdapat banyak orang Kristen yang memercayai
konsep takdir disebabkan kemiskinannya memahami kebenaran Allah dalam Alkitab.

Sungguh sangat menyedihkan kalau ada orang Kristen yang ketika terjebak dalam suatu
masalah sulit menyalahkan Tuhan dengan perkataan: "Semua ini takdir dari Tuhan". Sudah
digariskan dari Yang Mahakuasa. Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep "karma" dalam
suatu agama. Hanya bedanya "karma" sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada
akibatnya tanpa bisa diperbaiki; tetapi dalam Kekristenan, anak-anak Tuhan sudah lepas dari
hukuman dan setiap kesalahan ada pengampunan bila kita menyelesaikannya, tentu walaupun
akibat dari kesalahan tersebut harus ditelannya bukan sebagai hukuman, tetapi disiplin. Daud
berdosa kepada Tuhan dengan mengambil istri punggawanya, ia bertobat dan Tuhan
mengampuni Daud. Tetapi akibat kesalahan itu Daud harus menanggungnya. Dan itu sangat
menyakitkan.

Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai akibat.
Kenyataan ini berangkat dari dua hal: Pertama, Allah adalah Allah yang telah memberi
kehendak bebas kepada manusia. Dan Ia sendiri konsekuen dengan kebebasan yang telah
diberikan itu. Sebagai buktinya Allah meletakkan pohon ujian di Taman Eden. Oleh sebab itu,
nasib manusia berada di tangan manusia itu sendiri. Kedua, Allah adalah Allah yang adil yang
menuntut pertanggungan jawab atas setiap tindakan seseorang. Keadilan Allah tidak
bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu manusia adalah makhluk yang hidup di bawah
bayang-bayang keadilan Allah. Penyaliban Tuhan Yesus adalah bukti penggenapan tuntutan
keadilan Allah yang harus ditegakkan dan hal ini memuaskan hati Allah Bapa.

Dengan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk
yang harus bertanggung jawab (Rm. 14:12). Konsep takdir yang sering kita dengar dalam
pergaulan bukanlah konsep Alkitab, bahkan itu bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan.
Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Keadaan manusia bukanlah hasil dari
penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan
pergumulan antara memilih yang jahat atau yang baik. Keberuntungan atau kemalangan.
Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apakah yang kita tabur itu bisa kita tuai baik selama
hidup dalam dunia maupun sesudah mati (2Kor. 5:10).

Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh, perhatikan kalimat dalam Galatia 6:7 Allah
tidak dapat dipermainkan (Ing. no one makes a fool of God, God is not mocked). Manusia
berurusan dengan Allah dan tidak dapat menghindarinya. Semua yang kita lakukan dalam hidup
ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kira. Sebab kita adalah hasil karya-Nya. la

93
sebagai Hakim yang adil untuk memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan
menghukum orang yang tidak hidup dalam kebenaran. Orang-orang bebal yang tidak peduli
Allah dan penghakiman-Nya suatu hari kelak berhadapan kepada kenyataan yang tidak pernah
ia duga. Pada waktu itu penyesalan baru datang, tetapi semua sudah terlambat. Oleh sebab itu
Tuhan menganjurkan kita untuk menabur di dalam Roh, maksudnya mengikuti kehendak Allah.
Tentu hal ini menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Tetapi sebaliknya, kalau menabur dalam
daging tentu menghasilkan buah-buah daging, maka ia tidak akan memperoleh bagian dalam
Kerajaan Allah (Gal. 5:19-21). Kebenaran Firman Tuhan dan hukum-hukum-Nya sebenarnya
membawa manusia kepada kehidupan yang berkelimpahan. Secara tidak langsung hukum
"tabur tuai" ini juga dipaparkan oleh Pemazmur dalam Mazmur 73, bahwa pada akhirnya orang
fasik akan jatuh dan hancur. Bila manusia tidak memiliki kehendak bebas dan hidupnya
ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak akan berkata "bertobatlah kamu", "kumpulkan harta
di surga", dan lain sebagainya.

Salah satu pra-anggapan bagi penelitian etika adalah keyakinan bahwa manusia ialah
makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Dua kata ini memiliki hubungan timbal balik.
Manusia disebut sebagai makhluk yang bertanggung jawab apabila manusia bereksistensi
sebagai makhluk yang bebas. Manusia sebagai makhluk yang bebas, oleh karena itu ia harus
bertanggung jawab. Seandainya tidak demikian maka mustahillah menilai manusia secara etis.
Oleh sebab manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab (responsible) maka manusia juga
adalah makhluk yang memikul imputabilitas (ketergugatan). Dengan realitas ini manusia tidak
boleh ceroboh atau sembrono atas setiap perilakunya, sebab apakah yang ditabur orang itu juga
akan dituainya (Gal. 6:7).

Jadi kalau ada seorang ibu yang menyesali perkawinannya dengan seorang pria yang
ternyata tidak setia, lalu ia berkata bahwa keadaan tersebut adalah nasibnya, sudah ditakdirkan
dari yang Mahakuasa. Ibu ini sesat. Ibu ini sesungguhnya sedang menuai apa yang ia tabur.
Mengapa ia memilih menikah dengan pria tersebut? Mengapa tidak dengan pria lain?
Bukankah di dunia ini ada banyak pria? Jadi keadaan ibu yang sulit tersebut haruslah diterima
sebagai konsekuensi pilihannya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, ya makanlah bubur itu!
Dalam hal ini kita harus belajar bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan kita sendiri.

Hendaknya kita tidak membela kebodohan kita dalam mengambil keputusan dengan
alasan takdir. Dengan demikian kita mencoba hendak melemparkan atau memindahkan
kesalahan yang kita lakukan kepada Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang dipersalahkan. Kita
menuduh Tuhan sebagai sumber kesulitan dan kesusahan kita. Padahal yang kita alami adalah
buah dari keputusan kita sendiri secara pribadi. Kesalahan memilih jodoh jangan ditimpakan
kepada Tuhan. Terimalah sebagai kesalahan kita sendiri, tetapi juga jangan lari dari kenyataan.
Tetap pertahankan rumah tangga semaksimal mungkin. Kenyataan yang kita lihat banyak
perceraian yang timbul dari penyesalan atas pilihan jodohnya. Bila kita menyadari arti tanggung
jawab, maka kita berusaha mempertahankan rumah tangga. Itulah konsekuensi kehidupan. Jika
kita tidak berani memikul tanggung jawab dengan segala konsekuensinya, jangan menjadi
manusia.

94
Bagaimana kalau suatu hari ada seorang siswa sekolah tidak naik kelas, lalu berkata: "Ini
adalah cobaan dari Tuhan. Tuhan sudah menakdirkannya". Sikap ini sungguh merupakan
kebodohan. la harus bertanya mengapa ia tidak naik kelas. Sudah belajar rajinkah selama ini
atau belum? Sama dengan kasus seorang yang jatuh sakit, misalnya sakit jantung. Jangan
menyalahkan Tuhan dengan alasan takdir. Perhatikan pola makan orang tersebut. Kalau
seseorang tidak memiliki pola makan yang baik, menimbun kolesterol, lemak dalam darah
(tryglicerid) sehingga saluran darahnya tersumbat, maka berbagai penyakit berat
mengancamnya, di antaranya sakit jantung, stroke, dan lain sebagainya.

Sama dengan kasus ketika seseorang mengalami musibah kecelakaan. Ia tidak mudah
berkata bahwa semua ini takdir. Kalau ia mengendarai mobil tidak siap yaitu dalam kondisi
tubuh letih, mata mengantuk, ngebut, dll . tentu hal itu membawanya lebih dekat bahaya atau
karena malas memeriksa tekanan angin ban mobil sehingga pecah di jalan tol. Dengan
memahami kebenaran ini maka kita harus mulai tidak mudah menyalahkan keadaan atau Tuhan
karena takdir-Nya, tetapi memeriksa diri dengan seksama, bukan tidak mungkin keadaan buruk
yang kita alami karena kesalahan kita sendiri.

Konsep salah mengenai takdir ini bisa menyebabkan kurang bahkan mungkin tidak
adanya dorongan yang memacu manusia untuk mengembangkan diri sesuai dengan rencana
Tuhan. Oleh karena tanggung jawab individu tidak jelas, maka hal ini menyebabkan manusia
puas dengan kualitas rohaninya. la tidak terpacu bertumbuh secara luar biasa. Tidak terpacu
memeriksa diri dengan seksama. Dari sudut pandangan etika, kebebasan itu perlu ada. Sebab
bila menolak kenyataan manusia sebagai makhluk yang memiliki unsur kebebasan, maka etika
tidak dapat tampil sewajarnya. Dalam hidup setiap orang, kebebasan adalah suatu unsur hakiki
yang tidak dapat disangkal. Semua manusia mengalami kebebasan justru karena kita manusia
dan kebebasan merupakan suatu realitas yang sangat kompleks.

Tidak sedikit pengangguran bukan karena dosa struktural masyarakat atau kelalaian
pemerintah mengatur rakyatnya, tetapi juga karena kemalasan atau tidak profesionalnya
seseorang mengembangkan bidang-bidang tertentu di masyarakat. Banyak kemiskinan
menyergap seseorang karena kemalasan dan ketidaktekunan atau cacat mental lain. Kalau
seseorang tidak bersedia berinteraksi dengan masyarakat secara santun dan dengan baik, suka
marah, gampang tersinggung, tidak jujur, atau tidak dapat dipercayai, maka dimana pun dia
berada cenderung ditolak oleh lingkungannya; ini awal dari kehancuran dan kemiskinan. Tentu
dalam hal ini jangan membela keadaan yang sukar tersebut dengan alasan takdir.

Kehidupan bukan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan merupakan
tantangan yang menuntut keberanian dan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti bahwa
orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Alkitab dengan jelas
menunjukkan bahwa setiap orang harus memberi pertanggungan jawab kepada Allah (Mat.
12:36; Rm. 14:12; Ibr. 4:13; 1Ptr. 4:5; Why. 20:12) 12). Dalam ayat-ayat ini manusia
ditampilkan sebagai makhluk yang tergugat. Dalam hal ini kita disadarkan bahwa hidup ini

95
bukan sebuah game murahan, tetapi sebuah medan laga yang berisiko tinggi, high risk. Manusia
juga sangat berperan dalam menentukan keadaannya. Jodoh lebih banyak di tangan manusia
daripada dalam pimpinan Tuhan atau di tangan Tuhan; juga kematian di sini bukan karena
takdir, tetapi karena kesalahannya, yaitu tidak menjaga kesehatannya, sembrono mengendarai
kendaraan, dan lain sebagainya.

Jadi kalau tidak mau salah pilih jodoh, mengertilah bagaimana memilih jodoh yang baik.
Pemilihan jodoh adalah hal yang penting dalam hidup. Kalau mau kaya, ya bekerja rajin,
sekolah giat, jujur, dan makin profesional dan ahli di bidangnya. Kalau mau tidak sakit, ya perlu
memperhatikan pola makan, olah raga yang teratur, istirahat yang cukup, dll. Kalau mau
berhasil tentu perlu membayar harganya. Harga keberhasilan dalam Alkitab dikemukakan
dalam Matius 6:33: "Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya."

96
BAB XIX

HAKIKAT KERJA MANUSIA

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan oleh Allah yang memiliki
keberadaan seperti Allah sendiri, yaitu segambar dengan Allah (Imago Dei). Salah satu hakikat
yang dimiliki Allah adalah bahwa Allah adalah Allah yang bekerja. Allah bukanlah Allah yang
tidak berkehendak, bukan Allah yang diam tanpa karya. Ia adalah Allah yang aktif berkarya,
penuh inisiatif dan bekerja. Demikianlah, sebagaimana Allah adalah Allah yang bekerja, maka
manusia juga adalah manusia yang bekerja. Kerja merupakan unsur hakikat manusia yang
dijadikan menurut gambar Allah (The nature of man is a worker).

Oleh karena kerja adalah suatu unsur hakikat manusia, maka kerja itu juga merupakan
perintah Allah. Allah memerintahkan manusia untuk bekerja, sebab manusia memiliki potensi
dan natur atau kodrat demikian. Oleh karena manusia adalah seorang pekerja maka bumi ini
diciptakan Tuhan dalam keadaan yang "harus masih diteruskan". Manusia menerima mandat
dari Tuhan untuk mengelola bumi ini (Kej. 2:15). Ini bukan berarti Allah tidak mampu
menyelesaikan atau meneruskan pekerjaan-Nya. Di sini Allah melibatkan manusia sebagai
pekerja untuk bekerja mengelola hasil karya-Nya.

Bila manusia tidak dilibatkan untuk bekerja, berarti Allah membunuh hakikat manusia
itu sendiri. Perintah kerja dari Tuhan untuk manusia merupakan petunjuk bahwa Tuhan
konsekuen dengan maksud-Nya menjadikan manusia sebagai kawan sekerja-Nya dalam
mengelola alam semesta ini. Dalam hal ini manusia menjadi makhluk yang bermartabat tinggi,
karena manusia bisa ditempatkan sebagai sekutu Allah. Tidak ada makhluk yang memiliki
keberadaan seperti ini.

Manusia bekerja mengembangkan diri bertalian dengan fasilitas alam semesta yang
Tuhan telah ciptakan, dimana manusia harus mengeksplor semua yang ada. Inilah yang disebut
sebagai mandat untuk berbudaya. Oleh karena manusia yang diciptakan Allah adalah seorang
pekerja, maka kerja mempunyai tempat di dalam rencana Allah yang agung. Dunia ini
diciptakan dalam keadaan yang belum dikerjakan, maka dari itu diperlukan tangan manusia
yang harus mengelolanya (Kej. 1:27-28; 2:5). Oleh sebab itu hendaknya orang percaya tidak
boleh berpikir bahwa ketika Adam dan Hawa berada di Eden, mereka hanya makan minum
tanpa kerja.

Ketika manusia memberi nama binatang, yaitu tatkala Allah membawa semua binatang
untuk dinamai oleh manusia, Alkitab membuktikan bahwa di Eden pun manusia sudah mulai
bekerja (Kej. 2:19-20). Perintah kepada manusia di dalam Kejadian 2:15 untuk mengelola bumi
merupakan bukti nyata bahwa manusia sudah berkarya (berbudaya) sejak di dalam Eden.
Kalimat "mengusahakan dan memelihara" di Kejadian 2:15 dalam teks aslinya leovdah

97
uleshomrah (Ing. To dress it and to keep it), mendandani dan memelihara atau menjaganya.
Manusia menjadi manager (pengelola) atas bumi ini.

Hal tersebut itulah yang membedakan manusia dari hewan atau makhluk lain. Hewan
atau makhluk lain bergerak hidup hanya sekadar memenuhi siklus kehidupan sesuai dengan
habitatnya. Manusia bekerja dengan kerelaan, kesadaran, dan kesengajaan sebagai pengabdian
kepada Tuhan, yaitu sebagai kawan sekerja Allah yang sehakikat dengan-Nya dalam kerja. Dari
hal ini menjadi sangat jelas bahwa manusia adalah makhluk yang berkeberadaan sebagai
memiliki kebebasan (freewill).

Sekalipun manusia sudah jatuh di dalam dosa, tetapi perintah untuk kerja ini tidak pernah
direduksi atau dibatalkan oleh Tuhan. Hal ini sangat jelas dari hukum yang kedelapan yang
berbunyi: "Jangan mencuri." Hukum ini merupakan salah satu isyarat, sinyal, atau petunjuk
yang kuat bahwa manusia bukan saja dipanggil untuk menghargai milik orang lain, tetapi juga
harus bekerja mencari "milik" dan nafkah dari keringat dan tenaganya sendiri. Oleh sebab itu
barangsiapa tidak mau bekerja padahal ia mampu bekerja sejatinya ia telah melanggar perintah-
Nya dan berbuat dosa kepada Tuhan serta menyangkali hakikatnya sendiri; menyangkali
kemanusiaannya sendiri.

Seorang yang menolak bekerja berarti tidak menerima dirinya sebagai manusia dengan
kebesarannya sebagai oknum yang berhakikat seperti Tuhan, yaitu "oknum yang bekerja".
Dalam hal ini kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa kemalasan adalah suatu dosa. Oleh
karenanya dalam Amsal Salomo dinasihatkan agar orang percaya belajar dari semut. Semut
yang rajin dan giat bekerja rupanya dapat menjadi ilustrasi yang menunjukkan bahwa manusia
harus rajin dan giat bekerja (Ams. 6:6; 30:25). Dalam hal ini orang percaya patut belajar
mengenai ketekunan dan kerajinan bekerja. Semut dalam konteks ini dapat menjadi lambang
pekerja yang tekun dan giat. Jadi bagi manusia, kemalasan adalah suatu kejahatan dalam
masyarakat, sebab seorang pemalas mengingkari perintah kerja dan melanggar hak atas kerja
yang dikaruniakan kepadanya.

Untuk hal tersebut, pendidikan bertanggung jawab membentuk manusia gemar dan
mampu bekerja sesuai dengan bidang masing-masing. Dengan ketekunan yang tinggi maka
seseorang semakin ahli atau cakap di bidangnya. Bangsa yang tekun bekerja dapat memiliki
budaya tinggi dan cakap menguasai teknologi. Ketika teknologi dikuasai suatu bangsa maka
bangsa tersebut berkuasa atas kehidupannya sendiri dan bangsa lain. Bangsa lain bergantung
kepadanya. Pada akhirnya bangsa yang malas menjadi budak bangsa yang rajin.

Di Indonesia ini dapat diperhatikan, suku-suku yang rajin bekerja, tekun menggumuli
bidangnya menjadi komunitas yang berkekuatan ekonomi lebih tinggi dari suku-suku yang
tidak giat bekerja. Komunitas yang berkekuatan ekonomi lebih besar ini menguasai berbagai
bidang kehidupan dan memiliki dominasi terhadap suku-suku lain. Hal ini memang
menciptakan kesenjangan sosial dan menimbulkan kecemburuan dari komunitas lain.
Seharusnya komunitas tertentu yang merasa dipecundangi tidak menuduh komunitas yang lebih

98
kuat ekonominya sebagai berlaku curang. Kemudian lahirlah tuduhan yang tidak fair terhadap
komunitas lain sebagai perampok ekonomi rakyat, penjajah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini
siapa yang lebih kuat dan yang lemah diseleksi alam melalui kerajinan dan ketekunan bekerja.

Perlu diketahui bahwa dalam perundang-undangan, kerja bukan saja dipandang sebagai
kewajiban tetapi juga sebagai hak azasi. Pemikiran ini merupakan titik pijak di mana
masyarakat dipanggil untuk mengusahakan tempat kerja bagi generasi penerusnya. Ditinjau
dari segi kesusilaan, pengangguran adalah hasil dari sikap hidup masyarakat dan pemerintah
yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini pemerintah dipanggil dan dituntut untuk
mengupayakan bukan saja lapangan kerja, tetapi juga menghindarkan ditutupnya kesempatan
kerja bagi masyarakatnya. Membangun manusia seutuhnya di dalamnya harus termasuk
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat luas, agar setiap individu dalam masyarakat dapat
mengembangkan diri.

Pemerintah dituntut untuk menggali semua kekayaan alam untuk membuka kesempatan
kerja baru bagi seluruh anggota masyarakatnya. Sangat memprihatinkan kalau akhir-akhir ini
pemerintah gagal menahan ditutupnya beberapa perusahaan raksasa multi nasional. Beberapa
perusahaan raksasa yang menyedot banyak tenaga kerja seperti perusahaan sepatu, elektronik,
perakitan kendaraan keluar atau hengkang dari Indonesia. Sebagai akibatnya, angka
pengangguran meningkat tajam.

Dengan lajunya inflasi yang tidak tertahankan oleh pemerintah, menambah jumlah
pengangguran di negeri tercinta ini. Janji-janji dalam kampanye pada waktu pemilihan umum,
yaitu oknum-oknum sebelum menjabat sebagai pejabat tinggi akan memperhatikan wong cilik
dan kehidupan bangsa secara umum ternyata isapan jempol belaka atau kebohongan untuk
memperdaya rakyat kecil. Di sini rakyat kecil menjadi komoditas politik. Kurangnya lapangan
kerja yang menciptakan pengangguran bukan saja merusak produktivitas, tetapi juga merusak
karakter. Irama hidup seorang penganggur membentuk kepribadian dan kebiasaan hidup yang
berdampak kekal. Hal ini bisa kita terima apabila kita memahami bahwa Kerajaan Tuhan yang
akan datang nanti bukanlah wilayah hidup tanpa kerja. Alkitab menginformasikan bahwa umat
pilihan Tuhan di Kerajaan-Nya yang kekal nanti mengabdi kepada Tuhan siang dan malam.
Tuhan Yesus menggambarkannya dengan "memerintah bersama dengan Dia." Jadi, sangatlah
keliru kalau kita memandang bahwa Kerajaan Surga adalah tempat di mana manusia berhenti
bekerja.

Perlu dijelaskan di sini bahwa Kerajaan Surga nanti bukanlah alam roh, seperti alam
hantu. Tuhan Yesus memperagakan tubuh kebangkitan-Nya, bukan tubuh maya yang tidak
berdaging. Hantu tak berdaging, tetapi tubuh kebangkitan yang dimiliki Yesus dan dimiliki
semua orang yang dibangkitkan benar-benar berdaging. Alkitab tegas mengatakan bahwa Dia,
Allah semesta alam bukanlah Allah orang mati, tetapi Allah orang hidup. Orang hidup di sini
artinya memiliki fisik yang berinteraksi dengan alam bendani, serta juga makan minum.

99
Kerajaan Surga adalah alam fisik yang dapat berinteraksi dengan "indera" tubuh
kebangkitan. Pada akhirnya nanti, realitas hidup adalah realitas fisik, bukan alam roh, sebab
semua manusia akan dibangkitkan dan Tuhan Yesus sendiri akan tampil dengan tubuh
kebangkitan-Nya. Surga, dalam Bahasa Ibraninya shamayim ( ‫ )שמים‬dan dalam Bahasa
Yunaninya ouranos (ουρανός) menunjuk "langit" (alam semesta yang tidak terbatas). Langit di
sini bukanlah sky (langit yang melingkupi bumi kita), tetapi heaven, yaitu alam semesta dengan
gugusan miliyaran planet yang tidak terbatas jumlahnya.

Di dalam Kerajaan Surga nanti, alam semesta yang tidak terbatas tersebut menjadi sarana
kreativitas kerja tanpa batas bagi manusia yang telah disempurnakan. Dalam hal ini manusia di
dunia yang akan datang nanti akan tetap bekerja mengelola alam semesta yang tak bertepi.
Dengan demikian nyatalah bahwa Tuhan merancang hakikat kerja dalam diri manusia bukan
hanya digunakan di bumi kecil ini dan yang sementara, tetapi juga untuk dunia yang akan
datang yang luas tak terbatas di kekekalan. Manusia yang tidak mau bekerja hari ini dengan
motif kerja yang benar, tidak akan dipekerjakan Tuhan di kekekalan.

Kerja mempunyai arti dan nilai lengkap bukan hanya ditempatkan dalam rencana
penciptaan alam semesta, tetapi juga dalam rencana Allah untuk menyelamatkan dunia ini
melalui karya salib Kristus. Manusia bukan saja dipercayai untuk mengelola alam semesta,
tetapi di zaman penggenapan (zaman Injil diberitakan) umat pilihan juga dipercayai untuk
terlibat dalam penerusan karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Dalam hal yang kedua ini
manusia dilibatkan untuk mengambil bagian dalam rencana penyelamatan Allah atas dunia ini.

Manusia menjadi kawan sekerja Allah bukan saja dalam meneruskan karya penciptaan,
tetapi juga dalam karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus atas orang berdosa. Itulah
sebabnya karya penyelamatan Allah melalui korban Kristus dalam keadaan "belum selesai"
atau dalam keadaan "harus diteruskan". Orang percaya harus menjadi saksi sampai ke ujung
bumi. Karya keselamatan tidak boleh berhenti hanya di bukit Kalvari, tetapi harus sampai ke
ujung bumi. Dalam hal ini jelaslah bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk turut serta
dalam pelebaran Kerajaan Allah, penginjilan yaitu memperkenalkan Yesus kepada orang yang
belum mengenal Tuhan, yaitu mereka yang sudah percaya melalui proses pemuridan.

Untuk penyelenggaraan pelebaran Kerajaan Allah ini atau pelayanan pekerjaan Tuhan,
dibutuhkan berbagai sarana; dari manusia sebagai pelakunya sampai fasilitas pelayanan (uang,
transportasi, gedung, alat musik untuk ibadah, dan lain sebagainya). Anak-anak Tuhan
dipanggil untuk bekerja mencari nafkah guna kehidupannya sendiri dan turut serta mengambil
bagian dalam penyediaan fasilitas pelayanan tersebut. Sesuai dengan kasih karunia, kerja
manusia telah disucikan menjadi kerja yang kekal, maksudnya bahwa kerja manusia bagi Allah
adalah kerja yang berdampak dalam kekekalan (Yoh. 15:16). Berdampak kekal di sini
maksudnya adalah bahwa hasil kerja anak-anak Allah digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan. Hal ini diperhitungkan Tuhan di Kerajaan-Nya yang kekal nanti.

100
Dalam hal tersebut manusia diperkenan menjadi kawan sekerja Allah. Inilah maksud dan
tujuan kekal Allah menciptakan manusia. Di tempat masing-masing sesuai dengan panggilan
khusus yang diemban anak-anak-Nya sebagai pedagang, arsitek, praktisi hukum, pendidik,
tenaga medis, aparat keamanan, politisi, pejabat pemerintah, petani, dan lain sebagainya.
semuanya memberi diri bagi kepentingan penerusan karya salib Tuhan bagi dunia ini. Di tempat
masing-masing, mereka memerankan panggilan secara sinergi (menggabungkan kekuatan)
untuk kepentingan Kerajaan Allah.

Bila terjadi demikian yaitu seluruh kerja orang percaya diperuntukkan bagi Tuhan maka
kerja tidak lagi menjadi beban dan susah payah, kerja merupakan sukacita pengabdian bagi
Tuhan. Kerja seperti ini adalah kerja yang sangat menggembirakan, sebab Tuhan pasti
memberkati dan hasil jerih payah dalam kerja tersebut diperhitungkan oleh Tuhan di kekekalan.
Dengan demikian didapati bahwa ukuran sukses kerja dan kehidupan seseorang terletak pada
ukuran ini: Apakah dengan melakukan pekerjaan tersebut dan hasil pekerjaan tersebut nama
Tuhan dipermuliakan, pekerjaan Tuhan dalam penerusan karya salib Tuhan di atas muka bumi
ini benar-benar didukung? Dengan hal ini, berarti semua orang percaya adalah hamba-hamba
Tuhan yang melayani Dia.

Oleh sebab itu, kerja harus dibersihkan dari motif-motif yang salah, yang dapat merusak
arti, nilai, dan tujuan kerja. Seperti yang sudah diketahui bahwa akibat dosa maka motif kerja
manusia telah dirusak dan dibinasakan Iblis, tetapi oleh kasih karunia Tuhan Yesus maka orang
percaya diperkenankan untuk memiliki kembali motif kerja yang benar, yaitu ibadah bagi
Tuhan (Rm. 12:2). Dengan demikian sesungguhnya ibadah orang-orang percaya bukanlah
liturgi atau seremonial di gereja, tetapi seluruh karya dengan menggunakan semua potensi
jasmani dan rohaninya.

Pada prinsipnya motif kerja yang benar adalah kerja bagi Tuhan (1Kor. 10:31; 2Kor.
5:14-15; Flp. 1:21). Secara langsung motif kerja yang benar tersebut menghapus segala motif-
motif yang keliru. Bila motif kerja demikian, maka orang percaya terhindar dari motif-motif
kerja yang fasik (tidak takut Tuhan dan tidak peduli hukum-Nya). Motif kerja yang fasik yang
selama ini mendominasi banyak manusia antara lain: gila hormat dan keangkuhan, selain itu
juga ketakutan (takut tidak cukup dan takut miskin).

Kerja dengan motif atau karena ketakutan ini berarti bekerja dengan sikap hati yang
penuh kekhawatiran. Biasanya hal ini juga disertai dengan gairah ketamakan, mamonisme, dan
hasrat untuk menjadi kaya (1Tim. 5:6-10). Dengan motivasi yang benar dalam kerja yaitu hidup
"bagi Tuhan" orang percaya bekerja dengan sikap hati yang penuh kasih terhadap Allah dan
sesama. Inilah kerja dengan hati percaya tanpa kekhawatiran, ketamakan atau motif salah
lainnya. Dengan demikian, kerja mereka tidak bisa dikatakan sebagai ibadah bagi Tuhan.

Hari ini pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada Tuhan dan
kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan adalah bagian dari
hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang bersangkut paut dengan

101
Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut
paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olahraga, makan,
minum, dan sebagainya . Pemisahan atau pembedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani
dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita
belum mengerti kebenaran.

Banyak orang Kristen tidak menyadari secara benar bahwa dunia ini diciptakan oleh
Tuhan, bukan oleh Iblis. Dunia ini tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia
dan yang disebut najis adalah segala perbuatan dan produknya yang bertentangan dengan
prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya orang percaya tidak sesat seperti aliran agama-agama
tertentu yang memandang dunia ini jahat dan menurut mereka harus dijauhi. Kejahatan dunia
ini bukan pada benda-benda dan segala kesibukan hidup, tetapi pada sikap hati dan segala
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Karenanya, bagi mereka yang berniat
hidup suci, mereka menjauhi dunia dengan segala kegiatannya, tidak menikah. Ini adalah sikap
yang salah. Menikah itu sendiri adalah sesuatu yang kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks
sebelum manusia jatuh dalam dosa. Bila di lingkungan Kristen ada orang yang tidak menikah,
itu bukan karena pernikahan itu najis, tetapi karena demi kepentingan Kerajaan Surga.
Seseorang tidak menikah harus hanya karena untuk memikirkan pekabaran Injil dan bentuk
pelayanan lainnya. Dan hal ini bukan berarti menjadi lebih kudus.

Dalam Kejadian 1:28-29, Tuhan berfirman agar manusia mengelola dunia ini. Perintah
untuk mengelola dunia ini sebagai penyelenggaraan kehidupan di bumi ini merupakan perintah
kudus dan rohani yang tidak boleh diidentifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya orang
percaya tidak boleh membedakan profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan itu
semata-mata. Karenanya pula orang percaya tidak boleh merasa kurang kudus hanya karena
memiliki profesi bukan pendeta atau tidak memiliki kegiatan di gereja.

Dalam Roma 12:1-2 Paulus menjelaskan arti ibadah, yaitu mempersembahkan tubuh
sebagai korban yang hidup, kudus, dan yang berkenan. Ini artinya membudidayakan tubuh
untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan tidak menggunakan tubuh
dalam bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan. Untuk ini merupakan kewajiban agar
anak-anak Tuhan meningkatkan kualitas kemampuan kerja dalam membudidayakan semua
potensi yang ada di dalam dirinya dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana
menggunakan tubuh sesuai dengan Firman Tuhan.

Seorang aktivis gereja hendaknya tidak merasa lebih kudus hanya karena memiliki tugas
dalam gereja sebagai penerima tamu, mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis, dan
lain sebagainya. Hidup seseorang dianggap rohani atau tidak bukan ditentukan oleh
aktivitasnya di dalam gereja, tetapi motivasi kehidupan orang itu. Yang penting di sini adalah
bahwa seseorang harus mengerti kebenaran Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi
hidup yang benar yaitu hidup bagi Tuhan (Flp.1:21). Demikian pula, profesi bernilai rohani
atau duniawi bukan berdasarkan jenis profesi itu, tetapi motivasi terdalam orang melakukan
atau menyelenggarakan profesi tersebut.

102
Orang tidak akan memiliki motivasi hidup bagi Tuhan kalau ia tidak bertumbuh dalam
pengenalan akan Tuhan dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam Alkitab. Sekali pun ia
seorang pejabat gereja, kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, pasti ia belum
mampu hidup bagi Tuhan. Akhirnya bagi mereka yang berkeadaan seperti itu, pelayanannya
adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ambisinya. Jadi di sini seorang
dikategorikan rohani atau tidak, sangat ditentukan oleh motivasi kehidupan di dalam hatinya.
Dalam hal ini orang percaya harus peka terhadap kehendak Tuhan, agar orang percaya hidup
untuk Tuhan, bukan bertendensi untuk kepentingan diri sendiri.

Dalam hal tersebut, yang penting manusia di sekitar orang percaya diberkati Tuhan
melalui hidup mereka. Ibadah yang benar adalah melawat yatim piatu dan janda-janda dalam
kesusahan mereka (Yak.1:27). Orang percaya haruslah menyadari bahwa sangatlah tidak efektif
dapat melawat mereka hanya dengan doa, tetapi juga dengan dukungan finansial dan lain
sebagainya. Untuk itu orang percaya harus bekerja keras.

Menjadi kesalahan fatal yang harus diluruskan mengenai konsep berbakti yang salah yang
selama ini dimengerti oleh orang Kristen pada umumnya. Pada umumnya mereka memahami
yang disebut berbakti kepada Tuhan selalu dikaitkan dengan kegiatan agama di dalam
lingkungan gereja, terutama hadir dalam "kebaktian" mengikuti liturgi. Kata berbakti dalam
Alkitab bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam Ulangan 13:4; Yosua 22:5; Matius 4:10;
Lukas 4:8. Dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan kata: Abad (‫ )עבד‬yang diterjemahkan
work; serve; labor (bekerja, melayani). Kata ini memiliki padanan dengan kata latreia
(λατρεία) artinya minister, to serve. Kata ini juga dapat kita temukan di antaranya dalam Lukas
4:8 dan Roma 12:1.

Dalam hal ini harus dimengerti bahwa yang dimaksud berbakti bukan hanya menyangkut
kegiatan lingkungan gereja. Tetapi meliputi seluruh gerak hidup orang percaya. Perintah
pertama Allah agar manusia berbakti kepada Tuhan dapat ditemukan dalam Kejadian 1:28;
2:15. Pengelolaan bumi atau menyelenggarakan kehidupan untuk manusia itu sendiri dan
lingkungannya adalah sebuah kebaktian. Selanjutnya perintah Tuhan kepada Nuh untuk
membuat bahtera juga merupakan perintah untuk berbakti (Kej. 6:14).

Dari hal tersebut orang percaya dapat menemukan kebenaran bahwa melakukan
kehendak Tuhan dalam melaksanakan maksud Tuhan menciptakan manusia yaitu untuk bekerja
bagi maksud Tuhan adalah ibadah. Maksud Tuhan ialah agar manusia dapat mengelola bumi
ini bagi kehidupannya dan lingkungannya. Jadi bekerja adalah sebuah kebaktian atau ibadah.

Kata "berbakti" atau yang sama dengan ibadah dapat ditemukan dalam Perjanjian Baru
yang dalam dialami Matius 4:10 dan Lukas 4:8 berkaitan dengan pencobaan yang dialami
Tuhan Yesus untuk menyembah Iblis. Dalam penolakan-Nya, Tuhan Yesus menggunakan
kalimat ini sebagai landasannya. Dari peristiwa ini kita dapat menemukan kebenaran bahwa
berbakti kepada Tuhan adalah sikap yang tidak menghamba kepada dunia. Segala sesuatu yang

103
orang percaya kerjakan dalam hidup ini baik sebagai pedagang, pengusaha, karyawan, ibu
rumah tangga, dan lain sebagainya diperuntukkan bagi Tuhan. Ini adalah sikap berbakti kepada
Tuhan. Oleh sebab itu yang harus dipahami adalah bahwa rumah ibadah orang percaya bukan
hanya gereja tetapi, rumah, toko, kantor, warung, dan lain sebagainya. Tempat di mana orang
percaya mencari nafkah dan bekerja adalah rumah ibadah mereka. Oleh sebab itu orang percaya
tidak berhenti berbakti walau sudah ada di luar dari ruangan gereja.

Jam berbakti orang percaya bukan hanya 2 jam dalam gereja, tetapi 24 jam waktu hidup
ini adalah jam kebaktian yang terus menerus berlangsung tiada henti. Di sini orang percaya
dapat menikmati hidup dalam kebaktian kepada Tuhan sepanjang waktu. Orang yang berbakti
kepada Tuhan selama hidup dalam dunia ini adalah orang yang diperkenan berbakti kepada
Tuhan selama-lamanya. Sangatlah indah kalau dalam hidup orang percaya memfokuskan
perhatiannya kepada Tuhan yang menjadi tujuan hidup. Tujuan ibadah dan kebaktian orang
percaya satu-satunya adalah Tuhan sendiri.

Yang menjadi masalah terbesar dalam hidup orang percaya sekarang ini adalah
bagaimana menerjemahkan iman dalam kehidupan secara nyata setiap hari, bukan hanya dalam
pengakuan atau ritual. Itulah yang dilakukan dalam agama-agama pada umumnya. Seluruh
gerak hidup orang percaya adalah kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan. Di dalam hidup
orang percaya ada irama memuji dan menyembah Tuhan. Dalam Roma 12:1-2 sebenarnya
sudah jelas bagaimana seharusnya menerjemahkan iman dalam kehidupan setiap hari secara
konkret.

Banyak orang ibadahnya masih dalam wujud ritual atau upacara. Upacara atau liturgi
ibadah orang percaya adalah seluruh hidup ini. Ini berarti seluruh hidup orang percaya telah
dimiliki Tuhan. Pengakuan ini ditandai dengan kesediaannya tidak mencari penghormatan apa
pun dari dunia ini. Segala sesuatu dari Dia, oleh Dia, dan bagi Dia (Rm. 11:36). Kalau hidup
orang percaya dimiliki Tuhan, maka tidak ada pujian dan sanjungan yang layak diterima oleh
siapa pun, termasuk diri sendiri. Semuanya harus dikembalikan kepada Tuhan. Ini adalah sikap
hati yang benar. Yang penting bagaimana hati orang percaya memberi penghormatan kepada
Tuhan.

Seluruh gerak hidup orang percaya adalah pengabdian kepada Tuhan. Kesediaan
menggunakan hidup ini untuk melayani Tuhan, untuk kesenangan hati-Nya. Inilah yang
dikatakan Paulus bahwa apa pun yang orang percaya lakukan harus untuk memuliakan Tuhan
(1Kor. 10:31). Inilah sebenarnya irama yang benar, seluruh hidup orang percaya adalah irama
berbakti dan menyembah Tuhan (Luk. 4:8). Dengan demikian kerja memiliki tempat yang
sangat sentral dalam kehidupan manusia.

104
BAB XX

MANDAT BUDAYA

Kebudayaan, kata ini berasal dari dua kata: "budi" dan "daya". Budi artinya akal, daya
artinya kekuatan, kemampuan, kesanggupan, tenaga. Kalau dua kata ini digabung menjadi
"kebudayaan", berarti hasil karya manusia atau buah tangan manusia. Dalam pengertian luas
kebudayaan berarti segala hasil usaha manusia untuk melengkapi kebutuhannya dan
mempermudah kehidupan. Di dalamnya menyangkut berbagai tradisi yang diciptakan dengan
maksud untuk memperlengkapi kehidupan. Tradisi ini bisa berupa ritual-ritual, tata krama atau
sopan santun yang mengatur hubungan antar manusia, dan lain sebagainya, yang pada
pokoknya segala "Manmade".

Apabila manusia berhenti mengembangkan kebudayaan, berarti manusia berhenti


menjadi manusia, sebab manusia yang pada hakikatnya adalah manusia yang bekerja, manusia
yang terus menerus berkarya menciptakan kebudayaan. Manusia terus bergumul untuk keluar
dari kesulitan dan kesukaran hidup ini. Manusia terus mencari penyelesaian dari segala
masalahnya dan kemudahan dari segala rintangan hidup. Manusia terus mencari dan berusaha
menemukan sebanyak mungkin apakah yang dapat diberikan alam kepadanya atau yang dapat
ditemukannya dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebudayaan terus berkembang.

Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebab kebudayaan adalah
bagian integral dalam kehidupan manusia. Sejak semula Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang berakal atau berbudi. Manusia diciptakan segambar dengan Allah (Imago Dei).
Oleh karena Allah adalah Allah yang bekerja, maka manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah tersebut juga pada hakikatnya adalah manusia yang bekerja. Kalau Allah adalah Allah
yang memiliki rasio, maka manusia yang diciptakan segambar dengan diri-Nya juga adalah
makhluk yang memiliki rasio yang memampukan manusia berasionalisasi, berlogika,
menganalisa, dan lain-lain. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lain
dalam dunia ini.

Manusia memiliki kebudayaan dan terus menciptakan kebudayaan, tetapi makhluk lain
dalam dunia ini tidak memiliki kebudayaan. Kemampuan berakal inilah yang membuat manusia
dapat dipercayai oleh Allah untuk mengelola bumi (Kej. 1:28). Kemampuan inilah yang
membuat manusia mampu bergumul dengan alam dan segala problematika kehidupan. Oleh
sebab itu kebudayaan ada seiring dengan eksisnya manusia dalam dunia ini. Kebudayaan
manusia telah diawali di Firdaus. Dalam hal ini, Tuhan menghendaki agar manusia
mengembangkan segala potensi jasmani maupun rohani yang ada di dalam diri manusia dan
memanfaatkan kekayaan alam untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Berbudaya pada prinsipnya adalah perintah Allah, sebab Tuhan sendiri yang berkata: "...
taklukkanlah bumi dan berkuasalah atas ikan-ikan..." (Kej.1:28). Di sini kita menemukan
105
mandat kebudayaan atau penyelenggaraan kebudayaan oleh manusia. Dalam hal ini pula kita
menemukan tujuan kebudayaan, yaitu melaksanakan apa yang dititahkan Tuhan, yaitu
menaklukkan bumi ini dan menguasai apa yang ada di dalamnya. Manusia hendak dijadikan
"penguasa" oleh Tuhan atas bumi ini. Bumi dengan segala isinya diwariskan kepada manusia.
Dengan penaklukkan atas bumi dan penguasaan atasnya, manusia direncanakan untuk
mengabdi kepada Tuhan dan berguna bagi sesamanya. Inilah tujuan kebudayaan, yaitu
mengabdi kepada Allah dan hidup bagi kepentingan sesama manusia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tugas berkebudayaan adalah mandat yang
diberikan Allah kepada manusia. Ini adalah sebuah tugas langsung dari Tuhan kepada manusia.
Manusia diberi tugas menggali segala kekayaan dan potensi yang terdapat dalam alam ini, baik
secara jasmani maupun rohani dan selanjutnya kebudayaan harus dipersembahkan bagi
kemuliaan Allah dan kepentingan sesama. Kebudayaan adalah buatan manusia (Manmade). Di
dalam kebudayaan, manusia menyatakan hakikatnya dan kehidupannya secara konkret.
Sekaligus di dalam kebudayaan manusia harus memilih kepada siapa ia mengabdi. Kepada
Allah atau kepada Iblis. Demikianlah sejarah kebudayaan manusia adalah gelanggang di mana
manusia bergumul antara mengabdi kepada Allah atau mengabdi kepada Iblis. Manusia
diperhadapkan kepada pilihan untuk menyelenggarakan kebudayaan dalam kebenaran atau
pemberontakan kepada Allah. Dalam hal ini, tampaklah hubungan antara etika dan kebudayaan.

Harus disadari bahwa tujuan dan arti hidup manusia barulah lengkap apabila manusia itu,
menunaikan tugas kebudayaan bagi Allah. Oleh sebab itu, kita harus memberi penghargaan
terhadap pelaku-pelaku kebudayaan di bidang yang tidak sama dengan bidang kebudayaan yang
kita gumuli. Mereka juga harus dipandang sebagai pelayan-pelayan Tuhan dalam mengelola
kekayaan alam yang tidak terbatas ini. Tentu saja selama mereka menyelenggarakan budaya
dengan sikap hati yang benar. Panggilan melayani Tuhan bukan saja kalau seseorang
mengambil bagian dalam pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan rohani dan gereja.
Menyelenggarakan kebudayaan (manmade) sesuai dengan bidang dan talentanya masing-
masing adalah panggilan untuk melayani Tuhan dan mengabdi sepenuh kepada-Nya. Untuk ini
orang percaya juga harus bersikap positif terhadap kebudayaan, selama kebudayaan itu tidak
bertentangan dengan kehendak Allah.

Setiap orang percaya menerima panggilan untuk berusaha dalam kebudayaan,


menggunakan dengan sadar segala potensi manusia dan alam bagi kemuliaan Allah. Manusia
dipanggil mengabdi kepada Tuhan di segala lapangan ilmu pengetahuan. Dalam masing-masing
bidang, Allah memercayakan tanggung jawab dan tugas kepada seseorang, di tempat tersebut
ia harus setia aktif mengabdi. Dalam hal ini kita masing-masing memiliki tempat khusus di
mana kita dapat memperoleh tugas dan tanggung jawab tersebut. Gereja juga harus mendorong
anggotanya untuk menemukan tempatnya di mana ia dapat mengabdi kepada Tuhan melalui
bidang dan talenta masing-masing dalam kebudayaan.

Dalam kehidupan iman Kristen, bisa dipersoalkan apakah kebudayaan yang


terselenggara sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan atau tidak. Etika kebudayaan

106
mempersoalkan mengenal yang baik dan buruk, ketaatan kepada hukum Allah, tentang dosa
dan anugerah, sumber-sumber perbuatan kesusilaan dan motivasi kegiatan-kegiatan di lapangan
kebudayaan. Di sini etika memandu pelaku kebudayaan untuk berjalan dalam kebenaran Allah
dan tidak menyimpang dari kehendak-Nya. Kebudayaan manusia selalu mengalami proses
perkembangan, yaitu manusia selalu "sedang berjalan" di dalam kebudayaan. Manusia berjalan
terus dengan kegiatannya yang menciptakan kebudayaan. Beberapa ratus tahun yang lampau,
manusia hanya mengenal alat transportasi seperti kereta atau pedati yang ditarik kuda, tetapi
sekarang manusia sudah mengenal turbo, kapal terbang supersonic, dan lain sebagainya.
Sejalan dengan ini, maka etika terus mengikuti gerak kebudayaan. Etika harus selalu menyelami
gerak kebudayaan dan memberikan pandangannya secara kritis.

Sisi lain kebudayaan manusia senantiasa bergerak makin meluas menuju globalisasi dan
manusia hendak mencapai apa yang melampaui dirinya. Suatu kebudayaan saling memberi
pengaruh dan memengaruhi. Kebudayaan yang dianggap up to date akan merambah dan
memengaruhi suatu bangsa dan melenyapkan kebudayaan bangsa tersebut, cepat atau lambat.
Misalnya, dominasi kebudayaan barat di Indonesia. Ternyata budaya Barat, dari model pakaian,
masakan, sampai kepada jenis dan irama musik telah mendominasi kehidupan masyarakat
Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di perkotaan. Oleh karena itu maka muncullah
masalah: apakah suatu kebudayaan yang diterima oleh suatu suku bangsa di suatu tempat dapat
dikenakan untuk bangsa lain di tempat yang berbeda?

Pengaruh memengaruhi antar kebudayaan ini semakin cepat realisasinya karena didorong
oleh kemajuan transportasi dan komunikasi. Dalam hal ini, etika terpanggil untuk memberi
tanggapan terhadap perubahan cepat suatu budaya dalam suatu bangsa. Sebab apa yang selama
ini dianggap tidak lazim atau dianggap kurang bernorma bisa menjadi kebiasaan yang diterima
oleh sebab pengaruh kebudayaan asing tersebut. Oleh karena kejatuhan manusia dalam dosa
yang disertai dengan kerusakan gambar Allah, maka terjadi kemerosotan dan pemberontakan
manusia terhadap Allah. Manusia telah kehilangan maksud dan tujuan dirinya diciptakan.
Sebagai akibatnya, manusia juga telah membelakangi mandat kebudayaan yang telah
dipercayakan kepadanya. Manusia tidak menyelenggarakan budaya sebagai mestinya dan tidak
menunjukkan penyelenggaraan budaya bagi kemuliaan Tuhan. Bagi kemuliaan Tuhan artinya
diselenggarakan dalam moral kesucian Tuhan dan bermanfaat bagi semua manusia.

Manusia tidak lagi mempersembahkan kebudayaan bagi kemuliaan Allah dan


kesejahteraan sesama. Hubungan antara kultur dan kultus, antara budaya dan ibadat menjadi
rusak sama sekali. Alat-alat kebudayaan tidak lagi dipakai untuk kemuliaan Allah dan
kepentingan kesejahteraan umat manusia, tetapi telah menjadi sarana manusia mencapai ambisi
pribadi dan pemuasan nafsu rendahnya. Selanjutnya, kuasa dosa itu nampak jelas dalam
beberapa aspek kebudayaan, hasil kebudayaan, dan cara mempergunakan kebudayaan.
Berbagai tradisi pun muncul sebagai kristalisasi dari kebutaan manusia terhadap kebenaran.

Seharusnya manusia dalam menyelenggarakan hidupnya didalamnya termasuk


menyelenggaraan kebudayaan berlangsung dalam terang Tuhan dan bertendensi untuk

107
kemuliaan Allah; tetapi karena kejatuhannya dalam dosa, maka penyelenggaraan kebudayaan
berlangsung dalam nuansa kekafiran. Penyelenggaraan hukum berlangsung tanpa Tuhan,
hukum Allah dan kebenaran Allah. Dengan demikian manusia telah jauh meleset (Yun.
hamartia) dari standar kebenaran dan kesucian Tuhan.

Pada akhirnya nanti semua manusia diperhadapkan kepada penghakiman, juga dalam
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan kebudayaannya. Ternyata, pengadilan Allah nanti
juga menyoroti penyelenggaraan kebudayaan dalam hidup manusia yang singkat ini. Akan
dipertanyakan apakah kebudayaan diselenggarakan bagi kemuliaan Allah dan demi
kesejahteraan orang lain atau tidak (Mat. 25:31-46). Apakah kebudayaan terselenggara dalam
terang kebenaran Allah atau bermuatan mistik, okultisme, dan kefasikan keberhalaan yang
menjijikkan di mata Allah. Allah menjadi manusia dalam Yesus Kristus untuk memulihkan
manusia menjadi manusia yang bukan saja dibenarkan di hadapan Allah, tetapi juga benar
keberadaannya (menuju keadaan yang benar dalam tingkah laku, 2 Kor. 5:17). Tuhan Yesus
telah menanggung hukuman atas dosa manusia dalam seluruh kebudayaannya. Oleh sebab itu,
Dialah Juruselamat kebudayaan dan sekaligus Tuhan Yesuslah sumber kebudayaan yang benar.
Tuhan Yesus hendak membawa manusia kembali segambar dengan Allah. Manusia
dikembalikan sesuai dengan maksud dan tujuan manusia itu diciptakan. Dengan demikian,
kebudayaan manusia pun juga diperbaharui.

Pemulihan hidup manusia pada hakikatnya juga adalah pemulihan kebudayaan juga. Bila
manusia hidup dalam persekutuan dengan Allah di mana Kristus menjadi sumber hidupnya,
maka praktis dengan sendirinya kebudayaan yang diciptakannya pun bersumber pada-Nya.
Dengan demikian penyelenggaraan kebudayaan yang fasik dapat diubah menjadi
penyelenggaraan kebudayaan yang Teosentris. Dengan demikian kebudayaan dapat
ditempatkan di tempat yang semestinya, yang Tuhan kehendaki.

Dalam dunia hari ini dapat ditemukan 2 tendensi kebudayaan yang dapat ditemukan
dalam hidup manusia, tendensi dalam terang dan kegelapan. Tendensi dalam terang Allah
diselenggarakan oleh manusia yang telah diperbaharui oleh kuasa penebusan Tuhan Yesus
Kristus dan tendensi dalam kegelapan yaitu kebudayaan yang diselenggarakan oleh manusia
yang belum dipulihkan. Kalau kebudayaan yang diselenggarakan dalam terang Allah nampak
kebenaran, keadilan dan kasih; tetapi kebudayaan yang diselenggarakan dalam kegelapan
menampakkan ketidakadilan, kejahatan, dan pemberontakan manusia terhadap Allah.
Kebudayaan tidak diarahkan kepada Allah sebagaimana mestinya tugas dan tujuan kebudayaan.

Di dalam memenuhi tugas kebudayaan, kita diperkenankan hidup dari anugerah Tuhan Yesus
yang membenarkan dan menguduskan kita. Kita diperkenankan hidup berdasarkan
pengharapan di mana Allah mengerjakan semuanya di dalam semua, di mana segala kultur
menjadi kultus, semua kebudayaan menjadi kebaktian. Sehingga akhirnya segala sesuatu yang
diperbuat manusia juga di lapangan kebudayaan adalah ibadah kepada Tuhan. Inilah yang juga
dimaksud dengan menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran (Yoh. 4:24).

108
Orang percaya dipanggil untuk menguji motif-motif kebudayaan, gejala-gejala
kebudayan, dan hasil kebudayaan kepada norma-norma yang ditetapkan Tuhan bagi
kebudayaan. Di sini kita harus sengaja mempertemukan secara konfrontatif kebudayaan dengan
Injil dan hukum Allah. Orang percaya tidak boleh ragu memancarkan terang kebenaran Firman
Tuhan atas seluruh penyelenggaraan kebudayaan manusia.

109
BAB XXI

MANDAT PROKREASI MANUSIA

Adalah sangat menarik kalau Alkitab menginformasikan mengenai perbedaan jenis


kelamin seiring dengan penciptaan alam semesta ini (Kej. 1:26-28; 2:18-25). Tentu di dalamnya
ada berita penting yang hendak dikemukakan. Ini benar, sesungguhnya hal berkenaan dengan
pria dan wanita adalah hal yang penting. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan kelengkapan
dari karya agung Sang Khalik, yang karenanya dapat dikatakan "sungguh amat baik" (Kej. 1:31
wehinneh tov meod - ‫)והינח טוב מאוד‬. Alam semesta terasa hampa, khususnya bagi makhluk
yang disebut manusia kalau tidak ada perbedaan jenis kelamin ini. Perbedaan jenis kelamin ini
merupakan keajaiban dari ide dahsyat Sang Pencipta yang sangat mengagumkan, yang
karenanya perlu kita gali maknanya.

Dalam berbagai pandangan agama dan filsafat, dapat kita peroleh bermacam-macam
pandangan berkenaan dengan perbedaan jenis kelamin ini. Namun hanya dengan Alkitablah
yang dapat membentangkan kebenaran berkenaan dengan perbedaan jenis kelamin tersebut
secara akurat. Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan segambar dengan
diri-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Allah sebenarnya unsur-unsur kelaki-lakian dan
kewanitaan. Unsur-unsur ini dimanifestasikan dalam karya-Nya menciptakan manusia dengan
keberadaan sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini bisa dimengerti mengapa dalam
beberapa bagian Alkitab seringkali Tuhan digambarkan perkasa seperti laki-laki (Mzm. 24:8;
89:14; Yes. 9:5), tetapi juga lembut penuh perhatian bagai seorang wanita (Yes. 49:14-16).

Manusia yang adalah laki-laki dan perempuan menjadi satu daging untuk saling mengisi
dan melengkapi (Kej. 2:24). Hal ini menunjuk bahwa Allah yang jamak dalam keesaan itu juga
Pribadi yang saling mengisi, yaitu antara Allah Bapa dan Allah Anak. Kedua pihak saling
mengisi satu sama lain, ada percakapan antara keduanya, mufakat, dan kerja sama.
Sebagaimana Allah dalam seluruh kegiatan-Nya selalu bersama-sama (Kej. 1; Yoh. 1),
demikian pula manusia. Kedua pihak adalah satu tim yang tidak terpisahkan. Kekuatan tunggal
yang dapat menghasilkan karya-karya besar yang tidak dapat dilakukan hanya oleh satu pihak.

Mendengar kata seks, banyak orang Kristen yang buru-buru memandang dengan
kacamata curiga. Pada umumnya seks selalu dikaitkan dengan hubungan senggama antara pria
dan wanita. Padahal pengertian seks tidaklah demikian semata-mata. Kata seks mempunyai
pengertian berkenaan dengan jenis kelamin dan berkenaan dengan perkara percampuran antara
laki-laki dan perempuan.

Pandangan Alkitab tentang seks berpijak pada Kejadian 1:27; 2:24-25. Dari kedua
perikop ini terbangun pandangan etis teologis tentang seks. Seks adalah ciptaan Allah, hasil
dari ide Allah sendiri. Seks diciptakan sejalan dengan penciptaan alam semesta ini. Itulah
sebabnya Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita. Mengacu pada konsep ini maka
110
ditarik kesimpulan mengenai seks, bahwa seks memiliki keberadaan yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Pertama, suci, kudus. Seks bukan sesuatu yang jahat. Seks ada di dalam dunia bukan
karena manusia jatuh dalam dosa atau sejak manusia jatuh dalam dosa. Seks diciptakan Allah
bersama dengan seluruh eksistensi manusia itu sendiri sejak semula sebagai karya Allah yang
agung. Itulah sebabnya diciptakannyalah laki-laki dan perempuan (Kej. 1:26-27).

Kedua, mengandung tujuan Ilahi. Di dalamnya mengandung maksud dan tujuan Allah
yang mulia. Dengan seks yang diperlengkapkan tersebut, manusia diberi mandat untuk
prokreasi, berkembang biak (Kej. 1:28). Aspek lain berkenaan pemberian seks kepada manusia
agar Allah dapat memberi "kenikmatan", yaitu sebuah rekreasi kepada manusia.

Ketiga, pertanggungan jawab kepada Allah. Dalam penggunaan seks tersebut harus
kudus dan benar sesuai dengan kehendak Allah. Dalam hal ini manusia dituntut pertanggungan
jawab.

Berbicara mengenai hakikat perkawinan, maka ternyata ditemui ada banyak teori dari
berbagai sumber yang menguraikan pokok tersebut. Teori-teori tersebut dipromosikan sebagai
formulasi yang benar dan dapat diterima. Dalam sub bab ini dibahas hakikat perkawinan dengan
mengalaskan sudut pandang hanya pada Alkitab. Di dalam kitab Kejadian 1 disingkapkan
peristiwa penciptaan manusia pada mulanya: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-
Nya mereka." Dari sumber yang lain ditemukan cara Allah menciptakan manusia dengan
secara hierarki, yaitu laki-laki terlebih dahulu kemudian baru perempuan (Kej. 2:21-22). Hal
ini tidak perlu dipermasalahkan, namun yang penting di sini adalah bahwa dualitas manusia itu
ada bukan karena sebuah proses evolusi atau terjadi secara otomatis. Dualitas manusia ini
merupakan hasil dari rekayasa Allah sendiri dengan sengaja. Lebih eksplisit diuraikan dalam
Kejadian 2 dengan penjelasan yang agak didramatisir: Allah membuat Adam terlelap lalu
mengambil satu dari tulang rusuknya, kemudian diciptakan-Nya seorang makhluk, yang disebut
perempuan.

Pengakuan tentang penciptaan dualitas manusia ini tidak boleh atau tidak dapat ditukar
dengan konsep lain. Sebab kenyataan inilah yang menjadi dasar dari hakikat perkawinan
manusia. Atas dasar inilah selanjutnya dapat dibangun konsep etis teologis tentang tanggung
jawab manusia atas jenis kelaminnya atau perilaku seksualnya serta rencana Allah di balik
kenyataan dualitas manusia tersebut. Penciptaan dualitas manusia mempunyai maksud tujuan
Ilahi yang dijelaskan dalam Kejadian 1:28, "Beranak cuculah dan bertambah banyak ... " Dari
keterangan Kejadian 1:28 ini jelas manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu
diciptakan dalam tatanan tertentu untuk saling melengkapi. Allah menciptakan dualitas manusia
bukan saja agar keduanya saling melengkapi, tetapi juga mengandung banyak aspek. Alkitab
merumuskannya dengan kata "baik" (Kej. 2:18). Dalam ayat tersebut Allah berkata: "Tidak
baik kalau manusia itu seorang diri saja.. "

111
Selanjutnya Tuhan Yesus menegaskan dalam pemberitaan-Nya yang menyinggung soal
ini, ditulis oleh Matius dalam Matius 19:4,"Tidakkah kamu baca, bahwa la yang menciptakan
manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?" Isyarat yang jelas dari
kalimat ini menunjukkan bahwa Allah adalah pemrakarsa dualitas manusia. Laki-laki dan
perempuan adalah ide atau gagasan Allah. Oleh sebab itu dapat dikatakan kemudian bahwa
perkawinan adalah merupakan gagasan Allah. Allah yang menentukannya sejak semula bahwa
laki-laki harus bertemu dan dipersatukan dengan perempuan. Ini sama sekali bukan prakarsa
manusia. Maka harus diakui dan diterima bahwa perkawinan adalah suatu karunia Allah.
Dengan demikian jelas bahwa perkawinan adalah suatu institusi yang diberkati Allah bagi
manusia sebagai suatu anugerah.

Diferensiasi seksual ini pula mengandung "misteri" yang dalam, berbeda dengan
diferensiasi seksual makhluk lain. Hal ini nampak dari kesaksian Alkitab, di mana tentang
binatang dan makhluk lain tidak disinggung kelainan jenis kelamin ini. Sedangkan pada
manusia diferensiasi seksual ini disebutkan secara eksplisit dan berulang-ulang. Akhirnya
misteri tersebut dapat dipecahkan dan ditemukan isinya dalam rencana agung Allah, yang
menjadikan keduanya bersatu dalam satu institusi, yaitu perkawinan. Dengan demikian, jelaslah
bahwa perkawinan merupakan institusi yang diciptakan Allah sejak semula, yaitu sejak Allah
menciptakan dunia ini sebagai bagian dari tatanan penciptaan.

Seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa perkawinan adalah rekayasa Allah,
gagasan Allah, dan merupakan bagian dari tatanan penciptaan, oleh sebab itu selanjutnya dapat
kita konklusikan bahwa perkawinan merupakan institusi Ilahi.

Pengertian institusi ilahi maksudnya bahwa institusi ini merupakan bentuk dari karya
Tuhan yang mempunyai nilai permanen, Kudus serta memiliki sifat-sifat hakiki essentialis
properietas dan nilai-nilai tujuan yang digariskan atau ditetapkan oleh Allah sendiri.
Perkawinan memiliki nilai permanen, hal ini nampak jelas pada kasus jatuh nya manusia dalam
dosa (Kej. 3). Sekalipun manusia telah jatuh dalam dosanya, namun tatanan dalam perkawinan
yaitu hubungan laki-laki dan perempuan ini tidak dibatalkan. Tatanan Allah dalam perkawinan
tetap berlaku bagi manusia yang berdosa dan nilai kuantitatif dari tatanan Allah dalam
perkawinan tersebut tidak berubah. Hanya kemudian akibat dosa maka manusia telah
menyalahgunakan dan merusak tatanan Allah dalam perkawinan. Sehingga perkawinan yang
kudus telah menjadi cemar pada pelaksanaannya atau penggunaannya.

Perkawinan adalah sesuatu yang kudus sebab Allah yang kudus itu sendiri yang
menciptakannya. Seks ada di dalam dunia ini diciptakan oleh Allah sebelum manusia jatuh
dalam dosa. Gairah seksual manusia itu adalah sesuatu yang kudus dan mulia hasil karya tangan
Allah yang tidak nampak "invisible hand". Nilai kuantitatif kesucian seks tidak berubah, sekali
pun manusia telah jatuh di dalam dosa. Gairah seksual ini tidak ditiadakan oleh Allah dan turut
terkutuk bersama dengan bumi ini. Perkawinan adalah sesuatu yang tetap memiliki nilai tinggi,
sakral, dan mulia, sekali pun pelaku-pelakunya telah dicemari oleh dosa. Allah adalah kudus

112
(1Ptr. 1:16), maka hasil karya-Nya pun kudus. Unsur Ilahi inilah yaitu kekudusan terdapat pada
institusi yang disebut perkawinan.

Selanjutnya, perkawinan yang ideal memiliki sifat-sifat hakiki essentialis properietas


yang ditentukan dan ditetapkan Allah. Bila sebuah perkawinan tidak tunduk di bawah otoritas
essentialis properietas sebaliknya ada upaya mengisi perkawinan dengan sifat lain maka
perkawinan tersebut tidak bermoral, tidak bermutu, tidak bernilai, dan kadarnya rendah. Ini
adalah sebuah perkawinan yang tidak terberkati oleh Allah yang berhak dan berkuasa
memberkati sebuah perkawinan. Perkawinan yang tidak tunduk pada otoritas moral yang
ditetapkan Allah adalah perkawinan yang mengandung bahaya dan kesulitan.

Adapun sifat hakiki yang merupakan moral perkawinan yang ditetapkan Allah itu adalah
sebagai berikut:

Pertama, perkawinan yang menurut tatanan Allah adalah perkawinan monogami.


Perkawinan monogami ialah perkawinan yang terdiri dari ikatan seorang laki-laki dan seorang
wanita. Tidak ada oknum lain yang boleh turut hadir dalam ikatan perkawinan tersebut. Norma
ini dapat ditemukan di berbagai bagian Alkitab, antara lain: Kejadian 2:24 "Sebab itu seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging." Perlu diperhatikan kata "seorang laki-laki dan istrinya" yang
melaluinya nampak jelas tatanan Allah dalam perkawinan tersebut. Tuhan Yesus mengutip ayat
ini untuk menegaskan konsep-Nya mengenai perkawinan monogami (Mat. 19:4-5).

Dalam Injil Matius 19 dibentangkan konsep Yesus mengenai perkawinan yang


monogami ini dengan sikap keras-Nya terhadap perceraian. Yesus berkata: "Barangsiapa
menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zina"
(Mat. 19:9). Dari ucapan Yesus ini nampak jelas ide-Nya tentang perkawinan monogami yang
merupakan tatanan Allah dalam perkawinan, di mana Yesus hendak mengembalikan umat
Perjanjian Baru kepada tatanan Allah yang suci dan mulia. Perikop lain yang berbicara dengan
pokok yang sama dapat dijumpai dalam Markus 10:11-12 dan Lukas 16:18

Dalam 1 Korintus 7:4, Paulus menuliskan suratnya dengan nada tegas sebagai dukungan
terhadap konsep perkawinan monogami. "Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya."
Ketegasan Paulus ini tidak terbantahkan lagi. Sebab dengan jelas Paulus menunjuk tentang hak,
yaitu hak tubuh istri adalah suaminva dan sebaliknya. Selanjutnya dalam 1 Korintus 7:39,
Paulus dalam suratnya menegaskan sesuatu yang sangat berkaitan dengan konsep perkawinan
monogami: "Istri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas
untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang
percaya." Dikaitkan dengan tulisannya terdahulu, maka makin jelaslah suami hanya boleh
terikat pada satu istri saja dan sebaliknya.

113
Dalam Titus 1:6, rasul Paulus mengemukakan kriteria seorang penilik jemaat: "Adapun
satu dari beberapa kriteria seorang penilik jemaat adalah ia harus beristri satu orang." Dalam
hal ini ada isyarat tegas bahwa perkawinan monogami mempunyai nilai standar. Dari tulisan
Paulus ini dapat diketahui bahwa pada zaman Paulus ada praktik perkawinan poligami. Dalam
hal ini Paulus secara tidak langsung membela dan sekaligus mempromosikan perkawinan
monogami.

Kenyataan dari kesaksian Alkitab di atas ini merupakan penjelasan yang tegas bahwa
Allah menghendaki perkawinan monogami. Bila dalam Perjanjian Lama ada praktik poligami,
maka ternyata di sana ada banyak kesulitan dan kepahitan hidup sebagai buah dari praktik
perkawinan yang tidak diperkenan Allah. Jadi perkawinan monogami ditetapkan Allah
sesungguhnya bukan sebagai beban atau hukum yang menekan kebebasan manusia, tetapi
sebagai alternatif terbaik yang Allah tawarkan agar manusia dapat menikmati hidup perkawinan
dengan damai sejahtera.

Kedua, perkawinan adalah ikatan seumur hidup. Ini berarti tidak ada sesuatu yang boleh
menceraikan ikatan perkawinan tersebut kecuali kematian. Dalam Injil Matius 19:6 Tuhan
Yesus tegas menggariskan bahwa perceraian dilarang Allah, "apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Ini berarti bahwa perceraian dilarang Tuhan, apa pun
alasannya. Bila dihubungkan dengan moral baru mengenai perceraian yang ditunjukkan Musa
(Mat. 19:8), harus dipahami bahwa kelonggaran perceraian diberikan kepada bangsa Israel oleh
sebab ketegaran hati bangsa Israel.

Dalam 1 Korintus 7:10-11, Paulus tegas dan sangat keras dengan mengatasnamakan
Tuhan melarang suami menceraikan istrinya atau sebaliknya. Selanjutnya dalam ayat 27 di
pasal yang sama Paulus mengulang larangan perceraian tersebut, sekalipun perceraian itu
dimaksudkan agar jemaat lebih mengutamakan Tuhan. Oleh sebab itu dapat dimengerti
mengapa Allah berkata: "Sebab Aku membenci perceraian" (Mal. 2:16). Akhirnya, tujuan
perkawinan itu sendiri adalah agar perkawinan berkembang menjadi hubungan seumur hidup.
Keabadian hubungan perkawinan itu telah ditegaskan oleh perkataan Tuhan Yesus dalam
Matius 19:6.

Adapun tujuan Allah mempertemukan dua jenis manusia ini: Pertama, agar manusia
laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Sebab Allah menciptakan manusia sebagai
laki-laki dan perempuan, agar mereka dapat hidup bersama saling mengisi. Kedua, dari
pertemuan dalam perkawinan, laki-laki dan perempuan itu dapat menikmati anugerah Allah
pada kenikmatan hubungan seksual. Di balik mandat "prokreasi" (Kej. 1:28), ternyata di sana
juga tersirat jelas berkat "rekreasi." Dalam Perjanjian Lama -yaitu dalam kitab Kidung Agung-
diungkapkan secara eksplisit kebahagiaan hidup jasmaniah dalam seksualitas, yaitu agar hidup
manusia tidak hambar, seperti makanan yang tidak digarami.

Organ-organ dalam tubuh manusia untuk melaksanakan mandat prokreasi menciptakan


kenikmatan, di mana melaluinya manusia dapat menghayati kasih Allah terhadap dirinya.

114
Dalam pesta "kenikmatan" tersebut manusia sekaligus telah melaksanakan kehendak Allah,
yaitu seks menjadi sarana manusia meneruskan keturunan, mempersiapkan generasi baru untuk
memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kej. 1:28). Melalui prokreasi yang dilaksanakan
manusia, ternyata manusia telah menjadi "kawan sekerja Allah." Dengan demikian jelas bahwa
seks bukan saja suci dan mulia, tetapi juga "berkekuatan". Sehingga mampu menjadi sarana
untuk melaksanakan mandat Tuhan, yaitu "memenuhi bumi". Oleh sebab perjumpaan laki-laki
dan perempuan adalah rencana Allah yang permanen dan mempunyai sifat -sifat hakiki serta
tujuan yang ditetapkan oleh Allah sendiri, maka tepatlah apakah yang dikatakan bahwa
perkawinan adalah suatu peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan, sebuah institusi Ilahi.

Ketiga, perkawinan sebagai persekutuan hidup yang eksklusif. Telah dibahas panjang
lebar mengenai moral perkawinan yang ditetapkan Allah serta tujuannya. Tetapi penjelasan di
atas tidaklah lengkap, kalau penjelasan tersebut dipisahkan dari unsur hakiki "essentiale
elementum" kesatuan di dalam perkawinan yang harus ada dan dipenuhi untuk melaksanakan
tuntutan moral perkawinan. Unsur hakiki inilah yang menjadikan perjumpaan seorang pria dan
seorang perempuan dalam institusi Ilahi tersebut sebagai persekutuan hidup yang eksklusif.

Unsur hakiki dalam kesatuan ikatan perkawinan tersebut ialah bahwa persekutuan dalam
perkawinan adalah persekutuan "sedaging" di mana dua orang menjadi satu. Konsep ini dapat
ditemukan dalam kitab Kejadian 1:27, dalam ayat ini ada suatu bentuk paradoks yang
mengungkapkan misteri kebersatuan manusia yang adalah dua pribadi itu. Pada satu pihak
manusia menurut Kitab Suci adalah makhluk tunggal (bdk. kata: "dia"), tetapi pada pihak lain
ia adalah makhluk jamak (bdk. kata: "mereka"). Kemudian dalam Kejadian 2:21-25 memberi
kesaksian bahwa "keduanya menjadi satu daging."

Kesatuan "sedaging" ini tidak boleh diinterpretasikan sebagai hubungan badan semata-
mata, sebab kalau pengertian sedaging ini hanya dikaitkan dengan dorongan biologis seksual
semata-mata, maka konsep tersebut mempermiskin dan mendangkalkan hakikat perkawinan.
Perlu diketengahkan bahwa dorongan biologis libido manusia terhadap impuls seks tidak sama
dengan binatang. Oleh sebab itu "kesedagingan" yang ditulis oleh kitab Kejadian tersebut tidak
bisa disejajarkan dengan "hubungan seks" makhluk lain. Sebagai perbandingan, dapat kita
amati kata: "bersetubuh" dalam Kejadian 4:1. Dalam Bahasa Ibrani digunakan kata "yada",
yang mengandung pengertian mengenal, mengetahui secara mendalam jiwa raga total. Mereka
bersetubuh artinya saling membuka diri saling dikenal. Ini menunjukkan sebuah persekutuan
hidup.

Demikianlah, pernikahan adalah mandat Tuhan. Tuhan yang mendesain dualitas manusia
sekaligus sebagai landasan terbangunnya institusi perkawinan. Di dalamnya mengandung
rencana Allah yang pasti sangat luar biasa. Kalau hanya sebagai perwujudan cinta kasih dan
menikmati kehidupan berumah tangga tanpa mengerti rencana Allah di dalamnya, berarti
sebuah pemberontakan. Ini juga berarti tidak menghargai hal dan kehormatan Allah.
Perkawinan diadakan oleh Tuhan supaya manusia bisa menjadi kawan sekerja Allah dalam
menciptakan manusia lain. Terkait dengan hal ini, Helmuth Thielicke. seorang profesor teologi

115
Protestan dari Jerman dan rektor Universitas Hamburg mengatakan bahwa manusia seperti allah
kecil (the little god), karena manusia diberi kemampuan untuk menciptakan manusia lain. Ini
hal yang luar biasa karena Allah memercayai manusia untuk memultiplikasi atau
menggandakan makhluk kekal, yaitu manusia lain.

Tentu saja Allah merancang agar keluarga bisa menjadi satu komunitas yang saling
membahagiakan, bukan saja beberapa tahun di bumi, tetapi Allah merancang untuk waktu yang
tidak berakhir nanti di surga. Tetapi dosa telah mengubah peta rancangan Allah yang sempurna.
Manusia harus mengalami kematian, sehingga kebersamaan dengan orang-orang yang saling
mengasihi hanya sesaat di bumi; lagi pula komunitas yang seharusnya saling menyuapi kasih
sayang tersebut sering berubah menjadi ajang pertikaian yang berujung pada saling
membinasakan dan perceraian. Inilah yang banyak kita saksikan dewasa ini. Keluarga tidak
menjadi Firdaus, tetapi menjadi neraka.

Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus adalah solusi bagaimana manusia seharusnya
hidup dengan karakter Allah sendiri. Inilah sebenarnya maksud manusia diciptakan agar
manusia memiliki keberadaan yang serupa dengan Tuhan dalam karakter. Jika hal ini terwujud,
maka barulah dapat tercipta Firdaus dalam keluarga. Inilah satu-satunya solusi yang ditawarkan
Tuhan kepada manusia berdosa. Oleh sebab itu yang penting dalam berumah tangga adalah
bertumbuh dalam karakter Ilahi yang baik. Ini sama dengan mendahulukan Kerajaan Surga
(Mat. 6:33). Mendahulukan Kerajaan Surga artinya berusaha untuk menjadi warga Kerajaan
Surga yang baik. Warga Kerajaan Surga yang baik adalah mereka yang berkarakter seperti
Tuhan.

Oleh sebab itu dalam konteks hidup berkeluarga, lebih dari segala kesibukan dan kegiatan
hidup, kita harus memberi perhatian yang serius bagaimana mengenal kebenaran Tuhan dan
belajar hidup sesuai dengan kebenaran tersebut. Oleh sebab itu memulai sebuah pernikahan,
kita harus memiliki konsep hidup yang benar. Lebih dari semua rancangan dan rencana,
pasangan harus berkomitmen bersama mendahulukan Kerajaan Allah seperti yang dikatakan
oleh Tuhan Yesus (Mat. 6:33), artinya bagaimana menjadi warga Kerajaan Surga yang baik.
Kebaikan di sini adalah kebaikan menurut Tuhan. Karakter yang baik ini harus terus
dikembang-tumbuhkan tiada henti.

Tanpa menjadi warga Kerajaan Surga yang baik, sejatinya manusia membawa dirinya
kepada kebinasaan. Kalau pasangan suami istri menjadi warga Kerajaan Surga yang baik, maka
tidak akan ada perlakuan saling memperbudak dan melukai, tidak akan ada perselingkuhan atau
ketidaksetiaan, dan tidak akan ada saling membinasakan. Tetapi akan saling membangun untuk
kehidupan yang baik di bumi ini dan di langit baru dan bumi yang baru. Sehingga kebersamaan
suami istri, anak, dan orangtua bukan hanya beberapa puluh tahun di bumi ini tetapi juga di
dunia lain yang lebih baik, yaitu di surga.

116
BAB XXII

MANUSIA SEBAGAI ANAK ALLAH

Selama bertahun-tahun, para teolog Kristen menentang keras kalau ada usaha untuk
mencoba menyejajarkan Allah dengan manusia. Memang benar, Allah tidak bisa disejajarkan
dengan apa pun dan siapa pun. Apalagi disejajarkan dengan ciptaan-Nya, seperti manusia.
Tetapi sikap tersebut jangan sampai menjadi ekstrem sehingga gagal menempatkan manusia
pada proporsinya. Manusia ditempatkan sekadar sebagai makhluk ciptaan yang tidak memiliki
unsur Keilahian sama sekali, seakan-akan sama dengan ciptaan Allah yang lain. Unsur
Keilahian artinya unsur-unsur yang ada pada Allah sebagai "Master Plan"-nya, unsur-unsur itu
adalah kemampuan moralnya. Alkitab jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan menurut
rupa dan gambar Allah. Pernyataan ini sendiri sudah memberi indikasi bahwa pasti ada unsur-
unsur yang ada pada Allah juga ada pada manusia.

Dalam Alkitab dikatakan bahwa, Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Lebih tegas dan
kontroversi lagi, Paulus menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29).
Kata "keturunan" dalam teks aslinya adalah sama genos (γένος) (Ing. offspring, race, stock,
descendants); kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum. Penyataan
ini bukan bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus sendiri yang
kita percayai memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah, pun menyatakan demikian.

Pernyataan Paulus ini bukan tidak berdasar, sebab kalau kita memperhatikan kisah
penciptaan manusia maka kita dapati bahwa "roh" manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari
sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi "dikeluarkan" dari dalam diri Allah. Jadi
roh manusia adalah roh yang berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan
diciptakan, sebab keluar dari diri Allah ketika Allah menghembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7).
Tentu saja ketika Allah menghembuskan "sesuatu" tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu.
Dalam hal ini berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar.

Itulah sebabnya dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa roh yang ditempatkan Allah di
dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu. la menghendaki roh manusia, sebab roh itu
milik-Nya. Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa Allah adalah Bapa segala roh, artinya semua
roh yang ada berasal dari Dia, termasuk roh manusia berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya
pula dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah "manusia Allah" (Ing. man
of God. Yun. Anthrope tou theou; Άνθρωπε του θεού) (1Tim. 6:11). Maksudnya manusia Allah
di sini bukan berarti manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, tetapi manusia bisa
memiliki karakter atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya.

Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa. Tentu kalau berharga
di mata Allah Bapa berarti memang sangat berharga adanya. Allah tidak akan menghargai
sesuatu yang memang tidak memiliki nilai. Keberhargaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa
117
manusia adalah anak-anak-Nya sendiri. Di dalam diri manusia, Allah menempatkan roh yang
berasal dari diri-Nya (Kej. 2:7; Yak.4:5). Secara tidak langsung manusia adalah bagian dari diri
dan hidup Allah sebagai Bapa, sebagaimana anak-anak adalah bagian hidup dari orang tua.
Itulah sebabnya Allah Bapa menghendaki roh itu kembali kepada-Nya (Pkh. 12:7).

Dengan demikian bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela memberikan Putra Tunggal-Nya.
Hal tersebut jelas menunjukkan seakan-akan nilai jiwa manusia seharga dengan nilai Putra
Tunggal-Nya, padahal nilai Putra Tunggal-Nya tak terhingga, sebab Dia adalah anak Tunggal-
Nya. Dalam hal ini seakan-akan demi menyelamatkan manusia, Allah Bapa memberikan diri-
Nya sendiri. Sehingga betapa mahal harga keselamatan yang Tuhan berikan tersebut. Itulah
sebabnya kita tidak boleh menyia-nyiakan anugerah keselamatan ini (Ibr. 2:3).

Dengan memahami hal ini maka seseorang dapat menghargai dirinya sendiri dengan
benar, sebab menyadari betapa mulia dirinya itu. Itulah sebabnya kita tidak boleh membuat diri
merasa berharga karena faktor lain (kedudukan atau pangkat, gelar, penampilan, kekayaan,
popularitas, dan lain sebagainya). Kita berharga sebab memang kita bernilai tinggi sebagai
keturunan Allah sendiri. Banyak orang menghargai diri secara salah yang berakibat justru
menyia-nyiakan hidupnya. Pada umumnya manusia menghargai diri dengan membuat dirinya
dihormati orang lain. Untuk itu dibutuhkan sarana, antara lain kedudukan atau pangkat, gelar,
penampilan, kekayaan popularitas, dan berbagai hal yang dianggap sebagai nilai lebih. Itulah
sebabnya manusia bergerak setiap hari untuk mencapai hal-hal tersebut. Inilah sebenarnya yang
disebut sebagai haus kehormatan sampai pada tingkat gila hormat. Dengan gaya hidup seperti
ini, sejatinya seseorang membinasakan dirinya.

Kalau seseorang sudah tidak menghargai dirinya secara benar dan mengalihkan
penghargaan kepada hal-hal lain, maka ia tidak pernah mengenal keselamatan yang Tuhan
berikan. Jika keselamatan yang Tuhan sediakan, diajarkan hanya untuk menyelamatkan
kehidupan di bumi ini; inilah teologi kemakmuran yang salah. Keselamatan adalah usaha Tuhan
mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula. Rancangan semula Allah adalah
menjadikan manusia berkeadaan sebagai anak-anak Allah dengan kualitas hidup yang
berstandar hidup sebagai anak-anak Allah.

Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia tidak berkeadaan seperti Allah,
Bapanya. Alkitab katakan bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah. Kata berdosa dalam teks aslinya adalah hamartano, yang memiliki beberapa
pengertian, di antaranya yang paling menonjol adalah tidak mengenai sasaran atau meleset.
Inilah yang dimaksud bahwa manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Maksudnya adalah
bahwa manusia tidak memenuhi atau mencapai standar sebagai anak-anak Allah. Kualitas
kehidupan yang dimiliki manusia bukanlah kualitas anak Allah. Itulah sebabnya Allah Bapa
mengutus Putra-Nya, agar melalui-Nya manusia diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah
(Yoh. 1:12).

118
Pernyataan dalam Yohanes 1:12 sama maknanya dengan Yohanes 10:10, bahwa Tuhan
Yesus datang untuk memberi hidup, agar manusia memiliki hidup tersebut dalam kelimpahan.
"Hidup" dalam teks ini adalah zoe, yang lebih menunjuk hidup yang berkualitas, bukan bios
yang menunjuk kehidupan makhluk pada umumnya. Sedangkan kata "berkelimpahan" dari teks
aslinya adalah perissos (περισσός), yang artinya sangat tinggi dalam kualitas. Hidup yang
berkelimpahan menunjuk pada kualitas moral yang tinggi. Moral di sini menyangkut hubungan
dengan Tuhan, dengan sesama dan cara memandang dunia ini. Hidup yang berkelimpahan
bukan berarti berlimpah materi, tetapi memiliki suatu kualitas hidup yang berkenan kepada
Allah Bapa. Di dalamnya termasuk menikmati damai sejahtera walaupun tidak ditopang oleh
materi.

Kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak membuat manusia tidak mampu berbuat baik
sama sekali, sebab pada kenyataannya sebenarnya Kain bisa menghindari tindakan
pembunuhan terhadap adiknya (Kej. 4:7). Bukti yang lain bahwa Henokh bisa bergaul dengan
Allah sehingga ia bisa diangkat oleh Allah ke luar dari bumi ini (Kej. 5:24). Dan banyak lagi
sosok-sosok yang berkualitas baik sehingga menjadi kekasih Tuhan di Perjanjian Lama. Namun
sebaik apa pun mereka, tetapi tidak dapat mencapai standar hidup sebagai anak-anak Allah.

Tuhan Yesus datang memberikan hidup, artinya la hendak mengembalikan manusia pada
rancangan semula, memiliki kualitas hidup yang berstandar sebagai anak-anak Allah. Hal ini
tidak bisa terjadi dengan sendirinya atau secara otomatis. Orang Kristen atau yang mengaku
percaya Dia tidak dengan sendirinya memiliki hidup yang berkelimpahan tersebut. Oleh sebab
itu orang percaya harus mau mengikuti gaya hidup-Nya. Ia datang memberi hidup, sama artinya
Ia datang mengajarkan hidup-Nya.

Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah, maksudnya bahwa manusia tidak memiliki
tata laksana kehidupan yang tepat, persis seperti yang dikehendaki oleh Allah Bapa. Dalam hal
ini kita harus memahami bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat secara mutlak dan absolut.
Kehendak-Nya harus dituruti secara penuh atau sempurna. Tidak boleh dikurangi sedikit pun.
Jadi, ketika manusia tidak mencapai standar yang Allah inginkan, maka Allah mengusir Adam
dari Taman Eden. Hal ini bisa mengesankan Allah adalah berpribadi kejam, tetapi sebenarnya
tidak. Sebelum hal itu terjadi, Allah sudah membuat perjanjian dengan Adam; bahwa
ketidaktaatannya akan menghasilkan tuaian yang harus diterima. Di sini manusia diperlakukan
sebagai pribadi yang terhormat yang dipandang dapat dipercayai atau diberi tanggung jawab.
Ketika manusia mengingkari tanggung jawabnya, ia harus menuai akibatnya.

Walau manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa, bukan berarti
manusia secara otomatis atau dengan sendirinya bisa masuk Rumah Bapa menjadi anggota
keluarga-Nya. Manusia diberi tanggung jawab untuk memilih dan mengambil tindakan apakah
mau menjadi anak-anak Allah atau anak-anak Iblis. Dalam hal ini apakah seseorang mau
menjadi agung atau tidak, tergantung dirinya sendiri. Hidup di dalam dunia yang singkat ini
merupakan satu-satunya kesempatan untuk membangun keagungan pribadi sebagai anak-anak

119
Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang memberi kuasa supaya kita menjadi anak-anak
Allah.

Sebenarnya peta hidup manusia sudah jelas, bahwa di ujung perjalanan ini adalah
kematian. Jika kita mati, maka tidak ada satu pun benda dan kehormatan manusia yang kita
telah perjuangkan selama hidup akan kita bawa. Sebagaimana kita datang sendiri, kita akan
pulang sendiri. Sebagaimana kita tanpa membawa apa-apa datang ke dunia ini, maka akan
kembali dengan tidak membawa apa pun juga. Ini adalah sesuatu yang pasti. Seharusnya kita
memikirkan apa yang bisa kita bawa sebagai bekal kekal dalam kehidupan yang akan datang
nanti.

Pernyataan Ayub di Ayub 1:21 "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku,
dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya... !" Pengertian "kandungan ibu" di sini
bisa Allah Bapa sendiri, sebab manusia berasal dari diri Allah (Kej. 2:7; Pkh. 12:7). Kata
"mengaruniakan" dalam Pengkhotbah 12:7, teks aslinya adalah natan (‫)נתן‬, yang lebih tepat
diterjemahkan memberikan atau menempatkan atau ditempatkan (be laid). Manusia bukan
makhluk yang tidak jelas asal-muasalnya. Manusia berasal dari Allah sendiri, maka kita bisa
atau boleh memanggil Dia, Bapa.

120
BAB XXIII

KESELAMATAN BAGI MANUSIA

Memahami dengan benar pokok pengajaran mengenai keselamatan ini sangatlah penting
dalam ajaran iman Kristen. Pokok pengajaran mengenai keselamatan ini merupakan jantung
dari pengajaran iman Kristen. Kegagalan memahami doktrin ini berarti kegagalan memahami
banyak kebenaran lain dalam Alkitab. Hal ini juga pasti berakibat pada sikap hidup orang
percaya tersebut. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa kualitas hidup Kekristenan
seseorang sangat dipengaruhi oleh pengertiannya terhadap doktrin keselamatan. Oleh sebab itu
orang percaya tidak boleh salah dalam memahami doktrin ini.

Dalam sejarah gereja, pokok pengajaran ini telah diperdebatkan hebat oleh para teolog,
hingga hari ini. Perdebatan-perdebatan tersebut tidak pernah usai. Sepanjang perjalanan sejarah
gereja sampai hari ini selalu saja ada pro dan kontra pandangan mengenai keselamatan ini.
Perbedaan pandangan teologi mengenai hal ini telah melahirkan perpecahan, yang akhirnya
muncul aliran dan gereja baru dalam dunia Kekristenan.

Kalau seorang Kristen ditanya: Apakah keselamatan dalam konteks iman Kristen?
Biasanya dijawab dengan sederhana: "Bebas atau terhindar dari neraka dan diperkenan masuk
surga." Jawaban ini sudah menjadi pengertian umum bagi banyak orang Kristen serta dianggap
sebagai jawaban baku dan standar, padahal jawaban ini sebenarnya belum tepat. Terhindar dari
neraka dan diperkenan masuk surga, bukanlah keselamatan itu sendiri, tetapi sebenarnya buah
atau akibat dari keselamatan. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan persoalan apakah
sekolah dan kuliah itu? Tentu bukan menjadi sarjana. Sekolah adalah proses belajar dan
mengajar dari bodoh menjadi pintar, dari tidak cakap menjadi cakap. Menjadi sarjana adalah
buah atau akibat proses belajar dan mengajar.

Kalau pengertian seseorang mengenai keselamatan hanya terhindar dari neraka dan
diperkenankan masuk surga, maka Kekristenannya pasti hanya kulit, tidak menyentuh inti
Kekristenan yang benar. Kekristenan semacam itu hanya sekadar agama yang dihiasi dengan
kegiatan keberagamaan semata-mata. Ironi sekali, pemahaman teolog-teolog yang dipandang
hebat -baik teolog masa lalu maupun sekarang- masih berkisar pada hal-hal itu. Sehingga
pandangan mereka mengenai keselamatan masih meleset atau tidak tepat betul dan bisa
dikatakan dangkal.

Pengertian keselamatan yang salah di atas mendangkalkan pikiran, sehingga tidak bisa
membangun pengertian iman yang benar. Kalau pengertian mengenai iman sudah salah,
pengiringannya kepada Tuhan Yesus juga pasti salah. Mereka yang memiliki konsep yang tidak
tepat ini sangat berpotensi sesat dan tidak selamat. Biasanya mereka mulai menekankan hal-hal
yang minor dalam pengajaran gereja dan tidak menekankan pada inti keselamatan, yaitu
perubahan karakter menuju kesempurnaan. Pengertian keselamatan yang dangkal dapat
121
mengaburkan kebenaran mengenai keselamatan yang diajarkan oleh Injil atau yang disediakan
oleh Tuhan Yesus Kristus melalui karya-Nya.

Sejatinya, keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-


Nya yang semula atau tujuan awal. Rancangan semula Allah adalah menciptakan manusia yang
memiliki keserupaan dengan diri-Nya (Lat. Imago Dei). Manusia telah merusak sendiri
rancangan itu atas bujukan "ular." Sekarang pada zaman anugerah, rancangan tersebut sedang
digenapkan dalam kehidupan umat pilihan melalui karya keselamatan Allah dalam Yesus
Kristus. Ini berarti fokus keselamatan haruslah bagaimana "menjadi manusia seperti yang
dikehendaki oleh Allah." Jika demikian, maka orang yang berkehendak untuk selamat haruslah
memberi diri digarap oleh Tuhan melalui Roh Kudus menjadi manusia yang mengerti kehendak
Allah dan melakukan kehendak-Nya tersebut.

Kekristenan adalah proses mengajar dan belajar. Allah yang mengajar dan kita yang diajar
atau dididik. Buah atau akibat dari proses tersebut adalah dikembalikannya manusia kepada
rancangan Allah semula atau menjadi sempurna seperti Bapa. Itulah sebabnya seseorang harus
melalui proses menjadi "murid" pembaharuan terus menerus, dan proses pendewasaan yang
bertahap ketat untuk mencapai kesempurnaan. Proses ini juga sama dengan menemukan
kemuliaan Allah yang hilang atau kurang. Dengan demikian keselamatan dapat digambarkan
seperti garis panjang (linear), bukan sebuah titik (dot)

Fenomena di kalangan orang Kristen yang makin trend adalah persepsi yang dibangun
dalam pikiran banyak orang Kristen, yaitu bila berbicara mengenai keselamatan juga
dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani. Ini persepsi yang salah. Hal ini
disebabkan oleh beredarnya Teologi Kemakmuran yang salah yang diajarkan kepada umat.
Pemahaman di atas ini sangat bisa menyesatkan, sebab membuat seseorang kehilangan fokus
keselamatan yang benar. Tentu sebagai akibatnya mereka tidak pernah mengenal keselamatan
yang sejati dari Tuhan Yesus Kristus.

Seharusnya proses keselamatan menitikberatkan pada pembentukan karakter (character


building). Harus ditegaskan bahwa proses keselamatan tidak menitikberatkan pada pemenuhan
kebutuhan jasmani (Rm. 14:17). Pemenuhan kebutuhan jasmani seperti makan minum,
kesehatan, jodoh, keturunan, dan lain-lain bukanlah fokus utama, tetapi hanya menjadi
tambahan (Mat. 6:33). "Tambahannya" pun diberikan dalam rangka supaya orang percaya bisa
lebih efektif mengabdi kepada Tuhan, sebab seseorang tidak bisa mengabdi kepada dua tuan
(Mat. 6:24). Hendaknya orang percaya tidak berpikir bahwa "tambahan" tersebut berarti berkat
jasmani yang membuat orang percaya bisa memiliki fasilitas materi lebih banyak dan baik
sebagai hadiahnya.

Mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sama artinya dengan berusaha


menyambut usaha Tuhan menggarap manusia untuk menjadi manusia seperti yang
dikehendaki-Nya, yaitu manusia yang segambar dengan diri-Nya. Dengan demikian seseorang
yang memenuhi panggilan ini akan menjadi warga Kerajaan Surga yang baik. Kebaikannya

122
berstandar Tuhan Yesus sebagai role model-nya. Pelayanan gereja yang menitikberatkan pada
pemenuhan kebutuhan jasmani akan sangat menyesatkan dan pasti menghambat usaha Tuhan
mengembalikan manusia pada rancangan-Nya yang semula (Mat. 6:24; 1Tim. 6:6-10)

Bila ada pertanyaan: Apakah keselamatan tidak bertalian dengan pemenuhan kebutuhan
jasmani? Tentu saja bertalian, tetapi pemenuhan kebutuhan jasmani bukanlah sentralnya atau
sesuatu yang bisa dianggap utama. Seorang Kristen yang mengalami keselamatan dengan
benar, seluruh aspek hidupnya pasti berubah, terutama karakternya. Bila karakter seseorang
berubah, maka sebagai dampaknya segala sesuatu yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan
jasmani pun juga berubah. Karakter yang diperbaharui akan membuat seseorang rajin bekerja,
jujur, cerdas, gaya hidup yang baik, termasuk pola makannya, dan lain sebagainya. Di lain
pihak, Tuhan pasti memenuhi segala kebutuhan anak-anak-Nya, selama mereka bertanggung
jawab dengan benar dalam hidup ini. Jadi, kalau seseorang mengaku sudah selamat, tetapi
karakternya tidak berubah malas bekerja (tidak tekun), tidak jujur, menjadi beban bagi orang
lain (bersikap benalu), tidak memiliki pola hidup sehat yang baik (ceroboh terhadap kesehatan
tubuhnya), dan lain sebagainya sangat bisa diragukan keselamatannya. Orang baik belum tentu
sudah selamat, tetapi orang selamat pasti sangat baik bahkan menuju kesempurnaan.

Mengapa Tuhan begitu perhatian terhadap keselamatan manusia? Begitu besar perhatian-
Nya kepada manusia sehingga Ia memberikan diri-Nya sendiri untuk keselamatan manusia itu.
Apakah yang membuat-Nya begitu gelisah terhadap keadaan manusia? Mengapa binatang tidak
mendapat perlakuan seperti ini? Berkenaan dengan hal ini perlulah kita perhatikan apa yang
dikatakan Yakobus 4:5 Firman Tuhan berkata: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci
tanpa alasan berkata: "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan
cemburu!" Ayat ini menjadi misteri banyak orang sampai hari ini. Untuk memecahkan misteri
ayat ini, kita harus mengerti bahwa roh yang dimaksud dalam teks ini adalah roh manusia,
bukan Roh Allah. Roh manusia adalah roh yang diberikan Allah kepada manusia pada
penciptaannya (Kej. 2:7).

Tuhan memperhatikan kita sedemikian rupa karena Tuhan mengingini roh yang
ditempatkan-Nya di dalam diri kita dengan cemburu. Hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan.
Kata "bukan tanpa alasan" dari teks aslinya adalah kenos, yang bisa berarti in vain atau no
purpose. Bukan tanpa alasan atau bukan tidak ada kebenarannya atau bukan tidak ada artinya
kalau Alkitab mengatakan bahwa roh yang di tempatkan di dalam diri kita diingini-Nya dengan
sangat kuat. Dengan cemburu maksudnya bahwa Tuhan tidak mengingini roh yang ditaruh
Tuhan di dalam diri manusia menjadi binasa. Tuhan tidak menghendaki roh yang dari Allah
dalam diri manusia menjadi binasa seperti roh dari Allah dalam diri Lusifer, binasa ke dalam
lautan api. Itulah sebabnya la sangat mengingininya dengan cemburu. Ia bertindak demikian
sebab roh dalam diri manusia adalah berasal dari pada-Nya (Pkh. 12:7). Tuhan tidak
menghendaki roh manusia dimiliki atau dikuasai oleh pihak lain. Roh manusia adalah kekal dan
Tuhan tidak menghendaki binasa.

123
Sangat mengerikan kalau roh diseret oleh jiwa yang rusak menuju api kekal, sebab setelah
tubuh manusia tidak berfungsi, maka roh bersatu dengan jiwa. Iblis berusaha merusak jiwa
manusia agar menggerakkan kehidupan ini (juga tubuhnya) untuk melawan Tuhan. Iblis
berusaha agar manusia tidak diselamatkan, yaitu dengan cara menghalangi terjadinya kelahiran
baru. Hal ini menutup kemungkinan penguasaan roh atas kehidupan manusia. Iblis berusaha
agar manusia hidup dalam kedagingan supaya binasa (Gal. 5:20-26). Orang percaya harus
mewaspadai hal ini, sehingga tidak menyeret rohnya ke dalam api kekal. Ini adalah hal yang
tidak diingini oleh Tuhan.

Kalau manusia seperti binatang, maka Tuhan tidak mengingini apapun dalam diri
manusia. Tetapi manusia memiliki roh dari Allah yang bersifat kekal. Itulah yang membuat
Tuhan menjadi gusar (upset). la berusaha untuk mengembalikan manusia kepada rancangan-
Nya, yaitu menjadi sekutu Tuhan. Kalau manusia tidak memahami kegusaran Tuhan, maka
manusia tidak berbeda jauh dengan binatang. Binatang menjalankan roda hidupnya berdasarkan
insting fisiknya hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik atau memuaskan nafsu dagingnya,
tetapi manusia seharusnya digerakkan oleh rohnya yang memiliki kemampuan berkomunikasi
dengan Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Itulah sebabnya Tuhan tidak pernah bersahabat
dengan binatang, manusialah yang dirancang menjadi sahabat-Nya. Abraham adalah manusia
yang disebut sebagai sahabat Tuhan, dan tentu orang-orang yang beriman seperti Abraham juga
menjadi sahabat Tuhan (Yoh. 15:15).

Untuk memutuskan rantai persahabatan dengan Tuhan ini, Iblis menawarkan dunia agar
manusia mengingininya. Sama seperti Hawa diperdaya oleh ular, demikian juga sekarang Iblis
berusaha memperdaya manusia dengan percintaan dunia. Modus yang sama digunakan oleh
Iblis untuk menjatuhkan Tuhan Yesus (Luk. 4:5-8). Dalam Matius 6:24, Alkitab mengatakan
bahwa manusia tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Pernyataan ini juga berarti bahwa kita
tidak dapat mengarahkan hasrat kita kepada dua obyek atau arah. Alkitab juga mengatakan
orang yang mendua hati tidak akan memperoleh apa-apa dari Tuhan. Di sini kita diperhadapkan
pada pilihan: makan untuk hidup atau hidup untuk makan, keluarga untuk Tuhan atau Tuhan
untuk keluarga, bisnis untuk Tuhan atau Tuhan untuk bisnis, kesenangan hidup untuk Tuhan
atau Tuhan untuk kesenangan hidup. Dalam hal inilah Tuhan mengajar kita untuk kehilangan
nyawa (Mat. 16:25). Kata "nyawa" di sini adalah psukhe. Kalau jiwa diisi dengan hasrat
duniawi, maka manusia akan binasa, manusia akan kehilangan jiwa dan roh dan akan ikut
terseret ke neraka. Tetapi kalau jiwa diisi dengan hasrat mengingini Tuhan, maka hal ini
menyelamatkan jiwa dan roh untuk terseret ke surga. Di neraka, jiwa yang memiliki kesadaran,
pikiran, perasaan, dan kehendak tidak lagi dapat berkreasi, itulah kematian. Tetapi di dalam
Kerajaan Surga, di mana ada kehidupan, jiwa dapat berkreasi dan berkembang seindah-
indahnya dalam kekekalan untuk mengelola langit baru dan bumi yang baru. Tuhan
menghendaki jiwa yang indah dan yang telah diwarnai dengan Firman Kristus dapat abadi
bersama dengan Dia di Kerajaan-Nya.

Harus disadari betapa berharganya manusia, sebab di dalam dirinya ada roh dari Allah.
Inilah yang diperjuangkan oleh Allah Bapa sehingga la mengutus Putra Tunggal-Nya untuk

124
menebus manusia, di sini seakan-akan manusia seharga dengan diri Anak Tunggal Putra-Nya
yang paling dikasihi, bahkan seakan-akan seharga dengan diri Bapa sendiri. Bapa menghendaki
agar roh yang berasal dari Dia melakukan kehendak-Nya, bukan melakukan kehendak dan
keinginannya sendiri. Jika melakukan keinginannya sendiri, maka ia menjadi musuh Bapa
(Yak. 4:1-5). Dalam 2 Korintus 5:1-10 dikatakan bahwa kemah tubuh ini akan dibongkar, tetapi
Tuhan akan memberikan baju baru. Sebelum Tuhan mengenakan baju baru, maka harus ada
niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan kehendak-Nya. Menyadari hal ini, Paulus
berjuang sungguh-sungguh untuk berkenan, baik di dalam tubuh ini maupun di luarnya, artinya
ketika dengan tubuh yang baru nanti tetap berkenan.

125
BAB XXIV

GAMBAR DIRI

Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Gambar diri adalah pengertian seseorang
mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apakah atau bagaimana dirinya sendiri tersebut.
Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di
hadapan Tuhan. Apabila pandangan seseorang mengenai manusia salah, maka salahlah semua
gerak hidupnya. Krisis ini melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya.

Dewasa ini banyak orang sedang berbicara mengenai gambar diri, baik di dalam maupun
di luar lingkungan gereja. Maka tampillah penceramah-penceramah, pembicara-pembicara, dan
pengkhotbah-pengkhotbah yang mengambil tema ini sebagai isi percakapannya. Dalam
pelatihan-pelatihan para pejabat gereja, tema ini juga diangkat ke permukaan sebagai bahan
ajarnya. Rupanya banyak orang sudah menganggap pokok ini penting. Apakah sebenarnya
yang dimaksud dengan gambar diri ini (self image). Gambar diri adalah pemahaman seseorang
mengenai siapa dirinya (who is he) dan harus menjadi apakah atau bagaimana dirinya tersebut
(self esteem). Jadi gambar diri memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah aspek ''present'' atau
kekinian (who I am now), kedua adalah aspek future atau yang akan datang (who I Will be).

Aspek ''present'' atau kekinian yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya saat ini.
Setiap orang memiliki penilaian atau harga terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini ada orang
yang menilai dirinya terlalu tinggi, tetapi ada juga yang memandang dirinya terlalu rendah.
Orang yang memandang dirinya tinggi cenderung percaya diri dan merasa yakin pasti diterima
oleh siapa pun dan di mana pun. Hal ini biasanya dianggap positif, padahal belum tentu. Orang
yang percaya diri bukan berarti telah memiliki gambar diri yang benar.

Sebaliknya, kalau seseorang memandang dirinya rendah, maka cenderung rendah diri
atau minder. Orang yang minder sebenarnya adalah orang sombong dari sudut yang berbeda.
Orang minder adalah orang yang menetapkan suatu standar. Karena tidak mencapai standar
tersebut, maka menjadi minder. Orang minder tidak menerima diri sebagaimana adanya. Itulah
letak kesombongannya. Kalau seseorang menerima keberadaannya, maka ia tidak minder.
Orang yang memandang diri terlalu rendah bukan saja cenderung minder, tetapi juga mudah
memiliki perasaan tertolak dan perasaan negatif lainnya. Perbaikan atas hal ini bukan saja
mengembalikan penilaian atas dirinya secara proporsional, sehingga tidak minder, tidak merasa
tertolak dan lain sebagainya, tetapi mengenakan pikiran dan perasaan Kristus.

Ceramah mengenai gambar diri yang diajarkan seringkali memiliki ukuran yang jelas.
Percaya diri dianggap sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila
demikian ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan
kepribadian yang juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan kepribadian bila
diajarkan tanpa kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme (berpusat kepada diri
126
sendiri) ini tidak mengembangkan pola hidup seperti yang disaksikan Paulus "hidupku bukan
aku lagi" (Gal. 2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali gambar
Allah yang rusak dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah sebabnya orang percaya
harus mengenakan pikiran dan perasaan Kristus Yesus.

Gambar diri juga memiliki aspek future atau akan datang, yaitu bagaimana seseorang
akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang dapat menjadi apa atau
bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat diperankan oleh filosofi orang tersebut.
Kalau seseorang memandang kekayaan adalah nilai tertinggi, maka bayangan dirinya adalah
menjadi orang kaya. Kalau seseorang memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia berusaha
mencapai jenjang pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau seseorang memandang
kedudukan adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang yang terhormat, baik di
gelanggang politik, maupun bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk menjadi seseorang
seperti yang diidolakan.

Apa yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah proses meniru. Dari generasi
ke generasi proses ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada
umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat dari
lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan oleh nenek
moyang (1Ptr. 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang salah.

Semua orang berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakannya. Idola
manusia pada umumnya adalah menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi,
berpangkat berpenampilan menarik, cantik atau ganteng, dan lain sebagainya. Pada umumnya
orangtua juga mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh mereka. Kalau
orangtua mengidola profesi dokter, maka anaknya diusahakan untuk menjadi dokter. Kalau
orangtua mengidola ilmu, maka ia mendesain anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil
setiap anak manusia sudah dijejali obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri
sendiri atau berpusat kepada manusia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh
seseorang untuk dapat diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada umumnya adalah
menjadi sosok yang dikagumi, dipuja, dan dihormati manusia lain.

Banyak orang mati dalam dosa dan kegelapan, tahun-tahun umur hidupnya hanya
digunakan untuk membangun gambar diri yang salah. Inilah yang disebut "disorientasi", yaitu
hidup dengan fokus yang salah. Hal ini yang menyeret seseorang hidup dalam kesia-siaan (Pkh.
1:2). Menjadi pintar, kaya, berkedudukan, terhormat, terkenal sebenarnya tidak salah, tetapi
masalahnya adalah untuk apakah semua itu? Bila prestasi kehidupan ini hanya untuk supaya
dikagumi manusia lain dan berharap bisa menikmati kebahagiaan, maka ini adalah suatu
penyesatan. Tuhan Yesus menyatakan bahwa apa yang dikagumi manusia dibenci oleh Allah
(Luk. 16:15) dan hidup manusia tidak tergantung dari kekayaannya (Luk. 12:15). Selanjutnya
Alkitab juga mengajarkan agar orang percaya tidak boleh menjadi sama dengan dunia ini (Rm.
12:2).

127
Ada dua macam gambar diri yang benar. Gambar diri secara umum dan gambar diri
secara khusus. Secara umum artinya gambar diri yang mengacu atau menunjuk kepada manusia
yang dikehendaki Allah, dalam hal ini Tuhan Yesus sebagai teladannya (Flp. 2:4-7). Untuk ini
Injil harus dibedah dan digali untuk menemukan gambaran yang jelas, manusia macam apakah
yang dikehendaki oleh Bapa itu. Gambaran mengenai manusia yang dikehendaki oleh Bapa
adalah standar umum. Dalam hal ini semua orang percaya memiliki peta gambar diri yang sama,
yaitu mengacu kepada Pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagai model atau prototipenya. Gambar
diri ini bisa disebut sebagai landasan utama dan umum dari gambar diri untuk semua orang
percaya.

Gambar diri secara khusus artinya kehendak Tuhan kepada masing-masing individu
untuk menjadi sosok pribadi macam apakah masing-masing individu itu. Dalam hal ini setiap
orang memiliki gambar diri yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama. Setiap orang memuat
atau memikul rencana Allah secara khusus dan istimewa. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak
membandingkan keadaan diri kita dengan orang lain. Setiap orang dirancang Tuhan dengan
keadaannya yang khas, unik, dan luar biasa. Sesuai dengan keberadaannya tersebut. Tuhan
memiliki rencana untuk dapat digenapi pada masing-masing individu. Dalam hal ini masing-
masing orang memiliki peta diri yang berbeda. Disini nyata kebijaksanaan Tuhan sekaligus
kreativitas-Nya menciptakan manusia dengan keberadaannya yang bermacam-macam
modelnya.Tidak ada dua orang yang sama di duna ini, sekalipun mereka anak kembar, Mari
kita renungkan, betapa dahsyat kenyataan bahwa di jagad raya ini hanya ada seorang, yaitu
Anda. Dalam hal ini tidak seorang pun dapat dan boleh menghakimi sesamanya. Sebab Tuhan
yang Mahatahu, satu-satunya yang berhak menggelar penghakiman-Nya.

Sering kita mendengar orang berkata dan bermotto, bahwa bukan awal perjalanan yang
menentukan, tetapi akhir perjalanan. Karena hampir semua orang setuju dengan pernyataan
tersebut, maka banyak orang Kristen pun ikut-ikutan setuju. Apakah pernyataan ini benar?
Apakah akhir perjalanan hidup seseorang menentukan segalanya? Pernyataan tersebut
mengesankan bahwa hanya saat-saat terakhir kehidupan seseorang yang menentukan nasib
kekalnya. Bila konsep ini dibenarkan, maka ada kecenderungan untuk tidak mulai berjaga-jaga
mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum mendekati hari kematian atau menghadap takhta
pengadilan Tuhan. Ini adalah sebuah kecerobohan, sebab seseorang tidak pernah tahu kapan
saat terakhir hidupnya. Itulah sebabnya Tuhan jarang sekali memberitahu kapan seseorang
dipanggil-Nya pulang. Hal ini paralel dengan hari kedatangan Tuhan. Tidak seorang pun tahu
kapan kedatangan-Nya kedua kali untuk menyudahi sejarah dunia ini (Mat. 24:36; Kis.1:7).
Kalau manusia tahu hari kedatangan-Nya, maka sikap berjaga-jaga yang benar tidak dimiliki
secara benar. Pertobatan seseorang pun juga tidak benar.

Mengapa di kalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting adalah
akhir perjalanan? Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai keselamatan yang
ada dalam pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap begitu murahan dan
gampangan (Luk. 13:22-30). Inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen memiliki hidup
kerohanian yang tidak bermutu. Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat

128
disimpulkan bahwa "keselamatan" bukan sesuatu yang gampangan dan murahan. Perhatikan
ucapan Tuhan Yesus: Berjuanglah. Kata ini dalam teks aslinya adalah agonizeste artinya
struggle atau strive (berjuang atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain adalah
labor fervently (bekerja dengan bersemangat atau bernyala-nyala).

Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula oleh interpretasi yang salah
terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah satu penjahat di
samping salib Tuhan Yesus (Luk. 23:39-43). Hanya mengucapkan: "Ingatlah aku kalau
Engkau datang sebagai Raja," ia sudah selamat. Banyak orang tidak memahami bahwa
penjahat tersebut memiliki "sikap hati yang luar biasa," yang karenanya ia layak menerima
keselamatan. Beberapa hal yang menunjukkan sikap hatinya nampak dalam beberapa
pernyataan yang diucapkan di kayu salib tersebut: ia mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah
Mesias, Sang Juruselamat, dan Yesus berkuasa menyelamatkan dirinya di kekekalan. Ia percaya
bahwa Yesuslah Raja.

Pada saat orang-orang meninggalkan Tuhan Yesus, bahkan murid-murid Yesus


menyangsikan Kemesiasan-Nya, justru ia satu-satunya yang masih percaya pada waktu itu.
Apakah kita masih bisa mempertahankan iman Kristen dalam keadaan terjepit atau bisa-bisa
menyangkal Yesus seperti Petrus? Kesetiaan sampai akhirlah yang menentukan keselamatan
seseorang, tetapi ini tidak hanya ditentukan oleh menit-menit terakhir. Kemenangan petinju
bukan hanya pada menit-menit terakhir ketika ada di ring tinju tetapi hari-hari panjang pada
waktu ia mempersiapkan diri bertinju di ring tinjunya.

Penjahat ini menerima dengan rela hukuman salib terhadap dirinya. Ia merasa bahwa ia
pantas menerimanya. Ini menunjuk pengakuan dosanya yang tulus dan jujur. Sukar mengatakan
bahwa penjahat ini tidak bertobat. Inilah pertobatan yang sesungguhnya bukan pertobatan
semu. Tidak mungkin sikap hati seperti ini dapat dimiliki secara mendadak. Tentu ia telah
membangunnya melalui detik, menit, jam, hari, minggu, bulan,dan tahun-tahun yang panjang.
Apa yang dilakukan penjahat ini adalah peta perjalanan yang telah dilaluinya. la bukan penjahat
kriminal, tetapi penjahat politik di mata penjajah, yaitu kekaisaran Roma. Oleh sebab itu detik
terakhir penjahat ini bukan merupakan penentu satu-satunya keselamatannya. Dari sikap
penjahat yang baik ini kita menemukan suatu gambar diri yang melayakkan ia dibawa ke
Firdaus, sedangkan penjahat yang tidak baik memiliki gambar diri yang tidak layak di bawa ke
Firdaus.

Pelajaran berharga lain yang kita peroleh dari penjahat di samping salib Tuhan itu adalah
dari pernyataan-pernyataan penjahat tersebut di kayu salibnya menunjukkan hormatnya kepada
Tuhan Yesus (Luk. 23:39-43). Rupanya penjahat ini sudah mengenal Tuhan Yesus sebelum
penyaliban mereka. Itulah sebabnya ia dapat membela Tuhan Yesus dan mengatakan bahwa
Yesus tidak bersalah. Hal ini bukan diperolehnya dalam sehari, tetapi tahun-tahun yang panjang
dalam perjuangan yang benar-benar serius.

129
Penjahat yang baik ini tidak mempersoalkan masalah dunia fana, tetapi ia
mempersoalkan perkara-perkara surgawi, yaitu Firdaus. Sukar mengatakan ia tidak rohani.
Sebagai perbandingan adalah teman penjahatnya yang mempersoalkan bagaimana ia bisa turun
dari salib itu, ia masih mempersoalkan bagaimana menikmati hidup di dunia ini. Sedangkan
penjahat yang baik ini tidak. Dari pernyataannya nampak kualitas sikap hati yang melayakkan
ia masuk Firdaus. Inilah yang dimaksud dengan: mendahulukan Kerajaan Allah (Mat. 6:33) dan
mencari perkara-perkara yang di atas (Kol. 3:1-4). Dalam kondisi yang terjepit seperti penjahat
ini, ia masih memandang Kerajaan Tuhan Yesus Kristus. la tidak hanyut dalam keduniawian.
Ia memiliki kepribadian surgawi.

la tidak menghujat Tuhan Yesus di tengah situasi frustasi yang dialaminya. Ia tidak
mempersalahkan Tuhan dan memaksa Tuhan menolongnya. Ia tidak egois. Ia mengakui bahwa
Tuhan Yesus tidak bersalah, lebih lanjut ia mengadakan pembelaan untuk Tuhan Yesus. la tidak
memikirkan nasibnya, tetapi kepentingan Tuhan Yesus. Ini adalah hal yang paling istimewa
dalam diri penjahat saleh ini. Pembelaannya kepada Tuhan adalah motif dasar hidup dan
pelayanan kita kepada Tuhan. Coba kita periksa, apakah diri kita telah memiliki pembelaan
yang sedemikian ini kepada Tuhan atau belum. Dalam keadaan yang terjepit seperti penjahat
tersebut, ia masih memikirkan kepentingan Tuhan walau ia sendiri memiliki kepentingan. Inilah
sebenarnya landasan pelayanan yang benar kepada Tuhan. Orang-orang seperti ini pantas
mendapat mahkota. Jadi kalau kita melayani pekerjaan Tuhan, motivasi inilah yang harus
bertakhta di hati kita.

Tuhan tentu tidak sembrono mempersilakan penjahat di samping-Nya masuk Firdaus


tanpa memenuhi kriteria penghuni Firdaus. Kalau penjahat tersebut masih bermental penjahat,
masakan disamakan dengan orang-orang saleh di surga? Penjahat adalah status lahiriahnya,
tetapi mentalnya penduduk Firdaus. Dengan melihat sikap hati penjahat di samping Tuhan,
penjahat saleh ini, kita belajar memiliki sikap hati yang benar yang harus kita miliki di hadapan
Tuhan. Kualitas rohani penjahat ini pasti bukan dibangun dalam beberapa jam, la bukan
penjahat kriminal karena kejahatan yang dilakukan, tetapi penjahat politik. la ditangkap karena
membela Yahweh, Allah Israel.

Sebenarnya yang menentukan "nasib kekal seseorang" bukan hanya akhir perjalanan
hidup seseorang, tetapi juga awal, pertengahan dan seluruh perjalanan hidupnya. Hendaknya
kita tidak berpikir bahwa awal dan pertengahan perjalanan hidup tidak terlalu penting. Seluruh
waktu yang tersedia adalah kesempatan untuk bersiap-siap bertemu dengan Hakim Agung. Ini
berarti setiap saat seseorang harus siap menghadap Tuhan untuk mempertanggungjawabkan
seluruh kehidupannya selama di dunia (2Kor. 5:9-10). Bagi orang percaya pertanggungan
jawabnya adalah apakah telah menemukan gambar diri yang Allah kehendaki. Di sinilah letak
keberkenanan di hadapan Bapa. Untuk meraih hal ini orang percaya harus memanfaatkan setiap
detik hidupnya guna pengembangan diri untuk sempurna seperti Bapa.

Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan "waktu" dalam
bahasa Indonesia: Pertama, hora. Kata ini menunjuk kepada waktu dalam pengertian durasinya

130
(panjang pendeknya, lama singkatnya). Kita harus memperhatikan bahwa durasi waktu hidup
kita sangat singkat. Durasi waktu itu merupakan kesempatan untuk merubah diri menjadi
pribadi yang Tuhan kehendaki. Dalam tujuh puluh tahun umur hidup ini, seseorang harus
menemukan gambar dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kata kedua adalah kronos. Kronos artinya waktu dalam pengertian urut-urutannya. Kata
ini menjadi "kronologi" dalam bahasa Indonesia. Dalam kebijaksanaan Tuhan, Tuhan telah
merancang segala sesuatu indah. Rancangan Tuhan tersebut seperti kurikulum perkuliahan
yang dirancang agar mahasiswa dapat menjadi lulusan yang berkualitas. Melalui urut-urutan
peristiwa dalam kehidupan ini, seorang anak Tuhan dibentuk agar menemukan gambar dirinya
yang benar menurut Pencipta-Nya.

Sedangkan kata yang ketiga adalah kairos. Kairos berarti momentum. Ada saat-saat yang
berharga dan sangat berarti dalam kehidupan ini dimana Tuhan menggarap seseorang.
Momentum-momentum tersebut merupakan vitamin jiwa yang merubah warna jiwa seseorang
menjadi seperti yang Tuhan mau. Warna jiwa inilah yang menentukan kualitas gambar diri
seseorang.

Tiga kata untuk waktu ini (hora, kronos, dan kairos) mengisyaratkan bahwa seluruh
perjalanan waktu hidup ini penting. Bukan hanya awal perjalanan yang penting, tetapi juga
seluruh hora (durasi), kronos (urut-urutan kejadian), dan kairos (momentum atau kesempatan)
yang Tuhan sediakan bagi orang percaya guna proses pendewasaannya. Dalam hal ini kita
memahami betapa berharganya setiap detik waktu kita. Setiap detik kita berharga untuk
mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Mengerjakan keselamatan
adalah usaha untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5-7). Inilah keselamatan itu,
yaitu menemukan gambar diri (memiliki pikiran dan perasaan Kristus) dan mengenakannya
secara konkret.

Durasi hidup manusia hanya tujuh puluh tahun. Tujuh puluh tahun tersebut menentukan
nasib kekal atau keberadaan bagi seseorang (2Kor. 5:9-10). Paulus menulis bahwa penderitaan
ringan yang sekarang ini (70 tahun), mengerjakan bagi orang percaya kemuliaan kekal yang
melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan itu. Kalau tujuh puluh tahun
dibanding tujuh juta tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau
tujuh puluh tahun dibanding tujuh milyar tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang
sangat besar. Kalau tujuh puluh dibanding tujuh trilyun tahun, satu detiknya mengerjakan
kemuliaan yang sangat-sangat besar. Dan kalau tujuh puluh tahun dibanding dengan kekekalan,
maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada tara.

Mata perhatian kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini dan
menilainya lebih berarti, seolah-olah hanya detik terakhir yang menentukan nasib kekal. Yang
menentukan nasib kekal manusia bukan hanya akhir perjalanan hidupnya, tetapi sepanjang
perjalanan hidupnya. Kalau awalnya sudah salah, sulit pada pertengahan menjadi benar.

131
Awalnya benar saja, belum tentu pertengahannya benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah,
maka kesalahan terjadi terus sampai akhir.

Harus diingat bahwa tidak seorang pun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap detik adalah
momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang berharga, sesuai
dengan jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos). Itulah sebabnya
Firman Tuhan menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang ada, sebab hari-hari ini
adalah jahat (Ef. 5:16). Satu detik memiliki arti yang sangat berharga, karena itu bagian dari
durasi (hora), urut-urutan (kronos), dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila
menggunakan waktu itu dengan baik, maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan.
Harus kita ingat bahwa waktu (hora) kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos)
dapat berlalu tanpa hasil, dan urut-urutan pembentukan Tuhan atas kita menjadi sia-sia.

Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu anak-anak-
Nya untuk menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat kesulungan yang dimiliki
orang percaya, yaitu kesempatan untuk sempurna agar bisa dipermuliakan bersama-sama
dengan Yesus. Tetapi kenyataan, tidak sedikit orang Kristen yang menukar hak kesulungannya
dengan semangkuk makanan. Ini adalah percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati
Tuhan. Suatu hari nanti orang-orang seperti ini tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki
diri (Ibr. 12:16-17). Jadi bukan hanya detik terakhir yang menentukan, tetapi juga semua detik
hidup yang diberikan Tuhan kepada kita.

132
BAB XXV

PERJUANGAN PEMULIHAN GAMBAR DIRI

Sebenarnya pada dasarnya manusia yang telah jatuh dalam dosa dan kehilangan
kemuliaan Allah (Rm. 3:23), terlahir dalam keadaan yang tidak berpotensi untuk memiliki dan
mengenal gambar diri yang benar. Ini bagian dari dosa warisan yang diterima setiap anak-anak
Adam (Mzm. 51:7). Jadi adalah keliru, kalau orang berpendirian bahwa ada manusia yang dapat
mengenal gambar dirinya tanpa mengenal kebenaran Injil. Adam sendiri sebenarnya belum
menemukan gambar dirinya secara benar. Adam sendiri harus bertumbuh menuju keserupaan
(demuth) dengan Allah. Adam belum sempat sempurna sudah jatuh dalam dosa. Oleh karena
kejatuhan manusia pertama tersebut maka semua keturunannya pun telah kehilangan
kesempatan untuk memiliki pengetahuan mengenai gambar dirinya, sampai Injil dihadirkan.

Kejatuhan manusia dalam dosa karena bujukan Iblis untuk menjadi seperti Allah (Kej.
3:1-6), menunjukkan manusia belum mengenal gambar diri dengan benar. Kalau manusia
memahami gambar diri dengan benar, maka ia tidak akan makan buah yang terlarang untuk
dimakan tersebut. Siapakah sebenarnya manusia itu? Manusia adalah mahkota ciptaan Allah
(ciptaan Allah dengan kualitas tertinggi). Raja di bumi atas kuasa yang Tuhan berikan. Manusia
diberi kemampuan untuk menaklukkan bumi (Kej. 1:28). Pasti di dalamnya termasuk semua
rintangan yang merintangi penyelenggaraan pemerintahannya. Kemungkinan potensi terbesar
yang mengganggu pemerintahan manusia adalah malaikat-malaikat pemberontak yang dibuang
ke bumi (Why. 12:4).

Dengan mandat menaklukkan bumi berarti manusia diberi kesanggupan untuk


mengalahkan Iblis. Apakah manusia bisa menaklukkan Iblis? Mengapa tidak? Tentu bisa, sebab
tidak mungkin Bapa merancang kejatuhan manusia ke dalam dosa, kemudian mengutus Tuhan
Yesus Kristus untuk mengalahkan Iblis. Manusialah yang seharusnya dapat mengalahkan Iblis.
Banyak orang menganggap bahwa inkarnasi Allah Anak menjadi manusia adalah skenario
Allah yang pasti harus dilakukan. Ini juga berarti bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa
adalah rancangan Tuhan. Tuhan dianggap sebagai sumber bencana.

Sesungguhnya manusia dirancang untuk bersekutu dalam kurun waktu yang tidak
terbatas. Tuhan menciptakan manusia hanya untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan
pengabdian kepada-Nya selamanya. Betapa dahsyat makhluk ini. Gambar diri ini rupanya
belum ditemukan Adam dengan sempurna atau dengan baik sehingga ia masih bisa terkecoh
oleh Iblis, yaitu tergoda untuk menjadi sama seperti Tuhan, akhirnya jatuh. Dengan menemukan
gambar diri secara utuh dan benar, manusia tidak jatuh dalam dosa. Manusia dirancang seperti
Bapa-Nya, yaitu Allah sendiri.

Hanya makhluk manusialah yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri
dan kemampuan menentukan keadaannya. Belajar mengenal diri dan memahami bagaimana
133
seharusnya menjadi manusia yang sesuai rancangan Penciptanya, sebenarnya sama dengan
usaha untuk memanusiakan manusia. Manusia yang dikehendaki Allah adalah manusia yang
memiliki gambar diri seperti yang Tuhan kehendaki. Dalam hal ini, sebelum Tuhan
menciptakan manusia, Tuhan telah membuat rancangan mengenai "model" manusia , yang
diinginkan-Nya. Tidak mungkin Tuhan menciptakan tanpa rancangan. Bahkan dalam
penciptaan manusia, Tuhan menciptakan dengan musyawarah (Kej. 1:26).

Selain mengenal dirinya sendiri, manusia juga mampu merubah diri dan mengubah
keadaan sekelilingnya. Itulah sebabnya kalau kita belajar mengenai gambar diri, hal ini
dimaksudkan agar kita bukan saja mampu mengenal diri kita sendiri, tetapi juga mengusahakan
diri agar menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Tuhan, Sang Pencipta. Dalam hal ini
yang dibutuhkan adalah mengenal diri dengan jujur, memahami bagaimana manusia yang
dikehendaki Tuhan. Seorang yang belajar mengenal siapa dirinya (siapa manusia), berarti ia
bersedia menerima panggilan untuk bertobat dan diperbaharui agar jadi manusia sesuai dengan
rancangan-Nya.

Semua orang pasti memiliki konsep gambar diri di dalam hidupnya dan harapan atau cita-
cita bakal menjadi apa dirinya nanti.Dari seluruh sikap hidup seseorang, apa yang dihasrati dan
cita-citanya nampaklah konsep gambar dirinya. Sulitlah seseorang menyembunyikan konsep
gambar dirinya di mata manusia lain. Di sini sebenarnya gambar diri seseorang sangat mudah
terbaca oleh sesamanya. Berkenaan dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya
kita mengenal seseorang (Mat. 7:16).

Gambar diri seseorang juga tidak bisa dipisahkan dari pemahamannya mengenai
kehidupan. Justru konsepnya mengenai kehidupan ini sangat mempengaruhi gambar dirinya.
Misalnya kalau seseorang menganggap bahwa nilai tertinggi kehidupan adalah harta, maka
ketika memiliki banyak harta, maka ia merasa dirinya sukses atau terhormat. Kalau ia miskin,
maka ia merasa diri gagal, tidak berarti dan bisa-bisa minder. Selanjutnya ia memburu kekayaan
agar ia menjadi "sosok orang kaya", sebab baginya menjadi orang kaya adalah bentuk
keberhasilan kehidupan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran, maka kebenaran itu
membangun konsep gambar diri yang benar menurut Tuhan dan apa yang Tuhan kehendaki,
bisa menjadi apa setiap individu menurut Dia atau sesuai dengan rencana-Nya. Tanpa mengerti
apa yang Tuhan Yesus ajarkan, maka seseorang tidak akan menemukan gambar diri yang benar.

134
BAB XXVI

PROSES PEMULIHAN GAMBAR DIRI

Seandainya Adam tidak berbuat dosa, maka melalui perjalanan waktu yang tidak terbatas
manusia mengenal dirinya dengan benar. Manusia bisa mencapai keserupaan dengan Bapa
lebih baik dan memahami apakah yang baik dan buruk tanpa harus berbuat dosa terlebih dahulu.
Tetapi rancangan ini tertunda karena kejatuhannya. Sekarang di dalam dan melalui kehidupan
anak-anak Allah, Tuhan hendak kembali menggenapkan rancangan-Nya, yaitu menciptakan
manusia menurut gambar-Nya dan terus bertumbuh sampai menemukan gambar dirinya dengan
benar dan sempurna.

Dari begitu banyak pandangan mengenai gambar dan rupa Allah (tselem dan demuth)
yang diungkapkan dalam Kejadian 1:26-27 terdapat kemungkinan bahwa pengertian "gambar"
adalah keserupaan yang diperoleh sejak penciptaan atau sejak lahir; sedangkan "rupa"
menunjuk keserupaan yang diperoleh belakangan. Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan
rupa di dalam teks asli Alkitab yaitu dalam Bahasa Ibrani adalah tselem dan demuth. Tselem
hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki
manusia, yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan, dan hakikat kerja. Adapun demuth
adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan
dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis, tetapi bisa progresif.

Walaupun pandangan ini tidak mudah untuk menjadi pijakan, tetapi faktanya jelas yaitu
bahwa manusia pertama yang diciptakan "memiliki peluang untuk berkembang atau progresif".
Pemahaman ini sulit diterima karena konsep orang selama ini adalah bahwa keberadaan
manusia pertama yang diciptakan sudah finish, selesai, dan statis. Makhluk yang tidak bisa
berkembang lagi secara intelektual maupun aspek lainnya, termasuk moralnya. Bila demikian,
berarti tidak ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila intelektual bisa
berkembang, maka bukan tidak mungkin hal ini sebangun atau paralel dengan perkembangan
moral manusia, yang sama artinya dengan makin ditemukan gambar dirinya.

Landasan yang lain terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia tidak mungkin
diciptakan dengan kondisi statis dan tidak mampu mengungguli Iblis. Kalau manusia sampai
jatuh dalam dosa atau kalah terhadap Iblis, itu juga karena pilihannya, bukan karena
kemampuannya. Kalau manusia memilih taat, maka proses penyempurnaan terus berlangsung
sampai tingkat di mana Iblis tidak bisa mengunggulinya atau menjatuhkan. Dalam hal ini jelas
sekali bahwa manusia seharusnya dapat mengalahkan Iblis. Manusia harus mengembangkan
diri, menemukan gambar diri yang luar biasa, yaitu segambar dan serupa dengan Allah, sampai
tidak bisa jatuh dalam dosa.

Keselamatan dalam Yesus Kristus membuka peluang manusia dapat belajar mengenal
dirinya dengan benar dan mengembangkannya sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki (Mat.
135
5:48). Pernyataan Tuhan Yesus bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di surga
sebenarnya sama dengan panggilan untuk menemukan gambar diri yang Allah Bapa kehendaki.
Dan gambar diri yang ditemukan adalah "kesempurnaan Bapa di surga." Pergumulan untuk
menemukan gambar diri ini belum tuntas diselesaikan oleh Adam. Sekiranya Adam bertumbuh
dalam pengembangan gambar diri, yaitu kesempurnaan seperti Bapa di surga, pastilah ia tidak
jatuh dalam dosa. Kalau manusia bisa sempurna seperti Bapa, berarti Iblis tidak mampu
mengunggulinya. Rancangan Tuhan adalah bahwa manusia dapat mengungguli musuh dengan
keberadaan segambar dan serupa dengan Allah.

Dengan demikian istilah "krisis gambar diri" harus dikoreksi dan dipahami dengan
pemahaman yang baru. Sebab kalau dikatakan krisis, seolah-olah pernah terjadi atau ada suatu
masa di mana manusia pernah memiliki gambar diri yang sempurna, padahal dari fakta sejarah
sebelum Anak Allah datang, manusia belum sempat sampai kepada tingkat mengungguli Iblis.
Kalaupun harus digunakan kata "krisis", ini harus dalam pengertian bahwa manusia memang
belum mencapai gambar diri yang dikehendaki oleh Allah, sementara waktu atau kesempatan
untuk menerima restorasi atau pemulihan gambar diri (deadline) semakin dekat.

Jadi, pengertian yang benar mengenai kata "krisis gambar diri" bukan mengembalikan
gambar diri yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai gambar diri yang ideal atau
sempurna dan telah menetap permanen dalam dirinya, tetapi mengembalikan proses
penyempurnaan untuk menemukan gambar diri yang telah gagal oleh manusia pertama. Adam
pertama gagal, Adam kedua yaitu Tuhan Yesus Kristus berhasil (Luk. 2:52). Dengan
keberhasilan Adam kedua menemukan gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat. 3:17),
maka orang yang percaya dan yang mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama
seperti Dia (Rm. 8:29).

Dengan demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan proses
penyempurnaan manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus sebagai Adam
kedua merupakan awal dari dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh manusia
yang diciptakan segambar dengan Allah agar sempurna seperti Bapa di surga. Melalui dan di
dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-manusia baru yang dapat menjadi kesukaan Bapa.
Dengan demikian bukan hanya kepada Tuhan Yesus Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan,
tetapi juga kepada orang percaya yang menemukan gambar dirinya seperti Yesus.

Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Konsep gambar diri setiap orang
dibangun dari apa yang dilihat, didengar dan dialami sejak masa kanak-kanak. Padahal yang
dilihat, didengar dan dialami seseorang belum tentu membawanya kepada gambar diri yang
dihendaki Tuhan. Ternyata bukan hanya pengalaman yang menyakitkan atau yang dianggap
negatif yang dapat merusak gambar diri, tetapi pengalaman hidup yang serba nikmat dan
nyaman pun (yang dianggap positif) dapat menjadi pemicu rusaknya gambar diri seseorang.
Justru kadang-kadang keadaan nyaman, terhormat, dan kaya mengondisikan seseorang lebih
sukar masuk Kerajaan Surga. Ini sama dengan kondisi di mana seseorang tidak mudah untuk

136
diubahkan. Ceramah mengenai gambar diri sering mengkambinghitamkan keadaan negatif
sebagai kausalitas prima (penyebab utama) rusaknya gambar diri.

Kesalahan beberapa gereja selama ini adalah tidak bermaksud untuk membongkar
konsep-konsep mengenai kehidupan yang telah dipahami oleh jemaat, yaitu mengenai gambar
diri yang salah. Malah sebaliknya, gereja berusaha untuk membantu mewujudkan apa yang
dipahami sebagai keberhasilan, kemenangan, hidup yang berkelimpahan dan diberkati, dan lain
sebagainya. Jemaat dilatih untuk mengembangkan self esteem yang bertentangan dengan
rencana pemulihan gambar diri. Jemaat bukan semakin menemukan gambar dirinya, tetapi
semakin sesat jauh dari peta gambar diri yang Tuhan kehendaki.

Kegagalan mengenal dirinya bersumber kepada satu hal saja, yaitu tidak mengenal
kebenaran Tuhan. Pengalaman hidup dan lain sebagainya tidak menjadi pemicu yang berarti
untuk itu (walaupun memiliki pengaruh juga). Banyak pembicara mengenai gambar diri sering
mengkambinghitamkan pengalaman masa lalu sebagai kausalitas rusaknya gambar diri, tetapi
sebenarnya pengalaman apa pun dapat merusak gambar diri seseorang. Bukan hanya
pengalaman yang menyakitkan (yang dianggap negatif) yang bisa merusak kepribadian
sehingga tidak memiliki gambar diri yang benar, tetapi pengalaman yang baik pun (yang
dianggap positif) bisa mengakibatkan seseorang membangun gambar diri yang salah. Dunia
yang fasik tanpa disadari telah membangun gambar diri yang salah dalam kehidupan setiap
individu.

Untuk mengembalikan gambar diri, seseorang harus bersedia menyangkal diri (Mat.
16:24). Menyangkal diri adalah kesediaan untuk membuang konsep dan segala asumsinya
mengenai kehidupan ini asumsi mengenai keberhasilan, kebahagiaan, dan lain sebagainya.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa konsep mengenai kehidupan sangat memengaruhi
seseorang membangun gambar dirinya. Hanya dengan penyangkalan diri, maka gambar diri
yang salah bisa diganti. Penyangkalan diri artinya bersedia menanggalkan gambar diri yang
salah yang tertanam dalam benaknya. Gambar diri ini diperoleh dari apa yang didengar dan
dilihat pada orangtua dan lingkungannya. Semua itu membangun konsep gambar diri seseorang.

Selama ini yang dipahami sebagai penyangkalan diri adalah sikap yang menolak
perbuatan salah yang dikategorikan melanggar moral dan kesediaan melakukan hukum yang
dianggap sebagai standar moral. Ini sebenarnya belum bisa dikatakan penyangkalan diri, tetapi
pertarakan. Penyangkalan diri adalah sikap yang menolak semua filosofi hidup yang dipahami
oleh orangtua dan lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Filosofi hidup yang
diwariskan kepada kita pada umumnya adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan melalui
sekolah, kuliah, berkarir, berdagang, mencari nafkah dengan berbagai profesi, menikah,
mempunyai anak membesarkan anak, mencari menantu, ikut membesarkan cucu dan lain
sebagainya. Semua itu dilakukan untuk meraih apa yang disebut sebagai keberhasilan atau
paling tidak sebuah kelayakan atau kewajaran hidup. Anak-anak Tuhan dipanggil untuk
mengabdi kepada Tuhan. Baik makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain
lakukanlah semuanya itu untuk kenuliaan Allah (1Kor. 10:31), Anak Tuhan memang harus

137
sekolah, kuliah, berkarir, dagang, menikah, dan lain sebagainya, tetapi semua itu harus
dilakukan bagi Tuhan yang telah menebus kita dan membeli kita dengan darah-Nya.

Sebenarnya jiwa manusia penuh dengan perbendaharaan busuk yang tidak membangun
diri menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Perbendaharaan itu antara lain:
keserakahan, kesombongan atau mau dihormati, kebencian, ambisi memerintah orang lain atau
mau berkuasa, tidak mau menerima orang lain sebagaimana adanya, dan lain sebagainya. Inilah
yang membuat gambar diri manusia semakin jauh dari gambar diri ideal yang harus dicapai
oleh setiap individu. Perbendaharaan jiwa yang busuk tersebut juga merupakan penyakit jiwa
yang tidak mudah disembuhkan.

Banyak orang merasa sudah sembuh dari hal-hal itu, tetapi sebenarnya belum. Karena
kecerdasan dan kelicikan hati seseorang, maka manifestasi dari kebusukan jiwanya tidak mudah
dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Pendidikan budi pekerti, pengembangan kepribadian, dan
berbagai ajaran etika sering hanya memoles bagian luarnya, tetapi tidak memperbaharui sampai
kedalaman. Pada dasarnya orang-orang seperti itu belum hidup baru dalam Tuhan seperti yang
dikemukakan dalam 2 Korintus 5:17. Kepada orang-orang seperti itu Tuhan menyatakan bahwa
mereka tidak dikenal atau tidak dapat dinikmati oleh Tuhan (Mat. 7:21-23). Mereka berkeadaan
jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan.

Bagaimana seseorang bisa mengenali, bahwa dirinya masih berkeadaan jauh dari standar
kesucian atau kebenaran Tuhan? Ia harus memiliki kesungguhan untuk mencapai standar hidup
yang luar biasa. Ia tidak boleh merasa puas dengan kebaikan yang telah ia capai. la harus selalu
bertanya: Apakah ada yang lebih baik dari apa yang sudah kucapai hari ini? seperti pertanyaan
orang muda yang kaya dalam Matius 19:20 "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih
kurang?" Hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang akan dipuaskan (Mat. 5:6).
Orang yang selalu ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam kesucian Tuhan yang akan
memperoleh jawaban. Bagaimana seseorang dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi kalau
ia sendiri tidak memiliki keinginan untuk mencapainya?

Banyak orang yang tidak memiliki kerinduan untuk mencapai tingkat kesucian atau
kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena menganggap hal tersebut tidak terlalu penting.
Bagi mereka segala kesenangan hidup lebih berarti dan membahagiakan.Tanpa disadari,
mereka merendahkan nilai-nilai kesucian dan kebenaran Tuhan serta mencampakkannya seperti
sampah. Pada dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka tidak merasa demikian, sebab
mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh sesamanya sebagai orang baik.
Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Surga, walaupun kadang-kadang
mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi harus
berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan. Ini adalah pilihan. Bila seseorang
menunda memilih hal ini, maka ia tidak akan memiliki kerinduan tersebut untuk selamanya.
Sia-sia hidup ini.

138
Semakin menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri
yang benar sama artinya dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam
hidup seseorang. Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang
memiliki waktu umur hidupnya 1000 tahun, waktu itu pun tidak cukup untuk menjangkau
kesucian dan kebenaran Tuhan.

Sangat mungkin, perkembangan kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang
berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru. Tetapi ini hanya dialami oleh orang-orang
yang selama hidup di dunia ini menghargainya. Menghargai kesucian dan kebenaran Tuhan
berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan apa yang baik, yang berkenan, dan yang
sempurna (Rm. 12:2). Orang-orang seperti ini tidak curiga terhadap Tuhan Yesus dan
kehendak-Nya, bahwa kita harus sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Sayang sekali, banyak
orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat, dan fasilitas lain yang serba terbaik,
tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab katakan sebagai
orang-orang bodoh (Luk. 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak kesulungannya
dengan semangkuk makanan (Ibr. 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika seseorang
menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian.

Penyesalan atas hal ini hanya bisa digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi,
kalau Tuhan berfirman: "kumpulkan harta di surga," itu dimaksudkan agar kita membenahi
jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan segala yang busuk yang ada di dalamnya.
Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di surga berkenaan dengan khotbah Tuhan Yesus di
Bukit (Mat. 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakkan dasar moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila
jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari jiwa yang bersih tersebut pasti
dirasakan manusia di sekitarnya.

Kesempatan ini hanya diberikan kepada umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Lama
tidak memiliki kesempatan ini dan mereka tidak sanggup untuk melakukannya, karena mereka
tidak memiliki kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan (Yoh. 1:12-13). Kuasa untuk hidup
sebagai anak-anak Tuhan adalah kemampuan untuk hidup dalam pimpinan Roh (Rm. 8:14).
Dan Tuhan hanya menyediakan paket ini untuk orang yang percaya.

Jadi kalau seseorang mau hidup baik-baik saja, maka ia tidak perlu menjadi orang
Kristen. Orang Kristen adalah manusia yang dipanggil untuk mencapai standar kesucian dan
kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki kita mempersoalkan hal ini lebih dari
mempersoalkan hal lain. Mengutamakan Kerajaan Surga tidak mengganggu kegiatan hidup kita
setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan membuat masalah pemenuhan kebutuhan jasmani kita
tidak mengganggu pergumulan untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan.

139
BAB XXVII

PEMULIHAN GAMBAR DIRI DALAM KESELAMATAN

Proses keselamatan dalam Yesus Kristus pada dasarnya adalah proses menjadikan
manusia unggul bagi Tuhan. Manusia unggul adalah manusia seperti rancangan semula. Inilah
"cita-cita Tuhan". Keunggulan ini bukan diukur oleh nilai-nilai bendani atau materi. Ukuran
keunggulan di sini adalah ukuran Tuhan. Jadi tidak seorang pun berhak menghakimi sesamanya
dan menilai dari ukurannya sendiri. Untuk menemukan nilai keunggulan ini seseorang harus
belajar kebenaran Firman Tuhan. Dengan belajar kebenaran Firman Tuhan maka seseorang
mengenal Pribadi Tuhan Yesus yang merupakan prototipe manusia yang dikehendaki oleh
Allah.

Dalam hal ini ayat-ayat Perjanjian Lama tidak bisa menjadi tolok ukur kehidupan iman
Kristen. Kalau pun kita mengambil ayat dari Perjanjian Lama, maka kita harus melihat
konteksnya dengan seksama. Ayat-ayat Perjanjian Baru memuat kebenaran yang pantas
dikenakan dalam kehidupan orang percaya. Dari pemahamannya terhadap kebenaran Alkitab,
seseorang menemukan gambar diri secara umum. Selanjutnya seseorang harus bergumul
dengan Tuhan setiap hari untuk menemukan gambar diri secara khusus. Semua orang percaya
memperoleh panggilan untuk ini.

Untuk masuk dalam proyek menjadi manusia unggul bagi Tuhan ini, seseorang harus
mempertaruhkan segenap hidupnya bagi Tuhan. Tanpa pertaruhan segenap hidup ini seseorang
tidak akan menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Pertaruhan segenap hidup
artinya harus sungguh-sungguh serius. Bukan kegiatan sambilan. Di sini berlaku Firman Tuhan
yang mengatakan: "Kasihilah Tuhan Allah-Mu dengan segenap hidupmu" (Mat. 22:37-40;
Mrk. 12:28-34; Luk. 10:25-28). Kasih seseorang kepada Tuhan ditunjukkan dengan
kesediaannya menjadi pribadi seperti yang Tuhan kehendaki.

Langkah penyempurnaan sebagai orang yang menerima keselamatan, dimulai dari


manusia yang harus menjadi manusia yang baik secara umum terlebih dahulu, barulah dapat
menjadi manusia unggul warga Kerajaan. Di dunia ini kita dapat menemukan orang-orang yang
memiliki nilai kebaikan secara umum. Kebaikan secara umum ini antara lain: memiliki
kejujuran, santun dan beretika, sehat jasmani, cerdas berpikir, tidak ceroboh dalam mengambil
keputusan, rajin dan giat bekerja, hemat, bertanggung jawab dalam tugas, sopan dalam tutur
kata, bisa mengatur keuangan pribadinya dengan baik, produktif dan berguna di tempat kerja,
memiliki prestasi dalam studi, karir, maupun dalam bidang lainnya, dibutuhkan masyarakat,
bersosialisasi atau bermasyarakat dengan baik, tidak membuat onar tetapi membawa
kesejahteraan dan ketentraman, memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang lain dan berbagai
aspek, menggunakan lidahnya dengan baik, menguasai diri dan mampu mengontrol perasaan
dengan seksama, tidak mengingini milik orang lain, dan lain sebagainya.

140
Orang-orang yang memiliki kebaikan secara umum ini biasanya tidak atau kurang
memiliki kesulitan dalam hidup berumah tangga, ekonomi, dan kesehatan jasmaninya. Jadi
kalau seseorang terus menerus mengalami problem rumah tangga, kesulitan ekonomi dan
kesehatan, patut memeriksa diri dengan seksama. Kebaikan secara umum adalah kebaikan yang
telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup kekal dalam Matius 19:16-26. Ia seorang yang
telah melakukan hukum Taurat. Orang seperti ini hidupnya berkualitas secara umum, tetapi
masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal atau hidup yang berkualitas menurut
Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus (Mrk. 10:21). Tuhan
menghendaki kita bukan saja menjadi baik, tetapi sempurna. Inilah manusia unggul menurut
Tuhan itu (Mat. 5:48).

Mengapa harus memiliki kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab
manusia harus menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek
hidupnya atau manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna.
Manusia yang utuh maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat,
jasmaninya sehat, dan lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan
berarti harus keadaan yang berlimpah materi, tanpa masalah, dan menyenangkan. Tetapi
kondisi yang kondusif menurut Tuhan untuk pemulihan gambar diri.

Dalam pertimbangan Tuhan, ada kondisi-kondisi tertentu yang efektif mengubah dan
membentuk seseorang menjadi pribadi seperti yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini Tuhan
mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan, sebab situasi yang Tuhan izinkan
terjadi dalam hidup kita mendatangkan kebaikan bagi kita (Rm. 8:28). Pikiran atau mental yang
sehat dibangun melalui pendidikan yang baik, baik formal (pendidikan umum, akademis)
maupun informal, yaitu lingkungan dan keluarga. Pikiran yang tidak sehat membuat seseorang
tidak akan mampu mengerti pikiran Tuhan atau kebenaran-kebenaran Firman Tuhan. Tuhan
adalah Pribadi yang cerdas, hasil karya dan kebenaran-Nya juga lahir dari kecerdasan-Nya.
Oleh sebab itu untuk memahami kecerdasan Tuhan seseorang harus mengimbangi Tuhan
dengan memiliki kecerdasan semaksimal mungkin. Ingat, hanya orang yang mengasihi Tuhan
dengan segenap akal budi yang dapat mengerti kebenaran-kebenaran-Nya.

Untuk menggali kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan perangkat-perangkat, antara lain:


logika yang diasah, kemampuan memahami bahasa, terutama bahasa sendiri yang dipakai untuk
menulis Alkitab. Lebih lengkap lagi kalau mampu memahami bahasa asli Alkitab (Bahasa
Ibrani dan Yunani). Logika, yaitu kemampuan berpikir atau pemahaman tentang penalaran
yang berdasarkan logika deduktif maupun induktif. Lebih lengkap lagi kalau seseorang
dilengkapi dengan statistiknya, yaitu sarana berpikir yang membantu seseorang menemukan
kesimpulan-kesimpulan dari kebenaran Alkitab secara induktif dan fakta-fakta empirisnya.

Seseorang yang menggunakan logika dengan baik akan terhindar dari manipulasi-
manipulasi dalam emosinya yang dapat menciptakan pemalsuan-pemalsuan. Kenyataan inilah
yang banyak terdapat dalam kegiatan keagamaan. Kalau di kalangan orang Kristen lebih banyak
pada gereja aliran pentakosta, kharismatik, dan sejenisnya. Dalam hal ini dibutuhkan

141
pendidikan yang baik, yang membiasakan seseorang memiliki nalar yang baik untuk
menganalisa Alkitab. Tentu dalam hal ini nalar bukan segalanya, tetapi satu bagian yang sangat
penting. Fakta dalam kehidupan ini, negara atau bangsa yang tidak menggunakan logikanya
atau rasionya dengan baik, selain miskin karena tidak menjadi negara yang maju, tetapi juga
menjadi negara yang penuh konflik kejahatan moral dalam gelanggang politik, diskriminasi,
ketidakadilan, dan kebejatan lainnya. Hal ini sangat diperankan atau dipengaruhi oleh filosofi
hidupnya, dan filosofi hidup sangat ditentukan oleh kepercayaan atau agama yang dianutnya.
Keadaan suatu masyarakat dapat menjadi tolak ukur kebenaran kepercayaannya.

Di lapangan, sering kita jumpai orang-orang yang kualitas hidupnya secara umum saja
sudah rendah, tetapi mereka dengan alasan dipimpin Roh Kudus atau menerima karunia Roh
Kudus mengajar dan membimbing orang lain yang kualitas umumnya mungkin bisa lebih baik
darinya. Di sini terjadi proses pembodohan. Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyak orang
berpikir bahwa kebaikannya secara umum yang dimiliki dalam kehidupan ini karena tidak
berkaitan dengan kegiatan gereja atau agama dianggap sebagai tidak bermutu. Padahal
kebaikan secara umum juga bagian dari proses penyempurnaan untuk menjadi manusia unggul
menurut Tuhan. Kalau secara umum seseorang sudah tidak baik atau tidak berkualitas, maka
seseorang tidak akan mencapai keunggulan di hadapan Tuhan.

Kehancuran kehidupan umat Tuhan dewasa ini disebabkan oleh karena umat dimentor
oleh orang-orang yang sebenarnya belum memiliki kebaikan secara umum yang memadai.
Mereka adalah orang-orang yang gagal dalam "marketplace" kemudian melarikan diri dalam
pelayanan gereja untuk memiliki kemudahan-kemudahan hidup. Biasanya orang-orang seperti
ini menjadi "dukun-dukun dalam gereja". Mereka tidak mengajarkan kebenaran kepada umat,
tetapi "menjual jasa." Hal ini mirip dengan praktik perdukunan dalam masyarakat. Banyak
orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki kualitas yang baik datang kepada dukun-
dukun yang pendidikan SMP-nya saja tidak lulus. Kelebihan mereka adalah "sakti" dan
memiliki kedekatan dengan "sumber kuasa" yang dapat memberi solusi bagi masyarakat.

Manusia unggul menurut Tuhan adalah orang-orang yang mengembangkan semua


potensi yang ada padanya. Itulah ibadah yang sejati. Pada umumnya orang masih memisahkan
antara ibadah kepada Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah
kepada Tuhan adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara
kegiatan yang bersangkut-paut dengan Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke gereja
dengan kegiatan yang tidak bersangkut-paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi
dengan keluarga, olahraga, makan, minum, dan lain sebagainya. Pemisahan atau pembedaan
ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau
sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran.

Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh Iblis. Dunia ini
tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah
segala perbuatan dan produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan.
Hendaknya kita tidak sesat seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini

142
jahat, harus dijauhi. Karenanya orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala
kegiatannya. Termasuk tidak menikah; padahal menikah itu kudus, sebab Tuhan yang
menciptakan seks. Dalam hal tersebut berumah tangga juga panggilan dari Tuhan (mandat
prokreasi), karenanya kita harus membangun rumah tangga sesuai dengan pola Tuhan. Orang
yang gagal berumah tangga karena kesalahan atau kebodohannya, sulit bisa menjadi pelayan
Tuhan yang baik. Perlu pertobatan dan pemulihan yang signifikan.

Dalam Kejadian 1:28-29, Tuhan berfirman agar kita mengelola dunia ini. Perintah untuk
mengelola dunia ini sebagai penyelenggaraan kehidupan di bumi ini merupakan perintah kudus
yang rohani, yang tidak boleh kita identifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya kita tidak boleh
membedakan profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan itu semata-mata.
Karenanya pula kita tidak boleh merasa kurang kudus hanya karena kita memiliki profesi bukan
sebagai pendeta atau tidak memiliki kegiatan di gereja.

Dalam Roma 12:1-2 Paulus menjelaskan arti ibadah, yaitu mempersembahkan tubuh
sebagai korban yang hidup, kudus, dan yang berkenan. Ini artinya membudidayakan tubuh
untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan tidak menggunakan tubuh
dalam bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan. Untuk ini, merupakan kewajiban agar
anak-anak Tuhan meningkatkan kualitas kemampuan kerja dalam membudidayakan semua
potensi yang ada di dalam dirinya dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana
menggunakan tubuh sesuai dengan Firman Tuhan.

Seorang aktivis gereja jangan merasa lebih kudus hanya karena memiliki tugas dalam
gereja sebagai penerima tamu, mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis, dll. Hidup
seseorang rohani atau tidak, bukan ditentukan oleh aktivitasnya di dalam gereja, tetapi motivasi
kehidupan orang itu. Yang penting di sini adalah bahwa seseorang harus mengerti kebenaran
Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi hidup yang benar, yaitu hidup bagi Tuhan (Flp.
1:21) Orang yang tidak memiliki motivasi hidup bagi Tuhan, ia tidak akan pernah bisa
bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam
Alkitab. Sekalipun ia seorang pejabat gereja kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan
Tuhan, ia belum mampu hidup bagi Tuhan. Oleh sebab itu kita harus bertumbuh sehingga kita
hidup hanya bagi Tuhan saja (Flp. 1:21).

143

Anda mungkin juga menyukai