Dimensi?
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo harus menjawab harapan publik terkait
penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan intoleransi yang terjadi di tengah
masyarakat.
Hal ini disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi menyusul pernyataan Presiden
Jokowi yang menyebut pemerintahannya memprioritaskan bidang ekonomi terlebih dulu
ketimbang persoalan HAM.
"Kepemimpinan Jokowi-Maruf belum genap 1 tahun. Jokowi masih punya waktu dan mesti
menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya
bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini,"
kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2020).
Hendardi menjelaskan, sebagai presiden, Jokowi memiliki banyak perangkat untuk
menuntaskan pelanggaran HAM.
Salah satunya, dengan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran
yang tercantum dalam Nawacita 2014.
Menurut Hendardi, Komite Kebenaran adalah model penuntasan pelanggaran HAM yang paling
moderat dengan mengungkapkan kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non
yudisial.
"Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah
mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya," ujar Hendardi.
Sementara itu, dalam penanganan intoleransi, Hendardi berpandangan Presiden Jokowi
hanya menjustifikasi tindakan politiknya dengan menunjuk sejumlah menteri yang dianggap
mampu menangani persoalan intoleransi.
Padahal, kata Hendardi, para menteri dan kepala lembaga yang ditunjuk tidak memiliki agenda
terpadu dalam penanganan intoleransi.
"Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi dan
pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara," pungkasnya
Seperti dilansir dari BBC, dalam sebuah wawancara Presiden Jokowi menjawab terkait
kritikan kepada dirinya terkait penanganan pelanggaran HAM dan berbagai persoalan lainnya.
Jokowi menyatakan, ia memprioritaskan agenda ekonomi terlebih dahulu dalam periode ke-2
pemerintahannya.
Sebab, Jokowi menilai, kebutuhan masyarakat pada saat ini adalah kesejahteraan dalam
bidang ekonomi.
Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) kerap dikriminalisasi banyak pihak, termasuk
aparat penegak hukum. Lantas, bagaimana perlindungan negara atas para pembela HAM di
Indonesia?
Mantan vokalis “Banda Neira” Ananda Badudu tidak menyangka jika keresahannya melihat aksi
kekerasan di Papua dan apa yang disebutnya sebagai “upaya pelemahan KPK” lewat
serangkaian cuitan di Twitter dengan tagar #ReformasiDikorupsi akan berbuntut panjang.
Terlebih ketika ia kemudian dikaitkan dengan aliran dana pada para pengunjukrasa dalam aksi
demonstrasi yang berakhir ricuh pada 24 September 2019. Tiga hari setelah demonstrasi itu ia
diperiksa di Polda Metro Jaya sebagai saksi perkara aliran dana. Belakangan ia dilepas polisi.
Ananda Badudu, musisi yang kemudian menjadi aktivis demokrasi ini, angka bicara
dalam sebuah diskusi daring tentang pengalamannya dan minimnya perlindungan terhadap
aktivis seperti dirinya. Bahkan lembaga negara seperti Komnas HAM serta Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurutnya kurang proaktif dalam melindungi para
aktivis ketika dikriminalisasi oleh banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum.
"Itu sangat minim dirasakan. Pendekatan yang responsif itu diperlukan karena kekerasan dan
represi datang dengan menabrak aturan. Tak mungkin dihadapi dengan pendekatan birokratis,"
kata Ananda.
Ditambahkannya, Komnas HAM dan LPSK yang dibentuk atas amanat undang-undang
semestinya harus berani pasang badan melindungi para aktivis, terutama ketika mereka
merasa dihantui beragam ancaman; mulai dari penangkapan, serangan buzzer, Undang-
Undang Informasi & Transaksi Elektronik ITE hingga teror. Menurut Ananda, ancaman-
ancaman tersebut menimbulkan ketakutan bagi para aktivis pembela HAM.
"Sumber rasa takut itu berasal dari ancaman-ancaman yang ada berdasarkan pengalaman
pribadi, dan teman-teman merasakan langsung. Lalu, ada berbagai kasus penangkapan. Itu jadi
suatu tekanan psikologis bagi siapa pun yang tergerak di bidang sosial politik. Ancaman-
ancaman itu bermuara pada satu hal yaitu membuat rasa takut," ungkapnya.
LPSK Akui Tantangan yang Dihadapi
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias yang juga hadir dalam bincang hukum virtual itu
memaparkan tantangan yang dihadapi lembaganya ketika hendak memberi perlindungan pada
aktivis HAM dan lingkungan.
"Seringkali kasusnya tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kemudian penegak
hukum tidak mau menerima laporan mereka. Sementara LPSK ini bekerjanya untuk proses
penegakan hum tindakan pidana. Kalau tidak ada tindak pidana yang diungkap kami enggak
bisa memberikan perlindungan," katanya.
LPSK, tambah Susilaningtias, juga mengalami kesulitan untuk mendampingi para aktivis
ketika dikriminalisasi, karena perbedaan persepsi di dalam LPSK sendiri tentang perlindungan
para para aktivis.
"Sering kali dalam proses pengambilan keputusan kami tidak bulat. Tidak semua persepsi
pimpinan itu sama jadi itu salah satu masalah," ujar Susilaningtias.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Hairansyah menuturkan praktik perlindungan hukum
terhadap aktivis pembela HAM hampir tidak ada. Malahan serangan terhadap aktivis pembela
HAM makin masif.
"Artinya ancaman semakin nyata dan konkrit. Ancaman terhadap pembela HAM sangat banyak
mulai dari pembunuhan, penculikan, teror, intimidasi, pelecehan seksual, dan kriminalisasi,"
tuturnya.
Studi HRSF & Tifa Foundation
Studi yang dilakukan Human Rights Support Facilities HRSF dan Tifa Foundation tahun
ini mendapati adanya sejumlah kebijakan perundang-undangan yang mengindikasikan adanya
peluang dan hambatan perlindungan bagi aktivis HAM dan lingkungan.
Laporan ini menyatakan “peluang dan hambatan perlindungan dalam perundang-undangan
ditemukan hampir di semua basis hak-hak pembela HAM seperti hak atas informasi, hak atas
berpendapat, hak atas turut serta dalam sistem pemerintahan, hak atas pemulihan, hak atas
berkumpul, hak atas berserikat atau berorganisasi, hak atas pengakuan, hak atas sumber
daya.”
Tanpa pertahanan yang kuat, keamanan yang kondusif, serta baiknya perlindungan terhadap
warga negara, pemerintah akan sulit melaksanakan pembangunan selama lima tahun periode
jabatan
Hal ini turut menjadi perhatian pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil
Presiden RI Jusuf Kalla selama lima tahun perjalanan Kabinet Kerja.
Berbagai kebijakan menyangkut pertahanan, keamanan serta perlindungan warga negara
sudah diterapkan atau dilaksanakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam buku bertajuk Lima Tahun Maju Bersama yang dirilis Kantor Staf Presiden
Republik Indonesia, secara gamblang publik dapat melihat pencapaian-pencapaian
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang terkait bidang pertahanan, keamanan, dan perlindungan
bagi warga negara.Misalnya, untuk mewujudkan pertahanan nasional yang kuat dalam rangka
pemenuhan Minimum Essential Force II (MEF II), kekuatan dan sistem persenjataan Indonesia
mengalami peningkatan yang diwujudkan baik melalui kontribusi industri pertahanan nasional
maupun kerja sama produksi luar negeri.
Berdasarkan data Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI, capaian MEF terhadap
renstra terus mengalami peningkatan sejak 2015.
Pada tahun 2015, capaian MEF terhadap renstra sebesar 33, 90 persen. Kemudian pada tahun
2016 persentasenya menjadi 42,30 persen.
Pada tahun 2017 capaian MEF terhadap renstra 50,90 persen, pada tahun 2018 meningkat
menjadi 61,80 persen dan pada tahun 2019 menjadi 63,37 persen.
Upaya-upaya mewujudkan pertahanan nasional yang kuat ini masuk dalam kebijakan
politik dalam negeri pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Pemerintah juga gencar melaksanakan program pencegahan, penindakan, dan deradikalisasi
secara komprehensif, sehingga tercipta rasa aman bagi seluruh warga masyarakat.
Salah satu bentuk ketegasan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam upaya deradikalisasi
adalah dengan membubarkan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.