Anda di halaman 1dari 9

Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Ekonomi: Benarkah Beda

Dimensi?

Economic Freedom Network (EFN) Conference 2016 – Manila, 22 – 23 November 2016


Prinsip kebebasan ekonomi yang di dalamnya mencakup perdagangan bebas serta juga
peran bisnis, baik itu kelompok bisnis besar dan usaha kecil, seringkali dianggap “membuat
yang semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.” Terlebih lagi dari aspek Hak Asasi
Manusia (HAM), kebebasan ekonomi pun acapkali dilihat sebagai dua hal yang bertentangan,
atau bahkan mengancam satu dengan yang lainnya.
Milton Friedman, seorang ekonomis Amerika Serikat, dikenal dengan salah satu
kutipannya, “The business of business is business. And the social responsibility of business is
to increase its profits.” Oleh sebagian pihak, hal ini seringkali dijadikan dasar bahwa bisnis dan
kebebasan ekonomi justru menjadi ancaman terhadap HAM itu sendiri. Sistem perburuhan
anak (child labor) hingga eksploitasi negara-negara berkembang menjadi contoh argumen yang
menganggap bahwa kebebasan ekonomi dan HAM berada di dalam dimensi yang berbeda.
Konferensi Economic Freedom Network (EFN) pada tahun 2016 ini mengangkat tema
“Economic Freedom and Human Rights in Business” dan dilaksanakan di Dusit Thani Hotel –
Manila pada tanggal 22 – 23 November 2016. Konferensi yang merupakan agenda tahunan ini
menghadirkan kelompok masyarakat sipil yang terdiri atas kelompok think tank, lembaga riset
serta akademisi yang berkiprah dalam aspek kebebasan ekonomi. Beberapa nama yang
mengisi konferensi ini, antara lain adalah Markus Loening, mantan Komisioner Human Rights
Policy and Humanitarian Aid Republik Federal Jerman; Fred McMahon, Research Fellow Fraser
Institute; hingga Wakil Presiden Filipina, Leni Robredo.
Opening Remarks of EFN 2016
Ketika membicarakan kaitan antara kebebasan ekonomi dan HAM, kata “CSR”
atau Corporate Social Responsibilityseringkali dianggap sebagai jawaban. Hal ini tidak salah,
namun kaitannya tidak hanya sebatas itu saja. Secara ideal, HAM seharusnya menjadi
kerangka legal dalam pelaksanaan bisnis. Dalam kerangka Liberalisme, tentu saja aspek ini
berkaitan dengan “rule of law”. Salah satu contohnya adalah inisiatif UN Global Compact yang
berisikan 10 guiding principles dalam pelaksanaan bisnis, tak terkecuali pemenuhan HAM
sebagai prinsip pertama.
Prinsip ideal ini tentu tidak lepas dari sejumlah bukti yang berkebalikan dalam
kenyataannya. Praktik korporasi besar dengan sistem perburuhan anak, misalnya. Namun, di
sisi lain, bisnis juga memerlukan adanya pengakuan (acknowledgement). Dengan
perkembangan media dewasa ini, sulit untuk membatasi arus informasi yang memberitakan
praktik negatif bisnis. Kelompok bisnis pun memiliki public sphere– nya sendiri yang tidak hanya
berkaitan dengan pasar, namun juga kredibilitasnya dalam masyarakat. “Naming and shaming”
kelompok bisnis dengan pelanggaran HAM memang menjadi alternatif, namun bisnis yang baik
adalah yang mampu transparan terhadap rantai pasokannya (supply chain).
Sesi "Global Supply Chain and Human Rights"
Dengan begitu, kebebasan ekonomi sebenarnya tidak hanya merupakan prinsip yang
berpihak terhadap korporasi besar saja. Kebebasan ekonomi seharusnya menjadi jalan yang
menyediakan pilihan – pilihan kepada individu untuk menentukan Dalam keynote speech-nya,
Wakil Presiden Filipina, Leni Robredo menekankan bahwa makna “kebebasan” dalam ekonomi
juga berarti bebas dalam mengembangkan usaha ekonomi dalam bentuk korporasi besar atau
bertahan sebagai usaha kecil.
Makna “kebebasan” ini pun bermakna bahwa kebebasan ekonomi sebenarnya bersifat
inklusif, yang artinya setiap orang dapat bebas berkompetisi sesuai dengan kemampuannya.
Inklusif di sini juga berarti bahwa laki-laki dan perempuan juga memiliki kesempatan yang sama
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan serta juga
menciptakan masyarakat yang berdaya. Hal ini juga menjadi perhatian dalam UN Global
Compact, yang menekankan prinsip non-diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan.
Sesi "Women, Business and Human Rights"
Mengaitkan dimensi kebebasan ekonomi, bisnis dan HAM tentu tidak lepas dari aspek
“rule of law”. Dalam Economic Freedom of the World Report yang dirilis EFN Asia dan Fraser
Institute setiap tahunnya, tingkat kebebasan ekonomi negara-negara berbanding lurus
dengan human development index-nya, seperti angka harapan hidup serta juga kesetaraan
gender. Beberapa indikator yang digunakan antara lain adalah ukuran dari pemerintahan,
struktur hukum, akses perdagangan internasional dan juga regulasi bisnis dan buruh.
Kebebasan ekonomi menghasilkan pemenuhan terhadap HAM. Begitu pula HAM yang
seharusnya dapat menjadi guiding principle kebebasan ekonomi dan bisnis yang baik.
Sehingga yang ada adalah “the business of business is to add something for society.”

Jokowi Diminta Jawab Janji Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM dan


Intoleransi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo harus menjawab harapan publik terkait
penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan intoleransi yang terjadi di tengah
masyarakat.
Hal ini disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi menyusul pernyataan Presiden
Jokowi yang menyebut pemerintahannya memprioritaskan bidang ekonomi terlebih dulu
ketimbang persoalan HAM.
"Kepemimpinan Jokowi-Maruf belum genap 1 tahun. Jokowi masih punya waktu dan mesti
menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya
bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini,"
kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2020).
Hendardi menjelaskan, sebagai presiden, Jokowi memiliki banyak perangkat untuk
menuntaskan pelanggaran HAM.
Salah satunya, dengan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran
yang tercantum dalam Nawacita 2014.
Menurut Hendardi, Komite Kebenaran adalah model penuntasan pelanggaran HAM yang paling
moderat dengan mengungkapkan kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non
yudisial.
"Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah
mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya," ujar Hendardi.
Sementara itu, dalam penanganan intoleransi, Hendardi berpandangan Presiden Jokowi
hanya menjustifikasi tindakan politiknya dengan menunjuk sejumlah menteri yang dianggap
mampu menangani persoalan intoleransi.
Padahal, kata Hendardi, para menteri dan kepala lembaga yang ditunjuk tidak memiliki agenda
terpadu dalam penanganan intoleransi.
"Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi dan
pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara," pungkasnya
Seperti dilansir dari BBC, dalam sebuah wawancara Presiden Jokowi menjawab terkait
kritikan kepada dirinya terkait penanganan pelanggaran HAM dan berbagai persoalan lainnya.
Jokowi menyatakan, ia memprioritaskan agenda ekonomi terlebih dahulu dalam periode ke-2
pemerintahannya.
Sebab, Jokowi menilai, kebutuhan masyarakat pada saat ini adalah kesejahteraan dalam
bidang ekonomi.

Hak Asasi Sosial Budaya Kurang Perhatian

Harianjogja.com, SLEMAN--Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)


Republik Indonesia menilai hak asasi di bidang sosial dan budaya masih kurang mendapat
perhatian. Hal ini kerap memicu munculnya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, jika Indonesia ingin tumbuh
menjadi negara berkeadilan, maka HAM harus dibicarakan dan mendapat perhatian secara
lebih luas dan mendalam.
"Selama ini yang dibicarakan hanya hak politik. Sementara hak sosial budaya masih kurang,
seperti mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, bagaimana kaum difabel diperlakukan,
bahkan yang masih miskin kajiannya tentang lansia," katanya di UGM, Jumat (2/11/2018).
Untuk urusan hak asasi terhadap lansia, Damanik bahkan menyebut Indonesia kalah
dengan Singapura. Seharusnya hak asasi bidang sosial budaya ini diperlakukan sama seperti
bidang lain yang selama ini sering disuarakan dan diperjuangkan.
Untuk itu, Komnas HAM menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan UGM untuk
melanjutkan kerja sama yang telah terjalin sebelumnya, khususnya di bidang pembuatan kajian-
kajian seputar HAM. Ia berharap relasi ini juga memberikan kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan.
Damanik mengatakan peran para ahli dari kalangan perguruan tinggi sangat dibutuhkan,
tidak hanya dalam menyusun kajian-kajian mendalam tetapi juga berkontribusi dalam merevisi
undang-undang. Selama ini kerja sama yang sudah terjalin sebelumnya adalah pelatihan
mediasi yang diikuti anggota PMI UGM dan pemberian data Komnas HAM terhadap
mahasiswa.
Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan perhatian terhadap HAM sudah ditanamkan
kepada mahasiswa sejak dini, bahkan kepada kaum difabel di lingkungan kampus. Beberapa
contohnya adalah mengusahakan para calon mahasiswa difabel leluasa mengikuti seleksi di
UGM dan dibangunnya perpustakaan ramah difabel.
"Jumlahnya [mahasiswa difabel] cukup banyak dan ada komunitas unit kegiatan mahasiswa
[UKM] juga. Kami ingin kampus ini inklusif untuk mengakomodasi mahasiswa difabel," tuturnya.
Panut berharap kerja sama berjalan dengan baik sesuai visi dan misi Komnas HAM. Ia
mengakui yang dimiliki dari universitas adalah tenaga ahli dan mahasiswa, sehingga melalui
kerja sama itu keduanya bisa berkontribusi dalam memperhatikan masalah-masalah
pelanggaran HAM. "Semoga Indonesia menjadi bangsa yang. Indonesia menjadi contoh
sebagai kawasan yang mengedepankan HAM," katanya. (Bernadheta Dian Saraswati)

Aktivis Pembela HAM, Berjuang di Jalan Sunyi yang Minim


Perlindungan

Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) kerap dikriminalisasi banyak pihak, termasuk
aparat penegak hukum. Lantas, bagaimana perlindungan negara atas para pembela HAM di
Indonesia?
Mantan vokalis “Banda Neira” Ananda Badudu tidak menyangka jika keresahannya melihat aksi
kekerasan di Papua dan apa yang disebutnya sebagai “upaya pelemahan KPK” lewat
serangkaian cuitan di Twitter dengan tagar #ReformasiDikorupsi akan berbuntut panjang.
Terlebih ketika ia kemudian dikaitkan dengan aliran dana pada para pengunjukrasa dalam aksi
demonstrasi yang berakhir ricuh pada 24 September 2019. Tiga hari setelah demonstrasi itu ia
diperiksa di Polda Metro Jaya sebagai saksi perkara aliran dana. Belakangan ia dilepas polisi.
Ananda Badudu, musisi yang kemudian menjadi aktivis demokrasi ini, angka bicara
dalam sebuah diskusi daring tentang pengalamannya dan minimnya perlindungan terhadap
aktivis seperti dirinya. Bahkan lembaga negara seperti Komnas HAM serta Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurutnya kurang proaktif dalam melindungi para
aktivis ketika dikriminalisasi oleh banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum.
"Itu sangat minim dirasakan. Pendekatan yang responsif itu diperlukan karena kekerasan dan
represi datang dengan menabrak aturan. Tak mungkin dihadapi dengan pendekatan birokratis,"
kata Ananda.
Ditambahkannya, Komnas HAM dan LPSK yang dibentuk atas amanat undang-undang
semestinya harus berani pasang badan melindungi para aktivis, terutama ketika mereka
merasa dihantui beragam ancaman; mulai dari penangkapan, serangan buzzer, Undang-
Undang Informasi & Transaksi Elektronik ITE hingga teror. Menurut Ananda, ancaman-
ancaman tersebut menimbulkan ketakutan bagi para aktivis pembela HAM.
"Sumber rasa takut itu berasal dari ancaman-ancaman yang ada berdasarkan pengalaman
pribadi, dan teman-teman merasakan langsung. Lalu, ada berbagai kasus penangkapan. Itu jadi
suatu tekanan psikologis bagi siapa pun yang tergerak di bidang sosial politik. Ancaman-
ancaman itu bermuara pada satu hal yaitu membuat rasa takut," ungkapnya.
LPSK Akui Tantangan yang Dihadapi
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias yang juga hadir dalam bincang hukum virtual itu
memaparkan tantangan yang dihadapi lembaganya ketika hendak memberi perlindungan pada
aktivis HAM dan lingkungan.
"Seringkali kasusnya tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kemudian penegak
hukum tidak mau menerima laporan mereka. Sementara LPSK ini bekerjanya untuk proses
penegakan hum tindakan pidana. Kalau tidak ada tindak pidana yang diungkap kami enggak
bisa memberikan perlindungan," katanya.
LPSK, tambah Susilaningtias, juga mengalami kesulitan untuk mendampingi para aktivis
ketika dikriminalisasi, karena perbedaan persepsi di dalam LPSK sendiri tentang perlindungan
para para aktivis.
"Sering kali dalam proses pengambilan keputusan kami tidak bulat. Tidak semua persepsi
pimpinan itu sama jadi itu salah satu masalah," ujar Susilaningtias.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Hairansyah menuturkan praktik perlindungan hukum
terhadap aktivis pembela HAM hampir tidak ada. Malahan serangan terhadap aktivis pembela
HAM makin masif.
"Artinya ancaman semakin nyata dan konkrit. Ancaman terhadap pembela HAM sangat banyak
mulai dari pembunuhan, penculikan, teror, intimidasi, pelecehan seksual, dan kriminalisasi,"
tuturnya.
Studi HRSF & Tifa Foundation

Studi yang dilakukan Human Rights Support Facilities HRSF dan Tifa Foundation tahun
ini mendapati adanya sejumlah kebijakan perundang-undangan yang mengindikasikan adanya
peluang dan hambatan perlindungan bagi aktivis HAM dan lingkungan.
Laporan ini menyatakan “peluang dan hambatan perlindungan dalam perundang-undangan
ditemukan hampir di semua basis hak-hak pembela HAM seperti hak atas informasi, hak atas
berpendapat, hak atas turut serta dalam sistem pemerintahan, hak atas pemulihan, hak atas
berkumpul, hak atas berserikat atau berorganisasi, hak atas pengakuan, hak atas sumber
daya.”

Pekan Depan, Menko Polhukam akan Panggil Jaksa Agung dan


Komnas HAM
Merdeka.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud
MD akan memanggil Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Komnas HAM terkait dengan peristiwa
Semanggi I dan II. Rencananya pertemuan akan berlangsung pekan depan.
"Minggu depan. Nanti kita lihat saja dan memastikan duduk posisinya seperti apa. Nanti Minggu
depan saya panggil," kata Mahfud MD di Hotel Saripan Pasific, Jakarta Pusat, Sabtu (18/1).
Diketahui Jaksa Agung ST Burhanuddin, menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan
termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono mengatakan,
pernyataan Jaksa Agung berdasarkan hasil pansus DPR tahun 2001.
"Ya kan ada pertanyaan DPR, dijawab kan itu yang menyatakan bukan pelanggaran HAM berat
berdasarkan hasil keputusan DPR juga Pansus. Makanya disampaikan lagi mengingatkan lagi
bahwa Pansus 2001 menyatakan itu. Kalau ditanya ke kami ya jawabannya itu juga," kata Hari
di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (17/1).
Hari menyebut, Kejagung sudah mempelajari hasil penyelidikan Komnas HAM tentang
kasus Semanggi I dan II. Pihaknya menilai tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
itu.
"Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM itu kan kita pelajari apakah itu masuk
pelanggaran HAM berat atau tidak. Di pansus sendiri sudah menyatakan demikian
mungkin dari hasil penelitian oleh Jampidsus ini demikian," tutur dia. (mdk/did)

Komnas HAM Temukan Dugaan Pelanggaran HAM Saat Demo


Mahasiswa Tolak RUU KPK dan RKUHP
Merdeka.com - Komnas HAM merilis temuan tim terkait demo mahasiswa dan pelajar
terhadap "RUU KPK dan RKUHP" pada 24-30 September 2019 silam yang terjadi di sejumlah
wilayah. Data yang didapat Komnas HAM, khusus di Jakartaada 1.489 orang diamankan polisi.
"1.109 Dibebaskan, 380 Tersangka, 218 dan 79 orang ditahan," kata Hariansyah di Gedung
Komnas HAM, Jakarta, Kamis (9/1).
Hariansyah menyatakan, saat massa menyampaikan hak berekspresi itu, terdapat
dugaan pelanggaran HAM.
Pertama korban jiwa tiga orang di Jakarta dan dua orang di Kendari. Pendemo yang meninggal
ditemukan karena luka dan tembakan peluru. Selain itu, pelanggaran lain adalah 15 jurnalis
menjadi korban kekerasan saat pengamanan aksi 26-30 September
Jenis hak yang dilanggar, pertama hak untuk hidup yakni adanya korban jiwa. Kedua
hak anak, kemudian hak atas kesehatan, hak memperoleh keadilan serta hak memperoleh rasa
aman.
"Terkait akses keluarga dan pengacara tidak diberikan. Dari kondisi itu berpeluang terjadinya
tindak kekerasan karena tidak ada pendampingan selama proses pemeriksaan," ujarnya.
Selain itu, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran protap polisi. Pertama
dugaan kekerasan dan Upaya paksa, kedua Terbatasnya akses terhadap pelaku, ketiga
Lambatnya akses media, keempat terbatasnya akses bantuan hukum bagi yang ditangkap.

Hak Asasi Manusia dalam Ketahanan Nasional Indonesia

(Kompasiana)-Makin kaburnya batas-batas negara (borderless) dan semakin


menyatunya dunia, menjadikan saling ketergantungan antarnegara. Keadaan inilah yang
disebut dengan globalisasi. Globalisasi menjadikan masa depan dipenuhi dengan
ketidakpastian sehingga membuat masa depan sulit diprediksi. Tren utama globalisasi dan
aspek srtategis lainnya yang berlangsung pada awal abad 21 masih berkisar pada demokrasi,
individualisme, HAM, lingkungan hidup, revolusi bidang informasi, liberalisasi perdagangan dan
pergeseran perimbangan kekuatan dunia. Di satu sisi, lingkungan strategis tersebut membawa
dampak positif bagi bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya sebagai peluang. Sedangkan
di sisi lain, ada pula dampak negatifnya, sehingga menjadikannya sebuah tantangan bagi
pemerintah. Tiap negara, termasuk Indonesia, harus memiliki ketahanan dalam menghadapi
setiap perubahan. Karena suatu bangsa yang memiliki tingkat ketahanan nasional yang tinggi
makin tinggi pula nilai kewibawaan nasional yang berarti makin tinggi tingkat daya tangkal yang
dimiliki bangsa dan negara Indonesia.
Berkembangnya zaman menyebabkan masalah mengenai Hak Asasi Manusia semakin
kompleks. Karena itulah sangat penting untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai Hak Asasi
Manusia demi meningkatkan wawasan nusantara kita.
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap
pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai
anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi
pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh
sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi manusia kehilangan martabat yang sebenarnya
menjadi inti nilai kemanusiaan.
Sementara menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin
memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang
diperhatikan oleh pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menghasilkan satu bab khusus
mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Walau demikian, bukan berarti bahwa
perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak
asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini
merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita
selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.
Kebebasan Berpendapat
Dalam konteks suatu negara, rakyat menduduki posisi penting. Posisi ini setidak-
tidaknya didasarkan pada asumsi bahwa tanpa rakyat suatu negara tidak dapat menjamin
kelangsungan hidupnya secara damai dan dinamis. Jika suatu negara ingin menjamin
kelangsungan hidupnya secara damai dan dinamis, negara tersebut harus membuat rakyatnya
betah tinggal di dalamnya. Sebagai konsekuensinya, rakyat diberikan ruang publik yang
memadai agar mampu mengekspresikan dirinya.
Dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 diterangkan mengenai kebebasan dalam mengemukakan
pikiran, yaitu:
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".
Bebas menyampaikan pendapat di muka umum juga merupakan salah satu Hak Asasi Manusia
yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yaitu:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Pada rezim Soeharto, ruang publik rakyat untuk turut serta mempengaruhi kebijakan politik
sangat dibatasi. Rakyat menginginkan ruang politik yang lebih luas lagi bagi dirinya karena
mereka sadar bahwa dirinya merupakan sumber eksistensi negaranya. Namun, itu tidak mereka
dapatkan pada saat Soeharto memerintah. Kebebasan rakyat dalam berpendapat sangat
dikekang. Hal ini tentu saja merupakan pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan isi UUD
1945 Bab XA yang membahas mengenai Hak Asasi Manusia.
Sejak reformasi bergulir, yaitu tahun 1998, perilaku politik berubah total tatkala Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden, 21 Mei 1998. pers nasional seolah-olah bangkit dari
keterpurukannya dan pintu kebebasan pers pun seakan terbuka lebar. Ini ditandai dengan
diberlakukannya UU No. 40 Tahun 1999. Kreatifitas yang pada rezim Orde Baru begitu
dikekang, kini bisa dengan bebas mewarnai dunia pers Indonesia. Selain itu, sistem sosial
politik berubah. Rakyat yang sebelumnya sangat terbelenggu, menjadi bebas bahkan terkesan
liar. Ibarat kuda lepas dari kandangnya. Tingkat partisipasi rakyat mencapai titik kulminasi
tertinggi pada era ini. Orang-orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum dengan
mengatasnamakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Melihat capaian Jokowi-JK dalam bidang pertahanan dan keamanan

Jakarta (ANTARA) - Pertahanan, keamanan serta perlindungan terhadap warga negara


menjadi sejumlah faktor strategis yang turut menjadi penopang utama pembangunan di tanah
air.

Tanpa pertahanan yang kuat, keamanan yang kondusif, serta baiknya perlindungan terhadap
warga negara, pemerintah akan sulit melaksanakan pembangunan selama lima tahun periode
jabatan
Hal ini turut menjadi perhatian pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil
Presiden RI Jusuf Kalla selama lima tahun perjalanan Kabinet Kerja.
Berbagai kebijakan menyangkut pertahanan, keamanan serta perlindungan warga negara
sudah diterapkan atau dilaksanakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam buku bertajuk Lima Tahun Maju Bersama yang dirilis Kantor Staf Presiden
Republik Indonesia, secara gamblang publik dapat melihat pencapaian-pencapaian
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang terkait bidang pertahanan, keamanan, dan perlindungan
bagi warga negara.Misalnya, untuk mewujudkan pertahanan nasional yang kuat dalam rangka
pemenuhan Minimum Essential Force II (MEF II), kekuatan dan sistem persenjataan Indonesia
mengalami peningkatan yang diwujudkan baik melalui kontribusi industri pertahanan nasional
maupun kerja sama produksi luar negeri.
Berdasarkan data Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI, capaian MEF terhadap
renstra terus mengalami peningkatan sejak 2015.
Pada tahun 2015, capaian MEF terhadap renstra sebesar 33, 90 persen. Kemudian pada tahun
2016 persentasenya menjadi 42,30 persen.
Pada tahun 2017 capaian MEF terhadap renstra 50,90 persen, pada tahun 2018 meningkat
menjadi 61,80 persen dan pada tahun 2019 menjadi 63,37 persen.
Upaya-upaya mewujudkan pertahanan nasional yang kuat ini masuk dalam kebijakan
politik dalam negeri pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Pemerintah juga gencar melaksanakan program pencegahan, penindakan, dan deradikalisasi
secara komprehensif, sehingga tercipta rasa aman bagi seluruh warga masyarakat.
Salah satu bentuk ketegasan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam upaya deradikalisasi
adalah dengan membubarkan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai