Anda di halaman 1dari 71

PENGARUH VITAMIN C SEBAGAI KOENZIM PADA LUKA INSISI

TIKUS WISTAR, STUDY INVIVO TERHADAP FIBROBLAS, KOLAGEN


DAN EPITEL

TESIS

Hanna Mufliha
NPM 2302019003

Program Studi Magister Sains Biomedis


Sekolah Pasca Sarjana
Universitas YARSI
2022
TESIS

PENGARUH PENYUNTIKAN VITAMIN C TERHADAP PENINGKATAN


FIBROBLAS, KOLAGEN, DAN EPITEL SECARA INVIVO
PADA LUKA INSISI TIKUS WISTAR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Menyelesaikan Pendidikan Program Studi
Magister Sains Biomedis

Oleh
Hanna Mufliha
NPM 2302019003

Program Studi Magister Sains Biomedis


Sekolah Pasca Sarjana
Universitas YARSI
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: Pengaruh Penyuntikan
Vitamin C Terhadap Peningkatan Fibroblas, Kolagen, Dan Epitel Secara Invivo
Pada Luka Insisi Tikus Wistar. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Biomedis pada Program Studi Biologi
Medis, Fakultas Kedokteran, Universitas YARSI. Pada kesempatan ini, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kelancaran
pendidikan saya, baik dari segi moral maupun material, mulai dari masa perkuliahan,
penelitian, hingga penyusunan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:

(1) Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yth.
Prof. dr. Jurnalis Uddin, PAK., selaku Ketua Yayasan YARSI atas ijin dan
dukungan yang diberikan kepada saya untuk dapat menimba ilmu di
Universitas YARSI. Terima kasih juga kepada Yth. Rektor Universitas
YARSI periode lalu Prof. Susi Endrini, S.Si, M.Si., PhD, dan periode
sekarang Prof. dr. Fasli Jalal, PhD, beserta jajarannya. Terima kasih juga
saya ucapkan kepada Yth. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
periode lalu dr. Insan Sosiawan A Tunru, PhD, dan periode sekarang dr.
Rika Yuliwulandari, MSc, PhD, beserta jajarannya. Semoga Allah SWT
memberi nikmat kesehatan, berkah, dan rahmat-Nya.
(2) Ketua Program Studi Magister Biologi Medis Universitas YARSI, Yth. Dr.
Dra. Ndaru Andri Damayanti, Msc selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Biomedis Universitas YARSI dan Dr. Juniarti, S.si, M.si selaku
sekertaris Program Studi Magister Ilmu Biomedis Universitas YARSI, saya
ucapkan terima kasih atas saran yang diberikan demi perbaikan tesis ini.

ii
Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan dan rahmat-Nya kepada
beliau dan keluarga.
(3) Dr. dr.Nunung AinurRahmah, Sp.PA Dr. dan Dra. Ndaru Andri Damayanti,
selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
dalam memberikan bimbingan kepada penulis selama masa studi, penelitian,
penyusunan, dan ujian tesis.
(4) Yth. Harliansyah, M.Si., PhD, selaku dosen yang juga memberikan saran
dan masukan kepada saya dalam penulisan penelitian ini, terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya untuk bimbingan dalam bidang
biokimia, arahan, dan pencerahan yang telah diberikan kepada saya dalam
penyusunan disertasi ini.
(5) Yth. Jasno dan ridho, selaku teknisi laboratorium Farmakologi Universitas
Yarsi Jakarta, terima kasih atas bantuannya dalam pemeliharan dan
pemeberian perlakuan pada hewan uji. Semoga laboratorium Farmakologi
makin maju.
(6) Yth. Febry dan Ritzki, selaku teknisi laboratorium Histologi Universitas
Yarsi Jakarta, terima kasih atas bantuannya dalam mempermudah saya
menggunakan microscope cahaya guna menilai hasil preparat. Semoga
laboratorium Histologi makin maju
(7) Yth. dr. dewi dan Ike, selaku teknisi laboratorium Biologi dan Histologi
Universitas Indonesia Jakarta, terima kasih atas bantuannya dalam
pembuatan pewarnaan Tricom masson. Semoga laboratorium Biologi dan
Histologi makin maju
(8) Yth. Nurjaya dan Engkos, selaku teknisi laboratorium Patologi Anatomi RS.
Islam Jakarta, terima kasih atas bantuannya dalam pewarnaan hematoksilin-
eosin. Semoga laboratorium Patologi Anatomi makin maju.
(9) Yth. rekan-rekan teman sejawat Magister Biomedis Universitas YARSI, dr.
Sabrina, Agung Sadeli, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuannya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya.
(10) dr. Nabil Atta Samandari, MH. Kes selaku direktur dan seluruh jajaran
Management Rumah Sakit Kelurga Kita yang turut mendukung dalam hal
iii
kemudahan akses waktu untuk dapat penulis menyelesaikan penyusunan
penilitian tesis.
(11) Kepada adik-adikku terkasih drg. Syifa Aqyas dan Hasanul Cholid beribu
ucapan terima kasih penulis haturkan untuk dukungan yang sangat besar
hingga tesis ini dapat terselesaikan.
(12) Suamiku DR. Haris Utomo, S.STP, M.Si yang sangat mendukung secara
moril dan materi untuk dapat menyelesaikan tesis ini, Ayah Haerudin,
S.I.P dan Ibu bd Cholilah, Am. Keb yang selalu mendoakan disetiap
langkah anaknya, Rasa syukur kepada Allah SWT yang telah
menganugerahi penulis keluarga tercinta yang sangat luar biasa.
Akhir kata, kepada semua pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
per satu, yang telah membantu dan mendukung selama pendidikan dan penelitian,
dan penerbitan disertasi ini, saya ucapkan terima kasih. Semoga semua kebaikan
mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 5 September 2022

Hanna Mufliha

iv
DAFTAR ISI
I. Contents

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii
DAFTAR TABEL................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN........................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................x
ABSTRAK..............................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian..........................................3
1.2.1 Rumusan Masalah.......................................................................3
1.2.2 Pertanyaan Penelitian..................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum.............................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................4
1.4 Batasan Penelitian......................................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian.....................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Teori...........................................................................................6
2.1.1 Penyembuhan luka......................................................................6
2.1.2 Fase Proses Penyembuhan Luka.................................................7
2.1.2.1 Fase Hemostasis...........................................................7
2.1.2.2 Fase Inflamasi...............................................................8
2.1.2.3 Fase Proliferasi.............................................................9
2.1.2.4 Fase Remodeling........................................................10
2.1.3 Fibroblas....................................................................................12
2.1.4 Kolagen.....................................................................................13
2.1.5 Re-epitelisasi.............................................................................14
2.1.6 Vitamin C..................................................................................16

v
2.2 Penelitian Terdahulu................................................................................18
2.3 Kerangka Pikir.........................................................................................19
2.4 Hipotesis..................................................................................................20
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian.....................................................................................21
3.2 Subjek dan Objek Penelitian....................................................................21
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...............................................................21
3.4 Variabel dan Definisi Operasional...........................................................22
3.4.1 Variabel.....................................................................................22
3.4.2 Definisi Operasional..................................................................23
3.5 Jenis dan Metode Pengumpulan Data......................................................24
3.6 Cara Kerja................................................................................................24
3.6.1 Pemeliharaan Tikus Putih Strain Wistar...................................24
3.6.2 Pembuatan Luka Insisi..............................................................24
3.6.3 Penyuntikan Vitamin C.............................................................24
3.6.4 Pengambilan Sampel Jaringan Kulit.........................................24
3.6.5 Membuat Sediaan Histologi......................................................25
3.6.6 Pewarnaan Hemotoksilin eosin.................................................25
3.6.7 Pewarnaan Masson trichrom.....................................................26
3.7 Analisis Data............................................................................................26
3.8 Alur Penelitian.........................................................................................27
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Data............................................................................................28
4.1.1 Gambaran Histopatologi...........................................................28
4.1.2 Jumlah Fibroblas.......................................................................29
4.1.3 Kepadatan Kolagen...................................................................31
4.1.4 Ketebalan Epitel........................................................................32
4.1.5 Korelasi antara Jumlah Fibroblas dan Kapadatan Kolagen......34
4.2 Pembahasan.............................................................................................34
4.3 Kelemahan Penelitian..............................................................................38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan..............................................................................................39

vi
5.2 Saran........................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40
LAMPIRAN..........................................................................................................44

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Proses penyembuhan luka (Wilkinson, 2020).....................................7


Gambar 2. 2 Peranan vitamin C pada kulit (Wang, Jiang, Li, Qiang dan Dong,
2018)..............................................................................................17
Gambar 2. 3 Kerangka Pikir..................................................................................19

Gambar 3. 1 Alur Penelitian..................................................................................27

Gambar 4. 1 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar kontrol (A.
Hematoxilin-Eosin, 400x; B. Masson Trichrom, 100x)..................28
Gambar 4. 2 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar yang telah
diinsisi setelah penyuntikan C selama 7 hari (A. Hematoxilin-Eosin,
400x; B. Masson Trichrom, 100x)...................................................29
Gambar 4. 3 Penghitungan jumlah fibroblas pada jaringan kulit pada tikus Wistar
kontrol (A) dan yang telah diinsisi setelah penyuntikan C selama 7
hari (B) (Hematoxilin-Eosin, 400x)..................................................29
Gambar 4. 4 Penghitungan kepadatan kolagen pada jaringan kulit pada tikus
Wistar kontrol (A) dan yang telah diinsisi setelah penyuntikan C
selama 7 hari (B) (Masson Trichrom, 100x).....................................31
Gambar 4. 5 Penghitungan ketebalan epitel pada jaringan kulit pada tikus Wistar
kontrol (A) dan yang telah diinsisi setelah penyuntikan C selama 7
hari (B) (Hematoxilin-Eosin, 400x)..................................................32

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Definisi Operasional Fibroblas, Kolagen dan Epitel............................23

Tabel 4. 1 Jumlah Fibroblas pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah Penyuntikan
Vitamin C 7 Hari 30
Tabel 4. 2 Peningkatan Jumlah Fibroblas pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar
setelah Penyuntikan Vitamin C 7 Hari.................................................30
Tabel 4. 3 Kepadatan Kolagen pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah
Penyuntikan Vitamin C 7 Hari.............................................................31
Tabel 4. 4 Peningkatan Kapadatan Kolagen pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar
setelah Penyuntikan Vitamin C 7 Hari.................................................32
Tabel 4. 5 Ketebalan Epitel pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah
Penyuntikan Vitamin C 7 Hari.............................................................33
Tabel 4. 6 Peningkatan Ketebalan Epitel pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar
setelah Penyuntikan Vitamin C 7 Hari.................................................33
Tabel 4. 7 Korelasi Jumlah Fibroblas dengan Kepadatan Kolagen pada Luka Insisi
Tikus Putih Wistar setelah Penyuntikan Vitamin C 7 Hari...............34

viii
DAFTAR ISTILAH

ECM : Matriks Ekstraseluler


TGF- β 1 : Tansforming growth factor beta 1
ROS : Reactive oxygen species
RNS : Reactive nitrogen species
GF : Growth factor
PDGF : Platelet derived growth factor
FGF : Fibroblast growth factor
TGF- : Transforming growth factor-β
MMP-12 : Matrix metalloproteinase
GAG : Glycosaminoglycan
VEGF : Vascular endothelial growth factor
SPSS : Statistical Program for Social Science for Window versi 24.0
TNF : Tumr Necrosis Factor
SVCT : Sodium Vitamin C Co-Transporter
Intraseluler : Di dalam sel
Extraseluler : Di luar sel

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Lolos Kaji Etik..........................................................................44


Lampiran 2 Sertifikat Hewan Uji...........................................................................45
Lampiran 3 Konversi Hewan Uji...........................................................................47
Lampiran 4 Blok Paraffin......................................................................................49
Lampiran 5 Hasil Statistik Uji Pendahuluan..........................................................50

x
ABSTRAK

Latar Belakang: Vitamin C adalah senyawa organic yang mempunyai sifat


sebagai antioksidan yang memiliki peran penting pada jaringan ikat dalam
penyembuhan luka sebagai kofaktor untuk prolyl hidroksilase dan lisil
hidroksilase. Enzim ini mengkatalisis hidroksilasi residu prolin dan lisin dari pro-
kolagen, mendorong pelipatan yang tepat dari konformasi kolagen triple-heliks.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh penyuntikan vitamin C secara
subkutan di punggung tikus Wistar yang diinsisi sepanjang 2 cm untuk menilai
jumlah fibroblas, kepadatan kolagen, dan ketebalan epitel.
Metode: Penelitian Quasi eksperimental In vivo pada tikus putih strain Wistar.
Hewan uji dibagi dalam 2 kelompok, 8 ekor tikus Wistar pada kelompok kontrol
diberikan luka insisi pada punggung tikus tanpa perlakuan dan 8 ekor tikus Wistar
pada kelompok perlakuan diberikan luka insisi pada punggung tikus Wistar
dengan penyuntikan vitamin C selama 7 hari. Sampel menggunakan jaringan kulit
yang akan dibuat blok parafin dan preparat dengan pewarnaan Hematoxilin-Eosin
dan Masson Trichrom, yang kemudian akan dinilai dengan mikroskope cahaya.
Hasil: Menunjukan peningkatan fibroblas secara bermakna (p=0.018) dengan
peningkatan sebesar 28,08 % dibandingkan dengan kontrol, peningkatan kolagen
secara bermakna (p=0.013) dengan peningkatan sebesar hasil delta 25,75%
dibandingkan kontrol dan menunjukan ketebalan epitel secara bermakna
(p=0.004) dengan peningkatan sebesar hasil delta 34,07%. Pada uji korelasi
menunjukan bahwa tidak ada korelasi antara peningkatan jumlah fibroblas dengan
peningkatan kepadatan serat kolagen pada luka insisi tikus Wistar.
Kesimpulan: Vitamin C berpengaruh pada peningkatan jumlah fibroblas,
kepadatan kolagenb dan ketebalan epitel

Kata Kunci: Epitel, fibroblas, kolagen, vitamin C

xi
xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Luka adalah terputusnya kontinuitas struktur anatomi jaringan tubuh yang


bervariasi mulai dari yang paling sederhana seperti lapisan epitel dari kulit,
sampai lapisan yang lebih dalam seperti jaringan subkutis, lemak dan otot bahkan
tulang beserta struktur lainnya seperti tendon, pembuluh darah dan saraf, sebagai
akibat dari trauma atau ruda paksa atau trauma dari luar (Primadina et al., 2019).
Angka kejadian luka di dunia sepanjang tahun semakin meningkat (Fauziah
dan Soniya, 2020). Jumlah penduduk yang mengalami luka atau cedera secara
nasional di Indonesia meningkat dari 7,5% (2012) menjadi 8,2% (2013) yang
umumnya disebabkan oleh jatuh (40,9%) dan kecelakaan kendaraan bermotor
(40,6%) (Oktaviani et al., 2019). Di Indonesia angka infeksi untuk luka bedah
mencapai 2,3–18,3 % pada tahun 2001 dan saat ini meningkat menjadi 55,1%. Hal
tersebut menandakan semakin banyaknya terjadi komplikasi penyembuhan luka
yang menyebabkan proses inflamasi yang memanjang dan waktu penyembuhan
luka tidak dapat diperkirakan (Laut et al., 2019).
Penyembuhan luka berlangsung dalam 3 fase utama yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi dan fase maturasi atau remodelling. Fase inflamasi terjadi segera
setelah perlukaan dan mencapai puncaknya pada hari ketiga. Fase proliferasi
dimulai dengan proses epitalisasi dan granulasi yang baru pada permukaan
jaringan luka serta pembentukan vaskularisasi di sekitar jaringan yang berguna
untuk memperbaiki cedera sebelumnya (Fauziah dan Soniya, 2020). Kemudian
hari keempat hingga hari ketujuh ditandai dengan adanya fibroblas yang
jumlahnya terus meningkat selama fase ini berlangsung. Fibroblas merupakan
rangka atau struktur dasar untuk menghasilkan kolagen. Fase maturasi merupakan
fase kesembuhan luka yang berlangsung dalam jangka waktu lama (3–6 bulan
bahkan sampai tahun) (Laut et al., 2019).

1
Sel fibroblas (L. fibra, serat: Yunani. blatos, benih: Latin) memegang
peranan yang penting dalam penyembuhan luka dengan cara membentuk kembali
molekul matriks ekstraseluler (kolagen, elastin, dan retikuler), beberapa
makromolekul anionik (glikosaminoglikans, proteoglikans), glikoprotein
multiadhesive, laminin, dan fibronektin yang dapat mendorong perlekatan sel
pada substrat (Laut et al., 2019) (Arief dan Widodo, 2018). Fibroblas merupakan
faktor utama yang mendominasi kesembuhan luka sekaligus berfungsi sebagai
rangka atau struktur dasar untuk menghasilkan kolagen (Laut et al., 2019).
Kolagen merupakan protein utama dari matriks esktraseluler (ECM) yang
terdapat pada kulit yang terbentuk dari asam amino dengan struktur triple helix
yang disebut kolagen monomer, seratnya fleksibel, berdiameter 50−90 nm, dan
tahan terhadap regangan (Laut et al., 2019) (Primadina et al., 2019), (Firdauzi,
Soemartono dan Elidasari, 2016). Kolagen berperan sebagai struktur dasar
pembentuk jaringan, tersusun atas 33% glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya
berupa air, glukosa, dan galaktosa. Hidroksiprolin berasal dari residu prolin yang
mengalami proses hidroksilasi oleh enzim prolyl hydroxylase dengan bantuan
vitamin C. Hidroksiprolin hanya didapatkan pada kolagen (Primadina et al., 2019)
Re-epitelisasi adalah satu proses fase proliferasi yang terlibat dalam
penyembuhan luka (Alhasyimi et al., 2018) (Sayogo et al., 2017a). Beberapa
menit setelah terjadinya luka terjadi perubahan-perubahan morfologi pada
keratinosit pada tepi luka. Pada kulit yang luka, epidermis menebal, dan sel-sel
basal marginal melebar dan bermigrasi memenuhi defek pada luka. Suatu luka
dikatakan sembuh secara sempurna jika luka telah kembali ke struktur anatomi
jaringan, fungsi jaringan, dan penampakan secara normal dalam periode waktu
yang sesuai (Primadina et al., 2019).
Asam askorbat atau lebih dikenal dengan nama vitamin C merupakan salah
satu zat senyawa kompleks yang sangat diperlukan oleh tubuh kita yang berfungsi
sebagai pembantu pengaturan atau proses kegiatan tubuh dan banyak memberikan
manfaat bagi kesehatan tubuh (Primadina et al., 2019). Vitamin C memiliki
peranan dalam pembentukan dan mempertahankan kolagen saat penyembuhan
luka, serta dapat mencegah perdarahan yang berasal dari komponen vaskular
2
jaringan ikat (Arief dan Widodo, 2018). Dalam tubuh, vitamin C juga berperan
sebagai senyawa pembentuk kolagen yang merupakan protein penting penyusun
jaringan kulit (Permana et al., 2018).
Berdasarkan penelitian Surya Darma et al., melaporkan bahwa penyuntikan
vitamin C subcutan pada hari ke-5 di sekitar luka insisi dermal dapat
meningkatkan kepadatan kolagen. Untuk itu peneliti ingin membuktikan pengaruh
Penyuntikan subcutan vitamin C selama 7 hari terhadap peningkatan fibroblas,
kolagen, dan epitel secara Invivo pada tikus Wistar.

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Rumusan Masalah

Sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai antara 24 jam dari cedera. Vitamin C
berperan dalam membantu pembentukan dan pertumbuhan kolagen dan elastin
melalui jalur biosintetik dengan mempercepat reaksi hidroksilasi dan amidasi.
Vitamin C mempunyai fungsi sebgai ko-faktor enzim pada prolil dan lysil
hydroxylase yang membentuk ikatan hidroksiprolin dan hidroksilisin pada
fibroblast pada proses hidroksilasi yang nantinya berkaitan dengan pembentukan
kolagen. Hidroksiprolin dan hidroksilisin merupakan komponen pembentuk
kolagen, yaitu jaringan ikat pada tubuh. Penyuntikan vitamin C subcutan di
sekitar luka insisi dermal efektif dalam meningkatkan kepadatan kolagen, tetapi
belum diketahui efeknya penyuntikan vitamin C selama 7 hari. Oleh karena itu
peneliti ingin membuktikan lebih luas pengaruh penyuntikan subcutan vitamin C
selama 7 hari terhadap peningkatan fibroblas, kolagen, dan epitel secara invivo
pada luka insisi tikus Wistar.

1.2.2 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari
dapat meningkatkan pembentukan fibroblas?
2. Apakah penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari

3
dapat meningkatkan pembentukan kolagen?
3. Apakah penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari
dapat meningkatkan pembentukan epitel?
4. Apakah terdapat korelasi antara fibroblas dan kolagen setelah penyuntikan
vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh penyuntikan vitamin C terhadap jumlah fibroblast,


kepadatan kolagen, dan ketebalan epitel.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus


Wistar selama 7 hari dalam meningkatkan pembentukan fibroblas.
2. Mengetahui pengaruh penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus
Wistar selama 7 hari dalam meningkatkan pembentukan kolagen.
3. Mengetahui pengaruh penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus
Wistar selama 7 hari dalam meningkatkan pembentukan epitel.
4. Menganalisa korelasi antara fibroblas dan kolagen setelah penyuntikan
vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini terbatas pada penyuntikan vitamin C selama 7 hari setelah


luka insisi tikus Wistar, kemudian jaringan luka di eksisi dan dibuat blok paraffin.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dan Masson Tricrom
dilihat di bawah mikrosop cahaya dan dinilai peningkatan sel fibroblast, serat
kolagen, dan sel epitel.

4
1.5 Manfaat Penelitian

1. Dalam bidang penelitian diharapkan sebagai dasar untuk memahami


peningkatan jumlah sel fibroblas, serat kolagen, dan sel epitel karena
penyuntikan vitamin C.
2. Penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk penelitian lebih lanjut pada
manusia
3. Mendapatkan metode yang bisa diterapkan oleh para dokter praktek dalam
tindakan luka robek pada penyembuhan luka.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Penyembuhan luka

Kulit manusia mempunyai banyak fungsi yang penting terutama sebagai


pertahanan garis depan, melindungi tubuh dari berbagai elemen yang berasal dari
lingkungan luar tubuh. Jika terjadi luka pada kulit, integritas pertahanan kulit
menjadi terganggu dan menjadi tempat masuk berbagai mikroorganisme seperti
bakteri dan virus. Kulit juga dapat menjadi faktor penting dalam kesehatan mental
dan kondisi sosial manusia (Sayogo et al., 2017).
Kulit merupakan organ tubuh terluas dengan berat total berkisar 2,7–3,6 kg
dan menerima sepertiga dari volume darah tubuh. Ketebalan kulit bervariasi
antara 0,5–6,0 mm, terdiri dari sel-sel dan matriks ekstraselular. Struktur kulit
terdiri dari 3 lapisan, yaitu epidermis merupakan lapisan terluar kulit dan tipis,
dermis merupakan lapisan tebal dan terletak di dalam, dan lapisan di bawah
dermis terdapat jaringan lemak subkutan (hipodermis). Jaringan hipodermis
merupakan jaringan ikat longgar yang melekat di bawah dermis (Sayogo et al.,
2017).
Penyembuhan luka kulit adalah proses fisiologis penting yang terdiri dari
kolaborasi banyak strain sel dan produknya, dimana kulit memperbaiki dirinya
sendiri setelah cedera yang disebabkan oleh pembedahan, trauma, dan luka.
Proses penyembuhan secara klasik dibagi menjadi 4 fase: koagulasi (hemostasis),
inflamasi, proliferasi (granulasi), dan remodeling (pematangan) (Shedoeva et al.,
2019); (Gonzalez et al., 2016). Sedangkan menurut Ha et al,. dibagi menjadi tiga
fase, fase utama penyembuhan luka, yaitu inflamasi, proliferatif, dan remodeling
(Han dan Ceilley, 2017)
Perbaikan luka dimulai dengan hemostasis, di mana sumbat trombosit mencegah
kehilangan darah dan matriks fibrin awal terbentuk. Peradangan kemudian terjadi untuk
menghilangkan puing-puing dan mencegah infeksi, dimulai dengan masuknya neutrofil,
yang didorong oleh pelepasan histamin dari sel mast. Selama fase proliferasi, keratinosit

6
bermigrasi untuk menutup celah luka, reformasi pembuluh darah melalui angiogenesis,
dan fibroblas menggantikan bekuan fibrin awal dengan jaringan granulasi. Makrofag dan
sel T regulator (Treg) juga penting untuk tahap penyembuhan ini. Akhirnya, matriks yang
diendapkan dirombak lebih lanjut oleh fibroblas. Monosit tiba kemudian dan
berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan untuk membersihkan sisa sel dan neutrofil.
(Wilkinson et al,. 2020) yang dijelakan pada gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Proses penyembuhan luka (Wilkinson, 2020)

2.1.2 Fase Proses Penyembuhan Luka

2.1.2.1 Fase Hemostasis

Hemostasis terjadi segera setelah terjadi trauma yang bertujuan untuk


menghentikan pendarahan dengan cara pembuluh darah yang terbuka mengalami
vasokonstriksi dan platelet teraktifasi lalu saling menempel dan beragregasi di
daerah luka. Platelet diaktifasi oleh kolagen ekstraselular (tipe I). Begitu platelet
berinteraksi dengan kolagen, platelet akan melepaskan mediator (faktor
7
pertumbuhan dan cyclic AMP) dan glikoprotein, yang memberi sinyal kepada
platelet untuk menjadi lebih lengket dan berakumulasi. Granul α-platelet
melepaskan glikoprotein berupa fibrinogen, fibronektin, dan thrombospondin.
Saat terjadi agregasi platelet, faktor pembekuan darah dilepaskan menyebabkan
fibrin mengendap di daerah luka (Sayogo et al, 2017).

2.1.2.2 Fase Inflamasi

Inflamasi atau peradangan adalah respons jaringan terlokalisasi yang


dilepaskan oleh lesi sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. Sel inflamasi
memainkan peran penting dalam penyembuhan luka, dan berkontribusi pada
pelepasan enzim lisosom dan spesies oksigen reaktif (Gonzalez et al., 2016).
Respon sel pada tahap inflamasi ditandai dengan masuknya leukosit di area luka
yang dibuat dalam 24 jam pertama dan dapat diperpanjang hingga dua hari
(Gonzalez et al., 2016).
Permeabilitas vaskular meningkat dengan vasodilatas, monosit darah
menyusup ke lokasi cedera dan berdiferensiasi menjadi makrofag, melepaskan
protease untuk menghilangkan luka, dan mengeluarkan campuran molekul
bioaktif, termasuk mengubah faktor pertumbuhant transforming growth
factor beta 1 (TGF- β 1) yang merangsang migrasi fibroblas dan sel epitel
(Shedoeva et al., 2019). Pada awal fase inflamasi, faktor kemotaktik yang
disekresikan akan menarik neutrofil dan makrofag untuk menghancurkan jaringan
yag rusak dengan bantuan proteinase, reactive oxygen species (ROS), dan
reactive nitrogen species (RNS). Sekresi pro-inflamasi dipengaruhi oleh sitokin,
kontinuitas epidermis terbentuk kembali dalam 24–48 jam. Pada hari ke-5, ruang
insisi diisi dengan jaringan granulasi dan neovaskularisasi sudah maksimal.
Selama minggu ke-2, terjadi akumulasi dan proliferasi fibroblas secara terus
menerus. Pada akhir bulan ke-1, bekas luka terdiri dari jaringan ikat seluler tanpa
infiltrasi inflamasi, ditutupi oleh epidermis utuh (Chhabra et al., 2017). Neutrofil
bermigrasi ke lokasi luka yang menimbulkan puing-puing asing dan membunuh
bakteri dengan fagositosis dan melepaskan enzim proteolitik. Makrofag tidak

8
hanya memfagosit dan mencerna puing-puing jaringan dan sisa neutrofil tetapi
juga mengeluarkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang mendorong proliferasi
jaringan dan migrasi sel (Han dan Ceilley, 2017) (PH et al., 2020) (Reginata et al,
2016).
Dalam respon inflamasi vaskular, pembuluh darah yang mengalami lesi
berkontraksi dan darah yang bocor menggumpal, berkontribusi pada pemeliharaan
integritasnya. Koagulasi terdiri dari agregasi trombosit dan trombosit dalam
jaringan fibrin, bergantung pada aksi faktor-faktor spesifik melalui aktivasi dan
agregasi sel-sel ini. Jaringan fibrin, selain membangun kembali homeostasis dan
membentuk penghalang terhadap invasi mikroorganisme, mengatur matriks
sementara yang diperlukan untuk migrasi sel (Gonzalez et al., 2016).

2.1.2.3 Fase Proliferasi

Fase proliferasi dimulai sekitar 3 hari setelah luka, melibatkan berbagai


aktivitas termasuk angiogenesis (oleh sel endotel), pembentukan jaringan
granulasi (oleh fibroblas), dan re-epitelisasi (oleh keratinosit). Pada tahap ini,
fibroblas menghasilkan sejumlah besar extracellular matrix (ECM), terutama
kolagen, untuk membentuk jaringan granulasi yang menggantikan jaringan yang
rusak. Sementara itu, keratinosit bermigrasi, berproliferasi, membedakan, dan
membentuk kembali epidermis fungsional (re-epitelisasi), menutup lesi, dan
melindungi jaringan di bawahnya dari trauma lebih lanjut. Saat luka matang,
karakteristik jaringan granulasi extracellular matrix (ECM) yang tidak teratur
secara aktif direnovasi oleh populasi sel fibroblas dermal, yang jumlahnya
semakin berkurang melalui apoptosis. Hasil penyembuhan luka adalah jaringan
parut (fibrosis) dengan fibroblas yang tersebar jarang dalam extracellular matrix
(ECM) yang kaya kolagen (Shedoeva et al., 2019).
Ketika terjadi kehilangan sel yang lebih luas, atau permukaan luka yang
menyebabkan kerusakan besar, proses reparatif menjadi lebih rumit. Jaringan
granulasi tumbuh dari tepi untuk menyelesaikan perbaikan, luka ini sembuh
dengan bekas luka yang jelek, ini disebut sebagai penyembuhan sekunder. Ini

9
berbeda dengan penyembuhan primer dalam beberapa hal. Pada penyembuhan
sekunder terjadi reaksi radang yang lebih intens, jumlah jaringan granulasi yang
jauh lebih besar terbentuk, dan kontraksi luka jauh lebih banyak (Chhabra et al.,
2017). Tujuan dari tahap proliferasi adalah untuk mengurangi area jaringan yang
mengalami lesi dengan kontraksi dan fibroplasia, membentuk penghalang epitel
yang layak untuk mengaktifkan keratinosit. Tahap ini bertanggung jawab untuk
menutup lesi itu sendiri, yang meliputi angiogenesis, fibroplasia, dan re-
epitelisasi. Proses ini dimulai di lingkungan mikro lesi dalam 48 jam pertama dan
dapat berkembang hingga 14 jam sehari setelah timbulnya lesi (Gonzalez et al.,
2016). Proses kontraksi luka dimulai pada tahap ini dilakukan oleh fibroblas yang
kaya akan aktin otot polos-α (myofibroblast). Sel-sel tersebut terakumulasi di
perbatasan luka, melakukan aktivitas kontraktif, dan mengkontraksikan batas lesi
ke arah tengah. Paralel dengan semua peristiwa yang disebutkan di atas, sel
lapisan epitel, melalui aksi sitokin tertentu, berkembang biak, dan bermigrasi dari
tepi luka dalam upaya untuk menutupnya, yang disebut re-epitelisasi. Re-
epitelisasi luka oleh keratinosit dilakukan dengan kombinasi tahap proliferasi
dengan migrasi sel di dekat lesi (Gonzalez et al., 2016).
Tahap proliferasi dimulai dengan proses epitelisasi dan granulasi yang baru
pada permukaan jaringan luka serta pembentukan vaskularisasi di sekitar jaringan
yang berguna untuk memperbaiki cedera sebelumnya (PH et al., 2020), yang
berpuncak pada konversi monosit menjadi makrofag, yang sering dianggap
sebagai pengatur utama dari fase inflamasi penyembuhan luka ini. Sementara itu,
sel endotel memasuki fase pertumbuhan yang cepat dan angiogenesis terjadi di
dalam jaringan granulasi, menciptakan jaringan pembuluh darah yang kaya yang
memasok area penyembuhan yang sangat aktif ini setelah sekitar 2–3 minggu
(Han dan Ceilley, 2017).

2.1.2.4 Fase Remodeling

Fase ketiga penyembuhan terdiri dari remodeling, yang dimulai 2–3 minggu
setelah onset lesi dan dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih. Tujuan inti

10
dari tahap remodeling adalah untuk mencapai kekuatan tarik maksimum melalui
re-organisasi, degradasi, dan re-sintesis matriks ekstraseluler. Pada tahap akhir
penyembuhan lesi ini, upaya untuk memulihkan struktur jaringan normal terjadi,
dan jaringan granulasi secara bertahap direnovasi, membentuk jaringan parut yang
kurang seluler dan vaskular, dan menunjukkan peningkatan progresif dalam
konsentrasi serat kolagen (Gonzalez et al., 2016).
Tahap ini ditandai dengan pematangan elemen dengan perubahan dalam
pada matriks ekstraseluler dan resolusi inflamasi awal. Segera setelah permukaan
lesi ditutupi oleh lapisan tunggal keratinosit, migrasi epidermisnya berhenti dan
epidermis bertingkat baru dengan lamina basal yang berada di bawahnya
terbentuk kembali dari tepi luka ke bagian dalamnya. Pada tahap ini terjadi
pengendapan matriks dan selanjutnya terjadi perubahan komposisinya. Dengan
penutupan luka, kolagen tipe III mengalami degradasi, dan sintesis kolagen tipe I
meningkat. Selama renovasi, terjadi pengurangan asam hialuronat dan fibronektat
yang terdegradasi oleh sel dan metaloproteinase plasmatik, dan ekspresi kolagen
tipe I yang tumbuh yang disebutkan di atas diproses secara bersamaan (Gonzalez
et al., 2016). Selama proses pematangan dan pembentukan kembali, sebagian
besar pembuluh darah, fibroblas, dan sel inflamasi menghilang dari area luka
karena proses emigrasi, apoptosis, atau mekanisme kematian sel lain yang tidak
diketahui. Fakta ini mengarah pada pembentukan bekas luka dengan jumlah sel
yang berkurang. Pada tahap selanjutnya, fibroblas dari jaringan granulasi
mengubah fenotipnya dan mulai mengekspresikan aktin otot polos (miofibroblas)
untuk sementara waktu (Gonzalez et al., 2016). Myofibroblast memperoleh
beberapa sifat kontraksi dari sel otot polos, bergerak lebih dekat ke batas luka dan
bertanggung jawab atas kontraksi. Miofibroblas adalah produsen utama matriks
ekstraseluler dalam proses fibrosis (Gonzalez et al., 2016).
Matriks ekstraseluler bukanlah elemen statis dan mampu memainkan peran
yang relevan dalam tahap perbaikan jaringan ini melalui interaksi antara
komponen strukturalnya dan berbagai jenis sel yang ada dalam jaringan.
Komponen struktural seperti itu, yang diwakili oleh protein seperti kolagen,
fibronektin, fibrin, antara lain memberi tanda dan melepaskan aktivitas sel tertentu
11
di area luka. Fibronektin memungkinkan terjadinya adhesi dan migrasi sel,
glikoprotein adhesif lain, vitronektin, dapat berkontribusi pada kontraksi jaringan
yang dimediasi oleh kolagen yang diproduksi oleh fibroblas (Gonzalez et al.,
2016).

2.1.3 Fibroblas

Fibroblas adalah sel dermal, dan bersifat beda dari sel-sel mesenkim.
Fibroblas bertanggung jawab untuk sintesis dan degradasi serat dan protein metrix
extracellular matriks (Shin et al., 2019). Fibroblas memproduksi matriks
ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan menyediakan landasan untuk
migrasi keratinosit. Matriks ekstraselular inilah yang menjadi komponen yang
paling nampak pada skar di kulit. Makrofag memproduksi growth factor (GF)
seperti platelet derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF),
dan transforming growth factor-β (TGF-) yang menginduksi fibroblas untuk
berproliferasi, migrasi, dan membentuk matriks ekstraselular. Dengan bantuan
matrix metalloproteinase (MMP-12), fibroblas mencerna matriks fibrin dan
menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG). Dengan berjalannya waktu,
matriks ekstraselular ini akan digantikan oleh kolagen tipe III yang juga
diproduksi oleh fibroblas. Kolagen ini tersusun atas 33% glisin, 25%
hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa, dan galaktosa. Hidroksiprolin
berasal dari residu prolin yang mengalami proses hidroksilasi oleh enzim prolyl
hydroxylase dengan bantuan vitamin C (Permana, Santoso dan Dewi, 2018).
Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase
maturasi. Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF-2),
angiopoietin-1, dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk
neovaskular melalui proses angiogenesis (Primadina, Basori, Perdanakusuma,
2019).
Pada kulit muda, fibroblas melekat pada extracellular matrix (ECM) utuh di
sekitarnya yang sebagian besar terdiri dari kolagen tipe 1, memungkinkan

12
fibroblas mengerahkan gaya mekanis pada ECM sekitarnya, dan untuk menyebar
serta mempertahankan bentuk memanjang yang normal. Pada kulit yang menua,
perlekatan fibroblas terganggu karena degradasi ECM yang progresif sehingga
mengakibatkan pengurangan ukuran fibroblas, penurunan elongasi, dan
morfologi. Pengurangan penyebaran fibroblas dermal dan ukuran sel juga dapat
meningkatkan pembentukan ROS mitokondria (Shin et al., 2019).

Fibroblas mengeluarkan matriks ekstraseluler, memediasi proses reparatif


dan fibrotik. Fibroblas memainkan peran kunci dalam penyembuhan luka tetapi
juga sebagai mediator fibrosis (Tabib et al., 2018).

2.1.4 Kolagen

Kolagen merupakan protein utama dari matriks esktraseluler yang terdapat


pada kulit yang terbentuk dari asam amino dengan struktur triple helix yang
disebut kolagen monomer, seratnya fleksibel, berdiameter 50–90 nm, dan tahan
terhadap regangan. Kolagen berperan sebagai struktur dasar pembentuk jaringan
dan dapat ditemukan pada semua jaringan ikat longgar, tendon, tulang, ligamen,
dan struktur penting untuk mempertahankan integritas organ dalam. Tiga kelas
kolagen utama yang normal terdapat dalam jaringan ikat, yaitu: (1) Kolagen
fibrillar (Kolagen tipe I, III dan V); (2) Kolagen membran basalis (Kolagen tipe
IV); dan (3) Kolagen interstisial lain (Kolagen tipe VI, VII dan VIII). Kolagen
pada kulit yang umum ditemukan adalah kolagen tipe I dan tipe III. Kolagen pada
kulit dapat ditemukan pada lapisan retikuler dan papiler, lapisan tipis serat
kolagen yang mengelilingi pembuluh darah pada dermis. Sekitar 80% kolagen
pada kulit normal adalah kolagen tipe I, sisanya adalah kolagen tipe III
(Primadina, et al.,2019).
Asam amino paling umum adalah prolin atau turunannya hidroksiprolin,
asam amino ini sering menempati posisi X atau Y. Prolin dan hidroksiprolin
merupakan 23% kandungan asam amino molekul kolagen. Hidroksiprolin dalam
tubuh, 99,8% ditemukan dalam kolagen sehingga membuat pengujian asam amino
ini berguna sebagai penanda untuk jumlah total kolagen, sebagai indikasi positif

13
perkembangan penyembuhan luka (Caetano et al., 2016)(Albaugh et al 2017).
Superfamili kolagen dibagi lagi menjadi delapan, termasuk kolagen tipe I
dan III, komponen paling melimpah dari ECM pada lapisan dermal kulit
(Davison, et al 2019).

2.1.5 Re-epitelisasi

Suatu luka dikatakan sembuh jika terjadi proses re-epitelisasi sempurna,


yaitu proses pembentukan jaringan epitel hingga menutupi seluruh permukaan
luka. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan keratinosit, yang memberikan
barrier antara lingkungan dan organisme, sehingga melindunginya dari agen dan
patogen eksternal, dan membatasi hilangnya cairan. Integumen ini terus
dipertahankan oleh keratinosit. Keratinosit tidak hanya penting dalam menjaga
epidermis tapi juga memulihkannya setelah cedera. Pada luka kulit akut, karena
barier terganggu, maka neutrofil, monosit, dan makrofag direkrut ke lokasi cedera.
Selanjutnya, keratinosit menjadi aktif, dan proses aktivasi dicapai dengan
mengekspresikan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan (Primadina, et al.,
2019)
Re-epitelisasi merupakan fase proliferasi dari proses penyembuhan luka
yang dimulai 24 jam setelah terjadi luka. Ketika re-epitelisasi telah selesai epitel
permukaan kembali ke bentuk semula, dan terbentuk ikatan desmosom baru
dengan sel epitel yang lain serta ikatan hemidesmosom pada membran basal yang
diperbaiki (Alhasyimi, et al.,2018). Re-epitelisasi juga dipercepat oleh vitamin C
yaitu dengan memberi sinyal pada molekul khusus (integrin) yang berfungsi
sebagai pengikat antara sel-sel epidermal ke membran basal saat re-epitelisasi
(Alhasyimi, et al.,2018).
Keratinosit mulai berpindah ke daerah perlukaan sekitar 24 jam setelah
perlukaan. (Alhasyimi, et al., 2018). Secara simultan, sel-sel basal pada epitelium
bergerak dari daerah tepi luka menuju daerah luka dan menutupi daerah luka.
Pada tepi luka, sel keratinosit akan berproliferasi kemudian bermigrasi dari
membran basal ke permukaan luka. Ketika bermigrasi, keratinosit akan menjadi
pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Mereka

14
akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor
spesifik integrin (Medika, et al., 2019). Saat terbentuk matriks provisional,
keratinosit akan berubah fenotipnya dari stationary menjadi migratory.
Keratinosit yang berasal dari lapisan basal epitel pada tepi jaringan luka
melarutkan ikatan hemidesmosom dan lepas dari membran basal kemudian
berpindah secara cepat menyeberangi luka hingga mencapai tepi luka. Selanjutnya
terjadi peningkatan pembelahan sel menyebabkan diferensiasi untuk membentuk
jaringan epitel kembali normal (Alhasyimi, et al., 2018). Proliferasi maksimal
keratinosit terjadi 48–72 jam setelah perlukaan. Dua hari setelah perlukaan
keratinosit mulai aktif berproliferasi yang distimulasi oleh pelepasan epidermal
growth factor, transforming growth factor-α, dan keratinocyte growth factor. Saat
terbentuk membran basal baru, maka fenotip keratinosit akan kembali pada
fenotip stationary dan mulai aktif berproliferasi (Alhasyimi, et al.,2018).
Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks
dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Sel keratinosit yang telah
bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel epitel ini akan bermigrasi di atas
matriks provisional menuju ke tengah luka, bila sel-sel epitel ini telah bertemu di
tengah luka, migrasi sel akan berhenti dan pembentukan membran basalis dimulai
(Primadina, et al.,2019).
Proses biologis yang terjadi pada transisi epitel-mesenkim memungkinkan
sel epitel terpolarisasi mengalami perubahan molekuler, memperoleh fenotip
mesenkim, dengan kapasitas migrasi melalui matriks ekstraseluler, ketahanan
terhadap apoptosis, dan peningkatan produksi komponen matriks (Gonzalez, et
al., 2016). Tiga jenis transisi epitel-mesenkim telah diketahui, tipe I terjadi ketika
jaringan terbentuk selama embriogenesis, seperti yang dapat dilihat pada fibroblas
dermal jaringan ikat yang memberikan tanda-tanda penentuan posisi, jenis kulit,
dan pelengkap kulit lainnya yang akan membedakan dirinya menjadi epidermis
yang menyeluruh. Transisi epitel-mesenkim juga terjadi pada jaringan dewasa
sebagai reaksi terhadap renovasi dan fibrosis (tipe II). Proses metastasis (tipe III)
termasuk sel karsinoma yang mengalami konversi fenotip dan memperoleh
mobilitas, menggunakan program transisi epitel-mesenkim yang biasanya
15
berfungsi untuk menghasilkan fibroblas dewasa. Transisi epitel-mesenkim tipe II
dikaitkan dengan penyembuhan jaringan, regenerasi, dan fibrosis. Peristiwa
semacam itu, terkait dengan perbaikan jaringan, menciptakan fibroblas dan sel-sel
lain yang terkait dengan tujuan merekonstruksi jaringan akibat trauma dan
peradangan. Jenis transisi epitel-mesenkim ini terkait dengan peradangan, berhenti
segera setelah diatasi. Melalui analisis molekuler dimungkinkan untuk
mengidentifikasi sebagian besar faktor morfogenik yang meliputi jaringan tanda
antara epitel dan mesenkim.
Mekanisme pensinyalan Wnt dan Notch terlibat dalam mendefinisikan
diferensiasi terminal dari sel-sel yang berpartisipasi dalam perbaikan jaringan
kulit (Gonzalez et al., 2016).

2.1.6 Vitamin C
Luka yang sembuh adalah ekspresi yang jelas dari urutan yang rumit dari
respons seluler dan biokimia yang diarahkan untuk memulihkan integritas
jaringan dan kapasitas fungsional setelah cedera (Chhabra et al., 2017).
Vitamin C merupakan salah satu zat senyawa kompleks yang sangat
diperlukan oleh tubuh kita yang berfungsi sebagai pembantu pengaturan atau
proses kegiatan. Vitamin C banyak memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.
Vitamin C memiliki peranan dalam pembentukan dan mempertahankan kolagen
saat penyembuhan luka serta dapat mencegah perdarahan yang berasal dari
komponen vaskular jaringan ikat. Dalam tubuh, vitamin C juga berperan sebagai
senyawa pembentuk kolagen yang merupakan protein penting penyusun jaringan
(Permana, et al., 2018) (Arief dan Widodo, 2018)
Vitamin C adalah karbohidrat sederhana dengan berat molekul rendah yang
larut dalam air dengan peran mendasar dalam pemeliharaan berbagai aktivitas
biologis (DePhillipo et al., 2018) (Wang, et al., 2018). Vitamin C memiliki peran
penting dalam penyembuhan jaringan ikat, menjadi ko-faktor untuk prolyl
hidroksilase dan lisil hidroksilase. Enzim ini mengkatalisis hidroksilasi residu
prolin dan lisin dari pro-kolagen, mendorong pelipatan yang tepat dari konformasi
kolagen triple-heliks yang stabil (DePhillipo et al., 2018).
Vitamin C bertindak sebagai ko-faktor untuk enzim esensial dalam
16
biosintesis kolagen, terutama tipe I dan tipe III. Molekul-molekul ini banyak
terdapat dalam matriks ekstraseluler dermis dan membantu mendukung kulit.
Vitamin C mampu meningkatkan kadar mRNA dengan secara langsung
merangsang sintesis kolagen di kulit. Selain itu meningkatkan produksi
penghambat metaloproteinase dan menghindari degradasi kolagen yang ada
(Maione-Silva et al., 2019).
Vitamin C secara aktif terakumulasi ke dalam sel epidermal dan dermal
melalui dua pengangkut vitamin C yang bergantung pada natrium (SVCT) isoform
1 dan 2, menunjukkan bahwa vitamin memiliki fungsi penting di dalam kulit
(Carr, et al.,2017). Pengangkut natrium-askorbat (SVCT) atau pengangkut vitamin
C yang bergantung pada natrium, terdapat di berbagai jaringan dan organ untuk
pengambilan dan pengangkutan vitamin C. SVCT1 terutama bertanggung jawab
untuk pengangkutan vitamin C epidermal, sedangkan SVCT2 bertanggung jawab
untuk pengangkutan intradermal. SVCT2 dalam sel dermal (seperti fibroblas)
menggunakan asam askorbat yang diangkut dari plasma ke epidermis, dan SVCT1
di epidermis memasok asam askorbat ke keratinosi. Pengangkut SVCT2 dalam
serat di dermis mengangkut vitamin C dari darah ke dalam sel. Jika SVCT2 ada di
dalam fibroblast, SVCT2 dapat mengikat ke Mg 2+. Di sisi lain, ketika SVCT2
terpapar pada permukaan membran fibroblas, SVCT2 dapat mengikat kedua Mg
2+ dan Ca 2+ larutan natrium konsentrasi tinggi dan kemudian menjadi keadaan
berafinitas tinggi dan berikatan dengan vitamin C. Vitamin C dapat diangkut ke
dalam sel setelah mengikat SVCT1 pada membran keratinosit dan kemudian
didistribusikan secara terpisah dalam keratinosit epidermal (Wang, et al., 2018).

17
Gambar 2. 2 Peranan vitamin C pada kulit (Wang, Jiang, Li, Qiang dan Dong, 2018)

Vitamin C berperan sebagai senyawa yang mampu mempercepat proses


penyembuhan luka (Alhasyimi, et al.,2018). Kekurangan vitamin C
mengakibatkan gangguan penyembuhan dan telah dikaitkan dengan penurunan
sintesis kolagen dan proliferasi fibroblast, penurunan angiogenesis, dan
peningkatan kerapuhan kapiler (Chhabra et al., 2017)

2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan paparan sebelumnya telah penyuntikan vitamin c secara


subcutan dapat berpengaruh terhadap peningkatan beberapa komponen sel dalam
stuktur lapisan kulit
1. Penelitian oleh Darma, et al yang berjudul efek pemberian suntikan
subkutan vitamin melaporkan bahwa penyuntikan vitamin C subkutan di
sekitar luka insisi dermal efektif dalam meningkatan kepadatan kolagen.
2. Penelitian oleh Mohammed, et al yang berjudul vitamin C promotes
wound healing through novel pleiotropic mechanisms melaporkan bahwa
vitamin C menguntungkan pada proliferasi. Analisis histologis
menunjukkan peningkatan deposisi matriks luka, mengurangi ekspresi
mediator pro-inflamasi, ekspresi mediator penyembuhan luka yang lebih
tinggi, dan mempromosikan proliferasi fibroblas. Vitamin C secara

18
menguntungkan berdampak pada ekspresi transkrip spatiotemporal yang
terkait dengan resolusi awal peradangan dan remodeling jaringan.

2.3 Kerangka Pikir


INCISI / TRAUMA Disrupsi vaskuler

makrofag

IL 1, IL 4, IL 6, TNF PDGF, FGF, TGF,


VEGF, VEGF

Angiogenesis

Proliferasi fibrolas dan re-epitelisasi

2+
Oksigen, fe , Vit C ECM
Hidroksilasi Prolin dan lysin

PROTOKOLAGEN
19

PROKOLAGEN
Gambar 2. 3 Kerangka Pikir

Pengaruh penyuntikan vitamin C terhadap jumlah fibroblas, kepadatan kolagen, dan


ketebalan epitel

2.4 Hipotesis
Penyuntikan vitamin C selama 7 hari pada luka insisi tikus Wistar dapat
meningkatkan jumlah fibroblas, kepadatan kolagen, dan ketebalan epitel dan tidak
ada korelasi antara jumlah fibroblas dengan kepadatan kolagen

20
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian Quasi eksperimental In vivo pada tikus
putih strain Wistar dengan design post test only. Merupakan penelitian
eksperimental yang memberikan manupulasi terhadap variabel independen, tetapi
tanpa randomisasi dalam pemilahan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan fibroblas, peningkatan serat
kolagen, dan peningkatan epitel setelah diberikan perlakuan penyuntikan vitamin
C pada luka insisi punggung tikus Wistar sepanjang 2 cm selama 7 hari.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Subjek Penelitian: Tikus putih strain Wistar (Rattus norvegicus L.).


Objek Penelitian: Sel fibroblas, serat kolagen, dan sel epitel.
Pemeliharaan tikus putih strain Wistar (Rattus norvegicus L.) genus Rattus
species Rattus norvegicus dilakukan di laboratorium Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI Jakarta. Pewarnaan Masson’s trichrom dilakukan di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dan pewarnaan Hematoksilin Eosin dilakukan
di Rumah Sakit Islam Jakarta. Pelaksanaan pengambilan sampel dan pengerjaan
21
penelitian dilakukan pada April 2021– Agustus 2022.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi berupa tikus putih strain Wistar (Rattus norvegicus L.) genus
Rattus species Rattus Norvegicus diperoleh dari Animal Center For Research dan
telah tersertifikasi oleh Kesehatan Hewan dari Dinas Perternakan dan Perikanan
Kabupaten karanganyar yang disayat daerah punggung tikus putih strain Wistar,
yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. K adalah kelompok kontrol tikus putih strain Wistar tanpa penyuntikan
vitamin C pada luka insisi punggung tikus sepanjang 2 cm selama 7 hari
2. P adalah kelompok tikus putih strain Wistar yang diberikan perlakuan
penyuntikan vitamin C selama 7 hari pada luka insisi punggung tikus
sepanjang 2 cm
Penetapan jumlah sampel sebanyak 16 ekor tikus dibagi menjadi 2 kelompok
dilakukan dengan menggunakan metode Purposive sampling. Sampel Penelitian
adalah tikus putih strain Wistar (Rattus norvegicus L.) genus Rattus species
Rattus Norvegicus yang di ambil jaringan kulit di punggung kurang lebih 3 x 3 cm
dengan kedalaman 0,1 cm. Selanjutnya dilakukan pembuatan blok paraffin,
pewarnaan Masson’s trichrom untuk pemeriksaan serat kolagen sedangkan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin untuk pemeriksaan epitel dan fibroblas, dengan
kriteria inklusi:
a. Keturunan murni
b. Usia dua sampai 2−3 bulan
c. Berat 200–300 gram
d. Tidak ada abnormalitas anatomis yang tampak
e. Tikus dalam keadaan sehat
f. Tikus jantan
Kriteria eksklusi:
a. Sakit selama masa adaptasi
b. Infeksi selama perlakuan percobaan berlangsung
c. Mati selama perlakuan percobaan berlangsung

22
3.4 Variabel dan Definisi Operasional
3.4.1 Variabel
Variabel bebas : Vitamin C
Variabel terikat : Sel fibroblas, serat kolagen, dan sel epitel

3.4.2 Definisi Operasional


Tabel 3. 1 Definisi Operasional Fibroblas, Kolagen dan Epitel

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
1 Fibroblas sel yang Jumlah Mikroskop Jumlah Rasio
mesintesis  fibroblas cahaya (numerik)
matriks dihitung dengan
ekstraseluler  (dilihat 3 pewarnaan
dan kolagen lapang Hematoksilin
pandang, pada Eosin,
objek penghitungan
pembesaran dengan
400x). Nilai Image raster
rerata
2 Kolagen Serat protein Kepadatan Mikroskop µm Rasio
yang kolagen cahaya (numerik)
memberikan (dilihat 3 dengan
kekuatan lapang pewarnaan
dan tekstur pandang, pada Masson’s
yang objek trichrom,
elastis pada  pembesaran penghitungan
kulit 100x). Rerata dengan
dibagi Image raster
kepadatan
kolagen
normal
3 Re- Tahapan Ketebalan Mikroskop µm Rasio

23
epitelisasi perbaikan epitel dinilai cahaya (numerik)
luka yang (dilihat 3 dengan
meliputi lapang pewarnaan
mobilisasi, pandang, pada Hematoksilin
migrasi, objek Eosin, ,
mitosis, dan pembesaran penghitungan
diferensiasi 400x). Rerata dengan
sel epitel. dibagi Image raster
ketebalan
epitel normal

3.5 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah berupa data primer,
karena data diambil secara langsung dengan melakukan sebuah
eksperimen/percobaan. Metode pengumpulan data dengan membaca preparat
yang dilihat di bawah microskop cahaya sebanyak 3 lapang pandang

3.6 Cara Kerja

3.6.1 Pemeliharaan Tikus Putih Strain Wistar

Tikus ini akan diadaptasi selama 7 hari, pembersihan kandang juga


dilakukan setiap hari agar tidak terjadi infeksi dari kandang yang kotor
(Alfiaturrohmah et al., 2020)

3.6.2 Pembuatan Luka Insisi

Tikus dianastesi dengan Ketamine dan Xylazine secara intramuskular


menggunakan spuit 1 cc. Setelah anastesi bekerja dilakukan pencukuran bulu tikus
pada bagian punggung dengan bentuk persegi panjang dan luas (panjang 3 cm x
lebar 3 cm) menggunakan gunting. Tikus diberi sayatan luka dengan ukuran
panjang 2 cm di punggung menggunakan scalpel No.11 pada hari pertama.

24
3.6.3 Penyuntikan Vitamin C

Dosis vitamin C dari manusia 500 mg, dikonversikan ke mencit dengfan


asumsi berat rata-rata 200 mg menggunakan koefisien konversi 0.018 sehingga
didapatkan dosis vitamin C injeksi sebanyak 9 mg. Disiapkan berdasarkan
perhitungan menggunakan spuit 1 cc disuntikan subcutan di daerah luka insisi
setiap hari, sehari sekali selama 7 hari pada kelompok perlakuan.

3.6.4 Pengambilan Sampel Jaringan Kulit

Tikus diposisikan pronasi dan diinjeksi ketamin dan xylazine (50 mg/kg +
10 mg/kg intraperitoneal) sebagai anestesi. Tikus yang pingsan kemudian
dibersihkan dahulu di area luka sayatan dengan alkohol swab. Kemudian diambil
sampel jaringan kulit yang terdapat luka sayatan sebesar 3 x 3 cm² dengan blade
steril.

3.6.5 Membuat Sediaan Histologi

Wadah pot yang sudah diberi lebel untuk setiap jaringan diisi cairan
formalin buffer 10% , dengan volume ± 5 kali volume jaringan. Jaringan
dimasukkan dalam wadah secepat mungkin, kurang dari 30 menit setelah
terminasi. Dilakukan processing jaringan, dengan tahapan sebagai berikut :
a. Formalin 10% selama 0 sampai 3 jam
b. Tahap dehidrasi :
1) Formalin 10% bufer 1 jam
2) Alkohol 70% 1 jam
3) Alkohol 80% 1 jam
4) Alkohol 96% 1 jam
5) Alkohol 100% 1 jam
6) Alkohol 100% 1 jam
7) Xylol I 1 jam
8) Xylol II 1 jam

25
9) Xylol III 1 jam
d. Impregnasi :
1) Parafin I 1 jam
2) Paraffin II 1 jam
Pembuatan blok parafin dengan cara jaringan dimasukkan dalam base mould dan
diisi parafin cair kemudian parafin dibiarkan membeku dan diletakkan pada
lempeng pendingin dengan suhu 20−25°C. Blok jaringan dipotong dengan
mikrotom putar, dengan ketebalan 3−4 mikron. Pita parafin hasil pemotongan
diletakkan pada floating bath dan ditempelkan pada kaca benda. Kaca benda
dengan pita parafin diletakkan pada lempeng penghangat dengan suhu 60°C.

3.6.6 Pewarnaan Hemotoksilin eosin

Menghilangkan paraffin pada slide, kemudian direndam di xilol I 1−5


menit, di xilol II 5 menit, di bilas alkohol 96 %, lalu dibilas air mengalir,
ditiriskan dan dimasukkan ke dalam Hematoxilin 5 menit, dibilas air mengalir 10
menit, dibilas HCl satu celupan dibilas air mengalir 5 menit, dicelupkan ke litium
karbonat, dibilas air mengalir 10 menit. Lalu direndam dalam eosin 1−3 menit,
dibilas alkohol 96% 3 celupan, dibilas alkohol 96% 3 celupan, dibilas alkohol
96% 3 celupan, alkohol 100% 3 celupan. Lalu masuk ke xilol-phenol 7 celupan,
xilol-phenol 7 celupan, xilol 7 celupan, xilol 7 celupan, xilol 7 celupan, lalu
diberikan entelan lalu ditutup dgn coverglass, siap untuk dilihat di mikroskop
cahaya.

3.6.7 Pewarnaan Masson trichrom

Pada pemeriksaan kepadatan kolagen di jaringan menggunakan teknik


pewarnaan Masson’s Trichrome. Tahap awal preparat insisi dideparafinisasi dan
dibilas aquades selama beberapa detik. Kemudian direndam dalam larutan
mordant dan Carrazi’s hematoksilin masing-masing selama 40 menit serta dibilas
aquades setiap selesai perendaman. Selanjutnya direndam dalam pewarna orange-
G 0,75% selama 2 menit. Object glass lalu dimasukkan dalam larutan asam asetat
1% selama beberapa detik, kemudian dimasukkan ke dalam larutan pewarna
ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit dan setelahnya dimasukkan lagi ke
26
larutan asam asetat 1% selama beberapa detik. Preparat pada object glass yang
sudah siap dianalisa menggunakan microskop cahaya. Pengamatan kepadatan
kolagen berupa hasil perhitungan rata - rata jaringan ikat yang berwarna biru pada
1-3 lapang pandang mikroskop cahaya dengan perbesar 100x.

3.7 Analisis Data


Data yang diperoleh dari seluruh pemeriksaan ditabulasi dan diolah secara
statistik dengan mengunakan perangkat lunak Statistical Program for Social
Science (SPSS) for Window versi 24.0. Data dimasukkan, dan dikoding.
Selanjutnya dilakukan analisis data.
Dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu. Penilaian
kepadatan kolagen dan ketebalan epitel berdistribusi normal dan skala ukur
kategorik, sehingga dilakukan uji Mann Whitney. Penilaian jumlah fibroblas
berdistribusi tidak normal dan skala ukur numerik, sehingga dilakukan uji
alternatif Mann whitney. Korelasi antara fibroblas dan kolagen menggunakan uji
korelasi alternatif Spearman.

3.8 Alur Penelitian

Tikus putih strain Wistar

Dibuat luka insisi di punggung tikus 2 cm

K P

Luka insisi dibiarkan Penyuntikan vitamin C pada luka


Tanpa Penyuntikan insisi 0,09 ml setiap hari selama
Vitamin C 0.09 ml 7 hari

Membuat27exsisi jaringan hari ke 7


Membuat Blok parafin

Pewarnaan Masson’s trichrom : menilai


peningkatan serat kolagen
Pewarnaan Hematoxilin-Eosin : menilai
peningkatan fibroblas dan epitel

Analisa data

Gambar 3. 1 Alur Penelitian

BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Data

Penelitian ini merupakan eksperimental in vivo pada tikus putih strain


Wistar sebanyak 16 ekor, terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol
insisi di punggung tanpa penyuntikan vitamin C secara subkutan selama 7 hari
sebanyak 8 ekor dan kelompok perlakuan insisi di punggung dengan penyuntikan
vitamin C selama 7 hari secara subkutan sebanyak 8 ekor. Penelitian ini
dilakukan untuk menilai peningkatan fibroblas, peningkatan kepadatan kolagen,
dan peningkatan ketebalan epitel.

28
4.1.1 Gambaran Histopatologi

Gambar 4. 1 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar control


Hematoxilin-Eosin, 400x;

29
Gambar 4. 2 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar yang telah diinsisi
setelah penyuntikan C selama 7 hari Hematoxilin-Eosin, 400x

Pada gambar diatas terlihat gambaran histopatologi bagian tepi luka yang
diambil dari jaringan kulit punggung tikus Wistar pada hari ke 7, gambar 4.1
tanpa perlakuan dan gambar 4.2 dengan perlakuan. Pewarnaan yang dilakukan
pada preparat diatas adalah Hematoxilin-Eosin, dengan perbesaran 400x,
menghasilkan gambaran histologi epidermis kulit yang terdiri dari stratum
korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum
germinativum, hingga dermis. Pada gambar 4.2 terlihat sel-sel pada epidermis
mengalami peningkatan kepadatan dibanding dengan gambar 4.1

30
Gambar 4.3 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar control Masson
Trichrom, 100x

Gambar 4. 4 Gambaran histoplatologi jaringan kulit pada tikus Wistar perlakuan yang
telah diinsisi setelah penyuntikan C selama 7 hari Masson Trichrom, 100x

Pada gambar diatas terlihat gambaran histopatologi bagian tepi luka yang
diambil dari jaringan kulit punggung tikus Wistar pada hari ke 7, gambar 4.3
tanpa perlakuan dan gambar 4.4 dengan perlakuan. Pewarnaan yang dilakukan

31
pada preparat diatas adalah Masson Trichrom,dengan perbesaran 100x,
menghasilkan gambaran histologi epidermis dan dermis. Pada gambar 4.2 terlihat
sel-sel pada dermis mengalami peningkatan kepadatan dibanding dengan gambar
4.1

4.1.2 Jumlah Fibroblas


Peningkatan jumah fibroblas secara histopatologi disajikan pada gambar
preparat dibawah ini yang menerangkan perbedaan antara control dan perlakuan.

Gambar 4. 5 Jumlah fibroblas pada kelompok kontrol

32
Gambar 4. 6 Jumlah fibroblas pada kelompok perlakuan

Pada gambar 4.5 dan gambar 4.6 menunjukan gambaran preparat hasil
pewarnaan Haematoxilin eosin dengan pembesaran 400x dibawah mikroskop
cahaya, jumlah sel fibroblast dihitung dengan menggunakan count pada image
raster sehingga dapat dihitung setiap satuan sel fibroblast yang terdapat pada
preparat, terlihat peningkatan jumlah fibroblas setelah penyuntikan vitamin C
setiap hari selama 7 hari pada jaringan kulit tikus Wistar dibandingkan kontrol.
Pada gambar 4.6 sel fibroblas sangat jelas terlihat lebih banyak dibanding gambar
4.5, hal ini terjadi karena pada gambar 4.6 yang merupakan kelompok perlakuan
diberikan penyuntikan vitamin c yang bersifat sebagai Co-enzyme yang membantu
dalam proses penyembuhan secara tidak langsung. Selanjutnya hasil penghitungan
jumlah fibroblas disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4. 1 Jumlah Fibroblas pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah Penyuntikan
Vitamin C 7 Hari

No Kontrol Perlakuan
1 K0 395,33 P0 455,67

33
2 K1 316,67 P1 383,67
3 K2 313,00 P2 468,67
4 K3 399,67 P3 462,67
5 K4 257,33 P4 316,67
6 K5 281,33 P5 306,33
7 K6 308,33 P6 456,00
8 K7 304,33 P7 449,67
Rerata 322,00 Rerata 412,42
Terlihat dari hasil data yang disajikan pada tabel 4.1 setiap ekor hewan
coba, seluruhnya memiliki peningkatan jumlah fibroblas jika dibandingkan antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, dengan rata-rata perbedaan jumlah
fibroblas 90.42, hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan signifikan antar
kelompok yang nantinya akan dibuktikan dengan uji kemaknaan.

Tabel 4. 2 Peningkatan Jumlah Fibroblas pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah
Penyuntikan Vitamin C 7 Hari

n Median Delta p
(minimum−maksimum) (%)
Jumlah fibroblas kontrol 8 310,67 28,08 *0,018
(tanpa penyuntikan vitamin C) (257,33-399,67)
Jumlah fibroblas perlakuan 8 452,67
(setelah penyuntikan vitamin C) (306,33-468,65)

Uji Mann-Whitney
Dilakukan uji normalitas data pada setiap kelompok didapatkan bahwa
kelompok penilaian fibroblas memiliki data yang berdistribusi tidak normal
sehingga dilakukan dengan uji alternatif Mann-Whitney. Hasil uji kemaknaan
jumlah fibroblas disajikan dalam tabel 4.2. Pada tabel hasil Uji Mann Whitney,
menunjukan terjadi peningkatan jumlah fibroblas secara bermakna (p=0.018)
dengan peningkatan jumlah fibroblas sebesar 28,08 %, sehingga menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

34
4.1.3 Kepadatan Kolagen

Peningkatan jumah kolagen secara histopatologi disajikan pada gambar


preparat dibawah ini yang menerangkan perbedaan antara control dan perlakuan

Gambar 4. 7 Kepadatan kolagen pada kelompok kontrol

35
Gambar 4. 8 Kepadatan kolagen pada kelompok perlakuan

Pada gambar 4.7 dan gambar 4.8 menunjukan gambaran preparat hasil
pewarnaan Masson trichom dengan pembesaran 100x dibawah mikroskop cahaya,
kepadatan kolagen dihitung dengan menggunakan measure pada image raster
dengan cara melakukan 3 kali pengukuran pada daerah kepadatan kolagen di tepi
luka dan pengukuran kepadatan kolagen pada daerah tanpa perlukaan (kolagen
1+kolagen 2+kolagen 3 dibagi kolagen 4) sehingga didapatkan pengukuran yang
lebih akurat. Pada gambar 4.8 kepadatan kolagen sangat jelas terlihat lebih padat
dibanding gambar 4.7, hal ini terjadi karena pada gambar 4.8 yang merupakan
kelompok perlakuan diberikan penyuntikan vitamin c yang bersifat sebagai Co-
enzyme yang membantu dalam proses penyembuhan luka secara tidak langsung.

Tabel 4. 3 Kepadatan Kolagen pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah Penyuntikan
Vitamin C 7 Hari

No Kontrol (%) Perlakuan (%)


1 K0 195,75 P0 207,17
2 K1 125,33 P1 211,98
36
3 K2 188,55 P2 230,56
4 K3 147,46 P3 261,29
5 K4 187,47 P4 203,97
6 K5 242,95 P5 228,71
7 K6 152,03 P6 231,35
8 K7 220,53 P7 261,10
Rerata 182,51 Rerata 229,52

Terlihat dari hasil data yang disajikan pada tabel 4.3 setiap ekor hewan
coba, seluruhnya memiliki peningkatan kepadatan kolagen jika dibandingkan
antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, dengan rata-rata perbedaan
jumlah kepadatan kolagen 47.01, hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan
signifikan antar kelompok yang nantinya akan dibuktikan dengan uji kemaknaan.

Tabel 4. 4 Peningkatan Kapadatan Kolagen pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah
Penyuntikan Vitamin C 7 Hari

n Rerata ± s.b Delta p


(%)
Kepadatan kolagen kontrol 8 182,50 ± 39,21 25,75 *0,013
(tanpa penyuntikan vitamin C
Kepadatan kolagen perlakuan 8 229,51 ± 22,27
(setelah penyuntikan vitamin C)

Uji Independent T-Test

Dilakukan uji normalitas data pada setiap kelompok didapatkan bahwa


kelompok penilaian kolagen memiliki data yang berdistribusi normal sehingga
dilakukan dengan uji Independent T-test. Hasil uji kemaknaan jumlah fibroblas
disajikan dalam tabel 4.3. Pada tabel hasil Uji Independent T-Test, menunjukan
terjadi peningkatan kepadatan kolagen secara bermakna (p=0.013) dengan
peningkatan kepadatan kolagen sebesar 25,75%. sehingga menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

37
4.1.4 Ketebalan Epitel

Peningkatan jumah kolagen secara histopatologi disajikan pada gambar


preparat dibawah ini yang menerangkan perbedaan antara control dan perlakuan

Gambar 4. 9 Ketebalan epitel kelompok kontrol

38
Gambar 4. 10 ketebalan epitel kelompok perlakuan

Pada gambar 4.9 dan gambar 4.10 menunjukan gambaran preparat hasil
pewarnaan Hematoxilin-Eosin dengan pembesaran 400x dibawah mikroskop
cahaya, ketebalan epitel dihitung dengan menggunakan measure pada image
raster dengan cara melakukan 3 kali pengukuran pada daerah ketebalan epitel di
tepi luka lalu dibagi 3, dengan tujuan mencari rata-rata pengukuran, sehingga
didapatkan pengukuran yang lebih akurat. Pada gambar 4.10 ketebalan epitel
sangat jelas terlihat lebih tebal dibanding gambar 4.9, hal ini terjadi karena pada
gambar 4.9 yang merupakan kelompok perlakuan diberikan penyuntikan vitamin c
yang bersifat sebagai Co-enzyme yang membantu dalam proses penyembuhan
luka secara tidak langsung.

Tabel 4. 5 Ketebalan Epitel pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah Penyuntikan
Vitamin C 7 Hari

No Kontrol (%) Perlakuan (%)


1 K0 76,87 P0 88,98
2 K1 61,49 P1 78,61
39
3 K2 63,36 P2 87,47
4 K3 52,03 P3 61,12
5 K4 71,37 P4 110,88
6 K5 62,05 P5 90,91
7 K6 53,61 P6 75,55
8 K7 59,29 P7 76,96
Rerata 62,51 Rerata 83,81

Terlihat dari hasil data yang disajikan pada tabel 4.5 setiap ekor hewan
coba, seluruhnya memiliki peningkatan kepadatan kolagen jika dibandingkan
antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, dengan rata-rata perbedaan
jumlah kepadatan kolagen 21.3, hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan
signifikan antar kelompok yang nantinya akan dibuktikan dengan uji kemaknaan.

Tabel 4. 6 Peningkatan Ketebalan Epitel pada Luka Insisi Tikus Putih Wistar setelah
Penyuntikan Vitamin C 7 Hari

n Rerata ± s.b Delta p


(%)
Ketebalan epitel kontrol 8 62,50 ± 3,33 34,07 *0,004
(tanpa penyuntikan vitamin C
Ketebalan epitel perlakuan 8 83,81 ± 14,54
(setelah penyuntikan vitamin C)
Uji Independent T-Test

Dilakukan uji normalitas data pada setiap kelompok didapatkan bahwa


kelompok penilaian epitel memiliki data yang berdistribusi normal sehingga
dilakukan dengan uji Independent T-test. Hasil uji kemaknaan jumlah fibroblas
disajikan dalam tabel 4.5. Pada tabel hasil Uji Independent T-Test, menunjukan
terjadi peningkatan kepadatan kolagen secara bermakna (p=0.004) dengan
peningkatan kepadatan kolagen sebesar 34.07%. sehingga menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

40
4.1.5 Korelasi antara Jumlah Fibroblas dan Kapadatan Kolagen

Hasil uji kemaknaan korelasi antara jumlah fibroblast dan keadatan kolagen
disajikan dalam tabel 4.7. Pada uji normalitas data julah fibrobas memiliki data
yang berdistribusi tidak normal sehingga dilakukan dengan uji korelasi Pearson
Test.
Tabel 4. 7 Korelasi Jumlah Fibroblas dengan Kepadatan Kolagen pada Luka Insisi Tikus
Putih Wistar setelah Penyuntikan Vitamin C 7 Hari

Kepadatan kolagen
Jumlah fibroblas r 0,400
p 0,125
n 16

Uji Korelasi Pearson

Hasil uji kemaknaan (p=0,125) menunjukan bahwa tidak ada korelasi


antara peningkatan jumlah fibroblas dengan peningkatan kepadatan kolagen pada
luka insisi tikus Wistar yabg diberikan penyuntikan vitam C selama 7 hari.

4.2 Pembahasan

Penyembuhan luka kulit adalah proses fisiologis penting yang terdiri dari
kolaborasi banyak strain sel dan produknya, dimana kulit memperbaiki dirinya
sendiri setelah cedera yang disebabkan oleh pembedahan, trauma, dan luka bakar.
Proses penyembuhan luka dibagi 3 fase, yaitu inflamasi, proliferatif, dan
remodeling (Han dan Ceilley, 2017). Luka yang sembuh adalah ekspresi yang
jelas dari urutan yang rumit dari respons seluler dan biokimia yang diarahkan
untuk memulihkan integritas jaringan dan kapasitas fungsional setelah cedera
(Chhabra et al., 2017).

Vitamin C merupakan salah satu zat senyawa kompleks yang sangat


diperlukan oleh tubuh kita yang berfungsi sebagai pembantu pengaturan atau
proses kegiatan. Vitamin C banyak memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.
41
Vitamin C memiliki peranan dalam pembentukan dan mempertahankan kolagen
saat penyembuhan luka serta dapat mencegah perdarahan yang berasal dari
komponen vaskular jaringan ikat. (Permana, et al.,2018);
Eksperimen laboratorium secara in vivo yakni dengan menggunakan hewan
uji sebagai model yang dirancang pada serangkaian uji praklinik. Salah satunya
ialah menggunakan hewan uji yaitu tikus (Rattus norvegicus). Sejauh ini
pengembangan mengenai pemanfaatan tikus sebagai hewan model masih sangat
potensial untuk dipelajari lebih lanjut, mengingat penggunaan hewan model dalam
penelitian praklinik sangatlah penting agar memperoleh gambaran yang
komperhensif mengenai potensi treatment yang diberikan untuk tahap penelitian
lanjutan (klinik). Tujuan penggunaan hewan coba, yakni supaya representatif
dalam memberikan gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia.
Ragam efek dari pengaplikasian suatu zat pada manusia dapat diketahui dengan
mempelajari efek kumulatif dari dosis pada tahap praklinik (Wuri, et al.,2021)
Tikus putih (Rattus norvegicus) banyak digunakan sebagai hewan
percobaan karena hewan ini mudah diperoleh dalam jumlah banyak, mempunyai
respon yang cepat, memberikan gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi
pada manusia, dan harganya relatif murah. Dalam kode etik penelitian kesehatan
dicantumkan bahwa salah satu prinsip dasar riset biomedis dengan manusia
sebagai subjek harus memenuhi prinsip ilmiah yang telah diakui dan harus
didasarkan atas eksperimen laboratorium dan hewan percobaan yang memadai
serta berdasarkan pengetahuan yang lengkap dari literatur ilmiah. Tikus Strain
Wistar berasal dari Belanda dan telah dikembangkan semenjak sebelum Perang
Dunia II. Hingga saat ini cara pengembangbiakan dan pemeliharaan terhadap
hewan tersebut diperlakukan secara ketat sesuai manajemen hewan percobaan
(Sihombing, et al.,2011).

Penelitian ini dilakukan untuk meneliti efek pemberian penyuntikan


Vitamin C subkutan pada tepi luka yang bertujuan dalam proses penyembuhan
luka pada hewan coba yang dibuat luka insisi. Proses penyembuhan luka pada
kulit hewan coba dievaluasi dengan melihat kondisi mikroskopis serta perbaikan
42
secara histologis.
Pada penelitian ini menunjukan hasil bahwa terdapat peningkatan jumlah
fibroblas pada hewan coba setelah disuntikan vitamin C subkutan sebesar 28,08%
dibandingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang bahwa vitamin C menguntungkan pada proliferasi, menunjukkan
peningkatan deposisi matriks luka, dan mengurangi ekspresi mediator pro-
inflamasi dan ekspresi mediator penyembuhan luka yang lebih tinggi. Vitamin C
juga meningkatkan proliferasi fibroblas, menguntungkan resolusi awal
peradangan, dan remodeling jaringan (Mohammed et al., 2016). Hasil pada
penelitian ini memperlihatkan hasil yang berbeda pada penelitian Kusyati, 2010
yang melaporkan bahwa pemberian suplementasi secara oral tidak dapat
meningkatkan jumlah fibroblas. Berdasarkan hal tersebut didapatkah hasil bahwa
pemberian vitamin C secara injeksi subkutan lebih baik daripada pemberian oral
(Effect et al., 2010).
Pada tahap proliferasi, fibroblas membentuk jaringan granulasi yang
menggantikan jaringan yang rusak (Shedoeva et al., 2019). Proses ini dimulai di
lingkungan mikro lesi dalam 48 jam pertama dan dapat berkembang hingga 14
jam sehari setelah timbulnya lesi. Fibroblas adalah elemen seluler yang umum
ditemukan dalam fase penyembuhan lesi dan perbaikan jaringan (Gonzalez et al.,
2016). Fibroblas bertanggung jawab untuk sintesis dan degradasi serat dan protein
metrix extracellular matriks (Shin et al., 2019). Fibroblas memproduksi matriks
ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka. Matriks ekstraselular inilah yang
menjadi komponen yang paling nampak pada skar di kulit.
Pada penelitian ini menunjukan hasil bahwa terdapat peningkatan kepadatan
kolagen pada hewan coba setelah disuntikan vitamin C subkutan sebesar 25,75%
dibandingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang oleh Surya Darma, dkk yang melaporkan bahwa penyuntikan vitamin C
subkutan di sekitar luka insisi dermal selama 5 hari efektif meningkatan kepadatan
kolagen.
Dengan berjalannya waktu, matriks ekstraselular akan digantikan oleh
kolagen tipe III yang juga diproduksi oleh fibroblas. Kolagen tersusun atas 33%
43
glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa, dan galaktosa.
Hidroksiprolin berasal dari residu prolin yang mengalami proses hidroksilasi oleh
enzim prolyl hydroxylase dengan bantuan vitamin C. Vitamin C berfungsi sebagai
ko-faktor enzim pada prolil dan lysil hydroxylase yang membentuk ikatan
hidroksiprolin dan hidroksilisin pada fibroblas pada proses hidroksilasi yang
nantinya berkaitan dengan pembentukan kolagen. Hidroksiprolin dan hidroksilisin
merupakan komponen pembentuk kolagen, yaitu jaringan ikat pada tubuh
(Maione-Silva et al., 2019).
Pada penelitian ini menunjukan hasil bahwa terdapat peningkatan ketebalan
epitel pada hewan coba setelah disuntikan vitamin C subkutan sebesar 34,07%
dibandingkan kelompok kontrol.
Suatu luka dikatakan sembuh jika terjadi proses re-epitelisasi sempurna,
yaitu proses pembentukan jaringan epitel hingga menutupi seluruh permukaan
luka. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan keratinosit, yang memberikan
barrier antara lingkungan dan organisme, sehingga melindunginya dari agen dan
patogen eksternal, dan membatasi hilangnya cairan. Integumen ini terus
dipertahankan oleh keratinosit. Keratinosit tidak hanya penting dalam menjaga
epidermis tapi juga memulihkannya setelah cedera. Pada luka kulit akut, karena
barier terganggu, maka neutrofil, monosit, dan makrofag direkrut ke lokasi cedera.
Selanjutnya, keratinosit menjadi aktif, dan proses aktivasi dicapai dengan
mengekspresikan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan (Primadina,et
al.,2019).
Beberapa menit setelah terjadinya luka terjadi perubahan-perubahan
morfologi pada keratinosit pada tepi luka. Keratinosit mulai berpindah ke
daerah perlukaan sekitar 24 jam setelah perlukaan (Alhasyimi, et al.,2018). Secara
simultan, sel-sel basal pada epitelium bergerak dari daerah tepi luka menuju
daerah luka dan menutupi daerah luka. Pada tepi luka, sel keratinosit akan
berproliferasi kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan luka.
Ketika bermigrasi, keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga
membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Mereka akan berikatan dengan
kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin
44
(Primadina,et al.,2019).
Saat terbentuk matriks provisional, keratinosit akan berubah fenotipnya dari
stationary menjadi migratory. Keratinosit yang berasal dari lapisan basal epitel
pada tepi jaringan luka melarutkan ikatan hemidesmosom dan lepas dari membran
basal kemudian berpindah secara cepat menyeberangi luka hingga mencapai tepi
luka. Selanjutnya terjadi peningkatan pembelahan sel menyebabkan diferensiasi
untuk membentuk jaringan epitel kembali normal. Proliferasi maksimal keratinosit
terjadi 48–72 jam setelah perlukaan (Alhasyimi,et al.,2018).
Pada penelitian ini menunjukan hasil bahwa tidak ada korelasi antara
peningkatan jumlah fibroblas dan kepadatan kolagen pada luka insisi hewan coba
setelah penyuntikan vitamin C subkutan selama 7 hari.
Fibroblas merupakan sel induk yang berperan membentuk dan meletakkan
serat-serat dalam matriks, terutama serat kolagen. Saat peradangan memasuki fase
penyembuhan, fibroblas akan segera bermigrasi ke dalam lesi, berproliferasi, dan
menghasilkan matriks kolagen untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Kolagen
akan memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka (Astuti, et al.,2022).
Kolagen meningkat pada fase ketiga penyembuhan terdiri dari remodeling, yang
dimulai 2–3 minggu setelah onset lesi. Pada tahap akhir penyembuhan lesi ini,
upaya untuk memulihkan struktur jaringan normal terjadi, dan jaringan granulasi
secara bertahap direnovasi, membentuk jaringan parut yang kurang seluler dan
vaskular, dan menunjukkan peningkatan progresif dalam konsentrasi serat
kolagen. Tahap remodeling ditandai dengan pematangan elemen dengan
perubahan pengendapan matriks ekstraseluler dan resolusi inflamasi awal
(Gonzalez et al., 2016).

4.3 Future Reserch


Penelitian ini hannya 7 hari sehingga tidak dapat dinilai perjalanan
perubahan fibroblas menjadi kolagen. Pada penelitian ini dilakukan penyuntukan
vitamin C yang dipakai dari produk Sanbe dan tidak dibandingkan dengan viatmin
C murni.

45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1 Penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari dapat
meningkatkan pembentukan fibroblas sebesar 28,08 %.
2 Penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari dapat
meningkatkan kepadatan kolagen sebesar 25,75 %.
46
3 Penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari dapat
meningkatkan ketebalan epitel sebesar 34,07 %.
4 Tidak ada korelasi bermakna antara fibroblas dan kolagen setelah
penyuntikan vitamin C pada luka insisi tikus Wistar selama 7 hari

5.2 Saran
1. Perlu melalukan pengecekan enzim yg berperan dalam proses
penyembuhan luka
2. Mengukur panjang luka selama masa penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Albaugh, V. L., Mukherjee, K. dan Barbul, A. (2017) “Proline


precursors and collagen synthesis: Biochemical challenges of nutrient
supplementation and wound healing,” Journal of Nutrition, 147(11), hal.
2011–2017.
Alfiaturrohmah, A. et al. (2020) “Efek Perasan Aloe vera L .
terhadap Ketebalan Epitel dan Kepadatan Kolagen pada Luka Sayat Tikus
Wistar The Effect of Aloe vera Linn . Juice on Epithelial Thickness and
Collagen Density in Wistar Rats Wound Incision,” Jurnal Bio
47
komplementer medicine, 7(2), hal. 1–9.
Alhasyimi, A. A. (2018) “Induksi Re-Epitelisasi Pada Proses
Penyembuhan Luka Gingiva Oleh Aplikasi Topikal Ekstrak Daun Sage
(Salvia officinalis L.) Konsentrasi 50% (Kajian In Vivo Pada Tikus Sprague
Dawley),” B-Dent, Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Baiturrahmah, 3(1),
hal. 31–38.
Arief, H. dan Widodo, M. A. (2018) “Peranan Stres Oksidatif pada
Proses Penyembuhan Luka,” Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma,
5(2), hal. 22.
Black, J. O. (2016) “Xeroderma Pigmentosum,” Head and Neck
Pathology. Springer US, 10(2), hal. 139–144. doi: 10.1007/s12105-016-
0707-8.
Caetano, G. F. et al. (2016) “Comparison of collagen content in skin
wounds evaluated by biochemical assay and by computer-aided
histomorphometric analysis,” Pharmaceutical Biology, 54(11), hal. 2555–
2559. doi: 10.3109/13880209.2016.1170861.
Carr, A. C. dan Maggini, S. (2017) “Vitamin C and immune
function,” Nutrients, 9(11), hal. 1–25. doi: 10.3390/nu9111211.
Chhabra, S. et al. (2017) “Wound Healing Concepts in Clinical
Practice of OMFS,” Journal of Maxillofacial and Oral Surgery. Springer
India, 16(4), hal. 403–423.
Davison-Kotler, E., Marshall, W. S. dan García-Gareta, E. (2019)
“Sources of collagen for biomaterials in skin wound healing,”
Bioengineering, 6(3), hal. 1–15. doi: 10.3390/bioengineering6030056.
DePhillipo, N. N. et al. (2018) “Efficacy of Vitamin C
Supplementation on Collagen Synthesis and Oxidative Stress After
Musculoskeletal Injuries: A Systematic Review,” Orthopaedic Journal of
Sports Medicine, 6(10), hal. 1–9. doi: 10.1177/2325967118804544.
Effect, T. H. E. et al. (2010) “Pengaruh Suplementasi Vitamin C
48
Terhadap Jumlah Fibroblas.”
Fauziah, M. dan Soniya, F. (2020) “Potensi Tanaman Zigzag sebagai
Penyembuh Luka,” Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 2(1), hal. 39–
44. doi: 10.37287/jppp.v2i1.41.
Firdauzi, N. A., Soemartono dan Elidasari, M. (2016) “Pengaruh
Pemberian Ibuprofen Preoperatif Terhadap Sebaran Sel Radang Kronis
Pada Proses Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi ( The Effectivity of
Preoperative Ibuprofen Against The Spread of Chronic Inflammatory Cells
in the Process of Wound Healing Aft,” denta Jurnal Kedokteran G, 10(1),
hal. 55–61.
Gonzalez, A. C. D. O. et al. (2016) “Wound healing - A literature
review,” Anais Brasileiros de Dermatologia, 91(5), hal. 614–620. doi:
10.1590/abd1806-4841.20164741.
Han, G. dan Ceilley, R. (2017) “Chronic Wound Healing: A Review
of Current Management and Treatments,” Advances in Therapy. Springer
Healthcare, 34(3), hal. 599–610. doi: 10.1007/s12325-017-0478-y.
Laut, M. M. et al. (2019) “Efektivitas Pemberian Salep Ekstrak Etanol
Daun Anting – Anting (Acalypha Indica Linn.) Terhadap Kesembuhan
Luka Insisi Pada Mencit (Mus musculus),” Jurnal Kajian Veteriner, 7(1),
hal. 1–11. doi: 10.35508/jkv.v7i1.377.
Maione-Silva, L. et al. (2019) “Ascorbic acid encapsulated into
negatively charged liposomes exhibits increased skin permeation, retention
and enhances collagen synthesis by fibroblasts,” Scientific Reports, 9(1),
hal. 1–14.
Medika, Q. dan Molekuler, S. D. A. N. (2019) “Qanun Medika
Januari Desember : Desember Januari 2019,” 3(1), hal. 31–43.
Mohammed, B. M. et al. (2016) “Vitamin C promotes wound
healing through novel pleiotropic mechanisms,” International Wound
Journal, 13(4), hal. 572–584. doi: 10.1111/iwj.12484.
49
Oktaviani, D. J. et al. (2019) “Review: Bahan Alami Penyembuh Luka,”
Farmasetika.com (Online), 4(3), hal. 44. doi:
10.24198/farmasetika.v4i3.22939.
Permana, Y. E., Santoso, E. dan Dewi, C. (2018) “Implementasi
Metode Dempster-Shafer untuk Diagnosa Defisiensi ( Kekurangan )
Vitamin pada Tubuh manusia,” Pengembangan Teknologi Informasi dan
Ilmu Komputer, 2(3), hal. 1194–1203.
PH, L. et al. (2020) “Indonesian Journal of Nursing and Health
Sciences,” Indonesian Journal of Nursing and Health Sciences, 1(1), hal.
37–48.
Reginata, G. (2016) “Pendekatan Multidisipliner Xeroderma
Pigmentosum,” Cermin Dunia Kedokteran, 43(7), hal. 510–514. Tersedia
pada: http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/81.
Sayogo, W. (2017a) “Potensi +Dalethyne Terhadap Epitelisasi Luka
pada Kulit Tikus yang Diinfeksi Bakteri MRSA,” Jurnal Biosains
Pascasarjana, 19(1), hal. 68. doi: 10.20473/jbp.v19i1.2017.68-84.
Sayogo, W. (2017b) “Potensi +Dalethyne Terhadap Epitelisasi Luka
pada Kulit Tikus yang Diinfeksi Bakteri MRSA,” Jurnal Biosains
Pascasarjana, 19(1), hal. 68. doi: 10.20473/jbp.v19i1.2017.68-84.
Shedoeva, A. et al. (2019) “Wound healing and the use of medicinal
plants,” Evidence-based Complementary and Alternative Medicine.
Hindawi, 2019(Figure 1). doi: 10.1155/2019/2684108.
Shin, J. W. et al. (2019) “Molecular mechanisms of dermal aging
and antiaging approaches,” International Journal of Molecular Sciences,
20(9). doi: 10.3390/ijms20092126.
Sihombing, M. D. T. S. (2011) “Perubahan Nilai Hematologi,
Biokimia Darah, Bobot Organ dan Bobot Badan Tikus Putih pada Umur
Berbeda,” Jurnal Veteriner, 12(1), hal. 58–64.
Tabib, T. et al. (2018) “SFRP2/DPP4 and FMO1/LSP1 Define
50
Major Fibroblast Populations in Human Skin,” Journal of Investigative
Dermatology. The Authors, 138(4), hal. 802–810. doi:
10.1016/j.jid.2017.09.045.
Wang, K., Jiang, H., Li, W., Qiang, M. dan Dong, T. (2018) “Peran
Vitamin C dalam Penyakit Kulit,” 9, hal. 1–9.
Wang, K., Jiang, H., Li, W., Qiang, M., Dong, T., et al. (2018) “Role of
vitamin C in skin diseases,” Frontiers in Physiology, 9(JUL), hal. 1–9. doi:
10.3389/fphys.2018.00819.
Wilkinson, H. N. (2020) “Penyembuhan luka : mekanisme seluler
dan hasil patologis.”
Wuri, R., Rosdianto, A. M. dan Goenawan, H. (2021) “Utilization of
Rats As Blunt Trauma Animals Model: a Literature Review,” Indonesia
Medicus Veterinus, 10(2), hal. 338–354. doi: 10.19087/imv.2021.10.2.338.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Lolos Kaji Etik

51
Lampiran 2 Sertifikat Hewan Uji

52
53
54
Lampiran 3 Konversi Hewan Uji

55
56
Lampiran 4 Blok Paraffin

57
Lampiran 5 Hasil Statistik Uji Pendahuluan

58

Anda mungkin juga menyukai