Anda di halaman 1dari 13

EGO DAN THE OTHER DALAM KAJIAN OKSIDENTALISME

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Oksidentalisme
Dosen pengampu:
Saiful Mujab, S.Th.I, MA.

Penyusun:
Iskandar Mulyono Nur 933806719
Fatia Salma Fiddaroyni 933811019
Riki Rohmatul Aziza 933802519

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Ego dan The Other dalam Kajian Oksidentalisme ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Saiful Mujab selaku dosen
mata kuliah Oksidentalisme, yang telah memberikan tugas ini sehingga kami
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Oksidentalisme. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai Ego dan The Other dalam kajian oksidentalisme
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 23 Okrober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Kata Pengantar ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Konsep Ego dan the Other ................................................................... 3


B. Hubungan Ego dan the Other ............................................................... 4
C. Meletakkan Ego dan the Other dalam Diskursus Timur-Barat .............. 6

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 9

A. Kesimpulan .......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Oksidentalisme merupakan arah penelitian baru dalam menghadapi
hegemoni keilmuan Barat. Istilah yang dipopulerkan oleh Hassan Hanafi berusaha
mempelajari Barat melalui sudut pandang Timur, agar terjadi keseimbangan
dalam proses pembelajaran antara barat dan timur. Dunia Barat selama ini
dianggap sangat dominan dalam studi Timur, khususnya dalam studi Islam.
Bahkan, pada masa penjajahan, Orientalisme dipandang sebagai senjata untuk
menundukkan bangsa-bangsa Timur.
Oksidentalisme yang diusung Hanafi ini tidak dapat dilepaskkan dari tiga
pilar atau agenda dari proyek tradisi dan pembaharuannya (at-turats wa at-tajdid),
yang meliputi sikap kritis terhadap tradisi, sikap kritis terhadap Barat—dan inilah
yang sering disebut dengan oksidentalisme—dan sikap kritis terhadap realitas.
Jika dicermati, tiga pilar ini sejatinya juga mewakili tiga dimensi waktu. Pilar
pertama mewakili masa lalu yang mengikat kita, pilar kedua, mewakili masa
depan yang kita harapkan, dan pilar ketiga mewakili masa kini di mana kita
hidup.1
Munculnya orientalisme disebabkan oleh rasa superioritas Barat yang
berlebihan dalam menguasai pihak Timur. Mereka bangga dengan kemajuan
ilmiah dan teknologi mereka. Kemajuan ini menjadi acuan universal untuk
merespon realitas budaya Timur, sehingga segala sesuatunya harus didasarkan
pada perspektif Barat. Jika dicermati, program Orientalisme merupakan bentuk
kolonisasi pemikiran dan budaya atau kolonisasi babak baru pemikiran dan
budaya. 2 Masalah ini mengkhawatirkan para pemikir Muslim kontemporer seperti
Hasan Hanafi, karena keunggulan ini mengancam eksistensi budaya Timur. Untuk

1
Abdurrohman Kasdi and Umma Farida, “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Telaah
Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi),” Jurnal Fikrah 1, no. 2 (2015): 232,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/viewFile/540/557.
2
Anwar Sadat, “Oksidentaslisme: Menuju Integralisasi Epistemologi Studi Islam,” TAJDID:
Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan 1, no. 1 (2017): 135,
https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i1.7.

1
menghadapi tantangan Barat ini, Hasan Hanafi kemudian menggunakan istilah
“Oksidentalis” sebagal penyeimbang terhadap “Orientalis”. 3
Superioritas Barat mengakibatkan bangsa Timur kehilangan identitas
sebagai bangsa yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban umat manusia dan
pernah memberikan kontribusi peradaban atas bangsa-bangsa lain. Dengan
demikian, apakah konsep oksidentalisme yang digagas oleh Hasan Hanafi
mengenai ego dan the other mampu memberikan jalan tengah antara Barat dan
Timur yang akhirnya akan menyatu menjadi suatu peradaban yang saling
melengkapi? Maka dalam makalah ini akan kami uraikan untuk menjawab
pertanyaan yang dirumuskan di bawah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ego dan the other?
2. Bagaimana hubungan ego dan the other?
3. Bagaimana posisi ego dan the other dalam diskursus Timur dan Barat?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep ego dan the other,
2. untuk mengetahui hubungan ego dan the other,
3. untuk mengetahui posisi ego dan the other dalam diskursus Timur dan
Barat.

3
Haris Riadi, “Keniscayaan Revolusi Islam ( Menggagas Ulang Doktrin Teologi Revolusi Islam
Hasan Hanafi ) Oleh : Haris Riadi Pendahuluan,” Pemikiran Islam 37, no. 2 (2012): 148.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Ego dan The Other


Tiga agenda pokok yang harus dihadapi dalam konsep ego/al-âna dan the
other/al-âkhar menurut Hasan Hanafi
1. sikap kritis terhadap tradisi lama yaitu meletakkan ego/âna pada sejarah
masa lalu dan warisan kebudayaannya.
2. sikap kritis terhadap tradisi Barat,yaitu meletakkan ego/âna pada posisi
yang berhadapan dengan the other/al-âkhar kontemporer, terutama
kebudayaan Barat pendatang.
3. sikap kritis terhadap realitas atau teori interpretasi, yaitu meletakkan
ego/âna langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan teks
sebagai bagian dari elemen realitas tersebut baik teks agama yang
terkodifikasikan maupun yang tidak terkodifikasikan. 4
Menurut Hasan Hanafi dua agenda pertama berdimensi peradaban,
sedangkan agenda yang ketiga adalah berdimensi realitas. Ketiga agenda tersebut
saling berhubungan, tradisi Timur (masa lalu), tradisi Barat (masa depan), dan
tradisi ketiga adalah masa sekarang. Pada hakekatnya Hasan Hanafi meletakkan
ego/âna dan the other/al-âkhar seperti gerak sejarah yakni masa lalu, masakini,
dan masa depan.
Jika agenda pertama berinteraksi dengan kebudayaan warisan, maka
agenda kedua berinteraksi dengan kebudayaan pendatang. Kedua-duanya tertuang
dalam realitas di mana kehidupan itu berlangsung. Pada posisi peradaban terdapat
tiga faktor bagi tercapainya inovasi, yakni faktor warisan, faktor pendatang dan
tempat-tempat inovasi atau tempat terjadinya proses asimilasi antara faktor
warisan dan pendatang. 5
Dalam proyek pemikiran Hasan Hanafi “dari akidah kerevolusi”, sikap
kritis terhadap tradisi lama perlu dikoreksi kembalikarena sikap anti terhadap
realitas yang telah berubah. Lebih lengkapnya dikatakan: “sebenarnya kita telah

4
Hasan Hanafi, Oksidentalisme “Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat” (Jakarta: Paramadina,
2000), hal.1-5
5
Ibid.,hal.6

3
mengubah realitas dengan do’a sejak masa warisan klasik, bahkan tidak pernah
berhenti pada zaman modern ini. Artinya kita ‘memberhalaka’ tradisi lama harus
dirubah dengan belajar dan mengaca kepada pengalaman serta segera
melakukan pekerjaan itu dengan kiat-kita yang berlawanan dengan pekerjaan
keliru itu”.6
Lalu bagaimana dengan sikap Timur tentang Barat hari ini? Jika
digunakan pendekatan dikotomik yang penuh tendensius, pertentangan,
kecurigaan maka: Timur Islam/islamdom versus Barat Kristen/Chirstendom,
Dârul Islam/Dârul Muslim versus Dârul harb/Chirstendom, dan Timur religious
versus Barat sekuler. Menurut Said dalam Burhanuddin Daya “kita”-”mereka”
(kita adalah orang-orang Barat, mereka, adalah orang-orang Timur) tidak
memiliki konsepsi perdamaian, tubuh-tubuh Timur adalah pemalas, tidak
memiliki konsepsi tentang sejarah, bangsa dan tanah air. 7
Intinya, Timur adalah bangsa sebagaimana yang dipersepsikan oleh Barat,
Timur bersifat mistik, dan tidak rasional. Berbagai penilaian yang dikemukakan
oleh Barat atas Timur, lebih cenderung menggunakan pendekatan dikotomik yang
penuh tendensius, pertentangan, kecurigaan, ketidaktahuan, pemaksaan,
pencapaian kepentingan sepihak adalah derita sejarah panjang
kolonialismeimperialisme yang begitu menyakitkan oleh siapa saja yang
berpikiran sehat. Dengan demikian Timur dan Barat akan selalu dalam
pertentangan dan saling mencurigai antara satu dengan yang lain.

B. Hubungan Ego dan The Other dalam Oksidentalisme


Oksidentalisme merupakan satu bagian terpenting dari realisasi tiga
agenda besar dari proyek Hassan Hanafi, al-turâts wa tajdîd (tradisi dan
pembaruan). Ketiga agenda ini: pertama, sikap kita terhadap tradisi lama; kedua,
kritisisme terhadap peradaban Barat; dan ketiga, sikap kita terhadap realitas. Bagi
Hanafi, ketiga agenda di atas ini merupakan dinamika dan produk proses
dialektika antara ‘ego’ (al-anâ) dan ‘the other’ (al-âkhar).8

6
Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi (Jakarta: Dian Rakyat, Cet. Kedua, 2010) hlm. 303
7
Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Dalam Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme,
(Yogyakarta: SUKA-Press, cet. pertama, 2008), hlm. 93
8
Sean Ochan, “Hassan Hanafi Dan Oksidentalisme,” Wordpress, 2013,
https://seanochan.wordpress.com/2013/04/19/hassan-hanafi-dan-oksidentalisme/.

4
Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara
ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murâkabah
al-nâqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murâkabah al-‘uzhmâ)
pada pihak the other. Tugas Oksidentalisme adalah mengurai inferioritas sejarah
hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat
dengan menjadikannya sebagai objek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas
kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji. Dengan kata lain
menghilangkan rasa tak percaya diri di hadapan Barat dalam soal bahasa,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat.9
Orientalisme lahir dan mencapai kematangannya melalui kekuasaan dan
kekuatan imperialisme Barat yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
tentang masyarakat yang dijajah, sehingga Barat menjelma sebagai ego yang
menjadi subjek dan menganggap Timur sebagai the other yang menjadi objek. Di
sinilah tampaknya teori Michael Foucault menemukan relevansinya, bahwa
kekuasaan di mana pun selalu menindas, karena kekuasaan telah memproduksi
kebenaran sesuai kadarnya.10
Maka dalam kondisi yang terjajah tersebut, Timur memerlukan suatu
gerakan dekonstruksi atas perilaku orientalisme Barat itu. Dalam konteks ini,
oksidentalisme menjadi jembatan utama dalam perimbangan peran ego dan the
other itu. Oksidentalisme berjuang untuk mengurai sejarah beberapa persoalan
masa lalu yang dihadapi tradisi, seolah-olah masa lalu adalah ultimate meaning.11
Hal ini mengakibatkan ego kehilangan semangat kritisme dan miskin kesadaran
historis.
Melalui oksidentalisme, Hanafi mencoba mengambil peran yang
seimbang, jika ego Barat dahulu berperan sebagai pengkaji, kini menjadi objek
yang dikaji, sedangkan the other Timur yang kemarin menjadi objek yang dikaji,
kini berperan sebagai subjek pengkaji. Dengan demikian, secara otomatis akan

9
Yanto Bashri, “Nalar Hassan Hanafi; Upaya Mensejajarkan Barat Dan Dunia Islam,” Mozaic :
Islam Nusantara 1, no. 1 (2015), hlm. 9, https://doi.org/10.47776/mozaic.v1i1.73.
10
Abdurrohman Kasdi and Umma Farida, “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Telaah
Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi),” Jurnal Fikrah 1, no. 2 (2015), hlm. 244,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/viewFile/540/557.
11
Edi AH Iyubenu, Berhala-Berhala Wacana (Yogyakarta: Diva Press, 2015),
https://www.google.co.id/books/edition/Berhala_berhala_Wacana/_QdsEAAAQBAJ?hl=id&gbpv
=1&dq=hubungan+ego+dan+the+other&pg=PA201&printsec=frontcover.

5
terbangun perubahan dialektika ego dengan the other, dari dialektika Barat dan
Timur menjadi dialektika Timur dan Barat. Oksidentalisme berjuang untuk
mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, Barat dan Timur.
Dengan oksidentalisme, Timur diharapkan tidak lagi merasa inferior di hadapan
Barat, dalam hal bahasa, peradaban, budaya, ideologi, bahkan ilmu pengetahuan.
Tantangan dari oksidentalisme ini adalah menciptakan keserasian
hubungan antara ego (Barat) dengan the other (Timur), mengingat kompleksitas
inferioritas sejarah ego di hadapan the other masih tersimpan dalam benak ego.
Hubungan keduanya dideskripsikan sebagai hubungan antara dua pihak yang
tidak seimbang, hubungan antara superordinat dengan subordinat, tuan dengan
hamba. 12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan ego dan the other
dalam kajian oksidentalisme mengandung unsur dialektika antara ego dan the
other, agar bagaimana keduanya tidak saling menjadi penguasa dan yang dikuasai,
tetapi terjadi kesetaraan peradaban, serta pembebasan dari hegemoni Barat dengan
tujuan mengakhiri mitos budaya universal.

C. Meletakkan Ego dan The Other dalam Diskursus Timur dan Barat
Kategori dikotomis dalam pemikiran oksidentalisme yang dicetuskan oleh
Hasan Hanafi yaitu al-Ana dan al-Akbar atau dapat disebut dengan Ego dan the
Other. Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Ana sebagai pihak pertama dan al-
Akbar sebagai pihak ketiga, sedangkan pihak kedua ada Anti. Jika diartikan dalam
bahasa Indonesia, al-Ana lebih merujuk pada kata “saya”, sedangkan Ego sendiri
lebih merujuk pada Aku atau diri sendiri yang berkesadaran, jadi ego ini meliputi
kesadaran psikologis. Kata “saya” atau “aku” menunjukkan subjek atau segala
sesuatu yang tetap ada sepanjang pada pengalaman yang selalu berubah dari
kehidupan seseorang.(Titus, Marilyn, dan Nolan, 1984 :57)
Dalam buku karya Ridho Ahmad ini, Ego dapat diklasifikasikan dalam
teori Sigmund Freud tentang kesatuan Id, Ego, dan Superego. Ketiga nilai tersebut
yang dirasa ada dalam setiap diri seseorang. Jika ketiganya map bergerak maka

12
Abdurrohman Kasdi and Umma Farida, “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Telaah
Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi),” Jurnal Fikrah 1, no. 2 (2015), hlm. 247,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/viewFile/540/557.

6
kepribadian seseorang akan menjadi baik, namun sebaliknya jika tidak dapat
bergerak secara teratur dan saling bertentangan maka kepribadian yang ada pada
diri seseorang anak mengarah pada kerusakan. 13
Dalam perkara ini Id dapat diartikan sifat dasar yang ada pada diri
seseorang seperti: marah, benci, rasa ingin menguasai, mementingkan diri sendiri
serta dikuasai oleh prinsip-prinsip kesenangan. Ego ini dikuasai oleh prinsip nyata
sebagaimana anak kecil yang harus belajar ketika lapar maka ia harus mengenal
antara makanan dan yang bukan makanan agar tidak sembarang benda dapat
dimakan. Sedangkan superego bertugas bebagai pengontrol kepribadian agar
berjalan ideal dan sempurna. Sebagaimana anak kecil sehingga ia map
membedakan makanan dan yang bukan.(Hall, 1980: 29-45)
Ego yang dicetuskan oleh peradaban timur-Islam ingin melakukan
hubungan timbale balik dan menguraikan secara objektif tentang barat serta
mengungkapkan sumber-sumber yang terpendam seperti asal mula keilmuan yang
berasal dari perdaban timur yang lantas dikuasai oleh perdaban barat. Jika hal ini
dapat dilakukan maka akan tersingkat kenyataan sejarah yang sesungguhnya.
Pemakaian kata Ego yang menggambarkan timur dan the other yang
menggambarkan barat dirasa kurang cocok karena kata ego lebih merujuk pada
kepribadian seseorang. Agar lebih cocok, kata ego alangkah baiknya diganti
dengan I dan the other diganti dengan You sehingga dapat diselaraskan diantara
keduanya.
Oposisi biner dari kata I dan You di atas menunjukkan pada kedua
perdaban yang berbeda, penamaan Timur-Barat berkesan pada dua kubu yang
saling berlawanan. Hal ini pernah dikritik oleh Edwarad Said bahwa Barat harus
bertaggungjawab atas istilah yang telah dibuatnya terlebih perbedaan tersebut
mengarah terhadap posisi Barat sebagai pihak pemenang sedangkan Timur
sebagai pihak yang kalah.
Namun pada masa sekarang ini, kategori Barat dan Timur sudah menjadi
biasa. Seperti sarjana Timur yang menuntut ilmu di Barat, apa dia disebut
orientalis? Begitu juga sebaliknya, seseorang yang belajar di Timur namun

13
Ridho al-Hamdi, Epistemologi Oksidentalisme : Membongkar Mitos Superioritas Barat,
Membangun Kesetaraan Peradaban, (Yogyakarta: Samudra Biru), 2019, hlm. 63

7
bergama Kristen dan berketurunan Eropa apa dapat disebut oksidentalis? Maka
dari itu penyebutan Barat dan Timur menjadi hal yang rancu.
Kerancuan ini dapat terjadi juga pada sarjana Indonesia yang belajar
Islamic Studies ke dunia Barat. Apa mereka juga disebut orientalisme, hanya
karena posisi mereka yang berada di Barat dan mengkaji ilmu Timur. Pada kasus
lain, terkadang istilah islam dihadapkan dengan Barat Islam versus Barat secara
kebahasaan, kata tersebut tidak tepat karena Islam merupakan suatu agama, bukan
daerah atau geografis seperti Barat Timur dan lainnya. Jika Islam dihadapkan
pada Kristen, hal itu secara tata bahasa lebih tepat.
Kata ‘Barat’ yang selama ini digunakan dalam kajian oksidentalisme
sejatinya mengarah pada Eropa. Barat adalah mitos dan Eropa sebagai realitas.
Istilah Eropa lebih merujuk pada historis peradaban, sedangkan Barat lebih pada
pengeertian politisi. Jika merujuk pada peradaban maka Rusia dan Turki
tergolong bangsa Eropa meskipun secara geografis terletak di Asia. Banyaknya
istilah yang digunakan sarjana Barat mengandung politisi, tidak ada kejujuran
ilmiah yang diterapkan. Dalam pembahasan konseptual yang ada, Ego terletak
sebagai subjek yang memiliki kesadaran untuk bangkit, sedangkan the Other
sebagai objek kajian yang juga memiliki kesadaran di luar kesadaran Ego
(bertentangan). Kesadaran Ego juga disebut dengan kesadaran nertal karena ego
tidak menginginkan keunggulan, tapi hanya ingin kesetaraan.14

14
Ibid, hlm. 66

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Oksidentalisme berupaya menetralkan kemampuan ego dalam memandang
the other, mengkajinya, dan mengubahnya menjadi objek, setelah sekian lama the
other menjadi subyek yang menjadikan pihak lain sebagai objek. Namun,
oksidentalisme tidak berambisi merebut kekuasaan, melainkan hanya
menginginkan pembebasan. Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos Barat
sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan, sekaligus
melenyapkan inferioritas Timur serta mengembalikan ego ketimurannya.
Salah satu upaya menyikapi Barat yaitu melalui ide demitologisasi Barat
dan mendorong adanya penyeimbangan perspektif netral antara ego (Timur)
dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus direkonstruksi yang superior dan
inferior menuju model dialektika yang berimbang.

9
DAFTAR PUSTAKA
Bashri, Yanto. 2015. “Nalar Hassan Hanafi; Upaya Mensejajarkan Barat Dan
Dunia Islam.” Mozaic : Islam Nusantara 1, no. 1: 1–14.
https://doi.org/10.47776/mozaic.v1i1.73.
Daya, Burhanuddin. 2008. Pergumulan Timur Dalam Menyikapi Barat: Dasar-Dasar
Oksidentalisme. Yogyakarta: SUKA-Press, cet. pertama
Hamdi, Ridho. 2019. Epistemologi Oksidentalisme: Membongkar Mitos Superioritas
Barat, Membangun Kesetaraan Peradaban. Yogyakarta: Samudra Biru
Hanafi, Hasan. 2000. Oksidentalisme “Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat”. Jakarta:
Paramadina
Hanafi, Hasan. 2010. Dari Akidah ke Revolusi . Jakarta: Dian Rakyat, Cet. Kedua
Haris Riadi. 2012. “Keniscayaan Revolusi Islam (Menggagas Ulang Doktrin
Teologi Revolusi Islam Hasan Hanafi ) Oleh : Haris Riadi Pendahuluan.”
Pemikiran Islam 37, no. 2: 134–253.
Iyubenu, Edi AH. 2015. Berhala-Berhala Wacana. Yogyakarta: Diva Press.
https://www.google.co.id/books/edition/Berhala_berhala_Wacana/_QdsEAA
AQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=hubungan+ego+dan+the+other&pg=PA201&pr
intsec=frontcover.
Kasdi, Abdurrohman, and Umma Farida. 2015. “Oksidentalisme Sebagai Pilar
Pembaharuan (Telaah Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi).” Jurnal Fikrah
1, no. 2: 40.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/viewFile/540/557.
Ochan, Sean. 2013. “Hassan Hanafi Dan Oksidentalisme.” Wordpress.
https://seanochan.wordpress.com/2013/04/19/hassan-hanafi-dan-
oksidentalisme/.
Sadat, Anwar. 2017. “Oksidentaslisme: Menuju Integralisasi Epistemologi Studi
Islam.” TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan 1, no. 1:
135–48. https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i1.7.

10

Anda mungkin juga menyukai