Anda di halaman 1dari 15

EGO DAN THE OTHER DALAM KAJIAN OKSIDENTALISME

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

Oksidentalisme

Dosen Pengampu :

Saiful Mujab, M.A

Disusun Oleh:

1. Annisa Ramadhani (933808819)


2. Angger Wahyu Irsyadi (933808919)
3. Faricha Hamida Kamalin (933801319)
4. Widya Putri Agustina Sasi (933800619)

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
nikmat, taufiq serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ego dan The Other dalam Kajian
Oksidentalisme”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammada SAW yang telah mengantarkan dari zaman kebodohan menuju
zaman yang terang benderang yakni Ad-diinul Islam wal iiman.

Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah


oksidentalisme Bapak Saiful Mujab, M.A atas bimbingan dan ilmu yang telah
diberikan kepada kita semua.

Penulis menyadari bahwa pada penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu harapan penulis atas saran dan kritik yang sifatnya
membangun, untuk dijadikan perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga
maklah ini membawa manfaat dan barokah kepada penulis maupun pembaca.
Aamiin ya robbal ‘alamiin.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Kediri, 20 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................1
A Latar Belakang..........................................................................1
B Rumusan Masalah.....................................................................2
C Tujuan Masalah.........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................3
A Konsep Ego dan The Other.......................................................3
B Konsep Ego dan The Other di dalam al-Qur’an........................4
C Tujuan Dialektika Ego dan The Other......................................7
D Meletakkan Posisi Ego dan The Other dalam Diskursus
Timur-Barat...............................................................................8
BAB III PENUTUP...........................................................................11
A Kesimpulan .............................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Oksidentalisme merupakan arah penelitian baru dalam menghadapi
hegemoni keilmuan Barat. Istilah yang dipopulerkan oleh Hassan Hanafi ini
berusaha mempelajari Barat melalui sudut pandang Timur, agar terjadi
keseimbangan dalam proses pembelajaran antara barat dan timur. Dunia Barat
selama ini dianggap sangat dominan dalam studi Timur, khususnya dalam
studi Islam. Bahkan, pada masa penjajahan, Orientalisme dipandang sebagai
senjata untuk menundukkan bangsa-bangsa Timur.
Oksidentalisme yang diusung Hasan Hanafi ini tidak dapat dilepaskkan
dari tiga pilar atau agenda dari proyek tradisi dan pembaharuannya (at-turats
wa at-tajdid),1 yang masing-masing memiliki agenda-agenda turunan yang
bersifat elaboratif dan derivatif. Tiga agenda tersebut diantaranya: pertama,
sikap kita terhadap tradisi lama, dalam agenda ini membahas persoalan-
persoalan rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial. Kedua, sikap kita
terhadap tradisi Barat, dalam agenda ini mencoba melakkukan kritisisme
terhadap peradaban Barat. Ketiga, sikap kita terhadap realitas, dalam agenda
ini Hasan Hanafi mengembangkan teori dan paradigma interpretasi.
Ketiga agenda di atas, menurut Hasan Hanafi merupakan dinamika dan
mengisyaratkan terjadinya proses dialektika ego (al-ana) dan the other (al-
akhar) dalam realitas sejarah tertentu. Agenda pertama, meletakkan ego pada
sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya (masa lalu). Agenda kedua,
meletakkan ego pada posisi yang berhadapan dengan the other kontemporer,
terutama kebudayaan Barat pendatang (masa depan). Dan agenda ketiga,
meletakkan ego pada suatu tempat di mana ia mengadakan observasi langsung
terhadap realitasnya (masa kini).2
Dengan demikian, diperlukan solusi yang tepat untuk menghilangkan
sikap inferioritas Timur terhadap Barat, sehingga tidak lagi terjadi hilangnya
tradisi kita (al-ana) dan menggantinya dengan tradisi Barat (al-akhar). Dari
1
Abdurrohman Kasdi dan Umma Farida, “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Telaah
Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi),” Jurnal Fikrah 1 (2013): Hlm. 232.
2
Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, ed. Syafiq Hayim (Jakarta:
Paramadina, 1999), Hlm. 5.

1
uraian di atas, makalah ini akan kami uraikan untuk menjawab masalah yang
dirumuskan di bawah ini.
B Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ego dan the other?
2. Bagaimana konsep ego dan the other di dalam al-Qur’an?
3. Bagaimana tujuan dialektika ego dan the other?
4. Bagaimana posisi ego dan the other dalam diskursus Timur dan Barat?
C Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep ego dan the other
2. Untuk mengetahui konsep ego dan the other di dalam al-Qur’an
3. Untuk mengetahui tujuan dialektika ego dan the other
4. Untuk mengetahui posisi ego dan the other dalam diskursus Timur dan
Barat.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A Ego Konsep Dan The Other
Secara harfiah, istilah oksidentalisme berarti hal-hal yang berhubungan
dengan Barat, naik itu budaya, ilmu dan aspek social lainnya. Menurut Hanafi,
oksidentalisme diperlukan sebagai upaya untuk menangkis serangan
westernisasi yang semakin luas saja wilayahnya, bukan hanya pada wilayah
social dan budaya melainkan sudah melebar ke dalam tata cara kehidupan
sehari-hari. Westernisasi adalah bagian tak terpisah dari alienasi, yaitu saat
berpindahnya subjek diri (ego, al-ana) kepada yang lain (the other, al-Akhar).
Semenjak westernisasi melanda bangsa Timur, mereka sangat “open”
terhadap Barat. Oleh karena itulah tradisi dan bagian dari tata cara hidup
mereka kemudian terbaratkan, dan pada gilirannya mereduksi kebebasan
pemilikan budaya sendiri, karena yang dianggap “benar” setelah itu adalah
model yang muncul dari Barat. Mitos-mitos yang didengungkan Barat
kemudian “membelenggu” kesadaran Bangsa Timur dan mencabut kesadaran
mereka dari akar budayanya sendiri..3
Menurut Hasan Hanafi ada tiga agenda pokok yang harus dihadapi dalam
konsep ego al ana dan the other al akhar, yakni pertama, sikap kita terhadap
tradisi lama, kedua, sikap kita terhadap tradisi Barat. Ketiga, sikap terhadap
realitas. Ketiga agenda tersebut mengisyaratkan terjadinya proses dialektika
antara ego al ana dan the other al akhar.
Agenda pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama yaitu meletakkan
ego/ana pada sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya. Agenda kedua,
sikap kritis terhadap tradisi Barat, yaitu meletakkan ego/ana pada posisi yang
berhadapan dengan the other alakhar kontemporer, terutama kebudayaan
Barat pendatang. Orang yang terbaratkan adalah orang-orang yang
terkontaminasi ide-ide Barat, baik itu cara dan gaya hidupnya secara implisit
maupun daya intelektual berpikirnya secara eksplisit.
Sedangkan agenda ketiga, sikap kritis terhadap realitas atau teori
interpretasi, yaitu meletakkan ego al ana langsung terhadap realitasnya yang

3
Ahmad Baidhowi, “Oksidentalisme Hanafi: Mengkaji Barat dengan Kaca Mata Non-Barat” 3
(t.t.).

3
lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut baik
teks agama yang terkodifikasikan maupun yang tidak terkodifikasikan.
Menurut Hasan Hanafi dua agenda pertama berdimensi peradaban,
sedangkan agenda yang ketiga adalah berdimensi realitas. Ketiga agenda
tersebut saling berhubungan, tradisi Timur (masa lalu), tradisi Barat (masa
depan), dan tradisi ketiga adalah masa sekarang. pada hakikatnya Hasan
Hanafi me letakkan ego al ana dan the other al akhar seperti gerak sejarah
yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan..
Jika agenda pertama berinteraksi dengan kebudayaan warisan, maka
agenda kedua berinteraksi dengan kebudayaan pendatang. Keduanya tertuang
dalam realitas dimana kehidupan itu berlangsung. Pada posisi peradaban
terdapat tiga factor bagi tercapainya inovasi, yakni factor warisan, factor
pendatang dan tempat-tempat inovasi atau tempat terjadinya proses asimilasi
antara factor warisan dan pendatang.
Apa yang ingin dilakukan oleh oksidentalisme adalah melakukan
pembalikan terhadap orientalisme, dalam artian kalua selama ini Timur
menjadi obyek dalam kajian-kajian orientalisme, maka dalam oksidentalisme
Baratlah yang menjadi obyek kajiannya. Namun, dalam menjadikan Barat
sebagai obyek kajian ini bukan seperti yang terjadi selama ini yaitu mengkaji
Barat dengan perspektif Barat (ru’yah al-Anamin Manzhur al-Ana) melainkan
mengkaji Barat dengan dengan perspektif Timur (ru’yah al-Ana min Manzhur
al-Akhar), persis seperti yang dilakukan barat terhadap Timur. Bedanya, kalua
orientalisme bertujuan untuk menguasai Timur, maka oksidentalisme akan
menjadi ilmu yang netral. Oksidentalisme berdiri atas dasar “Aku” yang
obyektif, yang tidak memihak, ia tidak haus untuk menguasai atau merusak
peradaban orang lain. “Aku” dalam oksidentalisme lebih bersih dan murni dari
“Aku” dalam orientalisme.

B. Konsep Ego Dan The Other Di Dalam Al-Qur’an


Setelah dicermati secara seksama, pada hakekatnya diantara kitab suci
agama yang ada, maka kitab suci ummat Islam, al-Qur’an-lah yang
mengandung banyak sekali ayat yang menyebut istilah bermakna Barat dan

4
Timur, seperti al-Maghrib yaitu matahari terbenam atau terbit yang bermakna
barat, berpasangan dengan al-Masyriq, yang bermakna timur”. Mengenai kata-
kata “timur” dan “barat”, sebelah timur dan sebelah barat tersebut, terdapat
beberapa ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang hal tersebut, antara lain;
ِ ‫ولِٰلّ ِه الْم ْش ِر ُق والْم ْغ ِرب فَاَينَما ُتولُّوا َفثَ َّم وجه ال ٰلّ ِه ۗ اِ َّن ال ٰلّه و‬
‫ااس ٌع َعلِْي ٌم‬ ََ ُْ َ َْ َْ ُ َ َ َ َ
Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap
di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (Al-
Baqarah [2]: 115)
Diktum ayat ini menunjukkan bahwa timur dan barat merupakan konsep
yang universal yakni hanya milik Tuhan bukan milik Timur-Islam dan Barat-
Kristen. Dalam konteks kebudayaan Timur dan Barat sebenarnya saling
berdialektika. Sebagaimana konsep yang dijelaskan dalam al-Qur’an:
ِ ِ ِ ‫وترى الشَّم‬
۞ ْ ‫ِّم ِال َو ُه ْم يِف‬
َ ‫ات الش‬
َ ‫ض ُه ْم َذ‬ ْ َ‫ات الْيَ ِمنْي ِ َوا َذا َغَرب‬
ُ ‫ت َّت ْق ِر‬ َ ‫ت ت َّٰز َو ُر َع ْن َك ْهف ِه ْم َذ‬
ْ ‫س ا َذا طَلَ َع‬
َ ْ ََ َ
‫ضلِ ْل َفلَ ْن جَتِ َد لَهٗ َولِيًّا ُّم ْر ِش ًدا‬ ِ ۗ ٍ
ْ ُّ‫ت ال ٰلّ ِه ۗ َم ْن يَّ ْه ِد ال ٰلّهُ َف ُه َو الْ ُم ْهتَ ِد َو َم ْن ي‬
ِ ٰ‫ك ِمن اٰي‬
ْ َ ‫فَ ْج َوة ِّمْنهُ ٰذل‬
Artinya: “Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari
gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam, menjauhi
mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas di
dalam (gua) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah.
Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk;
dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan
seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (Al-Kahfi: 17)
Melalui ayat ini Allah memberikan bimbingan kepada siapa yang
dikendakinya dengan cara-Nya. Tentu manusia tidak mampu membuat hal
yang serupa. Terbit dan terbenamnya matahari berada di tempat yang sama
yakni gua hira atau kahf hanya keluar masuk gua itulah Timur dan Barat.
Dari sekian banyak ayat yang telah dikutip di atas, menunjukkan bahwa
banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan konsep tentang Barat dan
Timur. Al-Qur’an tidak sedikitpun mengajarkan hal-hal yang bersifat
kontradiktif, diskriminatif, apalagi bersifat subjektif. Hal ini berbeda dengan
kategori-kategori yang dibuat oleh pemikir-pemikir Barat yang cenderung

5
mempertentangkan atau yang bersifat diskrimanatif. Seperti yang terlihat
dalam tabel dibawah ini:

Barat/west/occident Timur/east/orient
(Karl Marz): Capitalist societies Pre-capatalist societies
(E. Durkeim): Mechanical Organic societies
(Levi Strauss): Hot societies Cool societies
(Max Weber): Modern, Rational, Tradisional, irrational, religious
Seculer
(Louis Dumont): Individuality Hierarchy
(Jamaluddin al-Afgani): Kristen Islam
(Moh. Al-Bahiy): Terjajah
Kolonialist/penjajah dan seterusnya
Rasional Mistik
Sekuler Religius
Superior Inferior
Dari tabel di atas, menggambarkan perbandingan dan menghasilkan
kesimpulan yang diskriminatif, tentu tidak mencerminkan cara pandangan
yang sehat. Citra seperti inilah yang ingin dikoreksi oleh oksidentalisme
berdasarkan pesan-pesan suci ayat-ayat alQur’an. Orang akan menilai betapa
arif dan bijaksananya al-Qur’an menyikapi persolan yang berpasang-
pasangan, fungsioanal bagi penjamin kelangsungan eksistensi segala jenis
ciptaan-Nya.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang timur dan barat, sudah tentu
mencerminkan betapa luas kesempatan dan dorongan yang diberikan Allah
kepada manusia untuk mengenal, mengingat, dan memuja zat Allah, serta
merenung dan memikirkan alam semesta ciptaan-Nya. Hakekat ummat
manusia yang terdalam adalah sebagai makhluk yang beriman dan berilmu.
Tidak perlu ada batas kesempatan dan pembeda kemampuan antara “manusia
Barat” dan “manusia Timur” semua memperoleh syir’ata dan minhâja dari
Allah. Dengan dua bekal tersebut Allah memberikan kesempatan kepada
manusia agar berlomba-lomba membangun peradaban masing-masing. Firman
Allah;

6
‫اح ُك ْم َبْيَن ُه ْم مِب َٓا اَْنَز َل ال ٰلّهُ َواَل‬ ِ ِ ِ ‫ص ِّدقًا لِّما َبنْي َ يَ َديِْه ِمن الْ ِكت‬ ِ ‫ك الْ ِكت‬ ِ
ْ َ‫ٰب َو ُم َهْيمنًا َعلَْيه ف‬ َ َ َ ‫ٰب باحْلَ ِّق ُم‬ َ َ ‫َواَْنَزلْنَٓا الَْي‬
ِ ‫ق لِ ُك ٍّل جع ْلنَا ِمْن ُكم ِشرعةً َّوِمْنهاجا ۗولَو َشاۤء ال ٰلّه جَل علَ ُكم اَُّمةً َّو‬
‫اح َد ًة‬ ْ ََ ُ َ ْ َ ً َ َْ ْ ََ ِّ ۗ َ‫َتتَّبِ ْع اَ ْه َوااۤءَ ُه ْم َع َّما َجاۤءَ َك ِم َن احْل‬

َ‫ت اِىَل ال ٰلّ ِه َم ْر ِجعُ ُك ْم مَجِ ْي ًعا َفُينَبُِّئ ُك ْم مِب َا ُكْنتُ ْم فِْي ِه خَتْتَلِ ُف ْو ۙن‬
ِ ۗ ‫استَبِ ُقوا اخْلَْي ٰر‬ ِ
ْ َ‫َّوٰلك ْن لِّيَْبلَُو ُك ْم يِف ْ َمٓا اٰتٰى ُك ْم ف‬
Terjemahan
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap
umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua
kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu
perselisihkan.”
Dari pencerahan yang telah diberikan oleh ayat al-Qur’an di atas
mencerminkan makna bahwa Barat merupakan salah satu identifikasi simbolik
yang berkaitan dengan tempat dan berpasangan dengan Timur, sama halnya
dengan pasangan “utara-selatan”, “atasbawah”, “kiri-kanan”, “suami-istri” dan
seterusnya. Tuhan memberikan syir’ata dan minhâja untuk menunjukkan tidak
ada pengklaiman atau menganggap diri (Barat-Timur) yang superioritas
semuanya punya jalan masing-masing. Kata syir’ata dan minhâja merupakan
sebuah metode yang cukup ekslusif karena pada hakekatnya Timur dan Barat
adalah satu sebagai “ummatan wahidah” yaitu umat yang satu pada sisi Teo-
Centris (berpusat pada Tuhan) dan dituntut untuk berlomba-lomba dalam
membangun peradaban yang rahmatan bagi semesta alam.4
B Tujuan Dialektika Ego dan The Other
Sikap kritik terhadap tradisi ego dan the other, menurut Hassan Hanafi
dimaksudkan untuk merealisasikan beberapa tujuan, yakni sebagai berikut:

4
Anwar Sadat, “Oksidentalisme: Menuju Integralisasi Epistemologi Studi Islam,” Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan 1 (2017): Hlm. 140.

7
1. Mengahhpus dualisme tradisi lokal dan tradisi pendatang guna
mewujudkan persatuan tanah air dan kepribadian nasional agar para
pembaca tahu bahwa kebudayaan kita adalah satu. Kita hanya memiliki
satu kebudayaan meskipun ada kesamaan kondisi dalam dua masyarakat
yang berbeda.
2. Memodernisir tradisi lokal secara spontan dan alami dengan
mempertahankan subtansi dan ruh, dan mengubah bentuk dan format. Hal
inilah yang dilakukan pendahulu kita ketika memodernisasi tradisi leluhur
melalui kebudayaan Yunani.
3. Hilangnya rasa takut dan rendah diri di hadapan Barat agar dapat
berinteraksi dengan mereka sebagai pihak yang sederajat. Bahkan kita
dapat mengkritik dan menjelaskan arah yang dituju Barat, dan kemudian
menyempurnakannya. Filosuf-filosuf kita di masa dulu lebih “Aristoteles”
dari pada Aristoteles sendiri. Awal kesadaran Eropa telah diumumkan
dalam Cogi to (al-Ana afkiruI: Saya berpikir) karya Descartes; akhir
kesadaran Eropa dinyatakan dalam Saya Ada karya Husserl, dan
menyurutnya perkembangan pada masa antara awal dan akhir kesadaran
Eropa diekspresikan dalam Kemarilah, Saya Ada.
4. Hilangnya kebiasaan melakukan kajian semacam ini, yaitu menggunakan
akal dalam teks dan realitas, memaksa kita mengutamakan hasil temuan
orang lain sebagai tahap pendahuluan sebelum dilakukan kajian langsung
sebagaimana yang dilakukan oleh para penerjemah di masa lalu sebelum
masa pensyarahan. Sehingga lingkungan kita terbiasa melakukan kajian
semacam ini dengan meminjam lisan orang lain, dan fungsi ego hanya
sebagai penjaja dari produk orang lain.
C Meletakkan Posisi Ego dan The Other dalam Diskursus Timur-Barat
Kategori dikotomis yang digunakan dalam pemikiran oksidentalisme
Hassan Hanafi adalah istilah al-Ana dan al-Âkhar, yang dapat diartikan
menjadi “Ego” dan “the Other”. Secara harfiah, al-Ana menunjukkan orang
pertama tunggal dan hampir selalu menjadi subyek dalam sebuah perbuatan.
Sedangkan al-Âkhar menunjukkan kategori orang lain dan selalu menjadi
pihak ketiga di luar al-Ana. Pihak keduanya adalah Anta (untuk dhomir laki-

8
laki) atau Anti (untuk kata ganti perempuan). Jadi, al-Ana sebagai pihak
pertama, Anta atau Anti sebagai pihak kedua, dan al-Âkhar sebagai pihak
yang ketiga.
Hal ini tidak menjumpai adanya penjelasan tentang perubahan kata al-Ana
menjadi makna “Ego” sebagai bahasa penerjemah. Seharusnya al-Ana
maknanya adalah “Saya” atau “Aku”. Istilah “Ego” lebih bernuansa pada
kondisi psikologis seseorang. Memang secara bahasa, kata “Ego” berarti aku
atau diri pribadi yang berkesadaran. Namun sebuah kata pasti memiliki
kecenderungan ke arah mana dan padanan kata apa yang digunakannya.
Seperti kata “dapat” dan“bisa” yang ketika keduanya diterapkan akan berbeda.
Ada “dzauq” (rasa) tersendiri ketika sebuah kata diterapkan dengan kata
sebelum atau sesudahnya.
Pada pengertian yang lain, istilah “saya” atau “aku” menunjukkan
“subyek” atau sesuatu yang tetap ada sepanjang pengalaman yang berubah-
ubah dari kehidupan seseorang. Aku adalah sesuatu yang melakukan persepsi,
konsepsi, berpikir, merasa, menghendaki, mimpi, dan menentukan (Titus,
Marilyn, & Nolan, 1984: 57).
Tetapi “Ego” yang diinginkan di sini bisa diklasifikasikan dalam teori
Sigmund Freud tentang kesatuan Id, Ego,dan Superego. Ketiga sitem itulah
yang ada dalam setiap kepribadian seseorang. Jika ketiganya mampu bergerak
dengan teratur maka kepribadian seseorang akan bisa menjadi baik dan sehat.
Sebaliknya jika ketiga sistem itu saling bertentangan maka kepribadian
seseorang akan mengarah kepada perbuatan yang merusak. Id berarti sifat
dasariah seseorang seperti marah, menguasai, benci, mementingakan diri
sendiri, terkadang irrasional, dan dikuasai oleh prinsip-prinsip kesenangan.
Ego dikuasai oleh prinsip-prinsip kenyataan. Kenyataan berarti apa adanya.
Sebagai contoh, anak harus belajar untuk tidak memasukkan sembarang benda
dalam mulutnya, kalau dia lapar harus mengenal makanan, dan lain
sebagainya. Sedangkan superego bertugas sebagai pengontrol dan pengatur
kepribadian agar sampai kepada sesuatu yang ideal dan sempurna (Hall, 1980:
29-45).

9
Dalam konteks ini, “Ego” yang dimaksud adalah sebagai tindakan timbal-
balik dengan kenyataan yang obyektif. “Ego” yang diwakili oleh peradaban
Timur-Islam ingin melakukan hubungan timbal-balik dan menguraikan secara
obyektif tentang kesadaran Eropa serta mengungkap sumber-sumbernya yang
selama ini tidak pernah terekspos. Jika hal ini dilakukan, akan terjadi
kenyataan yang obyektif sesuai dengan sejarah.
Namun “Ego” yang dimaksud di sini adalah kesadaran aku secara
konseptual yang hanya ada pada pribadi “Ego”. Di luar kepribadian “Ego”
disebut “the Other”. Posisi “Anta” sebenarnya tergantung bagaimana
memaknai “Ego”. Hematnya, jika pembicaraan “Anta” masih dalam koridor
“Ego”, maka dia termasuk “Ego”, bukan “the Other”. Oposisi biner di atas
sebenarnya lebih menunjukkan pada kategori dua peradaban yang berbeda
satu sama lain. Al-Ana mewakili peradaban Timur dan al-Âkhar mewakili
peradaban Barat. Penamaan Timur dan Barat pun sudah mengindikasikan
adanya perlawanan antar-peradaban. Kategori ini juga yang pernah dikritik
keras oleh Edward W. Said, bahwa Barat harus bertanggung jawab pada
pembedaan istilah yang telah dibuatnya. Lebih-lebih pembedaan itu mengarah
pada posisi Barat sebagai pihak yang menang dan Timur sebagai pihak yang
kalah. Kategorisasi inilah yang kemudian oleh Barat memunculkan sebuah
kajian bernama orientalisme, dengan tujuan memperkuat eksistensi Barat
sebagai pihak yang berkuasa atas selain Barat.
Untuk konteks dewasa ini, kategori “Barat” dan “Timur” sudah menjadi
bias. Bagaimanakah sesuatu disebut “Barat” dan bagaimana sesuatu itu
disebut “Timur”? Tidak ada kajian ilmiah yang bisa menjawab secara tuntas
pertanyaan ini. Apakah seorang Edward Said itu sebagai seorang orientalis
atau bukan? Kalau disebut orientalis, apa batasannya? Padahal dia berasal dari
Pakistan. Tetapi jika disebut seorang oksidentalis, dia beragama Kristen dan
tinggal di Amerika sebagai representasi negara Barat. Begitu juga yang terjadi
pada Hassan Hanafi sendiri. Jika dia disebut sebagai seorang oksidentalis, dia
pernah belajar ilmu di Perancis dan bahkan kematangan ilmunya terbentuk
karena Perancis yang menjadi bagian dari dunia para orientalis.5
5
Ridho Al-Hamdi, Epistemologi Oksidentalisme: Membongkar Mitos Superioritas Barat,
Membangun Kesetaraan Peradaban (Yogyakarta: Samudra Biru (Anggota IKAPI), 2019), Hlm.

10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Antara ego/al-ana (Timur) dan the other/al-akhar (Barat) pada hakekatnya
bukan dua sumbu yang saling berlawanan atau bertentangan melainkan
memiliki hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara
yang satu dengan yang lainnya. Sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan
dominatif dari Barat atas Timur atau Timur atas Barat. Dalam al-Qur’an
banyak menceritakan tentang ego/al-âna dan the other/al-âkhar, ini
menunjukkan bahwa al-Qur’an jauh lebih toleran dan tidak diskriminatif.
Ajaran al-Qur’an ini patut kita jadikan acuan dalam membangun hubungan
yang harmonis antara kebudayaan yang ada agar saling mengisi dan
mengoreksi.
Adapun tujuan dialektika ego dan the other ini meliputi: menghapus
dualisme tradisi lokal dan tradisi pendatang, Memodernisir tradisi lokal secara
spontan dan alami, Hilangnya rasa takut dan rendah diri di hadapan Barat saat
berinteraksi, dan Hilangnya kebiasaan semacam menggunakan akal dalam teks
dan realitas, dan memaksa kita mengutamakan hasil temuan orang lain.
Oksidentalisme berupaya menetralkan kemampuan ego dalam memandang
the other, mengkajinya, dan mengubahnya menjadi objek, setelah sekian lama
the other menjadi subyek yang menjadikan pihak lain sebagai objek. Namun,
oksidentalisme tidak berambisi merebut kekuasaan, melainkan hanya
menginginkan pembebasan. Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos Barat
sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan,
sekaligus melenyapkan inferioritas Timur serta mengembalikan ego
ketimurannya.
Salah satu upaya menyikapi Barat yaitu melalui ide demitologisasi Barat
dan mendorong adanya penyeimbangan perspektif netral antara ego (Timur)

62.

11
dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus direkonstruksi yang superior
dan inferior menuju model dialektika yang berimbang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamdi, Ridho. Epistemologi Oksidentalisme: Membongkar Mitos Superioritas


Barat, Membangun Kesetaraan Peradaban. Yogyakarta: Samudra Biru
(Anggota IKAPI), 2019.

Farida, Abdurrohman Kasdi dan Umma. “Oksidentalisme Sebagai Pilar


Pembaharuan (Telaah Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi).” Jurnal Fikrah 1
(2013).

Hanafi, Hassan. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Edited by


Syafiq Hayim. Jakarta: Paramadina, 1999.

Sadat, Anwar. “Oksidentalisme: Menuju Integralisasi Epistemologi Studi Islam.”


Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan 1 (2017).

12

Anda mungkin juga menyukai