Anda di halaman 1dari 200

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA:

PENGADAAN DAN RETENSI SDM DI


PERGURUAN TINGGI SWASTA
(TEORI DAN PRAKTEK)

Manajemen Sumber Daya Manusia | 1


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
Pasal 9
(1) Pencipta atau pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
memiliki Hak Ekonomi untuk melakukan:
a. Penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
g. Pengumuman Ciptaan;
(2) Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang
melakukan penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Pasal 113
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Manajemen Sumber Daya Manusia | 2


MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA:
PENGADAAN DAN RETENSI SDM DI
PERGURUAN TINGGI SWASTA
(TEORI DAN PRAKTEK)

Dr. Nasir, S.Pd., M.Pd


Dr. Adam, M.Pd
Rahmawati. M, S.Pd., M.Pd
Arfin, S.Pd., M.Pd
Dra. Mujiati, M.Si
Titin Rahmiatin, S.Pd., M.Pd

Manajemen Sumber Daya Manusia | 3


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh
isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa mendapat
izin tertulis dari Penerbit

© 2020, Penerbit Alfabeta, Bandung


Man125 (x+190 hal) 16 x 24 cm

Judul Buku : Manajemen Sumber Daya Manusia:


Pengadaan Dan Retensi Sdm Di Perguruan Tinggi Swasta
(Teori Dan Praktek)
Penulis : Dr. Nasir, S.Pd., M.Pd
Dr. Adam, M.Pd
Rahmawati. M, S.Pd., M.Pd
Arfin, S.Pd., M.Pd
Dra. Mujiati, M.Si
Titin Rahmiatin, S.Pd., M.Pd
Penerbit : ALFABETA, CV
Jl. Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung
Telp. (022) 200 8822
Fax. (022) 2020 373
Mobile/Message: 081 1213 9484
Website: www.cvalfabeta.com
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
Cetakan Kesatu : 2020
ISBN : 978-602-289-

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Manajemen Sumber Daya Manusia | 4


KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan hasil penelitian yang mengelaborasi


empirical evidence (fakta) di lapangan dan teori maupun konsep
manajemen sumber daya manusia yang telah ada. Melalui elaborasi
konsep ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan
konsistensi dengan realitas sosial. Hasil elaborasi tersebut selanjutnya
menjadi kumpulan konsep, definisi, proposisi dan variabel yang
berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasi
sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi fenomena (fakta-fakta)
yang terjadi.

Dalam analisa tim penulis, memaksimalkan manajemen sumber


daya manusia akan menjadi satu alternatif untuk pencapaian visi dan
tujuan perguruan tinggi maupun organisasi profit sekalipun.
Sebagaimana yang dikemukakan Robbins, bahwa organisasi yang
berhasil adalah organisasi yang mampu mencapai tujuan melalui
sumberdaya manusia yang kompeten dan berdedikasi. Masing-masing
organisasi memiliki agenda penting untuk mampu mengelola perilaku
SDM nya yang bukan saja terkait dengan penyelesaian tugas sesuai
deskripsi kerja, namun juga terhadap aspek-aspek di luar itu yang
mendukung pada efektivitas fungsi organisasi.
Kebermanfaatan kajian dalam buku ini akan berkontribusi
positif bagi pengambilan kebijakan di masa depan. Terdapat sebuah
pandangan yang mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
individu atau kelompok guna memecahkan masalah tertentu. Informasi-
informasi yang diperoleh di lapangan, bisa menjadi masukan bagi pihak
sebagai bahan pertimbangan dalam memformulasi pemecahan masalah
terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi pada institusi-institusi
baik yang bersifat kependidikan ataupun non-kependidikan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 5


Tim penulis mengucapkan terimakasih kepada segenap pihak
yang telah membantu dan berkontribusi demi tersusunnya buku:
Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan dan Retensi SDM di
Perguruan Tinggi Swasta (Teori dan Praktek). Tim penulis juga
berharap pembaca dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan
khasanah berpikir yang lebih kompleks terkait dengan fokus kajian
dalam buku ini.

Tim Penulis,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 6


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1


A. Rasional berpikir .................................................. 1
B. Analisis Situasi .................................................... 7

BAB II MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA ..... 16


A. Konsep Dasar Manajemen Sumber Daya
Manusia (SMDM) ................................................ 16
B. Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia ........ 18
C. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia ......... 20
1. Perencanaan Manajemen Sumber Daya
Manusia ........................................................... 21
2. Pengorganisasian Manajemen Sumber Daya
Manusia .......................................................... 24
3. Pengarahan Manajemen Sumber Daya
Manusia .......................................................... 26
4. Fungsi Pengkoordinasian ............................... 28
5. Fungsi Pengontrolan dan Pengawasan ............ 29

BAB III PENGADAAN (PROCUREMENT) SUMBER


DAYA MANUSIA .................................................. 33
A. Analisis Kebutuhan (Need Analysis) sebagai
Fungsi Perencanaan ............................................ 33
B. Analisis Pekerjaan (Job Analysis) ....................... 38

Manajemen Sumber Daya Manusia | 7


C. Rekrutmen dan Seleksi SDM............................... 42
1. Rekrutmen (Recruitment) ................................ 42
2. Seleksi (Selection) .......................................... 48
D. Penempatan Kerja (Placement Workplace) ......... 53

BAB IV RETENSI (RETENTION) SUMBER DAYA


MANUSIA ............................................................... 55
A. Konsep Dasar Retensi Sumber Daya Manusia .... 55
B. Faktor Penentu Retensi Pegawai ........................ 56
C. Strategi Retensi SDM ......................................... 61
1. Pengembangan Karir ....................................... 61
2. Pelatihan dan Pengembangan secara
Berkelanjutan ................................................. 66
3. Memelihara Lingkungan Kerja ...................... 74
4. Kompensasi dan Sistem Penghargaan............. 78

BAB V DOSEN SEBAGAI SUMBER DAYA MANUSIA


PERGURUAN TINGGI ......................................... 85
A. Standar Mutu Kerja Dosen .................................. 85
B. Beban Kerja Dosen dan Perwujudan Tri dharma
Perguruan Tinggi ................................................. 89

BAB VI REFLEKSI TERHADAP PENGADAAN DAN


RETENSI SUMBER DAYA MANUSIA
DI PERGURUAN TINGGI SWASTA ................. 92
A. Analisis Kebutuhan (Need Analysis) sebagai Fungsi
Perencanaan SDM (Manpower Planning) ........... 92
B. Analysis Pekerjaan (Job Description) Pegawai
atau Karyawan ..................................................... 97

Manajemen Sumber Daya Manusia | 8


1. Deskripsi Pekerjaan (Job Description)
Pegawai atau Karyawan ................................. 98
2. Spesifikasi Pekerjaan (Job Specification)
Pegawai .......................................................... 101
C. Rekrutmen dan Seleksi (Recruitment and
Selection) SDM ................................................... 103
D. Penempatan dan Penugasan (Placement and
Assignment) SDM ............................................... 109
E. Retensi dan Strategi Mempertahankan SDM ..... 114
1. Pengembangan SDM; Kompetensi dan Karir . 115
2. Menjaga Mutu Lingkungan Kerja (Quality
of Work Life) ................................................. 122
3. Sistem Kompensasi dan Penghargaan
(System of Rewarding) ................................... 130

BAB VII MODEL MSDM REMAJA ................................... 136


A. Rasionalisasi Model ............................................ 136
B. Aspek-aspek Model ............................................ 141
1. Pengadaan SDM ............................................. 141
a. Perencanaan SDM ..................................... 141
b. Proporsi Nilai ............................................ 143
2. Retensi SDM .................................................. 144
a. Employer Branding ................................... 144
b. Kebijakan Organisasi ................................ 146
C. Pengujian Model ................................................. 154
D. Kelebihan dan Kekurangan ................................. 157

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 160


RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................. 186

Manajemen Sumber Daya Manusia | 9


Manajemen Sumber Daya Manusia | 10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasional Berpikir
Pada sistem pendidikan, investasi yang dilokasikan untuk
pengelolaan terhadap sumber daya manusia adalah item pengeluaran
terbesar karena kegiatan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
meliputi banyak komponen, diantaranya merekrut orang-orang yang
layak, menjaga, mengembangkan, dan mengadaptasi mereka sehingga
bisa tetap relevan dengan situasi kerja yang berubah-ubah (Everard,
Morris & Wilson, 2004: 74). Meskipun sebenarnya, banyak yang
berpikir bahwa naruli manusiawi setiap manajer akan dibayangi dengan
“suka atau tidak” terhadap seseorang. Dalam kaitan ini, Everard dkk
sumber daya yang dimaksud adalah individu yang benar-benar
memiliki skill yang dibutuhkan untuk kinerja yang maksimal.
Pandangan di atas mengindikasi bahwa upaya memperoleh
sumber daya yang “mumpuni” bukanlah hal yang mudah. Untuk itu,
agar rekrutmen yang dilakukan tidak menjadi sia-sia, maka proses ini
harus dilakukan dengan benar. Perekrutan dapat memainkan peran
penting dalam membentuk efektivitas dan kinerja organisasi, jika
organisasi kerja dapat memperoleh pekerja yang telah memiliki
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang relevan dan mampu
membuat prediksi yang akurat mengenai kemampuan masa depan
mereka.

Pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki peran


penting dalam memastikan kinerja pekerja dan hasil organisasi yang

Manajemen Sumber Daya Manusia | 11


positif. Seringkali diklaim bahwa pemilihan pekerja terjadi tidak hanya
untuk mengganti karyawan yang berangkat atau menambah tenaga
kerja namun lebih bertujuan untuk menempatkan pekerja yang dapat
tampil pada situasi kerja yang kompleks (Ballantyne, 2009)
Sumber daya manusia adalah aset paling berharga yang dimiliki
organisasi, baik organisasi profit maupun non-profit. Tantangan yang
dihadapi oleh organisasi saat ini dan di masa depan adalah bagaimana
mempertahankan SDM berkualitas agar terus berkinerja baik dan
bertahan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu retensi strategis yang
berkelanjutan untuk mempertahankan karyawan terbaik dari suatu
organisasi dan hal ini tidak hanya tugas dari Human Resources
Development (HRD), tetapi juga manajer dan pimpinan dari atasan
yang bersangkutan.

Pemeliharaan (maintenance atau retain) karyawan merupakan


salah satu fungsi dari MSDM, yaitu fungsi operasional. Dimana, dalam
fungsi operasional terdapat pemeliharaan yang berarti memelihara
tenaga kerja agar betah bekerja di institusi tersebut (Flippo, 2002).
Pemeliharaan karyawan selalu mengutamakan pemberian penghargaan
yang layak pada karyawan, sehingga penghargaan untuk menjembatani
jurang antara tujuan institusi dan harapan serta aspirasi individu perlu
disediakan. Agar efektif sistem penghargaan institusi hendaknya
menyediakan tiga hal yaitu: tingkat penghargaan yang cukup memenuhi
kebutuhan dasar, keadilan dengan pasar kerja eksternal, keadilan dalam
institusi yang terkait dengan kebutuhan mereka (Gamble, Dowler &
Hirsh, 2004: 127)

Untuk memelihara retensi SDM, ada beberapa strategi yang


dapat dilakukan. Sebagaimana dipaparkan Abdul Hakim dalam
presentasinya, retensi dilakukan melalui upaya berikut: 1) menetapkan
ekspektasi atau harapan yang jelas; 2) menunjukkan bahwa organisasi
menghargai karyawan; 3) membuat suasana kerja menjadi lebih

Manajemen Sumber Daya Manusia | 12


bermakna; 4) memberi praise dan recognition yang pantas; 5) terus
menerus membimbing atau melakukan coaching dan counseling; 6)
memaksimalkan fungsi kepemimpinan; 7) mendengarkan feedback dan
ide pekerja; serta 7) pengembangan karyawan.
Dalam banyak literatur, manfaat dari retensi meliputi:
meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan disiplin dan
menurunkan absensi, meningkatkan loyalitas dan menurunkan
turnover, memberi ketenangan, keamanan, kesehatan (proteksi SDM),
memperbaiki kondisi fisik, mental dan sikap karyawan, mengurangi
konflik serta menciptakan suasana yang harmonis, mengefektifkan
pengadaan SDM. Sederhananya, manfaat retensi karyawan bisa
disimpulkan sebagai strategi untuk efektifitas kinerja dan peningkatan
performa institusi atau organisasi.

Menurut The Scribner Bantam English Dictionary terbitan


Amerika Serikat dan Canada tahun 1979, kinerja diartikan sebagai: to
do or carry out; execute, to discharge or fulfill as a vow, to portray, as
a character in a play, to render by the voice or a musical instrument, to
execute or complete an undertaking, to act a part in a play, to perform
music, and to do what is expected of a person in machine. Menurut
Swanson (dalam Keban, 2004: 193), kinerja organisasi adalah
mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai
dengan kenyataan, kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya
yang ada; apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja yang
diinginkan; apakah memiliki kepemimpinan, modal dan infrastruktur
dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya dan sistem
insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan
apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-
kebijakan seleksi dan pelatihan, dan sumber dayanya.
Kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai hasil kerja
organisasi dalam mencapai tujuannya yang tentu saja akan dipengaruhi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 13


oleh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Sumber daya
yang dimaksud dapat berupa fisik seperti sumber daya manusia maupun
nonfisik seperti peraturan, informasi, dan kebijakan, maka untuk lebih
memahami mengenai faktor-faktor yang mampu mempengaruhi sebuah
kinerja organisasi. Konsep kinerja organisasi juga menggambarkan
bahwa setiap organisasi publik memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan dapat dilakukan pengukuran kinerjanya dengan
menggunakan indikator-indikator kinerja yang ada untuk melihat
apakah organisasi tersebut sudah melaksanakan tugasnya dengan baik
dan untuk mengetahui tujuannya sudah tercapai atau belum.
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan (Jones, 2011:
127) yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen
indikator berikut ini:
1. Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar organisasi mampu menghasilkan produknya,
baik barang atau jasa yang meliputi sumber daya manusia,
informasi, kebijakan dan sebagainya.
2. Indikator keluaran (outputs) adalah sesuatu yang diharapkan
langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun
nonfisik.
3. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang terkait
dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
4. Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan
baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Dalam pembahasan kinerja organisasi selalu dibicarakan dan
dibedakan mengenai organisasi privat dan organisasi publik. Indikator
yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi antara privat dan
publik pun secara khusus juga dapat dikatakan berbeda. Untuk

Manajemen Sumber Daya Manusia | 14


membedakan suatu organisasi tertentu adalah organisasi privat atau
organisasi publik juga ada indikatornya. Ada tiga indikator yang
umumnya digunakan sebagai ukuran sejauh mana kinerja organisasi
berorientasi keuntungan (profit oriented), adalah sebagai berikut:
1. Efektifitas adalah hubungan antara input dan output dimana
penggunaan barang dan jasa dibeli oleh organisasi untuk
mencapai output tertentu.
2. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, dimana
efektivitas diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output,
kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
3. Ekonomis adalah hubungan antara pasar dan input, dimana
pembelian barang dan jasa dilakukan pada kualitas yang
diinginkan dan harga terbaik yang dimungkinkan (Bastian,
2001: 335-336).

Narasi di atas menggambarkan alur dalam tulisan ini. Untuk


memudahkan pembaca, penulis menyusun kerangka pikir sebagaimana
terangkum dalam gambar berikut di bawah ini:

Manajemen Sumber Daya Manusia | 15


Input Proses Output Outcome

Konsep MSDM Analisis Kebutuhan


- Right man in right place (Baysal, 1993:
Canman, 1995; Mathis & Jackson , 200 6)
- SDM sebagai human capital (Becker, 1 993) Pengadaan Analisis Pekerjaan
- Perat uran Ment eristek DIKTI No. 2 Tahun SDM
2 016 tentang registrasi pendidik pada
p ergu ruan tinggi Rekruitmen & Seleksi

Pengadaan Daya Saing


Penempatan & Penugasan Produktivitas
& dan
Retensi & Sustainabilitas Institusi
loyalitas dosen
Jaminan Karir
Fakta Empirik
- Ras io dosen dan mahasiswa
- Kep ercayaan user
Retensi Mutu Lingkungan Kerja
- Turnover dos en
- Suasana kerja
- Kompensasi dosen
Pelati han & Pengembangan

Kompensasi & Sistem Penghargaan

Feedback

Manajemen Sumber Daya Manusia | 16


B. Analisis Situasi
Salah satu target nasional yang ditetapkan oleh Ristekdikti
hingga akhir tahun 2019 adalah mengurangi 1.000 Perguruan Tinggi
Swasta (PTS). Salah satu cara mencapai hal itu adalah melakukan
penataan pada PTS melalui penggabungan dan penyatuan (merger)
serta akuisisi perguruan tinggi (Gunawan, 2017). Upaya dari
pemerintah RI memerger dan akuisisi PTS tentu mempunyai
konsekuensi, baik negatif maupun positif. Manfaat dari penyatuan
tersebut diantaranya yaitu: menjaga rasio dosen-mahasiswa. Dari
banyak laporan menyebutkan bahwa terjadi perubahan komposisi rasio
kuantitas dosen dan mahasiswa di masing-masing program studi di
PTS. Meskipun demikian, perdebatan atas upaya merger PTS masih
tetap menjadi perdebatan karena alasan-alasan: perbedaan visi, misi,
budaya, Renstra, SOP dan tata kelola manajemen antar PTS (IDRI,
2018).

Banyaknya perguruan tinggi di Indonesia membuat persaingan


semakin ketat. Mau tidak mau, perguruan tinggi harus mengedepankan
kualitas sebagai ujung tombak untuk memenangkan persaingan
tersebut. Salah satu komponen yang harus diperhatikan memenangkan
kompetisi ini, disebutkan yaitu tata kelola sumberdaya dosen yang
kompeten (Wisnumurti, 2017). Dalam hal pengelolaan PTS,
sebenarnya pemerintah telah memberikan otonomi kepada badan
hukum nirlaba atau yayasan untuk mengatur sendiri pengelolaan bidang
non-akademik seperti pengelolaan keuangan, pengelolaan
kepegawaian, serta pengelolaan aset dan sarana (UU Dikti, 2012).
Karenanya, pengelolaan PTS diserahkan sepenuhnya kepada badan
hukum nirlaba atau yayasan yang mendirikannya. Meskipun demikian
untuk urusan akademik tetap mengacu pada standar nasional
pendidikan tinggi yang ditetapkan pemerintah.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 17


Sebagaimana telah disebutkan di atas, otonomi yang berikan
undang-undang kepada PTS yaitu pengelolaan SDM; dosen dan
pegawai. Pada berbagai bentuk organisasi, konsep manajemen sumber
daya manusia sendiri telah lama diakui oleh institusi-institusi besar di
Amerika sebagai sebuah sistem yang mampu meningkatkan performa
institusi, karena melalui pengelolaan yang dilakukan akan muncul jiwa
kompetisi para pegawai di lingkungan kerja (Delaney & Huselid, 2017:
1). Melalui sistem tersebut, para pekerja diberikan serta memperoleh
bimbingan sikap profesional dan keterampilan operasional.

Butcher dan Kritsonis (2007) menyebutkan bahwa fungsi


operasional Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) meliputi:
pengadaan personalia, pengembangan keterampilan, dan memastikan
pegawai nyaman dengan lingkungan kerja yang ada. Sumber daya
manusia yang berkinerja tinggi merupakan salah satu faktor kritis atas
sukses-tidaknya sebuah lembaga, baik institusi profit maupun non-
profit (Pohan, 2010: 7). Akan tetapi pada kenyataannya, usaha untuk
memperoleh dan mempertahankan the best employee (pegawai yang
terbaik) justru sering menjadi kendala utama yang sering dihadapi oleh
banyak institusi, tidak terkecuali dengan perguruan tinggi khususnya
PTS.
Telah banyak penelitian yang melakukan pengkajian tentang
turnover dan retensi dosen. Kong Theen Hoy, dkk. (2017)
menggunakan sistem analisis statistik menyimpulkan jika faktor yang
mempengaruhi retensi dosen yaitu: komitmen organisasi, program
pelatihan dan pengembangan, tekanan pekerjaan dan kepuasan pada
gaji serta penghargaan. Owence, Pinagase & Mercy (2014)
menggunakan desain penelitian survey mengungkapkan bahwa, kondisi
kerja yang buruk di mana karyawan diberi kontrak jangka pendek untuk
waktu yang lama menyebabkan ketidakpastian di tempat kerja. Lebih
dari itu, deskripsi pekerjaan yang kekurangan dan tidak terdefinisi di

Manajemen Sumber Daya Manusia | 18


mana akhirnya menjadi faktor yang menyebabkan ketidakamanan
pekerjaan. Selain itu, kurangnya prospek promosi akademik juga
menjadi faktor pendorong dalam teka-teki keluarnya staf. Oleh karena
itu studi mereka merekomendasikan manajemen harus meningkatkan
mutu lingkungan kerja dan membangun sistem promosi yang akan
memotivasi staf. Albaqami (2016) dengan analisis secara statistik
mengungkapkan faktor-faktor penentu turnover anggota fakultas yang
bekerja di universitas negeri Saudi dibagi menjadi tiga bagian: variabel
demografis (usia, jenis kelamin, masa kerja dan posisi), variabel
organisasi (hubungan interpersonal, lingkungan kerja, dan keadilan
pembayaran), dan variabel individu (komitmen dan kepuasan
pekerjaan). Sementara itu, Hasil penelitian Thanuja, dkk (2016)
mengungkapkan bahwa hanya empat faktor yang akan mengurangi niat
berpindah dosen: kepuasan kompensasi, otonomi kerja, pencapaian
indikator kinerja, dan kepuasan kerja. Oleh karena itu, mereka
merekomendasikan universitas mengaplikasikan strategi retensi yang
tepat.

Dalam konteks PTS di Indonesia, Kemenristek DIKTI telah


merilis 243 daftar kampus yang dinonaktifkan yang diakibatkan oleh
turnover dan tata kelola dosen. Dimuat pada detik.news online tanggal
10 Januari tahun 2015, Menristek DIKTI menyebutkan jika jenis
pelanggaran kampus non-aktif sangat beragam. Beberapa diantaranya:
masalah nisbah dosen/mahasiswa, masalah pelanggaran peraturan
perundang-undangan, Jumlah mahasiswa over kuota (PRODI
Kesehatan/kedokteran), kasus dosen (misal dosen status ganda), dan
pemindahan/pengalihan dosen tanpa izin Kopertis. Jika digeneralisasi,
243 daftar kampus yang dinonaktifkan tersebut semuanya adalah
perguruan tinggi swasta yang tersebar di Indonesia.
Mengutip dari update terakhir Data publikasi Statistik Indonesia
bulan Maret tahun 2017 tentang Jumlah Perguruan Tinggi, Mahasiswa,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 19


dan Tenaga Edukatif (Swasta) di Bawah Kemenristek DIKTI keadaan
dosen-mahasiswa diketahui pada tahun ajaran 2014/2015 yaitu: 61.414
mahasiswa dan 1.580 dosen. Tahun ajaran 2016/2017 yaitu: 68.689
mahasiswa dan 1.219 dosen. Pada tahun pelajaran 2014/2015 rasio
dosen yaitu 1: 39, sedangkan 2016/2017 adalah 1:56. Sedangkan jika
merujuk panduan Peraturan MENRISTIK DIKTI RI Nomor 2 Tahun
2016, pemerintah menetapkan bahwa dosen dan mahasiswa di sebuah
program studi harus memiliki rasio yang ideal yaitu: satu banding 30
(1:30) untuk mata kuliah eksakta dan satu banding 45 (1:45) untuk ilmu
sosial.
Dampak dari turnover tersebut mengakibatkan munculnya
masalah-masalah di antaranya seperti tingkat kepercayaan masyarakat
menurun, suasana lingkungan kerja yang kurang kondusif, serta biaya
operasional mengajar dosen tidak terkontrol. Pada aspek lain, layanan
mutu kerja khususnya lingkungan kerja mengindikasikan suasana kerja
yang kurang kondusif. Para dosen hanya hadir untuk menyelesaikan
tanggung jawab mengajar saja. Selanjutnya, interaksi seperti diskusi
dan bertukar info, pengalaman dan pengetahuan bersama rekan dosen,
atasan, maupun pimpinan jarang terjadi. Akibatnya, para dosen
ketinggalan banyak informasi untuk pengembangan kapasitas dan
keterampilan dosen sebagai tenaga edukasi, dosen sebagai peneliti,
dosen dan lain-lain. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, penulis
berasumsi bahwa benar ada masalah yang terjadi pada aspek
pengelolaan SDM.
Dalam banyak teori, pengadaan personil memiliki peran penting
dalam mengelola sumber daya manusia. Bahkan pengadaan seringkali
diklaim bukan hanya strategi untuk mengganti karyawan yang resign,
namun lebih dari itu, juga bertujuan untuk menempatkan pekerja yang
dapat tampil pada tingkat kerja yang rumit dan menunjukkan komitmen
(Ballantyne, 2009). Pengadaan merupakan bagian penting dari tugas

Manajemen Sumber Daya Manusia | 20


manajer sumber daya manusia dalam organisasi. Tahapan ini memberi
keunggulan kompetitif, karena pada level ini, SDM dipilih dengan hati-
hati dan dikembangkan untuk memperoleh komitmen karyawan
(Storey, 1995).
Setiap organisasi menginvestasikan waktu dan uang untuk
mengembangkan sebuah pendekatan perencanaan SDM yang efektif
agar bisa memperoleh pegawai baru seperti pegawai yang telah ada
(Poerwanto, 2013: 1). Oleh karena itu, kecenderungannya, institusi
akan memaksimalkan upaya pemeliharaan tingkat turnover pegawai,
karena bila sebuah institusi kehilangan seseorang dengan banyak
pengetahuan dan terlatih, pada dasarnya organisasi telah kehilangan
pendapatan yang seharusnya dihasilkan karyawan tersebut (Becker,
1993: 228).

Pada beberapa institusi besar, biasanya Chief Executive Officer


(CEO) menetapkan aturan mengenai perlakuan terhadap karyawan.
Bagaimana institusi menilai kinerja mereka? Dan atas dasar apa
penilaian tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka sudah
selayaknya para pucuk pimpinan memiliki program khusus untuk
membangun budaya retensi dalam Tim dan divisinya.

Sebuah riset dilakukan oleh tim peneliti yang terdiri dari


Hutchings, De Cieri, dan Shea (2015) menyebutkan bahwa sebagian
besar karyawan, berpindah loyalitas karena alasan “non-moneter”.
Dijelaskan lebih lanjut, karyawan meninggalkan pekerjaan (left out)
mereka karena alasan-alasan sebagai berikut: 1) visi dan misi institusi
berbeda dengan latar belakang karyawan; 2) para pimpinan tidak
mengkomunikasikan penilaian terhadap karyawan; 3) tidak ada sumber
informasi yang cukup memadai untuk pengembangan diri; 4) tidak ada
kesempatan untuk mendapatkan promosi; serta 5) karyawan lebih
tertarik dengan isu-isu kompensasi.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 21


Pada hakikatnya, konsep employee retention merupakan konsep
yang telah ada sejak lama. Hal tersebut terlihat dari hirarki kebutuhan
yang dikemukakan oleh Maslow dalam bukunya “motivation and
personality”. Jelavic & Ogilive (2009) menyimpulkan bahwa semua
manusia selalu mencoba untuk tingkat kemampuan tertingginya.
Mereka menuliskan bahwa Maslow selanjutnya menciptakan sebuah
model kebutuhan manusia yang terdiri dari beberapa tingkat. Tingkat
pertama adalah kebutuhan dasar dan kebutuhan psikologis, seperti:
oksigen, makan, minuman, sex dan lain-lain-lain. Kebutuhan ini sangat
penting karena dibutuhkan manusia untuk hidup. Tingkat kedua yaitu
kebutuhan akan keamanan dan perlindungan (safety needs). Ketiga
yakni kebutuhan akan kehidupan sosial, seperti: rasa memiliki,
penerimaan, pertemanan dan cinta. Selanjutnya tingkat keempat yakni
kebutuhan yang berkaitan dengan keegoan manusia (esteem needs).
Seperti kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dikenal dan lain-lain.
Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan yang paling tinggi yaitu
kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), pemenuhan diri dan
pengembangan diri.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 22


Self actualization

Esteem needs

Belonging needs and love

Safety needs

Biological and physicological needs

Gambar 1
Teori Kebutuhaan Abraham Maslow (Kinicki & Robert, 2008)

Model hirarki Maslow sesungguhnya merupakan cara ideal


yang bisa dilakukan oleh setiap institusi untuk memelihara turnover
karyawan. Jika model tersebut dikaitkan dengan konsep employee
retention, maka akan ditemukan sejumlah pendekatan untuk
mempertahankan karyawan. Tetapi banyak institusi “enggan”
menerapkannya karena mereka merasa bahwa cara ini dapat menambah
pengeluaran operasional. Selain itu, dengan memberikan segala
fasilitas tersebut, karyawan akan semakin manja dan tidak pernah
merasa puas, sehingga institusi dipaksa terus mencari alternatif untuk
memenuhi kepuasan karyawan.
Menjustifikasi teori-teori di atas, penulis mengutip sebuah studi
kasus dari sebuah blog yang mengilustrasikan bahwa sebuah aplikasi
pekerjaan terlaksana secara dua arah; kebutuhan institusi terlaksana,
sedangkan keinginan calon karyawan juga terpenuhi. Dengan demikian
employee retention merupakan keadaan yang terencana, dimulai sejak

Manajemen Sumber Daya Manusia | 23


awal pegawai masuk hingga keluar. Dalam studi kasus tersebut,
digambarkan seperti apakah budaya retensi karyawan yang sebenarnya
dan bagaimana usaha untuk membangun sesuatu dari awal. Manajer
berbagi taktik yang biasa dilakukan oleh pendiri institusi, bahkan hal-
hal yang dilakukan sebelum mereka mulai mewawancarai kandidat,
dengan meluangkan waktu untuk mencari tahu kepribadian institusi
sebelumnya dan berkomunikasi secara candid dalam setiap
kesempatan, adalah satu investasi terbaik dalam membuat masa depan
institusi.

Inilah beberapa kunci untuk meningkatkan retensi karyawan


dalam institusi. Manajer Location Labs telah mengambil waktu untuk
berpikir hati-hati tentang apa yang mereka nilai dan berusaha untuk
memprioritaskan hal itu secara terbuka dan jujur, dengan setiap gerakan
yang mereka buat. Jika sebuah institusi memiliki kesulitan untuk
mempertahankan orang, mereka juga tidak tahu siapa mereka atau
mereka tidak berkomunikasi dengan baik. Namun untungnya, semua ini
jelas bisa diperbaiki (firstround.com/review/this-company-retains-95-
percent-of-itsemployees-heres-its-secret/)

Konsep procurement dan employee retention pada narasi


paragraf-paragraf di atas sesungguhnya juga berlaku pada konsep
manajemen sumber daya manusia di perguruan tinggi. Pengadaan
dosen sebagai salah satu fungsi dari manajemen sumber daya manusia
perguruan tinggi akan memperoleh hasil yang maksimal, jika
dilaksanakan melalui prosedur yang baik, diantaranya: proses
perencanaan SDM, seleksi, penempatan, pemberian kompensasi,
penghargaan, pendidikan dan latihan pengembangan dan
pemberhentian (MacKenzie, Garavan, & Carbery, 2012). Demikian
pula dengan retensi dosen, agar tetap loyal dengan perguruan tinggi.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi perguruan tinggi mengakui
bahwa retensi dosen merupakan perhatian MSDM yang berkelanjutan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 24


dan tanggung jawab signifikan bagi semua pimpinan di Perguruan
Tinggi.
Merujuk pada konsep manajemen secara umum, manajemen
SDM perguruan tinggi dapat didefinisikan sebagai usaha
merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan menilai SDM
perguruan tinggi sehingga mampu memberikan kontribusi sebesar-
besarnya bagi pengembangan perguruan tinggi dan pencapaian
program maupun rencana kerja (Talib, Rahman & Qureshi, 2011).
Kajian manajemen SDM perguruan tinggi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari konteks Manajemen Sumber Daya Manusia yang
sudah berevolusi mengkhususkan pengelolaan sumber daya manusia di
perguruan tinggi.
Manajemen SDM dosen memiliki peran penting dan ikut
menentukan kelancaran dan keberhasilan perguruan tinggi. Agar para
dosen dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efektif, mereka
dituntut untuk memiliki kemampuan, motivasi kerja, disiplin kerja,
etika kerja, budaya kerja, etos kerja, dan semangat kerja yang tinggi.
Berdasarkan narasi pada paragraf-paragraf sebelumnya, disimpulkan
bahwa, pengelolaan dosen merupakan satu dari faktor yang penting dan
menentukan tercapainya tujuan pada semua satuan pendidikan tinggi
karena dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 37 Tahun 2009 pasal 1 bab 1).

Manajemen Sumber Daya Manusia | 25


BAB II
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

A. Konsep Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)


Beberapa pengertian tentang MSDM yang dikemukakan oleh
para ahli adalah sebagai berikut:

DeCenzo & Robbins, (2010: 37); Lange (2010: 4) menerangkan


bahwa manajemen sumber daya manusia sebagai sistem dalam
manajemen organisasi yang berkonsentrasi terhadap pengelolaan unsur
manusia. Pengelolaan manusia menurut mereka memuat pengadaan,
pengembangan dan pelatihan, memotivasi dan memelihara. Selain itu,
Lange juga menambahkan bahwa pengelolaan manusia juga berkenaan
dengan sistem kompensasi dan kualitas lingkungan kerja.
Manajemen sumber daya manusia bisa pula dikaitkan dengan
ilmu atau seni yang mengelola proses pemanfaatan sumber daya
manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi (Daft, 2010: 4;
Hasibuan, 2007: 1). Manajemen juga dipandang sebagai sebuah upaya
pencapaian tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien
melalui perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian
sumber daya organisasi. Lebih lanjut, Baek & Kim (2014: 511)
menjelaskan, selain mencapai tujuan-tujuan organisasi melalui
pengaturan orang-orang, pemberdayaan semua unsur manusia dalam
organisasi menjadi fokusnya. Sehingga, pencapaian tujuan organisasi
bukan menjadi orientasi pimpinan atau manajer saja, akan tetapi perlu
kerja bersama-sama antara pimpinan dan bawahan juga.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 26


Sebagaimana halnya pendapat-pendapat di atas, Gbenga &
Norhasni (2013, 231); Mathis dan Jackson (2006) juga mengartikan
manajemen sumber daya manusia atau dalam istilahnya yaitu
manajemen personalia bermakna sebagai sebuah pendekatan yang
berpusat pada upaya pengelolaan "manusia" dalam sebuah institusi.
Manajemen sumber daya manusia tersebut didasarkan pada
pemberdayaan unsur manusia untuk memaksimalkan kontribusi
personil terhadap institusi tempat mereka bekerja. Mathis dan Jackson
menambahkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah
rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk
memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif guna mencapai
tujuan organisasi.
Selanjutnya, manajemen sumber daya manusia berdasarkan
pandangan Callahan, (2013:297) adalah proses mengadministrasi unsur
manusia dalam organisasi demi pencapaian tujuan organisasi.
Menurutnya, manajemen sumber daya manusia atau manajemen
personalia berisikan kegiatan seperti analisa lingkungan kompetisi
organisasi dan mengembangkan strategi yang akan diimplementasikan
untuk kesuksesan. Callahan juga mengemukakan jika MSDM juga
meliputi aspek-aspek, identifikasi, rekrutmen, seleksi orang yang tepat,
pelatihan, motivasi, penilaian, dan pengembangan kebijakan
kompensasi untuk mempertahankan pegawai. Manajemen sumber daya
manusia memberi pimpinan tugas dan tanggung jawab untuk
menyediakan, mengarahkan dan memotivasi sumber daya manusia
yang dibutuhkan di institusi tersebut, untuk menggunakan sumber daya
ini secara efektif, efisien dan bijaksana, dan menjadikannya bagian dari
budaya kelembagaan (Jakson, 1994: 33).

Mempertegas pendapat terkait definisi-definisi manajemen


sumber daya manusia di atas, McDonald & Roberts (2002); Marrison
(2010); Quinn, dkk (2009); serta Gerring, dkk, (2012) menjelaskan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 27


bahwa manajemen sumber daya manusia adalah sebagai serangkaian
tindakan dalam hal pemikiran, seleksi, pengembangan, pemeliharaan
dan pengembangan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan, baik
tujuan individu maupun organisasi.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, penulis menarik
kesimpulan bahwa manajemen sumber daya manusia mencakup
beberapa poin, yakni:

1. Manajemen sumber daya manusia adalah pengelolaan terhadap


unsur manusia dalam sebuah organisasi/lembaga atau institusi.
2. Manajemen sumber daya manusia menuntut peran pimpinan
institusi/organisasi atau lembaga.
3. Tujuan penerapan MSDM untuk mencapai tujuan, baik tujuan
perseorangan dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya.
4. Tujuan organisasi dicapai melalui kerjasama bersama melalui
koordinir atau pengawasan pimpinan atau manajer.
5. MSDM meliputi kegiatan-kegiatan seperti pengadaan,
pengorganisasian, pemeliharaan dan evaluasi.

B. Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia


Rothstein (2012: 411) menjelaskan bahwa tujuan manajemen
adalah untuk meningkatkan dukungan sumber daya manusia untuk
mencapai tujuan organisasi, atau secara lebih spesifik untuk
meningkatkan produktifitas, kepuasan kerja, loyalitas, dan menurunkan
kemalasan kerja karyawan. Pandangan lain tentang tujuan manajemen
sumber daya manusia sebagai mana dikemukakan oleh Cushway (2012:
7 – 8) adalah sebagai berikut:
1. Memberi pertimbangan manajemen dalam membuat kebijakan
SDM untuk memastikan bahwa organisasi memiliki pekerja

Manajemen Sumber Daya Manusia | 28


yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, pekerja yang selalu siap
mengatasi perubahan dan memenuhi kewajiban pekerjaan
secara legal.
2. Mengimplementasikan dan menjaga semua kebijakan dan
prosedur SDM yang memungkinkan organisasi mampu
mencapai tujuannya.
3. Membantu dalam pengembangan keseluruhan organisasi dan
strategi, khususnya yang berkaitan dengan implikasi SDM.
4. Memberi dukungan dan kondisi yang akan membantu manajer
lini mencapai tujuan.
5. Menangani berbagai krisis dan situasi sulit dalam hubungan
antar pekerja untuk meyakinkan bahwa mereka tidak
menghambat organisasi dalam mencapai tujuannya.
6. Menyediakan media komunikasi antara pekerja dan manajemen
organisasi.
7. Bertindak sebagai pemelihara standar organisasional dan nilai
dalam manajemen SDM.

Selanjutnya, Olsen (2006: 16) membagi tujuan manajemen


sumber daya manusia ke dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Tujuan Organisasional. Tujuan ini ditujukan agar dapat


mengenali keberadaan Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) dalam memberikan kontribusi pada pencapaian
efektivitas organisasi. Walaupun secara formal suatu
departemen sumber daya manusia diciptakan untuk dapat
membantu para manajer, namun demikian para manajer tetap
bertanggung jawab terhadap kinerja karyawan. Departemen
sumber daya manusia membantu para manajer dalam
menangani hal-hal yang berhubungan dengan sumber daya
manusia.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 29


2. Tujuan Fungsional. Tujuan ini ditujukan untuk
mempertahankan kontribusi departemen pada tingkat yang
sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sumber daya manusia
menjadi tidak berharga jika manajemen sumber daya manusia
memiliki kriteria yang lebih rendah dari tingkat kebutuhan
organisasi.
3. Tujuan Sosial. Tujuan sosial ditujukan agar secara etis dan
sosial merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan dan tantangan-
tantangan masyarakat melalui tindakan meminimalisasi dampak
negatif terhadap organisasi. Kegagalan organisasi dalam
menggunakan sumber dayanya bagi keuntungan masyarakat
dapat menyebabkan hambatan-hambatan.
4. Tujuan Personal. Tujuan personal ditujukan untuk membantu
karyawan dalam pencapaian tujuannya, minimal tujuan-tujuan
yang dapat mempertinggi kontribusi individual terhadap
organisasi. Tujuan personal karyawan harus dipertimbangkan
jika para karyawan harus dipertahankan, dipensiunkan, atau
dimotivasi. Jika tujuan personal tidak dipertimbangkan, kinerja
dan kepuasan karyawan dapat menurun dan karyawan dapat
meninggalkan organisasi

C. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia


Manajemen sumber daya manusia adalah sistem yang berkaitan
dengan kegiatan operasional sebuah organisasi. Pengelolaan sumber
daya manusia merupakan bagian dari proses kegiatan yang paling
sentral, karena merupakan suatu rangkaian untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, agar kegiatan manajemen sumber daya manusia ini
dapat berjalan dengan lancar, maka dapat memanfaatkan fungsi-fungsi
manajemen.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 30


Fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia meliputi:
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan,
kedisiplinan, serta pemberhentian (Calver, dkk, 2013: 102). Filatotchev
(2011: 458-459) mengklasifikasi fungsi MSDM ke dalam dua bagian
sebagaimana tertuang dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Flippo
Fungsi Manajerial Fungsi Operasional
1. Fungsi perencanaan 1. Fungsi pengadaan
2. Fungsi pengorganisasian 2. Fungsi pengembangan
3. Fungsi pengarahan 3. Fungsi pemberian kompensasi
4. Fungsi pengkoordinasian 4. Fungsi integrasi, dan
5. Fungsi pengontrolan dan 5. Fungsi pemeliharaan
pengawasan

1. Perencanaan Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya
pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya
ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi
kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.
Arthur (2010: 45) mengemukakan bahwa perencanaan sumber daya
manusia atau perencanaan tenaga kerja didefinisikan sebagai proses
menentukan kebutuhan tenaga kerja dan berarti mempertemukan
kebutuhan tersebut agar pelaksanaannya berinteraksi dengan rencana
organisasi.

Sementara itu, Harris & Coutts (2010: 511) mendefinisikan jika


perencanaan tenaga kerja adalah kegiatan-kegiatan yang mencakup
peramalan, pengembangan, pengimplementasian dan pengontrolan
untuk menjamin institusi mempunyai kesesuaian jumlah pegawai,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 31


penempatan pegawai secara benar, waktu yang tepat, yang secara
otomatis lebih bermanfaat.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis berpendapat jika
implementasi dari perencanaan sumber daya manusia akan
memperbaiki pemberdayaan SDM, memadukan kegiatan-kegiatan
personalia dan tujuan organisasi di waktu yang akan datang secara
efisien, melakukan pengadaan karyawan-karyawan baru secara
ekonomis, mengembangkan informasi dasar manajemen untuk
membantu kegiatan-kegiatan unit-unit organisasi lainnya, membantu
program penarikan dan dasar tenaga kerja secara sukses, serta
mengkoordinasikan program-program manajemen personalia yang
berbeda-beda.
Perencanaan SDM (Manpower Planning) adalah hal paling
awal yang dilakukan oleh institusi untuk membentuk manajemen SDM
yang baik. Perencanaan SDM meliputi hal-hal detail dan teknis
mengenai karyawan. Misalnya jumlah karyawan, karakteristik
kebutuhan karyawan, dan perencanaan mengenai tugas apa yang akan
dikerjakan oleh karyawan di institusi tersebut. Manfaat apa yang akan
didapatkan institusi jika mempunyai perencanaan SDM yang baik?
Berikut uraian mengenai manfaat perencanaan yang paparkan oleh
Gerhart & Milkovich (1992: 12 -17):

a. Kebutuhan akan SDM yang kompeten terpenuhi dengan


perencanaan SDM yang baik, the right men in the right place akan
dapat diraih oleh institusi. Penempatan pegawai yang kompeten
dan tepat pada posisinya dapat tercapai dengan lebih optimal
dan cepat karena institusi telah mengetahui dengan baik kualitas
SDM yang diperlukan, bagaimana merekrutnya bila hendak
menambah karyawan, juga bagaimana mempertahankan
karyawan-karyawan terbaik itu.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 32


b. Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Institusi. Bila jumlah
Sumber Daya Manusia di dalam institusi telah tidak efisien dan
efektif lagi, maka sistem perencanaan SDM akan melakukan
pengaturan atau penempatan ulang. Tujuannya tentu agar semua
SDM yang dimiliki bekerja pada jabatan atau pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuannya. Jika hal itu bisa diraih maka
akan mampu memberikan kontribusi maksimal dalam
pencapaian tujuan dan sasaran institusi.
c. Dapat Menghemat Biaya. Sebelum melakukan rekrutmen alias
mencari tenaga kerja baru, pihak HR terlebih dulu melakukan
perombakan di dalam SDM. Misalnya dengan melaksanakan
promosi dan pemindahan jabatan, mempensiunkan, atau bahkan
memberhentikan pekerja. Tentunya harus sesuai peraturan
ketenaga-kerjaan yang berlaku. Dengan melakukan
perombakan terlebih dahulu, maka biaya- biaya yang
berhubungan dengan pengadaan tenaga kerja dapat dihemat.
Apabila penempatan ulang dilakukan dengan tepat, tidak akan
terjadi penempatan yang keliru. Yang paling penting, tidak perlu
menyediakan biaya menambah SDM baru. Namun dalam
beberapa kasus, penambahan karyawan baru memang tidak
dapat dihindari. Misalnya, kantor membuka cabang baru atau
lini usaha baru.
d. Mendorong Perilaku Proaktif. Apabila institusi memiliki
perencanaan SDM yang baik, maka dapat mengambil
serangkaian tindakan responsif menghadapi setiap dinamika
perkembangan bisnis yang terjadi. Hal ini tentunya dapat
berdampak positif terhadap kinerja institusi secara keseluruhan.
e. Mendorong Terbangunnya Sistem Informasi SDM yang Akurat.
Sistem informasi SDM yang akurat adalah salah satu elemen
penting untuk mendayagunakan kinerja organisasi atau institusi.
Perencanaan SDM akan mampu mendorong terbangunnya

Manajemen Sumber Daya Manusia | 33


sistem informasi SDM yang andal dan akurat dan tentunya ini
sangat bermanfaat bagi institusi.
f. Terciptanya hubungan kerja yang harmonis. Bayangkan bila
suatu lingkungan kerja di sebuah institusi memiliki orang-orang
yang tepat dan kompeten dalam jabatan dan posisinya. Pastinya
terjadi hubungan harmonis bukan? Mereka akan saling bekerja
sama dengan baik sesuai dengan keahlian masing-masing guna
mewujudkan sasaran dan tujuan institusi SDM atau Sumber
Daya Manusia merupakan salah satu komponen yang sangat
esensial bagi kelangsungan sebuah organisasi atau institusi.
Maka dari itu, penting sekali untuk memperhatikan proses
perencanaan SDM atau Man-Power Planning. Proses
perencanaan SDM yang baik tentunya akan memberikan
manfaat yang sangat baik pula untuk kelangsungan organisasi
atau institusi di masa depan.

2. Pengorganisasian Sumber Daya Manusia


Fungsi pengorganisasian adalah penempatan sumber daya
manusia ke dalam setiap bagian yang telah ditentukan dalam organisasi.
Kegiatan ini seringkali juga disebut sebagai staffing.
Pengorganisasian (organizing) adalah kegiatan untuk mengorganisasi
semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja,
delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi dalam bagan
organisasi (organization chart). Organisasi hanya merupakan alat untuk
mencapai tujuan. Dengan pengorganisasian yang baik akan membantu
terwujudnya tujuan organisasi secara efektif (Smyth, 2009: 17; Srinivas
& Sutz: 2008: 111).

Dalam fungsi perencanaan, tujuan dan rencana disusun. Untuk


mencapai tujuan dan merealisasikan rencana maka dalam fungsi
pengorganisasian, didesain sebuah struktur organisasi yang didalamnya

Manajemen Sumber Daya Manusia | 34


berbagai sumber daya yang dimiliki oleh organisasi dialokasikan
beserta dengan tugas-tugas yang akan dijalankan menurut bagian-
bagian yang terdapat dalam organisasi. Langkah berikutnya yang perlu
dilakukan adalah menentukan siapa-siapa saja yang akan ditempatkan
pada setiap bagian dari struktur organisasi yang telah dibentuk.
Bagaimana untuk mendapatkan sumber daya manusia yang tepat untuk
setiap bagian sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif?
Ada beberapa alasan mengapa manajemen sumber daya manusia
ditempatkan pada bagian fungsi pengorganisasian.

Menurut Jensen & Meckling (1976); Kalleberg & Moody (1994),


Alasan pertama: kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam manajemen
SDM terkait erat dengan kegiatan pengalokasian sumber
daya yang dimiliki organisasi (dalam hal ini sumber daya manusia) ke
dalam bagian-bagian dalam organisasi. Jika demikian halnya,
maka manajemen SDM dimasukkan sebagai bagian dari fungsi
pengorganisasian dikarenakan salah satu esensi dari fungsi
pengorganisasian adalah pengalokasian keseluruhan sumber daya
organisasi kedalam suatu struktur organisasi tertentu yang dibentuk.
Alasan kedua, fungsi pengarahan dan pelaksanaan hanya akan
dapat dijalankan jika alokasi sumber daya manusia telah dilakukan dalam
fungsi pengorganisasian. Siapa yang diarahkan dan dimotivasi misalnya,
sekiranya dalam fungsi pengorganisasian penempatan SDM, belum
dilakukan. Alasan Ketiga, sekalipun kegiatan memotivasi,
mengarahkan termasuk ke dalam fungsi pengarahan (leading), namun
demikian kunci pokok pertama sebelum SDM diarahkan dan
dimotivasi adalah ketika SDM ditentukan dan ditempatkan di mana
kegiatan menentukan dan menempatkan lebih cenderung berada di
dalam fungsi pengorganisasian.
Alasan terakhir, dikarenakan ilmu sosial, khususnya ilmu
manajemen tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan saling

Manajemen Sumber Daya Manusia | 35


berkaitan, maka penulis berpendapat tidak terlalu menjadi masalah
sekiranya manajemen SDM ini ditempatkan di bagian fungsi
pengorganisasian maupun di bagian fungsi pengarahan. Manajemen
SDM sebagai bagian akhir dari fungsi pengorganisasian, dengan
demikian bisa menjembatani antara fungsi pengorganisasian dan fungsi
pengarahan.

3. Pengarahan Sumber Daya Manusia


Pengarahan (direction) adalah keinginan untuk membuat orang
lain mengikuti keinginannya dengan menggunakan kekuatan pribadi
atau kekuasaan jabatan secara efektif dan pada tempatnya demi
kepentingan jangka panjang institusi (Kessler & Purcell (1992: 23).
Termasuk didalamnya memberitahukan orang lain apa yang harus
dilakukan dengan nada yang bervariasi mulai dari nada tegas sampai
meminta atau bahkan mengancam, tujuannya adalah agar tugas-tugas
dapat terselesaikan dengan baik.
Para ahli banyak berpendapat kalau suatu pengarahan
merupakan fungsi terpenting dalam manajemen. Karena merupakan
fungsi terpenting maka hendaknya pengarahan ini benar-benar
dilakukan dengan baik oleh seorang pemimpin.
Seorang manajer yang baik hendaknya sering memberi masukan-
masukan kepada anggotanya karena hal tersebut dapat menunjang
prestasi kerja anggota. Seorang anggota juga layaknya manusia biasa
yang senang dengan adanya suatu perhatian dari yang lain, apabila
perhatian tersebut dapat membantu meningkatkan kinerja mereka.

Berdasarkan definisi di atas terdapat sebuah cara yang tepat


untuk digunakan yaitu: 1) melakukan orientasi tentang tugas yang akan
dilakukan; 2) memberikan petunjuk umum dan khusus; 3)
mempengaruhi anggota; dan 4) memotivasi. Salah satu alasan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 36


pentingnya pelaksanaan fungsi pengarahan dengan cara memotivasi
bawahan adalah:
a. Motivasi secara impalist, yakni pimpinan organisasi berada di
tengah-tengah para bawahannya dengan demikian dapat
memberikan bimbingan, instruksi, nasehat dan koreksi jika
diperlukan.
b. Adanya upaya untuk mengsinkronisasikan tujuan organisasi
dengan tujuan pribadi dari para anggota organisasi.
c. Secara eksplisit terlihat bahwa para pelaksana operasional
organisasi dalam memberikan jasa-jasanya memerlukan
beberapa perangsang atau insentif (Askling & Stensaker (2002:
120)

Pengarahan merupakan fungsi manajemen yang menstimulasi


tindakan-tindakan agar betul-betul dilaksanakan. Oleh karena tindakan-
tindakan itu dilakukan oleh orang, maka pengarahan meliputi
pemberian perintah-perintah dan motivasi pada personalia yang
melaksanakan perintah-perintah tersebut. Pengarahan (leading) adalah
untuk membuat atau mendapatkan para karyawan untuk melakukan apa
yang diinginkan, dan harus mereka lakukan (Aluko & Aluko (2012:
163), Menurutnya, pengarahan memiliki beberapa karakteristik:
a. Pervasive Function, yaitu pengarahan diterima pada berbagai
level organisasi. Setiap manajer menyediakan petunjuk dan
inspirasi kepada bawahannya.
b. Continuous Activity, pengarahan merupakan aktivitas
berkelanjutan disepanjang masa organisasi.
c. Human factor, fungsi pengarahan berhubungan dengan
bawahan dan oleh karena itu berhubungan dengan human factor.
Human factor adalah perilaku manusia yang kompleks dan tidak
bisa diprediksi.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 37


d. Creative Activity, fungsi pengarahan yang membantu dalam
mengubah rencana ke dalam tindakan. Tanpa fungsi ini,
seseorang dapat menjadi inaktif dan sumber fisik menjadi tak
berarti.
e. Executive Function, Fungsi pengarahan dilaksanakan oleh
semua manajer dan eksekutif pada semua level sepanjang
bekerja pada sebuah institusi, bawahan menerima instruksi
hanya dari atasannya.
f. Delegated Function, pengarahan seharusnya adalah suatu fungsi
yang berhadapan dengan manusia. Atasan harus dapat
mengetahui bahwa perilaku manusia merupakan suatu hal tidak
dapat diprediksi dan alami sehingga atasan seharusnya dapat
mengkondisikan perilaku seseorang ke arah tujuan yang
diharapkan.
Kemampuan seorang manajer untuk memotivasi akan
mempengaruhi, mengarahkan dan berkomunikasi akan menentukan
efektifitas manajer. Manajer yang dapat melihat motivasi sebagai suatu
system akan mampu meramalkan perilaku dari bawahannya. Motivasi
seperti yang telah disebutkan diatas, akan mempengaruhi, mengarahkan
dan berkomunikasi dengan bawahannya, yang selanjutnya akan
menentukan efektifitas manajer. Ada dua faktor yang mempengaruhi
tingkat prestasi seseorang, yaitu kemampuan individu dan pemahaman
tentang perilaku untuk mencapai prestasi yang maksimal disebut
prestasi peranan.

4. Fungsi Pengkoordinasian
Organisasi dalam bentuk apapun esensinya terdiri dari sumber
daya, proses manajemen dan tujuan organisasi (Wragg, Haynes,
Chamberlin, R. & Wragg, 2003: 45). Seluruh sumber daya yang
dimiliki organisasi tersebut dimanfaatkan dalam proses manajemen

Manajemen Sumber Daya Manusia | 38


secara terintegrasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Proses integrasi
sumber daya maupun proses manajemen untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut disebut dengan proses koordinasi. Dengan
demikian, koordinasi memiliki peran yang vital dalam memadukan
seluruh sumber daya organisasi untuk pencapaian tujuan.

Semakin kompleks organisasi dan manajemen maka semakin


kompleks juga proses koordinasi yang harus dilakukan. Bahkan, dalam
konteks organisasi swasta (private institutions), koordinasi tidak hanya
dilakukan dalam ruang lingkup satu negara tetapi juga lintas negara
sebagaimana telah banyak dipraktekkan oleh institusi-institusi multi-
nasional. Dapat dibayangkan, betapa sulitnya proses manajemen
sumber daya yang tersebar di berbagai negara tanpa adanya koordinasi.
Tanpa koordinasi maka sumber daya yang tersebar tersebut tidak dapat
dikelola secara efektif dan efisien.
Secara umum, koordinasi merupakan “tali pengikat” dalam
organisasi dan manajemen yang menghubungkan peran para aktor
dalam organisasi dan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dan
manajemen (Jermier, Knights & Nord, 1994: 127). Dengan kata lain,
adanya koordinasi dapat menjamin pergerakan aktor organisasi ke arah
tujuan bersama. Tanpa adanya koordinasi, semua pihak dalam
organisasi dan manajemen akan bergerak sesuai dengan
kepentingannya namun terlepas dari peran aktor lainnya dalam
organisasi dan peran masing-masing aktor tersebut belum tentu untuk
mencapai tujuan bersama.

5. Fungsi Pengontrolan dan Pengawasan


Banyak penulis di bidang manajemen mengemukakan
pandangannya tentang pengertian dari pengawasan, salah satunya
Pickett. Pengawasan menurut Picket (1990) adalah suatu proses dalam
menetapkan kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung

Manajemen Sumber Daya Manusia | 39


pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah
ditetapkan tersebut. Sedangkan menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert
(1999) menyatakan bahwa control is the process of ensuring that actual
activities conform the planned activities. Sedikit berbeda dengan
pengertian tersebut, Sadali Samsudin mendefinisikan pengawasan
SDM sebagai suatu kegiatan manajemen dalam mengadakan
pengamatan terhadap sekurang-kurangnya tujuh aspek, yaitu: (1)
sumber daya manusia yang ada dalam organisasi, (2) sumber daya
manusia yang benar-benar dibutuhkan organisasi, (3) pasaran sumber
daya manusia yang ada dan memungkinkan, (4) kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki dan yang ada di pasaran tenaga kerja, (5)
kemampuan individual dari setiap sumber daya manusia dalam
organisasi, (6) upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
dalam organisasi, dan (7) semangat kerja sumber daya manusia, dan
sebagainya.

Dengan memperhatikan berbagai aspek dalam pengawasan


sumber daya manusia, perlu suatu tolok ukur atau penetapan standar
minimal yang memungkinkan ketercapaian sasaran-sasaran pada tiap
aspeknya dengan baik dan terkendali. Menurut Samsudin (2013),
ketentuan standar minimal tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Jumlah personil yang harus ada dalam organisasi atau institusi
yang bersangkutan untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai.
b. Kualitas kemampuan tenaga kerja yang bagaimana yang harus
mengisi berbagai bagian dalam organisasi dengan segala jenis
latar belakang pendidikannya.
c. Sasaran apa saja pada tiap bagian yang ingin dicapai dan
keterkaitan antara bagian-bagian tersebut sehingga dalam
mencapai sasaran organisasi dapat dilakukan secara sistematis.
d. Pola karir para karyawan dalam organisasi yang berpengaruh
terhadap peningkatan prestasi kerja, dan sebagainya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 40


Perlu diingat jika inti dari pengawasan bukan hanya sebatas
pada penilaian berkaitan dengan berjalan atau tidaknya rencana yang
telah ditetapkan, akan tetapi termasuk tindakan koreksi yang mungkin
diperlukan maupun penentuan sekaligus penyesuaian standar yang
terkait dengan pencapaian tujuan dari waktu ke waktu. Sementara itu,
yang dimaksud dengan pengendalian manajemen adalah semua usaha
institusi yang mencakup metode, prosedur dan strategi institusi yang
mengacu pada efisiensi dan efektivitas operasional institusi
(organisasi), agar dipatuhinya kebijakan manajemen serta tercapainya
tujuan institusi (organisasi). Jadi, bisa dipahami bahwa adanya
pengendalian ini dalam rangka mencapai keefektifan dan keefisienan
kinerja dari organisasi yang dalam pembahasan ini berkenaan dengan
sumber daya manusia untuk mencapai tujuan dari organisasi.
Sementara itu, pengendalian dalam kaitannya dengan akuntansi
didefinisikan sebagai hubungan antara prosedur dan system yang
berkaitan dengan pencapaian tujuan institusi (organisasi).
Griffin (2004: 217-219) menyebutkan bahwasanya ada empat
tujuan dari pengawasan. Ke-empat tujuan tersebut adalah:
a. Adaptasi Lingkungan. Organisasi akan tetap solid jika
organisasi tersebut dapat terus beradaptasi dengan perubahan
yang terjadi di lingkungan organisasi baik lingkungan yang
bersifat internal maupun lingkungan eksternal.
b. Meminimalisir Kegagalan. Semisal dalam suatu institusi, ketika
institusi melakukan kegiatan produksi, institusi berharap agar
kegagalan seminimal mungkin. Misalnya institusi memiliki
target produksi 10.000 unit, maka institusi tersebut ingin
produksi dapat menghasilkan produk sebanyak yang diinginkan
institusi itu. Seandainya ketika bagian produksi ternyata hanya
mampu menghasilkan 9000 unit yang memenuhi standar, dan
1000 unit lagi tidak memenuhi standar, maka institusi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 41


mengalami 1000 unit kegagalan dalam produksi, dan sudah
pasti kegagalan tersebut sangat merugikan institusi. Oleh karena
itu, dengan menjalankan pengawasan, maka tingkat kegagalan
akan dapat diminimalisir.
c. Meminumkan Biaya. Selain bertujuan untuk meminimalisir
kegagalan, pengawasan juga mempunyai tujuan untuk
meminimumkan biaya. Sebagaimana contoh di atas, ketika
institusi mengalami kegagalan sebanyak 1000 unit, maka akan
ada pemborosan biaya sebanyak 1000 unit yang tidak
memberikan keuntungan bagi institusi. Oleh karena itu,
pengawasan melalui penetapan standar tertentu dalam
meminimumkan kegagalan dalam produksi misalnya, akan
dapat meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
institusi.
d. Antisipasi Kompleksitas Organisasi. Tentunya tiap organisasi
ingin selalu bergerak maju, yakni semakin berkembang.
Berkembangnya suatu organisasi tentu akan membawa dampak
pada semakin kompleks masalah yang akan dihadapi. Jika hal
tersebut tidak diatasi, maka sudah dapat dipastikan organisasi
tersebut akan terpuruk di saat kemajuan telah di depan mata.
Oleh karena itu, pengawasan jelas memiliki peranan penting
untuk menjamin bahwa kompleksitas tersebut dapat diantisipasi
dengan baik.
e. Pengendalian Organisasional. Terdapat tiga pengendalian yang
berkaitan dengan organisasional, yaitu pengendalian umpan
maju, pengendalian yang berkesinambungan, dan pengendalian
umpan balik.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 42


BAB III
PENGADAAN (PROCUREMENT)
SUMBER DAYA MANUSIA

A. Analisa Kebutuhan (Need Analysis) sebagai Fungsi


Perencanaan
Sumber daya manusia memiliki peran yang sangat strategi
dalam sebuah organisasi atau institusi, baik yang baru berkembang
maupun yang telah maju. Peran sumber daya manusia pada sebuah
institusi sangat penting karena SDM yang melakukan seluruh kegiatan
dalam rangka memenuhi tujuan dari institusi. Pentingnya peran SDM
yang berada di dalam institusi, membuat institusi perlu melakukan
perencanaan sumber daya manusia dengan baik agar tercapainya tujuan
institusi (Hasibuan, 2000). Dengan perencanaan sumber daya manusia
institusi dapat menentukan jumlah pegawai yang dibutuhkan untuk
menjalankan sistem institusi dengan efisien.

Proses yang sistematis dan terus menerus dalam menganalisis


kebutuhan-kebutuhan organisasi akan sumber daya manusia dalam
kondisi yang selalu berubah-ubah dan mengembangkan kebijakan
personalia yang sesuai dengan rencana jangka panjang organisasi. Hal
ini merupakan bagian yang integral dari perencanaan dan anggaran
institusi. Karena pembiayaan dan perkiraan SDM akan berpengaruh
dan dipengaruhi oleh rencana jangka panjang institusi (Gold & Bratton,
2014: 413)

Cascio (1992: 144) menegaskan bahwa perencanaan SDM akan


menjadi lebih penting bagi institusi karena globalisasi, teknologi baru,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 43


proses re-strukturisasi organisasi, dan perbedaan etnis dalam angkatan
kerja. Dengan kata lain, faktor-faktor di atas akan menghasilkan
ketidakpastian dan sukar untuk diprediksi, maka institusi harus
mengembangkan bisnis dan menyusun rencana SDM secara sinergis
dengan rencana bisnis dalam mengurangi resiko akibat ketidakpastian
tersebut.
Perencanaan SDM adalah proses mengantisipasi dan membuat
ketentuan (persyaratan) untuk mengatur arus gerak tenaga kerja ke
dalam, di dalam, dan ke luar organisasi (Jacobs, 2014). Sementara
menurut Youssef & Luthans (2007), mengatakan bahwa perencanaan
SDM merupakan perencanaan yang bertujuan untuk mempertahankan
dan meningkatkan kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan,
melalui strategi pengembangan kontribusi pekerjanya di masa depan.
Dari ke dua definisi yang disebut tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perencanaan SDM merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan upaya merencanakan dalam mengantisipasi masa depan.
Dengan demikian, penulis beranggapan jika proses perencanaan SDM
untuk masa kini dan masa datang sangat dipengaruhi oleh dua faktor
penentu, yakni faktor internal dan faktor eksternal institusi. Faktor
internal institusi seperti adanya karyawan yang memasuki batas usia
pensiun, meninggal dunia, keluar/berhenti kerja, rotasi, dan
kemungkinan promosi jabatan. Sedangkan faktor eksternal antara lain
ketatnya persaingan bisnis, cepatnya perkembangan teknologi, dan
tingkat ketergantungan (interdependent) antara satu institusi dengan
institusi lain. Begitu rentannya organisasi/institusi yang hidup dan
tumbuh di tengah-tengah perubahan yang cepat, sehingga perencanaan
SDM mutlak dibutuhkan selaras mengikuti rencana strategi bisnis yang
akan diwujudkan.
Rangkaian pelaksanaan perencanaan SDM yang terintegrasi
dengan rencana strategi bisnis baik dalam jangka pendek maupun

Manajemen Sumber Daya Manusia | 44


jangka panjang sebagaimana yang disusun Russ-Eft, Watkins, Marsick,
Jacobs, & McLean (2014, 10-17) adalah sebagai berikut:
1. Dalam proses perencanaan strategi bisnis, beberapa
organisasi/institusi akan melakukan:
a. Menyusun rencana strategi bisnis dengan perspektif jangka
panjang (5-10 tahun) atau lebih di masa mendatang.
b. Menyusun rencana operasional bisnis yang dijabarkan dalam
rencana strategi dengan perspektif jangka sedang (3-5 tahun)
di masa mendatang.
c. Menyusun rencana tindakan berupa anggaran dengan
perspektif tahunan yang menggambarkan kegiatan bisnis yang
akan dilaksanakan selama satu tahun (tahunan) dengan
menyediakan anggaran tertentu untuk dapat diwujudkan.
2. Dalam kegiatan perencanaan SDM:
a. Pada tahap awal perencanaan SDM mengidentifikasi isu-isu
berdasarkan komponen-komponen di dalam rencana strategi
bisnis jangka panjang. Beberapa komponen yang bisa
dijadikan isu perencanaan SDM antara lain (1) filsafat
institusi, (2) laporan hasil penelitian tentang hal-hal seputar
lingkungan bisnis, (3) tujuan-tujuan dan sasaran strategis yang
akan dicapai, dan (4) hasil analisis SWOT institusi.
b. Pada tahap selanjutnya hasil analisis isu digunakan sebagai
masukan dari perencanaan operasional jangka menengah ke
dalam tahap kegiatan perkiraan kebutuhan SDM dalam proses
perencanaan SDM.
c. Hasil perkiraan kebutuhan SDM tersebut dijadikan masukan
secara integral dalam penyusunan anggaran tahunan ke dalam
langkah perencanaan SDM. Secara skematis, pengaruh dari
ketiga tingkatan perencanaan bisnis terhadap perencanaan
SDM seperti diuraikan di atas dapat digambarkan seperti di
bawah ini.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 45


Gambar 1
Pengaruh Perencanaan Bisnis terhadap Perencanaan SDM

Dalam implementasinya pada sebuah organisasi, setelah


dilakukan penyesuaian atau pengintegrasian rencana, maka secara
operasional perencanaan SDM harus mampu menterjemahkan setiap
program yang akan dilakukannya dan meyakinkan bahwa semua
rencana SDM tidak akan saling berbenturan dengan perencanaan bisnis
secara keseluruhan. Proses perencanaan SDM pada tingkat ini
merupakan proses memilih dan menentukan kebutuhan jenis karyawan,
baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Sedikitnya terdapat empat
aspek dalam perencanaan SDM masing-masing sebagai berikut:

1. Proyeksi jumlah karyawan yang dibutuhkan (forecasting of


employees).
2. Identifikasi SDM yang tersedia dalam organisasi (human
resource audit).

Manajemen Sumber Daya Manusia | 46


3. Analisis keseimbangan penawaran dan permintaan (demand and
suplay analysis)
4. Program aksi (action program).

Membuat proyeksi jumlah karyawan yang akan dibutuhkan


karena berbagai alasan seperti karena pensiun, meninggal dunia, pindah
ke institusi lain, dan promosi jabatan merupakan inti dari program
perencanaan SDM. Untuk melakukan proyeksi guna mengetahui
jumlah karyawan yang dibutuhkan dalam masa waktu tertentu harus
menggunakan teknik atau metode terukur sehingga diperoleh data yang
handal (valid) sebagai bahan pengambilan keputusan selanjutnya.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa inti dari perencanaan
SDM adalah tersedianya data yang akurat tentang kebutuhan SDM
dalam kurun waktu tertentu secara kuantitas maupun kualitas. Berbagai
langkah untuk pelaksanaan perencanaan SDM melalui beberapa proses
dan menggunakan metode/teknik statistik kuantitatif maupun kualitatif
sehingga diperoleh informasi jumlah karyawan (kelebihan atau
kekurangan) dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manajemen SDM atas kemungkinan dari keduanya.
Organisasi yang tidak didukung pegawai/karyawan yang sesuai
baik dari aspek kuantitas, kualitas, strategi, dan operasional yang baik
maka dapat dipastikan organisasi tersebut akan sulit mempertahankan
dan mengembangkan eksistensinya di masa yang akan datang
(Woolcock & Narayan, 2000). Organisasi dalam perjalanan waktunya
pasti telah memiliki sejumlah tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam
kurun waktu tertentu. Tujuan organisasi pada umumnya menganut
prinsip atau pola tujuan jangka pendek (1 tahun), jangka menengah (5
tahun), dan jangka panjang (10 tahun) atau lebih. Dalam rangka usaha
untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut biasanya juga telah disiapkan
rencana strategis dan rencana operasional sebagai panduan pencapaian
tujuan tersebut.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 47


B. Analisis Pekerjaan (Job Analysis)
Menurut Fomer, Bierlein-Palmer & Reeves (2012); Gu, Park, &
Ahn (2012), analisis jabatan atau analisis pekerjaan (job analysis) yaitu
bagian dari MSDM pada sebuah organisasi adalah merupakan
penentuan dari isi suatu jabatan yang meliputi tugas, tanggung jawab,
dan hubungan dengan jabatan lain dalam organisasi, serta persyaratan
yang dibutuhkan agar seseorang mampu melaksanakan tugas pekerjaan
dalam jabatan yang diembannya dengan baik.
Analisis jabatan merupakan suatu proses yang sistematis untuk
mengetahui mengenai isi dari suatu jabatan (job content) yang meliputi
tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan, tanggung jawab, kewenangan, dan
kondisi kerja, serta mengenai syarat-syarat kualifikasi dari suatu
jabatan (job specification) yang dibutuhkan seperti pendidikan,
keahlian, kemampuan, pengalaman kerja, dan lain-lain, agar seseorang
dapat menjalankan tugas-tugas dalam suatu jabatan dengan baik
(Herman Sofyandi, 2008: 90)
Analisis jabatan bertujuan untuk mengumpulkan berbagai
macam informasi untuk mendesain deskripsi pekerjaan (job
description), spesifikasi pekerjaan (job specification), dan evaluasi
pekerjaan (job evaluation). Analisis jabatan berkaitan langsung dengan
berbagai fungsi dari manajemen sumber daya manusia, karena dapat
menghasilkan deskripsi jabatan atau pekerjaan yang berisi gambaran
mengenai isi dari suatu jabatan baik yang menyangkut tugas atau
pekerjaan, standar kinerja (performance standard), dan bobot jabatan
(job value), maupun persyaratan pemangku jabatan (job specification)
yang akan dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan
pekerjaan dalam lingkup penarikan pegawai (Harris, 2010; Fisher 1996:
136; dan Crino 1993: 137).

Manajemen Sumber Daya Manusia | 48


Keterikatan analisis pekerjaan dengan fungsi manajemen SDM
lainnya sebagaimana terangkum dalam gambar berikut:

Job
design

Recruitment and Caree


selection planning

Job
Training and analisis Safety
development
program

Perfrmace
evaluation
Compensastion
and benefit

Gambar 2
Keterkaitan Job Analyss dengan Fungsi MSDM
(Noe, 2013; Ivancevich, 2005)

Manfaat dari analisis jabatan adalah:

1. Memberikan gambaran mengenai tantangan yang bersumber


dari lingkungan yang dapat mempengaruhi pekerjaan karyawan.
2. Menghilangkan persyaratan jabatan yang sebenarnya tidak
diperlukan karena didasarkan pada pemikiran yang
diskriminatif.
3. Menemukan unsur-unsur pekerjaan yang mendorong maupun
yang menghambat kualitas kerja karyawan.
4. Merencanakan ketenagakerjaan di masa depan.
5. Menyesuaikan lamaran yang masuk dengan lowongan
pekerjaan yang tersedia.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 49


6. Membantu dalam menentukan kebijakan dan program-program
manajemen sumber daya manusia, seperti perencanaan,
pelatihan dan pengembangan karir, apakah karyawan sudah
memenuhi spesifikasi keahlian yang memadai untuk
mengerjakan tugas ataukah membutuhkan pelatihan karena
masih ada kesenjangan antara tuntutan pekerjaan dengan
keahlian yang dimiliki karyawan.
7. Menentukan standar prestasi yang realistis yaitu kriteria-kriteria
yang harus dipenuhi untuk menyatakan bahwa suatu pekerjaan
berhasil dikerjakan dengan baik, sehingga dapat dibandingkan
antara hasil nyata kerja dengan standar yang ditetapkan.
8. Berperan dalam penempatan karyawan agar sesuai dengan
tingkat pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang
dibutuhkan.
9. Mengidentifikasi hubungan antara penyelia (supervisor) dengan
bawahan.
10. Memudahkan dalam mendesain ulang terutama bila terjadi
merger, akuisisi, dan perampingan organisasi.
11. Memperkirakan nilai kompensasi yang tepat untuk masing-
masing jabatan sesuai dengan beban kerja, kondisi kerja,
kewajiban, dan spesifikasi jabatan yang dibutuhkan dalam
posisi tertentu (Sofyandi, 2008: 90, Hanggraeni, 2012)

Dalam melakukan analisa pekerjaan, perlu memperhatikan


langkah-langkah yang merupakan proses analisa pekerjaan, antara lain:
1. Memilih pekerjaan yang akan dianalisa.
2. Membuat daftar pendahuluan tentang tugas yang dilakukan
dalam suatu pekerjaan dengan cara:
a. Melakukan wawancara dan observasi terhadap karyawan
yang ahli dan manajer mereka.
b. Berdiskusi dengan mereka yang telah melakukan tugas.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 50


3. Melakukan validasi atau konfirmasi tentang daftar tugas yang
telah dibuat. Proses ini melibatkan berbagai pakar termasuk
pelaksana tugas dan manajer.
4. Setelah mengidentifikasi tugas, selanjutnya dilakukan
identifikasi tentang pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan pendukung yang dibutuhkan untuk melakukan
masing-masing tugas (Graham & Messner, 2008)

Sebagaimana teori di atas, penulis menilai bahwa analisa


pekerjaan juga berkaitan dengan dimensi pekerjaan, dan dari dimensi-
dimensi pekerjaan tersebut dapat diketahui dan diprediksi kaitan
masing-masing karyawan secara individu dengan pekerjaan itu sendiri
walaupun secara tidak langsung juga berkaitan dengan segala sesuatu
yang berada pada lingkup pekerjaan itu sendiri dan tentu saja tidak bisa
lepas dari siapa yang bertindak atas pekerjaan tersebut. Dimensi-
dimensi pekerjaan tersebut dapat dilihat dalam gambar dibawah:

Gambar 3
Model Lima Dimensi Kerja yang Mempengaruhi Setiap Karyawan

Dimensi fisik yaitu kecepatan gerak, langkah-langkah pekerja


dalam melaksanakan pekerjaan. Pekerjaan dapat diorganisasikan dalam
cara-cara yang memungkinkan setiap langkah yang dilakukan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 51


berulang-ulang dalam cara yang sama. Kajian-kajian gerak dan waktu
dapat menetapkan dimensi fisik pekerjaan dalam suatu cara agar
produktivitas maksimal tercapai. Dimensi psikologi Pekerjaan
mempunyai potensi besar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
psikologis dasar terhadap pertumbuhan, pengetahuan dan
pengembangan, apabila diorganisasi dan dikelola secara benar.
Dimensi psikologis ini membantu atau menghambat kinerja tergantung
pada tingkat akan otonomi pekerja dan penggunaan bermacam
keahlian.

Dimensi sosial, seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan


sosial dengan yang lain dalam hubungannya dengan pekerjaan. Mereka
saling berinteraksi dalam kelompok kerja baik yang memiliki pengaruh
basar maupun kecil. Pekerjaan memberi kontribusi bagi kesejahteraan
ekonomi suatu masyarakat, wilayah, atau secara keseluruhan. Dimensi
cultural memberikan keberadaan ekonomi dalam bentuk gaji dan juga
memberikan kontribusi dalam kedudukan sosial dan kualitas kehidupan
karyawan. Pekerjaan merupakan bagian dari kehidupan seseorang, oleh
sebab itu kewajiban-kewajiban yang sedang dilaksanakan hendaknya
dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh
karyawan. Sedangkan dimensi kekuasaan mempunyai dampak nyata
terhadap kepuasan kerja maupun produktivitas karyawan. Pemenuhan
peran menuntut disiplin manajer dalam kaitannya dengan pekerjaan.
Manajer memastikan bahwa suatu pekerjaan dilakukan sesuai rencana,
tetapi juga melakukan hal yang sama dalam membangun komitmen

C. Rekrutmen dan Seleksi SDM


1. Rekrutmen (Recruitment)
Rekrutmen menurut Mathis dan Jakson (2001), Dubois dan
Rothwell (2004), Pynes (2004: 115), Amstrong (2009) adalah proses
yang diciptakan untuk mendapatkan pegawai yang berkualifikasi sesuai

Manajemen Sumber Daya Manusia | 52


dengan kebutuhan organisasi. Demikian halnya dengan pandangan
Harmon & Schafft (2009: 8) bahwa rekrutmen adalah suatu proses
untuk mendapatkan tenaga yang berkualitas guna bekerja pada institusi
atau instansi. Sedangkan menurut ahli lain menyebutkan bahwa
rekrutmen adalah proses mencari, menemukan, mengajak, dan
menetapkan sejumlah orang, baik dari dalam maupun dari luar institusi
sebagai calon tenaga kerja dengan karakteristik tertentu seperti yang
telah ditetapkan dalam perencanaan SDM (Pijanowski, Hewitt &
Brady, 2009).

Ivancevich (2001) mempertegaskan bahwa rekrutmen berkaitan


dengan aktivitas yang mempengaruhi jumlah dan jenis pelamar, apakah
pelamar tersebut kemudian menerima pekerjaan yang ditawarkan.
Dessler (2009: 90) menyatakan bahwa rekrutmen dilakukan atas dasar
analisis jabatan, karena analisis jabatan menyajikan informasi tentang
apa yang dibawa oleh jabatan dan karakteristik manusiawi apakah yang
dituntut untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan informasi uraian
jabatan dan spesifikasi jabatan digunakan untuk memutuskan karakter
orang yang akan direkrut dan dipekerjakan. Jadi, Dessler
mengemukakan bahwa rekrutmen adalah kegiatan penarikan untuk
memperoleh orang yang akan mengisi jabatan, karakteristik calon
pelamar, dan kualifikasi yang dituntut untuk mengisi jabatan.

Dari berbagai pendapat di atas penulis menyimpulkan secara


sederhana bahwa rekrutmen adalah suatu proses atau kegiatan mencari
dan mengumpulkan calon-calon pelamar yang profesional untuk
mengisi lowongan yang ada dalam suatu institusi atau lembaga sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan. Rekrutmen merupakan proses
mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk dipekerjakan
dalam dan oleh suatu organisasi. Rekrutmen bisa dilihat sebagai proses
komunikasi dua arah. Pelamar-pelamar menghendaki informasi yang
akurat mengenai seperti apakah rasanya bekerja di dalam organisasi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 53


bersangkutan. Organisasi-organisasi sangat menginginkan informasi
yang akurat tentang seperti apakah pelamar-pelamar tersebut jika kelak
mereka diangkat sebagai pegawai (Beauregard & Henry, 2009).

Ambar (2009: 171) mengemukakan tujuan rekrutmen meliputi:


1) rekrutmen sebagai alat koordinasi sosial; 2) rekrutmen sebagai teknik
untuk memaksimumkan efisiensi; dan 3) rekrutmen sebagai strategi
responsitas politik. Rekrutmen yang bertujuan pencapaian keadilan
sosial dilakukan dengan memberikan pertimbangan proporsional
kepada pihak yang perlu dilindungi, misalnya penerimaan pegawai
yang memprioritaskan putra daerah setempat. Rekrutmen yang
bertujuan untuk memaksimumkan efisiensi adalah rekrutmen yang
dilaksanakan secara ketat agar dapat menjaring calon pegawai yang
berkualitas yang dapat memenuhi tuntutan organisasi. Sedangkan
rekrutmen yang bertujuan untuk responsivitas politik lebih
mengutamakan ketahanan dan keamanan sosial atau bila terjadi
perubahan kebijakan politik.
Dalam upaya perekrutan tenaga kerja, harus ditetapkan dulu
langkah-langkah atau tahap tertentu sehingga proses perekrutan dapat
berjalan dengan lancar dan memperoleh tenaga kerja yang tepat (sesuai
dengan prinsip The Right Man On The right Job). Jadi diperlukan
prosedur rekrutmen yang sistematis. Martoyo (2007: 34) menyatakan
bahwa: “Prosedur pengadaan tenaga kerja merupakan serangkaian
metode untuk memperoleh informasi yang lengkap dari pelamar,
melalui berbagai langkah yang kronologis dan sistematis (mulai dari
program penarikan tenaga kerja sampai dengan berhasil menyelesaikan
dengan baik tes kesehatan sehingga dapat diterima dalam organisasi
yang bersangkutan”.

Sunyoto (2012: 116-117) menjabarkan prosedur rekrutmen


dalam beberapa tahapan, yaitu: Menentukan kebutuhan-kebutuhan
sumber daya manusia; Mengupayakan persetujuan anggaran untuk

Manajemen Sumber Daya Manusia | 54


mengadakan dan atau mengisi jabatan-jabatan; Mengembangkan
kriteria seleksi yang valid; Pengadaan atau penarikan tenaga kerja;
Mengadakan tes atau sebaliknya men-screening para pelamar;
Menyiapkan daftar dari para pelamar yang berkualitas; dan
Mengadakan seleksi pelamar yang paling berkualitas.

Rekrutmen merupakan satu dari salah satu fungsi operasional


perencanaan sumber daya manusia dalam organisasi yang merupakan
seperangkat kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan dan
kebutuhan pegawai atau sumber daya manusia dari suatu organisasi di
masa mendatang. Melalui estimasi jumlah dan jenis pegawai yang
diperlukan oleh seluruh bagian-bagian kepegawaian dapat menyusun
rencana secara lebih baik dalam hal-hal yang menjadi lingkup
pekerjaannya, misalnya penarikan pegawai, seksi pegawai, dan lain
sebagainya (Zaleznik, 2004: 6).
Dengan mengestimasi jumlah dan jenis karyawan yang
dibutuhkan, organisasi akan merencanakan dengan lebih baik kegiatan
lainnya. Perencanaan sumber daya manusia memungkinkan setiap
bagian organisasi untuk menempatkan orang yang tepat. Selain itu,
perencanaan sumber daya manusia tidak hanya berguna untuk
mencapai tujuan organisasi yang telah disetujui, tetapi juga menolong
organisasi untuk melaksanakan perencanaan jangka panjang dan jangka
pendek.
Dalam penyusunan perencanaan tenaga kerja, ada dua aktivitas
yang harus dilakukan. Kedua hal tersebut adalah menetapkan
kebutuhan tenaga kerja dan menentukan suplai tenaga kerja:

a. Kebutuhan tenaga kerja. Untuk dapat menentukan kebutuhan


tenaga kerja pada masa depan, maka pertama-tama harus dapat
ditentukan rencana strategis organisasi dan perkiraan tingkat
kegiatan masa datang. Ada empat cara memperkirakan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 55


kebutuhan tenaga kerja, yaitu: Penilaian manajerial; Analisis
rasio kecenderungan; Work study; Analisis keahlian dan
keterampilan (Manulang, 2009: 30).
b. Suplai tenaga kerja. Suplai tenaga kerja dapat ditentukan
melalui perkiraan suplai internal dan perkiraan suplai eksternal.
Perkiraan suplai tenaga kerja yang mungkin dapat tersedia di
dalam organisasi akan suplai internal dapat diperkirakan
berdasar pada: (1) analisa sumber daya yang ada, (2) analisa
pemborosan, (3) penilaian perubahan dalam kondisi kerja dan
absensi, (4) perkiraan hasil program pelatihan.

Metode yang diterapkan pada proses rekrutmen akan


berpengaruh sangat besar terhadap banyaknya lamaran yang masuk ke
dalam institusi. Metode calon karyawan baru dikemukakan oleh Aasen
& Stensaker (2007: 373-375), dibagi menjadi metode terbuka dan
metode tertutup.

a. Metode Terbuka. Metode terbuka adalah dimana rekrutmen


diinformasikan secara luas dengan memasang iklan pada media
masa baik cetak atau elektronik, ataupun dengan cara dari mulut
ke mulut (kabar orang lain) agar tersebar ke masyarakat luas.
Dengan metode terbuka ini diharapkan dapat menarik banyak
lamaran yang masuk, sehingga kesempatan untuk mendapatkan
karyawan yang qualified menjadi lebih besar.
b. Metode Tertutup. Metode tertutup yaitu dimana rekrutmen
diinformasikan kepada para karyawan atau orang tertentu saja.
Akibatnya lamaran yang masuk relatif sedikit, sehingga
kesempatan untuk mendapatkan karyawan yang baik akan
semakin sulit (Schuler and Jackson, 1987: 211).

Untuk memperoleh pegawai yang benar-benar tepat,


departemen SDM bertanggung jawab untuk menyediakan sekumpulan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 56


pelamar yang memenuhi syarat, sedangkan penyelia bertanggung jawab
terhadap penentuan calon yang dipilih dari kumpulan pelamar. Agar
efektif maka tim rekrutmen harus mengetahui posisi apa saja yang akan
diisi dan dimana sumber daya manusia yang potensial dapat dicari.
Saluran yang dapat digunakan diantaranya:

a. Job Posting (maklumat pegawai). Metode ini dengan


mengumumkan kepada para pegawainya tentang adanya
lowongan-lowongan pegawai melalui buletin, publikasi institusi
atau surat edaran.
b. Skills Inventory (persediaan keahlian), yaitu organisasi mencari
arsip-arsip calon potensial yang berbobot untuk posisi yang
kosong. Calon yang diidentifikasi dihubungi, selanjutnya
ditanya apakah mereka ingin melamar posisi yang ditawarkan.
c. Referrals (rekomendasi pegawai). Kalangan pegawai yang
memahami kegiatan-kegiatan, standar-standar dan sasaran-
sasaran organisasi mereka, dapat mengenali pegawai lain yang
akan berkarya dengan baik di dalam organisasi atau mereka
dapat merekomendasikan teman atau rekan sejawat profesional
untuk sebuah lowongan pekerjaan. Namun metode ini memiliki
kelemahan yakni: kecenderungan nepotisme, pegawai yang
merekomendasikan akan tersinggung jika yang
direkomendasikan menolak, pengangkatan teman atau saudara
kemungkinan besar akan menimbulkan intrik yang
menyebabkan beberapa orang merasa disingkirkan dari
kelompok informal, melembagakan status quo gagal mengenali
bahwa kemajemukan gagasan perspektif pegawai menjadi
sumber daya yang bernilai, pemberian rekomendasi tidak
berdasarkan kompetensi tetapi atas dasar persahabatan.
d. Walks In atau para pencari kerja datang langsung ke departemen
SDM untuk mencari kerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 57


e. Writes In atau surat-surat lamaran yang dikirim langsung pada
lembaga.
f. Rekrutmen dari Perguruan Tinggi. Jenis ini sering dipakai oleh
institusi sebagai sumber utama kebutuhan tenaga manajerial,
profesional dan teknis bagi organisasi.
g. Open House atau teknik ini dilakukan dengan cara institusi
mengundang orang-orang untuk mengunjungi dan melihat
berbagai fasilitas institusi serta mendapat penjelasan mengenai
aktivitas institusi.
h. Advertising (pengiklanan). Dengan iklan organisasi
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan pegawai kepada
masyarakat umum melalui media radio, majalah, surat kabar,
televisi dan media instansi/institusi yang bersangkutan.
i. Employment Agencies (agen penempatan tenaga kerja).
Rekrutmen bisa dilakukan melalui agen penempatan tenaga
kerja baik milik pemerintah maupun swasta.
j. Institusi Konsultan Manajemen yaitu institusi konsultan
manajemen merekrut pegawai hanya untuk SDM/Pelamar-
pelamar yang prospektif (Sulistyani, 2003).

2. Seleksi (selection)
Seleksi adalah kegiatan dalam manajemen SDM yang dilakukan
setelah proses rekrutmen selesai dilaksanakan. Hal ini berati telah
terkumpul sejumlah pelamar yang memenuhi syarat untuk kemudian
dipilih mana yang dapat ditetapkan sebagai karyawan dalam suatu
institusi. Proses pemilihan ini yang dinamakan dengan seleksi
(Sheeman., dkk, 2014: 8). Proses seleksi merupakan rangkaian tahapan
khusus yang digunakan untuk memutuskan pelamar mana yang akan
diterima. Proses tersebut dimulai ketika pelamar melamar kerja dan
diakhiri dengan keputusan penerimaan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 58


Menurut Mondy (1996) “Selection is the process of choosing
from a group of applicants the individual best suited for a particular
position”. Proses seleksi yang dapat dikatakan sebagai tahap awal yang
menentukan bagi organisasi untuk memperoleh calon pegawai yang
mempunyai kemampuan yang handal dan profesional. Adapun
Gatewood dan Field (2001: 87) menekan seleksi sebagai proses
pengumpulan dan evaluasi informasi tentang individu yang
memperoleh tawaran pekerjaan. Selanjutnya Siagian (1994: 45)
menyebutkan bahwa seleksi adalah berbagai langkah spesifik yang
diambil untuk memutuskan pelamar mana yang akan diterima dan
pelamar mana yang akan ditolak.

Proses seleksi dimulai dari penerimaan lamaran dan berakhir


dengan keputusan terhadap lamaran tersebut. Seleksi dilaksanakan
tidak saja untuk penerimaan karyawan baru saja, akan tetapi seleksi ini
dapat pula dilakukan untuk pengembangan atau penerimaan, karena
adanya peluang jabatan. Untuk memperoleh atau mendapatkan peluang
jabatan tersebut perlu dilakukan seleksi sehingga dapat diperoleh
pegawai yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis dapat mengatakan
bahwa seleksi adalah dasar penerimaan karyawan baru. Oleh karena itu
haruslah berpedoman pada dasar tertentu yang digariskan oleh internal
ataupun eksternal institusi supaya hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan. Dasar-dasar tersebut antara lain:

a. Kebijaksanaan perubahan pemerintah. Seleksi penerimaan


karyawan baru hendaknya berdasarkan dan berpedoman kepada
Undang-Undang Perubahan Pemerintah.
b. Job specification. Dalam spesifikasi, telah diterapkan
persyaratan dan kualifikasi minimum dari orang yang dapat
menjabat atau melakukan pekerjaan tersebut. Dasar ini harus
betul-betul menjadi pedoman untuk melakukan seleksi,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 59


prinsipnya adalah “the right man on the right place and the right
man behind the riht gun”. Jadi, titik tolak pemikiran seleksi
hendaknya pada apa yang akan dijabat, baru siapa yang akan
menjabatnya. Jabatan atau pekerjaan apapun yang akan diisi
hendaknya diseleksi berdasarkan atas spesifikasi jabatan atau
pekerjaan tersebut.
c. Ekonomi rasional. Tindakan ekonomi hendaknya atas dasar
pelaksanaan seleksi supaya biaya, waktu dan pikiran
dimanfaatkan secara efektif sehingga hasilnya juga efektif dan
dipertanggungjawabkan.
d. Etika sosial. Seleksi harus dilakukan dengan etika sosial.
Artinya, memperhatikan norma-norma hukum, agama,
kebudayaan, dan adat istiadat masyarakat serta hukum yang
berlaku (http://rikietrianto.blogspot.co.id).

Sebagai panduan mengenai langkah-langkah melakukan


seleksi, penulis memberikan beberapa prosedur yang bisa dilakukan,
antara lain: penyaringan para pelamar, tes, wawancara awal, evaluasi
latar belakang, wawancara mendalam, tes kesehatan atau fisik, dan
yang terakhir yaitu pengambilan keputusan manajemen. Langkah-
langkah seleksi tersebut sebagaimana dirumuskan oleh Rachmawati
(2008: 100):

a. Penyaringan para pelamar. Lamaran kerja yang lengkap


memberikan informasi awal mengenai pelamar kerja, seperti latar
belakang pendidikan, pengalaman, minat dan posisi yang
diinginkan, upah yang diinginkan, serta keahlian khusus pelamar.
Informasi yang relevan perlu dimasukkan sebagai bahan
pertimbangan selanjutnya. Langkah yang diperlukan dalam
menyaring pelamar antara lain:
1) Mencatat lamaran saat tiba untuk mengetahui tujuan lamaran.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 60


2) Mengirim surat terimakasih standar untuk setiap pelamar,
apabila ingin mendapat data yang lebih rinci mengenai
pelamar, kirimkan formulir untuk diisi.
3) Membandingkan pelamar dengan kriteria yang disiapkan
dalam spesifikasi orang.
4) Membuat sebuah daftar nama yang masuk dalam kategori
memungkinkan. Mereka yang masuk dalam daftar tersebut
berhak untuk diwawancarai.
5) Apabila masih ada pelamar yang masuk kategori
memungkinkan dan meragukan tetapi tidak bisa dimasukkan
dalam daftar untuk diwawancarai, masukkan mereka ke dalam
calon cadangan untuk berjaga-jaga kalau mereka
diwawancarai ternyata tidak sesuai.
6) Mengirimkan surat penolakan kepada pelamar yang tidak lolos
seleksi.
7) Mengundang calon yang terdapat dalam daftar nama
wawancara tersebut untuk mengikuti wawancara dan
menggunakan surat standar.
8) Apabila proses seleksi telah selesai dan calon yang lolos telah
menerima tawaran, tuliskan kepada pelamar yang tertera pada
daftar nama singkat yang ditolak dan pelamar lain yang telah
ditunda (Sunarto, 2008)
b. Tes. Hal ini ditujukan untuk melihat kemampuan sebenarnya dari
pelamar. Hal ini dapat pula menguji respon pelamar yang
sebenarnya terhadap pekerjaan dan tugas yang akan dijalani. Tes
ini bisa bervariasi pada beberapa organisasi antara lain tes
pengetahuan, tes kecerdasan, tes kepribadian, tes psikologis, tes
kemampuan komputer, tes minat serta bakat dan lain-lain. Tes
tersebut tergantung pada jenis pekerjaan yang akan diisi oleh
pelamar.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 61


c. Wawancara awal. Wawancara awal berguna untuk melihat secara
cepat apakah pelamar cocok untuk pekerjaan yang ditawarkan.
Wawancara dapat dilakukan untuk melihat pengalaman kerja,
tingkat kerja yang diinginkan dan kemauan untuk dimutasi atau
dipromosikan. Wawancara biasanya tidak dilakukan apabila
pelamar kerja jumlahnya cukup besar karena akan memakan biaya
dan tidak efisien.
d. Evaluasi latar belakang. Evaluasi ini ingin mengetahui kebenaran
informasi yang diberikan oleh pelamar kerja. Jika pelamar kerja
menyebutkan referensi, manajer dapat mengecek referensi yang
disebutkan. Manajer juga dapat menggunakan sumber lain untuk
menginformasi kebenaran informasi yang disebutkan pelamar.
e. Wawancara mendalam. Setelah tes terdahulu selesai wawancara
mendalam dilakukan untuk memperoleh informasi lebih lanjut
tentang pelamar. Hal ini pula digunakan untuk menginformasikan
kebenaran informasi yang diberikan secara tertulis. Wawancara
bisa dilakukan oleh manajer madya atau puncak untuk mengetahui
kemampuan sebenarnya dari calon pelamar yang akan menduduki
posisi strategis.
f. Tes kesehatan atau fisik. Tes ini tidak kalah pentingnya dengan tes
yang lain. Meskipun begitu, semua calon tenaga kerja harus
menjalani tes untuk melihat apakah calon memiliki penyakit atau
tidak. Tes ini dapat dilakukan pada saat awal atau akhir, bergantung
pada apa yang diharapkan organisasi dari program seleksi secara
keseluruhan.
g. Pengambilan keputusan manajemen. Jika pelamar sudah melalui
serangkaian tes, pelamar siap bergabung dengan organisasi.
Organisasi akan mengambil keputusan dengan menawarkan
tawaran kerja dengan beberapa cara seperti pemberitahuan lewat
pos, telepon, media massa, atau pengumuman di tempat seleksi.
Calon yang tidak diterima sebaiknya diberitahu disertai alasan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 62


penolakan. Alasan penolakan dapat dibuat standar untuk
menghindari kesalahan atau perbedaan interpretasi. Pengambilan
keputusan dalam memberikan penawaran kerja ini sangat penting
dan strategis sebab akan menentukan keberadaan pelamar dalam
pekerjaan dan posisi yang akan ditanggung nanti.

D. Penempatan Kerja (Placement Workplace)


Teori manajemen sumber daya manusia yang mutakhir
menekankan bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi tenaga kerja
baru, tetapi berlaku juga bagi tenaga kerja lama yang mengalami alih
tugas dan mutasi. Penempatan kerja adalah penempatan seseorang ke
posisi pekerjaan yang tepat. Penempatan sumber daya manusia harus
dilihat sebagai proses pencocokan. Seberapa baik seorang tenaga kerja
cocok dengan pekerjaan akan mempengaruhi jumlah dan kualitas kerja
tenaga kerja. (Mathis dan Jackson, 2012: 262). Menurut Schuler &
Jackson (2007: 276); Games (2007); dan Siswanto (2010: 162),
penempatan kerja merupakan salah satu fungsi terpenting dalam
manajemen sumber daya manusia, tepat tidaknya seseorang
ditempatkan pada suatu posisi tertentu tergantung pada posisi
penempatan ini. Jika fungsi ini tidak dilaksanakan dengan baik maka
akan dengan sendirinya berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan
organisasi.
Penempatan karyawan berkaitan dengan pencocokan seseorang
jabatan akan dipegangnya berdasarkan pada kebutuhan jabatan dan
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kepribadian karyawan
tersebut. Dalam melakukan penempatan kerja pegawai, banyak hal
yang perlu diperhatikan oleh para manajer. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan tersebut meliputi: faktor prestasi akademis, pengalaman,
kesehatan fisik dan mental, status perkawinan, dan usia (Wahyudi,
2011: 32; Siswanto, 2001: 89-94). Prestasi akademis dapat ditinjau dari

Manajemen Sumber Daya Manusia | 63


riwayat pendidikan pegawai yang bersangkutan. Latar belakang
akademis dibawah standar harus ditempatkan pada tugas dan
tanggungjawab yang relatif rendah, sebaliknya pegawai yang memiliki
prestasi akademis tinggi akan ditempatkan pada jenis pekerjaan dan
tanggungjawab tinggi pula. Pengalaman kerja banyak memberikan
keahlian dan keterampilan kerja. Oleh karena itu, kadang-kadang,
pengalaman kerja pada bidang yang sejenis lebih dihargai daripada
pendidikan yang dimiliki karyawan.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, penulis menilai dari
sisi kesehatan mental dan fisik perlu dipertimbangkan untuk
meminimalisasi kerugian yang mungkin akan dihadapi organisasi di
masa yang akan datang. Selain itu, status perkawinan dan usia juga tetap
harus mendapat perhatian dalam melakukan penempatan kerja. Seperti
tenaga wanita, suami dan anak menjadi faktor pendukung kinerja
pegawai. Demikian juga dengan faktor usia, hal ini akan mempengaruhi
produktivitas pegawai.
Senada dengan teori di atas, Schuler dan Jackson (1997)
menyebutkan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan
pegawai adalah keterampilan, kemampuan, preferensi dan kepribadian
pegawai. Schuler & Jackson menekankan kepribadian yaitu mengacu
pada penggabungan beberapa karakteristik yang mampu
mengidentifikasi seseorang. Karakteristik tersebut meliputi
keterampilan interaksi, dapat dipercaya, tanggungjawab, mandiri,
gigih, berorientasi pada hasil, penuh imajinasi, memiliki perasaan seni
serta terbuka terhadap perubahan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 64


BAB IV
RETENSI SUMBER DAYA MANUSIA

A. Konsep Dasar Retensi Sumber Daya Manusia


Istilah retensi terkait dengan istilah perputaran (turnover) yang
berarti proses dimana karyawan-karyawan meninggalkan organisasi
dan harus digantikan (Mathis dan Jackson, 2009). Perputaran secara
sukarela atau karyawan meninggalkan lembaga karena keinginannya
sendiri dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier,
gaji, pengawasan, geografi, dan alasan keluarga/pribadi.

Menurut Mathis dan Jackson (2006: 126), retensi merupakan


upaya untuk mempertahankan karyawan atau pegawai agar tetap berada
dalam organisasi guna bekerja bersama mencapai tujuan organisasi.
Kinerja pegawai merupakan suatu tampilan secara utuh atas performa
organisasi dalam periode tertentu. Hasil atau prestasi yang dipengaruhi
oleh kegiatan operasional organisasi dalam memanfaatkan sumber-
sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mempertahankan
bahkan meningkatkan kinerja institusi yaitu dengan menjaga retensi
pegawai agar tetap tinggi. Sedangkan menurut Steyaert & Janssens
(2009), employee retention atau retensi karyawan merupakan
kemampuan institusi untuk mempertahankan karyawan potensial yang
dimiliki institusi untuk tetap loyal terhadap institusi.

Menurut Johnsen & Gudmand-Høyer (2010), retensi karyawan


mengacu pada teknik yang digunakan oleh manajemen untuk
membantu karyawan tetap dengan organisasi untuk jangka waktu yang
lama. Selanjutnya Droege & Hoobler (2003: 53) berpendapat bahwa

Manajemen Sumber Daya Manusia | 65


retensi karyawan adalah proses dimana karyawan didorong untuk tetap
dengan organisasi untuk periode waktu maksimum atau sampai
selesainya proyek. Retensi karyawan merupakan kemampuan yang
dimiliki institusi untuk mempertahankan karyawan potensial yang
dimiliki institusi untuk tetap loyal terhadap institusi (Tamir, 2010).

Menurut Kaye & Jordan (2001) pemeliharaan karyawan harus


mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Jika pemeliharaan
karyawan kurang diperhatikan, semangat kerja, sikap dan loyalitas
karyawan akan menurun. Pemeliharaan adalah usaha mempertahankan
dan atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan sikap karyawan agar
mereka tetap loyal dan bekerja produktif demi menunjang tercapainya
tujuan institusi.
Dari paparan-paparan pengertian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa retensi atau mempertahankan karyawan yang dianggap
berkualitas yang dimiliki institusi selama mungkin, karena karyawan
yang berkualitas merupakan harta yang tidak tampak (intangible asset),
dan tidak ternilai bagi institusi. Retensi karyawan atau pegawai
merupakan suatu proses dimana institusi mampu mempertahankan
karyawannya yang potensial agar tetap loyal terhadap institusi dengan
jangka waktu yang lebih lama.

B. Faktor Penentu Retensi Pegawai


Para ilmuwan telah lama mencatat bahwa kemampuan untuk
menarik dan retensi pekerja yang berkualitas tinggi sangat penting bagi
daya saing organisasi (Delery & Shaw, 2001; Ulrich, 1993). Penelitian
yang fokus pada strategi manajemen SDM telah menguji keterkaitan
antara praktik SDM, kinerja institusi serta efektivitasnya (Boselie,
2005). Namun, analisis kritis telah menyarankan bahwa pendekatan
sistematis untuk menciptakan tempat kerja dengan sistem kerja

Manajemen Sumber Daya Manusia | 66


berperforma tinggi, yang berfungsi melahirkan sumber daya yang tak
ada bandingannya untuk mendukung aplikasi strategi institusi dan
pencapaian tujuan operasional (Becker & Huselid, 1998). Oeh karena
itu, untuk menarik dan mempertahankan karyawan tidak cukup dengan
keterampilan tinggi yang menyebabkan kinerja institusi (Combs, 2006).
Organisasi juga perlu menyediakan praktik ketenagakerjaan atau
keterlibatan yang terfokus pada karyawan yang membangun
pengalaman kerja positif untuk menarik dan retensi karyawan (Boxall
& Macky, 2009).

Terdapat banyak penelitian manajemen sumber daya manusia


yang fokus pada mengeksplorasi isu tentang pergantian dan retensi.
Pergantian dan retensi selalu terkait dengan pekerja, baik yang keluar
maupun yang masuk dalam sebuah organisasi. Penelitian-penelitian
terdahulu menyebutkan faktor yang mengakibatkan retensi pekerja
seperti: kepuasan kerja, komitmen organisasi dan ketersediaan pilihan
kerja (Hausknecht, Rodda & Howard, 2009; Loan-Clarke, Arnold,
Coombs, Hartley & Bosley, 2010; Mohapatra & Sharma, 2008;
Pathardikar & Sahu, 2011. Sedangkan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan di Amerika Bagian Barat menyebutkan bahwa para pendidik
meninggalkan lembaga karena kurangnya pelatihan, kesempatan
pengembangan karir, program-program retensi, serta rendahnya gaji
yang diberikan (Cassidy, 2011: 17; Fenech, 2006: 210).
Adapun faktor-faktor yang menentukan retensi pegawai atau
karyawan yang dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2006: 129)
disajikan dalam gambar berikut:

Manajemen Sumber Daya Manusia | 67


Gambar 4
Faktor-faktor Penentu Retensi Karyawan

1. Komponen Organisasi
Beberapa komponen organisasional mempengaruhi
karyawan dalam memutuskan apakah bertahan atau meninggalkan
institusi. Institusi yang memiliki budaya dan nilai yang positif dan
berbeda memiliki tingkat retensi karyawan lebih tinggi. Strategi,
peluang dan manajemen organisasional di mana organisasi
memiliki perencanaan masa depan dan tujuan yang ditetapkan
dengan jelas juga berpengaruh terhadap tingginya angka retensi
karyawan. Serta organisasi dengan karyawan yang merasa dikelola
dengan baik dan memiliki kontinuitas dan keamanan kerja yang
tinggi cenderung memiliki angka retensi karyawan yang lebih
tinggi.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 68


2. Peluang Karir Organisasi
Usaha pengembangan karir organisasional dapat
mempengaruhi tingkat retensi karyawan secara signifikan. Peluang
untuk perkembangan pribadi memunculkan alasan mengapa
individu mengambil pekerjaannya saat ini dan mengapa mereka
bertahan. Faktor-faktor yang mendasarinya adalah pelatihan
karyawan secara berlanjut yang dilakukan institusi, pengembangan
dan bimbingan karir terhadap karyawan, serta perencanaan karir
formal dalam suatu organisasi.

3. Penghargaan
Penghargaan nyata yang diterima karyawan berbentuk gaji,
insentif dan tunjangan. Ketiga hal tersebut memang merupakan
alasan untuk bertahan atau keluar dari organisasi, namun bukan
merupakan satu-satunya alasan. Karyawan cenderung bertahan
apabila memperoleh penghargaan yang kompetitif. Penghargaan
yang kompetitif tersebut dapat dilakukan dalam bentuk gaji dan
tunjangan yang kompetitif, penghargaan berdasarkan kinerja,
pengakuan terhadap karyawan serta tunjangan dan bonus spesial.
4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan
Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan
adalah sifat dari tugas dan pekerjaan yang dilakukan. Rancangan
tugas dan pekerjaan yang baik harus memperhatikan unsur
tanggung jawab dan otonomi kerja, fleksibilitas kerja karyawan,
kondisi kerja yang baik (faktor fisik dan non-fisik), dan
keseimbangan kerja atau kehidupan karyawan.

5. Hubungan Karyawan
Faktor terakhir yang diketahui mempengaruhi retensi
karyawan didasarkan pada hubungan yang dimiliki para karyawan
dalam organisasi. Hubungan karyawan termasuk perlakuan adil
atau tidak diskriminatif bagi setiap karyawan, dukungan yang

Manajemen Sumber Daya Manusia | 69


berasal dari supervisor atau manajemen, serta hubungan karyawan
dengan sesama rekan kerja.
Selain hal-hal di atas, pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan bahwa retensi pegawai juga dilakukan melalui: a)
remunerasi pegawai; b) keuntungan-keuntungan bagi pegawai; c)
kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme; dan d)
lingkungan kerja yang kondusif (Carroll, Smith, Oliver & Sung,
2008; Sumsion, 2005; Thorpe, Ailwood, Brownlee & Boyd, 2011).
Remunerasi pegawai meliputi gaji dasar, bonus akhir tahun
tambahan gaji atau bonus kinerja. Sedangkan keuntungan atau
manfaat yang bisa diperoleh para pegawai termasuk perawatan
kesehatan, perawatan gigi, hadiah ulang tahun, asuransi, jaminan
tunjangan anak dan cuti tahunan. Peluang untuk mengembangkan
profesionalisme seperti program in-house training programmer
yang diselenggarakan oleh institusi atau organisasi. Childcare
organization.
Dalam rangka mengembangkan profesionalisme kerja,
tentu saja diperlukan proses pendidikan, pelatihan dan
pembelajaran bagi para pekerja baik dari tempat kita bekerja
maupun dari diri sendiri (Greer and Wallace, 2016: 8 – 11). Adapun
hal yang harus dilakukan oleh organisasi atau institusi adalah
sebagai berikut;
a. Menyelenggarakan kegiatan penataran dan pelatihan terhadap
para pekerja yang dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan.
b. Memberikan kesempatan kepada para pekerja untuk
melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.
c. Mengirim atau menyekolahkan para pekerja pilihan ke luar
negeri.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 70


d. Menyelenggarakan kegiatan seminar atau workshop yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas tenaga kerja.
e. Menyediakan fasilitas dan bantuan dana kepada para pekerja
yang berprestasi untuk meningkatkan keahlian bidangnya.

Sedangkan hal yang harus dilakukan oleh diri sendiri


adalah, sebagai berikut;

a. Proaktif dalam mengikuti pendidikan pelatihan, dan penataran


yang diselenggarakan oleh institusi atau instansi tempat kita
bekerja.
b. Dengan kesadaran sendiri berupaya meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan melalui belajar sendiri.
c. Berupaya memanfaatkan media pembelajaran seperti, buku,
surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pribadi.
d. Aktif dan kreatif berdiskusi dengan teman sekerja dalam
rangka meningkatkan keahlian atau keterampilan kerja.
e. Proaktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan di masyarakat
yang berkenaan dengan pengembangan profesionalisme.

C. Strategi Retensi SDM

1. Pengembangan Karir
Karir dalam terminologi organisasi seringkali dikaitkan dengan
kemajuan (advanced). Definisi menurut para pakar, bahwa karir
sebagai perjalanan pekerjaan seorang pegawai di dalam organisasi
Nacif (2006:284). Perjalanan ini dimulai sejak seseorang diterima
sebagai pegawai baru dan berakhir pada saat ia tidak bekerja lagi dalam
organisasi tersebut. Sementara Triton (2005: 128) menyimpulkan
definisi karir sebagai kronologi kegiatan-kegiatan dan perilaku-perilaku
yang terkait dengan kerja dan sikap, nilai dan aspirasi-aspirasi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 71


seseorang atas semua pekerjaan atau jabatan baik yang telah maupun
yang sedang dikerjakannya. Sedangkan menurut Forrester (2011: 7-8)
pengertian karier ada tiga yakni:

a. Karir sebagai suatu urutan promosi atau pemindahan (transfer)


lateral ke jabatan-jabatan yang lebih menuntut tanggung jawab
atau lokasi-lokasi yang lebih baik dalam atau hirarki menyilang;
b. Karir sebagai penunjuk pekerjaan-pekerjaan yang membentuk
suatu pola kemajuan sistematik;
c. Karir sebagai sejarah pekerjaan seseorang atau serangkaian
posisi yang dipegangnya selama kehidupan kerja.

Pengembangan karir adalah aktivitas kepegawaian dalam


membantu pegawai-pegawai merencanakan karier masa depan mereka
di organisasi, agar organisasi dan pegawai yang bersangkutan dapat
mengembangkan diri secara maksimum. Pengembangan karier yang
digunakan instansi atau lembaga tidak terlepas dari perencanaan karir
(Costello, 2006: 49). Sedangkan menurut Byars dan Rue (2000: 118),
pengembangan karir merupakan aktivitas formal dan berkelanjutan
yang diupayakan organisasi untuk mengembangkan dan memperkaya
sumber daya manusia yang dimilikinya melalui penyelarasan
kebutuhan pegawai dan kebutuhan organisasi.
Pengembangan karir sangat penting bagi seorang pegawai,
karena karier merupakan kebutuhan yang harus terus dikembangkan
dalam diri seorang pegawai sehingga mampu memotivasi pegawai
untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan demikian seorang pegawai
perlu merencanakan strategi tertentu guna mewujudkan rencana
tersebut. Strategi yang perlu ditempuh itu dapat diambil atas prakarsa
pekerja sendiri, tetapi dapat pula berupa kegiatan yang disponsori oleh
organisasi, atau gabungan dari keduanya. Hal ini merupakan salah satu
prinsip pengembangan karir yang sangat fundamental sifatnya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 72


Sebagaimana dirumuskan oleh Cascio (2012: 207) bahwa karir
dapat dipandang dari dua perspektif yang berbeda, antara lain dari
perspektif obyektif dan subyektif. Perspektif obyektif memandang
karier merupakan urut-urutan posisi yang diduduki oleh seseorang
selama hidupnya, sedangkan dari perspektif subyektif, karir merupakan
perubahan-perubahan nilai, sikap, dan motivasi yang terjadi karena
seseorang menjadi semakin tua. Kedua perspektif tersebut terfokus
pada individu, dan masing-masing pegawai dapat memanipulasi
peluang untuk memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang berasal
dari karirnya.
Pengembangan karir pegawai menurut Cappelli (2001: 56);
Bingley & Niels, (2004: 562), diperoleh melalui empat cara, yaitu
melalui: pendidikan, promosi, perpindahan pegawai atau mutasi, dan
rekomendasi atau dukungan dari atasan. Pengembangan karir melalui
pendidikan karena seorang pegawai akan mendapat banyak
pengalaman serta teknik-teknik modifikasi dan perbaikan perilaku,
yang memberikan nilai tambah sehingga memungkinkan seseorang
untuk bekerja lebih baik. Metode yang lazim digunakan misalnya:
penyuluhan karier, penyediaan informasi tentang institusi atau
organisasi, sistem penilaian kinerja dan lokakarya.
Pada organisasi yang sehat, jalur karir pegawai selalu jelas dan
eksplisit, baik titik-titik karir yang dilalui maupun persyaratan yang
harus dipenuhi untuk mencapai tujuan karir tertentu. Seperti
digambarkan oleh Kusumaningrum (2016, 585-587) dalam sebuah
jurnal, ada empat jalur karir yang biasa digunakan oleh organisasi, yaitu
jalur karir tradisional, jalur karir jaringan, jalur karir lateral, dan jalur
karir rangkap.

Jalur karir tradisional adalah suatu tipe jalur karir di mana


karyawan mengalami kemajuan secara vertikal pada suatu organisasi
dan suatu jabatan tertentu ke jabatan berikutnya. Sedangkan jalur karir

Manajemen Sumber Daya Manusia | 73


jaringan adalah jalur karir yang meliputi urutan-urutan (sekuensi)
jabatan secara vertikal dan horizontal. Jalur karir ini mengakui adanya
saling pertukaran pengalaman pada level tertentu dan kebutuhan
pengalaman yang luas pada suatu level sebelum promosi ke level yang
lebih tinggi.

Jalur karir lateral adalah jalur karir yang memungkinkan


seseorang memperoleh revitalisasi dan menemukan tantangan baru
pada jenjang posisi yang sama karena jumlah jabatan yang akan
ditempati sangat terbatas. Dalam hal ini tidak ada promosi dan kenaikan
upah, namun nilai seseorang menjadi lebih tinggi dengan
ditempatkannya pada posisi yang lebih menantang. Adapun jalur karir
rangkap adalah jalur karir ganda yang diberikan kepada seseorang
karena pengetahuan teknisnya sebagai penghargaan kepadanya. Hal ini
biasanya terjadi pada institusi berteknologi tinggi dan karyawan
tersebut tidak masuk dalam jajaran manajemen (struktural). Gambar di
bawah memperlihatkan jalur dan tujuan karir yang terhubung dengan
perencanaan dan pengembangan karir.

Gambar 5
Jalur dan Tujuan Karir

Untuk mengukur apakah institusi telah menciptakan kondisi


yang menunjang upaya-upaya individu mewujudkan perencanaan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 74


karirnya, maka perlu diketahui kesadaran pegawai akan pentingnya
mengetahui sasaran karir, serta langkah-langkah yang perlu diketahui
oleh individu karyawan untuk mencapai sasaran karir tersebut. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pengembangan karier adalah sebagai
berikut:

a. Prestasi kerja (Job Performance), merupakan komponen yang


paling penting untuk pengembangan dan meningkatkan karir
seorang karyawan. Kemajuan karir sebagian besar tergantung
atas prestasi kerja yang baik dan etis. Dengan mengetahui hasil
atas kinerjanya maka karyawan dapat mengukur kesempatannya
terhadap pengembangan karir. Asumsi terhadap kinerja yang
baik akan melandasi seluruh aktivitas pengembangan karir.
Ketika kinerja di bawah standar maka dengan mengabaikan
upaya-upaya ke arah pengembangan karir pun biasanya tujuan
karir yang paling sederhana pun tidak dapat dicapai.
b. Eksposur. Manajer atau atasan memperoleh pengenalan ini
terutama melalui kinerja, dan prestasi karyawan, laporan
tertulis, presentasi lisan, pekerjaan komite dan jam-jam yang
dihabiskan.
c. Jaringan kerja. Jaringan kerja berarti perolehan Eksposur di luar
institusi. Mencakup kontak pribadi dan professional. Jaringan
tersebut akan sangat bermanfaat bagi karyawan terutama dalam
pengembangan karirnya.
d. Kesetiaan terhadap organisasi. Level loyalitas yang rendah
merupakan hal yang umum terjadi di kalangan lulusan
perguruan tinggi terkini yang disebabkan ekspektasi terlalu
tinggi pada institusi tempatnya bekerja pertama kali sehingga
seringkali menimbulkan kekecewaan. Hal yang sama juga
terjadi pada kelompok profesional dimana loyalitas pertamanya
diperuntukkan bagi profesi. Untuk mengatasi hal ini sekaligus

Manajemen Sumber Daya Manusia | 75


mengurangi tingkat keluarnya karyawan (turnover) biasanya
institusi “membeli” loyalitas karyawan dengan gaji, tunjangan
yang tinggi, melakukan praktek-praktek SDM yang efektif
seperti perencanaan dan pengembangan karir.
e. Pembimbing dan sponsor. Adanya pembimbing dan sponsor
akan membantu karyawan dalam mengembangkan karirnya.
Pembimbing akan memberikan nasehat-nasehat atau saran-
saran kepada karyawan dalam upaya pengembangan karirnya,
pembimbing berasal dari internal institusi. Mentor adalah
seseorang di dalam institusi yang menciptakan kesempatan
untuk pengembangan karirnya.
f. Peluang untuk tumbuh. Karyawan hendaknya diberikan
kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya, misalnya
melalui pelatihan-pelatihan, kursus, dan melanjutkan
pendidikannya. Hal ini akan memberikan karyawan kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya
(Rivai, 2013: 278-279)

2. Pelatihan dan Pengembangan secara Berkelanjutan


Pelatihan dan pengembangan bagian dari dunia kerja di
institusi, organisasi, lembaga, atau bahkan dalam institusi pendidikan.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa pelatihan dan pengembangan sangat
penting bagi tenaga kerja untuk bekerja lebih menguasai dan lebih baik
terhadap pekerjaan yang dijabat atau akan dijabat kedepan. Secara
deskripsi tertentu, pendidikan para pekerja mungkin sudah memenuhi
syarat administrasi pada pekerjaannya, tapi secara aktual para pekerja
harus mengikuti atau mengimbangi perkembangan lingkungan sesuai
dengan tugas yang dijabat atau yang akan dijabatnya. Hal ini yang
mendorong pihak instansi pendidikan untuk memfasilitasi pelatihan
dan pengembangan karir para tenaga kerja guna mendapatkan hasil
kinerja yang baik, efektif dan efisien.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 76


Menurut pasal I ayat 9 Undang-Undang No.13 Tahun 2003,
pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan
dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan
pekerjaan. Mengafirmasi pandangan tersebut, Gomes (2003: 197)
mengemukakan pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki
performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi
tanggung jawabnya. Menurutnya istilah pelatihan sering disamakan
dengan istilah pengembangan, perbedaannya kalau pelatihan langsung
terkait dengan performansi kerja pada pekerjaan yang sekarang,
sedangkan pengembangan tidaklah harus, pengembangan mempunyai
scope yang lebih luas dibandingkan dengan pelatihan.

Pengembangan cenderung lebih bersifat formal, menyangkut


antisipasi kemampuan dan keahlian individu yang harus dipersiapkan
bagi kepentingan jabatan yang akan datang. Sasaran dan program
pengembangan menyangkut aspek yang lebih luas yaitu peningkatan
kemampuan individu untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin
terjadi tanpa direncanakan atau perubahan yang direncanakan
(Syafaruddin:2001: 217). Pengembangan diutamakan untuk karyawan
lama dalam rangka menyegarkan kembali dan untuk meningkatkan
kemampuannya. Disamping itu yang terpenting dalam pengembangan
yang dilakukan adalah untuk meningkatkan karir dan penentu
kompensasi karyawan yang bersangkutan.
Tujuan utama pelatihan dan pengembangan pada intinya dapat
dikelompokkan dalam enam bidang utama, sebagaimana diutarakan
Meldona dan Siswanto (2012: 218-221) yaitu:

a. Memperbaiki kinerja. Bagi karyawan yang bekerja secara tidak


memuaskan karena kekurangan keterampilan maka diikutkan
pelatihan agar bisa memperbaiki kinerjanya. Kendatipun

Manajemen Sumber Daya Manusia | 77


pelatihan tidak dapat memecahkan semua permasalahan kinerja,
tetapi program yang baik seringkali dapat meminimalkan
permasalahan tersebut.
b. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan
kemajuan teknologi. Melalui pelatihan dan pengembangan,
pelatih (trainer) memastikan bahwa para karyawan dapat secara
efektif menggunakan teknologi-teknologi baru. Perubahan
teknologi pada gilirannya, berarti bahwa pekerjaan menjadi
sering berubah dan keahlian serta kemampuan karyawan pasti
haruslah dimutakhirkan melalui pelatihan, sehingga kemajuan
teknologi tersebut secara sukses dapat diintegrasikan kedalam
organisasi.
c. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi
kompeten dalam pekerjaannya. Sering seorang karyawan belum
memiliki keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk
menjadi “job competent”, yaitu mampu mencapai tingkat output
dan standar kualitas yang diharapkan. Penyebabnya adalah:
pertama, sistem seleksi karyawan tidaklah sempurna, artinya
meskipun hasil-hasil tes, wawancara dan data lainnya mungkin
menunjukkan bahwa seorang karyawan mempunyai
probabilitas yang tinggi akan kesuksesan pekerjaan, namun
terdapat saat-saat tertentu bahwa prediksi tersebut tidaklah
valid. Pelatihan seringkali digunakan untuk mengisi gap antara
kinerja karyawan baru yang diprediksikan dengan kinerja
aktualnya. Kedua, manajemen sengaja mengangkat karyawan
yang membutuhkan pelatihan agar bekerja pada tingkat standar.
Kondisi ini dimungkinkan apabila jumlah lowongan melebihi
jumlah pelamar. Ketiga, seringkali manajemen mengangkat
karyawan yang memiliki bakat untuk mempelajari berbagai
pekerjaan rendah atau semi ahli, daripada karyawan ahli dalam
satu bidang pekerjaan. Untuk memberikan keahlian khusus

Manajemen Sumber Daya Manusia | 78


tersebut, karyawan yang bersangkutan diikutkan pada program
pelatihan yang diselenggarakan institusi.
d. Membantu memecahkan permasalahan operasional. Para
manajer harus mencapai tujuan-tujuan organisasional yng
menantang kendatipun menghadapi berbagai kelangkaan
sumber daya dan berbagai hambatan operasional seperti konflik
antar-pribadi, standar dan kebijakan yang kabur, penundaan
jadwal, kekurangan persediaan, tingkat ketidakhadiran dan
perputaran karyawan yang tinggi, serta berbagai faktor kendala
lainnya.
e. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan pribadi. Bagi
sebagian besar manajer yang berorientasi pencapaian dan
membutuhkan tantangan-tantangan baru pada pekerjaannya,
maka pelatihan dan pengembangan dapat memainkan peran
ganda dengan menyediakan aktivitas-aktivitas yang
membuahkan efektivitas organisasional yang lebih besar dan
meningkatkan pertumbuhan pribadi bagi semua karyawan.
f. Mempersiapkan karyawan untuk promosi. Salah satu cara untuk
menarik, mempertahankan dan memotivasi karyawan adalah
dengan melalui program pengembangan karir yang sistematik.
Pelatihan dan pengembangan memungkinkan karyawan
menguasai keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan
berikutnya di jenjang organisasi yang lebih tinggi dan
memudahkan transisi dari pekerjaan karyawan saat ini ke posisi
atau pekerjaan yang melibatkan tanggungjawab yang lebih
besar. Dengan secara berkesinambungan mengembangkan dan
mempromosikan karyawan yang ada melalui pelatihan dan
pengembangan, manajemen dapat menikmati karyawan yang
berbobot, termotivasi dan memuaskan. Karena jika tidak,
karyawan yang berorientasi pencapaian (achievement oriented)

Manajemen Sumber Daya Manusia | 79


akan memilih keluar dan mencari institusi lain yang
memberikan kesempatan promosi bagi kemajuan karir mereka.

Terdapat banyak pendekatan untuk pelatihan. Menurut


Simamora (2006: 278), pengembangan kompetensi SDM bisa
dilakukan seperti pelatihan-pelatihan berikut:
a. Pelatihan keahlian atau skills training merupakan pelatihan
yang sering di jumpai dalam organisasi. Program pelatihannya
relatif sederhana, kebutuhan atau kekurangan diidentifikasi
melalui penilaian yang jeli. Kriteria penilaian efektifitas
pelatihan juga berdasarkan pada sasaran yang diidentifikasi
dalam tahap penilaian.
b. Pelatihan ulang atau retraining adalah subset pelatihan
keahlian. Pelatihan ulang berupaya memberikan kepada para
karyawan keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk
menghadapi tuntutan kerja yang berubah-ubah. Seperti tenaga
kerja instansi pendidikan yang biasanya bekerja menggunakan
mesin ketik manual mungkin harus dilatih dengan mesin
computer atau akses internet
c. Pelatihan lintas fungsional atau cross functional training
melibatkan pelatihan karyawan untuk melakukan aktivitas kerja
dalam bidang lainnya selain dan pekerjaan yang ditugaskan.
d. Pelatihan Tim merupakan pelatihan bekerjasama terdiri dari
sekelompok individu untuk menyelesaikan pekerjaan demi
tujuan bersama dalam sebuah tim kerja.
e. Pelatihan kreatifitas atau creativities training berlandaskan pada
asumsi bahwa kreativitas dapat dipelajari. Maksudnya tenaga
kerja diberikan peluang untuk mengeluarkan gagasan sebebas
mungkin yang berdasar pada penilaian rasional dan biaya dan
kelayakan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 80


Program-program pelatihan dan pengembangan dirancang
untuk meningkatkan prestasi kerja, mengurangi absensi dan perputaran,
serta memperbaiki kepuasan kerja. Ada banyak metode yang dapat
digunakan bagi pelatihan dan pengembangan. Metode yang dipilih
hendaklah disesuaikan dengan jenis pelatihan yang akan dilaksanakan
dan yang dapat dikembangkan oleh suatu institusi. Beberapa metode
yang dapat digunakan untuk pelatihan dan pengembangan, antara lain:

a. On the Job Training. On the Job Training disebut juga dengan


pelatihan dengan instruksi pekerjaan yaitu dengan cara pekerja
atau calon pekerja ditempatkan dalam kondisi pekerjaan riil,
dibawah bimbingan atau arahan yang berpengalaman atau
supervisor.
b. Rotasi Pekerjaan. Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi
karyawan agar mendapatkan variasi kerja, para pengajar
memindahkan para peserta pelatihan dari tempat kerja satu ke
lainnya. Setiap perpindahan biasanya didahului pemberian
instruksi kerja.
c. Magang. Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang
lebih berpengalaman dan dapat ditambah pada teknik off the job
training. Asistensi dan kerja sambilan disamakan dengan
magang karena menggunakan partisipasi tingkat tinggi dari
peserta dan memiliki tingkat transfer pengetahuan dan
ketrampilan yang tinggi tentang pekerjaan.
d. Ceramah kelas dan presentasi video. Ceramah dan teknik lain
dalam off the job training dengan mengandalkan komunikasi
daripada memberi model. Ceramah merupakan pendekatan
terkenal karena menawarkan sisi ekonomis dan material
organisasi, tetapi partisipasi, umpan balik, transfer dan repetisi
sangat rendah. Umpan balik dan partisipasi dapat meningkat
dengan adanya diskusi selama ceramah.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 81


e. Pelatihan vestibule. Agar pembelajaran tidak mengganggu
operasional rutin, beberapa institusi menggunakan pelatihan
vestibule. Wilayah atau vestibule terpisah dibuat dengan
peralatan yang sama dengan yang digunakan dalam pekerjaan.
Cara ini memungkinkan adanya transfer, repetisi dan partisipasi
serta material institusi bermakna dan umpan balik.
f. Permainan peran dan model perilaku. Permainan peran adalah
alat yang mendorong peserta untuk membayangkan identitas
lain. Pengalaman ini menciptakan empati dan toleransi lebih
besar terhadap perbedaan individual dan karenanya cara ini
cocok untuk pelatihan dan keanekaragaman yang bertujuan
untuk menciptakan lingkungan kerja kondusif bagi
keanekaragaman tenaga kerja.
g. Case study. Metode kasus adalah metode pelatihan yang
menggunakan deskripsi tertulis dari suatu permasalahan riil
yang dihadapi oleh institusi atau institusi lain. Manajemen
diminta mempelajari kasus untuk mengidentifikasi,
menganalisis masalah, mengajukan solusi, memilih solusi
terbaik dan mengimplementasikan solusi tersebut. Peranan
instruktur adalah sebagai katalis dan fasilitator.
h. Simulasi. Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam.
Pertama: simulasi yang melibatkan simulator yang bersifat
mekanik (mesin) yang mengandalkan aspek-aspek utama dalam
suatu situasi kerja. Kedua: simulasi komputer. Teknik ini
umumnya digunakan untuk melatih para manajer yang mungkin
tidak boleh menggunakan metode trial and error untuk
mempelajari pembuatan keputusan.
i. Belajar mandiri dan proses belajar terprogram. Materi
instruksional yang direncanakan secara tepat dapat digunakan
untuk melatih dan mengembangkan para karyawan. Teknik
belajar mandiri berkisar pada cara manual sampai kaset

Manajemen Sumber Daya Manusia | 82


rekaman atau video. Beberapa prinsip belajar tercakup dalam
tipe pelatihan ini.
j. Praktik laboratorium. Pelatihan ini dirancang untuk
meningkatkan ketrampilan interpersonal. Bentuk populer dari
pelatihan ini adalah pelatihan kepekaan yang mencoba
meningkatkan kepekaan seseorang terhadap perasaan orang
lain.
k. Pelatihan tindakan (action learning). Pelatihan ini terjadi dalam
kelompok kecil yang berusaha mencari solusi masalah nyata
yang dihadapi oleh institusi, dibantu oleh fasilitator (dari luar
atau dalam institusi).
l. Management games menekankan pada pengembangan
kemampuan problem-solving. Keuntungan dari simulasi ini
adalah timbulnya integrasi atas berbagai interaksi keputusan,
kemampuan bereksperimen melalui keputusan yang diambil,
umpan balik dari keputusan dan persyaratan-persyaratan bahwa
keputusan dibuat dengan data-data yang tidak cukup.
m. Behavior modeling. Sebagai salah satu proses yang bersifat
psikologis mendasar dimana pola-pola baru dari suatu perilaku
dapat diperoleh sedangkan pola-pola yang sudah ada dapat
diubah.
n. Outdoor oriented program. Program ini sering dilakukan di
suatu wilayah terpencil dengan melakukan kombinasi antara
kemampuan di luar kantor dengan kemampuan di ruang kelas
(Heldjrachman & Husnan, 1994: 74; Mondy: 2008: 212-214)

Untuk menyimpulkan mengenai paparan-paparan di atas,


pelatihan dan pengembangan merupakan salah satu solusi terhadap
sejumlah problem penurunan kualitas kinerja organisasi atau lembaga
dan instansi yang disebabkan oleh penurunan kemampuan dan
keusangan keahlian yang dimiliki oleh karyawan atau tenaga kerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 83


Pelatihan dan pengembangan dapat menyelesaikan permasalahan
operasional antara lain: untuk meningkatkan kuantitas output; untuk
meningkatkan kualitas output; untuk mencegah timbulnya antipati
karyawan; dan untuk menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta
meningkatkan kepuasan kerja.

3. Memelihara Lingkungan Kerja


Menurut Alex S Nitisemito (2000: 183) lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan. Lingkungan kerja tidak melaksanakan proses produksi
dalam suatu institusi, tetapi lingkungan kerja dapat berkontribusi secara
tidak langsung terhadap para karyawan yang melaksanakan proses
produksi tersebut. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa
aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Jika
karyawan menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka
karyawan tersebut akan betah ditempat kerjanya, melakukan
aktivitasnya sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif.
Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat
menurunkan kinerja karyawan.
Sentoso (2001: 19-21) mengutip pernyataan Myon Woo Lee
dalam teori W, bahwa pihak manajemen dalam institusi hendaknya
membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan
rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen
juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi
seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu
dalam organisasi/institusi untuk mencapai tujuan.

Menurut Sousa & Voss (2012: 802); Suri, Boozer, Ranis &
Stewart. (2011: 514) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis
lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni: 1) lingkungan tempat kerja

Manajemen Sumber Daya Manusia | 84


fisik (physical working environment); dan 2) suasana kerja non-fisik
(Non-Physical Working Environment). Lingkungan kerja fisik adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja
yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Sedangkan lingkungan kerja non-fisik adalah
semua keadaan yang terjadi berkaitan dengan hubungan kerja, baik
hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja,
ataupun hubungan dengan bawahan.
Terkait dengan lingkungan kerja secara fisik, Gie (2002: 103)
memberi panduan untuk menciptakan lingkungan kerja yang efektif
dalam institusi ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan:

a. Cahaya. Penerangan yang cukup memancarkan dengan tepat


akan menambah efisiensi kerja para karyawan/pegawai, karena
mereka dapat bekerja dengan lebih cepat lebih sedikit membuat
kesalahan dan matanya tak lekas menjadi lelah.
b. Warna. Warna merupakan salah satu faktor yang penting untuk
memperbesar efisiensi kerja para karyawan, khususnya warna
akan mempengaruhi keadaan jiwa mereka dengan memakai
warna yang tepat pada dinding ruang dan alat-alat lainnya
kegembiraan dan ketenangan bekerja para karyawan akan
terpelihara.
c. Udara. Mengenai faktor udara ini, yang sering sekali adalah
suhu udara dan banyaknya uap air pada udara itu.
d. Suara. Untuk mengatasi terjadinya kegaduhan, perlu kiranya
meletakkan alat-alat yang memiliki suara yang keras, seperti
mesin ketik pesawat telepon, parkir motor, dan lain-lain pada
ruang khusus, sehingga tidak mengganggu pekerja lainnya
dalam melaksanakan tugasnya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 85


Non-Physical Working Environment atau disebut juga aspek
pembentuk lingkungan kerja ditentukan oleh beberapa faktor
sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

a. Pelayanan kerja. Pelayanan karyawan merupakan aspek


terpenting yang harus dilakukan oleh setiap institusi. Pelayanan
yang baik dari institusi akan membuat karyawan lebih bergairah
dalam bekerja, mempunyai rasa tanggung jawab dalam
menyelesaikan pekerjaannya, serta dapat terus menjaga nama
baik institusi melalui produktivitas kerjanya dan tingkah
lakunya. Pada umumnya pelayanan karyawan meliputi
beberapa hal yakni: pelayanan makan dan minum, pelayanan
kesehatan, pelayanan kamar kecil/kamar mandi ditempat kerja,
dan sebagainya.
b. Hubungan karyawan. Hubungan karyawan akan sangat
menentukan dalam menghasilkan produktivitas kerja. Hal ini
disebabkan karena adanya hubungan antara motivasi serta
semangat dan kegairahan kerja dengan hubungan yang kondusif
antar sesama karyawan dalam bekerja, ketidakserasian
hubungan antara karyawan dapat menurunkan motivasi dan
kegairahan yang akibatnya akan dapat menurunkan
produktivitas kerja.
c. Pekerjaan yang berlebihan. Pekerjaan yang berlebihan dengan
waktu yang terbatas atau mendesak dalam penyelesaian suatu
pekerjaan akan menimbulkan penekanan dan ketegangan
terhadap karyawan, sehingga hasil yang didapat kurang
maksimal.
d. Sistem pengawasan yang buruk. Sistem pengawasan yang buruk
dan tidak efisien dapat menimbulkan ketidakpuasan lainnya,
seperti ketidakstabilan suasana politik dan kurangnya umpan
balik prestasi kerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 86


e. Frustasi. Frustasi dapat berdampak pada terhambatnya usaha
pencapaian tujuan, misalnya harapan institusi tidak sesuai
dengan harapan karyawan, apabila hal ini berlangsung terus
menerus akan menimbulkan frustasi bagi karyawan.
f. Perubahan-perubahan dalam segala bentuk. Perubahan yang
terjadi dalam pekerjaan akan mempengaruhi cara orang-orang
dalam bekerja, misalnya perubahan lingkungan kerja seperti
perubahan jenis pekerjaan, perubahan organisasi, dan
pergantian pemimpin institusi.
g. Perselisihan antara pribadi dan kelompok. Hal ini terjadi apabila
kedua belah pihak mempunyai tujuan yang sama dan bersaing
untuk mencapai tujuan tersebut. Perselisihan ini dapat
berdampak negatif yaitu terjadinya perselisihan dalam
berkomunikasi, kurangnya kekompakan dan kerjasama.
Sedangkan dampak positifnya adalah adanya usaha positif
untuk mengatasi perselisihan ditempat kerja, diantaranya:
persaingan, masalah status dan perbedaan antara individu.
(Simanjuntak, 2003: 39-41)
Lingkungan kerja fisik maupun psikis keduanya sama
pentingnya dalam sebuah organisasi, kedua lingkungan kerja ini tidak
bisa dipisahkan. Apabila sebuah institusi hanya mengutamakan satu
jenis lingkungan kerja saja, tidak akan tercipta lingkungan kerja yang
baik, dan lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga
kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya
rancangan sistem kerja yang efisien dan akan menyebabkan institusi
tersebut mengalami penurunan produktivitas kerja.

4. Kompensasi dan Sistem Penghargaan


Kompensasi merupakan faktor yang penting dalam Manajemen
Sumber Daya Manusia (MSDM), karena kompensasi adalah isu yang

Manajemen Sumber Daya Manusia | 87


paling sensitif di dalam hubungan kerja (Golub, 2006; lynch, 2013).
Apabila dikelola dengan arif, maka dengan kompensasi ini dapat
membantu institusi untuk mencapai produktivitas yang semakin tinggi
bagi karyawannya, sebaliknya jika unsur ini tidak dikelola dengan baik,
maka karyawan akan meninggalkan institusi dan untuk melakukan
penempatan kembali sangatlah tidak mudah.
Kompensasi diartikan sebagai balas jasa (reward) institusi
terhadap pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan
mereka kepada institusi. Kaye, Jans & Jones, 2011: 531) berpendapat
bahwa kompensasi didefinisikan sebagai setiap bentuk penghargaan
yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusi yang
mereka berikan kepada organisasi. Menurut Brown (2014: 86)
mengemukakan bahwa kompensasi dihitung berdasarkan evaluasi
pekerjaan. Perhitungan kompensasi berdasarkan evaluasi pekerjaan
tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan pemberian kompensasi yang
mendekati kelayakan (worth) dan keadilan (equity), karena jika
kompensasi dirasakan tidak layak dan tidak adil oleh para karyawan,
maka tidak mustahil hal tersebut merupakan sumber kecemburuan
sosial.

Kompensasi dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk,


seperti dalam bentuk pemberian uang, pemberian material dan fasilitas,
serta pemberian kesempatan berkarier. Simpson & Rogers (2002, 674)
menyebutkan kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima
oleh pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi
dalam bentuk uang atau lainnya, yang dapat berupa gaji, upah, bonus,
insentif dan tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan, dan
uang cuti.

Menurut Notoadmodjo (dalam Sutrisno, 2009), ada beberapa


tujuan dari kompensasi yang perlu diperhatikan, yaitu: menghargai
prestasi kerja; menjamin keadilan; mempertahankan karyawan;

Manajemen Sumber Daya Manusia | 88


memperoleh karyawan yang bermutu; pengendalian biaya; serta
memenuhi peraturan-peraturan. Pemberian kompensasi yang
memadahi adalah suatu penghargaan organisasi terhadap prestasi kerja
para karyawan. Dengan adanya sistem kompensasi yang baik akan
menjamin terjadinya keadilan di antara karyawan dalam organisasi.
Sistem kompensasi yang baik, para karyawan akan lebih survival
bekerja, menarik lebih banyak calon karyawan, akan lebih banyak pula
peluang untuk memilih karyawan yang terbaik, dan mengurangi
seringnya melakukan rekrutmen, sebagai akibat semakin seringnya
karyawan yang keluar mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan di
tempat lain

Masing-masing institusi bertanggung jawab atas karyawan dan


masyarakat sekitar. Untuk mewujudkan keselarasan antara kewajiban
dan tujuan organisasi atau institusi, setidaknya organisasi dapat
menghimpun karyawannya untuk mengerjakan tugas-tugasnya dan
menciptakan iklim kerja yang baik. Keinginan institusi untuk
memajukan karyawan dapat dipacu melalui penghargaan-
penghargaannya yang dapat mendorong karyawan supaya berkeinginan
untuk berbuat lebih. Penghargaan tersebut dapat berupa penambahan
upah, menciptakan pemenuhan kebutuhan keamanan kerja dan
perlakuan yang layak sebagai pembangkit minat pekerja.

Berdasarkan pandangan para ahli, penghargaan dimaknai


sebagai insentif yang mengaitkan bayaran atas dasar untuk dapat
meningkatkan produktivitas para karyawan guna mencapai keunggulan
yang kompetitif (Tohardi, 2002: 317; Simamora, 2004: 514; Mahmudi,
2005: 89). Penghargaan dapat berbentuk material dan non-material
yang diberikan oleh pihak institusi kepada karyawannya agar mereka
dapat bekerja dengan motivasi tinggi dan berprestasi dalam mencapai
tujuan-tujuan institusi.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 89


Mahsun (2006: 114), mengutarakan bahwa pada dasarnya,
terdapat dua tipe penghargaan yaitu: Social Rewards dan Psychic
Rewards. Penghargaan Sosial adalah berupa pujian dan pengakuan diri
dari dalam dan luar organisasi yang merupakan faktor penghargaan
ekstrinsik (extrinsic rewards) yang diperoleh dari lingkungannya,
seperti materi finansial dan piagam penghargaan. Sedangkan
Penghargaan Psikis berkaitan dengan harga diri (self-esteem),
kepuasaan diri (self-satisfaction), dan kebanggaan atas hasil yang
dicapai. Penghargaan psikis (Psychic rewards) adalah penghargaan
intrinsik (intrinsic rewards) yang datang dari dalam diri seseorang,
seperti pujian, sanjungan, dan ucapan selamat yang dirasakan pegawai
sebagian bentuk pengakuan terhadap dirinya sehingga mendatangkan
kepuasan bagi dirinya sendiri.

Tujuan pemberian penghargaan (rewarding) antara lain adalah


sebagai ikatan kerja sama, kepuasan kerja, pengadaan efektif, motivasi,
stabilitas karyawan, dan disiplin (Hasibuan, 2005: 17). Adapun rincian
dari bentuk-bentuk pengaruh penghargaan (reward) adalah sebagai
berikut:
a. Memperkokoh ikatan kerja sama. Dengan pemberian
penghargaan, ikatan kerja sama terjalin formal antara institusi
dan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugas
dengan baik, sedangkan institusi wajib membayar penghargaan
sesuai dengan perjanjian yang disepakati;
b. Mencapai kepuasan Kerja. Penghargaan akan membuat
karyawan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial,
dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari
jabatannya;
c. Pengadaan efektifitas. Jika program penghargaan yang
ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang berkualitas
untuk kebutuhan institusi akan lebih mudah;

Manajemen Sumber Daya Manusia | 90


d. Melahirkan motivasi. Penghargaan yang diberikan cukup besar
akan memotivasi karyawan;
e. Stabilitas karyawan. Program atas prinsip adil dan layak serta
eksternal konsistensi yang kompetitif akan membuat stabilitas
karyawan lebih terjamin karena turnover relatif kecil;
f. Disiplin. Pemberian penghargaan yang cukup besar diharapkan
akan meningkatkan disiplin karyawan. Mereka akan menyadari
serta menaati peraturan-peraturan yang berlaku;

Dalam penelitian serupa, Reena (2008:4) mengungkapkan


terdapat sembilan dimensi-dimensi penghargaan yang dirangkum dari
teori Herzberg:

a. Isi pekerjaan, yaitu mengungkapkan perasaan mengenai jenis


pekerjaan yang karyawan kerjakan;
b. Pembayaran (gaji atau upah), yaitu kepuasan karyawan terhadap
gaji mereka.
c. Promosi, yaitu kesempatan yang diberikan organisasi untuk
naik ke tingkat jabatan
d. Pengakuan, yaitu rasa pengakuan yang diterima karyawan serta
umpan balik yang karyawan terima
e. Kondisi kerja, merupakan gabungan kelima faktor diatas serta
kesempatan bersaing dan relasi interpersonal.
f. Keuntungan merupakan persepsi karyawan akan jaminan uang
pensiun yang akan ia peroleh, jaminan kesehatan, dan tunjangan
serta kepuasan hidup di hari tua.
g. Personal, yaitu perasaan pribadi karyawan terhadap pekerjaan
h. Pemimpin atau supervisor adalah tingkat kepuasan terhadap
manajer.

Penghargaan dapat mengubah seseorang dan memicu


peningkatan motivasi. Menurut Mahsun (2005: 78), terdapat empat

Manajemen Sumber Daya Manusia | 91


alternatif norma pemberian penghargaan agar dapat digunakan untuk
memicu motivasi dan produktivitas pegawai, antara lain sebagai
berikut:

a. Kesesuaian tujuan (goal congruence). Setiap organisasi publik


pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sedangkan setiap
individu dalam organisasi mempunyai tujuan individual yang
sering tidak selaras dengan tujuan organisasi. Dengan demikian,
penghargaan harus diciptakan sebagai jalan tengah agar tujuan
organisasi dapat dicapai tanpa mengorbankan tujuan individual,
dan sebaliknya tujuan individual dapat tercapai tanpa harus
mengorbankan tujuan organisasi;
b. Keadilan (equity). Penghargaan harus dialokasikan secara
proporsional dengan mempertimbangkan besarnya kontribusi
setiap individu dan kelompok. Dengan demikian, yang
memberikan kontribusi tinggi akan mendapatkan penghargaan
yang juga akan tinggi, sebaliknya yang memberi kontribusi
yang rendah, penghargaannya pun akan rendah;
c. Kesamarataan (equality). Penghargaan juga harus
didistribusikan secara merata bagi semua pihak, individu
maupun kelompok, yang telah menyumbangkan sumber
dayanya untuk tercapainya produktivitas;
d. Kebutuhan (needs). Alokasi penghargaan kepada pegawai
seharusnya mempertimbangkan tingkat kebutuhan utama dari
pegawai. Penghargaan yang berwujud finansial tidak selalu
sesuai dengan kebutuhan utama pegawai.

Sistem penghargaan dapat berkontribusi memuaskan orang,


keinginan mereka, memberi pembelajaran dan meningkatkan
kemampuan mereka. Apabila orang-orang lebih dihargai dan dikenali,
maka mereka cenderung lebih terpuaskan dengan pekerjaan mereka dan
dengan kehidupan mereka. Hal ini mengimplikasikan bahwa para

Manajemen Sumber Daya Manusia | 92


pekerja yang terpuaskan sedikit memungkinkan untuk berhenti,
mengubah pekerjaannya, bergabung dalam satu kesatuan, atau absen.
Menurut Roberts (2002: 60), model pemberian penghargaan dirangkum
dalam tiga sistem rewarding meliputi: model tradisional, model
hubungan manusia, dan model sumber daya manusia. Pada model
tradisional, tugas utama manajer adalah meminimalkan variasi-variasi
perilaku bagi anggota-anggota organisasi karena model ini
mempersoalkan kapabilitas para anggotanya untuk bertanggungjawab
terhadap self-direction dan self-control dalam melakukan pekerjaan.
Model ini sangat sederhana, karena hanya terdapat satu jalur (path)
yang pasti untuk mengukurnya, yaitu kinerja standar, dan hanya ada
satu imbalan yang pasti yakni upah standar dan paket keuntungan.
Tujuan utamanya adalah menarik dan menjaga kestabilan work force
yang dapat diprediksikan.
Model hubungan manusia, tugas utama manajer adalah
memelihara pandangan mengenai struktur organisasi yang pada
esensinya adalah manusia (tenaga kerja) dan menentukan desain secara
teratur serta memberi penghargaan sebagai dorongan dalam bekerja
baik berupa perhatian dan pengakuan. Tujuan utamanya adalah untuk
menarik dan mempertahankan loyalitas serta kepatuhan karyawan.
Sedangkan model sumber daya manusia, tugas utama manajer adalah
memberikan fasilitas kinerja anggota yakni dengan menyingkirkan
hambatan-hambatan terhadap aplikasi dari serangkaian sumber daya
mental dan fisik yang ada dalam organisasi. Tujuan utamanya adalah
memperhatikan kondisi lingkungan kerja, menentukan desain pegawai,
cost savings, dan skill-reservoir plans (Robins (2002: 272;
Sastrohadiwiryo, 2002: 235).

Sistem penghargaan yang baik dapat memotivasi orang serta


memuaskan mereka sehingga dapat menumbuhkan komitmen terhadap
organisasi. Penghargaan yang kurang baik justru sering gagal dalam

Manajemen Sumber Daya Manusia | 93


memotivasi dan menumbuhkan semangat peningkatan produktivitas.
Program penghargaan penting bagi organisasi karena mencerminkan
upaya organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusia sebagai
komponen utama dan merupakan komponen biaya yang paling penting.
Disamping pertimbangan tersebut, penghargaan juga merupakan salah
satu aspek yang berarti bagi pegawai, karena bagi individu atau pegawai
besarnya penghargaan mencerminkan ukuran nilai karya mereka
diantara para pegawai itu sendiri, keluarga, dan masyarakat (Unger,
Rumril & Hannessey, 2005; Vierling, 2009)

Manajemen Sumber Daya Manusia | 94


BAB V
DOSEN SEBAGAI SUMBER DAYA MANUSIA
PERGURUAN TINGGI

A. Standar Mutu Kerja Dosen


Manajemen sumber daya manusia di perguruan tinggi dalam
melaksanakan fungsi, perlu menetapkan standar mutu kerja dosen,
maksudnya dosen yang bekerja mampu menghasilkan jasa-jasa yang
sesuai dengan kebutuhan para pelanggan perguruan tinggi. Standar
mutu kerja dosen ini menjadi pondasi maupun acuan untuk
meningkatkan mutu dan profesionalisme kerja dosen. Untuk mengukur
standar mutu kerja dosen, Wibowo (2014; 1) menjelaskan ada lima
faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu; kemampuan profesional;
upaya professional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk
kegiatan professional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaan, dan
kesejahteraan yang memadai.

Kompetensi profesional dosen berkenaan dengan penguasaan


materi, struktur konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
kuliah yang diampuh (dibinanya), menguasai standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata kuliah yang diampuh, mengembangkan materi
perkuliahan yang diampuh secara kreatif, mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mengembangkan diri.

Untuk merealisasikan kompetensi professional kerja dosen di


atas, tentu harus ada upaya professional, menurut Undang-Undang No.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 95


14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dalam pasal 51 ayat 1 huruf d
menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya,
dosen berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
kompetensi, akses ke sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana
pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Peran perguruan tinggi disini mempersiapkan sumber daya


dosen melalui pendidikan tinggi. Dalam prosesnya, kualitas tenaga
dosen merupakan titik sentral yang akan sangat menentukan tinggi-
rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi itu sendiri. Untuk itu dosen
perguruan tinggi haruslah memiliki kemampuan akademik satu tingkat
dari program pendidikan mahasiswa yang diajarkannya, dan juga
mengharuskan agar setiap dosen memiliki sertifikat profesi. Disamping
itu pengaturan waktu kerja dosen yang dicurahkan untuk kegiatan
professional perlu dilakukan.
Dosen bukan hanya dituntut pakar dalam bidang kajian ilmunya
(mengajarkan, meneliti, dan mengabdikannya kepada masyarakat)
tetapi juga dituntut untuk mampu berkomunikasi (verbal dan tulisan);
mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT); memiliki jejaring (networking) yang luas; peka
terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di dunia luar,
bersikap outward looking, dan lain-lain.

Pembagian waktu bekerja dosen harus dilakukan secara


proporsional dan berkeadilan. Jangan terjadi penumpukan beban
mengajar pada salah seorang dosen, padahal yang lainnya tidak.
Akibatnya yang bersangkutan tidak bisa melaksanakan kewajibannya
dalam penelitian dan pengabdian masyarakat, akibatnya dosen tidak
bisa memenuhi ekuivalensi wajib mengajar penuh.

Implikasinya proses kenaikan pangkatnya tidak bisa berjalan


normal. Termasuk waktu untuk bersosialisasi dan membangun jaringan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 96


luas di tengah masyarakat. Kesesuaian keahlian dan kepakaran juga
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peningkatan mutu kerja
dosen. Dosen dituntut untuk mengatur dan merencanakan kepakaran
keilmuan yang ditekuninya, sehingga upaya melanjutkan studinya juga
menjadi pertimbangan mana jurusan yang relevan dengan tugasnya.
Studi lanjut bukan hanya sekedar menyelesaikan jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, melainkan juga berhubungan dengan pengembangan
keilmuan dan kepakarannya dengan disiplin ilmu yang diajarkannya.
Tingkat kesejahteraan dosen juga menjadi alat (instrumen) dalam
meningkatkan mutu kerja dosen.
Program sertifikasi dosen dilaksanakan mendorong dosen
bekerja lebih fokus, dan professional. Apresiasi negara terhadap profesi
dosen mesti sebanding dengan professional kerja yang ditampilkannya.
Untuk mencapai itu, manajemen SDM perguruan tinggi perlu
menetapkan standar manajemen mutu kerja dosen. Barangkali tidak
salah kita mengelaborasi berbagai terobosan yang dilakukan
Universitas Indonesia, dimana perguruan tinggi tersebut sudah leading
dalam dalam pengelolaan dan pembinaan kerja dosen.
Dalam buku Standar Penjaminan Mutu Akademik-Universitas
Indonesia (SPMA-UI) dijelaskan standar mutu kerja dosen, kriteria dan
indikator profesionalisme seorang dosen dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai berikut;

Tabel 6
Standar Mutu, Kriteria, dan Indikator Profesionalisme Dosen

Standar Kerja Kriteria Indikator


a. Kepakaran Adanya kepakaran atas
Profesionalisme kepakarannya, atau
yang tinggi penguasaan terhadap
disiplin ilmunya, oleh

Manajemen Sumber Daya Manusia | 97


kelompok sejawat (peer
group)
b. Pengembangan - Adanya kegiatan
kepakaran dan penelitian ilmiah
penguasaan ilmu - Adanya penulisan
makalah/buku
ilmiah
c. Menerapkan teknologi - Sertifikasi dalam
instruksional bidang pengajaran
- Kepuasaan
mahasiswa
d. Menerapkan etika pada Tidak terlibat dalam
waktu mengajar, kegiatan-kegiatan yang
meneliti dan kegiatan melanggar etika, nilai-
profesi lainnya nilai akademik dan
profesi
Sumber : SMPA-UI (2007)

Mutu kerja dosen yang professional dalam menjalankan tugas


di bidang tri dharma perguruan, menuntun seorang dosen untuk selalu
menampilkan amalan dan karya terbaiknya secara berkelanjutan.
Konsistensi kerja dari waktu ke waktu terus menunjukkan progress
yang sesuai dengan amanat undang-undang tentang profesi dosen,
sesuai dengan harapan institusional, sekaligus sesuai dengan harapan
cita-cita personal dosen itu sendiri. Mengorganisasikan harapan itu,
manajemen SDM dosen di masing-masing perguruan tinggi mesti
mendisain standar mutu kerja, kriteria dan indikator keberhasilannya.
Mutu kerja dosen menjadi bagian tidak terpisah dari arah dan tujuan
perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
juga.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 98


B. Beban Kerja Dosen dalam Perwujudan Tri dharma Perguruan
Tinggi
Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1980 pasal 26 menyatakan
bahwa beban kerja dosen adalah jumlah pekerjaan yang wajib
dilakukan seorang dosen perguruan tinggi negeri sebagai tugas
institusional dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi. Tugas
utama dosen dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi adalah
melaksanakan tri dharma perguruan tinggi dengan beban kerja paling
sedikit sepadan dengan 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam
belas) SKS pada setiap semester sesuai dengan kualifikasi akademik.
Tugas institusional dosen merupakan pekerjaan dalam batas-
batas fungsi pendidikan tinggi yang dilakukan secara terjadwal ataupun
tidak terjadwal oleh dosen; 1) ditugaskan oleh pimpinan perguruan
tinggi untuk dilaksanakan di tingkat universitas atau institute, fakultas,
lembaga, jurusan, pusat, laboratorium atau studio dan balai, 2)
ditugaskan atas prakarsa pribadi atau kelompok dan disetujui, di catat
dan hasilnya diajukan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk dinilai
oleh sejawat perguruan tinggi, 3) dilakukan dalam rangka kerjasama
pihak luar perguruan tinggi yang disetujui, dicatat dan hasilnya
diajukan melalui pimpinan perguruan tinggi. Pelaksanaan tugas utama
dosen ini perlu dievaluasi dan dilaporkan secara periodik sebagai
bentuk akuntabilitas kinerja dosen kepada para pemangku kepentingan
perguruan tinggi.

Adapun tujuan dilakukannya analisis beban kerja dosen, dalam


rangka:

a. Meningkatkan profesionalisme dosen dalam melaksanakan


tugas;
b. Meningkatkan proses dan hasil pendidikan;
c. Menilai akuntabilitas kinerja dosen di perguruan tinggi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 99


d. Meningkatkan atmosfer akademik di semua jenjang perguruan
tinggi; dan
e. Mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional (Dirjen
Dikti Kemendiknas, 2010: 8)

Prinsip evaluasi penetapan beban kerja dosen dan evaluasi


pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi adalah sebagai berikut; 1)
berbasis evaluasi diri; 2) saling asah, asih dan asuh; 3) meningkatkan
profesionalisme dosen; 4) meningkatkan atmosfer akademik, 5)
mendorong kemandirian perguruan tinggi kegiatan evaluasi
pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi dimulai oleh dosen dengan
membuat evaluasi diri terkait semua kegiatan yang dilaksanakan baik
pada bidang; Pendidikan dan pengajaran; Penelitian dan pengembangan
karya ilmiah; Pengabdian kepada masyarakat maupun; serta Kegiatan
penunjang lainnya (Dirjen Dikti, 2008: 19).
Untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan beban kerja
dosen, maka perlu keterampilan menghitung beban kerja dosen oleh
manajemen sdm dosen yang ada di perguruan tinggi. Pertanyaan yang
muncul, bagaimana menghitung beban kerja dosen negeri? Beban tugas
mengajar dosen negeri dinyatakan dengan ekuivalensi waktu mengajar
penuh (EWMP) yang setara dengan 38 jam kerja perminggu, yaitu jam
kerja wajib bagi seorang dosen sebagai pegawai negeri menerima
imbalan terhadap gaji dan hak lain yang diterima dari uang negara.
Penerapan EWMP dosen biasanya di atur dalam Peraturan
Akademik atau ada ketentuan lainnya, seperti dalam di UNP, sebagai
berikut:

a. Setiap dosen wajib menjalankan tugas pokok minimal setara 12


sks per semester. Dihitung untuk setiap semester dengan 3 jam
kerja per minggu/selama 1 semester atau 6 bulan, setara dengan
50 jam kerja per semester (SK Dirjen Dikti 43/1983).

Manajemen Sumber Daya Manusia | 100


Sedangkan berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor 3298/D/T/99
tanggal 29 Desember 1999 ditetapkan rasionalitas jumlah jam
kerja perminggu 1 SKS (satuan kredit semester) ekuivalen
dengan 3 jam pelaksanaan yang terdiri dari 1 jam tatap muka di
kelas, dan 2 jam persiapan menyusun bahan kuliah. Total beban
kerja dosen adalah 40.5 jam per bulan;
b. Jabatan struktural dan non struktural yang dipegang oleh dosen
dapat dipertimbangkan sebagai EWMP sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Ketentuan perhitungan lebih lanjut EWMP bisa
dilihat dalam lampiran. Disamping itu ada juga konsep Full
Time Equivalent (FTE) menghitung beban kerja dosen,
termasuk menghitung kecukupan dosen. Misalnya, Universitas
Indonesia menerapkan FTE sebagai satu unit untuk menghitung
time investment oleh dosen menurut criteria AUN: 1 FTE
adalah 40 jam per minggu, bagi dosen tetap (full time job).
Beban kerja dosen bukan hanya berlaku bagi perguruan tinggi
negeri, untuk perguruan tinggi swasta juga mempunyai beban
kerja dosen.

Persoalan beban kerja dosen ini menjadi menarik untuk diurai,


sehingga manajemen SDM perguruan tinggi berkewajiban mengelola
dengan sempurna karena menyangkut rencana kebutuhan dosen masa
depan, menentukan beban kerja utama dan kelebihan jam mengajar
yang harus diikuti dengan pemberian insentif. Sebaliknya bagi dosen
yang tidak memenuhi EWMP maka sudah sebaiknya diberikan suatu
teguran dan sanksi sehingga ada peningkatan dari budaya kerja yang
ditampilkannya. Jika EWMP dosen ini dilaksanakan dan sudah menjadi
budaya kerja yang kokoh di antara dosen, maka kita yakin perguruan
tinggi akan bergerak lebih cepat, progresif seirama dengan kemajuan
dan perkembangan zaman dan masyarakat yang bersifat dinamis.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 101


BAB VI
REFLEKSI TERHADAP PENGADAAN DAN
RETENSI SUMBER DAYA MANUSIA
DI PERGURUAN TINGGI SWASTA

A. Analisa Kebutuhan (Need Analysis) sebagai Fungsi


Perencanaan SDM (Manpower Planning)
Analisa kebutuhan dosen pada sebuah perguruan tinggi
prinsipnya sama dengan analisa kebutuhan karyawan pada sebuah
perusahaan. Perusahaan mendapat input berupa informasi tentang
kebutuhan pegawai yang diperlukan, keadaan pasar tenaga kerja dan
lain-lain. Selanjutnya input diproses dalam sistem dan menghasilkan
output. Data masa lampau itu secara sistematik digabungkan dengan
menggunakan suatu metode tertentu dan diolah untuk memperoleh data
prakiraan di masa yang akan datang. Berbeda dengan istilah prediksi
yang lebih cocok dengan istilah peramalan kejadian atau variabel di
masa yang akan datang dengan lebih mendasarkan pada pertimbangan
intuisi. Apapun definisinya prakiraan ataupun peramalan sangat
diperlukan guna memberi gambaran pengambilan keputusan dan
penetapan kebijakan yang efektif dan efisien (Assauri, 1984: 78).

Dikaitkan dengan analisa kebutuhan SDM di perguruan tinggi,


sebuah hasil riset menunjukkan menujukan masih banyak perguruan
tinggi yang belum dapat memenuhi idealitas rasio dosen-mahasiswa
tersebut. Tentu saja hal tersebut memerlukan solusi. Kendala
berikutnya adalah rekrutmen dosen tetap tidak mudah dan tidak bisa
diselesaikan dalam waktu singkat. Meskipun demikian, penentuan

102 | Manajemen Sumber Daya Manusia


jumlah kebutuhan dosen tetap harus dilakukan jauh sebelum
eksekusinya berjalan. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus dapat
meramalkan jumlah mahasiswa di masa yang akan datang, setidaknya
untuk beberapa tahun ke depan.
Merujuk pada panduan Peraturan MENRISTIK DIKTI RI
Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2015 Tentang
Registrasi Pendidik Pada Perguruan Tinggi, pemerintah menetapkan
bahwa dosen dan mahasiswa di sebuah program studi harus memiliki
rasio yang ideal yaitu 1: 30 untuk rumpun ilmu alam demikian juga
halnya dengan jurusan-jurusan di STIKES Avicenna Kendari.

Penulis berpandangan rasio dosen mahasiswa 1: 30 untuk


jurusan-jurusan eksakta bisa saja menjadi cara efektif untuk mengontrol
kualitas atau mutu sebuah program studi. Tetapi, jika ditelaah lebih
bijaksana, alasan pemerintah tersebut kurang cermat dan akan
melahirkan banyak masalah-masalah di masa yang akan datang serta
akan menurunkan kualitas program studi. Dikatakan demikian karena
alasan-alasan bahwa: Pertama, rasio dosen-mahasiswa hanyalah salah
satu dari banyak sekali faktor penentu kualitas program studi.
Pemerintah melalui Kemenristekdikti sudah lama mengharuskan
pemakaian mekanisme akreditasi sebagai cara komprehensif menilai
kualitas program studi. Dari waktu ke waktu, instrumen penilaiannya
semakin lengkap dan mendetail serta telah mencakup input, proses, dan
output sebuah program studi. Lalu, apakah kecukupan rasio dosen-
mahasiswa dapat menegasikan begitu saja status atau peringkat
akreditasi suatu program studi?
Kedua, Kemenristekdikti tidak memberikan rasionalisasi dari
mana rasio 1: 30 dan 1: 45 ini diperoleh dan dalam konteks apa? Jika
rasio ini digunakan dalam konteks pembelajaran, maka banyak
perguruan tinggi swasta akan gulung tikar ketika jumlah peserta kuliah

Manajemen Sumber Daya Manusia | 103


di setiap kelas dibatasi hanya 30 dan 45. Bagaimana PTS dapat
membiayai layanan pendidikannya ketika justru program studi eksakta
yang banyak membutuhkan prasarana pembelajaran seperti alat-alat
laboratorium dan bahan habis pakai harus ditanggung oleh lebih sedikit
mahasiswa dibandingkan dengan untuk program studi non-eksakta!
Sementara itu, program studi juga melibatkan para dosen tidak tetap
atau calon dosen dalam pembelajaran, tetapi para dosen ini tidak dapat
ikut dihitung sebagai pembagi dalam rasio tersebut.
Ketiga, ketentuan rasio minimal ini akan menurunkan
antusiasme masyarakat untuk terlibat mencerdaskan bangsa karena
angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih di bawah 20
persen. Ketentuan tentang rasio dosen- mahasiswa akan menjadikan
PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Dengan kata lain, rasio ini akan
menjadikan prodi di PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Keempat, di
tengah semakin majunya sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) karena
kecanggihan dan ketersediaan teknologi internet, rasio dosen-
mahasiswa ini akan berlawanan dengan pengembangan PJJ. Internet
sebagai platform PJJ justru mendobrak keterbatasan fisik sehingga
mampu meningkatkan jumlah peserta pembelajaran.

Pemakaian kriteria rasio dosen-mahasiswa sebagai ukuran


kualitas pembelajaran tidak lagi sesuai semangat zaman ini karena di
zaman digital, belajar harus dipahami dengan cara baru. Perkara belajar
bukan lagi pertama-tama perkara bertemu dengan otoritas keilmuan,
tetapi lebih sebagai perkara akses ke sumber pengetahuan. Memang
rasio dosen-mahasiswa ini akan memaksa program studi untuk
meluluskan mahasiswanya secara tepat waktu. Semakin banyak
mahasiswa yang tak lulus tepat waktu akan memperkecil rasio ini.
Bahkan sebagaimana yang terjadi di STIKES Avicenna Kendari, untuk
menjaga rasio tersebut juga dilakukan rasionalisasi melalui
rasionalisasi dosen atau penurunan status dosen tetap ke dosen biasa

Manajemen Sumber Daya Manusia | 104


yang konsekuensinya dosen tidak lagi memperoleh hak gaji tetap
sebagaimana sebelumnya.
Pada sebuah perguruan tinggi perlu memiliki kuantitas dosen
yang mencukupi kebutuhannya. Jumlah dosen yang berlebihan akan
menimbulkan pemborosan, sebaliknya dosen yang kurang juga akan
menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaan perkuliahan. Jumlah
dosen tetap berlebihan akan menimbulkan beban tetap yang
membahayakan lembaga, tetapi jika jumlahnya kurang berdampak pada
rendahnya nilai akreditasi. Jumlah dosen tetap yang banyak bagi
perguruan tinggi akan berdampak pada skor akreditasi yang sangat baik
namun menimbulkan biaya tetap yang besar dan sebaliknya untuk
jumlah dosen tetap yang sedikit. Hal ini memberikan suatu pesan bahwa
perguruan tinggi yang prodi nya ingin memperoleh akreditasi sangat
baik “A”, harus dikelola secara profesional. Para civitas akademika,
optimis kalau perguruan tingginya akan terus berkembang dengan
jumlah mahasiswa yang terus meningkat.
Pengelola perguruan tinggi juga harus dapat mengendalikan
variabel- variabel yang mempengaruhi kemajuan perguruan tinggi dan
meminimalisasi variabel- variabel yang uncontrollable. Jika pengelola
perguruan tinggi tidak profesional dan pesimis terhadap
kemampuannya untuk memajukan lembaganya, memiliki dosen tetap
dalam jumlah yang banyak akan membawa kebangkrutan dan tutupnya
perguruan tinggi tersebut.

Ada beberapa pilihan yang dapat dipertimbangkan oleh


pengelola perguruan tinggi, yaitu dengan mengambil kebijakan yang
agresif, moderat, atau konservatif. Kebijakan yang diambil dapat
mempertimbangkan daya tahan terhadap kemampuan finansial atau
kebangkrutan maupun kualitas akreditasi. Ditinjau dari segi ketahanan
terhadap kebangkrutan, jika kebijakan agresif yang dipilih maka
program studi akan memilih untuk memiliki dosen tetap yang banyak

Manajemen Sumber Daya Manusia | 105


tetapi sebaliknya kebijakan yang konservatif akan memilih untuk
memiliki dosen tetap yang sedikit. Sedangkan kebijakan yang moderat
akan ditunjukkan dengan memiliki dosen tetap yang tidak terlampau
banyak tetapi juga tidak terlampau sedikit. Ditinjau dari segi kualitas
akreditasi, kebijakan akreditasi yang agresif yang dipilih oleh pengelola
program studi ditandai dengan rendahnya jumlah dosen tetap yang
dimiliki dan sebaliknya jika kebijakan moderat yang dipilih maka
program studi memiliki jumlah dosen tetap yang banyak.
Masing-masing pilihan akan mendatangkan dampak yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, analisis cost dan benefit harus
dilakukan. Walaupun idealnya setiap butir instrumen akreditasi
diupayakan memiliki harkat dan peringkat yang sangat baik, namun
akreditasi program studi dengan peringkat A, tidak hanya ditentukan
oleh deskriptor rasio mahasiswa terhadap dosen tetap yang bidang
keahliannya sesuai dengan bidang program studi tetapi ditentukan oleh
banyak butir instrument akreditasi. Oleh karena itu pengelola perguruan
tinggi harus memiliki strategi dan kebijakan yang tepat dalam
penentuan jumlah dosen agar sesuai dengan tujuannya.
Tentunya, jumlah mahasiswa STIKES Avicenna Kendari akan
selalu berubah; bertambah atau berkurang seiring maju-mundurnya
institusi yang menaungi. Perkembangan STIKA Avicenna Kendari
mutlak membutuhkan dosen dan pegawai baru yang mengisi unit
bagian yang semakin banyak. Untuk merekrut dosen maupun pegawai
baru, ada beberapa hal yang harus dicermati pada tahapan analisis
kebutuhan. Mengutip pendapat Cascio (1992: 144) yang menerangkan
jika perencanaan sumber daya manusia akan menjadi lebih efektif jika
sebuah perusahaan atau organisasi dengan mempertimbangkan
globalisasi, teknologi baru, proses restrukturisasi organisasi, dan
perbedaan etnis dalam angkatan kerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 106


Semua dinamika yang terjadi di dalam dan luar STIKES
Avicenna Kendari perlu menjadi catatan tersendiri bagi pihak
manajemen. Demikian juga dengan prospek atau peluang lapangan
kerja bagi para lulusan. Suplay dan demand perlu dibarengi dengan
kemampuan sumber daya yang mumpuni. SDM dalam hal ini yaitu
manajemen sebagai pengelola lembaga, dosen sebagai ujung tombak
proses pembelajaran/perkuliahan di perguruan tinggi, serta staf atau
pegawai yang memberikan pelayanan administrasi kepada para
mahasiswa.

Perencanaan kebutuhan dosen yang dimaksudkan yakni


dilakukan secara logic, teratur dan berkesinambungan untuk
mengetahui jumlah dan kualitas dosen yang diperlukan. Perencanaan
kebutuhan dosen dilakukan agar mereka memiliki pekerjaan yang jelas
sehingga dosen secara nyata terlihat sumbangan tenaganya terhadap
pencapaian misi organisasi atau program yang telah ditetapkan.

B. Analisis Pekerjaan (Job Analysis) Pegawai atau Karyawan


Analisis pekerjaan merupakan prosedur yang harus dilalui untuk
menentukan tanggung jawab, posisi-posisi dan karakteristik orang-
orang yang bekerja untuk posisi-posisi tersebut (DeCenzo, 2017).
Analisis pekerjaan memberikan informasi yang digunakan untuk
membuat deskripsi pekerjaan (data tentang pekerjaan itu) dan
spesifikasi pekerjaan (jenis orang yang harus dipekerjakan untuk
pekerjaan tersebut). Untuk mengetahui jenis pekerjaan, bagaimana
melakukan pekerjaan dan siapa yang tepat untuk melakukan pekerjaan
itu perlu dilakukan analisis terhadap pekerjaan itu sendiri yang disebut
sebagai analisa jabatan (job analysis).

Informasi yang diperoleh dari analisa jabatan tersebut dapat


digunakan untuk menentukan karakteristik apa yang harus dimiliki

Manajemen Sumber Daya Manusia | 107


seseorang yang akan menduduki jabatan tertentu. Adapun hasil dari
analisa jabatan tersebut dapat berupa deskripsi jabatan (job description)
dan spesifikasi jabatan (job specification). Deskripsi jabatan adalah
suatu pernyataan tertulis yang menguraikan fungsi, tugas-tugas,
tanggung jawab, wewenang, kondisi kerja dan aspek-aspek pekerjaan
tertentu lainnya. Sedangkan spesifikasi jabatan merupakan pernyataan
tertulis yang menunjukkan siapa yang akan melakukan pekerjaan itu
dan persyaratan yang diperlukan terutama menyangkut keterampilan,
pengetahuan dan kemampuan individu.

1. Deskripsi Pekerjaan (Job Description) Pegawai atau


Karyawan
Sebagaimana dikutip dari Fomer, Bierlein-Palmer & Reeves
(2012: 2); Gu, Park, & Ahn (2012: 48), job description sebagai bagian
dari analisis pekerjaan (job analysis) merupakan penentuan dari isi
suatu jabatan yang meliputi tugas, tanggung jawab, dan hubungan
dengan jabatan lain dalam organisasi, serta persyaratan yang
dibutuhkan agar seseorang mampu melaksanakan tugas pekerjaan
dalam jabatan yang diembannya dengan baik.
Perkembangan organisasi dan perubahan strukturnya
menyebabkan kebutuhan akan tugas-tugas dan fungsi-fungsi baru
semakin meningkat. Sebelum organisasi melakukan seleksi terhadap
karyawan yang akan menduduki jabatan yang baru, maka divisi SDM
perlu mengetahui dan mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan apa saja
yang akan dilakukan, bagaimana pekerjaan dilakukan serta
karakteristik personal yang layak menduduki pekerjaan tersebut. Dalam
hal ini, organisasi akan menyusun standar-standar pekerjaan dan
kriteria keterampilan, pendidikan, dan pengalaman yang diperlukan.

Job description seorang dosen yaitu melakukan tri darma


perguruan tinggi: melaksanakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat; mengevaluasi hasil pembelajaran;

Manajemen Sumber Daya Manusia | 108


meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak
diskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras,
kondisi fisik tertentu atau latar belakang sosio ekonomi peserta
pendidik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-
undangan hukum dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika;
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa; membuat
RPKPS bagi koordinator mata ajar; dan membuat sap dan bahan ajar.

Tanggungjawab seorang dosen bukanlah sebuah tugas yang


mudah; tidak hanya hadir di kampus, mentransfer pengetahuan kepada
mahasiswa, lalu kembali ke rumah. Beban moral dan tanggung jawab
besar diamanatkan atau dipikul di pundak para dosen yang dasarnya
adalah seorang intelektual. Merujuk Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (Dirjen Dikti), paling tidak ada 10 hal pokok yang menjelaskan
mengenai tugas seorang dosen di perguruan tinggi. Tugas dosen
berdasarkan rumusan standar nasional Dirjen Dikti tersebut adalah
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan
sikap religius; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam
menjalankan tugas berdasarkan agama, moral dan etika; serta
berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan peradaban berdasarkan Pancasila.
Selanjutnya, berperan sebagai warga negara yang bangsa dan cinta
tanah air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggung jawab pada
Negara dan bangsa; menghargai keanekaragaman budaya, pandangan
agama dan kepercayaan serta pendapat atau temuan orisinal orang lain.
Selain itu, bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan kewirausahaan; taat hukum dan
disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
menginternalisasi norma dan etika akademik; menunjukkan sikap

Manajemen Sumber Daya Manusia | 109


bertanggung jawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara
mandiri; dan menginternalisasi semangat kemandirian serta kejuangan.
Di masa digital seperti saat ini, dengan perubahan paradigma
pendidikan maka dosen memiliki tugas yang tidak ringan. Sebab, dosen
tidak hanya berkewajiban mengajar akan tetapi juga membimbing
mahasiswa agar yang bersangkutan memiliki kompetensi yang relevan
dengan keahliannya. Tidak hanya sekedar mengajar dan mendidik, akan
tetapi juga memiliki tanggung jawab pengembangan ilmu pengetahuan
melalui penelitian dan kegiatan abdi masyarakat yang semestinya
dilakukan secara terus menerus.
Faktanya, bagaimana dosen akan mampu mengarahkan
mahasiswanya agar berinovasi, jika dosennya sendiri tidak melakukan
riset, baik itu riset kepustakaan ataupun lapangan. Tugas dan
tanggungjawab dosen yang cenderung rumit ialah melakukan
penelitian. Dalam hal ini, maka seorang dosen memikul tugas untuk
menemukan konsep atau teori yang sesuai dengan bidang keilmuannya,
dan temuan akademis tersebut yang kemudian menjadi kekuatan
akademis lembaga atau institusi pendidikan dimana yang bersangkutan
mengabdi di dalam dunia akademik.

Pada sebuah hasil penelitian, disebutkan jika di negara yang


tradisi akademiknya sudah mapan, indikator kemajuan suatu perguruan
tinggi dilihat dari berapa banyak jumlah dosen-dosenya yang
mengembangkan konsep atau teori baru. Dari semuanya, tentu karena
dukungan media dan publikasi yang sangat mendasar. Oleh karena itu,
hal yang menjadi penting adalah bagaimana pemihakan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh pemerintah dan
perguruan tinggi. Pihak yang berwenang seharusnya melakukan
kebijakan politik pendidikan agar tujuan untuk meningkatkan dunia
akademis bisa tercapai.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 110


Di dalam politik pendidikan, wewenang pemerintah yaitu
menyediakan kecukupan anggaran bagi dunia pendidikan. Untuk ini,
maka sesungguhnya politik pendidikan sudah dilaksanakan melalui
diterbitkannya berbagai peraturan pemerintah, seperti UU No. 20
Tahun 2003 dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (DIKTI). Melalui
undang-undang ini dan turunannya, maka politik pendidikan tersebut
sudah dilaksanakan. Hanya saja, implementasinya memang masih terus
diupayakan.

2. Spesifikasi Pekerjaan (Job Spesification) Pegawai


Spesifikasi pekerjaan (job specification) disusun berdasarkan
uraian pekerjaan dengan menjawab pertanyaan tentang ciri,
karakteristik, pendidikan, pengalaman, dan yang lainnya dari orang
yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik (Graham &
Messner, 2008: 198). Spesifikasi pekerjaan menunjukkan persyaratan
orang yang akan direkrut dan menjadi landasan untuk melaksanakan
seleksi. Spesifikasi pekerjaan dimaknai sebagai persyaratan kualitas
minimum orang yang bisa diterima agar dapat menjalankan satu jabatan
dengan baik dan kompeten. Pada umumnya spesifikasi pekerjaan
memuat ringkasan pekerjaan yang jelas dan kualitas definitif yang
dibutuhkan dari pemangku jabatan itu. Spesifikasi pekerjaan
memberikan uraian informasi mengenai hal-hal seperti: tingkat
pendidikan pekerja, jenis kelamin pekerja, keadaan fisik pekerja,
pengetahuan dan kecakapan pekerja, batas umur pekerja, nikah atau
belum, minat pekerja, emosi dan temperamen pekerja, serta
pengalaman pekerja (Harris, 2010: 133; Fisher 1996: 136; dan Crino
1993: 137).

Spesifikasi pekerjaan bagi setiap organisasi tidak sama, karena


spesifikasi ini pada dasarnya disusun dari uraian pekerjaan sedang
uraian pekerjaan perusahaan tidak sama, misalnya ada perusahaan yang

Manajemen Sumber Daya Manusia | 111


membutuhkan tinggi badan, pakai kaca mata atau tidak, serta cantik
atau tidak. Uraian pekerjaan dosen yang diperlukan harus lebih
menekankan pada tugas dan tanggung jawab sehingga lebih banyak
berhubungan dengan pekerjaan mereka. Dengan adanya uraian
pekerjaan, masing-masing dosen akan dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya secara efektif dan efisien menuju profesionalisme
dan produktivitas.

Mengkritisi poin-poin yang disebutkan di atas, apakah syarat-


syarat diatas telah penuhi? Tentunya yang demikian merupakan
masalah klasik. Di satu sisi dosen diminta melaksanakan tugas
sebagaimana yang telah ditentukan oleh perundang-undangan, tetapi
tidak semua perguruan tinggi mampu menyediakan sarana dan
prasarana yang memadai. Mungkin masalah penghasilan dosen sudah
agak lebih baik di masa kini jika dibandingkan dengan masa lalu.
Menurut peneliti, dosen sudah bisa berkonsentrasi pada tugasnya,
khususnya dosen yang memperoleh tunjangan kehormatan seperti
dosen dengan jabatan akademik lektor kepala dan profesor.

Dari beberapa tugas di atas, ada beberapa tanggung jawab yang


belum mendapat perhatian para dosen. Salah satunya adalah
menyebarluaskan kebenaran. Sering kali dosen terjebak pada politik
praktis di kampusnya, sehingga tidak mampu menilai sesuatu hal secara
obyektif. Suasana di kampus lebih kepada orientasi politis praktis atau
kepentingan pragmatis daripada penciptaan suasana akademik yang
kondusif. Akibatnya, kampus yang punya segudang profesor/guru
besar, namun miskin dalam menghasilkan karya-karya berbobot yang
bermanfaat bagi publik. Tugas lain yang kurang diperhatikan atau
bahkan dilupakan adalah melakukan perubahan, baik di kampus
maupun di luar kampus karena idealnya, dosen adalah pembaharu dan
pembelajar.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 112


Dengan adanya job description yang jelas dan terukur, maka
kampus ataupun lembaga dan organisasi apapun akan dapat beroperasi
secara teratur dan akan meningkatkan produktivitas setiap pegawainya.
Dokumen Job description berlaku untuk semua pegawai, dari level
tertinggi sampai level terendah. Tantangan bagi pihak manajemen
untuk membuat uraian pekerjaan secara cermat dan tepat, karena
ketidakcermatan dalam pembuatan uraian pekerjaan akan memberikan
dampak yang merugikan perusahaan, khususnya timbul kemandekan
(stagnasi) pekerjaan dan menghambat output produksi. Menurut
Carlson, dkk. (2002), adanya uraian pekerjaan yang cermat dan tepat
akan bermanfaat untuk: memberikan pedoman dalam pencarian calon
pegawai dan penyaringan, memberikan dasar untuk program-program
latihan, memberikan garis besar mengenai kesempatan kerja,
mengadakan penyederhanaan kerja, membantu penilaian jabatan dalam
administrasi upah dan gaji, serta akan membantu memperbaiki
semangat kerja pegawai.

C. Rekrutmen dan Seleksi (Recruitment and Sellection) SDM


Fokus utama manajemen sumber daya manusia yaitu
memberikan kontribusi suksesnya organisasi. Manajemen sumber daya
manusia haruslah mengaitkan aktifitas-aktifitas di dalam manajemen
sumber daya manusia yang meliputi: perencanaan dan analisis sumber
daya manusia, kesetaraan kesempatan bekerja, perekrutan
pengembangan sumbar daya manusia, kompensasi dan keuntungan,
kesehatan, keselamatan dan keamanan, hubungan tenaga kerja dan
buruh (Mathis, Jackson, 2001). Dalam organisasi apapun, untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu
bekerja sesuai dengan kemampuan minat dan bakatnya, maka harus
dilakukan proses rekrutmen dan seleksi. Hal ini dilakukan agar dalam

Manajemen Sumber Daya Manusia | 113


melaksanakan tugas dan tanggungjawab pada pekerjaan bisa dilakukan
dengan baik oleh setiap individu dengan posisinya masing-masing.
Beberapa komponen yang sebaiknya menjadi pertimbangan
dalam perekrutan, misalnya seperti rasio dosen dibandingkan dengan
jumlah mahasiswa. Melalui tahapan tersebut, akan terukur kebutuhan
dosen di masing-masing prodi. Penulis melihat implementasi proses
rekrutmen dosen belum transparan dan tidak mengindahkan permintaan
departemen sebagai end user. Bahkan sebagai end user belum
dilibatkan dalam wawancara kandidat potensial. Padahal mendasarkan
pada pandangan Zaleznik (2004: 6), melalui estimasi jumlah dan jenis
pegawai yang diperlukan oleh seluruh bagian-bagian kepegawaian
dapat menyusun rencana secara lebih baik dalam hal-hal yang menjadi
lingkup pekerjaannya, misalnya penarikan pegawai, seksi pegawai, dan
lain sebagainya.
Rekrutmen dan seleksi termasuk fungsi-fungsi MSDM lainnya
menurut penulis mempunyai peranan strategis dalam mempersiapkan
dan menyediakan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan sebagaimana ditetapkan dalam analisis pekerjaan khususnya
deskripsi dan spesifikasi. Kedua kegiatan tersebut didahului oleh
kegiatan analisis pekerjaan dan perencanaan sumber daya manusia. Hal
ini berarti bahwa kegiatan rekrutmen dan seleksi harus didasarkan pada
suatu kebutuhan yang dialami organisasi, baik dalam fisik maupun dari
segi kemampuan dan keterampilan. Pelaksanaan kedua kegiatan
tersebut secara wajar dan dikerjakan sesuai dengan prinsip-prinsip
manajemen yang baik, akan dapat mencegah suatu organisasi akan
mengalami surplus pegawai, kecuali karena adanya faktor-faktor
eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh organisasi itu sendiri.

Mengisi posisi tentunya masih menjadi salah satu masalah yang


banyak dihadapi semua jenis organisasi, tetapi untuk mengoptimalkan
hasil perekrutan atau mencari yang terbaik dan paling tepat

Manajemen Sumber Daya Manusia | 114


membutuhkan komitmen dan pendekatan yang lebih terkoordinasi dan
pro-aktif, karena tidak ada satu organisasi pun yang telah
mengembangkan program kepegawaian "sempurna", tidak ada model
khusus yang dapat memenuhi semua kebutuhan. Sebaliknya, setiap
organisasi bisa mendapatkan keuntungan dari perubahan inkremental
dalam upaya mengidentifikasi, merekrut, menyaring dan
mempekerjakan pegawai. Organisasi atau institusi dapat memilih dari
daftar teknik perekrutan yang mungkin memperkuat daya saing seperti
mempertimbangkan perubahan prosedural, proses inovasi dan aplikasi
teknologi.
Perubahan prosedural dapat dilaksanakan lebih mudah dari
proses perubahan. Penyesuaian prosedural sederhana dan lebih
kompleks dapat meningkatkan dan mempercepat rekrutmen pegawai.
Kebanyakan prosedural "inovasi" yang dimaksudkan untuk
menyederhanakan dan mempermudah pemahaman mengenai proses
aplikasi untuk calon tenaga kerja. Perubahan prosedural lainnya yang
dirancang untuk meningkatkan daya tarik lembaga untuk pemohon dan
daya tarik kepada pegawai. Berdasarkan uraian tersebut, penulis
merumuskan beberapa aturan main dalam proses perubahan prosedural,
yaitu: 1) Menghilangkan aturan sewenang-wenang dan peraturan yang
membatasi; 2) Mengadopsi prosedur perekrutan yang fleksibel dan
menarik; 3) Skrining pelamar dengan cepat; 4) Memvalidasi
persyaratan masuk dan tes; 5) Melembagakan kebijakan-kebijakan
yang ramah pekerja; 6) Membuat deskripsi pekerjaan lebih fleksibel.
Sebagaimana yang umumnya terjadi, perekrutan SDM pada
sektor publik memiliki reputasi terkenal untuk menjadi lambat, tidak
responsif, birokrasi dan pasif. Terlalu sering lembaga-lembaga publik
telah diasumsikan bahwa pelamar yang memenuhi kualifikasi akan
berebut untuk lowongan pekerjaan. Lembaga-lembaga ini karena jarang
menggunakan program-program penjangkaan agresif atau cara lain

Manajemen Sumber Daya Manusia | 115


untuk menarik kandidat-kandidat bagi pekerjaan unggul. Pada banyak
kasus, pendekatan reaktif ini hasil dari cara layanan-layanan HR
disampaikan terpusat dan berorientasi pengawasan. Ini sering berarti
bahwa pelamar masuk ke pemerintahan melalui sebuah titik masuk
tunggal dimana seluruh yurisdiksi fungsi perekrutan ditangani oleh satu
perwakilan. Seringkali, pengaturan HRM ini memberlakukan banyak
aturan yang kaku yang menciutkan dan mengecilkan hati pegawai
potensial.
Salah satu pengembangan-pengembangan paling positif dalam
HRM kontemporer adalah mengurangi kepercayaan dalam kegiatan
pengendalian atau pengawasan. Oleh karena itu, perbaikan perekrutan
dan proses seleksi adalah reformasi utama kedua. Komponen yang
paling penting dari kecenderungan ini adalah desentralisasi layanan HR
untuk unit-unit operasi. Selain itu, perubahan kurang dramatis banyak
muncul dalam cara-cara organisasi menyusun sumber daya manusia
mereka dan menarik calon baru.
Seperti ditekankan di atas, retensi membantu perekrutan dengan
mengurangi jumlah lowongan, juga menandakan bahwa organisasi
adalah tempat yang baik untuk bekerja. Prinsip ini telah membimbing
munculnya inovasi tambahan yang banyak dianut oleh lembaga-
lembaga publik yang maju di banyak negara. Sebagai contoh,
menggunakan pekerja kontrak tidak hanya menghemat uang tetapi juga
agar organisasi dapat memperoleh kesempatan untuk menilai bakat atau
potensi seorang pekerja sebelum dia atau untuk dipekerjakan ke posisi
permanen. Magang adalah alternatif lain dalam masalah ini.

Strategi terakhir adalah dengan agresif menggunakan mentor


untuk memudahkan masuknya pekerja baru, membantu
mensosialisasikan kepada norma-norma dan harapan organisasi, dan
menyediakan bimbingan serta dukungan. Penelitian telah berulang kali
menunjukkan bahwa mentoring untuk memangkas pengurangan dan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 116


peningkatan semangat baru dengan menyewa pekerja (Hays dan Sowa
2004). Dengan demikian, sebagian besar dalam relativitas teknik
penghematan tidak hanya dapat meningkatkan upaya rekrutmen, tetapi
juga menghasilkan keseimbangan dan meningkatkan kepuasan kerja.
Hampir semua strategi perekrutan dapat diperkaya dengan
berbagai jenis teknologi informasi. Bahkan, banyak manajer percaya
bahwa teknologi akan menjadi tren HRM paling terkenal dari beberapa
dekade mendatang (Hendrickson, 2003). Dasarnya adalah sebuah
gerakan dari HRM tradisional ke virtual HRM, ditandai dengan
pengembangan lingkungan yang paperless yang mengandalkan
interaksi elektronik, menggunakan intranet, World Wide Web, dan
paket perangkat lunak yang meningkatkan proses HR (Elliot dan
Tevavichulada, 1999).

Upaya peningkatan untuk membuat pekerjaan lebih cepat dan


lebih ramah telah memicu pengembangan aplikasi teknologi komputer.
Banyak organisasi publik besar menggunakan buletin dalam komputer
dan surat elektronik untuk mempublikasikan lowongan pekerjaan.
Sistem on-line tawaran kerja ini sangat membantu bagi kandidat
internal, tetapi juga menjadi diakses semakin banyak calon luar sebagai
representasi penduduk pengguna dunia online. Dalam perspektif
pengaplikasian, teknologi menyediakan informasi lebih tepat waktu
mengenai kesempatan dan lowongan organisasi, sebagaimana
kesempatan untuk mengaplikasi online (dari mana saja kapan saja) dan
bahkan mengikuti test secara online dalam beberapa kasus.
Bagi para manajer, IT membantu mereka untuk
mengidentifikasi dan melacak calon yang memenuhi syarat untuk posisi
yang berbeda. Secara otomatis, manajer dapat mengakses secara online
untuk memperoleh hasil skor test, kualifikasi dan melakukan kontak
informasi. Cara ini lebih cepat dan lebih efisien untuk menyaring dan
menghubungi calon karyawan. Beberapa organisasi berusaha untuk

Manajemen Sumber Daya Manusia | 117


menciptakan sistem aplikasi paperless di mana semua aplikasi dan
update dilakukan secara online, sehingga mengurangi kebutuhan
pelamar untuk melakukan aplikasi dalam jadwal yang dijanjikan,
mengurangi biaya perjalanan, dan atau menghapus frustrasi akibat
proses kepegawaian. Sehingga hal ini menciptakan database yang
kredensial dan profesional yang dapat digunakan dalam ribuan
screening awal aplikasi secara bersamaan. Sistem ini telah tumbuh
pesat di sektor swasta, dan diproyeksikan untuk menjadi metode utama
dalam rekrutmen di dunia industri (Marchak, 2002).

Aplikasi spesifik IT ini digunakan dalam sistem HRM di seluruh


dunia. Misalnya, komputer digunakan untuk melacak pemohon dan
melaksanakan ujian di Thailand (Simananta dan Aramkul, 2002), serta
di sebagian besar Eropa Barat (Reinermann, 1997). Aplikasi test via
computer (CAT) secara luas digunakan di Amerika Serikat, dan
membuat terobosan di negara lain, seperti Inggris dan Kanada
(Hamman dan Desai, 1995). Dalam satu sistem CAT canggih, pemohon
pertama menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kesulitan moderat.
Jika item-item dijawab dengan benar, komputer menyajikan yang lebih
sulit, jika pertanyaan awal tidak terjawab, maka pertanyaan yang mudah
disediakan. Kesimpulan bahwa pemohon berhasil mengetahui item
yang secara umum sulit dan bukan yang lebih sulit adalah diketahuinya
skor individu" (Hamman dan Desai 1995: 100). CAT tidak hanya
meningkatkan uji validitas, tetapi juga memungkinkan organisasi untuk
memproses sejumlah besar pelamar dengan cepat dan mengurangi
kecurangan. Ketika dihubungkan dengan database lain (seperti formulir
aplikasi online atau resume), CAT secara instan menampilkan manajer-
manajer dengan kemampuan mengakses daftar kelayakan dan aplikasi
pelacakan data lain.
Aplikasi serupa yang ada di lembaga negara dan lokal di
Amerika Serikat. Sistem otomatis telah digunakan untuk mencocokkan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 118


resume dengan keahlian untuk pekerjaan tertentu (Selden dan Jacobson,
2003). Teknologi ini juga digunakan untuk meningkatkan program
pengembangan karyawan, seperti yang ditunjukkan dalam sebuah
sistem evaluasi secara online di negara bagian Michigan yang
menciptakan dialog yang dibantu komputer antara atasan dan bawahan
tentang kebutuhan pelatihan dan potensi promosi (Pusat Studi
Kebijakan Sosial, 2002). Mengingat kekuatan pasar dan perkembangan
teknologi tak terhindarkan, tren ini dapat mempercepat dan memperluas
pasar secara internasional. Percepatan proses ini akan meningkatkan
jumlah dan jenis paket perangkat lunak. Beberapa program perangkat
lunak telah tersedia untuk melaksanakan ujian secara online, aplikasi
pelacakan, pencocokan resume dengan keahlian, mempercepat
pemeriksaan latar belakang, dan penentuan calon karyawan melalui
proses paperless staffing. Bahkan jika seluruh dunia tidak siap untuk
pendekatan sepenuhnya otomatis untuk SDM, teknologi sudah tersedia.

D. Penempatan dan Penugasan (Placement and Assignment) SDM


Fase pertama dalam menghasilkan sumber daya manusia yang
terampil dan handal yaitu perencanaan SDM dan menentukan SDM
yang akan mengisi pekerjaan tertentu dalam perusahaan. Keberhasilan
dalam pengadaan tenaga kerja terletak pada ketepatan dalam
penempatan SDM, baik penempatan pegawai baru maupun pegawai
lama pada posisi jabatan baru.

Dalam suatu organisasi pemerintah ataupun swasta, tentunya


dibutuhkan spesialisasi dalam pembagian tugas-tugas. Spesialisasi
dalam sebuah pekerjaan dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pekerjaan
yang sesuai dengan harapan. Inti dari spesialisasi adalah pembagian
tugas berdasarkan kualifikasi keilmuan dan keterampilan yang punyai
oleh individu. Manfaat yang akan muncul dari spesialisasi pekerjaan
yaitu semua tugas pekerjaan yang ada, akan mampu dilaksanakan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 119


dengan baik. Spesialisasi pekerjaan bukan berarti membagi-bagi
pegawai atau pekerja berdasarkan bidang masing-masing, namun untuk
memperoleh pekerjaan dilakukan dengan hasil yang diharapkan.
Seperti ditekankan oleh Adam Smith (1986) bahwa produktivitas
tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui pembagian kerja (Division of
Labour).
Proses penempatan merupakan suatu proses yang sangat
menentukan dalam mendapatkan karyawan yang kompeten yang
dibutuhkan pada suatu lembaga, karena penempatan yang tepat dalam
posisi jabatan yang tepat akan dapat membantu lembaga tersebut dalam
mencapai tujuan yang di harapkan. Sebagaimana pandangan Wilson
(2012), penempatan (placement) berkaitan dengan penyesuaian
kemampuan dan bakat seseorang dengan pekerjaan yang akan
dikerjakannya. Tugas manajer yang penting untuk menempatkan orang
sesuai dengan pekerjaan yang tepat. Seseorang diberikan pekerjaan
sesuai dengan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang
dimiliki sesuai dengan persyaratan pekerjaan. Kesalahan dalam
menempatkan karyawan pada pekerjaan yang sesuai akan mendapatkan
hasil yang kurang baik. Ketidaktelitian dalam hal ini bisa berakibat pada
kurangnya semangat kerja yang berdampak pada rendahnya prestasi
kerja dan tingginya tingkat turnover dan absensi pegawai.

Memulai pekerjaan baru banyak karyawan yang merasa gugup


ketika pertama kali bekerja. Kegugupan hari pertama ini dasarnya
bersifat alamiah, namun hal itu dapat mengurangi kepuasan karyawan
baru dan kemampuan untuk belajar kerja jika manajer SDM tidak
mengantisipasinya lebih dini. Para psikolog mengatakan bahwa kesan
awal pertama adalah begitu kuatnya dan wajar-wajar saja karena
karyawan baru masih memiliki sesuatu yang sedikit, seperti
pengetahuan, dan pengalaman kerja serta untuk melakukan penilaian
diri. Hal ini sangat tergantung pada keinginan kuat karyawan untuk

Manajemen Sumber Daya Manusia | 120


mengetahui segala sesuatu tentang perusahaan. untuk membantu
karyawan menjadi anggota yang puas dan produktif, manajer dan
departemen SDM harus membuat kesan awal tersebut menjadi sesuatu
yang menyenangkan para karyawan baru, jadi tidak menimbulkan
kesan bahwa yang paling membutuhkan pekerjaan adalah karyawan.

Sekali proses seleksi telah diputuskan, para manajer dan


departemen SDM hendaknya membantu karyawan baru tersebut untuk
merasa cocok dengan lingkungannya, mengapa? Karena sejak hari
pertama, pendatang baru sudah masuk ke proses Investasi SDM.
Mereka perlu disiapkan sejak awal agar nantinya mampu melakukan
sesuatu tugas yang dibebankan perusahaan kepada mereka dengan baik.
untuk membantu pendatang baru agar mereka merasa cocok, program
orientasi dan sosialisasi akan membuat mereka familiar antara lain
dengan peran-perannya, perusahaan, kebijakan dan karyawan lainnya.
Dalam kondisi kendala-kendala tertentu, tiga hal pokok
keputusan penempatan karyawan baru antar unit adalah antara lain
dalam rangka promosi, pengalihan, dan penurunan pangkat. Tiap
keputusan seharusnya dilekatkan dengan orientasi dan tindak lanjut
apakah penempatan disebabkan oleh penurunan jumlah karyawan,
penggabungan (merger), akuisisi, atau perubahan internal dari
kebutuhan penempatan staf. Hal ini penting dalam rangka justifikasi
penerapan fungsi koordinasi dengan adanya karyawan baru.
Sebagaimana studi-studi terdahulu, kebutuhan penempatan
karyawan dapat dipenuhi melalui dua cara, yaitu menyewa dari
pihak luar perusahaan (outsourcing) dan penugasan kembali karyawan
yang ada atau disebut sebagai penempatan dari dalam (re-job). Sering
terjadi penugasan kembali karyawan yang ada untuk menempati posisi
barunya tanpa melalui program orientasi. Dengan anggapan bahwa para
karyawan berpengalaman ini telah mengetahui semua yang mereka
butuhkan tentang perusahaan. Selain itu diasumsikan mereka sudah

Manajemen Sumber Daya Manusia | 121


mengetahui anatomi perusahaan dan permasalahannya. Akan tetapi,
sangat disayangkan, asumsi itu tidak sepenuhnya selalu benar.
Karyawan yang disebut berpengalaman tersebut mungkin hanya
mengetahui dengan baik tentang rencana perusahaan, struktur, manfaat
karyawan, dan beberapa kepentingan umum lainnya. Akan tetapi,
karyawan yang dialihkan bisa jadi memiliki banyak persoalan antar
personal dan hubungan pekerjaan. Misalnya, apakah mereka akan
diterima secara total oleh lingkungan kerjanya? Dapatkah mereka
mengerjakan pekerjaan yang baru? Dapatkah mereka melakukan
adaptasi dengan suasana kerja yang baru?
Pengalihan pekerjaan yang berbeda dalam departemen yang
sama membutuhkan persyaratan orientasi yang relatif kecil. Namun
pergerakan di antara departemen meminta orientasi lebih lengkap
secara progresif, seperti untuk peningkatan promosi dan mencegah
penurunan pangkat. Ketika karyawan yang sudah ada ditugaskan ke
pekerjaan baru, sebagai contoh, mereka jarang membutuhkan program
orientasi. Mungkin dalam hal ini bagian departemen SDM biasanya
merasa tidak membutuhkan orientasi. Namun orientasi yang dilakukan
penyelia masih dibutuhkan untuk mempercepat sosialisasi karyawan di
dalam kelompok kerja baru.
Kebanyakan keputusan penempatan dibuat oleh manajer lini.
Biasanya penyelia karyawan dalam konsultasi dengan tingkat manajer
lini yang lebih tinggi memutuskan penempatan masa depan untuk setiap
karyawan. Peranan departemen SDM adalah memberi pendapat pada
manajer lini tentang kebijakan perusahaan dan menyediakan bimbingan
kepada para karyawan. Sebagaimana juga halnya terjadi di STIKES
Avicenna Kendari, pengelola atau atasan terlalu banyak mengambil
kontrol atas penugasan-penugasan dosen di prodi. Perlu menjadi
perhatian adalah kesiapan mereka yang akan ditempatkan baik dari sisi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 122


kemampuan beradaptasi maupun mengetahui apa yang harus dilakukan
dengan jenis pekerjaan yang baru diterimanya.
Pembagian kerja dilakukan melalui pengelompokan kegiatan
atau aktifitas serta tenaga kerja kedalam bagian-bagian tertentu sesuai
dengan kategori yang ditentukan. Tujuan suatu organisasi memerlukan
pembagian kerja adalah terbatasnya kemampuan individu-individu
dalam melakukan berbagai kegiatan. Untuk mencapai tujuan di mana
individu-individu tidak dapat mencapainya sendiri, maka diperlukan
pembagian kerja menjadi beberapa kelompok di dalam organisasi.
Sebagai contoh, pembagian kerja dalam team sepak bola: dimana ada
manajer tim, kepala pelatih, asisten pelatih, dokter tim, penjaga
gawang, dan pemain lainnya.
Untuk mewujudkan pengorganisasian tenaga kerja diperlukan
sebuah thinking root yang tepat, dalam hal ini yaitu analisa beban kerja
atau menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau
dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu
tertentu, atau dengan kata lain analisis beban kerja bertujuan untuk
menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung
jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang petugas.
Dengan cara membagi isi pekerjaan yang mesti diselesaikan oleh hasil
kerja rata-rata satu orang, maka akan memperoleh waktu yang
dibutuhkan untuk merampungkan pekerjaan tersebut. Atau akan
memperoleh jumlah pegawai yang dibutuhkan melalui jumlah jam kerja
setiap pegawai tersebut.
Dalam konsep manajemen sumber daya manusia, penerimaan
dan penempatan pegawai mutlak harus dilakukan di dalam satu unit
organisasi. Kegiatan manajemen kepegawaian dijadikan landasan
untuk penerimaan dan penempatan pegawai yang pada awalnya
dilakukan terlebih dahulu melalui analisis jabatan (job analysis), yang
berarti suatu kegiatan untuk memberikan gambaran tentang syarat-

Manajemen Sumber Daya Manusia | 123


syarat jabatan (job specification) yang diperlukan bagi setiap pegawai
yang akan diterima dalam menduduki suatu jabatan didalam suatu
organisasi.

E. Retensi dan Strategi Mempertahankan SDM


Banyak organisasi mungkin setuju jika kepemimpinan
merupakan sumber kepuasan dan motivasi kerja karyawan. Namun
demikian, belum banyak organisasi yang serius membangun kualitas
kepemimpinannya. Pekerja di bawah kepemimpinan yang berkualitas
tentu menjadi dambaan pegawai dan akan menjadi penambah daya
retensi karyawan. Pemimpin berkualitas memiliki komitmen terhadap
pencapaian visi dan misi organisasi. Pemimpin berkualitas memiliki
kompetensi manajerial di bidang yang dipimpinnya, meliputi technical
skills, conceptual skills, dan human skills secara proporsional.
Pemimpin berkualitas mempunyai kemampuan untuk memberdayakan
karyawan potensialnya guna menciptakan nilai tinggi bagi organisasi.
Kesempatan untuk maju merupakan salah satu alasan utama
para pegawai untuk bertahan di suatu perusahaan. Jika itu dirasakan
masih kurang, mereka akan mencari perusahaan lain yang menawarkan
kesempatan lebih besar untuk berkembang. Di samping pemberdayaan
oleh pimpinan melalui pemberian kepercayaan dan ruang bagi pegawai
untuk mengkontribusikan seluruh potensinya guna mencapai kinerja
tinggi, perusahaan dapat mendukung dengan memfasilitasi pelatihan
dan pengembangan yang berkelanjutan. Ini diperlukan agar karyawan
mampu menjawab tuntutan dunia kerja yang berkembang di bidang
keahliannya. Informasi karir dalam perusahaan juga perlu disediakan
dan harus dapat diakses dengan mudah oleh mereka. Selain itu, salah
satu tujuan utama seseorang bekerja adalah mendapatkan kompensasi
finansial yang menarik. Perusahaan ditantang untuk merancang sistem
kompensasinya sedemikian rupa sehingga dapat menarik karyawan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 124


terbaik dan mempertahankannya. Kompensasi finansial yang dapat
berfungsi sebagai penambah daya retensi harus mampu memenuhi
prinsip keadilan (sesuai tanggungjawab jabatan dan kompetitif),
mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak, dapat menciptakan
motivasi kerja dengan berorientasi kinerja, dan dikelola secara baik.

Lingkungan kerjapun ikut berperan menambah daya retensi


karyawan selama itu mendukung terlaksananya tugas dengan baik.
Lingkungan kerja kondusif yang disiapkan oleh perusahaan harus dapat
memberikan rasa aman baik secara fisik mau pun secara psikologis,
melindungi karyawan dari bahaya atau kecelakaan kerja, serta terhindar
dari gangguan kesehatan dan/atau penyakit.

Keluarnya pekerja yang terampil sering membuat goncangan


para pimpinan. Investasi pelatihan dan pengembangan yang telah
ditanamkan terbawa pergi. Jika kita meminta para pemimpin untuk
membuat daftar prioritas masalah terpenting yang dihadapinya, para
pemimpin tersebut akan menempatkan “mendapatkan orang yang
tepat” dalam list teratas. Ini mengindikasikan sangat penting dan
sulitnya mendapatkan orang-orang yang dibutuhkan perusahaan.
Banyak perusahaan yang bahkan rela menempuh cara “membajak”
karyawan dari perusahaan lain sebagai jalan pintas. Praktik-praktik
semacam ini sepertinya semakin umum dan makin sering ditemukan.
Setelah bersusah payah mendapatkan pegawai yang terampil,
perusahaan sering lupa menjaga nya, sehingga akhirnya dia keluar dari
perusahaan.

1. Pengembangan SDM; Kompetensi dan Karir


Banyak perusahaan mengalami permasalahan dengan menjaga
retensi karyawan dalam perusahaannya. Hasil penelitian terdahulu
menunjukkan semakin meningkatnya bisnis perusahaan tersebut akan
dibarengi dengan tingginya tingkat turnover karyawan. Banyak faktor
yang melatarbelakangi mengapa aspek turnover pegawai di perusahaan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 125


meningkat, secara bersamaan muncul ketika pertumbuhan bisnis
perusahaan juga meningkat. Anthony Robbins (2014: 6) menyebutkan
faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya angka turnover
karyawan dalam perusahaan diantaranya adalah: “tidak adanya
pengembangan kompetensi yang memadai serta tidak adanya jenjang
karir di perusahaan”.
Berbicara mengenai manajemen karir untuk retensi pegawai
sesungguhnya adalah keseluruhan pekerjaan yang dilakukan dan
jabatan yang dipangku seseorang selama berkarya. Manajemen karir
memberikan pemahaman kepada karyawannya tentang tiga hal penting.
Pertama, sasaran karir yang ingin dicapai apabila karyawan mampu
bekerja secara produktif, loyal kepada perusahaan, menunjukkan
perilaku yang berkualitas serta mampu bertumbuh dan berkembang
dalam keharmonisan perusahaan. Kedua, perencanaan karir dalam arti
keterlibatan karyawan dalam memilih jalur dan sasaran karirnya.
Ketiga, kesediaan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam
rangka pengembangan karir sambil berkarya (Sondang P. Siagian,
2014: 206). Sementara retensi pegawai berkenaan dengan keputusan
mereka untuk bertahan pada perusahaan atau keluar dari perusahaan.
Retensi atau pemeliharaan karyawan merupakan kemampuan
perusahaan untuk mempertahankan karyawan terbaik yang dimiliki
perusahaan untuk tetap loyal terhadap perusahaan sehingga 'turnover'
(keluar atau berhentinya karyawan secara sukarela) rendah dan tidak
ada sama sekali (Murti Sumarni, 2011). Semakin rendahnya turnover
maka semakin tinggi retention. Artinya semakin baik perusahaan dalam
memelihara karyawannya terutama karyawan sehingga perusahaan
bersangkutan semakin efisien dalam upaya pengembangan SDM para
karyawannya.
Temuan signifikan penulis terkait sub ini, PTS belum menyadari
secara penuh jika retensi dosen dan pegawai dapat diperoleh melalui

Manajemen Sumber Daya Manusia | 126


fasilitasi pada kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
kecakapan mereka. Bila memungkinkan, pengembangan kompetensi
dosen bisa diinisiasi oleh kampus. Demikian halnya dengan
pengembangan karir dosen. PTS dapat membantu mereka untuk
mengajukan jabatan akademik. Menyediakan expert sebagai advicer
karir, baik itu internal dan eksternal akan sangat membantu mereka.
Merujuk pendapat Walker (1980) mengatakan bahwa bagi para
pegawai, karir bahkan dianggap lebih penting dari pada pekerjaan itu
sendiri. Seorang pegawai bisa saja meninggalkan pekerjaannya jika
merasa prospek karirnya buruk. Sebaliknya, pegawai akan tetap rela
bekerja pada pekerjaan yang tidak disukainya sepanjang itu mempunyai
prospek cerah dalam karirnya. Bagi perusahaan, kejelasan perencanaan
dan pengembangan karir pegawai akan membawa manfaat langsung
terhadap efisiensi manajemen. Manajemen karir senantiasa berkaitan
dengan orang, aktivitas, lembaga, sistem atau mekanisme serta prospek
masa depan karir dalam sebuah pekerjaan. Untuk itu, manajemen
puncak atau owner senantiasa memperhatikan manajemen karir
karyawan secara lebih serius, teratur dan terprogram demi peningkatan
performance SDM karyawannya dan nilai perusahaannya (value firm).

Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi, maka


akan semakin besar tingkat kesulitan dan beban kerja yang dimiliki oleh
karyawan. Apabila beban kerja tersebut tidak dikelola dengan baik,
maka terdapat beberapa karyawan yang mengalami peningkatan beban
kerja yang diterima. Tanpa diakomodasi dengan pemberian kompetensi
tentu masalah ini akan menyebabkan karyawan merasa terjebak, karena
dituntut untuk menjalani suatu hal yang mustahil dilakukan. Demikian
pula dengan jenjang karir yang jelas, menjadi satu aspek ketidakpuasan
bekerja yang pernah disurvei. Perusahaan yang tidak memikirkan ini,
akan menyebabkan karyawannya merasa bosan dan risau.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 127


Strategi pengembangan Sumber Daya Manusia perlu dilakukan
terlebih lagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Pengembangan SDM
dilakukan untuk membentuk personal yang berkualitas dengan
keterampilan, kemampuan kerja, dan loyalitas kerja kepada suatu
perusahaan ataupun organisasi. Strategi pengembangan SDM tidak
hanya melalui pendidikan dan pengembangan keterampilan, namun ada
banyak cara untuk mengembangkannya. Pembinaan dapat dilakukan
dengan mengatur dan membina manusia sebagai sub-sistem organisasi
melalui program-program perencana dan penilaian, seperti manpower
planning, performance appraisal, job analytic, job classification, dan
lain-lain.

Pelatihan dapat dilakukan dengan mengembangkan individu


dalam bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan dan sikap.
Pelatihan tidak hanya berguna untuk karyawan, tapi juga perusahaan,
di mana perusahaan tidak akan berkembang jika karyawannya tidak
memiliki keterampilan dan minat kerja yang tinggi (Abo Alnaser, 2009;
Saigh, 2010). Melalui pelatihan inilah, perusahaan dapat menggali
potensi karyawannya dengan mengembangkan keterampilan yang
mereka miliki. Pengembangan SDM juga dapat melalui pendidikan
sehingga akan meningkatkan kemampuan kerja, dalam arti
pengembangan yang bersifat formal dan berkaitan dengan karir mereka.

Pelatihan dan pendidikan akan bermanfaat sangat besar dalam


upaya pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan daya
saing institusi. Agar sasaran strategis dapat dijalankan dengan baik,
maka sumber daya manusia perguruan tinggi haruslah memiliki kualitas
yang unggul. Dosen sebagai SDM perguruan tinggi yang memiliki
peran yang sangat sentral dalam semua aktivitas di perguruan tinggi.
Dalam era globalisasi ini, seorang dosen tidak hanya dituntut pakar
dalam bidang kajian ilmunya (mengajarkan, meneliti, dan
mengabdikannya kepada masyarakat) tetapi juga dituntut untuk mampu

Manajemen Sumber Daya Manusia | 128


berkomunikasi (verbal dan tulisan); mampu menguasai dan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT); memiliki
jejaring yang luas; peka terhadap perubahan dan perkembangan yang
terjadi di dunia luar, dan bersikap outward looking.
Berdasarkan data dari global competitiveness report untuk
Indonesia, aspek yang paling penting untuk ditingkatkan adalah
pelatihan dan pendidikan tinggi serta inovasi. Oleh karena itu, sangat
penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi sebagai
kekuatan pendorong utama untuk pelatihan dan pendidikan tinggi serta
inovasi. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa dosen dengan
kualifikasi tersebut sangat jarang dan umumnya hanya terkonsentrasi di
beberapa perguruan tinggi tertentu saja. Terlebih lagi di era disruption
technology, informasi secara digital mudah didapatkan sehingga
memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang lebih
cepat daripada dosen. Untuk itu, dosen harus bisa memberikan
pengajaran yang lebih menarik kepada mahasiswanya. Menjamurnya
co-working space menjadi salah satu tempat menarik untuk diskusi dan
belajar bagi dosen dan mahasiswa. Adanya konsep co-working space
diharapkan mendukung proses pembelajaran yang tidak lagi selalu
berfokus kepada Dosen, tetapi mahasiswa didorong aktif berpartisipasi.
Seorang Dosen dituntut untuk mampu memberikan materi yang lebih
menarik serta memiliki kiat-kiat khusus agar keberadaan Dosen dalam
perkuliahan tetap dibutuhkan.

Pendidikan dan pelatihan diharapkan akan mampu


menumbuhkan rasa Tri dharma Perguruan Tinggi pada masing-masing
individu Dosen. Selanjutnya, memberikan pembekalan untuk mencapai
visi perguruan tinggi berkelas dunia yang unggul dan inovatif,
mengabdi kepada kepentingan bangsa, dan kemanusiaan yang dijiwai
nilai-nilai budaya bangsa berdasarkan Pancasila. Ketiga, memberikan
bekal kepada Dosen baru sehingga dapat meraih karir di dunia

Manajemen Sumber Daya Manusia | 129


akademik dengan baik, berkualitas, dan mampu menjunjung tinggi
nilai-nilai institusi. Keempat, meningkatkan kemampuan akademik dan
manajemen riset sehingga bisa menjadi insan pendorong untuk
mewujudkan kampus yang lebih baik. Jabatan dosen dapat dikatakan
sebuah profesi karena menjadi seorang dosen dituntut suatu keahlian
tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang pengajaran,
melakukan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) dan dari
pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan
selanjutnya. Pekerjaan ini mestinya dilakukan dengan semangat
dedikasi dan pelayanan. Dosen hendaknya menanamkan dirinya
sebagai seorang pribadi yang dipanggil untuk melayani agar mutu
pendidikan dapat ditingkatkan.
Realita menunjukkan fenomena yang tidak diharapkan. Banyak
dosen yang menggunakan kesempatan dan otoritasnya sebagai dosen
untuk memeras mahasiswa demi keuntungan ekonomis. Hal ini sering
dilakukan dengan cara “menjual-beli” diktat kuliah dengan harga yang
amat tinggi. Sangat disayangkan bahwa kalau ada mahasiswa yang
tidak membelinya maka mahasiswa tersebut siap mendapat nilai yang
rendah dan bahkan dinyatakan tidak lulus. Ada juga dosen lain yang
mempersulit mahasiswa dalam proses pembimbingan apabila
mahasiswa memerlukan bimbingan khusus. Dan ada juga dosen yang
tidak membuat diktat kuliah sendiri tetapi menggunakan diktat yang
merupakan hasil karya orang dan tentunya masih banyak lagi fenomena
lainnya yang menunjukkan rendahnya profesionalitas seorang dosen.
Dalam lembaga Perguruan Tinggi, dosen harus memenuhi
standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tugas pelayanannya.
Dosen dalam tugas utamanya ialah mampu mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni, melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Kedudukan dosen sebagai tenaga professional pada

Manajemen Sumber Daya Manusia | 130


hakikatnya berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional
dan bertujuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pengembangan kompetensi dan skill mestinya adalah sebuah
keniscayaan dibutuhkan pada instansi ataupun lembaga-lembaga
apapun. Hal ini tentunya akan mempunyai pengaruh yang cukup baik
dan signifikan untuk mengembangkan usaha dan juga keuntungan yang
akan didapat, mengapa demikian? Karena dengan mengikutsertakan
karyawan dalam pengembangan kompetensi dan juga skill, maka secara
tidak langsung perusahaan tersebut sudah membantu karyawan untuk
bisa memaksimalkan kembali kemampuan yang dipunya. Untuk
menentukan peserta atau karyawan yang akan diikut sertakan dalam
pengembangan kompetensi dan skil yang akan diadakan, baiknya pihak
perusahaan mengadakan beberapa seleksi agar bisa menentukan siapa
saja yang berhak mendapatkan kesempatan tersebut lebih dulu. Hal ini
diperlukan mengingat dalam sebuah perusahaan atau instansi tentunya
mempunyai jumlah karyawan yang tidak sedikit, sehingga mungkin
saja tidak semua karyawan akan diikut sertakan dalam program
tersebut. Untuk memudahkan hal tersebut, maka ada baiknya jika
perusahaan memberikan beberapa syarat dan juga menyeleksi para
karyawan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Ini akan menghindari
adanya kesenjangan sosial bagi mereka yang menginginkan hal yang
sama namun belum atau tidak memiliki kesempatan yang sama.
Dalam mengadakan program pengembangan kompetensi dan
juga skills ada baiknya perusahaan tersebut menggunakan jasa atau
bantuan dari lembaga terkait mengenai hal tersebut, sehingga hasil yang
didapat bisa sesuai dengan harapan. Ini juga bisa menghindari
kecurangan terhadap oknum tertentu yang ingin menempuh cara instan
agar bisa mendapatkan posisi atau jabatan strategis dengan cara yang
tidak seharusnya. Salah satu hal yang harus diperhatikan juga adalah
tentang sportifitas yang harus tetap dijadikan acuan dalam

Manajemen Sumber Daya Manusia | 131


melaksanakan kompetensi tersebut, layaknya mengikuti suatu lomba
atau pertandingan yang akan memperebutkan sebuah trofi yang
berharga. Dalam melakukan pemilihan terhadap lembaga pelatihan
yang ingin digunakan, baiknya bisa menggunakan beberapa media
untuk mencari informasi mengenai lembaga yang sesuai dengan
keinginan perusahaan tersebut. Pimpinan juga bisa mencari beberapa
referensi dan juga rekomendasi dari orang-orang yang telah
menggunakan lembaga pendidikan atau pelatihan tersebut, agar anda
mempunyai keyakinan yang lebih untuk bisa menggunakan jasa mereka
dan mendapat pengajar yang sesuai.

2. Menjaga Mutu Lingkungan Kerja (Quality of Work Life)


Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL)
merupakan salah satu bentuk filsafat yang diterapkan manajemen dalam
mengelola sumber daya manusia. Sebagai sebuah filosofi, kualitas
kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia,
pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut ialah:
kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia,
efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan
keputusan terutama yang menyangkut pekerjaan, karir, penghasilan dan
nasib mereka dalam pekerjaan.

Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan


kerja. Pandangan pertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja
adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi.
Contohnya: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan
pekerja dan kondisi kerja yang aman. Sementara yang lainnya
menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi
karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas
dan mendapat kesempatan mampu tumbuh dan berkembang selayaknya
manusia.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 132


Kondisi dimana satu persatu pegawai mengundurkan diri selalu
menjadi masalah klasik yang muncul pada sebuah perusahaan atau
organisasi. Padahal, pergantian pegawai bukan hanya menghabiskan
biaya tetapi juga menghabiskan waktu. Misalnya, biaya untuk
pemasangan iklan, biaya pelatihan, biaya rekrutmen pegawai baru dan
lain-lain. Oleh karena itu, penting untuk membuat pegawai tetap betah
bekerja di perusahaan. Maka dari itu, perlu diciptakan suasana kerja
yang kondusif bagi mereka.
Setiap perusahaan baik profit ataupun non-profit harus terus
berupaya untuk menjaga pegawai potensialnya agar tetap setia dan tidak
mudah pergi. Karyawan yang mengalami kehidupan kerja yang
berkualitas tinggi akan puas dan loyal sehingga akan bertahan bekerja.
Sebaliknya, pegawai yang merasakan kehidupan kerja yang berkualitas
rendah akan kecewa dan tidak betah sehingga akan mencari tempat
kerja lain yang lebih baik. Pegawai akan senang dan betah bekerja di
tempat yang sistem nilainya selaras dengan sistem nilai pribadinya dan
tidak bertentangan dengan sistem nilai lingkungan kerja. Oleh karena
itu, butuh usaha yang ekstra untuk memberdayakan orang-orang yang
memiliki sistem nilai yang sesuai dengan sistem nilai perusahaan dalam
seluruh tahapan proses manajemen, dan itu semua dimulai sejak tahap
pengadaan pegawai baru sehingga bisa diperoleh person-organization
fit.
Kualitas sistem nilai dapat diciptakan melalui pembentukan dan
penanaman nilai-nilai organisasi yang mengutamakan humanism atau
people first value antara lain: mengakui andil karyawan, menghargai
keragaman, kekeluargaan, mengedepankan keadilan, pengembangan,
kesejahteraan, dan pemberdayaan karyawan. Nilai-nilai tersebut di atas
perlu dinyatakan secara jelas dalam visi atau misi organisasi sehingga
dapat dimengerti dan diikuti semua anggota organisasi. Hal ini menjadi
highlight dalam pembahasan ini karena hal tersebut adalah temuan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 133


peneliti yang paling signifikan di STIKES Avicenna Kendari. Ada
kecenderungan yang nampak bahwa pimpinan berlaku kurang adil
dalam memberikan kesempatan atau peluang pada masing-masing
dosen dan staf. Beberapa dosen yang peneliti temui mengatakan bahwa
mereka sulit memperoleh rekomendasi untuk kegiatan-kegiatan
pengembangan di luar kampus dan luar kota.
Sulit disangkal bahwa hubungan kerja yang sehat dan kuat perlu
dibangun agar tercipta suasana kerja yang nyaman dan aman sehingga
bisa menambah daya retensi pegawai. Berdasarkan analisa peneliti,
paling tidak terdapat lima (5) faktor yang dapat membantu membangun
hubungan kerja yang kokoh. Faktor pertama adalah hubungan kerja
bertumpu pada sistem nilai organisasi yang hidup menjelma jadi budaya
organisasi. Faktor kedua yang berdimensi etis adalah niat baik (good
will) dari perusahaan dan karyawan untuk memahami dan menunaikan
kewajiban masing-masing. Karyawan berkewajiban untuk
melaksanakan tugas dan mematuhi aturan yang ditetapkan perusahaan,
loyal, serta menjaga kerahasiaan yang dapat merugikan perusahaan.
Sebaliknya, perusahaan wajib memberikan gaji/upah yang layak sesuai
dengan beban dan kualitas pekerjaan, berlaku adil tanpa semena-mena,
tidak diskriminatif, serta memberikan kesempatan bagi karyawan untuk
berkembang.

Faktor ketiga, kepatuhan perusahaan terhadap regulasi dengan


menghindari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan undang-undang
dan peraturan ketenagakerjaan. Faktor keempat, membangun
komunikasi organisasi yang efektif dengan gaya asertif yang bersifat
dua arah dan terus terang melalui media-media yang resmi dan tepat.
Faktor kelima, menegakkan disiplin sesuai peraturan yang ditetapkan
organisasi. Ketidakdisiplinan yang dibiarkan berpotensi besar
membahayakan hubungan kerja di masa-masa yang akan datang.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 134


Komitmen mutu harus dibangun menjadi komitmen utama
setiap unsur manusia pada organisasi yang tercermin dalam tindakan
untuk menjaga mutu kinerja pegawai. Komitmen mutu merupakan
pelaksanaan pelayanan dengan berorientasi pada kualitas hasil,
dipersepsikan oleh individu terhadap produk/jasa berupa label baik atau
buruk. Bidang apapun yang menjadi tanggungjawab dosen, semestinya
manajemen sumber daya manusia di STIKES Avicenna Kendari mesti
dilaksanakan secara optimal agar dapat memberi kepuasan kepada
stakeholder. Mengutip pendapat Prof. Myon Woo Lee, pencetus teori
W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa pihak
manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim dan
suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk
mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga
hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti
inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam
organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan.
Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang
kompleks, baik berasal dari diri pribadi karyawan (internal factor)
maupun upaya strategis dari perusahaan. Faktor-faktor internal
misalnya motivasi, tujuan, harapan dan lain-lain, sementara contoh
faktor eksternal adalah lingkungan fisik dan non fisik perusahaan.
Nitisemito (2000) menekankan pada faktor lingkungan non fisik agar
tidak diabaikan. Menurutnya, Perusahaan hendaknya dapat
mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat
atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di
perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana
kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.

Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua


perusahaan/institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja
karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja

Manajemen Sumber Daya Manusia | 135


perusahaan secara keseluruhan. Kualitas kehidupan kerja merupakan
masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi. Hal ini
merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang
mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota
atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja perusahaan. Adanya kualitas kehidupan
kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal
dalam organisasi. Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya
hubungan positif antara praktek kualitas kehidupan kerja dengan
kinerja karyawan.

Lingkungan kerja yang kondusif sendiri bisa tercipta jika


terjalin komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan maupun antar
para bawahan sendiri. Banyak permasalahan yang timbul pada sebuah
institusi, dan ataupun semakin berlarut-larut permasalahan yang ada
karena seringnya terjadi miss-komunikasi. Jadi komunikasi yang baik
dalam lingkungan perusahaan sangat amat diperlukan demi terciptanya
lingkungan kerja yang kondusif. Institusi juga harus bisa menciptakan
rasa kepercayaan yang tinggi terhadap bawahan ataupun antar pegawai
dalam arti mereka merasa tidak ada rasa saling curiga justru akan saling
menjaga. Jika sudah tercipta atmosfir seperti demikian, maka
lingkungan kerja yang kondusif akan lebih mudah tercipta. Hal
tersebutlah yang nantinya akan menimbulkan motivasi kerja yang
tinggi bagi setiap karyawannya, dan akhirnya kontribusi dari masing-
masing SDM semakin mudah didapatkan.

Memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk berkarir,


berkreasi ataupun ide-ide terbaik bagi perusahaan. Seperti hal-hal di
atas juga menjadi temuan peneliti di STIKES Avicenna Kendari, dan
tampaknya masih belum bisa terlaksana dengan baik, sehingga
lingkungan kerja di kampus masih kurang kondusif. Bagi pimpinan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 136


harus bisa masuk ke dalam kelompok-kelompok di luar dirinya yakni
staf dan dosen, mengabaikan segala perasaan negative yang ada. Karena
jika ingin berhasil memasuki kelompok di luar kita, pimpinan harus bisa
menerima segala perbedaan yang ada, menganggap bahwa perbedaan
menimbulkan warna yang lebih indah. Masih banyak lagi hal-hal yang
dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, namun yang pasti
antara atasan atau pimpinan dan bawahan memiliki visi yang sama
bagaimana lingkungan kerja tersebut memberikan rasa aman dan
nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya. Perusahaan peduli
dan memperhatikan para karyawannya, demikian juga sebaliknya, yang
akhirnya bisa menimbulkan motivasi kerja karyawan dan kinerja
perusahaan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu kondisi kerja sebagai
hasil dari interaksi antara individu dan pekerjaannya sehingga membuat
pekerja lebih produktif dan memberi kepuasan kerja. Merujuk Dessler
(1986: 476), kualitas kehidupan kerja dimaknai keadaan dimana para
pegawai dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting dengan
bekerja dalam organisasi, dan kemampuan untuk melakukan hal itu
bergantung pada apakah terdapat adanya: 1) perlakuan yang fair, adil,
dan suportif terhadap para pegawai; 2) kesempatan bagi tiap pegawai
untuk menggunakan kemampuan secara penuh; 3) kesempatan untuk
mewujudkan diri, yaitu untuk menjadi orang yang mereka rasa mampu
mewujudkannya; serta 4) kesempatan bagi semua pegawai untuk
berperan secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan penting
yang melibatkan pekerjaan mereka.

Pendekatan kualitas kehidupan kerja berupaya memenuhi


kebutuhan yang dirasakan penting bagi karyawan dengan memberikan
perlakuan yang fair, adil, dan suportif; memberikan kesempatan bagi
tiap pegawai untuk menggunakan kemampuan secara penuh;
memberikan kesempatan untuk mewujudkan diri dan memberikan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 137


kesempatan untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan-
keputusan penting yang melibatkan pekerjaan mereka. Dengan
demikian pendekatan ini berusaha untuk lebih mendayagunakan
keterampilan dan kemampuan karyawan serta menyediakan lingkungan
yang mendorong mereka untuk meningkatkan keterampilan dan
kemampuannya. Base thinking nya adalah bahwa karyawan merupakan
sumber daya manusia yang perlu dikembangkan, bukan sekedar
digunakan. Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan
pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya.
Dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalah mengubah
iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa
kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik.
Merumuskan uraian-uraian di atas, peneliti merekomendasikan
poin-poin di bawah ini untuk mencapai Quality of Work Life yakni
sebagai berikut:

a. Memahami motivasi untuk mempertahankan pegawai,


pimpinan harus mempelajari hal yang penting bagi pegawai.
Apa faktor motivator internal dan eksternal bagi pegawai
tersebut, misalnya penghargaan, passion, tujuan, dan
sebagainya.
b. Membuat pekerjaan jadi hal menyenangkan. Para pegawai ingin
menikmati pekerjaannya, maka buatlah suasana kerja lebih
menyenangkan. Janganlah membuat suasana yang tegang di
tempat kerja dengan sering marah, berteriak, atau menggerutu.
Selain itu, menempatkan seseorang di posisi yang tepat sesuai
dengan potensi dan kemampuannya adalah hal terbaik untuk
meningkatkan semangat kerja bawahan.
c. Tunjangan dan fasilitas yang kompetitif selain gaji, hal ini
biasanya juga menjadi hal utama yang dicari pegawai. Selain
itu, tunjangan seperti asuransi kesehatan, fasilitas kendaraan,

Manajemen Sumber Daya Manusia | 138


dan sebagainya membuat pegawai bekerja lebih tenang dan
menunjang produktivitasnya. Akan lebih baik, jika perusahaan
memberikan bonus atau pembagian keuntungan untuk
meningkatkan loyalitas pegawai.
d. Kesempatan meningkatkan keahlian dan pengetahuan
pemberian pelatihan, bimbingan, tugas tim, atau pun presentasi
turut membantu mereka dalam pengembangan pribadi dan
menjadi penyegaran di antara kesibukan kerja. Berikan waktu
khusus untuk kegiatan ini dengan kompensasi peringanan beban
kerja selama kegiatan berlangsung. Jangan memasukannya di
sela-sela pekerjaan, karena justru akan menjadi tambahan beban
bagi pegawai.
e. Selalu hormati bawahan. Hal ini termasuk mendengarkan ide
mereka, tidak mempermalukan dengan menegurnya di depan
umum, menghargai kerja kerasnya, memberi penghargaan dan
perayaan jika perlu ketika pegawai meraih prestasi.
f. Memberi kesempatan untuk keseimbangan kehidupan dan
pekerjaan. Pahami bahwa setiap orang memiliki kehidupan
sosial di luar pekerjaan. Meskipun perusahaan telah
mempekerjakan pegawai, namun mereka berhak memiliki
kehidupan lain di luar pekerjaan. Lembur atau di luar jam kerja
memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Dan berikan sedikit
kelonggaran dengan kompensasi tertentu, bila pegawai
memerlukan izin untuk keperluan mendesak.
g. Komunikasi atasan dan bawahan. Kelancaran komunikasi
sangat penting antara atasan dan bawahan, termasuk dengan
perusahaan. Atasan yang sulit diajak berkomunikasi adalah
hambatan besar dalam sebuah perusahaan. Atasan perlu juga
pegawai dalam pengambilan kebijaksanaan yang berhubungan
dengan pekerjaan mereka.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 139


Program retensi karyawan dengan demikian beriringan dengan
program kualitas kehidupan kerja. Kualitas kehidupan kerja dapat
ditingkatkan melalui antara lain perbaikan kualitas sistem nilai,
hubungan kerja, kualitas kepemimpinan, kesempatan untuk maju,
sistem kompensasi finansial, dan perbaikan kualitas lingkungan kerja
(Hanes Riady, 2007).

3. Sistem Kompensasi dan Penghargaan (System of Rewarding)


Penghargaan yang efektif harus diberikan kepada karyawan
baik penghargaan finansial maupun non-finansial. Merujuk Schuster
(1985), sistem penghargaan dibagi dalam dua bagian, yaitu sistem
penghargaan intrinsik dan sistem penghargaan ekstrinsik. Penghargaan
intrinsik ditentukan oleh individu dalam interaksinya dengan
pekerjaannya. Contohnya, penghargaan intrinsik dapat berupa rasa
tanggung jawab, rasa tertantang, rasa unggul, rasa mengontrol, rasa
berpartisipasi, dan sebagainya. Manajemen harus merancang pekerjaan
sedemikian rupa sehingga penghargaan intrinsik dapat dicapai oleh
karyawan yang memenuhinya. Sedangkan sistem penghargaan
ekstrinsik mengacu pada semua penghargaan di luar pekerjaan itu
sendiri. Dengan demikian, sistem penghargaan ekstrinsik mencakup
baik penghargaan finansial maupun non-finansial yang diberikan oleh
organisasi dalam usahanya untuk merespon kinerja karyawan, baik
secara kualitas maupun kuantitas.

Walaupun penghargaan intrinsik dan ekstrinsik berbeda,


keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Penghargaan intrinsik
dan ekstrinsik; finansial dan non-finansial, secara bersama-sama
berinteraksi menjadi bagian dari sistem penghargaan (tidak
independen). Contohnya, karyawan yang menerima penghargaan
ekstrinsik dalam bentuk kenaikan upah, misalnya akan serta merta juga
merasakan adanya kepuasan batiniah, yaitu dapat menyelesaikan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 140


pekerjaan dengan baik. Kepuasan batin karyawan tersebut merupakan
penghargaan intrinsik, yaitu karyawan yang bersangkutan
menginterpretasikan bahwa kenaikan upah tersebut sebagai tanda
melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Pada dasarnya hubungan antara kinerja dengan penghargaan
bukan hanya diinginkan pada level organisasional saja, tetapi
diinginkan juga pada level individu. Teori yang mendasari hubungan
kinerja-penghargaan, adalah bahwa karyawan akan termotivasi untuk
mencapai kinerja yang tinggi jika mereka yakin bahwa motivasi yang
tinggi tersebut akan menghasilkan penghargaan yang mereka inginkan.
Oleh karena itu, organisasi perlu mengaitkan antara penghargaan
formal, seperti tunjangan cuti, program asuransi, tunjangan hari raya
dengan kinerja. Artinya, besarnya tunjangan yang akan diterima oleh
karyawan ditentukan oleh kinerja yang dicapai karyawan, bukan
ditentukan oleh organisasi atau aspek senioritas. Asas tersebut tentunya
bisa menjadi solusi terhadap sistem kompensasi yang diterapkan di
STIKES Avicenna Kendari dimana sistem yang digunakan bukan
didasarkan pada kinerja melainkan pendekatan satu arah atau monopoli
institusi semata. Agar keterkaitan antara kinerja-penghargaan efektif
maka diperlukan beberapa syarat, seperti kinerja harus dapat diukur
secara akurat, harus ada disiplin secara sungguh-sungguh mengaitkan
kinerja dengan penghargaan.
Berdasarkan hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa jika
besarnya upah tergantung pada kinerja, maka kinerja individu maupun
kelompok secara konsisten akan lebih tinggi dibanding jika tidak ada
ketergantungan dengan upah tersebut. Teori pengharapan Vroom
menyatakan tentang pentingnya menghubungkan antara kinerja dengan
upah untuk memotivasi kinerja karyawan. Manajer atau atasan harus
menggunakan sistem penghargaan organisasional seefektif mungkin,
sehingga karyawan dapat termotivasi dan bekerja produktif. Ada tiga

Manajemen Sumber Daya Manusia | 141


dimensi penting yang mendasari keberhasilan kinerja karyawan, yaitu
(1) nilai penghargaan yang ditawarkan; (2) penghargaan yang
didasarkan pada produktivitas; dan (3) karyawan secara langsung dapat
mempengaruhi kinerja dan produktivitas mereka melalui usaha yang
dilakukannya.

Pada umumnya, penghargaan ataupun kompensasi akan


digunakan sebagai dasar persepsi karyawan terhadap kelayakan dan
keadilan sistem kompensasi suatu organisasi. Jika karyawan
mempunyai persepsi bahwa mereka tidak memperoleh kompensasi
secara adil dan wajar, maka berbagai kemungkinan negatif akan
muncul, seperti kemalasan bekerja, kemangkiran, pemogokan, ke luar
organisasi atau pindah ke organisasi lain. Merujuk Byars dan Rue
(1997), sistem kompensasi seringkali mencerminkan iklim keseluruhan
organisasi. Jika sistem kompensasi dipandang adil dan wajar, maka
organisasi secara keseluruhan dipandang adil dan wajar. Oleh karena
itu, tujuan utama dari sistem kompensasi dasar adalah mengadakan
struktur kompensasi yang adil dan wajar didasarkan pada pekerjaan dan
tingkat kinerja pekerjaan yang bersangkutan. Sistem kompensasi
umumnya merancang upah pekerjaan/jabatan tertentu didasarkan pada
nilai relatif pekerjaan atau jabatan tersebut terhadap organisasi. Dalam
penyusunan rentang upah tersebut mencakup: 1) menentukan nilai
relatif antara jabatan yang satu dengan jabatan lain dalam satu
organisasi (keadilan internal); 2) menentukan nilai relatif antara jabatan
serupa tetapi dalam organisasi yang berbeda (keadilan eksternal); dan
3) menentukan nilai relatif antara individu yang satu dengan lainnya
dalam jabatan yang sama (keadilan individu).
Sistem kompensasi di organisasi manapun harus menciptakan
sistem penghargaan yang layak baik bagi organisasi maupun karyawan.
Bagi perusahaan, sistem pengupahan tidak menghasilkan upah yang
berlebihan, namun dapat efektif. Sebaliknya, bagi karyawan sistem

Manajemen Sumber Daya Manusia | 142


pengupahan tidak pelit. Dapat memuaskan, minimal kebutuhan dasar
mereka. Merujuk Schuster (1985), setidaknya ada tujuh kriteria bagi
keefektifan kompensasi, yaitu kompensasi harus:

a. Layak; kompensasi harus memenuhi persyaratan minimum


menurut pemerintah, serikat pekerja, dan manajer.
b. Adil; setiap orang harus dibayar secara adil sesuai dengan usaha,
kemampuan, dan keahlian mereka.
c. Seimbang; upah, tunjangan, dan penghargaan lain harus
memberikan suatu paket penghargaan total yang masuk akal.
d. Efektif berdasarkan pertimbangan biaya; upah tidak boleh
berlebihan, sesuai dengan kesanggupan organisasi
membayarnya.
e. Aman; upah harus cukup aman untuk membantu karyawan
merasa aman dalam memuaskan kebutuhan dasarnya.
f. Menyediakan insentif; upah harus dapat memotivasi kerja
efektif dan produktif.
g. Diterima karyawan; karyawan harus mengetahui sistem
pengupahan dan merasa sistem tersebut masuk akal baik bagi
perusahaan maupun bagi dirinya sendiri.

Ada dua pertimbangan kunci dalam sistem kompensasi yang


efektif. Pertama, sistem kompensasi harus adaptif (dapat beradaptasi)
terhadap situasi, sehingga sistem harus sesuai dengan lingkungan dan
mempertimbangkan tujuan, sumber daya, dan struktur organisasi.
Kedua, sistem kompensasi harus memotivasi para karyawan, sehingga
sistem harus dapat memuaskan kebutuhan para karyawan, dan
memastikan adanya perlakuan yang adil terhadap karyawan, serta
memberikan penghargaan terhadap kinerja. Ketika menyikapi atau
mempertimbangkan keberadaan kompetitor, seorang manajer atau
spesialis sumber daya manusia haruslah menjawab beberapa
pertanyaan, diantaranya: aspek lingkungan apakah yang akan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 143


mempengaruhi kompensasi? Apakah terjadi perubahan lingkungan
yang harus diikuti dengan perubahan kebijakan kompensasi? Apa
kebijakan kompensasi yang dimiliki oleh organisasi sama ataupun yang
berbeda lainnya? Serta bagaimana kompensasi harus diubah untuk
merespon kompetitor?

Dalam pandangan peneliti, gaji ataupun berbagai jenis


penghargaan lainnya akan bisa menjadi faktor penting dalam penentuan
apakah seorang karyawan akan loyal, resign ataupun bersemangat
melakukan pekerjaannya. Ketidakhadiran dan penurunan kinerja
karyawan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti ketidaknyamanan
lingkungan kerja serta kekecewaan terhadap struktur balas jasa
organisasi (Gaji, Insentif, Reward, Pengakuan) sebagai bentuk reaksi
dari kondisi tersebut sesuai dengan teori keadilan (Equity Theory). Pada
tataran praktis yang lebih detail, karyawan diberikan kesempatan untuk
tidak bekerja selama beberapa hari tertentu setiap tahunnya (karena
sakit atau izin meninggalkan kerja) tanpa kehilangan gaji mereka, juga
akan menjadi sebuah kompensasi yang efektif. Selain itu,
keterlambatan dan pulang kerja lebih cepat juga dapat menimbulkan
biaya seperti halnya ketidakhadiran, dan sering kali disebabkan oleh
faktor yang sama yaitu kekecewaan terhadap ketidakadilan struktur
balas jasa organisasi.

Edward Lawler membuat sebuah model berdasarkan teori


ekuitas yang mulai menjelaskan sebab-sebab kepuasan dan
ketidakpuasan gaji terhadap peningkatan kinerja karyawan. Menurut
Lawler, apabila para karyawan menyimpulkan dibayar terlalu sedikit,
mereka akan sering absen atau mengundurkan diri yang berakibat
terhadap penurunan kinerja. Dan jika mereka dibayar mahal atau besar,
maka mereka akan mengkompensasikan nya dengan bekerja lebih keras
yang berakibat terhadap peningkatan kinerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 144


Seandainya para karyawan melihat bahwa kerja keras dan
kinerja yang unggul diakui dan diberikan penghargaan oleh organisasi,
mereka akan mengharapkan hubungan itu berlanjut di masa depan.
Oleh karena itu, mereka akan melakukan atau memberikan kinerja yang
lebih tinggi dengan harapan mendapat kompensasi yang lebih besar.
Sebaliknya, sekiranya karyawan melihat dan merasakan adanya
hubungan yang lemah antara kinerja dan penghargaan, mereka
mungkin akan menentukan tujuan minimal untuk mempertahankan
pekerjaan mereka, tetapi tidak melihat perlunya menonjolkan dan
meningkatkan diri serta kinerja posisi mereka. Dalam hal ini karyawan
harus menerima hak-haknya sebagai karyawan yaitu imbalan atau
kompensasi setelah mereka menjalankan kewajiban. Kepentingan
organisasi harus terjamin dalam arti bahwa melalui pengarahan
kemampuan, keterampilan, pengetahuan, waktu dan tenaga para
karyawannya, organisasi dapat mencapai tujuan dan sasarannya yang
pada gilirannya memungkinkan organisasi tidak hanya sekedar
mempertahankan eksistensinya, melainkan juga untuk bertumbuh dan
berkembang, baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.
Kompensasi penting bagi karyawan sebagai individu karena
besarnya kompensasi mencerminkan ukuran nilai karya mereka di
antara karyawan itu sendiri, keluarga dan masyarakat. Kemudian
program kompensasi juga penting bagi organisasi, karena hal itu
mencerminkan upaya organisasi untuk mempertahankan sumber daya
manusia yang dimilikinya atau dengan kata lain, agar karyawan
mempunyai loyalitas dan komitmen yang tinggi pada organisasi.
Apabila suatu organisasi tidak mampu mengembangkan dan
menerapkan suatu sistem imbalan yang memuaskan, organisasi bukan
hanya akan kehilangan tenaga-tenaga terampil dan berkemampuan
tinggi, akan tetapi juga akan kalah bersaing di pasaran tenaga kerja.

Manajemen Sumber Daya Manusia | 145


BAB VII
MODEL MSDM REMAJA

A. Rasionalisasi Model
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) diartikan sebagai
rangkaian kegiatan mengelola manusia, mulai dari tahapan merekrut
hingga mengevaluasi agar SDM dapat memberikan manfaat demi
mencapai kesuksesan organisasi (Cobanoglu, & Sarkaya, 2018: 833;
Kwasi, 2014; Islam, 2016; Odionye, 2014). Akan tetapi, penerapan
konsep MSDM pada setiap organisasi akan menghasilkan tingkat
keberhasilan yang berbeda (Arabpoor, 2015). Al-Ghamdi (2009) dalam
penelitiannya tentang kekuatan dan kelemahan fungsi manajemen
sumber daya manusia, serta faktor utama yang menghambat fungsi
manajemen sumber daya manusia mengungkapkan bahwa hambatan
tinggi yang dihadapi MSDM yaitu rentang organisasi yang terlalu
panjang. Bawahan tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan
karena jalur birokrasi yang besar dan bertingkat. Tentunya, jika jalur
birokrasi tersebut dipotong/dipangkas, maka akan menjadi suatu jalan
keluar yang tepat.
Selain sistem prosedur yang berlapis, eksekusi juga dapat
dihambat oleh berbagai proses yang tidak adil dan metriks (pengukuran
aktivitas) yang rumit. Mungkin orang yang bekerja lebih keras kurang
dihargai. Sementara yang tidak terlibat langsung malahan mendapat
penghargaan. Meskipun hanya berupa kata pujian, pengakuan terhadap
siapa yang turut bekerja mendatangkan sukses perlu dilakukan.
Hassouna (2007) menyebutkan tantangan implementasi konsep
Manajemen Sumber Daya Manusia diantaranya adalah perubahan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 146


struktur organisasi yang dapat mengakibatkan ledakan populasi, tata
budaya dan sistem sosial yang kompleks serta akan mempengaruhi karir
dan etos kerja. Sebaliknya, pada organisasi dengan ketersediaan SDM
yang terbatas, karena ingin melakukan beberapa tujuan sekaligus,
penggunaan sumber daya menjadi terpecah. Akibatnya, setiap divisi
tidak ada yang dapat berhasil secara maksimal. Ini pun bisa berakibat
adanya berbagai prioritas yang tidak saling mendukung, bahkan ada
kesan saling bertentangan.
Saat ini, kesuksesan organisasi sangat terkait langsung dengan
SDM yang mereka akan dan telah rekrut. Pengadaan SDM sangat
penting tidak hanya untuk keunggulan kompetitif berkelanjutan tetapi
juga untuk kelangsungan hidup organisasi (Taylor & Collins, 2000).
Dengan adanya persaingan dan kurangnya ketersediaan SDM yang
terampil menjadikan pengadaan dan retensi karyawan yang berbakat
menjadi prioritas utama bagi organisasi (Flegley, 2006). Untuk
mengatasi masalah tersebut, penerapan strategi pengadaan dan retensi
yang cerdas, akan memastikan institusi terorganisir secara optimal, dan
kinerja SDM pun tetap berada pada tingkat yang sehat.
Banyak ahli terkemuka dalam dunia bisnis sepakat bahwa salah
satu cara terbaik untuk menjaga agar loyalitas pegawai adalah
memastikan sejak awal bahwa orang yang dipekerjakan tepat untuk
pekerjaan tersebut (Sagwe, 2019; Ployhart, 2006). Artinya, organisasi
harus memilih pegawai yang benar-benar memiliki kualifikasi dan
kepribadian yang tepat untuk pekerjaan yang ditawarkan akan
memastikan bahwa mereka belajar lebih cepat, bekerja lebih baik, dan
yang paling penting, merasa lebih betah dan bahagia dengan peran baru
mereka. Program pengadaan didefinisikan sebagai proses pencarian
bakat yang memuat aspek perencanaan SDM dan proporsi nilai pegawai
(Ronn, 2007). Sedangkan program retensi bermanfaat untuk
mempertahankan pegawai terbaik agar tetap loyal. Untuk mewujudkan

Manajemen Sumber Daya Manusia | 147


program retensi tersebut, dua faktor utama yang perlu diperhatikan
yaitu: employer branding (daya jual pimpinan atau manajer) dan
kebijakan organisasi seperti: kebijakan tentang sistem rewarding,
pengembangan karir, penyediaan sarana-prasarana yang mendukung,
kultur organisasi dan lain-lain (Cho et al., 2006; Hinkin & Tracey,
2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Perera (2016) menyimpulkan
bahwa ada efek positif antara pengadaan dan retensi karyawan di
perusahaan pakaian Apparel di Distrik Kandy. Oleh karena itu, Perera
menyarankan Apparel untuk memberi perhatian lebih pada praktik
perekrutan ini sehingga retensi karyawan bisa ditingkatkan. Sedangkan
Oduor (2009) dalam temuan penelitiannya menunjukkan bahwa tidak
ada pengaruh yang signifikan dari program pengadaan SDM terhadap
turnover SDM. Kesimpulan Oduor bertentangan dengan pernyataan
yang dibuat oleh divisi kepegawaian dan pengembangan butik Sales
Ladies. Oleh karena itu, Oduor merekomendasikan peneliti lain untuk
melakukan penyelidikan lebih lanjut di lokus yang berbeda. Sementara
itu, berdasarkan wawancara peneliti kepada beberapa dosen dan Ketua
Program Study di STIKES Avicenna menyatakan jika proses
pengadaan yang baik seyogyanya akan mempengaruhi retensi dosen.
Jika dosen direkrut melalui prosedur yang benar maka loyalitas mereka
akan terjaga hingga akhir, karena keputusan mereka berafiliasi ke
STIKES Avicenna Kendari bukan karena “permintaan” pihak-pihak
tertentu.
Penelitian lain juga dilakukan Fidelis (2011). Dalam
penelitiannya Fidelis merumuskan jika keberhasilan tim manajemen
rumah sakit Misericordiae di Nairobi Kenya dalam memelihara
karyawan disebabkan karena mereka memaksimalkan program-
program retensi SDM seperti: menyiapkan lingkungan kerja yang
kondusif, sistem rewarding yang seimbang, pengembangan kompetensi

Manajemen Sumber Daya Manusia | 148


dan lain-lain. Sedangkan Liu & Wang (2006) menyimpulkan jika
faktor yang mempengaruhi turnover yaitu: usia, jenis kelamin,
perkawinan, level pendidikan dan telah lama bekerja. Akan tetapi,
dalam pengujian mereka, juga menemukan jika program retensi seperti:
keamanan pekerjaan, pengembangan kompetensi, dan lingkungan kerja
(fisik dan psikis) juga memberikan andil apakah seseorang akan keluar
atau tetap tinggal.

Berdasarkan konsep, penelitian-penelitian terdahulu dan bukti


lapangan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa:

1. Perencanaan SDM dan proporsi nilai pegawai sebagai prediktor


(input) program pengadaan SDM.
2. Employer branding dan kebijakan organisasi sebagai prediktor
(input) program retensi SDM
3. Program pengadaan tidak secara langsung mempengaruhi
turnover, akan tetapi pengadaan mempengaruhi dan memiliki
hubungan dengan retensi.

Berdasarkan narasi-narasi di atas, maka Model Retensi SDM


“REMAJA” (Rekrut Manusia dan Jaga) dikembangkan. Penamaan
remaja karena berdasarkan kesimpulan Baron & Greenberg (2008)
bahwa masa remaja merupakan periode puncak produktifitas manusia.
Penulis berharap, aplikasi dari model ini akan selalu menjadikan
organisasi selalu dalam performa terbaik sehingga bisa dicapai
produktifitas yang maksimal. Adapun model yang Model Retensi SDM
“REMAJA” sebagaimana pada gambar di bawah ini:

Manajemen Sumber Daya Manusia | 149


Model Retensi SDM REMAJA (Rekrut Manusia dan Jaga), Nasir
(2019)

150 | Manajemen Sumber Daya Manusia


B. Aspek-aspek Model
Program pengadaan didefinisikan sebagai proses pencarian
bakat yang memuat aspek perencanaan SDM dan proporsi nilai pegawai
(Ronn, 2007). Sedangkan program retensi bermanfaat untuk
mempertahankan pegawai terbaik agar tetap loyal yang meliputi:
employer branding (daya jual pimpinan atau manajer) dan kebijakan
organisasi (Cho et al., 2006; Hinkin & Tracey, 2000). Poin-poin berikut
merupakan penjelasan aspek-aspek pada model yang dikembangkan.

1. Pengadaan SDM
a. Perencanaan SDM
Jackson dan Schuler (1990) mendefinisikan perencanaan
SDM (Human Resource Planning) yaitu proses langkah awal
manajemen menetapkan arah organisasi ke mana seharusnya
bergerak. Oleh karena itu, perencanaan SDM seharusnya
merupakan proses linier; menggunakan data dan proses masa lalu
(shortterm) sebagai pedoman perencanaan di masa depan (long-
term). Manajemen harus berusaha untuk mendapatkan orang yang
tepat, dalam jumlah yang tepat, ditempatkan pada tempat yang
tepat dan pada saat yang tepat. Manajemen juga harus berusaha
untuk melakukan hal-hal yang menghasilkan kepuasan maksimum
jangka panjang baik bagi organisasi maupun individu.

Dalam model perencanaan SDM Alwi (2001), disebutkan


tahapan-tahapan perencanaan SDM, yaitu: 1) analisa kebutuhan; 2)
identifikasi jumlah karyawan; 3) analisa keseimbangan; dan 4)
program aksi. Analisa kebutuhan dilakukan melalui metode
forecasting (kuantitatif dan kualitatif) yang berguna untuk
memperoleh informasi jumlah karyawan yang dibutuhkan.
Identifikasi jumlah karyawan bisa diperoleh dari daftar jumlah
karyawan pada berbagai level (manajerial dan non-manajerial), dan

cli | Manajemen Sumber Daya Manusia


sistem informasi manajemen SDM. Tujuannya adalah
mendapatkan informasi jumlah kelebihan dan kekurangan SDM.
Tahapan analisa keseimbangan bermanfaat untuk mengetahui info
jumlah karyawan yang harus direkrut. Informasi tersebut bisa
didapatkan dari data karyawan pensiun, dan karyawan
mengundurkan diri. Adapun program aksi yang meliputi:
penarikan, seleksi, penempatan, pelatihan dan pengembangan bisa
dengan mengintegrasikan saluran media masa dan teknologi.

Proses dari uraian di atas secara sederhana dapat di lihat dalam gambar
di bawah ini:

Proyeksi kebutuhan Metode forecasting Informasi jumlah


dalam waktu - Kuantitatif karyawan yang
- Kualitatif dibutuhkan
tertentu

Indetifikasi jumlah Sumber Informasi jumlah


karyawan yang ada - Data karyawan aktif kelebihan dan
dalam organisasi saat ini - Sistem informasi kekurangan SDM
manajemen SDM
-

Analisa kesimbangan Tentang jumlah Jumlah karyawan yang


permintaan dan karyawan pensiun, harus direkrut
penawaran mengundurkan diri,
diganti, dan tersedia

Implementasi program;
Program aksi Metode pendekatan penarikan, seleksi,
atau sistem yang penempataan, pelatihan
digunakan dan pengembangan

Gambar 12
Model Perencanaan SDM (Safarudin Alwi, 2001)

Manajemen Sumber Daya Manusia | clii


b. Proporsi Nilai
Proporsi nilai dalam hal ini bermaksud menyelaraskan
motif calon pegawai dan organisasi sebagai yang mempekerjakan
(employer). Nilai pribadi merupakan muara dari persepsi yang
terbentuk dari apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan,
dan pengalaman-pengalaman (Kotler, 2000). Menurut Kotler,
persepsi sebagai proses bagaimana individu menyaring, mengatur
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk
menghadirkan gambaran keseluruhan yang berarti. Setiap individu
memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun
objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih
penting daripada situasi itu sendiri. Oleh karena itu, persepsi atau
nilai pribadi akan sangat berhubungan dengan preferensi.

Berdasarkan teori ekspektasi yang dikembangkan oleh


Victor H. Vroom menegaskan bahwa orang secara sadar memilih
tindakan tertentu, berdasarkan persepsi, sikap, dan kepercayaan.
Gagasan dasar dari teori ini adalah bahwa orang bergabung dengan
organisasi dengan harapan keinginannya akan terpenuhi dalam
organisasi (Daly, dkk, 2006). Teori Vroom ini memberikan
penjelasan mengapa individu memilih satu opsi perilaku daripada
yang lain. Gagasan dengan teori ini adalah bahwa orang
termotivasi untuk melakukan sesuatu karena mereka pikir tindakan
mereka akan mengarah pada hasil yang diinginkan (Redmond,
2010).
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, pemberi kerja harus
mempunyai asumsi berkenaan dengan kandidat tenaga kerja
mereka. Asumsi-asumsi tersebut meliputi: Pertama, orang
bergabung dengan organisasi dengan harapan tentang kebutuhan,
motivasi, dan memperbaiki pengalaman masa lalu mereka.
Harapan ini mempengaruhi reaksi mereka terhadap organisasi dan

Manajemen Sumber Daya Manusia | cliii


kondisi kerjanya. Kedua, pemberi kerja mengasumsikan bahwa
perilaku seseorang adalah hasil dari pilihan sadar. Ini menyoroti
bahwa individu bebas untuk memilih perilaku tersebut sesuai
dengan harapan mereka sendiri. Asumsi ketiga adalah bahwa
orang yang berbeda mengharapkan hal-hal yang berbeda dari
organisasi, seperti gaji yang baik, peningkatan, keamanan
pekerjaan, kebebasan dan tantangan pekerjaan. Asumsi terakhir
adalah bahwa orang memilih di antara peluang dan alternatif yang
ada untuk mengoptimalkan harapan pribadi dan hasil pekerjaan
mereka.

2. Retensi SDM
a. Employer Branding
Lloyd (2002) mendefinisikan employer branding
didefinisikan sebagai usaha maksimal dari organisasi (pemimpin)
untuk meyakinkan kepada semua pegawainya, baik pegawai yang
sudah ada maupun calon pegawai bahwa perusahaan mereka
adalah tempat yang layak dan diinginkan oleh orang banyak untuk
bekerja. Employer Branding bisa juga diartikan sebagai keunikan,
identitas dan nilai yang dibangun oleh organisasi yang
membedakan mereka dari kompetitornya (Ferizal, 2016).

Menurut Berthon, Ewing & Hah (2005), organisasi harus


menginvestasikan segala upaya untuk mengembangkan employer
branding karena akan meningkatkan daya tawar serta minimalisasi
biaya rekrutmen. Label organisasi yang berkualitas akan menjadi
daya pikat organisasi untuk kepuasan kerja yang bisa dirasakan
para pegawai. Sebagaimana rumusan Spence (1974) yang dikenal
dengan kerangka kerja konseptual ekuitas merek berbasis
karyawan menerangkan bagaimana employer branding bekerja

Manajemen Sumber Daya Manusia | cliv


dalam melahirkan ketertarikan pegawai sebagaimana gambar di
bawah ini:

Gambar 13
Kerangka Konseptual employer branding

Employer branding harus dikembangkan dengan upaya-


upaya yang jelas dan terukur. Lebih dari itu, upaya-upaya tersebut
harus dilakukan secara berkelanjutan. Sinyal employer branding
ini mengurangi biaya informasi karyawan potensial, dan
mempengaruhi persepsi mereka tentang kualitas pekerjaan, dan
risiko yang terkait untuk bergabung dengan perusahaan. Sinyal-
sinyal ini menciptakan utilitas yang diharapkan untuk karyawan
potensial, yang juga dapat digunakan sebagai daya tarik
perusahaan.

Backhaus dan Tikoo (2004: 502) mengajukan strategi yang


bisa dipakai untuk memproduksi employer branding meliputi tiga
tahapan proses yaitu:
1) Perusahaan mengembangkan konsep proposisi nilai yang akan
ditawarkan kepada calon karyawan dan karyawan yang sudah
ada. Dalam hal ini, informasi mengenai budaya organisasi,

Manajemen Sumber Daya Manusia | clv


gaya manajemen, deskripsi pekerjaan, kualitas karyawan saat
ini, dan nilai yang ditawarkan. Dengan demikian, pekerja bisa
bahwa mereka memilih tempat yang tepat untuk berafiliasi.
2) Melakukan negosiasi kepada pihak eksternal bahwa
perusahaan memiliki proposisi nilai menarik bagi pelamar
kerja yang menjadi target melalui perekrutan.
3) Membangun janji dari brand secara internal dan
melibatkannya sebagai bagian dari budaya organisasi
4) Development Value atau perusahaan mengakui prestasi
karyawannya dan memberikan pengalaman karir yang dapat
meningkatkan kemampuan bertindak dalam bekerja untuk
masa depan.
5) Application Value atau perusahaan memberikan penawaran
kepada karyawan untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan mereka di tempat kerja serta memberikan
pengajaran melalui pelatihan dan mentoring

b. Kebijakan organisasi
Untuk memelihara turnover, Allen (2008) menyebutkan
bahwa kebijakan organisasi menjadi salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan strategi retensi. Menurut
Allen, analisis turnover yang efektif yaitu memeriksa tiga
pertanyaan: (1) Berapa banyak orang yang pergi (turnover rate)?
(2) Siapa yang pergi? (3) Berapa biaya dan manfaat dari turnover
organisasi saat ini? Kebijakan organisasi meliputi segala usaha
yang bisa memberikan tawaran menarik bagi para pekerja untuk
tetap tinggal dan bekerja, seperti: penghargaan dan pengakuan,
kompensasi, kualitas lingkungan kerja, tugas yang menantang, dan
program pengembangan diri (Herbert dan Timothy, 2006).

a) Penghargaan dan Pengakuan

Manajemen Sumber Daya Manusia | clvi


Pengakuan dan penghargaan dipercayai sebagai
motivator utama bagi setiap pegawai (Pearson & Porath,
2005). Bahkan, ketika mereka diminta untuk menceritakan
pengalaman yang paling berharga berafiliasi pada sebuah
perusahaan, maka pengalaman yang paling berkesan bagi
mereka adalah ketika pimpinan memberikan pengakuan dan
penghargaan atas kinerja mereka. Memberikan Pengakuan dan
penghargaan kepada bawahan akan berdampak pada
peningkatan produktivitas, komitmen dan kinerja secara
keseluruhan. Sebagaimana Piccolo, dkk, (2012)
mendefinisikan penghargaan sebagai faktor yang efektif untuk
meningkatkan frekuensi dari suatu tindakan karyawan.
Sebuah penelitian melaporkan tujuan utama dari
pengakuan dan penghargaan adalah untuk peningkatan retensi
karyawan. Kurangnya pengakuan, penghargaan dan juga
kesempatan pengembangan karir adalah alasan utama orang
meninggalkan sebuah lembaga/organisasi (Alfred, dkk, 2004).
Pengakuan dan penghargaan yang diberikan secara konsisten
adalah faktor kunci dalam mempertahankan kinerja terbaik
karyawan (Podsakoff, 2000). Banyak kajian yang berkembang
khususnya dalam bidang ekonomi dan mempelajari
penghargaan terhadap karyawan sebagai bukti empiris dari
solusi yang optimal. Menurut Simon (2007), pemberian
penghargaan dapat menurunkan ketidakhadiran karyawan
sebesar 52%. Selain itu, Shipler (2004) membandingkan
pengaruh imbalan finansial dan non finansial dan menemukan
bahwa penghargaan non keuangan memiliki efek positif.
Penghargaan mempengaruhi perilaku, penerima penghargaan
secara signifikan meningkatkan kinerja mereka di bulan

Manajemen Sumber Daya Manusia | clvii


berikutnya setelah penghargaan, sedangkan kinerja non
penerima tetap tidak terpengaruh.
Keberadaan karyawan yang loyal dan berprestasi
dalam sebuah perusahaan akan turut menunjang kemajuan
bersama. Layaknya aset yang berharga, keberadaan karyawan
yang unggul perlu diberikan perlakuan khusus agar karyawan
lainnya akan terpacu dan termotivasi untuk mengikuti
jejaknya. Perlakukan khusus tersebut dapat berupa pemberian
penghargaan atau reward. Penghargaan akan diberikan kepada
karyawan loyal atau berprestasi yang berhasil menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Pemberian penghargaan bagi karyawan
merupakan suatu tanda apresiasi dari perusahaan dan bertujuan
untuk menaikkan motivasi karyawan lain agar bisa berhasil
juga.

b) Lingkungan Kerja yang Berkualitas


Dalam instansi atau perusahaan manapun akan selalu
berupaya agar lingkungan kerja selalu dalam suasana kerja
yang harmonis. Lingkungan kerja yang harmonis sebenarnya
bukan hanya menjadi harapan para pimpinan saja, tetapi juga
seluruh tenaga kerja dalam instansi atau perusahaan.
Lingkungan kerja yang harmonis akan membawa keuntungan
bagi perusahaan atau instansi. Lingkungan kerja yang
berkualitas (QWL) memberikan kesejahteraan karyawan dan
sinergi manajemen dan pekerja tidak kaku (Scobel, 1975).

Merujuk pada Robins (1990), dengan mengembangkan


mekanisme lingkungan kerja yang berkualitas akan membantu
keputusan pegawai tetap di tempat kerja. Sedangkan Tyssen
(2005) menghubungkan lingkungan kerja dengan ruang, tata
letak fisik, kebisingan, alat-alat, bahan-bahan, hubungan rekan

Manajemen Sumber Daya Manusia | clviii


sekerja serta kualitas dari semuanya ini mempunyai dampak
positif yang penting pada kualitas kerja yang dihasilkan.
Maksudnya adalah seorang pegawai yang sedang bekerja pada
lingkungan kerja dengan penuh dukungan kepadanya agar
bekerja dengan secara optimal akan membuahkan hasil kinerja
yang memuaskan atau baik, akan tetapi sebaliknya apabila
seorang pegawai yang sedang bekerja pada lingkungan kerja
yang dinilai tidak layak serta tidak penuh dukungan kepadanya
agar bekerja dengan secara optimal akan membuahkan hasil
kinerja pegawai tersebut tidak memuaskan (rendah) seperti
pegawai jadi pemalas, sering tertidur dan hal buruk lainnya.

Kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai


apabila manusia dapat melaksanakan kegiatan secara optimal,
sehat, aman, dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat
dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama lebih jauh lagi
lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat
menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak
mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien
(Sedarmayanti, 2001). Lebih lanjut, Sedarmayanti membagi
lingkungan kerja dalam dua bagian, yaitu: 1) lingkungan kerja
fisik atau keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar
tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara
langsung maupun tidak langsung; dan 2) lingkungan kerja non
fisik atau semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan
hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan, maupun
hubungan dengan sesama rekan kerja ataupun hubungan
dengan bawahan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clix


c) Kompensasi yang Mensejahterakan
Poin ini membahas persoalan kompensasi dan benefit
menjadi bagian yang tak terpisahkan. Di dalamnya, komponen
upah atau gaji memainkan peran penting bagaimana organisasi
menunjukkan penghargaan kepada karyawan. Penghargaan
atau reward termasuk hal yang penting juga, yang sebaiknya
diberikan pada karyawan, namun jika mereka berhasil
mencapai prestasi tertentu. Tentunya reward yang diberikan
harus sesuai kebutuhan emosional karyawan, serta wajib
melampaui kompensasi moneter karyawan tersebut. Dengan
memberikan reward, maka semua karyawan pun akan dapat
ikut serta di kontribusi pada budaya positif serta bisa menjadi
alat untuk pembangun moral positif karyawan.

Salah satu tujuan seseorang menjadi pegawai atau


buruh suatu perusahaan adalah untuk mendapatkan
penghasilan dalam bentuk upah atau kompensasi. Upah yang
diperoleh harus dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, dan perumahan (Kanzunnudin, 2007;
Bester & Petrakis, 2003). Aspek upah menjadi penting karena
menjadi efektif jika dikaitkan dengan kinerja secara nyata.
Strategi pengupahan yang efektif diharapkan berkontribusi
pada kelayakan unit kerja, realisasi visi dan misi, serta untuk
pencapaian target kerja (Umar, 2012). Tidak dapat dipungkiri
jika motif utama bekerja adalah mendapatkan gaji yang layak
untuk dapat memenuhi kebutuhan. Motif lainnya adalah untuk
mendapatkan pengalaman kerja, terutama bagi para pendatang
baru di dunia kerja. Ada juga yang bekerja dengan tujuan
untuk mengembangkan karir atau untuk aktualisasi diri.
Namun demikian, faktor gaji adalah alasan utama yang
mendasari orang untuk bekerja (Blanchard, 2006).

Manajemen Sumber Daya Manusia | clx


Borjas (2010: 86) menyebutkan prinsip pengupahan
dan penggajian diantaranya: 1) Tingkat bayaran bisa
diberikan tinggi, rata-rata atau rendah bergantung pada kondisi
perusahaan. Artinya, tingkat pembayaran bergantung pada
kemampuan perusahaan membayar jasa pegawainya; dan 2)
Penentuan bayaran individu perlu didasarkan pada rata-rata
tingkat bayaran, tingkat pendidikan, masa kerja, dan prestasi
kerja pegawai. Berdasarkan hal di atas, manajer perlu berhati-
hati dalam berinovasi menentukan struktur gaji karyawan.
Sangat penting memperhatikan aturan atau regulasi yang
berlaku. Sebagaimana dalam PP 78/2015 Pasal 5
mengilustrasikan jika perusahaan perlu memastikan jumlah
“gaji tetap” karyawan tidak boleh di bawah upah minimum
yang diberlakukan pemerintah.

d) Tugas yang Lebih Menantang


Pekerjaan yang berulang-ulang dilakukan setiap hari
akan mengakibatkan seseorang bosan lalu berusaha berhenti
dari pekerjaannya tanpa alasan jelas. Penting bagi pemimpin
untuk memastikan bawahannya mempunyai motivasi kerja.
Dengan adanya motivasi kerja maka rasa bosan akan teratasi
karena fitrah manusia pasti memiliki titik jenuh dalam tiap
aktivitas rutin mereka. Oleh karena itu, memberikan
kesempatan kepada bawahan untuk menunjukkan
kemampuannya bisa menjadi solusinya, misalnya dengan
pengalaman tugas yang lebih menantang. Tugas yang
menantang didefinisikan oleh Davies & Easterby-Smith
(1984) merujuk pada aktivitas kerja yang membutuhkan cara-
cara khusus untuk menghadapinya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxi


Penelitian menunjukkan bahwa di antara jenis
pengalaman kerja yang dimiliki orang, pengalaman kerja yang
menantang mempunyai berkontribusi pada pengembangan
karir individu (Berlew & Hall, 1966; Tesluk & Jacobs, 1998).
Pengalaman kerja yang menantang melahirkan motivasi
kepada individu untuk belajar (McCauley, dkk, 1994),
menghasilkan pengembangan berbagai keterampilan,
kemampuan, wawasan, pengetahuan, dan nilai-nilai (McCall,
Lombardo, & Morrison, 1988), juga mengembangkan
kapasitas manajerial individu (London, 2002). Pengalaman
kerja yang menantang juga dapat menjadi sumber penting
untuk evaluasi promotability; karyawan yang melakukan
tugas-tugas menantang menunjukkan lebih banyak kemauan
untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi daripada mereka
yang melakukan yang tugas-tugas sederhana.

e) Pengembangan Diri
Pengembangan diri pegawai berarti mengembangkan
kemampuan seorang pegawai dan muaranya adalah organisasi
akan lebih berkembang dan kinerja karyawan akan meningkat
(Elena, 2000). Oleh karena itu, ada hubungan langsung antara
pengembangan diri karyawan dan kinerja mereka. Ketika
karyawan berkembang, mereka akan lebih puas dengan
pekerjaan, lebih berkomitmen dengan pekerjaan dan kinerja
akan meningkat. Ketika kinerja karyawan akan meningkat, ini
akan mengarah pada efektivitas organisasi (Champathes,
2006).

Pengembangan diri karyawan merupakan tanggung


jawab pribadi karyawan. Karyawan di semua level terlibat
dalam kegiatan pengembangan baik karyawan level atas,

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxii


karyawan level menengah atau bawah (Antonacopoulou
1996). Ketika keinginan untuk mengembangkan diri datang
dari pegawai, maka mereka akan belajar lebih giat;
berpartisipasi dalam banyak kegiatan seperti menghadiri
seminar, lokakarya dan sesi pelatihan lainnya, baik di tempat
kerja atau di luar pekerjaan. Sebaliknya, jika orang atau
karyawan tidak mau berkembang, maka seberapapun support
yang diberikan oleh organisasi tidak akan berdampak. Selain
itu, pengembangan karyawan berhubungan dengan budaya
organisasi, sikap manajemen puncak, dan peluang promosi
yang terbatas. (Elena, 2000; Antonacopoulou & FitzGerald,
1996). Jika budaya organisasi mendukung karyawan, hal
tersebut akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan dengan demikian karyawan akan lebih
berkembang dan kinerja akan meningkat. Sikap top
manajemen juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi
aktivitas pengembangan karyawan. Selanjutnya adalah
peluang promosi terbatas. Jika peluang promosi terbatas maka
karyawan tidak akan berpartisipasi dalam kegiatan
pengembangan karyawan.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa pengembangan sumber
daya manusia dapat didefinisikan sebagai inisiatif bersama
antara pekerja dan pemberi kerja (atau manajemen
perusahaan) untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan individu yang ada. Pengembangan SDM ini
sangat penting bagi organisasi/perusahaan dan juga bagi
karyawan yang bersangkutan. Karyawan perlu mengikuti
perkembangan terbaru dalam industri untuk dapat bertahan
dari persaingan yang ketat. Sedangkan perusahaan
memerlukan sumber daya manusia yang terampil dan

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxiii


memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan organisasinya. Pengembangan SDM ini membantu
mengembangkan dan memelihara karyawan agar mereka
menjadi sumber daya yang andal dan pada akhirnya
bermanfaat bagi organisasi. Karyawan juga akan
mengembangkan rasa keterikatan terhadap organisasi sebagai
hasil dari kegiatan pengembangan SDM.

C. Pengujian Model
Pengujian model dilakukan untuk melihat persentase
“kelayakan” model retensi pegawai atau karyawan. Sebagaimana
Rangkuman Pengujian Model Menggunakan Survey Online Google
Form, tabel rangkuman tersebut memuat 2 (dua) informasi utama.
Informasi pertama yaitu jenis partisipan yang terdiri dari: dosen, guru,
pegawai atau karyawan. Semua partisipan dalam survey ini merupakan
pekerja (tetap dan honor) di institusi swasta dan negeri (Bukan Pegawai
Negeri Sipil). Sedangkan informasi kedua adalah persentase dari
masing-masing aspek model. Adapun aspek-aspek dalam model
tersebut terdiri dari 4 (empat) aspek, yaitu: 1) perencanaan SDM, 2)
proporsi nilai, 3) Employer branding, dan 4) kebijakan organisasi.
Aspek perencanaan SDM meliputi indikator: desain
perencanaan, proyeksi kebutuhan, identifikasi jumlah pegawai, analisa
keseimbangan, dan program aksi. Proporsi nilai meliputi kompleksitas
dari nilai personal dan kultur organisasi. Aspek employer branding
harus dikembangkan dengan upaya-upaya yang jelas dan terukur. Lebih
dari itu, upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan.
Sedangkan aspek kebijakan organisasi meliputi; pengakuan dan respek,
lingkungan kerja yang kondusif, kompensasi yang mensejahterakan,
fleksibilitas waktu, tugas yang menantang, serta program
pengembangan diri. Selanjutnya, penulis menghadirkan chart

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxiv


persentase survey respon yang diperoleh dari para partisipan
sebagaimana gambar-gambar di bawah ini:

Gambar 14
Respon Survey Aspek Perencanaan SDM

Gambar 15
Respon Survey Aspek Proporsi Nilai

Gambar 16
Respon Survey Aspek Employer Branding

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxv


Gambar 17
Respon Survey Aspek Kebijakan organisasi

Gambar 13, 14, 15 gambar 16 di atas menunjukkan bahwa


aspek-aspek yang dihadirkan ke dalam Model Retensi SDM REMAJA,
diterima dengan sangat positif. Sikap positif tersebut ditunjukkan
dengan angka persentase opsi “setuju & sangat setuju” dipilih oleh
mayoritas partisipan. Pada aspek perencanaan SDM, 88 partisipan
memilih sangat setuju, dan 34 partisipan memilih setuju (68.8% +
26,6% atau 95.4%). Aspek proporsi nilai opsi sangat setuju & setuju
diperoleh persentase 50% dan 35.9%, totalnya yaitu 85.9%. Aspek
ketiga, 84 (65.6%) dari 128 partisipan memilih sangat setuju, dan 34
(26.6%) partisipan memilih setuju. Sedangkan aspek kebijakan
organisasi, ada 65.6% untuk sangat setuju, dan 26.6% setuju. Jika opsi
sangat setuju & setuju (95.4%, 85.9%, 92.2% dan 92.2%). Jika
persentase tersebut dimaknai sebagai perilaku “menerima”, maka
Model Retensi SDM REMAJA dalam bahasan ini adalah SANGAT
LAYAK. Sebagaimana tabel konversi tingkat pencapaian dan
kualifikasi berdasarkan Sugiyono (2013) pada tabel 7 bab III
menempatkan tingkat capaian 81 – 100% dengan keputusan sangat
layak.
Dikatakan sebelumnya bahwa survey online model, juga
membuka ruang bagi para partisipan mengemukakan variabel-variabel
lain yang bisa mengikat seseorang tetap loyal dan berkomitmen pada

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxvi


sebuah perusahaan/institusi. Umumnya, pendapat para partisipan
menguatkan beberapa aspek dalam kerangka model yang telah disusun
oleh peneliti. Sedangkan pendapat atau masukan lainnya memberikan
contoh yang lebih spesifik. Contoh yang paling signifikan masukan
yang menyebutkan bahwa kualitas lingkungan kerja juga meliputi
penyediaan fasilitas ibadah di lingkungan tempat kerja serta
kesempatan untuk beribadah seperti waktu shalat (bukan menyisipkan
waktu di sela istirahat).

D. Kelebihan dan Kekurangan Model


Model ini merupakan abstraksi yang berasal dari pembahasan
temuan-temuan penelitian di lapangan. Dua aspek utama dari konsep
MSDM disebutkan dalam model ini yaitu: pengadaan dan retensi
sumber daya manusia. Kedua aspek tersebut bermanfaat untuk
memaksimalkan pengelolaan SDM pada organisasi. Meskipun
demikian, terdapat kelebihan dan kekurangan dari model di atas.
Kelebihan pertama ada pada fungsi pengadaan. SDM
mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status, latar belakang
pendidikan, usia dan jenis kelamin yang heterogen yang dibawa ke
dalam organisasi. Pokok bahasan utama pada fungsi pengadaan adalah
proses dimana penarikan, seleksi dan penempatan, orientasi dan induksi
untuk mendapatkan SDM yang efektif dan efisien membantu
tercapainya suatu tujuan organisasi. Pengadaan SDM merupakan
langkah pertama dan yang mencerminkan berhasil tidaknya suatu
perusahaan mencapai tujuannya. Jika SDM yang diterima kompeten,
maka usaha untuk mewujudkan tujuan akan mudah. Sebaliknya, apabila
karyawan yang diperoleh dibawah syarat yang standarkan, maka akan
sulit bagi perusahaan mencapai tujuannya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxvii


Pengadaan SDM ini harus mendapat perhatian yang serius serta
didasarkan pada analisis pekerjaan (job analysis), uraian pekerjaan (job
description), spesifikasi pekerjaan (job specification), persyaratan
pekerjaan (job requirement), dan evaluasi pekerjaan (job evaluation),
pengayaan pekerjaan (job enrichment), perluasan pekerjaan (job
enlargement), dan penyederhanaan pekerjaan (work simplification).
Dalam model hipotetik yang ditawarkan, tahapan-tahapan di atas
dirangkum ke dalam aspek rencana bisnis dan proporsi nilai. Mencari
talenta terbaik untuk organisasi seperti berada di arena pertarungan.
Namun, mempertahankan SDM agar tidak berpaling ke perusahaan lain
adalah sebuah tantangan karena organisasi lain juga pasti menginginkan
SDM terbaik dan cerdas.
Keunggulan kedua yaitu pada aspek retensi. Dari banyak hasil
penelitian bahwa: dewasa ini, masa kerja pegawai menjadi kian pendek.
Dibandingkan masa-masa dahulu, seorang pegawai bisa bertahan
sampai 10 tahun, atau sekurang-kurangnya 5 tahun. Namun, Saat ini
rata-rata karyawan bertahan hanya 2 – 3 tahun saja, itu pun sudah
termasuk lama. Penyebabnya, ternyata gaji bukanlah alasan utama
mereka keluar. Namun, hubungan dengan atasan adalah akar
masalahnya. Jadi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan retensi
pegawai adalah: pertama, memelihara hubungan pegawai dengan
pimpinan. Kedua, SDM butuh progres. Mereka butuh melihat progres
atas apa yang mereka sudah kerjakan, baik untuk hidupnya maupun
pekerjaannya. Semakin pemimpin bisa menumbuhkan sense of
progress tersebut, maka akan semakin loyal pula para pekerja. Selain
progres, ada kebutuhan-kebutuhan yang bisa dimanfaatkan oleh
Cosmoners sebagai leader untuk meretain, yaitu Route MAP. Oleh
karena itu, retensi SDM dalam model ini menekankan pada peran
seorang pemimpin.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxviii


Menstimulasi loyalitas pegawai, pemimpin perlu membuat
mereka semua menikmati bekerja di perusahaan tersebut. Selain itu,
mengembangkan sebuah budaya organisasi yang “tahan banting”, dan
sesuai nilai organisasi juga akan mampu menjadi cara terbaik untuk
menumbuhkan loyalitas pegawai. Banyak leader gagal membangun
kekhasan dan kultur organisasi akibat dari kompleksitas tanggungjawab
yang harus dipikul. Oleh karena itu, model ini menitikberatkan pada
peran leader dalam pengelolaan SDM. Rekomendasi penulis terkait
model ini perlu diujicobakan di berbagai bentuk organisasi, sehingga
pembenahan dan penyempurnaan model bisa dilakukan.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxix


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Abo Alnaser, Medhat. (2009). "Human resource Development".
International Rawabed for Publishing and Distributers: Cairo.
Albaqami, Adi. (2016). Determinants of Turnover Intention Among
Faculty Members in Saudi Public Universities. The business
school for the degree of. Doctor of philosophy, University of
Salford.
Allen, G. David. (2008). Retaining Talent: A Guide to Analyzing and
Managing Employee Turnover. SHRM Foundation: Printed in
the United States of America.
Al-Ghamdi, Ayed bin Said. (2009). The Level of Effectiveness of
Human Resource Management in the Ministry of Higher
Education in Saudi Arabia as Perceived by Administrative
Leaders. Doctoral dissertation. College of Education. Yarmouk
University, Jordan.
Amstrong, Michael. (2009). Amstrong’s Handbook of Human Resource
Management Practice 11th edition. Unitied kingdom: Kogan
Page.
Ballantyne, I. (2009). Recruiting and selecting staff in organizations, in
S. Gilmore and Williams, S. (eds) Human Resource
Management. Oxford: Oxford University Press.
Baron, Robert A., & Greenberg, Jerald. (2008). Behavior in
organizations – 9th edition. Pearson Education Inc., New
Jersey: p.248.
Becker, S. Gary. (1993). Human Capital: A Theoretical and Empirical
Analysis, with Special Reference to Education (Third Edition).
Chicago and London: The University of Chicago Press.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxx


Borjas, G. (2010). Labour Economics. Fifth International Edition,
McGraw Hill
Byars, L. & Rue, L.W. (1997). Human Resources Management, 5th
Ed. Chicago (USA): McGraw-Hill.
Carlson, K.D., Connerley, M.L., Mecham III, R.L. (2002). Recruitment
Evaluation: The Case for The Quality of Applicants Attracted.
Personnel Psychology.
Cascio, W.F. (1992). Managing Human Resources: Productivity,
Quality of Work Life, Profit. New-York. Mcgraw-Hill Book
Company.
Collins, C., & Stevens, C. K. (2001). Initial organizational images and
recruitment: A within-subjects investigation of the factors
affecting job choices (CAHRS Working Paper #01-01). Ithaca,
NY: Cornell University, School of Industrial and Labor
Relations, Center for Advanced Human Resource Studies.
Crino, D. Micahel. (1993). Personel Human Resources Management.
New York: McMillan Publishing Company.
Daft, L. Richard. (2010). Era Baru Manajemen (edisi 9, buku 2).
Jakarta: Salemba Empat.
Daft RL, Marcic D. (2010). Understanding Management. 7th Edition.
Scarborough: Nelson Education Ltd.
DeCenzo, A. D dan Robbins, P. S. (2010). Fundamentals of Human
Resources Management, 8th edition. USA: John Willey & Sons
Inc.
Dessler, Garry. (1986). Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi 10,
jilid 2). Jakarta: PT. Indeks.
Dubois, DD & Rothwell, W.J. (2004). Competence-based Human
Resource Management. California: Devis-Black Publishing.
Duncan, M.M. (1976). On the Revolutions of the Heavenly Spheres.
New York: Barnes and Noble.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxi


Durai, P. (2010). Human Resources Management. New dehli: Dorling
Kindderslay.
Everard, K. B., Morris, Geoffrey & Wilson, Ian. (2004). Effective
school Management (fourth edition). London: Paul Chapman
Publishing.
Fahmi, Irham. (2011). Analisis Laporan Keuangan. Alfabeta:
Bandung.
Ferizal, I. (2016). Journey to be Employer of Choice. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Fidelis, N. Mutwota. (2011). Effect of Strategic Human Resource
Planning on Employee Retention at Mater Misericordiae
Hospital in Nairobi Kenya. http://erepository.uonbi.
Flegley, S. (2006). Talent Management Survey Report. SHRM
Research.
French, W. (1993). Human Resource Management. Houghton Mifflin
Company, Boston.
Gatewood, RD dan H.S. Field. (2001). Human Resource Selection.
Thompson Learning.
Gerhart, Barry., Noe, Raymond A., Hollenbeck, John R., Gerhart. &
Wright, Patrick M. (2008). Human Resources Management.
South-Westren: Cengage Learning.
Ghozali, I. (2005). Structural Equation Modeling; Teori, Konsep, dan
Aplikasi dengan Program LISREL 8,54. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Gibson, James L., Ivancevich, John M. & Donnely, Jr., James H.
(1989). Organisasi dan Manajemen Perilaku: Perilaku,
Struktur, dan Proses, Edisi keempat, Terjemahan. Jakarta:
Erlangga.
Gie, the Liang. (2002). Administrasi Perkantoran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Griffin. (2004). Komitmen Organisasi (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxii


Gomes, Faustino, Cardoso. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Andi Offset.
Gomez-Mejia, L.R., Balkin, D.B., Cardy, R.L. (2001). Managing
Human Resources. Third Edition. Prentice Hall. New Jersey:
Upper Sadle River.
Gunawan, J. (2017). Penggabungan dan Penyatuan Untuk
Meningkatkan Mutu dan Kesehatan PTS. Retrieved April 8,
2018,from:http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017
/10/11/penggabungan-danpenyatuan-untuk-meningkatkan-
mutu-dan-kesehatan-pts/
Hassouna, Faisal. (2007), "Human Resources Management", Amman,
Jordan: Osama House for Publication and Distribution.
Herbert G. Heneman & Timothy, A. (2006). Judge, Staffng
Organizations (5e). Middleton Wi: Mendota House.
Husnan, Suad dan Hesdjrahman. (1996). Manajemen Personalia.
Yogyakarta: BPFE.
Ivancevich, John M. (2005). Human Resource Management. New
York: Mc. Grow – Hill Companies.
Jermier, J. M., Knights, D. & Nord, W. R. (1994). Resistance and
Power in Organizations. London: Routledge.
Jumingan. (2006). Analisis Laporan Keuangan, Cetakan Pertama. PT
Bumi Aksara: Jakarta.
Kong Theen Hoy, Lai Xiao Jun, Lee Yuen Ee, Ling hui chin, dan Loh
Li Hoon. (2017). Factors that Affect Lecturers’ Turnover
Intention in Private Universities Malaysia. Universiti Tunku
Abdul Rahman Faculty of Business and Finance Department of
Business.
Kinicki, Angelo & Robert, Kreiner. (2008). Organizational Behaviour.
USA: McGraw-Hill.
Kwasi AE. (2014). The impact of human resource management
practices on teachers’ turnover in private basic schools: A case

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxiii


study of some selected schools in Obuasi Municipality. PhD
Dissertation, University of Kwame Nkrumah. Gana.
Lange, J.S. (2010). Human Resources Management in Indonesia:
Important Issues to Know Before Establishing a Subsidiary in
Indonesia. Hamburg: Diplomica Verlag BmbH.
London M. (2002). Organizational assistance in career development. In
Feldman DC (Ed.), Work careers: A developmental perspective
(pp. 323–345). San Francisco: Jossey-Bass.
Mahmudi. (2005). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta:
UPPAMP YKPN.
Mahsun, Mohamad. (2006). Pengukuran Kinerja Sektor Publik.
Yogyakarta: BPFE.
Manullang. (2009). Dasar-Dasar Manajemen. Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
McCall MW, Lombardo MM, Morrison AM. (1988). The lessons of
experience: How successful executives develop on the job.
Lexington, MA: Lexington Books.
Mangkuprawira, T.B., Sjafri. (2014). Manajemen Sumber Daya
Manusia Strategik. Jakata: PT. Ghalia Indonesia.
Martin, J. (2010). Key Concept in Human Resources Management.
London: Sage Publication ltd.
Mathis, L, Robert. & Jackson, M, John. (2001). Manajemen Sumber
Daya Manusia, Jakarta: Salemba Empat.
Mathis, L, Robert. & Jackson, M, John. (2012). Human Resources
Management. Trans Diana Angelica. Jakarta: Salemba Empat.
Mayo, D. (1996). Error and The Growth of Experimental Knowledge.
Chicago: University of Chicago Press
Meldona dan Siswanto. (2012). Perencanaan Tenaga Kerja: Tinjauan
Integratif. Malang. UIN Maliki Press.
Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi).
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxiv


Mondy, Wayne & Robert M, Noe. (2008). Human Resource
Management. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Munawir, S. (2012). Analisis Informasi Keuangan. Liberty:
Yogyakarta.
Nasution. (2014). Metode Riset: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Oduor, K. Joseph. (2009). The Impact of Employee Procurement
Practices on Labour Turnover (A case of boutique salesladies in
Nairobi’s central business district). A Management Research
Project Presented in Partial Fulfillment of the Requirements of
the Degree of Master of Business Administration of the
University of Nairobi. September 2009.
Pickett, A. L. (1990). Paraprofessionals in education: Personnel
practices that influence their performance, training needs, and
retention. New York: City University of New York, Center for
Advanced Study of Education.
Piccolo, R. F., Greenbaum, R. L., Eissa, G. 2012. Ethical leadership and
core job characteristics: Designing jobs for employee well-
being.
Poerwanto. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia (edisi 2).
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pohan, AH. (2010). Be Smart Leader: rahasia dibalik kesuksesan CEO
dan Manajer Hebat. Pustaka grihatama: Yogyakarta.
Pynes, J.E. (2004). Human Resources Management for Public and Non-
Profit Organizations. San Fransisco: Joessey Bass.
Rachmawati, E. Kusdyah. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: ANDI.
Redmond, B. (2010). Lesson 4: Expectancy Theory: Is there a link
between my effort and what I want? The Pennsylvania State
University Website.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxv


Reilly, N. P., Sirgy, M. J., Gorman, C. A. (2000). Work and quality of
life: Ethical practices in organizations: 291-305. Dordrecht,
Netherlands: Springer.
Roberts, Bacal. (2002). Performance Management (terjemahan Surya
Darma, Yanuar Irawan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Robbins, Stephen, P. (2002). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi (edisi
kelima). Jakarta: Erlangga.
Robbin, P. Stephan. (2010). Management (eleventh edition). New Jersey:
Pearson education Inc.
Safarudin, Alwi. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi
Keunggulan Kompetitif. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi.
Saigh, Abd El-Rahman. (2010), "12 T- Strategies Prospective Review
of Future Trends for Improving General Education within
Kingdom of Saudi Arabia", Worksheet provided within
Fifteenth meeting of improving education: reviews, models and
requirements, Saudi Association for education and psychology,
5-5 Jan 2010.
Sagwe, R. Graham. (2019). Human Resource Procurement and
Retention Strategies Used By Commercial Banks in Nairobi.
https://pdfs.semanticscholar.org/2b1e/2c457d8300202b3b01a1
c219d3e40c94c340.pdf.
Sastrohadiwiryo, B. Siswanto. (2002). Manajemen Tenaga Kerja
Indonesia (Pendekatan Administrasi dan Operasional). Jakarta:
Bumi Aksara.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2011). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Alfabeta.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2014). Metodologi Penelitian
Kualitatif (cet. ke 4). Bandung: PT. Alfabeta.
Schwartz, D. (1980). Introduction to Management. Brace Javanovich,
İnc: New York.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxvi


Sedarmayanti. (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.
Mandar Maju: Bandung.
Shipler, D. K. (2004). The working poor: Invisible in America. New
York:
Siagian, Sondang, P. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Simamora, Henry. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia (edisi
kedua). Yogyakarta: STIE YKPN.
Simanjutak, Payaman, J. (2003). Manajemen Hubungan Industrial.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Siswanto, B. (2010). Manajemen Tenaga Kerja: Rancangan Dalam
Pendayagunaan dan Pengembangan Unsur Tenaga Kerja.
Bandung: Sinar Biru.
Soedjadi J, F.X. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
LAN-RI.
Spence, M. (1974). Market Signaling: Informational Transfer in Hiring
and Related Screening Processes. Cambridge: Harvard
University Press
Stainback, W. Susan. (1998). Understanding & Conducting Qualitative
Research. Lowa: Hunt Publishing Company.
Steer, Richard M., & Ulman W. Porter. (1991). Motivation and Work
Behavior. Singapore: McGraw-Hill.
Sukasah, Taufik. (2005). Pengaruh Proses Rekrutmen, Seleksi dan
Penempatan terhadap Kinerja Pegawai di Deputi Administrasi
Sekretariat Negara RI. Universitas Indonesia.
Sulistiani, T. Ambar. (2003). Manajemen dan Sumber Daya Manusia:
Konsep dan Teori Pengembangan Dalam Konteks Organsasi
Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sutrisno. (2009). Manajemen Keuangan Teori, Konsep dan Aplikasi.
Ekonisia, Yogyakarta.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxvii


Taylor. M.S., Collins, C.J. (2000). Organizational recruitment:
enhancing the intersection of theory and practice. In Cooper,
C.L., Locke, E.A. (Eds), Industrial and Organizational
Psychology: Linking Theory and Practice. Basil Blackwell:
Oxford.
Tim Pengkaji Kebijakan Pendidikan Tinggi. (2018). Kajian Pendidikan
Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018. Bandung:
ITB Press.
Triton, P.B. (2005). Paradigm Baru Manajemen Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Tugu.
Tohardi, Ahmad. (2002). Pemahaman Praktis Manajemen Sumber
Daya Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Tyssen, Theodore G. Alih Bahasa: A. Hadayana Pudjaatmaka. (2005).
Buku Petunjuk bagi Manajer Pemula. Arcan: Jakarta.
Vroom, V. H. (1964). Work and motivation. San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
Wayudi. (2011). Manajemen Konflik Dalam Organisasi. Bandung: CV
Alfabeta.
Wibowo. (2014). Majamen Kinerja (edisi keempat). Jakarta: Rajawali
Pers.
Wiersma William. (1999). Educational Measurement and Testing.
USA: Toledo.

Sumber Jurnal:
Aasen, P. & Stensaker, B. (2007). Balancing trust and technocracy?
Leadership training in Higher education. International Journal
of Educational Management, 21 (5), 371-83.
Alfred A. Knopf. Shore, L. M., Tetrick, L. E., Taylor, M. S., Coyle
Shapiro, J. A.-M., Liden, R. C., McLean Parks, J., Morrison, E.
W., Porter, L. W., Robinson, S. L., Roehling, M. V., Rousseau,

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxviii


D. M., Schalk, R., Tsui, A. S., Van Dyne, L. (2004). The
employee-organization relationship: A timely concept in a
period of transition. Research in Personnel and Human
Resources Management, 23: 291-370.
Alamsyah, Andy, dan Muh. Aziz Muslim. (2005). Model Penilaian
Kinerja Anggota DPR. Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13, No.2 (Mei).
Aluko, Y. A., & Aluko, O. (2012). Human Capital Development:
Nigeria’s Greatest Challenge. Journal of Management, 13(1),
163.
Antonacopoulou, E.P. & FitzGerald, L. (1996). Reframing competency
in management development: a critique. Human Resource
Management Journal, Vol. 6 No. 1, pp. 27-48.
Arabpoor A, Nikpoor A (2015). The impact of talent management on
labor productivity in Kerman public organizations. Quar. Res.
J. Manage. Univ. Imam Hussein (AS), 7(1):159-186.
Arthur, J. B. (1994). Effects of human resource systems on
manufacturing performance and turn- over. Academy of
Management Journal, 37: 67.
Askling, B. & Stensaker, B. (2002). Academic leadership:
Prescriptions, practices and paradoxes. Tertiary Education and
Management, 8 (2), (113-125)
Backhaus, K. & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and Researching
Employer Branding. Career Development International, Vol 9,
502.
Baedhowi. (2007). Revitalisasi Sumber Daya Aparatur dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Layanan Publik. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.2
(Mei).

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxix


Baek, P., & Kim, N. (2014). Exploring a theoretical foundation for
HRD in society: Toward a model of stakeholder-based HRD.
Human Resource Development International, 17(5), 499–513.
Battles, B. (2005). Directing: Accomplishing objectives through
delegation and motivation. Aircraft Maintenance Technology,
16(5), 38-41.
Baum, M. & Kabst, R. (2013). How to attract applicants in Atlantic
versus the asia-fasific region? A cross-national analysis in
china, India, Germany and Hungary. Journal of world business,
48, , 175-185
Bhattacharya CB, Sen S, Korschun D 2012. Using corporate social
responsibility to win the war for talent. MIT Sloan Management
Review, 49: 37-44.
Beauregard, T. A., & Henry, L. (2009). Making the link between work
life balance practices and organizational performance. Human
Resource Management Review, 19(1), 9–22.
Becker BE and Huselid MA. (1998). High performance work systems
and firm performance: A synthesis of research and managerial
implications. Research in Personnel and Human Resources
Journal 16(1): 53–101.
Berlew DE, Hall DT. (1966). The socialization of managers: Effects of
expectations on performance. Administrative Science
Quarterly, 11, 207–223.
Berthon, P., Ewing, M. & Hah, L.L. (2005), "Captivating company:
dimensions of attractiveness in employer branding",
International Journal of Advertising, Vol. 24, No. 2, pp. 151-
172.
Bester H. & Petrakis E. (2003). ‘Wages and productivity growth in a
competitive industry‘, Journal of Economic Theory, 109 (1), 52-
69.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxx


Bingley, Paul & Niels, Westergaard-Nielsen. (2004). Personnel Policy
and Profit. Journal of Business Research, 57: 557-563.
Blanchard, O. (2006). ‘European unemployment: the evolution of facts
and ideas’, Economic Policy, 21, 5-59.
Boxall, P and Macky, K. (2009) Research and theory on high-
performance work systems: Progressing the high involvement
system. Human Resource Management Journal 19(1): 3–23.
Boselie P, Dietz G and Boon C. (2005). Commonalities and
contradictions in HRM and performance research. Human
Resource Management Journal 15(3): 67–94.
Brown, Angela. (2014). Determining Merit Pay for Academic
Administrators. International Journal of Education & Literacy
Studies (ISSN 2202-9478). Vol. 2 (1):86-87.
Butcher, Jennifer & Kritsonis, A. William. (2007). Human Resource
Management: Managerial Efficacy in Recruiting and Retaining
Teachers – National Implications. The Lamar University
Electronic Journal of Student Research Summer 2007.
Callahan, J. L. (2013). Space, the final frontier? Social movements as
organizing spaces for applying HRD. Human Resource
Development International, 16(3), 298–312.
Cappelli, Peter. (2001). The National Employer Survey: Employer Data
on Employment Practices. Industrial Relations 40(2):635– 47.
Carroll, M., Smith, M., Oliver, G., & Sung, S. (2008). Recruitment and
retention in front-line services: The case of childcare. Human
Resource Management Journal, 19 (1), 59–74.
Cassidy, D.J. (2011). The day to day reality of teacher turnover in
preschool classrooms: An analysis of classroom context and
teacher, director, and parent perspectives. Journal of Research
in Childhood Education, 25(1), 1–21.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxi


Calver, J., Cuthbert, G., Davison, S., Devins, D., Gold, J., Hughes, I.,
& Tosey, P. (2013). HRD in 2020: A hop-on, hop-off city tour.
Human Resource Development International, 16(1), 94–105.
Caudron, S. (1995). Delegate for results. Industry Week, 244(3), 27-29.
Chalmers, A.F. (2011). Drawing Philosophical Lessons from Perrin’s
Experiment on Brownian Motion: A Response to Van
Fraasseen. British Journal for the Philosophy of Science, 62 711
– 32.
Chan, K. C., Gee, M. V., & Steiner, T. L. (2000). Employee happiness
and corporate financial performance. Financial Practice &
Education, 10(2), 47-52.
Cho, S., Woods, R„ Jang, S., Erdem, M. (2006). Measuring the impact
of human resource management practices on hospitality Firms'
performances. International Journal of Hospitality
Management, Vol. 25 No.2, pp. 262-77.
Cobanoglu, F., Sertel, G & Seven Sarkaya, S. (2018). Human resource
management practices in Turkish education system (Denizli
case).European Journal of Educational Research, 7(4), 833-
847.doi: 10.12973/eu-jer.7.4.833.
Combs J, Liu Y, Hall A and Ketchen D. (2006). How much do high-
performance work practices matter? A meta-analysis of their
effects on organizational performance. Personnel Psychology
59: 501–28.
Costello, D. (2006). Leveraging the Employee Life Cycle. CRM
Magazine, 10 (12), 48-52.
Daly, C. J., & Dee, J. R. (2006). Grener Pastures: Faculty turnover
intent in urban public universities. Journal of Higher
Education, 77(5), 59-64.
Danies, Johnsen & Hoyer, Gabriel. (2010). When and Why Contractors
Use Executive Recruiters. Human resource management:
Theory and practice (4th edition), (pp.358-400).

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxii


Davies J, Easterby-Smith M. (1984). Learning and developing from
managerial work experiences. Journal of Management Studies,
21, 169–183.
Darkoh, Adu, Mavis. (2014). Employee Recruitment and Selection
Practices In The Construction Industry In Ashanti Region.
College of Art and Social Sciences.
DeCenzo, D. A., Robbins, S. P. Verhulst, S. L. (2017). Insan kaynaklari
yönetiminin temelleri [Fundamentals of human resource
management], Ankara: Nobel Academic Publishing.
Delaney, J. T & Huselid, M.A. (2017). The Impact of Human Resource
Management Practices on Perceptions of Organizational
Performance. Academy of Management Stable, 39(4), 949–969.
Delery J and Shaw J. (2001). The strategic management of people in
work organizations: Review, synthesis and extension. Research
in Personnel and Human Resource Management, 20: 165–97.
Dierdorff, E. C., & Morgeson, F. P. (2007). Consensus in Work Role
Requirements: The Influence Of Discrete Occupational Context
On Role Expectations. Journal of Applied Psychology, 92:
1228-1241.
Droege, S. B., & Hoobler, J. M. (2003). Employee turnover and tacit
knowledge diffusion: A network perspective. Journal of
Managerial Issues, 15(1), 50–66.
Elena P. & Antonacopoulou, E.P. (2000). Employee development
through self-development in three retail banks. Journal of
Personnel Review, Vol. 29 No. 4, pp. 491-508.
Fenech, M., Waniganayake, M., & Fleet, A. (2009). More than a
shortage of early childhood teachers: Looking beyond the
recruitment of university qualified teachers to promote quality
early childhood education and care. Asia Pacific Journal of
Teacher Education and Care, 37(2), 199–213.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxiii


Fhisher, Fischer. (1996). Policy Discourse and the Politics of
Washington Think Tanks. In F. Fischer and J. Forrester (eds.),
the Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning.
Durham and London: Duke University Press, 21–24.
Filatotchev, I., Liu, X., Lu, J., & Wright, M. (2011). Knowledge
spillovers through human mobility across national borders:
Evidence from Zhongguancun Science Park in China. Research
Policy, 40(3), 453-462.
Forner, M., Bierlein-Palmer, L., & Reeves, P. (2012). Leadership
practices of effective rural superintendents: Connections to
Waters and Marzano’s leadership correlates. Journal of
Research in Rural Education, 27(8), 1-2.
Forrester, Gillian. (2011). Performance management in education:
milestone or millstone? British Educational Leadership,
Management & Administration Society (BELMAS), 25(1) 5–9.
Gamble, M. J., Dowler, D. L., & Hirsh, A. E. (2004). Informed decision
making on assistive technology workplace accommodations for
people with visual impairments. Work, 23(2), 123–130.
Gbenga M. Akinyemi & Norhasni, Z. Abiddin. (2013). Quality
Administration and Management in Higher Education in
Nigeria: Implications for Human Resource Development.
International Education Studies; Vol. 6, No. 4; 225-235.
Gerhart, B. & Milkovich, G. T. (1992). Employee compensation:
Research and practice. In M. D. Dunnette & L. M. Hough
(Eds.), Handbook of industrial and organizational psychology,
vol. 3: 481-569. Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Gerring, J., Thacker, S. C., & Alfaro, R. (2012). Democracy and human
developmhent. The Journal of Politics, 74(01), 1–17.
Graham, M.W., Messner, P.E. (2008). Principals and job satisfaction.
International Journal of Educational Management, 12(5), 196-
202.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxiv


Greer, P. Philly and Wallace, Michelle. (2016). A Study of Childcare
Teacher Retention in the Childcare Service Industry. Global
Business Review 18(1) 71–86.
Gold, J., & Bratton, J. (2014). Towards critical human resource
development education (CHRDE): Using the sociological
imagination to make the HRD profession more critical in the
post-crisis era. Human Resource Development International,
17(4), 400–415.
Golub, D. B. (2006). A model of successful work experience for
employees who are visually impaired: The results of a study.
Journal of Visual Impairment & Blindness, 100(12), 715–725.
Gu, J. E., Park, Y. J. & Ahn, B. H. (2012). A Case Study on China’s
Foreign-Universities-Attraction Policy. Korea National
Research Council for Economics, Humanities and Social
Sciences, Technical Report, 12(48).
Kaye, H. S., Jans, L. H., & Jones, E. C. (2011). Why don’t employers
hire and retain workers with disabilities? Journal of
Occupational Rehabilitation. 21, 526–536.
Harmon, H. L., & Schafft, K. (2009). Rural school leadership for
collaborative community development. The Rural Educator,
30(3), 4-9.
Harris, L., Jones, M., & Coutts, S. (2010). Partnerships and learning
communities in work-integrated learning: Designing a
community services student placement program. Higher
Education Research & Development, 29(5), 547-559.
Hausknecht, J.P., Rodda, J., & Howard, M.J. (2009). Targeted
Employee Retention, Performance Based and Job Related
Differences in Reported Reasons for Staying. Human Resource
Management, 48(2), 269–288.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxv


Hills, F.S., Mahoney, T.A. (1978). University budgets and
organizational decision making. Administrative Science
Quarterly, 23, 454–465.
Hinkin. T., Tracey, J. (2000). The cost of turnover: putting a price on
the learning curve. Cornell Hotel and Restaurant
Administration Quarterly. Vol. 41 No.3, pp. 14-21.
Humphrey, S. E., Nahrgang, J. D., and Morgeson, F. P. (2007).
Integrating Motivational, Social, And Contextual Work Design
Features: A Meta-Analytic Summary And Theoretical
Extension Of The Work Design Literature. Journal of Applied
Psychology, 92: 1332-1356.
Hui, C., Lam, S. S., and Law, K. K. (2000). Instrumental Values of
Organizational Citizenship Behavior For Promotion: A Field
Quasi-Experiment. Journal of Applied Psychology, 85: 822-
828.
Hutchings, Kate, De Cieri, Helen dan Shea, Tracey. (2015). Employee
Attraction and Retention in the Australian Resources Sector.
Journal of Industrial Relations: SAGE Publications Ltd, 53(1)
83–101.
Haworth, C. L., and Levy, P. E. (2001). The importance of
instrumentality beliefs in the prediction of organizational
citizenship behaviors. Journal of Vocational Behavior, 59: 64-
75.
Islam MS (2016). Evaluating the Practices of Electronic Human
Resources Management (E-HRM) As a Key Tool of
Technology Driven Human Resources Management Function in
Organizations-A Comparative Study in Public Sector and
Private Sector Enterprises of Bangladesh IOSR Journal of
Business Management18(11):2319-7668
Jacobs, R. L. (2014). Perspectives on adult education, human resource
development, and the emergence of workforce development.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxvi


New Horizons in Adult Education & Human Resource
Development, 26(1), 13–21.
Jelavic, M., & Ogilvie, K. (2009). Maslow and management:
Universally applicable or idiosyncratic? Canadian Manager,
34(4), 16–17.
Jensen, M. C., & Meckling, W. (1976). The theory of the firm:
Managerial behavior, agency costs, and ownership structure.
Journal of Financial Economics, 3: 305-360.
Johnsen, Rasmus & Gudmand-Høyer, Marius. (2010). An article:
Lacan and the lack of humanity in HRM. Organization, 17(3)
331–344
Jones, G. D. (2011) Academic Leadership and Departmental Headship
in Turbulent Times. Tertiary Education and Management 17
(4), (279-88)
Kachaňáková, A. (2003). Riadenie ľudských zdrojov. Bratislava:
SPRINT. 212 p.
Kaliprasad, M. (2006). The Human Factor I: Attracting, Retaining, and
Motivating Capable People. Cost Engineering 48(6). 20-26.
Kalleberg, A. L., & Moody, J. W. (1994). Human resource management
and organizational perfor- mance. American Behavioral
Scientist, 37: 948-962.
Kanzunnudin, M. (2007). Effect of wages and supervision of employee
productivity: A case Study on PT Tonga Tiur Son Zenith
District Kragan. Fokus Ekonomi, 2(1), 11-20.
Kaye, B., & Jordan-Evans, S. (2001). Retaining key employees. Public
Management, 83, 6–12.
Kessler, I. & Purcell, J. (1992). Performance related pay: objectives and
application. Human Resource Management Journal, 2(3), 16–
33.
Kuluchumila,R. (2013). The Implementation of Secondary Education
Development Plan in Tanzania: A Case Study of Community

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxvii


Secondary School Heads in Shinyanga. Journal of Education
and Practice Vol.4, No.12, 2013, The International Institute for
Science, Technology and Education (IISISSN 2222-1735
(Paper) ISSN 2222-288X (Online)
Lavania Dolly, Himanshu Sharma & Nidhi Gupta. (2011). Faculty
Recruitment and Retention: A Key for Managing Talent in
Higher Education. International Journal of Enterprise
Computing and Business Systems. Vol. 1, Issue 2, July 2011.
[Online] Available: http://www.ijecbs.com/July2011/32.pdf
Liu, Y.A. and Wang, F. (2006). A Study on the Influence Factors of
Employee Turnover Intention. Enterprise Economy, 6, pp. 42-
44.
Lloyd, S. (2002). Branding From the Inside Out. BRW, Vol 24, 64.
Loan-Clarke, J., Arnold, J., Coombs, C., Hartley, R., & Bosley, R.
(2010). Retention, Turnover and Return, a Longitudinal Study
of Allied Health Professionals in Britain. Human Resource
Management Journal, 20(4), 391–406.
Lynch, K. A. (2013). Survey reveals myths and misconceptions
abundant among hiring managers about the capabilities of
people who are visually impaired. Journal of Visual Impairment
& Blindness, 107(6), 408–410.
MacKenzie, C. A., Garavan, T. N., & Carbery, R. (2012). Through the
looking glass: Challenges for human resource development
(HRD) post the global financial crisis – Business as usual?
Human Resource Development International, 15(3), 353–364.
McCauley CD, Ruderman MN,Ohlott PJ, MorrowJE. (1994). Assessing
the developmental components of managerial jobs. Journal of
Applied Psychology, 79, 544–560.
McDonald, S., & Roberts, J. (2002). Growth and multiple forms of
human capital in an augmented Solow model: A panel data
investigation. Economics Letters, 74(2), 271–276.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxviii


Mohapatra, M., & Sharma, B.R. (2008). Drivers of Organizational
Commitment Among Managers of Industrial Organizations: A
Case Study. Global Business Review, 9(1), 51–63.
Morrison, K. (2010). Complexity theory, school leadership and
management: questions for theory and practice. Educational
Management Administration & Leadership, 38(3), 374-393.
Mutuva,S.N. (2012). Challenges Faced By Secondary School Head
teachers In Leadership And Management Of Human Resources
In Nzaui District-Makueni Country, Kenya. Unpublished
Masters Dissertation. Kenyatta University, Nairobi.
Nacif, A.P. (2006). The fast buck is still king: How to engage temporary
staff with the brand and get the best out of them is a major HR
challenge. Human Resource, 38(1), 263–290.
Nkosi E, Bounds M, Goldman G 2013. Skills required for the
management of Black-owned small enterprises in Soweto. Acta
Commercii, 13(1): 10-20
Olsen, J.P. (2006). Maybe it is time to rediscover bureaucracy. Journal
of Public Administration Research and Theory 16(1): 1–24.
Owence, C., Pinagase, T. G., & Mercy, M.M. (2014). Causes and
Effects of Staff Turnover in the Academic Development Centre:
A Case of a Historically Black University in South Africa.
Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol 5 No. 11.
Pearson, C. M., Porath, C. L. (2005). On the nature, consequences and
remedies of workplace incivility: No time for “nice”? Think
again. Academy of Management Executive, 19(1): 7-18.
Perera, Dinoka. (2016). The Effect of Recruitment Practices on
Employee Retention in Selected Large Scale Apparel Firms in
Kandy District, Sri Lanka. 3rd International HRM Conference,
Vol.3, No.1, 08th October, 2016.

Manajemen Sumber Daya Manusia | clxxxix


Plovhart, R.E. (2006). Staffing in the 21st century: challenges and
strategic opportunities. Journal of Management, Vol. 32 pp.
868.
Podsakoff, P. M., MacKenzie, S. B., Paine, J. B., Bachrach, D. G.
(2000). Organizational citizenship behaviors: A critical review
of the theoretical and empirical literature and suggestions for
future research. Journal of Management, 26: 513-563.
Pathardikar, A.D., & Sahu, S. (2011). Implications of the Organization
Cultural Antecedents on Organizational Commitment: A Study
in Indian Public Sector Units. Global Business Review, 12(3),
431–446.
Pijanowski, J. C., Hewitt, P. M., & Brady, K. P. (2009).
Superintendents’ perceptions of the principal shortage. NASSP
Bulletin, 93, 85-95.
Quinn, A., Lemay, G., Larsen, P., & Johnson, D. M. (2009). Service
quality in higher education. Total Quality Management, 20(2),
139-152.
Randall S. Schuler & Susan E. Jackson. (1987) . The Academy of
Management Executive: Linking Competitive Strategies with
Human Resource Management Practices. Vol. 1, No. 3. p. 211.
Raudla, R., Karo, E., Valdmaa, K., Kattel, R. (2015). Implications of
project-based funding of research on budgeting and financial
management in public universities. Higher Education, 70(6),
957–971.
Rensselaer Polytechnic Institute. (2012). Faculty retention proves a
major challenge for universities. ScienceDaily. 16 Feb., 2012.
[Online] Available.
Ronn. K. (2007). Rethinking talent acquisition. Business Week Online,
No.3 June.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxc


Rothstein, B. (2012). Political legitimacy for public administration. In:
Peters BG and Pierre J (eds). The SAGE Handbook of Public
Administration, 2nd edn. Los Angeles, CA: Sage.
Russ-Eft, D., Watkins, K. E., Marsick, V. J., Jacobs, R. L., & McLean,
G. N. (2014). What do the next 25 years hold for HRD research
in areas of our interest? Human Resource Development
Quarterly, 25(1), 5–27.
Rutigliano, A. J. (1986). Some would call it paternalism. Management
Review, 75(7), 34-37.
Scobel. D. N. (1975). Doing away with the factory blue. Harvard
Business Review, Vol. 53. p. 132-142.
Seifert, E., & Simone, P. (1980-1981). Personnel practices or recruiting
and keeping effective teachers in smaller schools. The Small
School Forum, 2(2), 12-14.
Sheehan, M., Garavan, T. N., & Carbery, R. (2014). Innovation and
human resource development (HRD). European Journal of
Training and Development, 38(1/2), 2–14.
Simon, B. (2007). Respect, equality, and power: A social psychological
perspective. Gruppendynamik und Organisationsberatung, 38:
309-326.
Simpson, M., & Rogers, P. (2002). Strategies for employing older
workers with visual impairments. Journal of Visual Impairment
& Blindness, 96(9), 672–675.
Smyth, J. (2009). Critically engaged community capacity building and
the ‘community organizing’ approach in disadvantaged
contexts. Critical studies in Education, 50(1), 9-22.
Steyaert, C. and Janssens, M. (2009). ‘HRM and Performance: A Plea
for Reflexivity in HRM Studies’, Journal of Management
Studies 46(1): 143–55.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxci


Stone, D. (1990). Recruiting and retaining teachers in rural schools. Far
West Laboratory Knowledge Brief. Number Four. (ERIC
Document Reproduction Service No. ED 328 383)
Štofková, J., Cisko, Š., Bartošová, V., Kremeňová I., Strenitzerová, M.,
Fľak, J., Jankalová, M., Madleňák, R. and Stofková, K. (2011).
Manažment podniku. Žilina: EDIS. 393 p.
Storey, J. (1995). Is HRM catching on? International journal of
manpower. Vol, 16. No. 4.
Sousa, R., & Voss, C. (2012). The impacts of e-service quality on
customer behaviour in multi-channel e-services. Total Quality
Management & Business Excellence, 23(7-8), 789-806.
Sumsion, J. (2005). Male teachers in early childhood education: Issues
and case study. Early Childhood Research Quarterly, 20 (1),
109–123.
Suri, T., Boozer, M. A., Ranis, G., & Stewart, F. (2011). Paths to
success: The relationship between human development and
economic growth. World Development, 39(4), 506-522.
Srinivas, S., & Sutz, J. (2008). Developing countries and innovation:
searching for a new analytical approach. Technology in Society,
30, 129-140.
Swift, D. (1984). Finding and keeping teachers: strategies for small
schools. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 259
875).
Swanson. (2003). Caring to confront in the workplace: an ethical
perspective for nurse. Journal of nursing scholarship: 21(3). 18
1554-1558.
Talib, F., Rahman, Z., & Qureshi, M. N. (2011). Analysis of interaction
among the barriers to total quality management implementation
using interpretive structural modeling approach. Benchmarking:
An International Journal, 18(4), 563-587.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcii


Tamir, E. (2010). The retention question in context specific teacher
education: Do beginning teachers and their program leaders see
teachers’ future career eye to eye?. Teaching and Teacher
Education, 26(3), 665–678.
Tesluk PE, Jacobs RR. (1998). Toward an integrated model of work
experience. Personnel Psychology, 51, 321–355.
Thanuja Rathakrishnan, Ng Siew Imm, and Tee Keng Kok. (2016).
Turnover Intentions of Lecturers in Private Universities in
Malaysia. Pertanika J. Soc. Sci. & Hum, 24 (S): 129 – 146.
Thorpe, K., Ailwood, J., Brownlee, J., & Boyd, W. (2011). Who wants
to work in child care? Pre-service early childhood teachers’
consideration of work in the childcare sector. Australasian
Journal of Early Childhood, 36 (1), 85–94.
Odionye, Eunice A. (2014). The Role of Tertiary Education in Human
Resource Development. Journal of Education and Practice,
5(35).
Ulrich D. (1993). Profiling organizational competitiveness: Cultivating
capabilities. Human Resource Planning 16(3): 1–17.
Umar, A. (2012). Effect of wages, motivation, and job satisfaction on
the performance of workers in the manufacturing industry in the
city of Makassar. Jurnal Aplikasi Manajemen, 10(2), 406-418
Unger, D. D., Rumrill, P. D., & Hennessey, M. L. (2005). Resolutions
of ADA Title I cases involving people who are visually
impaired: A comparative analysis. Journal of Visual
Impairment & Blindness, 99(8), 453–463.
Vierling, L. E. (2009). Congress seeks to restore protection with the
ADA Amendments Act of 2008. Professional Case
Management, 14(5), 265–267.
Walsh, Kate,. Sturman, Michael C., dan Longstreet, John. (2010). Key
Issues in Strategic Human Resources. School of Hotel

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxciii


Administration Collection. Cornell University School of Hotel
Administration: The Scholarly Commons.
Wisnumurti, Gede Oka, A.G. (2017). Prosiding Seminar: Tata Kelola
Perguruan Tinggi Swasta Menuju Persaingan Global.
Revitalisasi Tata Kelola Perguruan Tinggi Juni 2017 (P.1-12).
Unit Penerbitan (UP) Pusat Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat (P3M) Unipas Singaraja. ISBN 978-979-17637-3-
8)
Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Social capital: Implications for
development theory, research, and policy. The World Bank
research observer, 15(2), 225-249.
Wragg, E., Haynes, G., Chamberlin, R. & Wragg, C. (2003).
Performance-related pay: the views and experiences of 1,000
primary and secondary head teachers’. Research Papers in
Education, 18(1), 3–23.
Youssef, C. M., & Luthans, F. (2007). Positive organizational behavior
in the workplace: The impact of hope, optimism and resilience.
Journal of Management, 33(5), 774-779.
Zaleznik, A. (2004). Managers and leaders. Are they different? Harvard
Business Review, 82 (6)

Peraturan dan Undang-Undang:


1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 5 Tahun 1980 tentang Pokok-
Pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri
2. Peraturan Menteristek DIKTI Republik Indonesia No. 2 Tahun
2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteristek DIKTI No.
26 Tahun 2015 Tentang Registrasi Pendidik pada Perguruan
Tinggi.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2009
tentang Dosen.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxciv


4. Permen Ristekdikti Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcv


RIWAYAT HIDUP

Dr. Nasir S.Pd., M.Pd, lahir di Kendari, 19 Juni


1983 Sulawesi Tenggara. Bapak bernama Dg.
Mangeppe (almarhum), dan ibu bernama Haerati
(Almarhumah). Penulis mempunyai saudara, yaitu:
Muh. Rafiq (almarhum), Muh. Rum, Anita
Dengkutaeng, dan Alinda.
Riwayat pendidikan diawali dengan bersekolah di
SDN Laeya, SMP Negeri 1 Lainea, Madrasah Aliyah Pesantren
Ummushabri Kendari. Pada tahun 2009, tamat pendidikan S1 di Jurusan
administrasi Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari. Tahun
2013, tamat pendidikan S2 di Jurusan Manajemen Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Selanjutnya, sejak tahun 2015,
menempuh pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia-Bandung, tamat tahun 2020. Riwayat pekerjaan
penulis yaitu, menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah
Kendari dimulai sejak tahun 2010 hingga saat ini.

Dr. Adam, lahir di Unsume, 7 Januari 1981


Sulawesi Tenggara. Bapak bernama La Ase
(Almarhum), dan Wa Ngoti (Almarhumah). Penulis
mempunyai saudara yaitu: Wa Asni, Ramli
(almarhum), Arifin Ase, Arbali dan Musriah.
Riwayat pendidikan diawali dengan bersekolah di
SDN Ghonsume, SMPN 1 Raha, SMAN 1 Raha.
Pada tahun 2007, tamat S1 di Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi
Psikologi Pendidikan. Tahun 2013, tamat pendidikan S2 di Jurusan
Manajemen Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada
tahun 2015, menempuh pendidikan S3 di Pascasarjana Universitas
Negeri Malang, tamat tahun 2019.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcvi


Arfin, S.Pd., M.Pd lahir di Tampo Kabupaten Muna,
11 Oktober 1984 Sulawesi Tenggara. Menikah tahun
2011 dengan Indriwati, S.Pd. dan saat ini telah
dikaruniai dua orang anak yaitu bernama Ibrahim
dan Habsah Ramadani. Penulis mempunyai saudara,
yaitu: Marlan, dan Marfia, S.Kep.
Riwayat pendidikan diawali dengan bersekolah di
SDN 1 Tampo, SMP Negeri 1 Tampo, SMA Negeri 1 Raha. Pada tahun
2010, tamat pendidikan S1 di Jurusan administrasi Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Kendari. Tahun 2014, tamat pendidikan
S2 di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Konsentrasi
Administrasi Pendidikan, Universitas Halu Oleo. Riwayat pekerjaan
penulis yaitu, menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah
Kendari dimulai sejak tahun 2011 hingga saat ini.

Rahmawati M. S.Pd., M.Pd lahir di Tikonu, 25 Juni


1984 Sulawesi Tenggara. Bapak bernama Matita,
dan ibu bernama Andy. Penulis merupakan anak
kedua dari tujuh bersaudara. Bersuami dengan
Samsunur dan memiliki seorang anak yang
bernama Daffa Ibnu Hafidz.
Riwayat pendidikan diawali dengan bersekolah di
SDN Tikonu, SMP Negeri 1 Wundulako, SMA Negeri 2 Kolaka. Pada
tahun 2007, tamat pendidikan S1 di Jurusan administrasi Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Kendari. Tahun 2013, tamat pendidikan
S2 di Jurusan Manajemen Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Riwayat pekerjaan penulis yaitu, menjadi dosen tetap di
Universitas Muhammadiyah Kendari dimulai sejak tahun 2009 hingga
saat ini.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcvii


Mujiati lahir di Ujung Pandang, 4 Oktober 1969 di
Sulawesi Selatan. Ayah bernama Napsa Husain
(Almarhum), dan Ibu bernama Waginem
(Almarumah). Penulis adalah Anak ke-8 dari 9
bersaudara, bersuamikan Ir. Dirhamsyah,
dikaruniai 3 Anak, yaitu Retno Pratiwi
Dirhamsyah S.M, Nurul Amalia Dirhamsyah, dan
Tri Yuliani Dirhamsyah.
Riwayat pendidikan diawali dengan bersekolah di SDN. Komplek
Patompo (1982), SMP Kristen (1985), SMEA Negeri 1 Ujung Pandang
(1988). Tamat pendidikan S1 di Jurusan administrasi Pendidikan di
IKIP Ujung Pandang (1993). Lanjut S2 pada Jurusan administrasi
Pendidikan di Universitas Halu Oleo Kendari 2013. Riwayat pekerjaan
penulis yaitu, menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah
Kendari dimulai sejak tahun 2009 hingga saat ini.

Titin Rahmiatin Rahim, S.Pd.,M.Pd lahir di Wawolemo,


09 Februari 1983, Sulawesi Tenggara. Anak terakhir
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Abdul
Rahim dan Ibu Suartin ini merupakan lulusan S1
Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas
Muhammadiyah Kendari tahun 2009, dan alumni S2
Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Saat
ini, penulis adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Kendari.

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcviii


INTISARI BUKU

Analisis kritis trend Sumber Daya Manusia (SDM) yang


menunjukkan bahwa kekurangan pegawai atau personil yang terampil
akan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi yang tepat
untuk memenangkan perang atau kompetisi pasar tenaga kerja.
Sementara itu, pada konteks Perguruan Tinggi Swasta (PTS), semakin
banyaknya perguruan tinggi bermunculan membuat kompetisi semakin
ketat. Mau tidak mau, perguruan tinggi harus mengedepankan kualitas
sebagai ujung tombak untuk memenangkan persaingan tersebut. Salah
satu komponen yang harus diperhatikan untuk memenangkan kompetisi
ini yaitu tata kelola pegawai. Berdasarkan analisa tim penulis, masalah
terbesar berkenaan dengan tata kelola SDM di PTS adalah tingkat
turnover. Strategy yang diperlukan untuk memelihara tingkat turnover
yaitu mengoptimalkan fungsi pengadaan dan retensi SDM, baik
pegawai maupun tenaga pendidik.
Buku ini menyajikan kajian Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM): strategi mempertahankan SDM berkualitas di lembaga
pendidikan, dan organisasi profit maupun non profit. Strategi retensi
SDM harus diawali sejak tahapan atau fase dimana,
lembaga/perusahaan/institusi mengadakan calon tenaga kerja yang
layak dan berkomitmen tinggi melalui proses rekrutmen dan seleksi.
Oleh karena itu, tim penulis merekomendasikan sebuah model retensi
SDM “REMAJA” untuk memelihara turnover SDM

Manajemen Sumber Daya Manusia | cxcix

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai