Anda di halaman 1dari 2

BIOGRAFI SULTAN SAFIATUDDIN

Safiatuddin merupakan pemimpin perempuan pertama Kesultanan Aceh. Ia merupakan anak


tertua dari Sultan Iskandar Muda (1607-1636), pemimpin terbesar Kesultanan Aceh. Safiatuddin dikenal
sebagai seorang wanita yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata. Tak heran, berkat pemahamannya
yang luas, ia diangkat menjadi sultanah atau pemimpin Kesultanan Aceh pada tahun 1641 hingga 1675.
Ia berhasil membawa Kesultanan Aceh pada kejayaan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan.

Safiatuddin lahir di Aceh pada tahun 1612. Ia adalah anak tertua dari Sultan Iskandar Muda. Ia
diberi nama oleh Sultan Iskandar Muda Putri Sri Alam dengan gelar Safiatuddin Tajul Alam. Sejak kecil,
Safiatuddin sudah didorong oleh ayahnya untuk belajar kepada ulama dan ilmuwan di Kesultanan Aceh.

Adapun Safiatuddin pernah berguru kepada Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry,
Syekh Faqih Zainul Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh
Muhyiddin Ali, Syekh Taqiy yudin Hasan, dan Syekh Saifuddin Abdul kahhar. Oleh sebab itu, Safiatuddin
bisa menguasai bahasa Arab, Urdu, Spanyol, dan Persia. Ia juga menguasai ilmu fikih, sejarah, mantik,
filsafat, sastra, dan tasawuf.

Naik Tahkta

Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia, takhta Kesultanan Aceh diambil alih oleh suami
Safiatuddin yang bernama Sultan Iskandar Tsani. Sultan Iskandar Tsani merupakan putra dari Sultan
Ahmad Syah yang berasal dari Pahang, Malaysia. Safiatuddin menikah dengan Sultan Iskandar Tsani
pada tahun 1617 setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang.

Sultan Iskandar Tsani memerintah Kesultanan Aceh dari tahun 1636 hingga 1641. Kekuasaannya
berakhir setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal. Kematian Sultan Iskandar Tsani menimbulkan
kericuhan dalam pencarian penggantinya. Hal itu disebabkan tidak adanya kalangan keluarga dekat laki-
laki yang bisa meneruskan tampuk pemerintahan.

Awalnya, kaum ulama tidak menyetujui apabila Safiatuddin naik takhta sebagai pemimpin
Kesultanan Aceh. Menanggapi hal tersebut, ulama besar Aceh yang bernama Nurrudin Ar-Raniri
menengahinya. Nurrudin Ar-Raniri menilai bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin selama ia memiliki
kualitas yang dibutuhkan.
Selain itu, Nurrudin Ar-Raniri berpendapat bahwa kualitas seperti amanah, adil, dan memiliki
keluasan ilmu ada dalam Safiatuddin. Berkat Nurrudin Ar-Raniri, Safiatuddin akhirnya naik takhta dan
menjadi Sultanah Kesultanan Aceh pada tahun 1641 dan mendapat gelar Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Kepemimpinan Safiatuddin

Safiatuddin memiliki beban warisan kejayaan yang sangat berat. Hal itu didasarkan pada
kejayaan Aceh di era kepemimpinan Ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Di era Sultan Iskandar Muda, Aceh
memiliki wilayah yang membentang dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaya. Meski
demikian, Safiatuddin tidak memiliki penegtahuan di bidang militer, ia lebih suka mengedepankan
diplomasi. Safiatuddin lebih suka membangun aliansi dan mencari dukungan untuk memperkuat
kedaulatan Kesultanan Aceh.

Bahkan diplomasi yang diusung oleh Safiatuddin berhasil mencegah Aceh dari invasi bangsa
asing semasa pemerintahannya. Namun, ada catatan bahwa Safiatuddin pernah melakukan serangan
militer ketika memerangi VOC di Perak dan Pantai Barat Sumatra. Hal itu disebabkan karena VOC
dianggap telah melanggar kedaulatan atas wilayah Kesultanan Aceh. Sebagai pemimpin Kesultanan
Aceh, Safiatuddin juga memikirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya. Ia tercatat memajukan
Jami’ Baiturrahman di Banda Aceh. Safiatuddin juga membangun berbagai pesantren di seluruh wilayah
Kesultanan Aceh.

Safiatuddin memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan dibantu Nurrudin Ar-Raniri
dan Abdurrauf Singkil yang saat itu menjabat sebagai mufti Kesultanan. Para ulama juga didorong untuk
menghasilkan berbagai karya-karya tulisan untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah
Syekh Ar-Raniry yang menulis kitab Hidayatul-Iman bi Fadhlil-Manan.

Sultanah Safiatuddin juga membuka lembaga pendidikan bagi perempuan yang kemudian
membuka kesempatan kaum hawa untuk turut andil bekerja di berbagai profesi yang memungkinkan.
Bahkan di era kepemimpinan Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat tak melulu diisi kaum lelaki,
perempuan diberi kesempatan masuk di parlemen tersebut. Kesultanan Aceh di era kepemimpinan
Sultanah Safiatuddin bisa dibilang mengalami kemajuan dibidang politik, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Hal itu merupakan pengabdian dan kerja keras sebagai pemimpin perempuan. Sultanah
Safiatuddin akhirnya turun takhta pada tahun 1675 karena meninggal dunia pada usia 63 tahun.

Anda mungkin juga menyukai