Anda di halaman 1dari 7

BAB VIII

OSTEOPOROSIS

I. Tujuan Pembelajaran

Tujuan dari pembelajaran ini adalah memahami dan mampu menjelaskan tentang
pengertian Osteoporosis, dari etiologi, patofisiologi, faktor risiko, hasil
laboratorium, tatalaksana terapi serta menentukan pemilihan terapi yang tepat.

II. Materi

II.1 Pengertian Osteoporosis

Osteoporosis berasal dari kata ‘osteo’ yang berarti tulang dan ‘porous’ yang
berarti berlubang-lubang atau keropos, sehingga secara bahasa osteoporosis
berarti tulang yang keropos. Pada kebanyakan kasus, osteoporosis sering tidak
terdeteksi sampai timbul patah tulang. Oleh karena itu, osteoporosis sering dikenal
sebagai silent disease atau silent thief.

II.2. Etiologi

Osteoporosis merupakan suatu penyakit metabolik tulang yang bersifat


sistemik dengan karakteristik terjadinya penurunan massa tulang karena
berkurangnya matriks dan mineral tulang serta kerusakan mikroarsitektural
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lebih mudah patah. Berdasarkan kriteria
Depkes RI, osteoporosis merupakan keadaan dimana tulang menjadi tipis, rapuh,
keropos, dan rentan patah akibat penurunan massa tulang yang terjadi dalam
waktu lama.

II.3. Patogenesis

Pada keadaan normal, tulang secara kontinyu mengalami proses


remodeling yang terdiri atas pembentukan dan penyerapan tulang. Kedua proses
tersebut berjalan secara seimbang dengan melibatkan 2 jenis sel yang
bertanggung jawab pada masing-masing proses, yaitu osteoblas (pembentukan)
dan osteoklas (penyerapan). Proses pembentukan (bone formation) dan
penyerapan (bone resorption) tulang ini terus berjalan seumur hidup dan mencapai
puncak keseimbangannya pada rentang usia 30-40 tahun. Proses remodeling ini
diregulasi oleh beberapa hormon dan faktor lain yaitu hormon tiroid, paratiroid
(PTH), hormon pertumbuhan, insulin, glukokortikoid, kalsitonin, vitamin D
(kalsitriol), hormon seks (estrogen), dan kalsium.

Pada osteoporosis, terjadi ketidakseimbangan jumlah dan aktivitas antara


sel osteoblas dan sel osteoklas. Sel osteoklas bekerja lebih dominan sehingga
metabolisme tulang lebih berat ke arah penyerapan tulang. Proses patologis ini
dinamakan abnormalitas bone turnover dimana terjadi penurunan densitas
(kepadatan) mineral tulang dan kualitas tulang sehingga tulang menjadi lebih
rentan patah. Gangguan kepadatan tulang ini diawali oleh osteopenia yaitu massa
tulang rendah, sebelum akhirnya menjadi osteoporosis. Progresivitas
osteoporosis akan mengakibatkan timbulnya nyeri dan kelainan bentuk tulang
seperti punggung yang semakin membungkuk.

Pada kondisi normal, sel osteoblas merupakan sel target utama dari hormon
estrogen. Oleh karena itu, estrogen dalam sirkulasi akan berikatan dengan
reseptornya yang terdapat pada sitosol sel osteoblas yaitu Estrogen Reseptor
Alpha (ERα) dan Estrogen Reseptor Beta (ERβ). Ikatan estrogen dengan
reseptornya tersebut mengakibatkan penurunan sekresi sitokin yang berfungsi
dalam proses penyerapan tulang seperti Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6),
dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNFα). Penurunan kadar estrogen pada wanita
pascamenopause menyebabkan peningkatan sekresi sitokinsitokin tersebut
sehingga terjadi peningkatan jumlah dan aktivitas sel osteoklas yang
mengakibatkan penurunan massa tulang.

Efek lain dari ikatan estrogen dengan reseptornya adalah terjadinya peningkatan
sekresi Transforming Growth Factor Beta (TGFβ) yang merupakan satu-satunya
mediator yang menarik osteoblas ke tempat jaringan tulang yang berlubang akibat
aktivitas sel osteoklas. Efek lanjut dari sekresi TGFβ ini adalah menghambat
pengeroposan tulang dan menginduksi apoptosis sel osteoklas.

Penyebab osteoporosis dikelompokkan menjadi osteoporosis primer seperti


penuaan atau penurunan estrogen serta osteoporosis sekunder. Karena penyakit
lain atau penggunaan obat. Osteoporosis primer merupakan bentuk paling umum.
Osteoporosis Primer
Osteoporosis Primer Tipe I

Osteoporosis primer tipe I juga dikenal sebagai osteoporosis pascamenopause.


Osteoporosis tipe ini disebabkan oleh kekurangan estrogen pada
pasien menopause. Masa tulang hilang pada tulang trabekular.

Osteoporosis Primer Tipe II

Osteoporosis primer tipe II juga disebut osteoporosis senilis, yang diinduksi oleh
menurunnya kadar kalsium dan sel-sel pembentuk vitamin D Massa tulang hilang
akibat penuaan tulang kortikal dan trabekular

Pada masa awal terjadinya osteoporosis primer tipe 1, penderita akan kehilangan
1-3% massa tulang dan terus mengalami penurunan sampai kehilangan 35-50%
massa tulangnya. Sedangkan pada tipe 2, osteoporosis terjadi baik pada pria
maupun wanita yang berusia sekitar 70 tahun.

Osteoporosis Juvenile

Osteoporosis juvenile biasanya ditemukan pada anak atau dewasa muda. Awitan
penyakit antara usia 8-14 tahun. Contoh penyebab tipe ini adalah kelainan kolagen
bawaan seperti osteogenesis imperfekta.

Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit, defisiensi, atau
penggunaan obat yang dapat menyebabkan kekeroposan tulang. Pemberian obat-
obatan seperti steroid, antikejang, obat hormonal antiseks, heparin, litium,
metroteksat, obat sitotoksik lain, vitamin D, tiroksin, dan konsumsi alkohol atau
tembakau dapat mengakibatkan terjadinya osteoporosis. Penyakit kronik yang
menyebabkan pembatasan gerak tubuh seperti artritis reumatoid dan penyakit
kronik yang menyebabkan menurunnya kadar kalsium tubuh seperti gagal ginjal,
intoleransi terhadap susu, dan beberapa penyakit traktus digestivus lainnya juga
dapat memunculkan penyakit osteoporosis.

II.4. Faktor Risiko


Bebarapa faktor yang dapat meningkatkan resiko osteoporosis dan patah tulang :

 Gaya hidup : penyalahgunaan alkohol, merokok, asupan garam, Vitamin D


dan kalsium yang kurang
 Penyakit genetik : osteogenesis imperfecta, Gaucher’s disease,
 Gangguan endokrin : Cushing’s syndrome, diabetes mellitus
 Gangguan gastrointestinal: malabsorpsi, radang usus
 Gangguan hematologi : hemofilia, leukimia, talasemia
 Reumatologi dan autoimun : arthritis rheumatoid, lupus sistemik
 Lain-lain: HIV/AIDS, depresi, penurunan berat badan
 Obat –obatan : antikoagulan, antikonvulsan, glukokortikoid, lithium

Pencegahan osteoporosis dapat dengan melakukan diet kalori cukup, protein,


kalsium dan vitamin D

II.5. Pemeriksaan Osteoporosis:

Diagnosis Osteoporosis dapat ditegakan dengan menggunakan pengukuran


kepadatan mineral tulang (BMD) yang digambarkan sebagai skor –T atau Z.
Penilaian BMD dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode seperti
Single-Photon Absorptiometry (SPA), Single-Energy X-ray Absorptiometry (SXA)
lengan bawah dan tumit, Dual-Photon Absorptiometry (DPA), Dual-Energy X-ray
Absorptiometry (DXA) lumbal dan proksimal femur, dan Quantitative Computed
Tomography (QCT).

Pemerikasaan lainnya juga dapat dilakukan seperti pemeriksaan biokimia tulang


dan radiologi. Pada pemeriksaan biokimia tulang adalah mengetahui kadar ion
kalsium, kadar kalsium total dalam serum dan urin, kadar fosfor dalam serum,
fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin, dan apabila diperlukan maka dapat
disertai dengan hormon paratiroid dan vitamin D. Pemeriksaan radiologi kasus
osteoporosis sangat tidak sensitif, bahkan seringkali tidak didapatkan gambaran
radiologi yang spesifik pada penurunan densitas massa tulang spinal yang sudah
lebih dari 50%, serta subyektif bergantung pada keahlian pemeriksa, alat radiologi
yang digunakan, serta teknik pencucian dan kualitas film.
Dari hasil T-score tersebut, dapat diklasifikasikan diagnosis BMD ke dalam 4
golongan :

II.6. Tatalaksana Osteoporosis

Tujuan Utama terapi adalah untuk mencegah patah tulang dengan meningkatkan
kekuatan tulang dan mengurangi resiko jatuh dan cedera, meredakan gejala patah
tulang dankelainan bentuk tulang serta mempertahankan fungsi fisik normal.

Berdasarkan carakerjanya, obat osteoporosis terbagi atas :

 agen antiresorptif untuk menurunkan kehilangan masa tulang dan agen


anabolik untuk meningkatkan masa tulang.
 Agen antiresorptif seperti golongan bifosfat (alendronate, risedronate,
ibandronate dan asam zoledronate), calcitonin, strontium ranelate dn
denosumab.

Agen anabolik seperti golongan selective estrogen reseptor modulator (SERM)


seperti reloxifene. Anabolik lainnya teriparatide dan terapi sulih estrogen.

Gambar 1. Hubungan Vitamin D pada Osteoporosis


Pemeriksaan kadar Vitamin D dapat menunjukan hubungan dengan kejadian
Osteoporosisi, dimana Kadar 25-OH vitamin D dalam darah merupakan parameter
terbaik dalam pengukuran status vitamin D jika dibandingkan dengan 1,25-OH
vitamin D. Beberapa keadaan yang mendukung pernyataan tersebut :

 1,25-OH vitamin D memiliki kadar 1000 kali lebih rendah dibandingkan


kadar 25-OH vitamin D.
 25-OH vitamin D juga memiliki waktu paruh yang lebih panjang di dalam
sirkulasi darah yaitu 2-3 minggu, sedangkan 1,25-OH vitamin D hanya
bertahan sekitar 4 jam di dalam sirkulasi darah.
 25-OH vitamin D juga merepresentasikan jumlah antara produksi vitamin
D3 kulit dan vitamin D (D2 dan D3) dari makanan.
 Pada keadaan hipovitaminosis Vit D, akan terjadi peningkatan sekresi PTH
sebagai respon kompensatori yang berakibat pada terstimulasinya ginjal
untuk mengubah 25-OH vitamin D menjadi 1,25-OH vitamin D melalui
peningkatan aktivitas enzim 1α hidroksilase, sehingga kadar 1,25-OH
vitamin D cenderung meningkat sedangkan kadar 25-OH vitamin D akan
menurun.
 Pada keadaan lain penyakit ginjal kronik, 1,25-OH vitamin D mengalami
penurunan akibat menurunnya fungsi ginjal dalam mengubah 25-OH
vitamin D menjadi 1,25-OH vitamin D

Daftar Pustaka :

undip.ac.id/69456/3/Bab_II_Tinjauan_Pustaka.pdf

Sozen, Tumay., Ozisik, Lale and Basaran, Nuursel C, 2017, An Overview and
Management Of Osteoporosis. European Jurnal Of Rheumatology, Vol.4 No. 1:
pp.45-56

Utami, K., 2022., Hubungan kepatuhan pengobatan terhadap Outcome Klinis


Pasien Osteoporosis Rawat Jalan di RSUP Fatmawati.

Anda mungkin juga menyukai