Anda di halaman 1dari 13

ALUR PENEGAKAN DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS

Hingga saat ini deteksi dini osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak
memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosis penyakit
osteoporosis terkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang
pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria
atau wanita. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30-40% baru dapat dideteksi
dengan pemeriksaan X-ray konvensional.1,2,3

Gejala Klinik

Gejala klinik dapat ditemukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengenalan
terhadap faktor risiko osteoporosis akan sangat membantu dalam pendekatan diagnosis
osteoporosis. Adapun faktor risiko terjadinya osteoporosis : 1,2,3

a. Usia
Semakin bertambah usia semakin tinggi resiko terkena osteoporosis. Hal ini
disebabkan karena tulang manusia mengalami proses yang dinamakan
modelling dan remodelling yang berjalan baik pada masa pertumbuhan,
sehingga massa tulang terus bertambah. Massa tulang pada usia 30 – 35 tahun.
Pada usia setelah 35 tahun, proses modelling tulang sudah berhenti dan proses
remodelling tulang berjalan tidak seimbang. Sel osteoblas akan lebih cepat mati
akibat sel osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga proses resorpsi tulang
juga akan menjadi lebih aktif dibandingkan dengan formasi tulang dan massa
tulang akan berkurangsekitar 0,5 – 1 % setiap tahunnya, sehingga kepadatan
tulang akan terus menerus menurun sampai puncaknya terjadi osteoporosis dan
fraktur.
b. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Hal ini
disebabkan karena laki-laki memiliki tulang yang lebih padat, dan aktivitas fisik
yang lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Ditambah adanya pengaruh
hormon estrogen pada wanita yang berpengaruh meningkatkan aktivitas sel
osteoblas dan menurunkan aktivitas osteoklas. Hormon estrogen mulai
mengalami penurunan kadarnya dalam tubuh wanita pada usia 35 tahun, hingga
mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 – 50 tahun. Hal ini yang
menyebabkan wanita post menopause kerapuhan tulang terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan pembentukan tulang.

c. Berat Badan
Seseorang dengan berat badan yang rendah lebih berisiko terkena osteoporosis
daripada orang dengan berat badan yang berlebih.Seseorang dengan berat
badan yang berlebih akan membuat tubuhnya menopang beban yang lebih berat
dan memberikan tekanan yang lebih tinggi juga pada tulang, sehingga tulang
akan menjadi lebih kuat dan meningkatkan massa tulang.

d. Ras/Suku
Ras atau suku merupakan salah satu faktor resiko osteoporosis. Ras yang rentan
terhadap osteoporosis adalah Asia dan Kaukasia dibandingkan dengan ras
berkulit hitam (Afrika-Amerika). Ras kulit hitam memiliki masa otot dan tulang
yang lebih besar dan padat.

e. Riwayat Keluarga
Seseorang dengan riwayat keluarga orang tuanya menderita osteoporosis akan
lebih rentan terkena osteoporosis. Pada seorang wanita yang mempunyai
riwayat keluarga ibunya mengalami patah tulang belakang akibat osteoporosis
diperkirakan 60-80% lebih mudah mengalami penurunan masa tulang dan lebih
berisiko terkena osteoporosis. Hal ini berkaitan dengan faktor genetik yang
berpengaruh pada jumlah reseptor estrogen pada sel-sel tulang.

f. Aktivitas Fisik
Aktivititas fisik yang kurang dapat menjadi faktor resiko osteoporosis.
Aktivitas fisik kurang menyebabkan sekresi kalsium tinggi dan pembentukan
tulang tidak maksimal yang mengakibatkan penurunan massa tulang. Banyak
beraktivitas fisik dan berolah raga memicu pembentukan massa tulang dan otot,
sehingga tulang tidak mudah mengalami pengeroposan di usia tua.
Aktivitas fisik dan olah raga yang paling baik pada saat masih proses
pembentukan tulang adalah weight bearing exercise yang membebani otot dan
tulang, sehingga memicu tulang menjadi semakin padat.

g. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok membuat seseorang rentan terkena osteoporosis. Zat
nikotin di dalam rokok berperan dalam mempercepat proses penyerapan tulang
dan menurunkan kadar dan aktivitas hormon estrogen pada wanita, selain itu
nikotin juga menyebabkan terganggunya proses reabsorbsi kalsium dalam
ginjal.

h. Kebiasaan Konsumsi Alkohol


Konsumsi alkohol yang berlebihan mengganggu metabolisme vitamin D dalam
tubuh dan menghambat penyerapan kalsium, sehingga berpengaruh
menurunkan kepadatan tulang.
i. Kebiasaan Konsumsi Kafein
Kafein memiliki efek diuretik. Efek diuretik ini menyebabkan ekskresi kalsium
melalui urin menjadi semakin banyak dan berpengaruh terhadap kepadatan
tulang.

j. Asupan Makanan
Asupan makanan yang baik untuk tulang adalah makanan yang cukup
mengandung protein, kalsium dan vitamin D. Protein yang berlebih dapat
meningkatkan resiko osteoporosis. Dari beberapa penelitian sebelumnya,
protein akan dipecah menjadi senyawa asam. Senyawa asamini akan ditahan di
dalam tulang sehingga menyebabkan pelepasan kalsium oleh tulang. 1,19
Kalsium merupakan faktor pendukung untuk proses pertumbuhan tulang, dan
menjadi salah satu terapi osteoporosis. Asupan kalsium tiap individu dapat
berbeda-beda dipengaruhi faktor resiko yang dimiliki individu tersebut. Kadar
kalsium yang dibutuhkan orang dewasa berkisar 1000-1300 mg/hari. Sumber
kalsium bisa didapatkan dari makanan seperti susu, ikan terutama ikan yang
dimakan dengan tulangnya, bahan makanan dari kedelai, dll. Penyerapan
kalsium dibantu juga oleh vitamin D. Vitamin D dapat diperoleh dari konsumsi
lemak ikan dan minyak ikan.

k. Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang panjang perlu diperhatikan
pemakaiannya. Obat-obat yang harus perhatikan karena berisiko menyebabkan
osteoporosis adalah kortikosteroid, obat anti konvulsi, obat hormon
progresteron jangka panjang, obat-obat imunosupresan dan obat anti koagulasi,
agonis GnRH, aluminium antacid, laxix.
Kortikosteroid mempunyai efek ke tulang dengan inhibisi aktivitas osteoblas
yang berarti proses formasi tulang oleh osteoblas juga terhambat.
Kortikosteroid juga berperan dalam proses osteoklastogenesis. Pemberian
kortikosteroid dalam jangka panjang menyebabkan defisit massa tulang dan
terjadi penipisan trabekula tulang.

l. Penyakit Lain
Penyakit yang berhubungan dengan terjadinya osteoporosis adalah diabetes
mellitus, penyakit ginjal kronis, saluran cerna, hati, dan endokrin. Penderita
penyakit ginjal kronik biasanya disertai dengan ketidakseimbangan hormon
paratiroid, fosfor, vitamin D dan juga ditemukan adanya petanda resorpsi tulang
yang meningkat.
Hormon insulin memiliki peran dalam merangsang sintesis matriks tulang yaitu
pada proses diferensiasi osteoblas dan pembentukan tulang rawan. Insulin juga
penting dalam mineralisasi tulang normal dan menrangsang produksi IGF I oleh
hati yang berguna meningkatkan jumlah sel yang dapat mensintesis matriks
tulang. Penyakit diabetes mellitus dapat terjadi karena seseorang mengalami
defisiensi hormon insulin oleh karena itu maka meningkatkan resiko terjadinya
osteoporosis.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila didapatkan : 1)


patah tulang akibat trauma yang ringan, 2) tubuh makin pendek, kifosis dorsal
bertambah, nyeri tulang, 3) secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang
khas. Evaluasi klinis terhadap penderita osteoporosis diarahkan pada identifikasi faktor
risiko. 1,2,3

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis faktor risiko osteoporosis : 1,2,3

1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau


peningkatan kifosis torakal.
2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi predisposisi osteoporosis :
a. Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushing, diabetes melitus,
penyakit tiroid, penyakit Adison, hiperparatiroidisme, hipogonadisme,
menopause dini atau operasi ovarium yang menyebabkan menopause
dini.
b. Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal,
riwayat urolithiasis (hiperkalsiuria).
c. Penyakit hati, misalnya sirosis bilier primer, transplantasi hati.
d. Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang
jarang terpajan dengan sinar matahari.
e. Penyakit hematologik, misalnya multiple myeloma, anemia
sideroblastik, talasemia.
f. Penyakit syaraf, dalam hal ini berbagai obat anti epileptik, seperti
dilantin dan fenobarbital, ternyata dalam menurunkan densitas massa
tulang.
g. Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, penyakit
kolon inflamatif, reseksi usus.
h. Penyakit rematik, misalnya reumatoid arthritis, spondilosis ankilosis,
penyakit Reiter.
3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menebabkan osteoporosis, seperti
kortikosteroid jangka panjang > 3 bulan, obat anti epilepsi, siklosporin, litium.
4. Riwayat menopause dan riwayat kehamilan.
5. Anamnesis asupan gizi, terutama asupan kalsium.
6. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor risiko osteoporosis,
seperti merokok, minum alkohol, kurang olahraga.
7. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi faktor risiko
ini.
8. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskules yang mungkin
akan mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.

Pada pemeriksaan fisik, tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien
osteoporosis. Demikian juga dengan gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-
length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid). 1,2,3
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani. Biasanya
didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi metakarpalpalangeal dan ekstensi sendi-
sendi interpalangeal. 1,2,3

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium berupa penanda biokimiawi tulang1,2,3
Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk menentukan diagnosis
osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang proses dinamis
penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat menunjukkan derajat
kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat
memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan
prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik
untuk uji saring maupun untuk pemantauan pengobatan. Sehingga satu satunya
pilihan untuk menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda
biokimiawi.
Penanda biokimia tulang untuk proses pergantian tulang (biochemical bone
marker) dibedakan untuk proses formasi dan resorpsi tulang. Indikasi analisis
penanda tulang yang utama adalah wanita berusia dengan risiko osteoporosis,
masa perimenopause sampai senilis, mendampingi pengukuran BMD. Juga
dianjurkan pada semua orang dengan sangkaan osteoporosis karena pengobatan
kortikosteroid yang lama, merokok, konsumsi alkohol, kecenderungan fraktur
karena trauma ringan, riwayat keluarga dan artritis reumatoid.
The Expert Committee of the Committee of Scientific Advisors of the
Tnternational Osteoporosis Foundation, merekomendasikan pada osteoporosis
pasca menopause dengan terapi sulih hormon atau bisfosfonat, dengan
mengukur 1 atau 2 parameter, masing-masing proses formasi dan resorpsi
tulang, yaitu osteocalsin, BSAP, P1NP untuk formasi tulang, serta -Cross
Laps (CTx) dan U-DPD untuk resorpsi tulang. Pengambilan spesimen darah
sebaiknya dilakukan pagi hari setelah puasa semalam dan sebaiknya disertai
koreksi kreatinin. Dianjurkan pemeriksaan dilakukan sebelum memulai terapi,
lalu pemeriksaan penanda resorpsi tulang dilakukan 3/6 bulan dan penanda
formasi 6 bulan kemudian.
Penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa kadar interleukin-6 dan RANK-
ligand yang tinggi dalam serum merupakan faktor risiko terhadap kejadian
osteoporosis pada wanita pascamenopause defisiensi estrogen. Akan tetapi
sayangnya pemeriksaan dari kedua komponen tersebut belum dapat dilakukan
secara rutin di laboratorium.
2. Pemeriksaan radiologi1,2,3
Pemeriksaan radiologi untuk menilai densitas tulang sangat tidak sensitif. Nilai
diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk menilai osteoporosis dini, kurang
memuaskan, karena pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi osteoporosis
setelah penurunan densitas massa tulang lebih dari 30%. Gambaran radiologi
yang khas pada osteoporosis adalah penipisan kortek dan daerah trabekular
yang lebih lusen. Hal ini akan terlihat akan tampak terlihat pada tulang-tulang
vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. Pada tulang-
tulang vertebra, pemeriksaan radiologi anteoposterio dan lateral sangat baik
untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur baji atau fraktur bikonkaf.
3. Pemeriksaan densitas massa tulang1,2,3
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk
menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor
prognosis, prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang
dapat digunakan untuk menilai massa tulang adalah single photon
absorptiometry (SPA), dual photon absorptiometry (DPA), X-ray
Absorptiometry (ada dua jenis, yaitu Single X-ray Absorptiometry = SXA dan
Dual Energy X-ray Absorptiometry = DEXA) dan quantitative computer
tomography (QCT).
Indikasi pemeriksaan densitrometri tulang menurut International Society of
Clinical Densitometry (ISCD) 2007 adalah :
 Wanita usia ≥ 65 tahun tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
 Pria ≥ 70 tahun, tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
 Wanita muda postmenopause dan pria usia 50-69 tahun berdasarkan
memiliki profil faktor risiko klinis.
 Wanita perimenopause dengan faktor risiko patah tulang seperti berat
badan rendah, riwayat patah tulang dengan trauma ringan atau obat
berisiko tinggi.
 Orang dewasa yang memiliki patah tulang setelah usia 50 tahun.
 Orang dewasa dengan kondisi (misalnya, rheumatoid arthritis) atau
konsumsi obat (misalnya, glukokortikoid, dosis harian prednisone ≥ 5
mg atau setara selama ≥ 3 bulan) yang berhubungan dengan massa
tulang yang rendah atau keropos tulang.
 Siapapun yang dipertimbangkan akan mendapat terapi farmakologis
untuk osteoporosis.
 Menghentikan estrogen pada wanita postmenopause harus
dipertimbangkan untuk pengujian kepadatan tulang.
 Sebagai monitor terhadap terapi osteoporosis yang diberikan.

Pemeriksaan X-ray absorptiometry1,2,3


Pesawat X-ray absorptiometry menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Selain
itu keuntungan lain densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan DPA (Dual
Photon Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran
vertebral dari anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat
dihindarkan, sehingga presisi pengukuran lebih tajam. Ada dua jenis Xray
absorptiometry yaitu : SXA (Single X-ray Absorptiometry) dan DEXA (Dual Energy
X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki
maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DEXA, yang digunakan
untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh.
Bagian tulang seperti tulang punggung (vertebralis) dan pinggul (Hip) dikelilingi oleh
jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-
organ dalam perut. Jaringan-jaringan ini membatasi penggunaan SPA (Single Photon
Absorptiometry) atau SXA, oleh karena dengan system ini tidak dapat menembus
jaringan lunak tersebut, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk tulang yang berada
dekat kulit. DEXA atau absorptiometri X-ray energy ganda memungkinkan kita untuk
mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam.

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI) 1,2,3


1. Tulang belakang (L1-L4)
2. Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
3. Lengan bawah (33% radius), bila:
- Tulang belakang dan/atau panggul tidak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obese
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk
diagnosis osteoporosis.
Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan mendapatkan
informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain: 1,2,3
- Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam satuan gram/cm2.
- Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
- Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas
mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang
dinyatakan dalam persentase.
- Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas
mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang
dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score).
- T score hanya digunakan untuk wanita post atau perimenopause dan laki-laki diatas
50 tahun, sedangkan Z score digunakan pada wanita premenopause dan laki-laki
dibawah 50 tahun.

T-score dan Z-score.

Z-score yang rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis


sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus
dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab
oeteoporosis sekunder. 1,2,3
Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score
adalah sebagai berikut : 1,2,3
1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 standar
deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata
orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang
lebih dari 1 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih
dari 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10-25% di bawah
rata-rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
standar deviasi di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-
rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata
ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-
score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis).

Klasifikasi diagnostik osteoporosis (WHO study group 1994)

Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita harus
memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu.
Pengukuran massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan
mengendalikan/pengobatan osteoporosis. 1,2,3
Referensi :
1. Helmi ZN. Buku ajar: gangguan musculoskeletal. 1st ed. Jakarta: Salemba
Medika; 2012. hal.272-77.
2. Mukti M. Patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis. [online].
2011. [cited on 2019 01 January]. Available on :
http://docshare01.docshare.tips/files/14288/142889068.pdf
3. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1142/MENKES/SK/XII/2008. PEDOMAN PENGENDALIAN
OSTEOPOROSIS MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.

Anda mungkin juga menyukai