Anda di halaman 1dari 17

NATURAL HISTORY OF DISEASE

A. Riwayat Alamiah Penyakit Osteoporosis

1. Tahap Peka/Rentan
Meliputi orang-orang yang sehat,tetapi mempunyai faktor resiko atau
predisposisi untuk terkena penyakit. Osteoporosis merupakan penyakit dengan
etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor resiko
osteoporosis yang berhubungan erat dengan resiko terjadinya fraktur osteoporotik.
Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur. Insidens fraktur
pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur
vertebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah umur 70-an. Pada
perempuan, resiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki pada umur yang sama dan
lokasi fraktur tertentu. Karena harapan hidup perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan
akan menjadi jauh lebih tinggi dari pada laki-laki.
Densitas massa tulang juga berhubungan dengan resiko fraktur. Setiap
penurunan densitas massa tulang 1 SD berhubungan dengan peningkatan resiko
fraktur 1,5-3,0. Walaupun demikian, pengukuran densitas tulang tanpa
memperhatikan umur pasien juga tidak ada manfaatnya . seorang wanita yang
berumur 80 tahun dengan T-score-I akan memiliki resiko fraktur lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Tetapi
terapi yang diberikan pada wanita yang berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat
dibandingkan terapi pada wanita yang berusia 80 tahun, karena harapan hidup
wanita yang berumur 50 tahun lebih besar dibandingkan wanita yang berumur 80
tahun. Selain itu kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80 tahun
yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih diprioritaskan untuk diterapi
dari pada wanita yang berumur sama, tetapi aktifitas fisiknya sudah minimal.
Perbedaan ras dan geografik juga berhubungan dengan resiko
osteoporosis. Fraktur panggul lebih tinggi insidennya pada orang kulit hitam di
Amerika Serikat dan di Afrika Selatan, demikian juga pada orang jepang baik
yang tinggal di Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.
Tabel 1. Faktor risiko Osteoporosis
Umur Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan
Genetik Etnis (kaukaus/oriental > orang hitam/polinesia
Gender (perempuan > laki-laki)
Riwayat keluarga
Lingkungan Makanan, defisiensi kalsium
Aktifitas fisik dan pembedahan mekanik
Obat-obatan misalnya kortikosteroid, anti konvulsan,
heparin, Merokok
Alkohol
Jatuh (trauma)

Hormon Defisiensi estrogen


endogen dan Defisiensi androgen
penyakit Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme
kronik
Sifat fisik Densitas masa tulang
tulang Ukuran dan geometri tulang
Mikroarsitektur tulang
Komposisi tulang

Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan faktor risiko


terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat dose-dependent. Demikian juga
merokok yang merupakan faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen
terhadap nilai BMD.

Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur


osteoporotik yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal sehingga
akan menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan
kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi
gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga
akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat
kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi
tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan
terjadi osteoporosis yang progresif.

2. Tahap pragejala/subklinis
a. Penurunan densitas tulang karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas
melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang).
b. Pada menopouse, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium
serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma
c. Meningkatnya kadar albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam
kompleks.
d. Kehilangan massa tulang dan peningkatan resorpsi tulang akibat defisiensi
kalsium sehingga dapat menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder yang
persisten yang akan semakin meningkatkan resorpsi tulang.

3. Tahap Klinis
a. Nyeri tulang
b. Kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada
hipokalsemia
c. Kelemahan otot
d. Kifosis dorsal
e. Kulit tipis
f. Fraktur
g. Berkurangnya tinggi badan.

4. Tahap Terminal
a. Osteoporosis dapat mengakibatkan kecacatan. Pada sebagian kasus keadaan
ini akan dirasakan sepanjang hayat, namun pada kasus lain lambat laun
akan hilang dan membaik.
b. Konsekuensi jangka panjang. Sekitar 15-20% pasien meninggal dunia
dalam 6 bulan setelah patah tulang pinggul. Hanya sekitar seperempatnya
bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya, sepertiganya perlu dibantu
orang lain. Selebihnya perlu dibantu orang untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Jadi patah tulang pinggul membawa konsekuensi parah bagi
pasien maupun keluarganya.
c. Pada osteoporosis berkurangnya masa tulang menyebabkan ruas tulang
remuk atau memipih dibagian depan, tengah, belakang, atau gabungan
ketiganya.
d. Pada penderita patah pergelangan tangan dapat kembali normal secara
bertahap, misalnya bisa timbul selama proses penyembuhan. Kadangkala
sambungan tidak sempurna sehingga bentuk pergelangan berubah.
e. Setelah patah tulang, sekitar sepertiga wanita , mengalami kondisi yang
disebut algodistrofi yang menyebabkan rasa sakit, bengkak dan kekakuan
pada tangan. Peredaran darah ke daerah ini juga mungkin terganggu. Pasien
seperti ini sering mengalami sakit dan kekakuan selama bertahun–tahun.

B. Pencegahan Osteoporosis

1. Pencegahan Primer
Dilaksanakan bila belum ditemukan adanya tanda-tanda osteoporosis
dengan menghindari faktor resiko, seperti :
a. Diit yang mengandung cukup kalsium (300 mg/hari)
Kalsium diperlukan untuk pembentukan tulang, karena itu
kebutuhan akan kalsium harus dipenuhi. Sumber kalsium yang terbaik
adalah makanan, tetapi bila tidak mencukupi maka diperlukan tambahan
kalsium dari suplemen kalsium. Kalsium dapat ditemukan antara lain
dalam sereal, kerang, ikan teri, ikan sardin dan susu, yoghurt, sitrun, keju,
buah, dan sayuran.
Jenis buah dan sayuran yang berperan dalam pencegahan
Osteoporosis, seperti sawi hijau, kangkung, daun hijau, selada, papaya,
jagung, mangga, mentimun, alpukat, pisang, jeruk, anggur, apel, dan cabai
(Wirakusumah, 2007).

b. Mengkonsumsi makanan yang lebih bervariasi


Makanan yang tidak bervariasi membuat penyerapan kalsium
semakin berkurang. ”Wanita-wanita tertentu hanya dapat menyerap sekitar
15 persen saja dari makanan mereka, sementara yang lain mampu
menyerap tiga kali lebih banyak”, kata Robert Harey MD, Dewan
Penasehat Ilmiah mengenai Osteoporosis di kantor pengkajian Teknologi
Amerika. Tetapi penyebab lain adalah cara memasak makanan-makanan
mengkhilangan mineral penting tersebut, atau tidak dapat diserap tubuh
dengan baik.

c. Konsultasi ke Dokter
Mengkonsultasikan ke dokter tentang kemungkinan perlunya
mengkonsumsi metabolit aktif vitamin D3, terapi pengganti hormon
estrogen, dan penggunaan segala obat dalam waktu lama.
Suplemen vitamin D dan kalsium melalui makanan mengurangi
perkembangan Osteoporosis pada lansia dan merupakan komponen
esensial dalam pencegahan. Terapi penggantian estrogen-progesteron
atau modulator reseptor estrogen adalah riwayat kanker payudara pada
individu (personal) atau keluarga riwayat individu (personal) mengalami
pembentukan bekuan darah (Corwin, 2009).

d. Berhenti merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol dan steroid.


Hal tersebut merupakan faktor yang dapat menghambat
penyerapan kalsium atau mengganggu pembentukan tulang (Corwin,
2009).

e. Olahraga rutin
Hidup aktif dan latihan jasmani atau fisik (olahraga) secara rutin
dengan unsur perbenaan pada anggota gerak tubuh (kaki,lutut) dan
penekanan pada tulang, misalnya jalan sehat, aerobik, jogging, renang,
bersepeda dan senam pencegahan Osteoporosis. Program latihan juga
sebaiknya dimonitor berdasarkan panduan dari dokter. Para peneliti
meyakini bahwa tiga jenis latihan yang terbaik bagi tulang adalah
menanggung beban, memberi pukulan,dan melatih tekanan. Untuk mereka
yang mengalami kesulitan dalam berolahraga, misalnya karena arthritis,
dapat memilih olahraga yang lebih ringan, seperti berenang,dan jalan kaki.
Olahraga menahan beban, bahkan pada usia yang sangat tua (>85
tahun), terbukti meningkatkan densitas dan massa otot, dan memperbaiki
daya tahan fisik dan keseimbangan (Corwin, 2009).
Program latihan seperti Tai Chi juga terbukti berguna sebagai
pencegahan terapi osteoporosis (Ming Chan,et all, 2003).
Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang
bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan
gannguan pola haid yang justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi
olahraga sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilang
mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh, dan
meningkatkan kebugaran secara umum untuk mengurangi risiko jatuh
(Kawiyana, 2009).

2. Pencegahan Sekunder
Jika telah dinyatakan mengalami atau adanya tanda-tanda terkena
Osteoporosis, maka perlu berkonsultasi dengan dokter tentang:
a. Mengkonsumsi kalsium 500-1200 mg/hari, tergantung usia
Mengkonsumsi kalsium dilanjutkan pada periode
menopause. Suplemen Kalsium melalui makanan dapat
mengurangi perkembangan Osteoporosis pada lansia dan periode
menopause (Corwin, 2009)

b. Terapi Sulih Hormon (TSH)


Setiap perempuan pada saat menopause mempunyai resiko
Osteoporosis. Salah satunya yang dianjurkan adalah memakai ERT
(Esterogen Replacement Therapy) pada mereka yang tak
mengalami kontraindikasi. ERT menurunkan resiko fraktur sampai
50 persen pada tulang panggul.

c. Estrogen, dengan atau tanpa kombinasi progesteron pada wanita


menopause.

d. Latihan fisik yang bersifat spesifik dan individual


Prinsipnya sama dengan latihan beban dan
peregangan  (stretching) pada aksis tulang. Latihan tak dapat
dilakukan secara massal karena perlu mendapat supervise dari
tenaga medis.

e. Kalsitonin
Kalsitonin adalah hormon yang dikenal untuk berpartisipasi
dalam metabolisme kalsium dan fosfor. Bekerja menghambat
resorpsi tulang dan dapat meningkatkan massa tulang apabila
dihunakan selama dua tahun.

f. Perbanyak mengkonsumsi vitamin D3, tergantung kebutuhan


pasien
Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Sekitar 25 hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap
hari pagi hari bagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
Suplemen vitamin D melalui makanan mengurangi perkembangan
Osteoporosis (Corwin, 2009).

g. Bifosfonat
Obat golongan bifosfonat bekerja dengan cara menghambat
kerja sel penghancur tulang secara berlebihan.. Obat-obatan yang
dikenal sebagai bisfosfonat (misalnya alendrodat, risedronat, dan
ibandronat) terbukti mengurangi resorpsi tulang dan mencegah
pengeroposan tulang. Obat-obatan ini, dalam kombinasi dengan
suplemen vitamin D dan kalsium, digunakan untuk terapi dan
pencegahan osteoporosis. Bisfosfonat secara signifikan
meningkatkan densitas tulang terutama pada panggul dan spina,
dan dapat digunakan pada osteoporosis akibat obat
(glukokortikoid) (Corwin, 2009).
Bisfosfonat juga digunakan sebagai adjuvans
kemoterapeutik pada terapi kanker karena potensinya untuk
mencegah metasis tulang. Bisfosfonat tidak mudah diabsorbsi oleh
tubuh sehingga harus digunakan pada lambung yang kosong
dengan segelas penuh air. Pasien harus tetap tegak lurus dan
menahan diri dari makan selama periode tertentu setelah itu, untuk
memastikan absorbs dan mencegah efek samping gastrointestinal.
Oleh karena itu, kepatuha untuk menggunakan bisfosfonat sering
menjadi masalah. Baru-baru ini, sediaan oral satu kali per bulan
yang dapat memperbaiki kepatuhan telah disetujui oleh FDA.
Selain itu, percobaan klinis yang meneliti keefektifan ibandronat
intravena yang diberikan satu kali setiap tiga bulan sedang
dilakukan. Kebutuhan untuk dirawat di rumah sakit dapat
mengurangi popularitas pilihan ini. Keamanan jangka panjang
sediaan tersebut tidak diketahui (Corwin, 2009).
Alendronat (Fosamax 10 mg PO sekali sehari), yaitu suatu
bisfosfonat, terbukti efektif untuk mencegah dan mengobati
osteoporosis (Graber, 2006).

h. Raloxifene
Pengguna raloxifene yang ideal adalah wanita-wanita
dengan risiko osteoporosis dan penyakit jantung yang tidak
menjalani TSH (Terapi Sulih Hormon). Atau bisa juga wanita
pascamenopause yang memiliki risiko osteoporosis dan risiko
tinggi kanker payudara (Rosenthal, 2009).

3. Pencegahan Tersier
Setelah pasien mengalami komplikasi osteoporosis seperti, fraktur
patah tulang), jangan dibiarkan melakukan gerak (mobilisasi) terlalu lama.
Sejak awal perawatan, disusun rencana mobilisasi, mulai mobilisasi pasif
sangat aktif dan berfungsi mandiri. Dokter akan memberikan obat, terapi
latihan maupun alat ortose sesuai dengan kondisi. Beberapa obat yang
bermanfaat adalah bishosponate,kalsitonin aatau NSAID bila nyeri.
Pencegahan tersier dilakukan setelah sistem ditangani dengan
strategi-strategi pencegahan sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada
perbaikan kembali ke arah stabilitas sistem klien secara optimal. Tujuan
utamanya adalah untuk memperkuat resistansi terhadap stressor untuk
mencegah reaksi timbul kembali atau regresi, sehingga dapat
mempertahankan energi. Pencegahan tersier cenderung untuk kembali
pada pencegahan primer.
Hal-hal yang dapat dilakukan bila sudah terjadi patah tulang akibat
osteoporosis :

a. Operasi
b. Pemasangan gips
c. Penggunaan korset/brace
d. Penggunaan tongkat/kursi roda
e. Program rehabilitasi medis
A. Riwayat Alamiah Penyakit Varisela (Cacar Air)

Varisela atau cacar air merupakan suatu penyakit infeksi akut primer
menular, yang disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV), yang menyerang
kulit dan mukosa, dengan ditandai oleh adanya vesikel-vesikel. Virus varicella
zoster berasal dari keluarga herpes virus. Virus ini mempunyai amplop, bentuk
ikosahedral dan memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70
macam protein. Manusia adalah satu-satunya reservoir dari virus ini. Virus
vricella-zoster dapat menyebabkan infeksi primer, laten dan rekuren. Infeksi
primer bermanifestasi sebagai varicela (chickenpox). Reaktivasi dari infeksi laten
menyebabkan herpes zoster. (Kurniawan, 2009)

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Heberden pada tahun 1767, dan
pada tahun 1953 Willer menemukan bahwa virus varisela identik dengan virus
zoster. Varisela terutama menyerang anak-anak kurang dari 10 tahun dengan
angka serangan tertinggi pada usia 2 sampai 6 tahun, namun dapat juga
menyerang orang dewasa serta bayi baru lahir. Varisela dapat menular melalui
percikan ludah, kontak langsung, barang yang dipakai penderita dan udara.
(Laurents, 1997)

Riwayat alamiah penyakit atau natural history of disease merupakan


proses perkembangan suatu penyakit tanpa adanya intervensi manusia (campur
tangan medis) dengan sengaja, atau perkembangan penyakit mulai dari sehat, sakit
sampai akhir perjalanan penyakit (sembuh, kronik, cacad, mati). Perjalanan
alamiah penyakit meliputi, tahap prepatogenesis, tahap subklinis, tahap klinis,
tahap penyakit lanjut dan tahap terminal. Setiap jenis penyakit baik penyakit
menular maupun tidak menular mempunyai perjalanan alamiah penyakit, seperti
penyakit menular Varisela atau cacar air. Perjalanan alamiah penyakit varisela
meliputi:

A.1 Tahap Peka/ Rentan/ Prepatogenesis (Stage of Susceptibility)

Pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara bibit penyakit
(Varicella Zoster Virus)-pejamu-lingkungan, tetapi interaksi ini masih diluar
tubuh, dalam arti virus cacar belum masuk kedalam tubuh pejamu. Pejamu sudah
terancam terkena varisela atau cacar namun daya tahan tubuh masih kuat. Varisela
ditularkan melalui kontak langsung dan droplet. Suatu laporan KLB menyatakan
bahwa adanya penyebaran melalui udara. Virus menempel pada debu atau partikel
droplet yang terbawa udara. Penularan melalui kontak serumah sangat tinggi.
Seperti yang kita ketahui bahwa prepatogenesis meliputi orang-orang sehat tetapi
mempunyai faktor risiko untuk terkena penyakit. Faktor risiko pada penderita
varisela meliputi usia, iklim, dan lingkungan.

Pada faktor resiko usia, sekitar 90% kasus terjadi pada anak – anak usia
kurang dari 10 tahun dan bisa juga terkena pada bayi baru lahir yang di tularkan
dari sang ibu yang mempunyai virus varisela melalui plasentanya. kemudin factor
rsiko iklim, infeksi varisela sering terjadi pada saat pergantian musim. Di negara
maju terjadi pada musim dingin dan awal musim semi. Sedangkan di Indonesia,
varisela di duga terjadi pada saat pergantian musim hujan ke musim panas atau
sebaliknya. Kemudian faktor resiko lingkungan, virus varisela menular melalui
udara atau debu. Lingkungan yang kotor dan penuh debu lebih beresiko tertular
virus varisela.

A.2 Tahap Inkubasi

Pada tahap ini virus varisela sudah tertular dapat melalui percikan ludah ,
kontak langsung, barang yang dipakai penderita atau udara dan sudah masuk ke
dalam tubuh pejamu, tetapi gejala dari penyakit ini belum tampak. VZV
merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit muncul, dapat
ditularkan melalui jalur respirasi dan menimbulkan lesi pada orofaring. Lesi inilah
yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus respiratorius. Pada fase
ini, penularan terjadi melalui droplet kepada membrane mukosa orang sehat
misalnya konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung selama 14 hari, dimana virus
akan menyebar ke kelenjar limfe, kemudian menuju ke hati dan sel-sel monokuler
mulai menghilang 24 jam sebelum timbulnya ruam kulit.
Gambar 1.1 periode inkubasi varisela

A.3 Tahap Klinis

Setelah VZV yang ada pada sel mononuclear mulai menghilang, lalu virus
tersebut bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke jaringan kulit dan
menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel multinukleus yang
ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear. Perkembangan vesikel
berhubungan dengan peristiwa “ballooning” yakni degenerasi sel epithelial akan
menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh cairan. Penyebaran lesi di kulit
diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47 kinase yang berguna pada
proses replikasi virus.

Pada tahap ini kondisi tubuh sudah menimbulkan gejala dan terbagi
menjadi dua stadium perjalanan penyakit varisela, yaitu
 Stadium prodromoral yaitu dua minggu setelah infeksi akan timbul
demam, malaise, anoreksia dan nyeri kepala dan sakit abdomen yang
berlangsung 24-48 jam sebelum lesi muncul. Gejala sistemik seperti
demam, lelah, anoreksia dapat timbul bersamaan dengan lesi kulit. Lesi
kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal,
berupa macula kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil
dan berisi cairan didalamnya seperti tampilan tetesan air mata.
 Sedangkan stadium erupsi yaitu pada satu sampai tiga hari kemudian
muncul ruam atau macula kemerahan, papula segera berubah menjadi
vesikel yang khas berbentuk seperti tetesan air. Lesi kulit awal mengenai
kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa macula
kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil dan berisi cairan
didalamnya. Vesikel menjadi pustule (cairan jernih berubah menjadi
keruh) yang pecah menjadi krusta dalam waktu sekitar 12 jam. Vesikel ini
mulai muncul di muka atau mukosa yang cepat menyebar ke tubuh dan
anggota gerak dengan menimbulkan gejala gatal.

Gambar 1.2 tahap klinis penyakit varisela


A.4 Tahap Penyakit Lanjut

Pada tahap ini merupakan tahap saat akibat dari penyakit mulai terlihat dan
mulai timbul komplikasi. Pada penderita varisela dapat terjadi suatu keadaan yang
ditandai dengan koagulopati, perdarahan hebat, dan terus munculnya lesi baru.
Timbul rasa sakit yang hebat di daerah abdominal disertai dengan perdarahan
pada vesikel. Factor risiko keaadan ini adalah penderita konginetal dengan
imundefisiensi, keganasan, kemoterapi dan jumlah limfosit <500 sel/mm3. Pada
penyakit Varisela kompliksi yang sering timbul adalah pneumonia, ensefalitis,
dan infeksi sekunder pada krusta oleh bakteri.

Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela adlah


infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes. Infeksi skunder akibat
bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula atau selulitis, limfadenitis
regional dan abses subkutan dapat muncul. S.pyogenes umumnya menyebabkan
varisela gangrenosa yang bersifat invasive. Manifestasi lain adalah pneumonia,
arthritis dan osteomyelitis.

Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis dan serebelar ataxia


merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada susunan saraf pusat
biasanya terjadi pada anak dibawah 5 tahun dan lebih dari usia 20 tahun. Varisela
ensefalitis biasanya dapat hilang degan sendirinya dalam waktu 24 hingga 72 jam.
Gejala seperti perdarahan, petekie, purpura, epistaksis, hematuria, perdarahan
gastrointestinal dan DIC disebabkan karena komplikasi yang berupa
trombositopenia, terjadi 1 sampai 2 minggu setelah infeksi varisela. Dapat juga
terjadi arthritis virus, yang disebabkan karena adanya virus varisela di dalam
sendi. Infeksi sendi biasanya sembuh dalam 3 hingga 5 hari, komplikasi lain yang
mungkin pula terjadi, namun jarang sekali ditemukan adalah myocarditis,
pericarditis, pancreatitis dan orkitis.

A.5 Tahap Terminal

Pada tahap ini terdapat 5 pilihan keadaan yaitu sembuh sempurna, sembuh
dengan cacat fisik, karier, penyakit berlangsung kronik dan berakhir kematian.
Pada umumnya pasien yang terkena penyakit cacar mengalami tahap terminal
seperti sembuh sempurna yaitu tidak terlihat ada bekas ruam akibat cacar, sembuh
dengan cacat fisik yaitu sembuh dengan masih terlihat ada bekas ruam yang
menempel di kulit, penyakit berlangsung kronik yaitu bisa menjadi herpes zoster.
Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak, namun dapat pula timbul
sebagai akibat infeksi varicela pada awal kehidupan anak yang didapat dari ibu.
Vesikel yang timbul juga serupa dengan varisela, yaitu berupa vesikel berisi
cairan dan disertai dengan rasa nyeri neuropatik. Herpes zoster biasanya
menyerang dermatom toraks, sekitar T5 hingga T12. Pada individu yang memiliki
system imun baik, dermatom yang terinfeksi akan sembuh dalam 2 minggu,
namun hipersensitivitas kulit dapat berlangsung hingga 2 bulan. Tahap terminal
ini paling fatal bisa berakhir dengan kematian, dimana dari 11.000 orang yang
menderita penyakt cacar dan melakukan perawatan di rumah sakit sekitar 100
meninggal setiap tahunnya.

B. Pencegahan Penyakit Varisela

Menurut leavell dan Clark dalam bukunya yang berjudul “Preventive for
The Doctor in his Community” membagi usaha pencegahan penyakit dalam 5
tingkatan yang dapat dilakukan pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit.
Usaha pencegahan tersebut dapat diterapkan pada penyakit varisela, usaha-usaha
pencegahan tersebut adalah:

B.1 Masa sebelum sakit

a. sebelum terjadinya infeksi varisela, dilakukan upaya untuk


mempertinggi nilai kesehatan masyarakat dengan upaya Health
Promotion. Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan
kesehatan pada umumnya Contohnya:

1. Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun


kuantitasnya
2. Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan : penyediaan air
bersih, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air
limbah kepad a masyarakat

3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat

4. Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian


yang baik

b. memberikan perlindungan khusus terhadap penyakit varisela (specific


protection). Pencegahan pada cacar air diberikan suatu vaksin. Kepada
orang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi cacar air dan
memilkiki resiko tinggi mengalami komplikasi bias diberikan Varicella
zoster immunoglobulin (VZIG). VZIG adalah antibodi IgG terhadap
virus VZV dengan dosis pemberian satu vial untuk 10 kg berat badan
secara intramuscular. VZIG profilaksi diindikasikan untuk individu
berisiko tinggi, termasuk anak-anak immunodefisiensi, wanita hamil
yang pernah mempunyai kontak langsung dengan penderita varisela,
dan neonatal yang terekspose oleh ibu yang terinfeksi varisela.
Kemudian usaha lain yaitu dengan mengisolasi penderita varisela agar
tidak menular kepada orang lain.

B.2 Masa Sakit

a. mengenali dan mengetahui penyakit varisela pada tingkat awal serta


mengadakan pengobatan yang tepat dan segera (early diagnosis and
promt treatment).

b. pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan


kemampuan bekerja yang diakibatkan oleh varisela (disability
limitation).

B.3 Rehabilitasi

Merupakan usaha untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam


masyarakat, sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang
berguna untuk dirinya sendiri dan masyarakat, semaksimal-maksimalnya sesuai
dengan kemampuannya.

Anda mungkin juga menyukai