Oleh:
NPM : 20060015
Semester : V (lima)
TP 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah
melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
berjudul “POLITIK ETIS”. Penulis menyadari dalam pembuatannya masih
banyak sekali kekurangan dan jauh dari sempurna. Dan semoga selalu dilakukan
penyempurnaan terhadap makalah penulis. Untuk itu penulis sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna
menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu, penulis pun mengucapakan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing mata kuliah dan
Pembelajaran Deka Maita Sandi, M.pd., dan memberi dukungan kepada penulis
dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun penulis harapkan dari pembaca makalah ini.
Penulis
Marcel Broklyn
Limbong
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh
golongan liberal dan sosiol demokrat yang menginginkan adanya suatau
keadilan yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu banyak
membantu dan meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan
Belanda. Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai
ratu baru di Negeri Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia
mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-
Belanda dan akan segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-
Belanda, yang kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-
Belanda. Pernyataan itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah yang
mendasar yaitu: . Latar Belakang
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah yang berjudul “Politik Etis” adalah sebagai
baerikut :
D. Manfaat Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik Etis dan Pelaksanaannya
Pelaksanaan politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda, sudah pasti,
tidak lepas dari kepentingan kolonial Belanda. Politik etis menuntun bangsa
Indonesia kearah kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajah Belanda.
Politik Etis secara resmi ditetapkan pada bulan September 1901, ketika
Wilhelmina menyampaikan pidato tahunan. Awal mula dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan pribumi dan membantu
Indonesia saat mengalami kesulitan. Tidak ada tekad baik dan keikhlasan hati
yang tulus untuk melaksanakannya. Merekaberbuat demikian karena takut
kritik dan takut kalau tetap membiarkan penderitaan penduduk pribumi terus
menerus akan memicu timbulnya perlawanan rakyat secara meluas atau terus
menerus. yang kolonialistik-eksploitatis (Daliman, A, 2012: 72) dalam Susilo.
A (2018: 5).
5
peran yang cukup penting dan kemudian diserahkan kepada pemerintah di
Negeri Belanda. Laporan yang dibuat oleh Van Deventer kemudian dijadikan
sebagai usulan, namun mendapat tentangan dari kaum Liberal dan Demokrat
Radikal. Pengairan, kredit pertanian, dan emigrasi mendapat perhatian, namun
tidak dengan pendidikan yang malah diabaikan (Niel, 1984: 58) dalam Susilo.
A (2018: 6).
6
Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas dari
berhasilnya atau tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga
program pendidikan itu merupakan program prioritas karena kedua program
lain nya akan berhasil dan ditunjang oleh pendidikan.
1) Kemakmuran Rakyat
Dengan politik etis dimaksudkan untuk mengakhiri politik kolonial
daerah jajahan sebagai wingwest (daerah keuntungan) dan untuk
menggantikannyadengan politik kesejahteraan (welvaarts politiek) bagi
rakyat. Maka selama periode 1900-1925 telah banyak dilakukan
perubahan-perubahan dalam pemerintah serta perbaikan-perbaikan di
bidang-bidang kesehatan rakyat, irigasi, pertanian dan peternakan, lalu
lintas, pendidikan, dan emigrasi. Jelas irigasi bukan dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, melainkan lebih diarahkan kepada
kepentingan ekonomi kolonial.
Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta
membebaskannya dari cengkeraman lintah darat memang dilakukan oleh
pemerintah kolonial, ialah mendirikan bank simpanan, bank kredit
(pertanian), rumah gadai negeri dan melakukan pengawasan pengiriman
pengiriman tenaga kerja ke daerah seberang, namun porsinya sangatlah
kecil dibandingkan penderitaan rakyat selama ini sebagai akibat
eksploitasi kolonial.
2) Kesehatan
Dengan adanya kebijakan politik etis, kemudian diterapkan kebijakan
subsidi kesehatan yang pada awalnya berorientasi pada kuantitas rumah
sakit. Pada awal tahun 1920-an, kebijakan perluasan ini dipandang tidak
membantu akses masyarakat kebanyakan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Akhirnya kebijakan subsidi pada periode ini diubah metodenya
dan tujuannya. Kebijakan subsidi pada periode ini berorientasi kepada
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin. Namun
menjelang tahun 1930-an, kebijakan ini praktis sia-sia ketika depresi
ekonomi melanda Hindia Belanda. Dalam sektor kesehatan, depresi
ekonomi ini telah berakibat pada berkurangnya anggaran negara untuk
subsidi kesehatan . Ketidakmampuan pemerintah Hindia Belanda dalam
mengurus masalah kesehatan ini kemudian berakhir dengan diterapkannya
desentralisasi kesehatan ketika permasalahan pengawasan dan pendanaan
kesehatan masyarakat dilimpahkan kepada pemerintah daerah pada tahun
1930- an.
3) Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan bersifat diskriminatif. Terdapat dua macam
sekolah, sekolah kelas I dan sekolah kelas II. Sekolah jenis pertama
diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang
berkedudukan atau berharta, sedangkan sekolah jenis kedua diperuntukkan
7
bagi anak-anak pribumi pada umumnya. Matapelajaran yang diberikan
ialah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah dan
menggambar.
Pendidikan yang dilaksanakan hanyalah pendidikan tingkat rendah dan
tujuannyaialah untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan seperti
mandor-mandor atau pelaayan-pelayan yang bisa membaca. Pembukaan
sekolah pun lebih didasarkan pada kepentinganpemerintah kolonial atau
pengusaha daripada untuk kebutuhan penduduk.
4) Pendidikan Elitis
Elitisme adalah sebuah paham atau ideologi atau “isme” tentang
kalangan elite. Dengan kata lain, maksud elistisme adalah suatu
pandangan yang melihat bahwa sesuatu itu hanyalah hak dan otoritas
orang-orang elite saja, bukan orang-orang kecil dan terpinggirkan. Dalam
dunia pendidikan Elitisme adalah suatu bentuk pendidikan yang hanya
diperuntukkan bagi kalangan terbatas yaitu kalangan “elite” saja.
5) Politik Asosiasi
Politik Asosiasi adalah berarti politik penjajahan yang menghilangkan
jurang antara penjajah dan rakyat jajahan dengan cara menyelapkan
kebudayaan penjajah, politik asosiasi akan menyelapkan Eropa ke
Indonesia jadi, politik ini merupakan imperialisme yang halus dengan
kekuasaan pemerintah.
Sejak tahun 1901, pemerintah colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat
Indonesia yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian
dicari bentuk pemerintahan colonial yang merupakan perpaduan antara
Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga disebut dengan politik
asosiasi.
8
politiknya terhadap Islam melahirkan kenyataan-kenyataan pahit baginya.
Bukannya menghasilkan landasan yang kokoh buat melahirkan penjajahannya,
melainkan berakibat buruk “senjata makan tuan”, sebab hasilnya justru
menggoyahkan sendi-sendi penajajahannya sendiri di Indonesia, sehingga baru
dua dasawarsa berjalan segera dihentikan, karena dianggap tidak relevan.
Demikian juga nasib politik westernisasinya yang diarahkan menuju
tercapainya cita-cita asosiasi kebudayaan yang dilancarkan melalui pendidikan
dan pengajaran Barat, walaupun telah menghasilkan cukup banyak kader-kader
Kolonial Belanda berupa para intelegensia sekuler yang walaupun beragama
Islam tetapi hatinya jauh dari Islam, bahkan terkadang telah berani mencela
Islam; akan tetapi sayang, akibat kurang keseriusan dari Kolonial Belanda
sendiri untuk membina mereka lebih lanjut, akhirnya menjadi “senjata makan
tuan”. Sebab pada akhirnya kaum intelegensia hasil didikan Barat tersebut
menjadi lawan-lawan lantang yang menentang “status quo” kolonial dan
menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Mereka menuntut
tanggung jawab politik dan keikutsertaan dalam mengambil keputusan
mengenai masa depan Indonesia bersama-sama intelek muslim alumni
pesantren dan lulusan Timur Tengah yang telah bangkit kesadaran politiknya.
Oleh karena merasa senasib sebagai bangsa yang dijajah, maka mereka bekerja
sama bahumembahu menentang penjajahan Belanda atas Indonesia, tanah
airnya. Dengan demikian, politik westernisasi Kolonial Belanda melalui
pendidikan dan pengajaran Barat dapat dikatakan menemui kegagalan, sebab
walaupun ramalan Snouck tentang daya tarik pendidikan Barat terbukti benar,
akan tetapi harapan-harapannya bagi asosiasi kebudayaan, untuk sebagian
besar mengecewakan.
Akhirnya, mengenai politik keras dan tegasnya terhadap gerakan dan
doktrin politik Islam pun dapat dikatakan tidak mengenai sasaran. Meskipun
betul, dengan adanya tindakan keras dan tegas terhadap munculnya gerakan
dan doktrin politik Islam telah dapat menciptakan suasana tenang dan aman
bagi jalannya pemerintah Kolonial Belanda khususnya di Pulau Jawa; akan
tetapi hal ini hanya sementara sifatnya. Fenomena sementara itu tercipta hanya
saat Islam dalam keadaan lemah atau sedang dalam kemerosotannya. Apabila
saat kesadarannya datang, fenomena yang sementara sifatnya itu akan hilang
segera. Dalam hal ini Kolonial Belanda ternyata tidak mampu membendung
berkembangnya kesadaran di kalangan umat Islam Indonesia, baik akibat
mendapat rangsangan dari luar maupun akibat pergumulan dengan unsur-unsur
yang terdapat dalam tubuh umat Islam Indonesia itu sendiri.
Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia mencakup tiga
kebijaksanaan pokok yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Memecah-belah kekuatan Islam di Indonesia melalui politik “de vide et
empera” dengan sikap netral terhadap agama.
9
2) Mengikis habis pengaruh Islam dengan memajukan kebudayaan Barat
melalui pendidikan dan pengajaran, menuju terciptanya “asosiasi” dan
“Indonesianisasi”.
3) Menumpas tegas munculnya doktrin dan pergerakan politik Islam,
terutama yang dipengaruhi oleh ide-ide Pan Islamisme.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik etis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu “Irigasi,
Edukasi,dan Emigrasi”. Perkebunan tebu menghendaki irigasi yang intensif.
Pabrik - pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang, dan cabang-
cabang perubahan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan manusia dan
tenaga kerja yang murah dibutuhkan dipropinsi-propinsi luar jawa, sebagai
daerah-daerah baru yang dibuka untuk perkebunan modern.
1) Irigate ( pengairan dan infrastruktur)
Merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan
prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian
dan perkebunan.
2) Educate(pendidikan)
Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan
jumlah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda
juga yaitu mendapatkan tenaga kerja terdidik untuk birokrasinya namun
dengan gaji yang murah.
3) Emigrate (Transmigrasi)
Merupakan program pemerataan penduduk Jawa dan Madura yang
telah padat dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900, jumlah
perkebunan pun sudah begitu luas maka kawasan untuk pemukiman di
Sumatera Utara dan Selatan dimana dibuka perkebunan- perkebunan
baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya.
Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia mencakup tiga
kebijaksanaan pokok yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Memecah-belah kekuatan Islam di Indonesia melalui politik “de vide
et empera” dengan sikap netral terhadap agama.
2) Mengikis habis pengaruh Islam dengan memajukan kebudayaan Barat
melalui pendidikan dan pengajaran, menuju terciptanya “asosiasi” dan
“Indonesianisasi”.
3) Menumpas tegas munculnya doktrin dan pergerakan politik Islam,
terutama yang dipengaruhi oleh ide-ide Pan Islamisme.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada pembaca agar dapat
meningkatkan wawasan tentang Politik Etis dan Peleksanannya serta Politik
Belanda terhadap Islam. Semoga dengan membaca makalah ini pembaca dapat
menghubungkan politik etis terhadap munculnya pergerakan nasional di
Indonesia.
11
DAFTAR PUSTAKA
Daliman. A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX- Awal Abad XX : Sistem Politik
Kolonial Dan Administrasi Pemerintah Hindia-Belanda. Yogyakarta :
Penerbit Ombak
Susilo, A. 2018. Politik Etis Dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa
Indonesia. Jurnal HISTORIA
12