Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep teori

2.1.1 Gout artritis

Gout arthritis adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan penumpukan

asam urat yang nyeri pada sendi, sangat sering ditemukan pada kaki bagian atas,

pergelangan dan kaki bagian tengah (Desy, 2017).

Menurut Moreau (2005) dalam karangan buku Reny (2015) mengatakan

bahwa gout arthritis merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh

penumpukan asam urat yang menyebabkan nyeri pada sendi. Gout arthritis

merupakan kelompok keadaan heterogenous yang berhubungan dengan efek

genetik pada metabolisme purin (hiperurisemia). Pada keadaan ini bisa terjadi

oversekresi asam urat atau defek renal yang mengakibatkan penurunan ekskresi

asam urat atau kombinasi keduanya (Desy, 2017).

Gout arthritis adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan

hasil akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah

satu komponen asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah

purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup

yakni makanan dari tanaman (sayur, buah dan kacang-kacangan) ataupun hewan

daging, jerohan, ikan sarden, dan lain sebagainya) (Salif, 2012). Gout arthritis

merupakan peradangan pada sendi yang timbul secara berulang-ulang yang

bersifat monoarkuler (menyerang satu sendi saja) (Desy, 2017).


2.1.2 Klasifikasi Gout Artritis

Penyakit gout arthritis diklasifikasikan menjadi dua yaitu gout arthritis

primer dan gout arthritis sekunder (Desy, 2017).

a. Gout artritis primer

Penyebab gout primer masih belum diketahui (idiopatik). Penyakit gout

arthritis primer bisa disebabkan kombinasi antara faktor genetik dan

faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat

mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat dan bisa diakibatkan

karena berkurangnya pengeluaran asam urat dalam tubuh.

b. Gout artritis sekunder

Penyebab gout primer masih belum diketahui (idiopatik). Penyakit gout

arthritis primer bisa disebabkan kombinasi antara faktor genetik dan

faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat

mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat dan bisa diakibatkan

karena berkurangnya pengeluaran asam urat dalam tubuh.

Kadar asam urat yang normal bagi pria dewasa adalah 2-7,5 mg/dl

dan untuk wanita dewasa 2-6,5 mg/dl. Sementara itu, pria dengan usia

lebih darai 40 tahun kadar asam uarat yang normal sebanyak 2-8,5 mg/dl

dan kadar asam urat pada wanita lebih dari 40 tahun adalah 2-8 mg/dl

(WHO, 2013).

2.1.3 Etiologi

Penyebab utama terjadinya gout adalah karena adanya deposit atau

penimbunan kristal asam urat dalam sendi. Penimbunan asam urat sering terjadi
pada penyakit dengan metabolisme asam urat abnormal dan kelainan metabolik

dalam pembentukan purin dan ekskresi asam urat yang kurang dari ginjal.

Terdapat berbgai faktor penyebab terjadinya gout artritis antara lain:

a. Penyakit ginjal kronis. Ginjal merupakan filter berbagai benda

asing untuk diekskresi keluar tubuh. Karena itu, gangguan yang timbul

pada organ ini akan memengaruhi metabolisme tubuh dan menimbulkan

berbagai jenis penyakit. Salah satunya penyakit yang bisa ditimbulkan

adalah asam urat. Gangguan fungsi ginjal pada ginjal bisa mengganggu

eskresi asam urat. Namun, kadar asam urat yang terlalu tinggi juga bisa

mengganggu kinerja dan fungsi ginjal (Lingga, 2012).

b. Faktor usia

Gout umumnya dialami oleh pria dan wanita dewasa yang berusia diatas

40 tahun. Setelah memasuki masa pubertas, pria memiliki resiko gout

lebih tinggi dibandingkan wanita. Jumlah penderita gout pada pria lebih

banyak dibandingkan dengan wanita. Ketika memasuki usia paruh baya,

jumlahnya menjadi sebanding antara pria dan wanita. Menurut survey

yang diadakan oleh National Health and Nutrition Examinition Survey

(NHANES), rasio penderita hiperurisemia sebagai berikut :

(1) Usia diatas 20 tahun : 24%

(2) Usia 50-60 tahun : 30%

(3) Usia lebih tua dari 60 tahun : 40%

(4) Rata-rata penduduk Asia : 5-6%

Resiko serangan gout puncaknya pada saat berusia 75 tahun, setelah

berusia di atas 75 tahun, resiko gout semakin menurun, bahkan tidak ada
resiko sama sekali. Kecuali, jika penyakit tersebut merupakan

perkembangan dari penyakit gout kronis yang sebelumnya telah dialami

(Lingga, 2012).

c. Dehidrasi

Kekurangan cairan didalam tubuh akan menghambat ekskresi asam urat.

Pada dasarnya semua cairan itu adalah pelarut. Namun, daya larut setiap

cairan itu berbeda. Air yang memiliki daya larut paling tinggi adalah air

putih. Air putih dapat melarutkan semua zat yang larut di dalam cairan,

termasuk asam urat. Air diperlukan sebagai pelarut asam urat yang

dibuang atau diekskresi melalui ginjal bersama urine. Jika tubuh

kekurangan air, maka akan menghambat ekskresi asam urat sehingga

memicu peningkatan asam urat. Saat volume cairan tubuh kurang, maka

sampah sisa metabolisme pun akan menumpuk. Penumpukan asam urat

dan sisa metabolisme itulah yang menimbulkan nyeri di persendian

(Lingga, 2012).

d. Makan berlebihan

Asupan purin dari makanan akan menambah jumlah purin yang beredar di

dalam tubuh. secara teknis, penambahan purin yang beredar di dalam

darah tergantung pada jumlah purin yang berasal dari makanan. Artinya,

semakin banyak mengkonsumsi purin, semakin tinggi kadar asam dalam

tubuh (Lingga, 2012).

e. Konsumsi alcohol
Sejumlah studi mengatakan konsumsi alkohol memiliki pengaruh sangat

besar dalam meningkatkan prevalensi gout pada penggemar alkohol.

Resiko konsumsi alkohol semakin tinggi jika dilakukan oleh penderita

obesitas. Dikatakan bahwa penderita obesitas yang gemar mengkonsumsi

alkohol dipastikan mengalami gout (Lingga, 2012).

f. Paska opersai

Seseorang yang telah menjalani operasi beresiko mengalami kenaikan

kadar asam urat sesaat. Karena penurunan jumlah air yang mereka

konsumsi pascaoperasi menyebabkan ekskresi asam urat terhambat untuk

sementara waktu (Lingga, 2012).

2.1.4 Manifestasi klinis

Tanda dan gejala gout arthritis secara umum adalah sebagai berikut.

(Hermayudi dan Ayu, 2017).

a. Nyeri hebat yang tiba-tiba menyerang sendi pada saat tengah malam,

biasanya pada ibu jari kaki (sendi metatarsofalangeal pertama) atau jari

kaki (sendi tarsal)

b. Jumlah sendi yang meradang kurang dari empat (oligoartritis) dan

serangannya pada satu sisi (unilateral).

c. Kulit berwarna kemerahan, terasa panas, bengkak dan sangat nyri.

d. Pembengkakan sendi umumnya terjadi secaraasimetris (satu sisi tubuh)

e. Demam, dengan suhu tubuh 38,3°C atau lebih, tidak menurun lebih dari

tiga hari walau telah dilakukan perawatan.

f. Ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah dan gusi brdarah.

g. Bengkak pada kaki dan peningkatan berat badan yang tiba-tiba.


h. Diare atau muntah.

2.1.5 Patofisiologi

Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan gout. Salah

satunya yang telah diketahui peranannya adalah kosentrasi asam urat dalam

darah. Mekanisme serangan gout akut berlangsung melalui beberapa fase

secara berurutan. (Hermayudi dan Ayu, 2017).

a. Presipitasi kristal monosodium urat.

Presipitasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila kosentrasi dalam

plasma lebih dari 9 mg/dl. Presipitasi ini terjadi di rawan, sonovium,

Kojaringan para- artikuler misalnya bursa, tendon, dan selaputnya. Kristal

urat yang bermuatan negatif akan dibungkus (coate) oleh berbagai macam

protein. Pembungkusan dengan IgG akan merangsang netrofil untuk

berespon terhadap pembentukan Kristal Respon leukosit Poli Morfo

Nukuler (PMN)

b. Respon luekosit Poli Morfon Nukuler PMN)

Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang menimbulkan

respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi fagositosis kristal oleh

Leukosit.

c. Fagositosis

Kristal difagositosis olah leukosit membentu fagolisosom dan akhirnya

membram vakuala disekeliling kristal bersatu dan membram leukosi

lisosom.

d. Kerusakan lisosom
Terjadi kerusakn lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi ikatan

hidrogen antara permukan kristal membram lisosom, peristiwa ini

menyebabkan robekan membram dan pelepasan enzim-enzim dan oksidase

radikal kedalam sitoplasma.

e. Kerusakan sel

Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzinm, yang menyebabkan kenaikan

intensitas inflamasi dan lisasom dilepaskan kedalam cairan synovial

kerusakan jaringan.

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi terjadi apabila penderita gout tidak melakukan pengobatan

secara teratur. Misnadiarly (2009) menyebutkan bahwa komplikasi yang dapat

terjadi pada penderita gout artritis adalah sebagai berikut:

a. Penderita akan mengalami radang sendi akut berulang dan

kekambuhannya semakin lama akan semakin sering.

b. Sendi yang sakit akan bertambah banyak

c. Tofi yang terbentuk semakin besar bahkan bisa pecah

d. Timbul batu pada saluran kemih bahkan bisa menyebabkan gagal ginjal

2.1.7 Penatalaksanaan

Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi,

pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. 19 Pengobatan dilakukan dini

agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain (Anastesya, 2009).
Tujuan terapi terminasi serangan akut mencegah serangan di masa depan

mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cepat dan aman, mencegah

komplikasi seperti terbentuknya tofi, batu ginjal, dan arthropati destruktif.

Pengelolaan gout sebagian bertolakan karena adanya komorbiditas kesulitan

dalam mencapai kepatuhan terutama jika perubahan gaya hidup diindikasikan

efektivitas dan keamanan terapi dapat bervariasi dari pasien ke pasien. (Azari RA,

2014).

Terapi pada gout biasanya dilakukan secara medik (menggunakan obat-

obatan). Medikamentosa pada gout termasuk:

a. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

OAINS dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada penderita gout

secara efektif. Efek samping dari obat tersebut iritasi pada sistem

gastroinstestinal, ulserasi pada perut dan usus, dan bahkan pendarahan

pada usus. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan

dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya (Anastesya, 2009).

b. Kolkisin

Kolkisin efektif digunakan pada gout akut, menghilangkan nyeri dalam

waktu 48 jam pada sebagian besar pasien. Obat ini biasanya diberikan

secara oral pada awal dengan dosis 1 mg, diikuti dengan 0,5 mg setiap dua

jam atau dosis total 6,0 mg atau 8,0 mg telah diberikan(Azari, 2014).

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid biasanya berbentuk pil atau berupa suntikan yang lansung

disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping dari steroid antara lain

penipisan tulang, susah menyembuhkan luka dan juga penurunan


pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids digunakan pada penderita gout

yang tidak bisa menggunakan OAINS maupun kolkisin (Anastesya, 2009).

d. Urikosurik dan Xanthine Oxidase Inhibitor

Gout dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi asam urat serum < 6,0

mg/dL. Penurunan kurang dari 5,0 mg/dL mungkin diperlukan untuk

reabsorpsi dari tophi. Pasien memiliki dua atau tiga serangan pasti gout

atau memiliki tophi; dan pasien dengan kebutuhan untuk minum obat

secara teratur dan permanen. Dua kelas obat yang tersedia: obat urikosurik

(misalnya Probenesid) dan xanthine oxidase inhibitor (misalnya

Allopurinol) (Azari, 2014).

Penatalaksaan arthritis gout tidak hanya dapat diselesaikan secara

farmakologis (Zahara, 2013). Karena kebutuhan akan obat yang menurunkan

konsentrasi asam urat serum mungkin akan seumur hidup, penting untuk

mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap hiperurisemia yang mungkin

diperbaiki. Beberapa faktor tersebut adalah obesitas, diet purin tinggi, konsumsi

alkohol secara teratur, dan terapi diuretik (Azari, 2014).

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya asam urat. Obesitas

didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi kelebihan lemak tubuh. Pada orang

obesitas terjadi peningkatan asam urat terutama karena adanya peningkatan lemak

tubuh, disamping itu juga berhubungan dengan luas permukaan tubuh sehingga

pada orang gemuk akan lebih banyak memproduksi urat dari pada orang kurus,

dengan mengotrol berat badan, membatasi konsumsi daging merah dan latihan

sehari-hari, merupakan rekomendasi dasar gaya hidup yang penting untuk pasien
dengan gout artritis(Azari, 2014). Edukasi pasien dan pemahaman mengenai dasar

terapi diperlukan untuk menjamin keberhasilan terapi gout. Menghindari faktor-

faktor yang memicu serangan juga merupakan bagian yang penting dari strategi

penatalaksanaan gout (Lyrawati, 2008). Risiko terjadinya gout lebih besar terjadi

pada lelaki yang tidak memiliki aktivitas fisik dan kardiorespiratori fitness

dibandingkan dengan lelaki yang aktif secara fisik dan kardiorespiratori.

Penelitian lain menyebutkan bahwa serum asam urat dapat diturunkan dengan

melakukan olah raga rutin dan teratur, namun jika olah raga tersebut hanya

dilakukan secara intermiten justru akan meningkatkan kadar serum asam urat.

Untuk mencegah kekakuan dan nyeri sendi, dapat dilakukan latihan fisik ringan

berupa latihan isometrik, latihan gerak sendi dan latihan fleksibiltas yang

keseluruhan itu tercakup dalam stabilisasi sendi, dan menjaga asupan pola makan

yaitu protein yang cukup, Hindari bahan makanan sumber protein yang

mempunyai kandungan purin >150 mg/100 gr, lemak sedang, karbohidrat yang

cukup, vitamin dan meineral sesuai kebutuhan, cairan yang di sesuaikan dengan

urin yang keluar setiap harinya . (Zahara, 2013).

2.2 Dukungan keluarga

2.2.1 Definisi

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dalam hal ini penerima dukungan

keluarga akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan

mencintainya. (Friedman, 2010). Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada


dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu

yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).

2.2.2 Jenis dukungan keluarga

Menurut Friedman (2013) sumber dukungan keluarga ada berbagai macam

bentuk yaitu :

a. Dukungan informasional

Dukungan informasional adalah sebagai pemberi informasi, dimana

keluarga menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang

dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.

b. Dukungan penilaian atau penghargaan

Dukungan penilaian adalah keluarga yang bertindak membimbing dan

menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas

anggota keluarga diantaranya memberikan penghargaan ,supor, dan

perhatian.

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental adalah sumber pertolongan praktis dan konkrit,

diantaranya adalah dalam hal kebutuhan keuangan, makan, minum dan

istirahat.

d. Dukungan emosional

Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk istirahat serta pemulihan dan membantu penguasaan terhadap


emosi. Dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam

bentuk adanya kepercayaan dan perhatian.

2.2.3 Sumber dukungan keluarga

Sumber dukungan keluarga adalah sumber dukungan sosial keluarga yang

dapat berupa dukungan sosial keluarga secara internal seperti dukungan dari

suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial

keluarga secara eksternal seperti paman dan bibi (Friedman, 2013).

dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang

oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga

yaitu dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Akhmadi, 2009).

2.2.4 Tujuan dukungan keluarga

Menurut Andarmoyo (2012), tujuan dasar pembentukan dukungan

keluarga adalah:

a. Keluarga merupakan unit dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap

perkembangan individu,

b. Keluarga sebagai perantara bagi kebutuhan dan harapan anggota keluarga

dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakat.

c. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota

keluarga dengan menstabilkan kebutuhan kasih sayang, sosio ekonomi

dan kebutuhan seksual


d. Keluarga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan

indentitas seorang individu dan perasaan harga diri.

2.2.5 Fungsi keluarga

Menurut Desy (2017) mmengidentifikasi lima fungsi dasar keluarga, sebagai

berikut :

1. Fungsi efektif

Fungsi afektif be`rhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang

merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk

memenuhi kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi

afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota

keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang

positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi

dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang berhasil

melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat

mengembangkan kopnsep diri positif.

2. Fungsi sosialisasi

Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui

individu, yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam

lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar

bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir dia akan menatap ayah, ibu

dan orang-orang yang disekitarnya. Keberhasilan perkembangan individu

dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota

keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga belajar


disiplin, belajar norma-norma, budaya dan perilaku melalui hubungan dan

interaksi keluarga.

3. Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber

daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain

untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk

membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.

4. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan

seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan,

pakaian, dan tempat tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan

penghasilan yang tidak seimbang antara suami dan istri hal ini menjadikan

permasalahan yang berujung pada perceraian.

5. Fungsi perawatan kesehatan

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan

kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau

merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam

memberi asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga.

Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat

dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang

dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan

masalah kesehtan.
2.2.6 Manfaat dukungan keluarga

Menurut Setiadi (2008), dukungan sosial keluarga memiliki efek terhadap

kesehatan dan kesejahteraan yang berfungsi secara bersamaan. Adanya dukungan

yang kuat berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari

sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Selain itu, dukungan keluarga

memiliki pengaruh yang positif pada pemyesuaian kejadian dalam kehidupan

yang penuh dengan stress.

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial keluarga berbeda-beda dalam berbagai

tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian dalam semua tahap siklus

kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan

berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan

dan adaptasi keluarga (Friedman, 2013).

2.2.7 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Menurut Friedman (2008), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang

menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan.Anak-anak yang berasal

dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhtian daripada anak-anak yang

berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain itu dukungan keluarga yang

diberikan oleh orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.Ibu yang

masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali

kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris di bandingkan ibu-ibu yang lebih

tua. (Desy, 2017)


Hal ini yang mempengaruhi faktor-faktor dukungn keluarga lainnya adalah

kelas ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau

pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah,

suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam

keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas dan otokrasi. Selain itu

orang tua dan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan

keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah.

Faktor lainnya adalah adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat

pendidikan kemungkinan semakin tinggi dukungan yang diberikan pada keluarga

yang sakit. (Desy, 2017)

2.3 Pola makan

Pola makan adalah suatu cara dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan

dengan informasi gambaran dengan meliputi mempertahankan kesehatan, status

nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009). Dan

menurut seorang ahli mengatakan bahwa pola makan di definisikan sebagai

karateristik dari kegiatan yang berulang kali makan individu atau setiap orang

makan dalam memenuhi kebutuhan makanan. (Sulistyoningsih, 2011).

Secara umum pola makan memiliki 3 komponen yaitu:

a. Jenis makanan

Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang dimakan setiap hari

terdiri dari, Lauk hewani,Lauk nabati, Sayuran ,dan Buah yang

dikonsumsi setiap hari. Makanan pokok adalah sumber makanan utama di

negara indonesia yang dikonsumsi setiap orang atau sekelompok


masyarakat yang terdiri dari beras, jangung, sagu, umbi-umbian, dan

tepung. ( Sulistyoningsih,2011).

b. Frekuensi makanan

Frekuensi makan adalah beberapa kali makan dalam sehari meliputi makan

pagi, makan siang, makan malam dan makan selingan (Depkes, 2013).

c. Jumlah makan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang dimakan dalam setiap

orang atau setiap individu dalam kelompok(Willy, 2011).

2.3.1 Faktor yang mempengaruhi pola makan

Pola makan yang terbentuk gambaran sama dengan kebiasaan makan

seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan

adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, dan lingkungan

(Sulistyoningsih, 2011).

a. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi mencukup dalam peningkatan peluang untuk daya beli

pangan dengan kuantitas dan kualitas dalam pendapatan menurunan daya

beli pangan secara kualitas maupun kuantitas masyarakat. Pendapatan

yang tinggi dapat mencakup kurangnya daya beli dengan kurangnya pola

makan masysrakat sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih di

dasarkan dalam pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.

Kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor.(Sulistyoningsih,

2011).
b. Faktor sosial budaya

Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan dipengaruhi oleh faktor

budaya sosial dalam kepercayaan, adat daerah yang menjadi kebiasaa.

Dalam budaya mempunyai suatu cara bentuk macam pola makan

seperti:dimakan, bagaimana pengolahanya, persiapan, penyajian, dan

memiliki cara mengkonsumsi pola makan sendiri.(Sulistyoningsih, 2011).

c. Agama

Dalama gama pola makan ialah suatu cara makan dengan diawali berdoa

sebelum makan dengan diawali makan mengunakan tangan kanan (Depkes

RI, 2008).

d. Pendidikan

Dalam pendidikan pola makan adalah salah satu pengetahuan, yang

dipelajari dengan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan

penentuan kebutuhan gizi (Sulistyoningsih, 2011).

e. Lingkungan

Dalam lingkungan pola makan ialah berpengaruh terhadap pembentuk

perilaku makan berupa lingkungan keluarga melalui adanya promosi,

media elektroni, dan media cetak. (Sulistyoningsih, 2011).

f. Kebiasaan makanan

Kebiasaan makan ialah suatu cara seseorang yang mempunyai

keterbiasaan makan dalam jumlah tiga kali makan dengan frekuensi dan

jenis makanan yang dimakan. (Depkes,2009).


2.4 Lansia

Lansia merupakan suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia,

proses sepanjang hidup yang dimulai sejak dari kehidupan anak, dewasa dan tua.

Memasuki lansia berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik

yang ditandai denagn kulit mendur, rambut mulai memutih, gigi mulai ompong,

pendengan kurang jelas, penglihatan kabur, gerakan lambat dan figur tubuh yang

tidak proporsional (Desy, 2017).

Lansia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase presenium

yaitu lansia yang berusia antara 55- 65 tahun, dan fase senium yaitu lansia yang

berusia lebih dari 65 tahun (Desy Indah Sari, 2017). Lansia adalah seorang laki-

laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik

berkemampuan (potensial) maupun karena suatu hal sehingga menyebabkan

lansia tidak lagi berperan aktif dalam pembangunan (tidak potensial) (DepKes RI,

2003)

2.4.1 Batasan lansia

Berikut ini batasan-batasan usia yang mencakup batasan usia lansia

dari berbagai pendapat ahli (Azizah, 2011):

Menurut world health organization (WHO), ada empat tahapan usia, yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

Depkes RI (2013) mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut :


a. Pralansia, seseorang yang berusia anatra 45-59 tahun.

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dengan

masalah kesehatan

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan

atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.4.2 Perubahan fisiologi lansia

Menurut Desy (2017) perubahan pada lansia terbagi menjadi tiga, diantaranya:

1. Perubahan fisiologis pada lansia

a. Sistem integument

Seiring proses penuaan, kulit akan kehilangan elastisitas

dankelembabannya. Lapisan epitel menipis, serat kolagen elastis juga

mengecil da menjadi kaku. Kulit menjadi keriput akibat kehilangan

jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik, menurunnya respons

terhadap trauma,mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan

rambut menipis sertaberwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga

menebal, berkurangnyaelastisitas akibat menurunnya cairan dan

vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan

rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihandan seperti tanduk, kelenjar

keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kukumenjadi pudar dan


kurang bercahaya.Kesulitan mengatur suhu tubuh karena penurunan

ukuran, jumlah danfungsi kelenjar kerigat serta kehilangan lemak

subkutan. Suhu tubuh menurun, hal ini diakibatkan oleh metabolisme yang

menurun, keterbatasan refleks menggigil, dantidak dapat memproduksi

panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitasotot.

b. Sistem Musculoskeletal

Sebagian besar lansia mengalami perubahan postur, penurunan rentang

gerak dan gerakan yang melambat. Perubahan ini merupakan contoh

daribanyaknya karakteristik normal lansia yang berhubungan dengan

proses menua.Penurunan massa tulang menyebabkan tulang menjadi rapuh

dan lemah.

c. Sistem Neorologis

Penurunan jumlah sel-sel otak sekitar 1 % per tahun setelah usia 50 tahun.

Hilangnya neuron dalam korteks serebral sebanyak 20%. Akibat

penurunan jumlah neuron dan, fungsi neurotrasmiter juga berkurang.

Transmisi saraf lebih lambat, perubahan degeneratif pada saraf-saraf pusat

dan sistem saraf perifer, hipotalamus kurang efektif dalam mengatur suhu

tubuh, peningkatan ambang batas nyeri, refleks kornea lebih lambat serta

perubahan kualitas dan kuantitas tidur.

d. Sistem Pernafasan

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan menjadi kaku, menurunnya

aktivitas dari silia, paru-paru hilangan elastisitas sehingga kapasitas residu

meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimal

menurun dan kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari


normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75

mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang dan penurunan kekuatan otot

e. Sistem Gastrointestinal

Kehilangan gigi, indra pengecap mengalami penurunan, esofagus melebar,

sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asamlambung dan waktu

pengosongan lambung menurun, peristalik lemah dan biasanya timbul

konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati semakin mengecil dan

menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai aliran darah.

f. Sistem Genitourania

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal

menurunhingga 50%, fungsi tubulus berkurang,otot kandung kemih

melemah,kapsitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi

buang airkeci lmeningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga

dapat meningkatkan retensiurine. Pria dengan usia 65 tahun ke atas

sebagian besar mengalami pembesaranprostat hingga ± 75% dari besar

normalnya.

g. Sistem Kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi

dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya

efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural


hipotensi, tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya

resistensi dari pembuluh darah perifer.

h. Sistem Sensori

Penurunan daya akomodasi mata, penurunan adaptasi terang gelap, lensa

mata menguning, perubahan persepsi warna, pupil lebih kecil, kehilangan

pendengaran untuk frekuensi nada tinggi, penebalan membran timpani,

kemampuan mengecap dan menghidu biasanya menurun, penurunan

jumlah reseptor kulit dan penurunan fungsi sensasi akan posisi tubuh.

2. Perubahan psikologi pada lansia

a. Pensiun, lansia muali kehilangan finansial yaitu pemasukan yang

berkurang, kehilangan status jabatan, kehilangan relasi atau teman dalam

bekerja, dan kehilangan pekerjaannya.

b. Merasakan dan sadar akan kematian

c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan dan

bergerak dengan sempit.

d. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

e. Kesipian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

f. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan teman dan keluarga.

g. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran

diri, dan perubahan terhadap konsep diri.

3. Perubahan mental pada lansia

a. Perubahan kepribadian.

b. Adanya kenangan (memory).

c. Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan yang dimiliki.

2.4.3 Ciri-Ciri Lansia


Menurut Abdul Malik Amrullah (2017) terdapat beberapa ciri orang lanjut

usia, yaitu:

a. Usian lanjut merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian besar dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Motifasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada

pada lansia.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari

sikap social yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan di

perkuat oleh pendpat-pendapat gelisah yang jelek terhadap lansia.

Pendapat-pendapat gelisah itu seperti:lansia lebih senang mempertahan

kan pendapatnya dari pada mendengarkan pendapat orang lain.

c. Menua membutuh kan perubahan peran

Perubahan tersebut di lakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran

dalam segala hal. Peruabahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas

dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkunan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang

buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

Anda mungkin juga menyukai