Anda di halaman 1dari 3

PELEMBAGAAN DAN PENDANAAN “MICRO FINANCE”

Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) telah


melakukan Uji Sahih Rancangan Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Fokus perubahan terkait
dengan reposisi LKM sebagai lembaga pengembangan usaha jasa keuangan dan
pemberdayaan usaha masyarakat skala mikro. Selama hampir 10 tahun UU
Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM berlaku belum memberikan harapan yang
jelas terhadap peningkatan kemampuan berusaha komunitas usaha mikro.

Saat ini hampir terdapat 65 juta usaha mikro yang belum tersentuh bantuan
LKM. Masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah dengan ketersediaan layanan jasa keuangan mikro. Jadi ada
gap dari sisi demand dan supply yang belum dapat dipenuhi oleh kebijakan
publik, khususnya di sektor keuangan. Sampai Desember 2021, lokasi LKM
terpusat di Pulau Jawa (75%) dan sisanya di luar Jawa. Salah satu propinsi
memiiki lebih dari 50% LKM sementara di propinsi lain belum memiliki satu pun
LKM.

Salah satu perubahan signifikan dari rancangan ini adalah mengubah frasa
“lembaga” menjadi suatu sistem (Apex). Apex dalam rumusan ini dimaknai
sebagai suatu sistem pengayom yang mengelola kumpulan dana untuk mengatasi
kesulitan likuiditas, meningkatkan kerjasama pinjaman dan pembiayaan,
memberikan bantuan teknis, dan mencari instrumen keuangan yang lain (ps.1;
angka 7). Selain itu juga memperluas wilayah usaha sampai ke tingkat provinsi
(ps. 5 ayat (2)), dan memperluas stakeholder organisasi masyarakat dan perguruan
tinggi sebagai pemegang saham (ps. 5 ayat 3).

Kelemahan fungsional dari UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM adalah


terlalu sentralistik terhadap aspek operasionalisasi keuangan tapi ada keterbatasan
dalam pemilikan sumber uang. Hal ini menimbulkan ketidak-merataan pola
distribusi pendanaan dan pembinaan. Secara institusional LKM ini dibentuk oleh
regulasi pemerintah dan dibina, di tingkat daerah oleh pemerintah daerah. Namun
pola pertanggung jawaban harus disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
karena terkait dengan kebijakan usaha simpan pinjam. Hal ini seringkali
menimbulkan kerancuan dalam pola pembinan dan membuat bingung para
pengusaha mikro dan LKM.

Perubahan yang diajukan diharapkan dapat memperbaiki LKM dan


komunitas usaha mikro yang dilayani. Apex LKM sebagai sistem setidaknya
dapat memiliki kekuatan untuk menggalang sumber pendanaan eksternal dari
emisi saham dan meningkatkan kemampuan berusaha kelompok usaha mikro
karena adanya proses pemberdayaan. Pemberdayaan memegang peran penting
berkaitan dengan perlunya peningkatan literasi pengelolaan keuangan dan
manajemen bisnis usaha mikro. Tidak akan ada dampak signifikan penguatan
usaha mikro dari penyediaan layanan modal LKM sepanjang literasi keuangan
dan literasi bisnisnya lemah.

Segi kewirausahaan berbisnisnya harus dikuasai, meskipun dengan


bertahap. Itulah yang selalu diajarkan oleh sekolah-sekolah ekonomi dan bisnis.
Schumaher (1994), dalam bukunya Small is Beautiful menekankan peran penting
usaha mikro kecil sebagai penopang kekuatan ekonomi negara, dan negara perlu
memperhatikan kemajuannya melalui pemberdayaan usaha. Idealisme
Schumacher adalah usaha mikro menjadi perusahaan yang profitable. Tidak perlu
menjadi besar yang penting ada dukungan dari kelembagaan seperti LKM agar
menjadi profesional, cukup modal, dan sistem yang baik. Oleh sebab itu
perubahan LKM di Indonesia menjadi Apex merupakan bagian dari upaya
memperkuat LKM dan usaha mikro yang dilayaninya.

Aspek kelembagaan dan operasi LKM di Indonesia ingin mengikuti


keberhasilan Grameen Bank gagasan Muhammad Yunus yang didirikan di
Bangladesh, 1983. Seperti Grameen Bank, LKM berusaha membantu pemberian
pinjaman kepada masyarakat pengusaha lemah modal berskala mikro tanpa
jaminan. Hanya perbedaannya, budaya berusaha di Indonesia belum ditopang oleh
edukasi dan inkubasi. Pola operasi LKM terbatas pada pemberian pinjaman modal
tapi tidak bisa secara kontinyu memberikan bantuan teknis pengelolaan usaha.
Berbeda dengan Grameen Bank yang secara intensif dan efektif mberikan
pinjaman uang dan pengembangan usaha.

Perubahan yang diusulkan oleh Komite IV DPD RI terhadap UU Nomor 1


Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro kepada Pemerintah, yang drafnya
dibahas Juni 2022, mengandung banyak harapan LKM bisa mengembangkan
dirinya dan juga masyarakat pengusaha mikro dan supra-mikro. Hal ini terlihat
dari tujuan pendirian LKM yang lebih luas, tidak sekedar memberi pinjaman tapi
juga meningkatkan akses pendanaan skala mikro dan kecil, peningkatan
pemberdayaan ekonomi dan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat, juga
meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat.

Draf perubahan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM yang dibahas


dalam forum konsultasi Komite IV DPD RI dengan stakeholders masyarakat,
terutama para akademisi, memang belum sahih dan perlu penguatan dari aspek
akurasi model kelembagaan dan pola operasi pendanaan dan pemberdayaan. Hal
ini terkait dengan perluasan bentuk pendanaan, yaitu disamping pinjaman juga
pembiayaan. Pinjaman merupakan penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat
sesuai dengan yang diperjanjikan,sedangkan pembiayaan adalah penyediaan dana
oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan dengan prinsip syariah.
Kedua bentuk layanan ini akan menjadi bagian dari efektifitas LKM untuk
meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan usaha masyarakat skala mikro.

Sadikun Citra Rusmana


Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan
Peneliti Ekonomi Entrepreneur

Anda mungkin juga menyukai