Anda di halaman 1dari 15

EKSEKUSI

Muslim menyadari dia tak bisa menarik kata-katanya kembali. Habislah sudah, pikirnya. ketika melihat
rentetan mata para murid di kelas yang menatap dirinya dengan tatapan geram nan kesal. Sementara
Cynthia, murid cewek yang disinggung oleh Muslim, yang ternyata adalah sang Grade C, hanya
memandang nanar ke arah pria yang sudah lancang mengusik status kepopulerannya. Tangan putihnya
yang mulus dan halus masih begitu kuat mencengkram kerah seragam sekolah Muslim.

Wajah Cynthia sedikit mendekat ke arah Muslim, menyiratkan tatapan ketidaksukaan yang besar
terhadapnya. "Aku nggak mau menghabiskan energiku hanya untuk mengurus pria sok idealis
sepertimu." Cengkraman tangan Cynthia semakin kuat meremas kerah baju Muslim.

Muslim terjinjit mengangkat kakinya karena remasan tangan Cynthia di bajunya. Astaga, Grade C ini kuat
juga walaupun wanita. Muslim tak menyangka Cynthia punya tenaga layaknya seorang pria, padahal
dilihat dari tampilannya dia hanyalah gadis mungil dengan postur tubuh proporsional layaknya remaja
wanita rata-rata. Kupikir yang kuat dan atletis itu adalah Grade A.

"Kamu bisa bicara seenaknya, karena kamu tidak tahu sistem seperti apa yang bekerja di sekolah ini."
Kata Cynthia tepat di depan wajah Muslim. Saking dekatnya jarak antara mereka berdua, Muslim bahkan
dapat merasakan hembusan napas dan aroma mulut Cynthia.

Aku tidak tahu dia akan searogan ini. Pantas saja .... pikir Muslim sembari memperhatikan Cynthia. Huh,
sekolah dan hari-hari ke depan, akan menjadi perjalanan yang berat.

"Lihatlah, apa yang akan terjadi padamu selanjutnya." Cynthia sedikit menyeringai. "Akan kubiarkan
murid-murid fanatik ini melumatmu sampai habis." Bisiknya pada Muslim. "Sudah kubilang aku nggak
akan buang-buang energiku hanya untuk pria agamis sepertimu. Biar mereka saja yang urus." Cynthia
melepaskan cengkraman tangannya dan menghempaskan Muslim. Muslim terduduk di lantai kelas
karena dorongan kuat Cynthia. Sikap Cynthia terlihat cukup kasar dilihat dari sudut pandang seorang
pria.

"Ternyata dia memang Dao Ming Tse-nya, Gu Jun Pyo-nya atau Doumyoji Tsukasa-nya disini." Gumam
Muslim sembari membersihkan celananya.

"Kau bilang apa?" tanya Cynthia ketus.

"Tidak, aku tidak bilang apa-apa."

Sehabis menyapu bagian belakang celananya yang kotor karena terjatuh, Muslim mendongak dan
mendapati ia sudah dikepung oleh sekelompok murid marah yang harusnya menjadi teman sekelasnya
mulai hari ini hingga beberapa waktu ke depan. Namun kali ini, mereka semua adalah para Barbarian
yang siap mengeksekusi Muslim.

"Baiklah teman-teman. Aku cukup memaklumi bagaimana murid baru yang satu ini berlaku tidak sopan
pada kalian." Kata Cynthia. "Entah bagaimana ia bisa begitu tega, menganggap kasih sayang dan
kepedulian kalian semua kepadaku, sebagai perbudakan. Dia tidak memahami perasaan kalian semua,
jadi ... terserah kalian saja, mau kalian apakan orang ini. Aku tidak akan mengurus permasalahan remeh
seperti ini."

"Tenang saja, Cynthia. Biar kami yang urus murid baru tak sopan ini." Ucap seorang murid pria sembari
membunyikan jari jemarinya. "Dia harus diajari tata krama dan hukum di sekolah ini."

"Grade C benar. Dia tidak hanya telah melecehkan gadis Grade kesayangan kita, tetapi murid baru ini
juga menginjak-nginjak hukum sakral di kelas ini bahkan di seluruh sekolah ini." Sahut seorang murid
cewek lagi. "Dia telah melecehkan rasa ketulusan kita pada Cynthia."

"Guys, aku hendak mengunjungi teman-temanku dulu di kantin, lalu setelah itu juga harus menemui Pak
Yos untuk mempersiapkan ajang peningkatan nilai semester dan program berkala yang akan datang
selaku konsultan. Aku tidak ada waktu untuk semua ini, jadi kalian semua urus saja murid ini ya." Kata
Cynthia seraya beranjak keluar kelas sambil tersenyum jahat menatap Muslim. Ia mengangkat sebelah
alisnya sebagai ejekan.

Simpul senyum itu seakan berkata padanya, "Habislah kau!"

Oleh para murid 11E, Muslim diminta duduk ke bangkunya dengan bentakan. Muslim kemudian diikat
dengan seutas tali tambang. "Wait, wait, wait." Stop Muslim. "Teman-teman, kalian serius...? Aku mau
kalian apakan?"

"Diam saja, murid baru!"

"Tentu saja kau akan kami hukum. Sudah selayaknya kau dihukum atas kelancanganmu tadi."

"Hukuman...?" tanya Muslim. "Tunggu, teman-teman. Kalian ... tidak akan benar-benar menghukumku
secara fisik, 'kan? Kukuku tidak akan dilepas, lalu ditaburi garam seperti hukuman di zaman penjajahan
Jepang bukan?" Kelakar Muslim mengernyitkan dahi.

"Konyol! Tentu saja tidak." Sahut Tony, sang ketua kelas. "Kami mengikatmu agar dirimu sadar, seberapa
besar kesalahan yang telah kau lakukan. Yah, supaya kau tidak lari tentu saja, kalau-kalau kau berusaha
lari dari kami."

Astaga, Ya Allah, ada-ada saja keanehan yang terjadi di hari pertamaku bersekolah disini.

Hukuman seperti apa yang akan kuterima? Muslim tak habis pikir dengan mindset dan cara berpikir anak
sekolah zaman sekarang. Semua ini benar-benar konyol serta tak masuk akal baginya. Pemujaan dan
ashobiyah macam apa yang telah mencuci otak anak-anak SMA disini? Wahai Abah Guru, tugas ini sudah
terasa berat. Fanatisme tidak sehat ini membuatku nampak seperti seorang nabi yang diutus kepada
mereka, lalu mendapatkan pertentangan darinya. Tapi aku harus berusaha mengikuti cara berpikir
mereka, pikir Muslim.

Muslim sadar bahwa dirinya tadi sudah salah bicara dan melakukan satu kesalahan besar menurut para
murid di kelasnya. Demi bisa berbaur dan bertahan di sekolah ini, terutama di kelas 11E tentu saja, maka
mau tidak mau Muslim harus mengikuti cara berpikir dan permainan para murid disini. Apapun yang
akan mereka lakukan terhadapnya, Muslim siap menjalaninya.

"Teman-teman, aku mengaku salah." Kata Muslim melakukan pembelaan berupa permintaan maaf.
"Aku sadar telah keliru, karena sudah melukai hati kalian semua. Dan yang paling fatal ... adalah melukai
hati Cynthia, Grade C kebanggaan kita semua."

Muslim sudah mulai masuk dalam gelombang kefanatikan ala sekolah barunya, walau tentu saja itu
hanya akting Muslim semata. Daripada kehidupan sekolahnya akan menjadi bertambah buruk, Muslim
memutuskan akan masuk ke dalam perannya, yakni seorang murid yang mengidap fanatisme buta.
Layaknya murid-murid disana.

"Akhirnya kau sadar, kalau kau sudah berbuat salah." Kata salah seorang murid pria.

"Tentu, dengan penuh kesadaran jiwa dan ragaku, aku mengaku bersalah. Tidak seharusnya tadi aku
berkata seperti itu kepada Grade C tercinta kita, iya kan? Aku bahkan juga mengidolakan Grade C sama
seperti kalian." Muslim mulai memutar lidah berucap manis. Akting konyol Muslim pantas diganjar
sebuah piala Oscar.

"Hei ketua kelas. Kau bahkan tadi sudah menulis namaku sebagai salah satu murid yang masuk dalam
faksi pecinta Grade C kan? Jadi mana mungkin aku akan melukai idolaku sendiri. Kesalahanku hari ini
adalah yang pertama dan terakhir, aku janji." Muslim menggerak-gerakan tangannya yang sedang terikat
di belakang. Para murid itu menengok ke arah tangan Muslim dan mendapati simbol V dari telunjuk dan
jari tengah Muslim, tanda ia sedang berjanji.

"Ayolah, kalian percaya kan? Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ini janjiku."

"Hmm, bagus kau menyadari kekeliruanmu anak baru." Kata ketua kelas. "Tapi hukuman tetaplah
hukuman. Kami mungkin bisa memaklumi kesalahanmu kali ini, akan tetapi proses hukum harus tetap
berjalan. Ini sudah termaktub dalam hukum kanon kelas kita."

Mereka punya kitab hukum kanon? Yang benar saja! Muslim lagi-lagi mengernyitkan dahinya.

"Hukuman harus tetap dilanjutkan, biar ada efek jera." Timpal seorang murid.

"Hukum Muslim! Hukum Muslim! Hukum Muslim!" Teriak para murid serentak.

Pembelaan dan permintaan maaf buaya Muslim nyatanya tak berguna. Para murid itu masih
menetapkan Muslim sebagai tersangka yang harus tetap diproses secara hukum. Muslim tak tahu
menahu hukuman seperti apa yang sedang menantinya.

"Jadi, hukuman seperti apa yang akan aku terima?" tanya Muslim iseng.

"Hukuman yang paling menyakitkan, paling menakutkan, yang pernah kau tahu." Jawab seorang murid
pria sambil mengangguk, mencoba membuat Muslim takut.
"Hukuman macam apa itu?" Jawaban murid tersebut sukses membuat Muslim bergidik, seraya menanti
hukuman jenis apa yang akan didakwakan kepadanya. Nasibku ngenes amat, baru sehari sekolah disini,
sekarang sudah mau hampir dieksekusi, pikir Muslim.

"Semuanya, mari kita rembukan. Hukuman macam apa yang cocok untuk anak baru ini?" tanya Tony,
sang ketua kelas 11E. Mereka mulai membincangkan hukuman untuk Muslim.

"Pemuda ini baru satu hari masuk, tapi dia sudah cari gara-gara. Bagaimana kalau nanti dia membuat
masalah lainnya? Yang aku takutkan dia mungkin bisa merugikan kelas kita dan Grade C dikemudian
hari. Bayangin aja, bagaimana seandainya tadi ada murid dari faksi gadis Grade lain yang kebetulan
mendengar sikap orang ini? Pasti pamor Grade C akan turun ketimbang gadis Grade yang lain. Murid di
kelas lain akan berpikir Grade C sudah tidak dihormati lagi bahkan di kelasnya sendiri."

"Benar juga ya," sahut seorang siswi. "Mereka semua akan berpikir bahwa Grade C memiliki pembenci di
kelasnya sendiri. Grade C sudah tidak istimewa lagi. Ngeri sekali! Hal ini akan mengancam kepopuleran
dan strata Grade C kebanggan kita di sekolah ini."

"Kalau begitu, kita akan memberikan hukuman yang seperti apa?" tanya Tony sang ketua kelas. "Dia
sudah berjanji tidak akan mengulangi sikap seperti itu lagi." Tony menoleh menatap Muslim.

Muslim mengangguk mengiyakan. Tanda bahwa ia tobat, tidak akan bersikap seperti tadi.

"Bagaimana kalau kita minta murid baru ini untuk keliling lapangan sekolah dengan hanya menggunakan
kaos daleman aja?" usul wakil ketua kelas mereka.

"Hmm, itu boleh juga sih." Pikir Tony, "tapi kita tidak bisa melakukan itu. Aturan sekolah kita melarang
penghukuman terhadap murid tanpa melibatkan keputusan anak-anak OSIS dan dewan, juga tanpa
mandat kebijakan penghukuman dari mereka. Ini bukan masalah yang terkait dengan sekolah, ini hanya
masalah internal kelas kita saja. Akan sulit jika kita melakukannya. Anak-anak OSIS akan marah karena
menganggap kita telah melangkahi wewenang mereka."

"Lalu bagaimana kita akan menghukum murid baru ini? Pikirin ton, kau kan ketua kelas."

"Ethan, kemari lah." Tony nampak memanggil seorang siswa. "Kita serahkan pada ahlinya. Pakar hukum
yang telah merumuskan hukum kanon kelas tercinta kita. Biar dia yang akan menetapkan hukuman yang
pantas diterima Muslim." Tegas Tony.

Apa? Kelas ini punya seorang pakar hukum...? Muslim bertanya-tanya.

Seorang pemuda berkacamata dengan gaya rambut belah tengah pun muncul diantara kerumunan
murid 11E yang mengelilingi Muslim. Dengan kepala yang ditegakkan, tangan kanannya menyentuh
gagang tengah dari kacamatanya dengan sangat percaya diri.

"Terima kasih sudah mempercayakan ini padaku. Ahli hukum yang akan bersekolah di Yale University
nantinya. Perumus hukum kanon kelas 11E, Ethan Lewis." Siswa berpenampilan kutu buku itu
memperkenalkan diri sembari memegang sebuah buku bertuliskan 'Pedoman Hukum Kanon Kelas 11E'
di sampulnya.

Murid bernama Ethan itu menepuk pundak Muslim. "Aku akan mengadilimu secara adil dan berimbang,
tenang saja. Memutuskan perkara hukum adalah keahlianku. Aku sudah khatam 71 buku yang terkait
dengan hukum baik perdata maupun pidana. Menjadi pengacara adalah cita-cita dan goal karirku,
namun menjadi jaksa agung di MK adalah impian terbesarku."

"Aamiiiin," sahut Muslim.

"Terima kasih," ucap Ethan. "Namun selaku calon jaksa yang berintegritas, aku tidak akan luluh dengan
sogokan kata amin darimu itu."

"O—okeee," gumam Muslim. Padahal dirinya hanya mencoba mengaminkan sebuah doa saja.

"Aku telah mengulas lebih dari 100 tinjauan hukum di kejaksaan lokal," lanjut Ethan. "Dan terlatih
membaca ulasan kelas internasional seperti tinjauan hukum Columbia yang didirikan oleh Joseph E
Corrigan pada tahun 1901. Rencananya aku juga akan mengkaji dan mempelajari semua studi kasus dan
essai-essai hukum akademik ditinjauan hukum Harvard."

"Masha Allah," gumam Muslim terperangah. Seberapa berbakatnya anak ini di bidang hukum? Kelas 11E
ternyata memiliki cikal bakal pakar hukum dan ketatanegaraan.

"Hmm, setelah menimbang dan meninjau tindakan ketidaksopanan yang dilakukan terdakwa, sesuai
dengan penurunan kualitas kasasi hukum pidana baku, dalam kasus yang bisa dikategorikan pemaksaan
tindakan sebab memenuhi syarat perbuatan tidak menyenangkan yang telah ditulis dalam KUHP Pasal
335 ayat 1 butir pertama, maka kurasa murid baru ini harus dihukum dengan cara mengurungnya di
ruangan seram dan bau, bilik tujuh! Sekian dan terima kasih." Ethan menjatuhi vonis dan menyudahi
dakwaannya.

"Bilik 7...? Kau bercanda!?" seorang siswi nampak tak percaya dengan vonis Ethan.

"Itu hukuman yang layak!" celetuk seorang siswa lainnya. "Dikurung di bilik seram dan bau itu terdengar
cukup setimpal untuk sebuah hukuman. Ini pasti menyenangkan."

Seorang murid nampak tertawa jahil. "Bagus, bagus, aku setuju. Ini bentuk hukuman yang siapapun
tidak akan mau mengalaminya. Bilik 7, kau pasti akan sangat jera setelah ini karena telah lancang
mencoba menggurui perilaku kami-kami disini." Katanya sambil menatap Muslim.

"Bilik 7 ya? Aku saja tidak akan mau memasukinya." Timpal Tony, si ketua kelas dengan gaya rambut
changcut layaknya detektif hewan Ace Ventura. "Itu terserah kalian saja."

Muslim menenggak air liurnya. Mendengar betapa senangnya para murid itu ketika ia dijatuhi hukuman
kurungan di sebuah ruangan yang mereka sebut bilik 7, Muslim bertanya-tanya ruangan seperti apa Bilik
7 itu.
Moll Dryer II

Sebenarnya seberapa mengerikan dan menakutkannya dikurung sendirian dalam bilik 7 yang mereka
bicarakan itu? Bagi Muslim itu terdengar seperti hukuman biasa saja.

"Sudah diputuskan! Mari kita kurung si Muslim di bilik 7 hingga istirahat kedua." Kata Tony.

Seorang murid menatap Muslim sambil tertawa dan menggelengkan kepala. "Kasihan sekali kamu nak.
Dikurung di ruangan paling menyeramkan itu." Ucapnya.

"Maaf, apa aku boleh bertanya disini?" kata Muslim menginterupsi. "Apa itu bilik 7...?"

"Nanti kau juga akan tahu." Jawab Tony nyengir. "Bani, Gozali, bawa anak ini ke sana!"

"Kau ingin tahu ruangan apa itu, Muslim?" tanya sang ketua kelas nampak tersenyum dingin. "Ruangan
itu adalah ruangan paling berhantu di sekolah ini. Tidak ada yang berani memasukinya, bahkan semua
guru disini pun tidak ada yang berani kesana apalagi sekedar melewatinya. Ruangan itu telah
dikosongkan lebih dari 15 tahun. Dan menurut cenayang yang pernah menerawang, disana adalah kelas
ghaib yang diisi oleh 7 murid tak kasat mata."

"Mamma, Mia ...." Gumam Muslim membelalakkan mata.

Sudah diputuskan oleh para murid 11E, jenis hukuman apa yang akan mereka terapkan pada Muslim.
Dikurung disebuah bilik atau ruangan paling angker di sekolah Jati Harapan. Wajah Muslim datar. Dia
berhenti takut hantu atau sejenisnya pada usia 9 tahun. Jadi bentuk hukuman semacam itu takkan
berefek apa-apa padanya. Apalagi Muslim merupakan jebolan anak pesantren yang taat beragama dan
hapal segala jenis bacaan doa.

Seorang murid cowok bernama Imran tertawa puas. "Grade C pasti senang mengetahui bagaimana kita
menghukum anak ini. Bilik 7, huuuu bikin merinding."

"Buka ikatan talinya," suruh Tony. "Kita segera bawa Muslim ke ruangan itu."

Para murid bahu membahu membuka tali ikatan yang tadi mengikat Muslim. Setelah dilepas, Muslim
meremas tangan dan bahunya yang terasa kram akibat kelamaan diikat. "Makasih udah dilepasin
talinya. Tenang aja, aku ngga bakal kabur kok." Kata Muslim meringis tersenyum.

"Sebelum mengirim pemuda tampan ini kesana, kita harus mempersenjatainya terlebih dahulu dengan
beberapa mantra." Kata seorang siswi berambut pendek dengan poni rata mirip Dora.

"Ngapain sih Mol, pake dipersenjatai segala. Biarin aja dia disana tanpa bantuan apa-apa," sahut
seorang siswa. "Biar dia tahu rasa...!"

"Kalian nggak boleh kejam seperti itu." Kata siswi itu kembali. "Dia mungkin layak mendapat hukuman,
tapi kalian harus ingat, kita tidak boleh berlaku begitu kejam dengan membiarkannya masuk kesana
tanpa bekal apa-apa. Kalian tahu? Masuk kesana tanpa dilengkapi suatu mantra bisa sangat berbahaya.
Anak ini bisa-bisa mati!"
Semua murid tertegun, terutama Muslim. Bisa mati...? Nggak bercanda nih?

"Murid baru ini bisa kesurupan disana, iya kalau cuma kesurupan, kalau sampai lemes karena auranya
habis dihisap dan mati gimana? Apa kalian mau tanggung jawab? Bisa-bisa kita semua bakal dipenjara
karena secara tidak langsung dianggap telah membunuhnya. Kalian mau jadi pembunuh, hah...!?" tanya
siswi berambut Dora.

Muslim berdehem. "Maaf, siswi itu siapa ya?" bisiknya ke Tony yang ada di dekatnya.

"Dia? Salah seorang murid aneh di kelas kita, Molly namanya." Jawab Tony. "Dialah cenayang yang
sudah menerawang Bilik 7 itu dan mengatakan bahwa disana merupakan kelas ghaib yang diisi oleh
tujuh murid hantu tak kasat mata."

Kelas ini juga punya bibit cenayang? Pikir Muslim dalam benaknya. "Kelas 11E lengkap amat ya. Dari
memiliki seorang calon jaksa seperti Ethan, sampai memiliki sosok calonarang, eh maksudnya seorang
cenayang."

Impresi pertama yang ditangkap Muslim dari sosok yang katanya cenayang itu memang lah seorang
siswi perempuan dengan tampilan aneh. Ekspresi tatapan matanya juga selalu datar. Kosong tanpa
ekspresi sama sekali. Aura yang dipancarkannya pun aura tanpa warna. Mirip seperti tokoh Lucy dalam
film kartun The Loud House. Pancaran aura ghotic yang kental. Belum lagi siswi bernama Molly itu
ternyata memakai selendang biru kehitaman yang diikat di belakang tubuhnya. Mirip kayak Superman,
atau Supergirl deh.

"Terus itu kenapa dia pakai jubah? Bisa terbang?" tanya Muslim.

"Itu sih baru beberapa bulan ini aja." Jawab Tony. "Setelah tu anak nonton film Dr.Strange."

Melihat keanehan itu, Muslim tak sengaja tergelak tertawa keras.

Seakan merasa bahwa Muslim sedang mengejek dirinya, Molly mendekati Muslim. "Kenapa kau
tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanyanya datar, namun nampak kesal.

"Tidak," Muslim melumat bibir bawahnya menahan tawa.

"Namaku Molly, kau bisa memanggilku Moll Dryer II." Siswi cenayang itu memperkenalkan diri.

Kali ini Muslim tak bisa menahan tawanya lagi, apalagi sesudah Molly memperkenalkan namanya. Molly
menyebut dirinya sebagai Moll Dryer II dimana itu merupakan nama penyihir wanita asal Maryland
Amerika Serikat yang terkenal di abad ke 17. Ceritanya setengah tubuh Moll Dryer konon menjadi batu
akibat suatu mantra.

Muslim coba menunduk seraya sedikit cekikikan.

Dengan keras Molly menghentakan kakinya. "Apa ada yang lucu, tampan?" tanyanya kesal.

Muslim mengangkat kepalanya sambil menggeleng ketakutan. "Tidak, tidak ada."


"Tunggu sampai kamu memasuki kelas ghaib dari murid-murid tak kasat mata itu. Kita lihat, apa kau
masih bisa tertawa seperti ini atau tidak." Ancam Molly.

"Yes madame." Gumam Muslim.

"Disana, kamu akan melihat kengerian-kengerian yang tak pernah dilihat oleh siapapun." Kata Molly
lantang. "Kelas ghaib itu dihuni oleh enam orang murid Belanda dan seorang putri dari tentara Jepang,
yakni Peter, Ronald, Lucinda, Mathias, Jansen, Van Idel dan Nishima, putri dari Kapten Nohogaki.
Mereka semua adalah hantu yang sulit dijinakkan."

"Jadi 6 anak kompeni dan seorang wibu," gumam Muslim.

"Mereka terkenal sangat usil apalagi terhadap murid baru tak tahu diri sepertimu. Jika kamu melihat
mereka di dalam sana, kusarankan jangan pernah tatap wajah mereka, karena itu akan membuat
mereka sangat marah. Aku tidak menjamin keselamatanmu di dalam sana jikalau mereka tidak suka
denganmu. Oleh karena itu aku akan sedikit berbaik hati padamu." Molly menarik sebelah tangan
Muslim. Dia lalu memejamkan kedua mata sambil mulutnya komat-kamit tak jelas. Samar-samar Muslim
dapat mendengar apa yang Molly rapalkan.

"Sashwua hemu buaakake jamemu toteeee,"

Muslim terheran-heran, tak tahu harus bereaksi apa ketika Molly memantrai dirinya. "Ini semacam
jampi-jampi Voodoo atau apa?" gumam Muslim. Dengan cekatan Muslim kembali menarik tangannya
dari tangan Molly sebelum Molly selesai memantrai dirinya. Seolah Muslim menolak terlibat atau hanya
tak ingin menanggapi sesuatu yang nampak seperti sebuah kemusyrikan kecil dari kacamata
keilmuannya.

"Apa yang kau lakukan!?" tegur Molly. "Aku belum selesai memantraimu."

"Tak perlu," jawab Muslim. "Aku ... yakin tidak apa-apa."

"Kamu sok berani atau memang bodoh?" ledek Molly. "Sudah kubilang kau tidak akan selamat dari sana
tanpa mantra pelindung dariku. Jika kamu sampai kenapa-napa, maka kami semua yang ada di kelas ini
yang akan menjadi tersangka. Kami semua bisa kena getahnya."

"Itu benar," sahut para murid bergantian. "Kita semua akan disalahkan jika terjadi sesuatu pada murid
baru ini. Grade C juga akan terseret-seret dalam masalah ini nantinya."

"Ya, kita tidak ingin itu terjadi kan."

"Molly, selesaikan mantramu. Paksa dia!!" pinta Tony.

"Tunggu, tunggu dulu." Cegat Muslim tersenyum. "Insha Allah aku nggak bakal kenapa-napa kok. Aku
yakin sama Allah SWT aja. Tuhanlah tempat berserah dan perlindunganku." Tegas Muslim.

"Halah sok alim loe badut!" ledek seorang siswa.


"Molly, gini aja," lanjut Muslim menatap Molly. "Aku akan masuk kesana tanpa mantra. Jika aku tidak
kenapa-napa, dan berhasil keluar dari sana dengan selamat bahkan tanpa kesurupan, apa kamu mau
menanggalkan kebiasaanmu merapalkan mantra?" Muslim memberi tawaran. Dia melihat kesempatan
bagus untuk memberi pelajaran atau dakwah kebaikan bagi Molly. Demi dapat meluruskannya dari
kebiasaan yang dianggap Muslim tak baik dipraktekkan itu.

Molly terdiam dengan tawaran Muslim.

"Jangan mau Moll, kalau dia kenapa-napa gimana?"

Cukup lama sang cenayang berpikir. Sampai akhirnya Molly tertantang. "Baiklah, aku setuju."

Muslim dan Molly berjabat tangan.

"Kalian tenang saja, jika terjadi apa-apa, kalian bisa menyalahkanku. Aku akan bertanggung jawab
sepenuhnya." Kata Molly. "Kalian bisa percaya padaku."

"Ya sudah. Kami nggak mau tahu ya Moll, ini semua sudah menjadi tanggung jawabmu. Ini perjanjian
kalian berdua, kami semua nggak ada urusan jika murid baru ini kenapa-napa."

Molly mengangguk dengan ekspresi datarnya. "Tenang saja kawan-kawan. Murid baru ini akan
mendapatkan pelajaran yang bagus di dalam sana. Itu kan yang kalian inginkan? Setidaknya dia akan
ketakutan setengah mati di dalam sana atau dikerjai habis-habisan oleh para murid hantu usil itu, kita
lihat saja." Molly merasa yakin bahwa keangkuhan Muslim sebagai kaum beragama yang congkak itu
akan luntur ketika sudah berada di dalam Bilik 7. Molly menantikan moment itu, ketika Muslim nanti
kesurupan atau minimal keluar ketakutan.

Oleh karena ingin melihat itu, maka ia setuju dengan tantangan dari Muslim.

Ini akan menjadi tugas pertama Muslim, menginsyafkan salah seorang murid dari kebiasaan yang
menurutnya bisa menjauhkan orang itu dari Rahmat Tuhan.

Para murid 11E kemudian mulai hendak membawa Muslim menuju Bilik 7 yang dimaksudkan. Letaknya
berada di bagian belakang sekolah Jati Harapan, jauh di samping gudang, bersebelahan dengan parkir
sepeda dan kenderaan roda dua. Muslim dikawal oleh para murid 11E menuju ke ruangan paling angker
di sekolah tersebut. Terjadi kegaduhan di jam istirahat saat tersiar kabar seorang murid akan dibawa
kesana. Para murid dari kelas lain melihat Muslim diarak menuju ruangan itu. Sebagian besar dari
mereka bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan murid malang itu sehingga para murid 11E kompak
untuk membawanya ke bilik seram dan paling menakutkan di sekolah mereka.

Mayoritas para murid Jati Harapan telah mendengar kabar bahwa murid baru di kelas 11E telah
melakukan penghinaan kepada Grade C sehingga ia layak dihukum.

Dari kejauhan, seorang siswi manis berambut terikat ke belakang yang sedang duduk sendirian sambil
memegang sebuah buku, nampak perhatiannya teralihkan. Siswi itu melihat bagaimana Muslim dibawa
dan diarak menuju Bilik 7. Dia juga sedang bertanya-tanya dalam benaknya, apa salah dari pemuda itu?
Entah apakah ia sedang merasa kasihan kepada Muslim atau tidak, namun wanita bernama Evita itu
hanya menatap Muslim dari kejauhan.

Ya, dia adalah Evita Syamsi yang menjadi gadis Grade tak resmi di sekolah Jati Harapan. Dikatakan tak
resmi sebab hanya ia satu-satunya gadis Grade yang tanpa pengikut, tanpa memiliki fans fanatik dan
tanpa fanbase seperti gadis Grade yang lain. Dia lebih dikenal sebagai Grade AC hanya karena ia
memiliki dua kemampuan sekaligus yakni skill yang dimiliki oleh Aleya atau Grade A dan Cynthia selaku
Grade C.

Di dekat kantin yang dilewati oleh Muslim, ternyata juga ada Cynthia disana sedang bersama teman-
teman hangout-nya. Cynthia menyeringai puas melihat Muslim digiring. "Ternyata hukuman yang
mereka jatuhkan padanya adalah dikurung di bilik itu? Mereka kejam juga," kata Cynthia nampak
berbahagia diatas penderitaan dari pria yang sudah menghinanya.

Muslim menoleh ketika tepat melewati selasar kantin, ekor matanya melirik ke arah Cynthia. Kedua
mata mereka saling bertemu. Sepasang mata menyimpan suatu rahasia, sementara sepasang mata
lainnya bersinar dengan cahaya keangkuhan dan kesombongan.

"Teman-teman, aku izin pamit dulu ya," kata Cynthia pada rekan-rekan nongkrongnya. "Ada hal menarik
yang dilakukan teman-teman sekelasku, dan aku harus melihatnya sendiri." Gumam Cynthia tersenyum
lebar. Dia berniat ingin melihat dari dekat bagaimana Muslim mendapatkan hukumannya. Inilah
akibatnya jika kau macam-macam dengan gadis Grade, katanya dalam hati.

Muslim pun akhirnya sampai digerbang yang dikunci dengan banyak gembok. Sudah terasa aura
keangkeran yang kuat bahkan hanya dengan berada di luar ruangannya. Para murid yang mengantar
Muslim pun bergidik, merinding ngeri ketika membawa Muslim mendekat menuju ke pelataran
ruangannya. Padahal ini masih siang hari. Apalagi kalau malam.

"Kita sudah sampai." Kata sang madame Strange, Moll Dryer II.

BILIK 7

Para murid kelas 11E beserta murid kelas lainnya yang tertarik dengan hukuman Muslim, berkumpul di
dekat Bilik 7. Mereka mengambil jarak dari ruangan tersebut, berdiri sekitar 10 meter jauhnya dari bibir
pintu bilik. Hanya Moll Dryer II yang berani mengantarkan Muslim tepat di depan gerbangnya. Sebegitu
menakutkannya ruangan itu sehingga tidak ada satupun murid yang berani mendekati. Mereka hanya
berdiri dan berani melihat dari jarak sekian meter saja.

Cynthia kemudian tiba, terlihat membelah kerumunan untuk menuju ke depan, ingin menyaksikan
langsung bagaimana teman-teman sekelasnya menghukum Muslim. Di tempatnya berdiri saat ini,
Cynthia menatap Muslim dengan tatapan angkuh seorang wanita yang merasa telah menang. Entah
merasa menang dari apa. Dari ego dan keangkuhannya tentu saja.

Kerumunan semakin bertambah sesak dengan lebih banyak lagi murid yang datang ingin menyaksikan
peristiwa langka tersebut saking penasarannya. Si kembar Lana Lani juga terlihat berada diantara
kerumunan. Mereka berdua menatap Muslim dengan rasa kasihan. "Itu anak baru nasibnya ngenes
amat ya." Gumam Lana.

"Iya, baru sehari sekolah disini, sudah dihukum." Sahut Lani. "Tapi dari yang kudengar, ia dihukum oleh
para murid 11E karena pemuda itu terang-terangan sudah menghina Grade C."

"Apa? Itu artinya dia memang pantas dihukum!" Lana menarik kembali empatinya terhadap Muslim.
Mengingat Lana memang salah satu fans berat Grade C.

Kejadian itu juga diliput oleh media televisi mandiri milik sekolah Jati Harapan, JH News dari JH channel.
Sebagai sekolah swasta, Jati Harapan memang agak beda. Mereka menerapkan kemandirian dan
struktur sosialisasi simulasi kehidupan nyata layaknya kurikulum sekolah di Amerika yang menyediakan
kanal televisi khusus sekolah bagi wadah dan sumber aspirasi serta informasi para murid disana.
Kameramen bernama Anto sekaligus reporter siswi bernama Nadia meliput secara langsung kejadian
Muslim yang hendak dikurung di bilik paling menyeramkan di sekolah mereka tersebut.

Di jam istirahat, semua mata di setiap kelas menyaksikan proses hukuman itu lewat televisi LED layar
datar yang tergantung di bagian depan ruangan kelas mereka masing-masing. Para murid di sekolah itu
sangat antusias menyaksikan siaran langsung tersebut.

Pembaca berita JH News, Nada dan Nadi, memandu acara berita dari ruangan studio mereka. Nada,
seorang siswi murah senyum berambut sebahu, dan Nadi yang berkulit agak keling dengan rambut agak
keriting, menemaninya membawakan acara harian JH News.

"Nadia, bagaimana kelanjutan dari di hukumnya salah satu murid 11E tersebut?" tanya Nadi. "Dari yang
kami dengar, pemuda itu merupakan murid baru ya?"

"Ya, benar sekali saudara Nadi. Dia merupakan murid baru di kelas 11E yang baru saja masuk pada hari
ini. Dari informasi yang kami dapatkan, para murid 11E menghukum murid tersebut dikarenakan ia telah
menghina Grade C. Entah hinaan yang seperti apa," Nadia selaku reporter lapangan melaporkan
langsung dari tempat kejadian.

"Lalu bagaimana perkembangannya disitu?" tanya Nada.

"Kalian semua bisa melihatnya sendiri, murid itu sudah hendak dimasukan ke dalam bilik tersebut."
Jawab Nadia sembari memegang sebuah Mic layaknya reporter berita sungguhan seraya tampilan
televisi menyorot ke arah Muslim yang berdiri di depan pintu Bilik 7.

"Kau sudah siap?" tanya Molly, Muslim mengangguk pelan.

Molly mulai membuka gembok-gembok di pintunya yang kuncinya tadi sengaja dipinta Tony dari kantor
guru. Satu persatu Molly mulai membuka kunci dari gembok di ruangan itu. Para murid yang hanya
menyaksikan dari kejauhan serempak perlahan memundurkan kaki mereka dua langkah ke belakang
ketika Molly membuka sepenuhnya pintu dari Bilik 7. Semua mata terbelalak, semua mulut ternganga
lupa terkantup, ketika menyaksikan bagaimana Muslim bersiap akan memasuki ruangan paling angker di
sekolah tersebut.

Berbagai macam ekspresi ditampilkan oleh para murid. Ada yang menggeleng, ada yang bergidik, ada
yang menutup matanya, ada yang menggumamkan doa bagi yang muslim, dan ada pula yang
menciptakan simbol salib ke tubuhnya bagi yang non-muslim. Sepertinya semua mata terlihat prihatin
dengan nasib yang dialami oleh Ahmad Muslim saat ini.

"Bismillah," gumam Muslim mulai melangkah masuk. Para murid serempak bergidik takut.

Lana dan Lani pun terlihat menutup mata mereka dengan jari-jari tangan karena tak ingin melihat
kekejaman itu. Mereka coba mengintip sesekali dari jari jemari yang diregangkan.

Muslim menoleh ke arah Molly. Dengan tersenyum kecut Molly berucap, "semoga berhasil di dalam
sana." Muslim pun masuk, lalu Molly hendak menutup pintunya.

"Ruangan ini hawanya tidak mengenakan," gumam Muslim menatap ke seisi ruangan yang gelap. Hanya
ada pencahayaan matahari yang menyinari di sela-sela ventilasi. "Bisakah aku mundur dari hukuman ini?
Aku tak ingin menjalaninya, aku takut." Kata Muslim memohon pada Molly.

"Tidak ada jalan keluar, sudah terlambat, tak bisa mundur lagi." Kata Molly perlahan menutup pintu
ruangannya. "Selamat menikmatiiii," ledeknya sembari menutup dan mengunci pintunya.

"Tidak, tidak, jangaaan!" kata Muslim sok-sokan merasa ketakutan. Ketika pintunya sudah tertutup
sepenuhnya, Muslim membuang napas kemudian mengubah ekspresinya. Raut wajah Muslim setelah
itu ternyata begitu santai. Ia hanya tersenyum kecil. Rupanya tadi hanya aktingnya saja. Orang dengan
keimanan sekelas Muslim, tidak memiliki mental takut.

"Baiklah, aku disini hanya sampai istirahat kedua saja kan?" gumam Muslim. "Setidaknya ada
hikmahnya, di hari pertamaku bersekolah aku tidak harus mengikuti beberapa mata pelajaran dan bisa
bersantai disini. Akan kunikmati," Muslim begitu santai tanpa rasa takut.

Berbeda dengan kerumunan para murid di luar ruangan yang mulai gaduh. Mereka bersorak sorai
setelah Muslim memasuki Bilik 7. Walaupun takut, tampaknya para murid sangat menikmati dan
terhibur dengan itu. Mereka semua sangat ingin melihat kelanjutannya, bagaimana nanti ketika Muslim
keluar dari sana. Apa yang akan terjadi terhadap Muslim di dalam sana? Itulah pertanyaan-pertanyaan
yang ada dibenak para murid yang sedang menyaksikan. Baik secara langsung maupun via televisi di
ruangan kelas mereka.

"Yap, reporter Nadia di lapangan tadi sudah melaporkan, bahwa murid bernama Muslim itu sudah
memasuki Bilik 7 seperti yang tadi kita saksikan bersama." Kata Nada. "Apa yang akan terjadi pada
Muslim setelah ini? Menarik untuk kita ikuti,"

"Semua murid disini sepertinya juga sudah tak sabar untuk mengetahui bagaimana kelanjutan nasib dari
murid baru itu. Aku pun menantikannya." Sahut Nadi. "Kita akan mengetahuinya setelah istirahat kedua.
Katanya para murid 11E menetapkan hukumannya berakhir pada jam istirahat kedua. Kita semua akan
saksikan bersama, bagaimana akhirnya."

"Benar, Nadi. Untuk sementara ini kita akan melaporkan berita lainnya, yakni masalah pelaporan
kehadiran kelas 12B yang rendah dalam bulan ini yang dipermasalahkan oleh wali kelas mereka, Ibu
Sumiati. Ketua kelas dari kelas tersebut juga sudah dipanggil oleh wali kelas mereka. Berita lainnya ...
terkait renovasi klinik dan ruang UKS yang sudah rampung hampir 89%,"

Begitu lah berita yang disuguhkan di acara JH News dari kanal JH channel milik sekolah sehari-hari.
Sedangkan di tempat kejadian, para murid di dekat Bilik 7 mulai membubarkan diri ketika bel penyudah
istirahat pertama berbunyi. Tanda mereka semua harus masuk ke kelas masing-masing. Para murid 11E
mendapati Grade C juga ada di sana. Mereka dengan bangga mengatakan sudah menghukum Muslim
atas apa yang ia ucapkan pada Cynthia.

"Grade C, sekarang kau bisa tenang." Kata seorang siswi bernama Mia. "Murid baru itu akan jera karena
sudah menghinamu. Kami sudah memberinya pelajaran."

"Ya, Cynthia. Semoga saja dia jera lalu kemudian mulai menghormatimu sebagaimana kami semua."
Sahut seorang siswa bernama Bani.

"Sudah,sudah. Bel masuk sudah berbunyi. Ayo pada masuk kelas." Pinta Tony. "Biarkan Muslim disana
hingga istirahat kedua nanti. Nanti kita akan kesini lagi untuk melihatnya. Ayo semuanya pada masuk
kelas. Ada kelasnya Bapak Yunus kan habis ini?"

"Ketua kelas benar. Ayo kita masuk." Kata Cynthia, masih tersenyum licik penuh kepuasan tatkala ia
mengingat-ingat saat ini murid baru menyebalkan itu sedang dikurung di ruangan paling berhantu.
Mungkin saat ini dia sudah ketakutan setengah mati, pikir Cynthia.

Sementara di dalam Bilik 7 yang konon katanya berhantu dan paling angker di sekolah itu, Muslim masih
terlihat santai. Dia mengarahkan pandangannya ke seisi ruangan, mencoba melihat-lihat ada apa saja di
dalam sana. Tak lupa ia juga haturkan salam.

"Assalamualaikum pajenengan, sanak, saya hanya hamba Allah seperti kalian, mohon numpang disini
sebentar." Muslim tidak percaya setan ataupun hantu, tetapi ia masih percaya setiap tempat mungkin
ada penghuni atau penunggunya. Makanya ia memberi salam sebagai adab.

Tidak ada yang istimewa di ruangan itu bagi Muslim. Layaknya ruangan kosong lainnya, Bilik 7 hanya
dipenuhi oleh debu, sarang laba-laba dan sampah dedaunan yang berserakan dari pohon-pohon yang
ada di lahan parkir samping sekolah yang lokasinya memang berada tepat di samping Bilik 7. Daun yang
masuk lewat jendela setelah tertiup angin. Bau ruangan itu juga menyengat tak sedap. Wajarlah untuk
sebuah ruangan terbengkalai tak terurus.

"Berhantu apanya," gumam Muslim. "Astagfirullah, cuman ginian doang katanya angker."
Mata Muslim lalu terarah pada tujuh buah kursi kayu kosong yang ia sadari ada di ruangan tersebut.
Tujuh buah kursi yang konon merupakan tempat duduk dari para murid ghaib di Bilik 7 yang menjadi
legenda di sekolah tersebut seperti yang diceritakan oleh Molly.

"Jadi ini kursi mereka? Yang katanya dihuni para hantu Belanda?"

Muslim perlahan mendekati kursi-kursi tersebut.

"Assalamualaikum," Sekali lagi Muslim memberi salam.

Walau dirinya sendiri skeptis terhadap cerita-cerita mistis tentang tempat itu termasuk eksistensi hantu-
hantu belanda yang Molly ceritakan, akan tetapi Muslim tetap tidak melupakan adab bertamu
dimanapun ia berada termasuk memberikan salam bahkan kepada sosok-sosok yang mungkin tak
terlihat oleh mata.

"Permisi, siapapun yang ada disini." Muslim menyentuh salah satu kursi. Dia ingat dalam perjalanannya
tadi kemari Molly sempat memperingatkannya untuk jangan sekali-kali berani duduk di salah satu kursi
yang ada di ruangan ini. Silahkan duduk jika kau ingin menanggung akibatnya, ucapan Molly yang begitu
diingat oleh Muslim.

Tanpa rasa takut melanggar pantangan tersebut, Muslim mencoba untuk duduk di salah satu kursi
terdekat. Memang akan sangat meletihkan jika Muslim harus terus berdiri selama dua jam lebih hingga
istirahat kedua akhirnya tiba.

"Bismillah." Muslim mulai mendudukkan pantatnya di kursi yang berada di depan.

Memang tidak ada yang terjadi.

Empat puluh menit pertama, Muslim duduk disana dengan tenang. Mulutnya komat kamit melafalkan
dzikir dan sholawat. Bukan karena Muslim ketakutan, tapi itu memang merupakan kebiasaan Muslim
sehari-hari, mau diwaktu sibuk ataupun senggang. Ia selalu menyibukkan mulut dengan dzikir pengingat
kehambaan dan sholawat kepada Nabi sebagai bukti kecintaan.

Suara gesekan mulai terdengar oleh Muslim. Arah suaranya tepat berada di kursi kedua dari belakang.
Muslim menoleh. Matanya terbelalak ketika sebuah kursi didapatinya bergerak-gerak.

"Astagfirullah Hal Adzim, apaan tuh!?"

Muslim sontak berdiri dan langsung menghampiri kursi yang sedang bergerak-gerak tersebut.

Setelah ia dekati dan lihat dengan seksama, seekor tikus berukuran agak besar berlari dengan sangat
cepat menjauhinya. Ternyata tikus itulah penyebabnya. Kursi itu bergerak karena ada tikus yang tadi
bersembunyi di sampingnya. Muslim membuang napas lega sambil mengusap-usap dada dengan
tangannya. "Astagfirullah ya Allah, cuman tikus. Kirain apaan."

Satu jam berikutnya Muslim tetap duduk tanpa adanya gangguan ataupun mengalami kejadian yang
aneh-aneh. Bahkan melihat sesuatu yang menyeramkan pun tidak. Muslim mengkonfirmasi sendiri
bahwa Bilik 7 yang katanya sangat angker ini hanyalah sebuah ruangan kosong semata. Ternyata Bilik 7
tidak semenakutkan yang orang-orang kira.

"Yang namanya mitos memang mudah dipercaya dan ditelan mentah-mentah. Padahal ketakutan
hanyalah alat untuk memperdaya manusia." Kata Muslim.

Anda mungkin juga menyukai