Anda di halaman 1dari 4

Tugas.

Kasus Penebangan Pohon Durian oleh Nenek Berusia 92 Tahun

Majelis hakim PN Balige, Tobasa, menjatuhkan vonis 1 bulan 14 hari kepada Saulina boru
Sitorus (92) atau Ompung Linda, Senin (29/1/2018). Hakim menilai, Ompung Linda terbukti
melakukan perusakan dengan menebang pohon durian milik kerabatnya, Japaya Sitorus (70),
yang berdiameter lima inci di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Toba
Samosir, Sumatera Utara, karena ingin membangun makam leluhurnya. "Menurut kami,
terdakwa harus menjalani hukuman 1 bulan 14 hari," ujar ketua majelis hakim Marshal Tarigan,
lalu mengetuk palu sidang.

Sementara itu, kuasa hukum Ompung Linda, Boy Raja Marpaung, mengatakan, pihaknya
kecewa karena hakim tidak mengindahkan pembelaan atau pledoi yang mereka sampaikan
pada persidangan sebelumnya. Kemudian, hakim dinilai terlalu dini menyatakan bahwa Japaya
adalah pemilik tanaman durian tersebut. Apalagi, keterangan saksi hanya didengar dari anak
dan istri Japaya sendiri. "Sementara banyak saksi yang menyatakan dalam persidangan yang
rumahnya berdekatan dengan lokasi tidak pernah melihat Japaya menanam dan memanen hasil
tanaman yang menjadi barang bukti tersebut," ungkapnya.

Kasus ini menyedot perhatian karena menyeret seorang nenek berusia 92 tahun ke ranah hukum
bersama dengan anak-anaknya. Enam anak Saulina juga terseret kasus ini dan telah divonis
majelis hakim Pengadilan Negeri Balige dengan hukuman 4 bulan 10 hari penjara dipotong
masa tahanan pada Selasa (23/1/2018). Keenam anaknya adalah itu adalah Marbun Naiborhu
(46), Bilson Naiborhu (60), Hotler Naiborhu (52), Luster Naiborhu (62), Maston Naiborhu
(47), dan Jisman Naiborhu (45). Saulina yang sudah menggunakan tongkat untuk berjalan
mengatakan bahwa dia dan anak-anaknya pernah minta maaf kepada Japaya.

Upaya damai tidak tercapai karena pihak tergugat tidak sanggup menuruti nominal yang
diminta Japaya. Mereka juga sudah dilaporkan ke polisi.Menurut mereka, Japaya meminta
uang ratusan juta sebagai syarat berdamai karena kesal dan sebagai ganti rugi penebangan
pohon.

Sumber : Kompas.com

Soal :
1. Dalam ilmu hukum ada adagium “nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali” uraikan makna adagium tersebut dan kaitkan dengan kasus diatas.
Asas “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” adalah berarti suatu
perbuatan hanya dapat dihukum bila sebelum perbuatan tersebut dilakukan, telah ada
Undang – undang atau peraturan hukum yang melarangnya dan ada ancaman
hukumannya. Asas ini hanya berlaku dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan dasar hukumnya ditemukan pada buku pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pada kasus diatas Mereka dijerat atas perusakan lahan pelapor Japaya Sitorus dengan
dipersangkakan melanggar pasal 412 KUHP.
Pada dasarnya, merusak tanaman milik orang lain berarti merusak barang milik orang
lain. Mengenai pengrusakkan barang milik orang lain, hal tersebut diatur dalam Pasal
406 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Unsur-unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:
1. Barang siapa (seseorang);
2. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan menghancurkan,
merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan;
3. Barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang, maka berdasarkan
Pasal 412 KUHP hukuman dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP (2 tahun 8 bulan) akan
ditambah dengan sepertiganya.
Jadi, Saulina boru Sitorus atau Ompung Linda dapat dihukum karena telah melakukan
pengrusakan barang milik orang lain, karena sebelum perbuatan tersebut dilakukan,
telah ada Undang – undang atau peraturan hukum yang melarangnya dan ada ancaman
hukumannya.

2. Berdasarkan kasus diatas mazhab apakah yang digunakan dalam sistem hukum
di Indonesia. Jelaskan dan berikan pendapat saudara apakah mazhab tersebut
masih relevan diberlakukan pada sistem hukum Indonesia.
Mazhab yang digunakan dalam sistem hukum Indonesia kaitan dengan kasus hukum
diatas adalah Aliran legisme.
Aliran legisme sedikit berpengaruh di Indonesia ini merupakan aliran yang berpendapat
bahwa semua hukum terdapat dalam undang - undang, dan bahwa hukum identik
dengan undang - undang. Artinya: yang dianggap sebagai hukum hanyalah undang-
undang saja, selain itu bukanlah hukum. Aliran legisme yang muncul sesudah tahun
1800 ini merupakan reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman dari hukum
kebiasaan.
Aliran legisme ini secara tegas menyebutkan bahwa:
1. satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan
lengkap, yang mampu menjawab terhadap semua persoalan hukum, dan
2. Di luar undang – undang tidak ada hukum.

Dengan kata lain aliran ini berprinsip bahwa hukum identik dengan undang - undang.

Menurut pendapat saya mazhab tersebut sudah tidak relevan diberlakukan pada sistem
hukum Indonesia karena hakim tidak lebih dari subsumtie automaat, karena hanya
berkewajiban menerapkan peraturan atau undang - undang. Pada peristiwa kongkretnya
dengan bantuan metode penafsiran, terutama penafsiran gramatikal. Akibatnya hakim
menjadi pasif, karena tidak lebih dari corong undang – undang belaka.

3. Dalam memutuskan perkara hakim cenderung hanya menjadi corong undang-


undang, padahal seorang hakim harus mampu melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding). Analisis oleh saudara makna dari pernyataan tersebut dan
kaitkan dengan kasus di atas.
Aliran RECHTSVINDING berpendapat bahwa hukum terdiri dari berbagai sumber, bisa
terdiri dari Undang – Undang, kebiasaan, hukum adat dan lain – lain yang sejenis
dengan itu, serta hakim diberi kebebasan untuk menafsirkan Undang – Undang. Hakim
dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan
penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil pada sistem hukum yang
berlaku. Dengan kata lain, bahwa hakim harus bertindak teliti.
Dalam kasus diatas seharusnya hakim lebih meneliti apakah benar pohon durian yang
ditebang adalah pohon milik Japaya Sitorus, mengingat banyak saksi yang menyatakan
dalam persidangan yang rumahnya berdekatan dengan lokasi tidak pernah melihat
Japaya menanam dan memanen hasil tanaman yang menjadi barang bukti tersebut.
Artinya hakim harus menggali mengenai apakah yang dimaksud dengan barang milik.
Jadi jelas atas dasar apa Japaya Sitorus mengklaim bahwa itu adalah pohon miliknya.
Sumber referensi :

1. BMP ISIP4130 Pengantar Ilmu Hukum/PTHI edisi 3


2. https://mimbarhukum.com/pengertian-asas-nullum-delictum-asas-asas-yang-
mendasari-berlakunya-hukum-pidana/
3. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5080b17edf4e5/dasar-hukum-
pidana-pengrusakan-tanaman/

Anda mungkin juga menyukai