Sistem Hukum
Sistem Hukum
karena hakim tidak harus selalu berpegang teguh kepada hukum tertulis,
tetapi dapat menggunakan hukum yang berkembang di masyarakat
(hukum kebiasaan) sebagai bagian dari proses menjatuhkan putusanya.
Berpegang yurisprudensi hakim, maka terbentuk aturan yang tidaklah
harus bergantung eksekutif dan legisilatif (sebagaimana di Indonesia)
tetapi melalui keputusan dapat dijadikan sumbernya hukum.
Yurisprudensinya keputusan itu tidak berdiri sendiri, tetapi dengan
mendengarkan rasa keadilan menurut juri. Hakim tetap berpegang kepada
ketentuan dan menilai apa yang dilanggarnya, tetapi keputusan salah dan
tidak tetap berada di tangan para juri, sehingga yang terjadi adalah
kombinasi hakim dan juri yang berbeda latar belakangnya membuat
keputusannya. Hakim tidak lagi menjadi tunggal menjadikan hitam dan
putihnya dalam menjatuhkan putusan di dalam sisten hukum ini.
Civil law system ini memiliki kelemahan karena sifatnya yang tertulis
akan menjadi tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah
pembatasan dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak atau
pembatasan dalam kontek materi dan dinamis atau pembatasan dalam
kontek waktu, oleh karena itu value consciousness masyarkat ke dalam
undang-undang secara logis akan membawa suatu ketertinggalan
substansi undang-undang, di samping itu banyak peraturan perundang-
undangan ba- Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem
Hukum Islam … 91 rat yang diodopsi ke Indonesia dan diberlakukan di
Indonesia, misalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD), dengan demikian fenomena legal gab
(keterpisahan nilai-nilai masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai
peraturan perundang-undangan) merupakan persoalan yang mendasar dan
substansif hukum Indonesia akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan
yang sulit untuk dihindari, sehingga tidak ada keterkaitan erat dengan jiwa
bangsa Indonesia yang diaturnya. Kontradiksi dengan yang terjadi di
Indonesia, sebagai negara yang menganut Civil Law adalah sistem
peradilannya. Potret buram kelembagaannya peradilan bukan isapan
jempol, tetapi realitas telah terjadi. Kasus Basar Suyanto & Kholil yang
divonis Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, pada tahun 2009 dengan
hukuman 2 bulan 10 hari, karena mencuri sebuah semangka. Nenek
Minah yang sudah tua dijatuhi hukuman 1 bulan penjaran dengan masa
percobaan 3 bulan, karenai mencuri 3 buah kakao seharga Rp 2.000 milik
PT Rumpun Sari Antan di Banyumas, Jawa Tengah. Kasus ini telah
mempertontonkan bahwa vonis cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul
ke atas. Hukum mudah menghukum rakyat kecil, tetapi tidak untuk para
koruptor. Kasus korupsi yang melibatkan 41 dari 45 anggota DPRD
Malang yang ditangkap KPK. Keseluruhannya diduga merima uang Rp
12,5 – Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga
telah menjadi tersangka. Uang itu diduga diberikan Anton terkait
pengesahan RAPBD-P kota Malang tahun 2015. Di Riau juga diuga
bahwa tersangka Gubenur Zumi Zola telah menyuap 53 anggota DPRD
(dengan istilah uang ketok palu) di dalam rangka pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Anggaran Belanja Tahun 2017 dan 2018. Korupsi yang
telah terjadi menjadi berjamaah. Hasil penelitian Indonesia Corruption
Watch (ICW) terhadap vonis kasus korupsi tahun 2017 dari tingkat
pertama hingga ke kasasi dan peninjauan kembali (PK) mencatat rata-rata
vonis pidana penjara hanya 2 tahun 2 bulan telah meneguhkan adanya
keberpihakan pengadilan kepada kekuasaan dan uang, tetapi tidak untuk
yang termarginalkan. Kondisi tidak berpihak yang lemah ini menjadi
terjal dan tidak mudah untuk mendapatkan keadilannya.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara
keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal
18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan
hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.
Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau
kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah
masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat
mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya
dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa
hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat
kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis
tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu
akan berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat
hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di
daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir
sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena
para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat
sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian.