Fakultas : FBIS
Program studi : Akuntansi
Tatap Muka
10
Kode Matakuliah : W1219009
a. Karakteristik PPnBM
Dalam Pasal 5 UU PPN 1984 diatur bahwa di samping dikenakan PPN, dikenakan
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap :
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM hanya dikenakan satu kali
yaitu pada mata rantai jalur distribusi yang disebut dalam Pasal 5 UU PPN 1984.
Dalam memori penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengena-
kan PPnBM disamping PPN adalah :
1) Tarif PPnBM paling rendah 10%, paling tinggi 75% yang terbaru tertinggi 200%
2) Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%
3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok BKP Yang Tergolong
Mewah yang dikenakan PPnBM.
4) Macam dan jenis BKP Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Pengelompokan ini dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000
yang sudah tiga kali diubah, yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005. Kemudian penjabaran lebih lanjut dilakukan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2004, BKP Yang Tergolong Mewah yang dikenakan PPnBM
dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu :
1) Kelompok kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif 10%, 20%,
30%, 40%, 50%, 60%, dan 75%.
2) Kelompok selain kendaraan bermotor yang dikenakan tarif 10%, 20%, 30%,
40%, 50%, dan 75%.
Sedangkan yang dibebaskan dari pengenaan PPnBM ditetapkan baik dalam Pasal 4
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 adalah impor atau penyerahan
kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPnBM :
Apabila dalam harga penyerahan terdapat unsur PPN dan PPnBM yang berubah
menjadi biaya, yang dikeluarkan dari harga jual hanya unsur PPN.
Contoh :
PT Perkusi adalah pabrikan perlengkapan elektronik, antara lain produknya adalah AC
yang atas penyerahannya terutang PPN 10% dan PPnBM 20%. PT Perkusi
menyerahkan sejumlah AC-2PK kepada PT Ambara dengan Harga Jual per-unit Rp
4.000.000,00 yang kemudian oleh PT Ambara sebagian dari AC tersebut diserahkan
kepada toko elektronik .Kencana.. Penghitungan pajak yang terutang dapat diuraikan
sebagai berikut :
Harga Jual = Rp 4.000.000,00
PPN terutang 10% = Rp 400.000,00
PPnBM terutang = 20% x Rp 4.000.000,00 = Rp 800.000,00
Harga yang dibayar oleh PT Ambara = Rp 4.800.000,00
PT Ambara memperhitungkan nilai tambah = Rp 300.000,00
Harga Jual yang ditentukan oleh PT Ambara = Rp 5.100.000,00
Harga jual dari PT Ambara ini merupakan harga perolehan yang dibayar oleh toko
elektronik .Kencana.. Harga yang dibayar oleh konsumen ketika membeli AC tersebut
dari took elektronik ini dapat dihitung sebagai berikut :
Harga perolehan AC yang dibayar oleh toko .Kencana. = Rp 5.100.000,00
Toko .Kencana. memperhitungan nilai tambah = Rp 500.000,00
Harga jual AC yang ditetapkan oleh toko .Kencana. = Rp 5.600.000,00
PPN yang terutang = 10% x Rp 5.600.000,00 = Rp 560.000,00
Harga yang dibayar oleh konsumen = Rp 6.160.000,00
Sebagai dasar hukum yang sekaligus menggambarkan lembaga atau badan yang
ditunjuk sebagai Pemungut PPN.
Kewajiban Pemungut PPN secara umum diatur dalam Pasal 16A UU PPN 1984
sebagai berikut:
1) Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada
Pemu-ngut PPN, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.
2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut PPN,
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan..
Jenis fasilitas di bidang PPN dapat dibagi dalam tiga tahap, sebagai berikut:
1) Sebelum 1 Januari 1995, dikenal ada 6 (enam) macam fasilitas di bidang PPN yang
pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya dalam UU PPN 1984, yaitu:
a) Penangguhan Pembayaran PPN dan PPnBM;
b) Penundaan Pembayaran PPN dan PPnBM;
c) PPN dan PPnBM Ditanggung oleh Pemerintah;
d) PPN dan PPnBM dibayar oleh Pemerintah;
e) PPN Tidak Dipungut;
f) PPN Dibebaskan
2) Seiring dengan perubahan pertama terhadap UU PPN 1984 dengan UU Nomor 11
Tahun 1994, ditambahkan beberapa pasal baru yang satu diantaranya adalah Pasal
16B, yang pada dasarnya mengatur dua hal, yaitu dengan Peraturan Pemerintah
diberikan fasilitas :
a) pajak yang terutang tidak dipungut, atau
b) dibebaskan dari pengenaan pajak, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1995.
Namun dalam praktek masih diberikan fasilitas seperti tersebut pada butir 1) minus
fasilitas .PPN dan PPnBM dibayar oleh Pemerintah..
3) Ketika dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dilakukan perubahan kedua terhadap UU
PPN 1984, Pemerintah sudah bertekad melaksanakan Pasal 16B UU PPN 1984
dengan konsekuen, sehingga sejak 1 Januari 2001 hanya dikenal dua macam fasilitas
yaitu :
a) PPN Tidak Dipungut,
b) Dibebaskan dari pengenaan PPN.
Tujuan dan maksud diberikan kemudahan ini adalah memberikan fasilitas perpajakan
yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan
dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional. Selain itu, kedua jenis fasilitas ini diberikan
untuk:
1) kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
2) penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;
3) impor BKP;
4) pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
Fasilitas ini diberikan atas penyerahan BKP atau JKP atau impor BKP atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan :
1) di/ke Kawasan Berikat;
2) sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang sumber dananya berasal dari
bantuan luar negeri berupa pinjaman (loan) atau hibah (grant);
3) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
4) dalam rangka Kemudahan Impor Untuk Tujuan Ekspor (KITE)
Secara singkat, dan garis besar, fasilitas ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Mulai 1 Januari 2001 telah diundangkan 2 Peraturan Pemerintah tentang hal ini, yaitu:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang impor dan atau penyerahan
BKP tertentu dan atau penyerahan JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan
PPN yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003
tanggal 14 Juli 2003.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang impor dan atau penyerahan
BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, yang
telah mengalami empat kali perubahan yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2007.
Sebagai contoh atas impor dan penyerahan buku pelajaran umum atau agama,
penyerahan rumah sederhana, sangat sederhana, rumah susun sederhana, jasa
pemborongan pembangunan gedung yang semata-mata untuk tempat ibadah,
dibebaskan dari pengenaan PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada
butir 1).
Pembebasan PPN atas impor/penyerahan barang modal berupa mesin dan peralatan
pabrik, makanan/ bahan makanan ternak, barang hasil pertanian, bibit/benih dari
barang hasil pertanian, demikian pula penyerahan air bersih yang dialirkan melalui pipa
oleh perusahaan air minum, penyerahan listrik kecuali untuk tempat tinggal dengan
daya lebih dari 6600 watt, serta rumah susun sederhana milik (RUSUNAMI), diatur
dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada butir 2).
Bagi PKP yang mengimpor atau membeli barang modal atau BKP tertentu
sebagaimana dimaksud dalam kedua Peraturan Pemerintah tersebut, wajib
mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas PPN kepada Kepala KPP yang
terkait. Kepala KPP dimaksud wajib memutuskan-nya paling lambat 5 hari setelah surat
permohonan diterima dalam keadaan lengkap.
Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 PP Nomor 146 Tahun 2000 jo PP Nomor 38 Tahun
2003 ditentukan apabila BKP tertentu seperti kapal laut, pesawat terbang, kereta api,
suku cadang untuk perawatan atau perbaikannya yang dibebaskan dari pengenaan
pajak ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak saat impor atau perolehannya, maka PPN yang dibebaskan wajib
dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak terjadi penyimpangan.
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan PPN tersebut tidak dibayar, maka Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan SKPKB ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Apabila terjadi penyimpangan penggunaan barang modal yang atas impor atau
perolehannya mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, dalam Pasal 4 PP
Nomor 12 Tahun 2001 setelah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007 diatur sebagai
berikut :
a) Dalam hal BKP tertentu yang bersifat strategis berupa barang modal, ternyata
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak impor dan atau perolehannya, maka PPN yang telah dibebaskan wajib
dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahtangankan.
b) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, PPN dimaksud tidak dibayar,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Ketentuan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 yang kemudian
dengan UU No.36 Tahun 2000 peraturan pemerintah ini ditetapkan sebagai Undang-
undang.
Jangka waktu suatu Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan
selama 70 (tujuh puluh) tahun terhitung sejak penetapan.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU Nomor 44 Tahun 2007,
dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Men-jadi Undang-Undang, ketentuan
tentang penetapan :
a) batas-batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
b) pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
c) sektor kegiatan di bidang ekonomi di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas; yang semula ditetapkan dengan Undang-undang, terhitung
sejak 4 Juni 2007 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ada tambahan tiga
kawasan baru, maka pada awal tahun 2009 seluruhnya ada empat Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yaitu :
a) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2000 yang telah
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU Nomor 37 Tahun 2000
b) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 yang diundangkan dan mulai berlaku
tanggal 20 Agustus 2007.
c) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 diundangkan dan mulai berlaku tanggal
20 Agustus 2000.
d) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 yang diundangkan dan mulai berlaku
pada tanggal 20 Agustus 2007.
Daftar Pustaka
BUKU:
INTERNET:
www.pajak.go.id
www.ortax.org