Anda di halaman 1dari 21

PERPAJAKAN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Kewajiban SPT Masa PPN
Fasilitas PPnBM

Fakultas : FBIS
Program studi : Akuntansi

Tatap Muka

10
Kode Matakuliah : W1219009

Disusun oleh : Islamiah Kamil, SE., M.Ak, CAPM, CAPF


ABSTRAK TUJUAN
Dalam Pasal 5 UU PPN 1984 Setelah membaca modul ini, mahasiswa
diatur bahwa di samping diharapkan mampu untuk :
dikenakan PPN, dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Kemampuan komunikasi dan argumentasi
sesuai konsep teori
Mewah (PPnBM) terhadap
Impor ataupun penyerahan Kemampuan komunikasi dan argumentasi
barang tergolong sesuai konsep teori dan penyelesaian kasus
mewah,Tentang kewajiban
pelaporan atas pemungutan
dan penyetoran pajak
terutang diatur dalam Pasal
3A UU PPN 1984 dan Pasal 3
UU KUP. Dalam penjelasan
Pasal 3 UU KUP digariskan
bahwa bagi PKP fungsi Surat
Pembe-ritahuan adalah
sebagai sarana untuk
melaporkan dan
mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah PPN
dan PPnBM yang terutang.
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

a. Karakteristik PPnBM

Dalam Pasal 5 UU PPN 1984 diatur bahwa di samping dikenakan PPN, dikenakan
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap :

1) impor BKP Yang Tergolong Mewah ;


2) penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pabrikan dari BKP
yang menghasilkannya di dalam Daerah Pabean.
3) berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU PPN 1984, PPnBM tidak dapat dikreditkan
dengan PPN atau PPnBM yang dipungut berdasarkan UU PPN 1984. Namun
dalam ayat (4) dari pasal ini ditentukan, Pengusaha Kena Pajak yang
mengekspor BKP Yang Tergo-long Mewah dapat meminta kembali PPnBM yang
telah dibayar pada waktu perolehan BKP Yang Tergolong Mewah yang diekspor
tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM hanya dikenakan satu kali
yaitu pada mata rantai jalur distribusi yang disebut dalam Pasal 5 UU PPN 1984.
Dalam memori penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengena-
kan PPnBM disamping PPN adalah :

1) untuk memperoleh keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang


berpeng-hasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi ;
2) untuk mengendalikan pola konsumsi BKP Yang Tergolong Mewah ;
3) melindungi produsen kecil atau tradisional ;
4) untuk mengamankan penerimaan negara.

b. Tarif PPnBM dan pengelompokan BKP Yang Tergolong Mewah

Dalam Pasal 8 UU PPN 1984 diatur :

1) Tarif PPnBM paling rendah 10%, paling tinggi 75% yang terbaru tertinggi 200%
2) Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%
3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok BKP Yang Tergolong
Mewah yang dikenakan PPnBM.
4) Macam dan jenis BKP Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

Pengelompokan ini dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000
yang sudah tiga kali diubah, yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005. Kemudian penjabaran lebih lanjut dilakukan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2004, BKP Yang Tergolong Mewah yang dikenakan PPnBM
dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu :
1) Kelompok kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif 10%, 20%,
30%, 40%, 50%, 60%, dan 75%.
2) Kelompok selain kendaraan bermotor yang dikenakan tarif 10%, 20%, 30%,
40%, 50%, dan 75%.

c. Kendaraan bermotor yang tidak dikenakan atau dibebaskan dari pengenaan


PPnBM.

Kemudian dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003


ditetapkan bahwa PPnBM tidak dikenakan atas impor atau penyerahan :

1) kendaraan dalam bentuk CKD ;


2) kendaraan dalam bentuk sasis ;
3) kendaraan pengangkutan barang ;
4) kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 250
CC
5) kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang termasuk
pengemudi.

Sedangkan yang dibebaskan dari pengenaan PPnBM ditetapkan baik dalam Pasal 4
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 adalah impor atau penyerahan
kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPnBM :

1) kendaraan bermotor berupa kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan


pemadam kebaran, kendaraan tahanan, kendaraan pengangkutan umum ;
2) kendaraan protokoler kenegaraan ;
3) kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas) orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kendaraan dinas
TNI/POLRI ;
4) kendaraan patroli TNI/POLRI.

d. Cara menghitung PPN atas penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah

Apabila dalam harga penyerahan terdapat unsur PPN dan PPnBM yang berubah
menjadi biaya, yang dikeluarkan dari harga jual hanya unsur PPN.

Contoh :
PT Perkusi adalah pabrikan perlengkapan elektronik, antara lain produknya adalah AC
yang atas penyerahannya terutang PPN 10% dan PPnBM 20%. PT Perkusi
menyerahkan sejumlah AC-2PK kepada PT Ambara dengan Harga Jual per-unit Rp
4.000.000,00 yang kemudian oleh PT Ambara sebagian dari AC tersebut diserahkan
kepada toko elektronik .Kencana.. Penghitungan pajak yang terutang dapat diuraikan
sebagai berikut :
Harga Jual = Rp 4.000.000,00
PPN terutang 10% = Rp 400.000,00
PPnBM terutang = 20% x Rp 4.000.000,00 = Rp 800.000,00
Harga yang dibayar oleh PT Ambara = Rp 4.800.000,00
PT Ambara memperhitungkan nilai tambah = Rp 300.000,00
Harga Jual yang ditentukan oleh PT Ambara = Rp 5.100.000,00
Harga jual dari PT Ambara ini merupakan harga perolehan yang dibayar oleh toko
elektronik .Kencana.. Harga yang dibayar oleh konsumen ketika membeli AC tersebut
dari took elektronik ini dapat dihitung sebagai berikut :
Harga perolehan AC yang dibayar oleh toko .Kencana. = Rp 5.100.000,00
Toko .Kencana. memperhitungan nilai tambah = Rp 500.000,00
Harga jual AC yang ditetapkan oleh toko .Kencana. = Rp 5.600.000,00
PPN yang terutang = 10% x Rp 5.600.000,00 = Rp 560.000,00
Harga yang dibayar oleh konsumen = Rp 6.160.000,00

PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

a. Dasar hukum dan penunjukan Pemungut PPN

Sebagai dasar hukum yang sekaligus menggambarkan lembaga atau badan yang
ditunjuk sebagai Pemungut PPN.

Kewajiban Pemungut PPN secara umum diatur dalam Pasal 16A UU PPN 1984
sebagai berikut:
1) Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada
Pemu-ngut PPN, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.
2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut PPN,
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan..

b. Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut PPN

Sebagai peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang mekanisme pemungutan PPN


atau dan PPnBM (selanjutnya disebut : pajak ) ini mulai 1 Januari 2004 diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2003 tanggal 24 Desember 2003
sebagai berikut :
1) Dalam jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah
termasuk
2) jumlah pajak yang terutang.
3) pada saat PKP Rekanan mengajukan tagihan, wajib membuat:
a) Faktur Pajak dan SSP, dengan ketentuan Faktur Pajak diisi dengan lengkap
rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan :
- lembar ke-1 untuk Bendaharawan pemerintah sebagai Pemungut PPN
- lembar ke-2 untuk arsip PKP Rekanan
- lembar ke-3 untuk KPP melalui Bendaharawan Pemerintah.
Oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungutan, pada setiap lembar
Faktur Pajak wajib dibubuhi cap .Disetor tanggal ..... dan ditandatangani oleh
Bendaharawan Pemerintah yang bersangkutan. Oleh KPKN yang melakukan
pemungutan untuk kepentingan Bendaharawan Pemerintah, pada setiap lembar
Faktur Pajak dicantumkan .nomor dan tanggal advis SPM..
b) SSP yang diisi adalah kolom identitas dan jumlah pajak terutang, sedangkan
kolom lainnya tidak perlu diisi. Adapun jumlah lembar SSP dibuat rangkap 5 (lima).
Setelah PPN dan PPnBM, atau PPN yang terutang disetor ke bank persepsi atau
kantor pos, SSP tersebut didistribusikan :
- lembar ke-1 untuk PKP Rekanan
- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak
- lembar ke-3 untuk PKP Rekanan, akan dilampirkan pada SPT Masa PPN
- lembar ke-4 untuk bank persepsi atau kantor pos.
- lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
Pada setiap lembar SSP ini oleh KPKN yang melakukan pemungutan pajak untuk
kepentingan Bendaharawan Pemerintah dibubuhi .nomor dan tanggal advis SPM..
pada SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 dibubuhi cap .TELAH DIBUKUKAN. Oleh
KPKN.
3) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan
PPnBM.
4) Pemungut PPN wajib memungut pajak yang terutang pada saat pembayaran;
5) Penyetoran Pajak yang dipungut.
Pajak yang dipungut oleh Bendaharawan selaku Pemungut PPN wajib disetor ke kas
Negara pajak yang dipungut paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah
bulan dilakukan pembayaran atas tagihan.
Dalam hal tanggal penyetoran jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
6) Pelaporan pajak yang telah dipungut dan disetor.
Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dan
PPnBM atau PPN wajib menyampaikan laporan kepada KPP tempat Bendaharawan
Pemerintah terdaftar dengan menggunakan formulir .Surat Pemberitahuan Masa Bagi
Pemungut PPN Formulir 1107PUT. yang dibuat dalam rangkap 2 (dua) paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan pembayaran atas tagihan, yang masing-
masing diperuntukkan sebagai berikut :
a) lembar ke-1, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 untuk KPP ;
b) lembar ke-2, untuk arsip Bendaharawan Pemerintah.
c) 7) Tidak perlu dipungut pajak oleh Pemungut PPN atas :
d) Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) termasuk PPN dan PPnBM, dan tidak merupakan pembayaran
yang terpecah-pecah.
e) Pembayaran untuk pembebasan tanah.
f) Pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP yang mendapat fasilitas
PPN tidak
g) dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
h) Pembayaran untuk penyerahan BBM dan bukan BBM oleh PT (Persero)
PERTAMINA.
i) Pembayaran atas rekening telepon.
j) Pembayaran untuk jasa angkutan udara yang diserahkan oleh
perusahaan penerbang-an.
k) Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang tidak
terutang PPN.

c. Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas


Bumi selaku Pemungut PPN

Dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 tanggal 31 Januari 2005


Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
ditunjuk sebagai Pemungut PPN mulai 1 Februari 2005. Kewajiban pemungutan,
penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan oleh kontraktor perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambang-an minyak dan gas bumi diklarifikasi sebagai berikut :
1) Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Rekanan kepada
Kontrak-tor, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Kontraktor baik kantor pusat,
cabang-cabang, maupun unit-unitnya, yang dikukuhkan sebagai PKP.
2) Pajak yang terutang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Kontraktor.
3) PKP Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP
dan/ atau JKP kepada Kontraktor.
4) Faktur Pajak dimaksud dalam butir 3) dibuat paling lambat :
a) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP
dan/atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya
setelah bulan dilaku-kan penyerahan.
b) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal :
1) penerimaan pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
setelah bulan
2) penyerahan BKP dan/atau JKP.
3) penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP
dan/atau JKP ; atau
4) penerimaan pembayaran terjadi pada saat yang sama dengan saat
penyerahan BKP dan/atau JKP.
5) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran pajak.
6) Pemungut PPN wajib memungut pajak yang terutang pada saat pembayaran.
7) Penyetoran Pajak yang dipungut.
Pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN wajib disetor ke kas Negara paling lambat
pada hari ke-15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pemungutan.
Dalam hal tanggal penyetoran jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
8) Pelaporan pajak yang telah dipungut dan disetor.
Kontraktor yang melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dan PPnBM atau PPN
wajib menyampaikan laporan KPP tempat Kontraktor terdaftar dengan menggunakan
formulir .Surat Pemberitahuan Masa Bagi Pemungut PPN Formulir 1107PUT. yang
dibuat dalam rangkap 2 (dua) paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan
pemungutan, yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut :
 lembar ke-1, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 untuk KPP tempat
Kontraktor terdaftar;
 lembar ke-2, arsip Kontraktor;
9) Kriteria pembayaran yang tidak perlu dipungut pajak oleh Pemungut PPN relatif
sama
dengan yang berlaku bagi Bendaharawan Pemerintah, kecuali batasan pembayaran
tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) diubah menjadi tidak lebih dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi Kontraktor selaku Pemungut PPN.
d. Kewajiban Pelaporan PKP Rekanan

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ./2006 tanggal 29


September 2007 yang mengatur tentang SPT Masa PPN Formulir 1107 yang mulai
berlaku untuk SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007, penyerahan BKP/JKP kepada
Pemungut PPN wajib dilaporkan oleh PKP Rekanan dalam SPT Masa PPN 1107 pada
Masa Pajak dilakukan penagihan.

FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

a. Jenis Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai

Jenis fasilitas di bidang PPN dapat dibagi dalam tiga tahap, sebagai berikut:
1) Sebelum 1 Januari 1995, dikenal ada 6 (enam) macam fasilitas di bidang PPN yang
pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya dalam UU PPN 1984, yaitu:
a) Penangguhan Pembayaran PPN dan PPnBM;
b) Penundaan Pembayaran PPN dan PPnBM;
c) PPN dan PPnBM Ditanggung oleh Pemerintah;
d) PPN dan PPnBM dibayar oleh Pemerintah;
e) PPN Tidak Dipungut;
f) PPN Dibebaskan
2) Seiring dengan perubahan pertama terhadap UU PPN 1984 dengan UU Nomor 11
Tahun 1994, ditambahkan beberapa pasal baru yang satu diantaranya adalah Pasal
16B, yang pada dasarnya mengatur dua hal, yaitu dengan Peraturan Pemerintah
diberikan fasilitas :
a) pajak yang terutang tidak dipungut, atau
b) dibebaskan dari pengenaan pajak, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1995.
Namun dalam praktek masih diberikan fasilitas seperti tersebut pada butir 1) minus
fasilitas .PPN dan PPnBM dibayar oleh Pemerintah..
3) Ketika dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dilakukan perubahan kedua terhadap UU
PPN 1984, Pemerintah sudah bertekad melaksanakan Pasal 16B UU PPN 1984
dengan konsekuen, sehingga sejak 1 Januari 2001 hanya dikenal dua macam fasilitas
yaitu :
a) PPN Tidak Dipungut,
b) Dibebaskan dari pengenaan PPN.

Tujuan dan maksud diberikan kemudahan ini adalah memberikan fasilitas perpajakan
yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan
dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional. Selain itu, kedua jenis fasilitas ini diberikan
untuk:
1) kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
2) penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;
3) impor BKP;
4) pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.

b. Pajak yang terutang Tidak Dipungut

Fasilitas ini diberikan atas penyerahan BKP atau JKP atau impor BKP atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan :
1) di/ke Kawasan Berikat;
2) sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang sumber dananya berasal dari
bantuan luar negeri berupa pinjaman (loan) atau hibah (grant);
3) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
4) dalam rangka Kemudahan Impor Untuk Tujuan Ekspor (KITE)
Secara singkat, dan garis besar, fasilitas ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Penyerahan BKP di/ke Kawasan Berikat,


Sebagai peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996, dalam
Keputus-an Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 sebagaimana telah tujuh kali
diubah yang terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005
tanggal 19 Oktober 2005, PPN yang terutang tidak dipungut atas :
a) penyerahan BKP untuk diolah lebih lanjut dan/atau alat pengemas
(packing material) atau alat bantu pengemas oleh PKP dari Daerah
Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) kepada Pengusaha di Kawasan Berikat
(PDKB);
b) penyerahan BKP untuk diolah lebih lanjut dan peminjaman mesin atau
peralatan pabrik dalam rangka pekerjaan subkontraktor dari PDKB
kepada subkontraktor di DPIL;
c) penyerahan BKP hasil pekerjaan subkontraktor di DPIL kepada PDKB
selaku pemesan;
d) impor barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik yang
berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB dan semata-
mata digunakan oleh PDKB;
e) impor BKP untuk diolah di PDKB;
f) penyerahan BKP untuk diolah dari PDKB kepada PDKB lain, atau kepada
kawasan berikat;
g) penyerahan BKP kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan
atau penangguhan Bea Masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.
h) impor peralatan perkantoran yang dilakukan oleh penyelenggara Kawasan
Berikat (PKB)

2) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET),


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, PPN tidak dipungut atas:
a) impor barang modal atau peralatan pembangunan/konstruksi/perluasan
Kawasan Berikat yang berkedudukan di dalam KAPET;
b) impor barang modal atau peralatan lain yang berhubungan langsung
dengan kegiatan
c) produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB;
d) impor BKP untuk diolah di PDKB; dan seterusnya mengikuti ketentuan
pemberian fasilitas di Kawasan Berikat
3) Penyerahan BKP/JKP sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang sumber
dananya berasal dari bantuan luar negeri berupa pinjaman atau hibah, berdasartkan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, PPN tidak dipungut :
a) atas penyerahan BKP/JKP dari kontraktor utama kepada pemilik proyek;
b) atas impor BKP
c) atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean
4) Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE)
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/KMK.04/2003 tanggal 31 De-
sember 2003, PPN tidak dipungut atas:
a) impor BKP dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang
pada BKP lain dengan tujuan untuk diekspor;
b) penyerahan barang hasil olahan yang bahan bakunya berasal dari impor
yang diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut.

c. Dibebaskan dari Pengenaan pajak .

Mulai 1 Januari 2001 telah diundangkan 2 Peraturan Pemerintah tentang hal ini, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang impor dan atau penyerahan
BKP tertentu dan atau penyerahan JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan
PPN yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003
tanggal 14 Juli 2003.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang impor dan atau penyerahan
BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, yang
telah mengalami empat kali perubahan yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2007.

Sebagai contoh atas impor dan penyerahan buku pelajaran umum atau agama,
penyerahan rumah sederhana, sangat sederhana, rumah susun sederhana, jasa
pemborongan pembangunan gedung yang semata-mata untuk tempat ibadah,
dibebaskan dari pengenaan PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada
butir 1).

Pembebasan PPN atas impor/penyerahan barang modal berupa mesin dan peralatan
pabrik, makanan/ bahan makanan ternak, barang hasil pertanian, bibit/benih dari
barang hasil pertanian, demikian pula penyerahan air bersih yang dialirkan melalui pipa
oleh perusahaan air minum, penyerahan listrik kecuali untuk tempat tinggal dengan
daya lebih dari 6600 watt, serta rumah susun sederhana milik (RUSUNAMI), diatur
dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada butir 2).

Bagi PKP yang mengimpor atau membeli barang modal atau BKP tertentu
sebagaimana dimaksud dalam kedua Peraturan Pemerintah tersebut, wajib
mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas PPN kepada Kepala KPP yang
terkait. Kepala KPP dimaksud wajib memutuskan-nya paling lambat 5 hari setelah surat
permohonan diterima dalam keadaan lengkap.

Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 PP Nomor 146 Tahun 2000 jo PP Nomor 38 Tahun
2003 ditentukan apabila BKP tertentu seperti kapal laut, pesawat terbang, kereta api,
suku cadang untuk perawatan atau perbaikannya yang dibebaskan dari pengenaan
pajak ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak saat impor atau perolehannya, maka PPN yang dibebaskan wajib
dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak terjadi penyimpangan.
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan PPN tersebut tidak dibayar, maka Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan SKPKB ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Apabila terjadi penyimpangan penggunaan barang modal yang atas impor atau
perolehannya mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, dalam Pasal 4 PP
Nomor 12 Tahun 2001 setelah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007 diatur sebagai
berikut :
a) Dalam hal BKP tertentu yang bersifat strategis berupa barang modal, ternyata
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak impor dan atau perolehannya, maka PPN yang telah dibebaskan wajib
dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahtangankan.
b) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, PPN dimaksud tidak dibayar,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

d. PPN Ditanggung oleh Pemerintah (PPN DTP)

1) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.011/2007 tanggal 28


Desember 2007, atas impor barang untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak
dan gas bumi serta panas bumi, memperoleh fasilitas PPN Ditanggung
Pemerintah.
2) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.011/2008 tanggal 23
Desember 2008, atas penyerahan minyak goreng sawit curah dan minyak
goreng sawit kemasan sederhana dengan merek .MINYAKITA., memperoleh
fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah.

e. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Ketentuan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 yang kemudian
dengan UU No.36 Tahun 2000 peraturan pemerintah ini ditetapkan sebagai Undang-
undang.

Pasal 1 UU Nomor 36 Tahun 2000 merumuskan bahwa Kawasan Perdagangan Bebas


dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehinga bebas
dari pengenaan Bea Masuk, PPN, PPn BM, dan Cukai. Adapun pelabuhan meliputi baik
pelabuhan laut maupun bandar udara. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas berfungsi sebagai tempat untuk mengembangkan usaha di bidang perdagangan,
jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan
telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata dan bidang-bidang lainnya.

Dalam menjalankan fungsinya, kegiatan yang dilakukan di dalam Kawasan


Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas meliputi:
1) kegiatan manufaktur, rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan
awal, pemeriksaan akhir, pengepakan, dan pengepakan ulang atas barang dan
bahan baku dari dalam dan luar negeri, pelayanan perbaikan atau rekondisi
permesinan, dan peningkatan mutu;
2) penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana air dan sumber air,
prasarana dan sarana perhubungan termasuk pelabuhan laut dan bandar udara,
bangunan dan jaringan listrik, pos dan telekomunikasi, serta prasarana dan
sarana lainnya.

Jangka waktu suatu Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan
selama 70 (tujuh puluh) tahun terhitung sejak penetapan.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU Nomor 44 Tahun 2007,
dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Men-jadi Undang-Undang, ketentuan
tentang penetapan :
a) batas-batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
b) pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
c) sektor kegiatan di bidang ekonomi di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas; yang semula ditetapkan dengan Undang-undang, terhitung
sejak 4 Juni 2007 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Adapun lembaga dan struktur organisasinya, yang mengelola Kawasan Perdagangan


Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan sebagai berikut:

1) Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang disebut


Dewan Kawasan yang ditetapkan oleh Presiden.
2) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang
disebut Badan Pengusahaan dibentuk oleh Dewan Kawasan yang juga
menetapkan Kepala dan Anggotanya untuk masa kerja selama 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Badan
Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan.

Tugas dan wewenang Kepala Badan Pengusahaan adalah melaksanakan pengelolaan,


pengembangan dan pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas. Untuk keperluan itu, Badan Pengusahaan mempunyai wewenang membuat
ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Lalu lintas barang dari dan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas,
dalam Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 2000 ditetapkan sebagai berikut:
1) Barang-barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang dimasukkan ke Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang mendapat izin
usaha dari Badan Pengusahaan, dan hanya yang berhubungan dengan kegiatan
usahanya.
3) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandara yang ditunjuk dan berada di
bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan Bea Masuk, pembebasan PPN,
PPnBM, dan pembebasan Cukai.
4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di
bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang Cukai.
5) Pemasukan barang konsumsi yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Badan
Pengusahaan, dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberikan pembebasan Bea Masuk,
PPN, PPnBM, dan Cukai, yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Badan
Pengusahaan.

Selain Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ada tambahan tiga
kawasan baru, maka pada awal tahun 2009 seluruhnya ada empat Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yaitu :
a) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2000 yang telah
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU Nomor 37 Tahun 2000
b) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 yang diundangkan dan mulai berlaku
tanggal 20 Agustus 2007.
c) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 diundangkan dan mulai berlaku tanggal
20 Agustus 2000.
d) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 yang diundangkan dan mulai berlaku
pada tanggal 20 Agustus 2007.

1) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas


Karimun, dan Bintan, ditetapkan dalam 1 tahun sejak Peraturan Pemerintah
tersebut diundangkan, sedangkan untuk Batam ditetapkan paling lambat 31
Desember 2008

Daftar Pustaka

BUKU:

Sukardji, Untung. “Modul Pajak Pertambahan Nilai”, BPPK, Widyaiswara Pusdiklat


Pajak
Waluyo,(2010).Perpajakan Indonesia: Buku 1 dan Buku 2.Jakarta: Salemba Empat
Wardoyo, Teguh Hadi dan Sapto Windi Argo.(2010). Pajak Terapan A dan B. Jakarta: TaxSys

INTERNET:
www.pajak.go.id
www.ortax.org

Anda mungkin juga menyukai