Pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak,
tetapi bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau
pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada
pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak. Berikut adalah kesalahan dalam
pemotongan atau pemungutan pajak yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 190/PMK.03/2007 Pasal 3 Ayat (1):
a. Pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya
dipotong atau dipungut; atau
b. Pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut, dan
pajak yang salah tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang
melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau
dipungut tersebut.
Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan tersebut dilakukan terhadap PPh,
pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak
dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan. Permohonan tersebut disampaikan
ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar.
Permohonan pengembalian kelebihan pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak yang
dipotong/dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut harus dilampiri, antara lain:
Sedangkan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak
yang melakukan pemotongan/pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
pemungutan harus dilampiri, antara lain:
Pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib
Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dalam hal:
a. pihak yang dipotong atau dipungut adalah orang pribadi yang tidak memiliki NPWP;
b. pihak yang dipotong atau dipungut adalah subjek pajak luar negeri; atau
c. terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut,
permohonan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
atau Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
SKPLB dan SKPN tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau
lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak. Berdasarkan SKPLB tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPPKP) setelah terlebih dahulu
memperhitungkan dengan utang pajak. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit
pajak.
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi
lengkap.
C. Pengembalian PPN yang Telah Dibayar oleh Orang Pribadi yang Bukan
Merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri yang Melakukan Pembelian BKP di
Dalam Daerah Pabean dan Tidak Dikonsumsi di Dalam Daerah Pabean
Dalam UU KUP Pasal 17E diatur bahwa orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam
negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean tetapi
tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) yang telah dibayar. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
permintaan kembali PPN dan PPnBM diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam UU PPN Pasal 16E, dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar
negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif
perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian PPN dan PPnBM yang sudah dibayar atas
pembelian BKP di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar
Daerah Pabean.
PPN dan PPnBM yang dapat diminta kembali harus memenuhi syarat yang diatur dalam
UU PPN Pasal 16E Ayat (2), yaitu:
a. Nilai PPN paling sedikit Rp500.000,00 dan dapat disesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah;
b. Pembelian BKP dilakukan dalam jangka waktu 1 bulan sebelum keberangkatan ke
luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU PPN Pasal 13
ayat (5), kecuali pada kolom NPWP dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor
dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang
pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP.
BKP yang dibeli dalam jangka waktu 1 bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor
luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh
karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali PPN
dan PPnBM dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1
bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri tersebut meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP, Faktur
Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali PPN dan PPnBM harus
mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi
tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Permintaan kembali PPN dan PPnBM tersebut dilakukan pada saat orang pribadi
pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali PPN dan
PPnBM adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi tersebut ke luar Daerah
Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada UU PPN Pasal 16E Ayat (2) huruf c.
Daftar Pustaka:
Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Persandingan Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 2009.