Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH AGRONOMI TANAMAN PANGAN 1

BUDIDAYA TANAMAN GANDUM (Triticum aestivum L)

Disusun Oleh Kelompok I:

Daniel Simanjuntak (220310016)

Rafli Eliezer Manalu (220310042)

Awer Ridwin Silalahi (220310006)

Andrianto Simalango (220310001)

Koko Utama Sitorus(220310008)

Randito Nababan (220310022)

Daniel Silaban (220310037)

Vinny Tesalonika Damanik (220310006)

Michael Rikson Tambunan (220310068)

AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan berkatnNya sehingga kami bisa menyelesaikan makala
tentang "Budidaya Tanaman Gandum".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makala ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Medan, 14 November 2022

Penyusun
KATA PENGANTAR

Contents
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Tujuan Masalah..............................................................................................................5
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................7
ISI.............................................................................................................................................7
2.1 Asal Usul Dan Penyebaran Gandum...............................................................................7
2.2 Prospek Tanaman Gandum............................................................................................9
2.3 Teknik Budidaya...........................................................................................................10
2.4 Hama pada gandum.....................................................................................................12
2.5 Pasca Panen.................................................................................................................18
BAB III.....................................................................................................................................23
PENUTUP................................................................................................................................23
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................23
3.2. Saran...........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gandum (titicumaestivum L). Merupakan tanaman yang berasal dari daerah
subtropics, akan tetapi melalui usaha-usaha manusia dibidang pemuliaan dan
budidaya tanaman, penyebaran tanah gandum mulai meluas ke daerah iklim sedang
dan tropis. Berdasarkan kegunaannya gandum dapat dibedakan menjadi gandum
lunak (soft wheat) dan gandum keras (hard whead), gandum lunak memiliki kadar
protein 6 – 11 %. Karena kandungan gluten yang dimiliki rendah maka gandum lunak
cocok untuk pembuatan kue-kue kering, biscuit, crackers, dan sebagainya yang tidak
memerlukan daya kembang yang tinggi sehingga dapat memberikan bentuk pada
hasil cetakan kue.
Gandum keras memiliki kadar protein 11-17% dan gluten yang lebih tinggi dari
pada gandum lunak sehingga dapat menghasilkan tepung gandum yang kuat daya
kembangnya dan sangat cocok untuk pembuatan roti. Dirjen bina Produksi Tanaman
Pangan (2001), menyatakan akar tanaman gandum mmemiliki 2 macam akar yaitu
akar kecambah, merupakan akar tanaman yang tumbuh dari embrio dan akar adventif
yang kemudia tumbuh dari buku dasar. Berbeda dengan akar kecambah yang
kemudian mati, akar adventih membentuk sistem perakar yang perakarannya berada
sedalam 10-30 cm dibawah permukaan tanah.
Batang tanaman gandum tegak, berbentuk silinder dan membentuk tunas. Ruas-
ruas pendek dan buku-bukunya berongga. Pada tanaman dewasa terdiri dari rata-rata
enam ruas. Tinggi tanaman gandum atau panjang batang dipengaruhi oleh sifat
genetic dan lingkungan tumbuh (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001 cit,
Puspita 2009). Butir gandum (kernel, grain) secara botani adalah buah (caryopsis).
Kulit biji berimpit dengan kulit buah. Biji terdiri dari nutfah (germ atau embrio),
endosperm, scutellum, dan lapisan aleuron. Bentuk butir bervariasi dari lonjong
bundar sampai lonjong lancip. Pengembangan tanaman gandum di Indonesia sangat
penting melihat kebutuhan gandum dalam produk setengah jadi sudah cukup besar.
Di Indonesia lokasi yang memiliki kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan
gandum dan telah digunakan sebagai lokasi pengembangan hingga tahun 2008 yaitu
Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan (Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
Indonesia merupakan Negara yang menkonsumsi gandum cukup besar di dunia
dengan volume impor dari tahun 1997-2001 berkisar antara 3-4 jt ton. Pada tahun
1984 konsumsi terigu mencapai 6,18 kg/kapita/tahun, kemudian pada tahun 1988
meningkat menjadi 6,59 kg, pada tahun 1990 menjadi 9,17 kg, dan pada tahun 1999
sebesar 14,29 kg/kapita/tahun.(Musa 2002). Mengingat makin besarnya devisa
dikeluarkan maka yang perlu mengurangi ketergantungan terhadap impor terigu
adalah mengembangkan gandum dalam negri dalam penerapan teknologi budidaya
yang sesuai dengan kondisi agroklimak di Indonesia (Sovan, 2002).
Pengembangan tanaman gandum sangat dipengaruhi proses pra panen dan pasca
panen. Penanganan yang tidak sempurna akan mempengaruhi produk hasil akhir
gandum itu sendiri. Oleh karena itu penanganan pasca panen perlu untuk ditinjau
lebih lanjut untuk menghasilkan produk gandum yang baik.

1.2 Tujuan Masalah


Adapun tujuan yang ingin dicapai yakni;

a. Untuk mengetahui asal usul tanaman gandum


b. Untuk mengetahui tenknik penanganan pasca panen komditi gandum
c. Untuk mengetahui penyebaran tanaman gandum
d. Untuk mengetahui teknik budidaya gandum
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam latar belakang tersebut yakni;

a. Bagaimana penyebaran komoditi gandum?


b. Bagaimana teknik penanganan pasca panen komoditi gandum?
c. Bagaimana teknik pengolahan tanah, pupuk, dan cara mengatasi hama
tanaman gandum?
BAB II

ISI
2.1 Asal Usul Dan Penyebaran Gandum
Gandum (Triticum spp) merupakan bahan pangan serealia yang pertama kali
dibudidayakan umat manusia, bersamaan dengan dimulainya usaha bercocok tanam
dan memelihara hewan ternak seperti sapi dan biri-biri (Harlan 1992, Charmet 2011,
Zohary and Hopf 2000). Fieldman et al. (1995) mengemukakan bahwa manusia telah
melakukan budi daya gandum lebih awal daripada tanaman padi ataupun jagung. Saat
ini, gandum telah menjadi pangan pokok di lebih dari 40 negara dan telah dikonsumsi
oleh hampir seluruh penduduk dunia (Williams 1993). Gandum berkembang di
wilayah subtropis dan mediteran seperti Rusia, Amerika Serikat, sebelah selatan
Kanada, bagian utara sampai tengah China, Turki, India, dan Australia (Nevo et al.
2002). Gandum pada awalnya diintroduksikan ke Indonesia awal abad XVIII pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain Belanda, bangsa Portugis juga
mengintroduksikan gandum untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Portugis
yang tinggal di Pulau Timor.

Di Indonesia, tanaman gandum dibudidayakan di daerah dengan ketinggian


>900m dpl dengan suhu udara optimum rata-rata 22-240 C (Leonard dan Martin
1963). Asal usul dan awal mula domestikasi tanaman gandum tidak diketahui secara
pasti, dan terdapat berbagai macam penafsiran. Kajian aspek biologi dan arkeologi
(fosil) sangat membantu menjelaskan asal usul dan awal mula domestikasi tanaman
gandum oleh umat manusia. Budi daya gandum pada zaman prasejarah cepat
berkembang karena sifat tanaman yang mampu menyerbuk sendiri, dan seiring
dengan waktu, masyarakat telah mempunyai kemampuan melakukan seleksi sendiri
untuk perbaikan hasil (Nevo et al. 2002). Sejarah menunjukkan bahwa gandum
merupakan salah satu tanaman penting sejak 7500 tahun sebelum masehi (Nestbitt
1999). Pada era tersebut gandum ditanam dalam jumlah terbatas di bagian tenggara
Turki dan menyebar ke Jordania. Hasil penggalian arkeologi juga menunjukkan asal
gandum di sekitar laut Mediterania dan Laut Merah, di wilayah Turki, Siria, Irak dan
Iran pada tahun 7500-7300 SM (Weiss et al. 2006). Spesies gandum kuno kemudian
menyebar ke benua Asia, Eropa, dan Amerika. Gandum memegang peranan penting
dalam peradaban umat manusia karena merupakan sumber pangan. Lo Giudice dan
Bongomono (2011) menyatakan bahwa gandum telah dibudidayakan oleh masyarakat
China pada tahun 2700 sebelum masehi.

Domestikasi spesies tanaman merupakan hasil dari serangkaian proses seleksi


dan adaptasi yang membuat tanaman menjadi lebih adaptif, dan kemudian
dibudidayakan oleh manusia (Brown 2000). Kegiatan pertanian pada periode
domestikasi dicirikan oleh perubahan pola hidup dari mengambil hasil alam secara
berpindah menjadi pola bercocok tanam dan beternak. Hal ini telah dilakukan di
Fertile crescent, wilayah berbentuk lekukan seperti bulan sabit yang subur yang
meliputi wilayah Jordania, Lebanon, Turki, Syria, Irak, dan Israel pada 9600 sampai
8000 tahun sebelum masehi (Salamini et al. 2002). Berdasarkan proses evolusi
tanaman gandum, hanya ditemukan dua jenis gandum yang didomestikasi dan
diseleksi oleh manusia, yaitu gandum einkorn liar (diploid) dan emmer liar
(tetraploid). Budi daya gandum jenis einkorn liar pertama kali dilakukan di
pegunungan Karacadag, di bagian tenggara Turki (Heun et al. 1997). Keberadaan
spesies einkorn teridentifikasi pada zaman Neolitik pada tahun 8600 SM di Cayonu
dan tahun 8400 SM di Abu Hureyra. Seiring waktu, spesies einkorn kemudian
terseleksi secara alami dan mengalami pergantian okupasi wilayah oleh spesies
gandum tetraploid dan hexaploid. Eincorn saat ini masih ditanam dalam luasan sangat
terbatas, untuk dijadikan pakan ternak di beberapa negara mediteran (Nesbitt and
Samuel 1996, Perrino et al. 1996).

Gandum jenis emmer liar awalnya ditemukan di selatan Levant, berdasarkan


penemuan di Iran sekitar tahun 9600 SM (Colledge and Conolli 2007). Selanjutnya
spesies ini dibudidayakan secara luas di wilayah lain, seperti Yunani, Ciprus dan
India pada 6500 SM. Spesies ini kemudian meluas ke Jerman dan Spanyol pada 5000
SM. Masyarakat Mesir kuno telah mengembangkan produk roti dalam skala besar
dengan bahan baku gandum (Diamond 1997). Pada tahun 3000 SM atau 2000 SM,
gandum telah masuk ke Inggris dan Skandinavia. Satu millennium kemudian atau
tahun 2000 SM, gandum menyebar ke China. Di China, budi daya gandum telah
dilakukan pada tahun 2700 SM. Gandum pertamakali masuk Amerika bagian utara
seiring dengan perpindahan dari arah Spanyol dan Inggris pada abad ke-16. Saat ini
gandum telah menjadi tanaman penting di banyak negara, terutama di wilayah
subtropics, yang dijadikan andalan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Luas tanam
gandum dunia saat ini mencapai lebih dari 700 juta hektar (FAO 2013).

2.2 Prospek Tanaman Gandum


Tanaman gandum mempunyai peluang besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Hal ini didasarkan pada kenyataan yang ada di Indonesia yaitu:

a. Penelitian yang akhir-akhir ini dilakukan: menunjukkan beberapa data bahwa


tanaman gandum mampu tunmbuh dan berproduksi di Indonesia.
b. Sudah adanya beburapa petani yang mulai tertank menanam gandum yaitu di
wilayah KopengKabupaten Semarang, saat ini petani menanam gandum baik
secara monoculture dan muluple cropping dengan tanaman sayuran.
c. Adanya beberapa wilayah di Indonesia dimana 'secara agroklinat berpotensi
untuk ditanami gandum.
d. Nilar import gandum Indonesia pada tahun 2000 mencapai lebih dari 2 juta
ton biji gandum per tahunnya dan milat in akan semakn meningkat bila
diproyeksikan.
e. Data konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap tepung gandum
diatas 9,17 kg per kapita per tahun pada tahun 1999.
f. Sementara itu padi sebagai makanan utama masyarakat Indonesia, jumlah area
tanaman padi di masyarakat semakin hari semakin menurun akibat dari
konversi lahan sawah menjadi peruntukan lain atau juga karena perubahan
iklim sehingga serangan hama-penyakit dan kebutuhan air untuk padi sawah
tidak dapat terpenuhi. Di dasarkan dari kenyataan ini bila ketergantungan
pangan hanya pada satu komoditi tanaman seperti padi dapat menimbulkan
kerawanan pangan.

2.3 Teknik Budidaya


a. Cara Pengolahan Tanah
 Tanah dicangkul/Traktor menggunakan mesin sedalam 25 30 cm
setelah tanah dicangkul,dibiarkan/diangin anginkan selama 7 hari
 Penggemburan tanah dilakukan agar bongkahan tanah menjadi butiran
yang lebih halus
 Kemudian tanah diangin anginkan selama 7 hari agar terhindari dari
unsur unsur beracun yang kemungkinan ada di dalam tanah.
b. Pembuatan Bedengan
 Setelah tanah diolah/digemburkan dibuat bedengan selebar 200 cm.
Panjang bedengan menyesuaikan kondisi lahan
 Diantara bedengan dibuat selokan selebar S0.cm dan sedalam 25 cm
 Tanah dari galian selokan diambil dan ditaburkan diatas bedengan
sehingga menambah tinggi bedengan
 Permukaan bedengan dihaluskan dan diratakan sehingga rata benar
 Pada setiap bedengan nantinya terdapat ± 8 barisan tanaman dengan
jarak antar baris 25 cm.
c. Penanaman
 Kebutuhan Benih
Benih yang digunakan hendaknya benih bermutu, hal ini sangat
penting | disamping untuk menghasilkan produksi yang tinggi juga
tahan terhadap hama dan penyakit yang menyerang. Kebutuhan benih
per hektar 100 kg atau sama dengan 1 kg/100 m²dengan sistim larikan
jika ditanam dengan sistim tugal kebutuhan benih bisa kurang dari
100 kg/ha.
 Waktu Tanam
Waktu tanam yang tepat adalah pada awal musim kemarau dan di
akhir musim penghujan, pada sebagian besar dacrah di Pukau Jawa
biasanya berada di antara bulan April Mei dimana di perkirakan curah
hujan tidak terlalu tinggi. Namun demikian, ada beberapa daerah yang
waktu tanamnya tidak pada bulanbulan tersebut. Hal ini dikarenakan
pada daerah tersebut mempunyai musim kemarau dan penghujan yang
berbeda.
 Cara Bertanam
(i) Buat alurlarikan pada bedengan dengan jarak antara 25 cm.
(ii) Benih yang akan ditanam, dicampur terlebih dahulu dengan
Dithane
(iii) Benih dimasukan dalam alur sedalam 3,5 cm dengan
cara seretan.
(iv)Taburi Furadan ditempat biji dalam alur, kemudian
ditutudengan tanah halus. Pemberian Furadan dimasukan agar
benih tidak terkena hama dan penyakit.
d. Pengairan
 Pada waktu sctelah tanam yang diikuti pemupukan ke I lahan perlu
diairi agar benih berkecambah dan dapat tumbuh dengan baik
 Pada waktu tanaman berumur 30 HST (hari setelah tanam) yaitu pada
waktu setelah penyiangan dan pemupukan ke II, tanaman perlu diairi
agar dapat menyerap pupuk dengan baik.
 waktu tanaman berumur 45 65 HST yakni pada waktu fase bunting
sampai keluar malai, tanaman perlu diairi agat jumlah bunga dan biji
yang dihasilkan banyak.
 Pada fase pengisian biji sampai masak (& 70 90 HST) tanaman perlu
diairi agar tidak menurunkan berat biji yang dihasilkan.
e. Pemupukan
Waktu pemupukan dapat dilakukan sebelum tanam atau pada saattanam
scbagai pupuk dasar. Pupuk pertama diberikan TSP dan KCl serta sebagaian
pupuk N. Dosis pupuk dapat ditentukan oleh jumlah hara yang tersedia
didalam tanah. Biasanya pupuk organik 10 ton/ha, sedangkan pupuk
anorganik 120 200 kg N/ha, P 45 150 kg/ha dan 30 70 kg K/ha. Pemberian
pupuk Urea dapat diberikan 2 3 kali.

(1) Pemberian I : Sepertiga bagian bersama dengan pupuk P dan K dalam


bentuk pupuk majemuk.
(2) Pemberian II : Sepertiga bagian pada saat bertunas sekitar 25 30 hari
setelah tanam.
(3) Pemberian III : Sisanya pada saat pembentukan primordia bunga untuk
mendorong pembentukan malai, butir gandum dan peningkatan
protein.
f. Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2-3kali tergantung banyaknya populasi gulma.
(1) Penyiangan I : tanaman berumur | bulan
(2) Penyiangan II : dilakukan 3 minggu dari penyiangan pertama
(3) Penyiangan III: tergantung banyaknya dan tingginya populasi gulma.

2.4 Hama pada gandum


a. Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae)Pada penelitian di dataran rendah ditemukan
serangan jangkrik pada stadia 1 sampai 3 (menurut skala Fekees) yang berupa
bekas gigitan yang memotong bagian tanaman gandum setelah berkecambah,
sehingga menyebabkan kematian pada tanaman yang diserang. Jangkrik
menyerang tanaman gandum dari stadia pertama hingga stadia ketiga. Sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Umiarsih (2011) bahwa hama jangkrik lebih
menyukai tanaman muda dan bagian yang dekat dengan tanah. Tanaman
gandum yang diserang adalah galur G1, G6 dan varietas Selayar. Serangan
jangkrik yang relatif tinggi terdapat pada galur G1 dengan serangan sebesar
2794,7% dan serangan jangkrik menyebabkan kematian pada tanaman
gandum yang baru saja berkecambah. Galur dan varietas yang terserang
jangkrik karena lahan yang digunakan untuk penelitian merupakan bekas dari
tanaman jagung dimana jangkrik merupakan salah satu hama dari tanaman
jagung (Van der Laan, 1981). Jangkrik tidak ditemukan pada penelitian di
dataran tinggi diduga karena suhu yang tidak optimal untuk perkembangan
dari jangkrik. Hal ini sesuai dengan Sulistyowati (2012) yang menyatakan
bahwa suhu optimum perkembangan dari jangkrik adalah 260C – 330C. Dari
hasil penelitian ini jangkrik berpotensi menjadi hama penting pada tanaman
gandum di dataran rendah.
b. Belalang (Orthoptera: Acrididae: Acridinae) Belalang ditemukan menyerang
tanaman gandum di dataran rendah dan dataran tinggi pada stadia 2 – 10.5.
Gejala serangan berupa terdapatnya bekas gigitan berbentuk sobekan
bergerigi tak beraturan sehingga menyebabkan daun habis dan hanya
menyisakan tulang daunnya. Di dataran rendah terdapat gejala serangan hama
belalang pada galur G2, G6, G9, G13 dan varietas Jarissa sedangkan di
dataran tinggi serangan terjadi pada galur G1, G3, G4, G5 dan varietas
Selayar. Persentase dari serangan belalang yang relatif tinggi di lokasi dataran
rendah ditunjukkan pada varietas Jarissa dengan serangan sebesar 100%.
Persentase serangan belalang di dataran rendah yang relatif tinggi diduga
disebabkan oleh adanya tanaman padi yang telah dipanen di sekitar lahan
penelitian sehingga belalang bermigrasi mencari makanan lain yang berada
didekatnya untuk bertahan hidup serta lahan yang digunakan pada penelitian
merupakan lahan bekas tanaman jagung. Karena belalang termasuk hama padi
sehingga memungkinkan hama belalang juga menyerang tanaman gandum.
Sudarsono, dkk (2005), menyatakan bahwa belalang termasuk hama dari
tanaman padi dan jagung. Serangan belalang yang relatif tinggi terdapat di
lokasi dataran tinggi pada galur G1, yaitu 55,28%. Hal ini diduga karena galur
ini merupakan tanaman tepi. Serangan belalang yang terjadi pada penelitian
ini tidak terdapat pada semua galur dan varietas. Hal ini diduga karena adanya
pertumbuhan tanaman gandum yang tidak serempak sehingga belalang akan
memilih tanaman tepi untuk dijadikan makanannya. Jago (1971, dalam
Borror 1992) menyatakan bahwa belalang menyerang tanaman tepi yang
paling rimbun.Serangan belalang terdapat pada dataran rendah dan dataran
tinggi serta memiliki persentase serangan yang relatif tinggi. Dari hasil
penelitian ini belalang berpotensi menjadi hama penting pada tanaman
gandum di dataran rendah dan dataran tinggi.
c. Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae) Di dataran tinggi ulat jengkal
menyerang tanaman gandum galur G4, G5, G6, G11, G12 dan varietas Jarissa
pada stadia 4 - 10. Ulat jengkal tidak ditemukan pada tanaman gandum di
dataran rendah. Ulat jengkal yang ditemukan pada tanaman gandum memiliki
dua warna yaitu: ulat jengkal abu-abu kekuningan serta memiliki garis
longitudinal dengan warna yang lebih terang dan ulat jengkal yang hanya
berwarna hijau. Gejala serangan adalah terdapatnya bekas gigitan pada bagian
daun, baik sebagian lamina daun (dengan masih tersisanya tulang daun),
maupun seluruh lamina daun. Serangan ulat jengkal yang relatif tinggi pada
galur G6 yaitu sebesar 53,38%. Serangan oleh ulat jengkal dikarenakan lahan
yang berdekatan dengan lahan yang ditanami kentang. Menurut Djojosumarto
(2008), ulat jengkal bersifat polifag dan memiliki makanan utama antara lain
tanaman kedelai, jagung, tomat, buncis, kentang dan sayuran. Ulat jengkal
memiliki daerah sebaran yang luas, antara lain: di Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi (Surachman dan Widada, 2007). Dari hasil penelitian ini ulat jengkal
berpotensi menjadi hama penting pada tanaman gandum di dataran tinggi.
d. Kepik Coklat (Hemiptera: Rophalidae) Kepik coklat menyerang tanaman
gandum di dataran rendah, sedangkan di dataran tinggi tidak ditemukan.
Kepik ini biasanya berwarna gelap dan memiliki ukuran tubuh kurang dari 10
mm. Gejala serangan kepik coklat yaitu adanya bekas tusukan yang berwarna
hitam pada daun dan batang yang diserang. Kepik coklat menyerang tanaman
gandum galur G3, G5 dan G8 pada stadia 10 sampai 11.1 (menurut skala
pertumbuhan Feekes). Serangan kepik coklat yang relatif tinggi terdapat pada
tanaman gandum galur G8 yaitu 64,7%. Serangan dari kepik coklat diduga
karena adanya migrasi dari kepik coklat yang menyerang tanaman padi di
sekitar lokasi penelitian. Kepik coklat cenderung menghisap bagian batang
gandum pada pagi hari. Keberadaan kepik coklat juga nampak pada daun
tanaman gandum. Van der Laan (1981) menyatakan bahwa kepik coklat
bersifat oligofag dan sering ditemukan pada tanaman padi pada saat berbunga
hingga menjelang panen. Schaefer (1965) menyatakan bahwa pada pagi hari
serangga sangat aktif bergerak di seluruh bagian tanaman dan pada saat siang
hari cenderung besembunyi di rekahan tanah. Dari hasil penelitian ini kepik
coklat berpotensi menjadi hama penting tanaman gandum di dataran rendah.
e. Walang Sangit (Hemiptera: Alydidae) Walang sangit ditemukan pada
tanaman gandum di dataran rendah dan dataran tinggi pada stadia 11.1 sampai
11.2 (menurut skala pertumbuhan Feekes). Serangan walang sangit di dataran
rendah terdapat pada galur G2, G4, G6, G8, G9, G10 dan G13 sedangkan di
dataran tinggi serangan walang sangit terdapat 34pada galur G2, G3, G5, G8,
G11 dan G13. Gejala serangan ditunjukkan dengan terdapatnya malai gandum
yang hampa karena sudah dimakan habis oleh walang sangit. Walang sangit
memiliki persentase serangan yang relatif tinggi di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Di dataran rendah serangan walang sangit yang relatif tinggi
terdapat pada galur G6 yaitu 75%. Di dataran tinggi serangan walang sangit
yang relatif tinggi terdapat pada galur G1 yaitu 79,67%. Walang sangit
menyerang hanya pada beberapa galur. Hal ini diduga karena stadia masak
susu pada setiap galur gandum yang tidak sama dan tata letak yang acak
sehingga tanaman yang terdapat di bagian tepi lebih rentan terhadap serangan
hama walang sangit. Sudarmo (2000) menyatakan bahwa hama walang sangit
lebih suka menyerang tanaman padi pada fase masak susu karena walang
sangit memiliki tipe alat mulut menusuk menghisap sehingga ketika bulir
telah mengeras maka walang sangit tidak dapat menusuk menghisap lagi.
Walang sangit sebenarnya memiliki makanan utama yaitu tanaman padi,
namun hama ini memiliki beberapa makanan alternatif antara lain: genus
Panicum, Andropogon, Sorghum, Saccharum serta Triticum (Van der Laan,
1981). Walang sangit merupakan salah satu hama padi yang paling serius,
terutama di pulau Jawa (Pracaya, 2007). Dari hasil penelitian ini walang
sangit berpotensi menjadi hama penting pada tanaman gandum di dataran
rendah dan dataran tinggi.
f. Kepik Hijau (Hemiptera: Pentatomidae) Kepik hijau ditemukan pada tanaman
gandum di dataran rendah dan dataran tinggi. Di dataran rendah kepik hijau
menyerang tanaman gandum galur G2, G4, G5, G11 dan varietas Dewata,
sedangkan di dataran tinggi kepik hijau menyerang tanaman gandum pada
galur G5, G7, G8, vareitas Jarissa dan varietas Nias pada stadia 11.1 - 11.3
(menurut skala pertumbuhan Feekes). Serangan kepik hijau di dataran rendah
yang relatif tinggi terdapat pada galur G4 yaitu 42,8%, sedangkan di dataran
tinggi serangan kepik coklat relatif tinggi terdapat pada galur G7 yaitu
22,6%. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh kepik hijau adalah tanaman
menjadi layu dengan terdapat bintik – bintik hitam pada batang yang terdapat
bekas tusukan Van der Laan (1981) menyebutkan bahwa kerusakan utama
akibat serangan kepik hijau sebenarnya bukan karena bekas tusukan dari
kepik hijau melainkan karena cairan ludah dari kepik hijau yang beracun,
sehingga menyebabkan kelayuan sampai munculnya warna hitam pada bagian
yang dihisap.Sebagian besar dari famili Pentatomidae adalah hama tanaman,
seperti: gandum, padi dan kedelai. Kepik hijau ini bersifat polifag, di
Indonesia dilaporkan terdapat pada tanaman padi, jagung, tembakau, kentang
dan bermacam legum (Van der Laan, 1981). Tingginya persentase serangan di
dataran rendah maupun tinggi diduga karena letak galur G4 di dataran rendah
dan G7 di dataran tinggi berada di bagian tepi pada lokasi penelitian serta
berdampingan langsung dengan tanaman padi di dataran rendah dan tanaman
kentang di dataran tinggi sehingga memungkinkan hama dari tanaman di
sekitar lokasi penelitian menyerang tanaman gandum.
g. Kutu Daun (Homoptera: Aphididae)Kutu daun ditemukan di dataran rendah
pada saat tanaman gandum mencapai stadia ke 11.1 – 11.3 (menurut skala
Feekes) pada bagian malai gandum. Hama kutu daun hanya ditemukan pada
varietas Nias yang terdapat di dataran rendah, dengan serangan sebesar
7,69%. Kutu daun tidak ditemukan di dataran tinggi. Serangan dari kutu daun
ini relatif rendah. Hal ini terjadi karena di lokasi penelitian juga ditemukan
musuh alami dari kutu daun yaitu kumbang koksi. Kutu daun yang ditemukan
berwarna coklat. Dari identifikasi kutu daun dengan menggunakan kunci
identifikasi The Identification of Common Aphid Pests of Tropical
Agriculture, yang dikarang oleh Martin (1983) menunjukkan bahwa kutu daun
tersebut termasuk dalam tribe Aphidini. Ciri-ciri dari kutu daun ini adalah
cauda yang berwarna pucat dengan empat rambut, siphunculi seluruhnya
berwarna gelap berpigmen, femora gelap, segmen antenna pertama dan kedua
gelap berpigmen, segmen ke empat pucat dan terdapat lingkaran coklat di
ujungnya. Kutu daun ini biasanya terdapat pada rangkaian bunga dan bulir
muda. Menurut Blackman dan Eastop (1985) kutu daun yang menyerang
tanaman padi adalah genus Rhopalosiphum.Kutu daun yang menyerang
tanaman gandum di dataran rendah baru terlihat pada stadia 11.1 (menurut
skala Feekes). Hal ini diduga karena tanaman padi yang terdapat di sekitar
lokasi penelitian telah dipanen kemudian kutu daun mencari makanan baru
untuk bertahan hidup. Menurut Blackman dan Eastop (1985) makanan
sekunder dari kutu daun adalah tumbuhan dari famili Graminae. Meskipun
tanaman padi dan gandum keduanya termasuk dalam famili Graminae namun
tanaman gandum yang ditanam merupakan tanaman yang baru dicobakan,
sehingga dimungkinkan tanaman padi lebih dipilih kutu daun sebagai
makanannya. 38Gambar 4.15. Kutu Daun pada Tanaman Gandum Gambar
4.16. Kutu Daun 4.2.8. Ulat Grayak (Lepidoptera: Noctuidae) Ulat grayak
(Gambar 4.17) menyerang tanaman gandum galur G3, G5, G8 dan G13 di
dataran tinggi pada stadia 11.2 sampai 11.3 (menurut skala pertumbuhan
Feekes). Ulat grayak tidak ditemukan di dataran rendah. Persentase serangan
ulat grayak relatif tinggi terdapat pada galur G13 yaitu 15,65%. Ulat grayak
memiliki warna coklat dengan terdapat bentuk bulan sabit berwarna hitam,
yang berjajar dikedua sisi tubuhnya serta warna kuning terang berbentuk
seperti garis lateral bergelombang di bawahnya. Pada tiap - tiap segmen
tubuhnya terdapat struktur 39seperti kutil dengan bulu pendek di atasnya.
Gejala serangan dari ulat grayak yang ditemukan adalah hilangnya bulir
gandum karena bulir telah dimakan habis oleh hama ulat grayak serta terdapat
bekas seperti potongan pada tangkai malai gandum yang telah hilang (Gambar
4.18).Van der Laan (1981) menyatakan bahwa hama ini bersifat polifag dan di
Indonesia hama ini banyak terdapat di dataran tinggi hingga ketinggian 2000
m di atas permukaan laut. Ulat grayak mulai menyerang tanaman gandum
pada stadia 11.2 (menurut skala pertumbuhan Feekes). Hal ini diduga karena
tanaman kubis dan kentang yang ada di sekitar lahan penelitian telah dipanen,
sehingga ulat grayak bermigrasi mencari makanan baru untuk bertahan hidup.

2.5 Pasca Panen


Penanganan pasca panen gandum merupakan kegiatan sejak gandum dipanen
sampai dengan menghasilkan produk antara (intermediate product) yang siap
dipasarkan. 

Ruang lingkup penanganan pasca panen gandum mencakup :


 Pemanenan
 Perontokan
  Pembersihan
 Pengeringan
 Penggilingan
  Penyosohan
  Penyimpanan

a. Pemanenan
Pemanenan merupakan proses pemotongan batang gandum. Pemanenan
gandum dapat dilakukan dengan menggunakan sabit atau mesin pemanen
gandum. Sabit merupakan alat terdiri dari gagang yang terbuat dari kayu bulat
berdiameter 2 cm dan panjang 15 cm dan mata pisau yang terbuat dari baja
keras.
b. Perontokan
Perontokan merupakan proses pemisahan gandum dari malainya. Perontokan
gandum dapat dilakukan dengan menggunakan alat perontok dengan tenaga
manusia (pedal thresher) atau alat perontok dengan tenaga motor (power
thresher). Pedal thresher merupakan alat yang terdiri dari silinder bergigi yang
putarannya dihasilkan oleh tenaga manusia. Power Thresher merupakan alat
yang terdiri dari silinder bergigi yang putarannya dihasilkan oleh tenaga
motor yang berkekuatan 1 – 3 HP.
c. Pembersihan
Pembersihan merupakan proses pemisahan gandum dari kotoran atau benda
asing lainnya. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara : ditampi, diayak,
blower manual dan alat pembersih dengan tenaga motor (cleaner).
d. Pengeringan
Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air gandum sampai nilai
tertentu sehingga siap diolah/digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu
yang lama. Pengeringan gandum dapat dilakukan dengan penjemuran atau
menggunakan mesin pengering (dryer). Keuntungan penggunaan mesin
pengering yaitu : efisien, tidak tergantung cuaca, dan kualitas hasil
pengeringan lebih baik.
e. Penggilingan
Penggilingan merupakan proses pengecilan ukuran menjadi bagian yang lebih
halus. Penggilingan gandum dapat dilakukan dengan alat penggiling yaitu :
hammer mill, attrition mill dan roller mill.
 Hammer mill : mengecilkan ukuran dengan pukulan gigi penggiling.
 Attrition mill : mengecilkan ukuran dengan tekanan dan gesekan.
 Roller mill : mengecilkan ukuran dengan tekanan dan gesekan.
f. Penyosohan
 Penentuan pemanenan
 Teknologi penyosohan dengan teknologi excisting di tingkat petani
 Teknologi penyosohan di RMU komersial yang mengadopsi sistem
abrasive
 Hasil penyosohan gandum di RMU komersial
 Penyempurnaan proses abrasif di Instalasi
 Uji coba perendaman gandum dengan ozonisasi dan asam askorbat
g. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan proses untuk mempertahankan bahan/hasil produksi
agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu. Penyimpanan
gandum dapat dilakukan dengan sistem curah atau menggunakan
kemasan/wadah seperti karung plastik, dan lain-lain.

USAHA PERAWATAN KUALITAS GANDUM

1. Fumigasi dan Penyemprotan ("Spraying").


Pemberantasan serangga hama gudang merupakan bagian utama dari usaha
perawatan kualitas gandum. Hingga saat· ini fumigasi dan penyemprotan insektisida
masih merupakan cara utama untuk memberantas serangga hama gudang. Dalam
aplikasinya fumigasi dan penyemprotan insektisida bersifat saling melengkapi.
Fumigasi dilakukan depgan cara menutup stapelen bahan pangan dengan
plastikkemudian dilanjutkan dengan pemberian gas yang dilepaskan oleh fumigan
sesuaidengan dosis yang dibutuhkan. Dengan fumigasi serangga hama gudang yang
berada di dalam gudang dan di dalam butiran biji-bijian diharapkan dapat terbunuh.
Penyemprotan insektisida pada permukaan luar stapelan gandum dilakukan dengan
maksud untuk mencegah serangan kembali (reinfestasi) serangga hama gudang
setelah fumigasi. Di samping itu penyemprotan insektisida dilakukan untuk
membunuh serangga hama yang bersembunyi pada celah-celah dinding yang retak
atau pada langit-Iangit dan lantai gudang.
Jenis-jenis pestisida yang dapat digunakan untuk pemberantasan serangga hama
gudang sangat terbatas jumlahnya mengingat adanya peraturan yang ketat tentang
penggunaan pestisida pada. bahan pangan. Pestisida tadi haruslah memenuhi
persyaratan ntara lain:
 efektif pada cara penggunaan yang ekonomis
  tidak meninggalkan residu yang melebihi batas maksimum (MRL)
  tidak mempengaruhi kualitas, rasa dan bau gandum
  tidak mudah terbakar dan menimbulkan karat.

2. Sanitasi dan Manajemen Pergudangan.


Pengawasan/inspeksi terhadap kualitas bahan yang disimpan di gudang-gudang
dilakukan secara teratur untuk mengetahui seberapa jauh serangan hama yang
mungkin terjadi, penurunan kualitas dan lain-lain. Dari sistem pengawasan yang
teratur dapat segera dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan atau
penyaluran bahan pangan dengan segera bila diperlukan. Dalam kerangka manajemen
pergudangan yang baik selain melakukan system penumpukan yang memenuhi
syarat, juga prinsip FIFO (First in first out) sedapat mungkin dilaksanakan dalam
penyaluran bahan pangan.

3. Peningkatan Kualitas Bahan Pangan yang Akan Disimpan.


Beberapa aspek kualitas awal yang penting untuk penyimpanan bahan pangan
misalnya kadar air, derajat sosoh dan jumlah butir patah. Tingginya kadar air di
samping mempermudah pertumbuhan kapangjuga dapat meningkatkan fertilitas
serangga. Beberapa jenis hama primer seperti Sitophilus oryzae masih dapat
berkembang dengan baik pada kadar air di bawah 14 persen. Walaupun demikian
batas tersebut sedikit banyak telah menghambat tumbuhnya jenis-jenis serangga hama
yang lain. Tinggi kandungan butir patah sangat membantu perkembangan hama
sekunder seperti Tribolium confusum dan Oryzaephilus surinamensis. Demikian pula
derajat sosoh gandum sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan hama sekunder
seperti Corcyra cephalonica dan T. castaneum. Misalnya apabila derajat sosoh
kurang dari 75 persen dalam waktu 3 bulan larva Ccephalonica dapat menimbulkan
kerusakan berat pada gandum.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini, yakni;
a. Penanganan pra panen dalam budidaya komoditi gandum yakni meliputi: dari
pembukaan lahan (pengolahan tanah), pembuatan bedengan, dan penanaman
(pemebenihan, penanaman, pengairan, pemupukan dan penyiangan) dengan
menggunakan alat dan mesin pertanian.
b. Penanganan pra panen terdiri dari proses pemanenan yakni dengan
menggunakan mesin pemanen yang khusus untuk produk komditi gandum.
c. Salah satu produk olahan gandum yakni tepung. Pembuatan tepung dimulai
dari proses, pembersihan, pemberian air dan tahap penggilingan. Proses
pembuatan tepung gandum menggunakan mesin dan teknologi tinggi sehingga
produk yang dihasilkan juga berkualitas.
d. Penyimpanan produk olahan gandum seperti tepung, dapat ditempatkan pada
suhu yang kering (tidak lembab), jauh dari jangkauan serangga dan memiliki
pertukaran udara yang baik.
e. Mutu produk olahan gandum dapat kita amati secara fisik dan non fisik. Dari
segi fisik dapat kita amati dari warna, aroma, dan tekstur. Sedangkan untuk non
fisik (kimia) harus sesuai dengan (SNI 01-3751-2006).

3.2. Saran
Olahan dari produk komoditi gandum masih banyak varian tidak hanya dalam
pembuatan tepung saja. Selain itu penerapan teknologi harus diperhatikan dalam
pengolahan komoditi gandum akan sangat mempengaruhi produk olahan yang
dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Ajayi, F. A., & Rahman, S. A. (2006). Susceptibility of some staple processed
meals to red flour beetle, Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae).
Pakistan Journal of Biological Sciences, 9(9), 1744–1748.

Aqil, M., & Taufiq, M. (2016). Gandum: Peluang Pengembangan di Indonesia


(R. H. Praptana & Hermanto, eds.). Jakarta: IAARD Press.

Arthur, F. H., Ondier, G. O., & Siebenmorgen, T. J. (2012). Impact of


Rhyzopertha dominica (F.) on quality parameters of milled rice. Journal of Stored
Products Research, 48, 137–142.

Ashamo, M. O. (2006). Relative susceptibility of some local and elite rice


varieties to the rice weevil, Sitophilus oryzae L.(Coleoptera: Curculionidae). Journal
of Food Agriculture and Environment, 4(1), 249.

Athanassiou, C. G., Kavallieratos, N. G., & Campbell, J. F. (2017). Competition of


three species of Sitophilus on rice and maize. PLoS One, 12(3), e0173377.

Athanassiou, C. G., Kavallieratos, N. G., & Campbell, J. F. (2017). Competition of


three species of Sitophilus on rice and maize. PLoS One, 12(3), e0173377.

Baga, Lukman M, Agnes AD. Puspita. 2013. Analisis Daya Saing dan strategi
Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia,
Vol. 1 No. 1, Juni 2013, halaman 9-26.
Handayani, Alfina. 2011. Pengaruh Model Tumpangsari terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Gandum dan tembakau.
widyariset.pusbindiklat.lipi.go.id / index.php/widyariset/ article/download/ 438/360

Komalasari,O. and Hamdani, M. 2010. Uji Adaptasi Beberapa Galur/ Varietas


Gandum di NTT Pros. Pekan Serealia Nas.pp: 978-979.

Nur Trikoesoemaningtyas, Khumaida N., dan Sujiprihati S. 2012. Phenologi


Pertumbuhan dan Produksi Gandum pada Lingkungan Tropika Basah. Prosiding
Pekan Serealia Nasional.

Natawijaya, A. 2012. Analisis genetik dan seleksi generasi awal segregan


gandum (Triticum aestivum L.) berdaya hasil tinggi. Tesis. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nur Trikoesoemaningtyas, Khumaida N., dan Sujiprihati S. 2012. Phenologi


Pertumbuhan dan Produksi Gandum pada Lingkungan Tropika Basah. Prosiding
Pekan Serealia Nasional

Natawijaya, A. 2012. Analisis genetik dan seleksi generasi awal segregan


gandum (Triticum aestivum L.) berdaya hasil tinggi. Tesis. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nur, Amin, Muh. Azrai, dan Made Jaya Mejaya. 2016. Pembentukan Varietas
Unggul Gandum di Indonesia. Gandum: Peluang Pengembangan di Indonesia: 135-
152.

Anda mungkin juga menyukai