Anda di halaman 1dari 3

Wikipedia

Saudi Aramco (bahasa Arab: ‫ أرامكو السعودية‬ʾArāmkū as-Suʿūdiyyah), resminya bernama


Saudi Arabian Oil Company (sebelumnya bernama Arabian-American Oil Company),
adalah sebuah perusahaan minyak dan gas yang berkantor pusat di Dhahran, Arab Saudi.[6][7]

Hingga tahun 2020, perusahaan ini adalah salah satu perusahaan dengan pendapatan terbesar
di dunia.[8] Saudi Aramco memiliki cadangan minyak mentah terbukti terbesar kedua di
dunia, yakni lebih dari 270 miliar barel (43 miliar meter kubik),[9] serta memiliki tingkat
produksi minyak harian terbesar di dunia.[10][11]

Saudi Aramco juga mengoperasikan jaringan hidrokarbon tunggal terbesar di dunia, yakni
Sistem Gas Induk. Pada tahun 2013, total produksi minyak mentah dari perusahaan ini
mencapai 34 miliar barel (5.400 juta meter kubik), dan perusahaan ini mengelola lebih dari
seratus sumur minyak dan gas di Arab Saudi, termasuk cadangan gas alam sebanyak 288,4
triliun kaki kubik standar. Saudi Aramco pun mengoperasikan Ladang Ghawar, ladang
minyak darat terbesar di dunia, dan Ladang Safaniya, ladang minyak lepas pantai terbesar di
dunia.[12]

Pada tanggal 11 Desember 2019, saham perusahaan ini mulai diperdagangkan di bursa saham
Tadawul. Harga saham perusahaan ini kemudian naik menjadi 35,2 riyal Saudi, sehingga
kapitalisasi pasar perusahaan ini mencapai sekitar US$1,88 triliun,[13] dan menembus US$2
triliun keesokan harinya.[14] Pada daftar Forbes Global 2000 tahun 2020, Saudi Aramco
menempati peringkat kelima.[1] Pada bulan Maret 2021, Saudi Aramco mengumumkan bahwa
pendapatannya pada tahun 2020 turun hampir 45% jika dibandingkan dengan tahun 2019,
karena adanya pembatasan pergerakan di seluruh dunia akibat pandemi COVID-19, sehingga
permintaan minyak juga menurun.[15]

Sejarah
Saudi Aramco memulai sejarahnya saat terjadi kekurangan pasokan minyak pada Perang
Dunia I dan pengecualian perusahaan asal Amerika dari Mesopotamia oleh Britania Raya dan
Prancis di bawah Perjanjian Minyak Bumi San Remo pada tahun 1920.[16] Pemerintah
Amerika Serikat saat itu mendukung "Kebijakan Pintu Terbuka", yang diinisiasi oleh Menteri
Perdagangan, Herbert Hoover, pada tahun 1921. Standard Oil of California (SoCal) pun
menjadi salah satu perusahaan asal Amerika Serikat yang mencari sumber minyak baru di
luar Amerika Serikat .[17]

Pada bulan Mei 1932, melalui anak usahanya, yakni Bahrain Petroleum Co. (BAPCO), SoCal
berhasil mendapat minyak dari Bahrain. Hal tersebut pun meningkatkan ketertarikan
mengenai prospek minyak di daratan Arab. Pada tanggal 29 Mei 1933, SoCal berhasil
mengalahkan Iraq Petroleum Company dalam mendapat konsesi dari pemerintah Arab Saudi.
[18]
Konsesi tersebut pun memungkinkan SoCal untuk mengeksplorasi minyak di Arab Saudi.
SoCal kemudian menugaskan konsesi tersebut ke anak usahanya, yakni California-Arabian
Standard Oil (CASOC). Pada tahun 1936, karena CASOC belum berhasil menemukan
minyak, Texas Company (Texaco) pun membeli 50% saham CASOC.[19] Setelah empat tahun
eksplorasi tanpa hasil, CASOC akhirnya berhasil menemukan minyak di lokasi pengeboran
ketujuh di Dhahran pada tahun 1938, di sebuah sumur yang disebut sebagai Dammam No. 7.
[20]
Sumur tersebut kemudian dapat memproduksi lebih dari 1.500 barel per hari (240 m3/d),
sehingga CASOC percaya diri untuk melanjutkan eksplorasi. Pada tanggal 31 Januari 1944,
nama CASOC diubah menjadi Arabian American Oil Co. (Aramco).[21] Pada tahun 1948,
Standard Oil of New Jersey (kini Exxon) dan Socony Vacuum (kini Mobil) masing-masing
membeli 30% dan 10% saham Aramco, sementara SoCal dan Texaco masing-masing tetap
memegang 30% saham Aramco.[22] Standard Oil of New Jersey dan Socony Vacuum juga
memegang saham Iraq Petroleum Company, sehingga harus menghapus batasan di Perjanjian
Garis Merah untuk dapat memegang saham Aramco.[23]

Bangunan milik Aramco di Arab Saudi, 1954

Pada tahun 1949, Aramco masuk ke wilayah Emirat Abu Dhabi, sehingga menyebabkan
perselisihan perbatasan antara Abu Dhabi dan Arab Saudi.[24] Pada tahun 1950, Raja
Abdulaziz mengancam akan menasionalisasi fasilitas minyak yang ada di negaranya,
sehingga akhirnya Aramco setuju untuk menyerahkan 50% labanya ke pemerintah Arab
Saudi.[25]

Hal serupa kemudian juga dilakukan oleh pemerintah Venezuela terhadap perusahaan minyak
asal Amerika Serikat yang beroperasi di sana. Pemerintah Amerika pun memberi keringanan
pajak kepada Aramco, yang dikenal sebagai golden gimmick, untuk mengkompensasi laba
yang diberikan kepada Raja Abdulaziz. Kantor pusat Aramco kemudian dipindah dari New
York ke Dhahran.[26] Pada tahun 1951, perusahaan ini menemukan Ladang Minyak Safaniya,
ladang minyak lepas pantai terbesar di dunia. Pada tahun 1957, perusahaan ini menemukan
Ladang Ghawar yang merupakan ladang minyak darat terbesar di dunia.[12]

Pada tahun 1975, rencana ekonomi lima tahunan Arab Saudi yang kedua juga meliputi
Rencana Gas Induk. Gas alam akan digunakan untuk membangkitkan listrik, bukannya
disuar. Rencana tersebut dihitung dengan menggunakan gas terasosiasi, namun pada tahun
1985, Aramco juga dapat memproduksi gas non-terasosiasi sebanyak 1 milyar kaki kubik
standar per hari. Gas non-terasosiasi tersebut didapat dari Formasi Kuff, sebuah lapisan
gamping yang terletak 650 meter (2.130 ft) di bawah Zona Arab. Pada tahun 1994, Aramco
menemukan lebih banyak gas non-terasosiasi di formasi batu pasir Jawf yang lebih dalam.
Aramco kemudian membangun pabrik di Hawiyah dan Haradh untuk memproses gas
tersebut. Kedua pabrik tersebut pun meningkatkan kapasitas Sistem Gas Induk menjadi 9,4
milyar scfd.[27]:98–100,104,129–130,229

Perang Yom Kippur

Pada tahun 1973, pasca dukungan Amerika Serikat untuk Israel selama Perang Yom Kippur,
pemerintah Arab Saudi pun mengakuisisi 25% saham Aramco, yang kemudian ditingkatkan
menjadi 60% pada tahun 1974, dan kembali ditingkatkan menjadi 100% pada tahun 1976.
Pada bulan November 1988, pemerintah Arab Saudi resmi membentuk Saudi Arabian Oil
Company untuk mengambil alih aset milik Aramco.[28] Pada tahun 1989–90, minyak dan gas
berkualitas tinggi berhasil ditemukan di wilayah Raghib, sekitar 77 mil (124 km) di tenggara
Riyadh.[29]

Perang Teluk

Pada bulan September 1990, setelah Perang Teluk dimulai, Aramco diharapkan dapat
menutupi kekurangan pasokan minyak dunia akibat adanya embargo untuk Irak dan Kuwait,
yakni sekitar 4,8 juta barel per hari. Selain itu, Aramco juga diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan minyak dari koalisi. Aramco pun kembali mengoperasikan 146 sumur di
Harmaliyah, Khurais, dan Ghawar, beserta fasilitas pemisahan gas-minyak dan jalur pipa
pengolahan air asin, yang tidak pernah dioperasikan sejak turunnya harga minyak pada
dekade 1980-an. Jumlah produksi harian Aramco pun naik dari 5,4 Mbpd pada bulan Juli
menjadi 8,5 Mbpd pada bulan Desember 1990.[27]:125,135,148–149,155–156

Pada tahun 1990, Aramco mulai menjual minyak mentahnya ke negara-negara di Asia, antara
lain Korea Selatan, Filipina, dan Tiongkok. Pada tahun 2016, sekitar 70% minyak mentah
Aramco dijual ke Asia.[27]:168,176,184–185

Anda mungkin juga menyukai