Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak
terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan
Muslim 2409)
Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan
Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi
diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja,
pertengkaran yang terjadi di keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran
yang terjadi di keluarga yang tidak baik.
🔹 *Apa Bedanya?*
Keluarga yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling
menguasi dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi.
Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran
semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ِإ اَّل َكَّف َر اُهَّلل ِب َه ا ِم ْن، َح َّت ى الَّش ْو َكِة ُي َش اُكَه ا، َو َال َه ٍّم َو َال ُح ْز ٍن َو َال َأ ًذ ى َو َال َغ ٍّم، ِم ْن َن َص ٍب َو َال َو َص ٍب، َم ا ُي ِص يُب الُم ْس ِلَم
َخ َط اَي اُه
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung,
sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di
badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.”
(HR. Bukhari 5641).
Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan.
Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat
itu, hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan
kesedian yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-
Nya.
“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’
Fatawa, 8/163)
Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َو اَل َت ْه ُج ْر ِإ اَّل ِف ي اْلَبْي ت، َو اَل ُتَق ِّب ْح، َو اَل َتْض ِر ِب اْلَو ْج َه، َأ ِو اْكَت َس ْب َت، َو َتْكُس َو َها ِإ َذ ا اْكَت َس ْي َت، َأ ْن ُت ْط ِع َم َه ا ِإ َذ ا َط ِع ْم َت
“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus
memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan
memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot
kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para
suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga
berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, *Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehatkan untuk menghindari 3 hal:*
1⃣ *hindari KDRT*
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang
istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
َو الاَّل ِت ي َتَخ اُف وَن ُن ُش وَز ُه َّن َف ِع ُظ وُه َّن َو اْه ُج ُر وُه َّن ِف ي اْلَم َض اِج َو اْض ُبوُه َّن َف ِإ ْن َأ َط ْع َن ُكْم َف اَل َت ْب ُغ وا َع َلْي َّن َس ِب ياًل
ِه ِر ِع
Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan
kemarahannya dengan menganiaya istrinya.
*1. Tidak boleh di daerah kepala,* sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.”
Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang
paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang
tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan
firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.
السواك وشبهه يضربها به: ما الضرب غير المبرح ؟ قال: قلت البن عباس
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak
menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau
semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).
Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak
meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan
darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu
dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik.
Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda
bisa bayangkan, ketika ada orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah.
Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi
suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi,
sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإ َّن َم ا الَّش ِد يُد اَّلِذ ي َي ْم ِلُك َنْف َس ُه ِع ْنَد الَغ َض ِب، َلْي َس الَّش ِد يُد ِب الُّص َر َع ِة
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun
orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari 6114
dan Muslim 2609).
ِإ اَّل َأ ْن ُي َج اِه َد ِف ي َس ِب يِل اِهلل، َو اَل َخ اِد ًم ا، َو اَل اْم َر َأًة، َم ا َض َر َب َر ُس وُل اِهلل َص َّلى اُهلل َع َلْي ِه َو َس َّلَم َش ْي ًئ ا َق ُّط ِبَي ِد ِه
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak
dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim
2328).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan
bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani.
Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau
tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah
bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
2⃣ *Hindari Caci-maki*
Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya
membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat
membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk
cacian atau makian. Allah berfirman,
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)
Setidaknya, ketika dia tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu
membalas dengan melukai hati orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan
suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci
maki harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati,
dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa
mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang
sakinah.
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan
doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa
sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-
Qur’an. Allah berfirman,
َو اَّلِذ يَن ُي ْؤ ُذ وَن اْلُم ْؤ ِم ِن يَن َو اْلُم ْؤ ِم َناِت ِب َغ ْي ِر َم ا اْكَت َس ُب وا َف َق ِد اْح َت َم ُلوا ُبْه َت اًن ا َو ِإ ْث ًم ا ُم ِب يًنا
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan
dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)
Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci
orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan
semacam ini sebagai dosa yang nyata.
Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah
keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika
masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu,
jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun
suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah
tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam
rangka dilakukan perbaikan.
Solusi ini baru diambil ketika masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan
sendiri antara suami-istri.
Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya, karena ini
akan memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama. Jika anda tidak
memungkinkan menyampaikan secara langsung, sampaikan dalam bentuk email, atau
sms.
🔹 *Lebih rincinya, anda bisa pelajari artikel : Mengatasi Keretakan Hubungan Suami
Istri.*
Semoga bermanfaat..,
Allahu a’lam