Anda di halaman 1dari 23

Istri yang Terusir

Author by adminPosted on Friday, 14 May 2010

Program: VOICE OF ISLAM | Rubrik:


KONSULTASI SURAT | Narasumber: Ir. Lathifah Musa | Topik: ISTRI YANG TERUSIR

Assalaamualaikum wr wb. Ada seorang istri yang diusir oleh suaminya. Kemudian dia
pergi bersama anak-anaknya pulang ke rumah orang tua istri. Suami tidak peduli hingga
satu bulan lebih. Tetapi kemudian suami mengatakan istri harus pulang ke rumah, kalau
masih ingin menjadi istri yang baik. Keluarga istri menolak, terutama orang tuanya,
mengingat kejadian pernah diusirnya anak mereka dari rumah. Apakah yang harus
dilakukan oleh istri, karena dia tidak ingin mendapat laknat Allah, tetapi trauma karena
pernah diusir suami. Apakah dia harus pulang dalam ketakutannya? penanya mewakili
istri yang terusir.

Alaikumus salam wr wb.

Suami yang mengusir istrinya, apalagi sekaligus anak-anaknya, maka dia bukan suami yang
baik. Bahkan kalau suami mengatakan pergi saja ke rumah orang tuamu! Dalam konteks
mengusir, maka ini bisa menjadi indikasi cerai. Bahkan ini cara bercerai yang tidak baik. Dalam
kasus penanya, tampaknya sudah jatuh cerai: indikasinya adalah (1) istri pergi dengan anak-anak
karena diusir. Suami tidak peduli dan melepaskan tanggungjawab. Lamanya waktu satu bulan
lebih. (2) Sekiranya suami hanya karena emosi, marah karena ada kelemahan dan kelalaian istri,
maka tidak boleh lebih dari tiga hari. Satu bulan bukan waktu yang singkat dan ini sudah
menunjukkan ketidakpedulian serta melepaskan tanggungjawabnya sebagai suami.

Selanjutnya ketika suami menyuruh pulang, maka ini juga bukanlah cara yang dibenarkan syariat
dalam memperlakukan istri. Apalagi terhadap anak-anak kecil yang tentunya sangat terzhalimi
ketika mereka dalam perjalanan terusir dari rumah. Sikap suami menyuruh pulang, menunjukkan
dia tidak menganggap apa yang dilakukannya sebagai suatu kesalahan. Bila demikian maka
peristiwa itu mungkin saja berulang lagi. Tentunya istri harus berhati-hati jangan sampai
mengulangi tragedi yang sama.

Bila suami menyesal dan ingin memperbaiki rumah tangga mereka, maka yang harus dilakukan
suami adalah:
(1) Suami datang kepada orang tua istri yang saat itu kembali menjadi wali bagi istrinya lagi.
Suami harus meminta maaf karena telah mengusir istri. Kemudian memintanya kembali secara
baik baik. Kalau ortu istri mengijinkan dan istri mau kembali, maka mereka bisa rujuk, tanpa
akad nikah baru, bila belum melewati masa iddah. Tetapi kalau sudah melewati masa iddah,
maka harus ada aqad nikah lagi.

(2) Suami berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan, dan berusaha menjadi suami yang baik.
Demikian pula istri, harus berusaha menjadi istri yang baik. Orang tua harus mengawasi dan
membimbing. Suami istri harus tidak segan berkonsultasi kepada orang tua atau pihak yang
dihormati bila ada persoalan dalam rumah tangga, sebelum mereka memiliki kematangan untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri.

Bagaimana bila istri tidak mau kembali? Maka berarti mereka bercerai. Ketidakinginan
menunjukkan ketiadaan itiqad untuk memperbaiki rumah tangga. Suami tidak bisa memaksa,
karena Itu juga menjadi hak istri apakah mau kembali atau tidak. Adanya pemaksaan dalam
pernikahan tidak akan mampu mewujudkan kesakinahan kembali dalam rumah tangga. Semoga
masing-masing menemukan jodoh yang lebih baik.[]
Jangan Memukul Wajahnya. Janganlah
Sekali-Kali Engkau Menjelekkan Isteri
HAK ISTERI YANG HARUS DIPENUHI SUAMI

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

3. Jangan Memukul Wajahnya


Di antara hak yang harus dipenuhi seorang suami kepada isterinya ialah tidak memukul wajah
isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si isteri telah berbuat
durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah haram hukumnya. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla.

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang
taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[1] , hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan
untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. [An-Nisaa : 34]

Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang
perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus
terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut, yaitu:

1. Setelah dinasihati, dipisahkan tempat tidurnya, namun tetap tidak mau kembali kepada syariat
Islam.
2. Tidak diperbolehkan memukul wajahnya.
3. Tidak boleh memukul dengan pukulan yang menimbulkan bekas atau membahayakan
isterinya.

Pukulannya pun pukulan yang tidak melukai, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu alaihi
wa sallam:


Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. [2]

Pada zaman Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, ada sebagian Shahabat yang memukul isterinya,
kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melarangnya. Namun Umar bin al-
Khaththab radhiyallaahu anhu mengadukan atas bertambah beraninya wanita-wanita yang
nusyuz (durhaka kepada suaminya), sehingga Rasul memberikan rukhshah untuk memukul
mereka. Para wanita berkumpul dan mengeluh dengan hal ini, kemudian Rasul shallallaahu
alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul isterinya) bukan orang yang baik di antara
kamu. [3]

Dari Abdullah bin Jamah bahwasanya ia telah mendengar Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
bersabda,

Bagaimana mungkin seseorang di antara kalian sengaja mencambuk isterinya sebagaimana ia


mencambuk budaknya, lalu ia menyetubuhinya di sore harinya? [4]

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang laki-laki yang baik, yaitu
yang baik kepada isteri-isterinya.

Beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya dan aku adalah yang paling baik
kepada isteriku [5]

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-
baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya. [6]

4. Janganlah Sekali-Kali Engkau Menjelekkan Isteri


Contoh ucapan yang dimaksud adalah Semoga Allah menjelekkanmu atau Kamu dari
keturunan yang jelek atau yang lainnya yang menyakitkan hati sang isteri.

Seorang suami telah memilih isterinya sebagai pendamping hidupnya, maka kewajiban dia untuk
mendidik isterinya dengan baik. Setiap manusia tidak ada yang sempurna, sehingga adanya
kekurangan dalam kehidupan berumah tangga merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.

Terkadang isteri memiliki kekurangan dalam satu sisi, dan suami pun memiliki kekurangan dari
sisi yang lain. Tidak selayaknya melimpahkan tumpuan kesalahan tersebut seluruhnya kepada
sang isteri.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Tidak boleh seorang mukmin menjelekkan seorang mukminah. Jika ia membenci satu akhlak
darinya maka ia ridha darinya (dari sisi) yang lain. [7]

Seorang suami, sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk membimbing dan mendidiknya
dengan sabar sehingga dapat menjadi isteri yang shalihah dan dapat melayani suaminya dengan
penuh keridhaan.

Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah Azza wa Jalla atas
kebaikan tabiat isterinya dengan memegang ubun-ubunnya seusai aqad nikah sambil membaca:

Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung
dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang dibawanya. [8]

Apabila isteri Anda salah, keliru atau melawan Anda, maka nasihatilah dengan cara yang baik,
tidak boleh menjelek-jelekkannya, dan doakanlah agar Allah memperbaikinya dan
menjadikannya isteri yang shalihah.

5. Tidak Boleh Engkau Memisahkannya, Kecuali Di Dalam Rumah


Jika seorang suami dalam keadaan marah kepada isterinya atau terjadi ketidakharmonisan di
antara keduanya, maka seorang suami tidak berhak untuk mengusir sang isteri dari rumahnya.
Islam menganjurkan untuk meninggalkan mereka di dalam rumah, di tempat tidurnya dengan
tujuan untuk mendidiknya. Sang suami harus tetap bergaul dengan baik terhadap isterinya,
seperti yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur-an yang mulia, Allah Taala berfirman:

Dan janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali
jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. [Ath-Thalaq : 1]

Juga firman-Nya.


Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
kebaikan yang banyak pada-nya. [An-Nisaa : 19]

Pernikahan adalah ikatan yang kokoh ( miitsaqon gholiidhoo), tidak selayaknya hanya
karena masalah yang kecil dan sepele kemudian tercerai-berai. Bahkan dalam masalah-masalah
yang sangat besar pun, kita diperintahkan untuk bersabar menghadapinya, serta saling
menasihati.

Akan menjadi sangat sulit bagi orang tua (suami dan isteri) untuk membimbing dan mendidik
keturunannya agar menjadi anak yang shalih, manakala sang suami berpisah dengan isterinya.
Sedangkan anak yang shalih merupakan salah satu aset yang sangat berharga, baik untuk
kehidupan kedua orang tuanya di dunia terlebih di akhirat kelak.

Bahkan kata-kata yang mengandung perceraian (thalaq) harus dijauhkan dengan sejauh-jauhnya
meskipun sang suami dalam keadaan marah yang sangat, baik diutarakan dengan sungguh-
sungguh maupun sekedar berkelakar. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda tentang
kalimat thalaq ini:

Tiga hal yang apabila diucapkan akan sungguh-sungguh terjadi, main-mainnya (pun) terjadi,
yaitu nikah, thalaq, dan ruju. [9]

Seseorang ketika dalam keadaan marah, cenderung untuk mengeluarkan kata-kata yang kotor,
perkataan yang jelek, dusta, mencaci maki, mengungkit-ungkit kejelekan lawan bicara,
menyanjung-nyanjung dirinya dan mengeluarkan kalimat yang mengandung kekufuran atau yang
lainnya. Untuk itulah, ketika kita dalam keadaan marah, Rasulullah shallallaahu alaihi wa
sallam memerintahkan kita untuk mengucapkan perkataan yang baik, atau kalau tidak mampu
maka dianjurkan untuk diam, beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Apabila seseorang dari kalian marah, hendaklah ia diam. [10]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qadah 1427H/Desember
2006]
_______
Footnote
[1]. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa
seizin suaminya, dan lainnya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1218 (147)), dari Shahabat Jabir bin
Abdillah radhiyallaahu anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2146), Ibnu Majah (no. 1985), Ibnu
Hibban (no. 1316 -al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/188), dari Sahabat Iyas bin Abdillah bin Abi
Dzubab radhiyallaahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-
Dzahabi.
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4942), Muslim (no. 2855) dan at-Tirmidzi
(no. 2401).
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam al-Musykilul Atsar (VI/343, no. 2523),
Ibnu Majah (no. 1977), dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma. Hadits ini diriwayatkan pula
oleh Ibnu Hibban (no. 1312 -al-Mawaarid) dan at-Tirmidzi (no. 3895), dari Aisyah
radhiyallaahu anha.
[6]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/250 dan 472), at-Tirmidzi (no. 1162)
dan Ibnu Hibban (no. 1311 -al-Mawaarid), dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. Lihat Silsilah
ash-Shahiihah (no. 284).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1469), dari Abu Hurairah radhiyallaahu
anhu.
[8]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim
(II/185), al-Baihaqi (VII/148), dan al-Hakim menshahihkannya, dari Abdullah bin Amr
radhiyallaahu anhuma. Lihat Aadabuz Zifaaf (hal. 92-93).
[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2194), at-Tirmidzi (no. 1184), Ibnu Majah
(no. 2039), al-Hakim (II/198) dan Ibnul Jarud (no. 712) dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu.
Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1826).
[10]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 245
dan 1320), Ahmad (I/239, 283, 365), dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma, lihat Silsilah al-
Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1375).

Sumber: https://almanhaj.or.id/2083-jangan-memukul-wajahnya-janganlah-sekali-kali-engkau-
menjelekkan-isteri.html
Hukum Istri Pergi Meninggalkan Rumah
dan Melawan Suami Dalam Islam

SepercikHikmah - Berbagai alasan untuk melegalkan atau


membenarkan tindakan seorang istri meninggalkan suaminya dengan pergi
menginap ke tempat lain (teman, saudara, kantor, ortu dll) dengan harapan
dapat menyelesaikan masalah atau hanya memberi pelajaran kepada suami
agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Misalnya, Suami tidak perhatian,
selingkuh, sakit hati dengan perkataan atau perbuatan suami, penghasilan
kurang, suasana rumah tidak menyenangkan dan lain-lain.

Tindakan isteri seperti ini meninggalkan suami sering dianggap ringan atau
sepele oleh sebagian wanita yang tidak mengerti hukum islam tapi jika
tindakan ini dilakukan terhadap seorang pria muslim yang paham hukum
agama akan sangat fatal dan berat akibatnya karena agama Islam melarang
dengan keras hal tersebut.

Isteri meninggalkan rumah tidak akan menyelesaikan masalah justru akan


memperberat masalah, suami akan mempunyai kesan istri lari dari tanggung
jawab kewajiban sebagai isteri, membuat suami menjadi sakit hati sehingga
menjadi ringan untuk menceraikannya serta menambah fitnah bagi diri
sendiri dan suaminya. Apalagi jika isteri pergi meninggalkan rumah karena
dimarahi suami yang menasehatinya sungguh sangat berdosa karena
perbuatan isteri ini akan di laknat oleh Allah dan malaikatpun memarahinya
(lihat Hadist Riwayat Abu Dawud di bawah) .

Setan selalu berusaha untuk membujuk dan mengajak manusia untuk


berbuat sesuatu yang tidak diridhoi Allah dan rasulnya. Setan bernama
Dasim tugasnya membujuk seorang isteri agar tidak taat kepada suami dan
mempengaruhi seorang isteri agar pergi meninggalkan rumah dengan
berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan di atas meskipun sudah
jelas bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh Quran dan Hadist. Alasan sakit
hati karena perbuatan / perkataan suami, yang kadang dijadikan alasan
isteri untuk membenarkan tindakan meninggalkan rumah dan suami.
Seringkali ada Pihak ketiga (PIL) yang kadang menjadikan seorang isteri
semangat meninggalkan suami meskipun tidak semuanya demikian.

Pada Intinya seorang isteri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya, jadi meskipun dinasehati dan kurang diperhatikan suami saat
isteri dalam keadaan sakit bukan berarti bisa melanggar aturan Allah. Orang
sakit kurang makan bukan berarti dia boleh mencuri makanan karena
mencuri adalah dosa apapun alasannya. Begitu juga sakit yang diberikan
oleh Allah kepada seorang isteri sebagai pemberi peringatan dari Allah
bukan berarti seorang istri boleh menyakiti hati suami dengan pergi
meninggalkan rumah dan meninggalkan suaminya.

Istri yang pergi dari rumah, meninggalkan suami menginap di tempat lain
dan meninggalkan suaminya dalam keadaan marah sedangkan suami tidak
ridho apapun alasannya, bagi wanita yang mengerti hukuman Allah sangat
berat pasti akan sangat menyesal dan tidak akan pernah berani satu kalipun
melakukannya karena jika seorang Isteri pergi meninggalkan rumah dan
suaminya artinya :

1. Isteri tersebut bukan seorang wanita yang baik .

Isteri meninggalkan suami atau pergi tanpa izin suami bukanlah termasuk
golongan wanita yang baik karena isteri yang baik akan menghormati
pemimpinnya (suaminya). Pemimpin rumah tangga dalam Islam adalah
suami bukan Isteri karena Suami mempunyai kedudukan setingkat lebih
tinggi dari isterinya. Dan yang paling penting adalah suami telah memberi
makan maupun tempat tinggal bagi isterinya jadi sudah sewajarnya jika
isteri berkewajiban untuk taat pada suaminya selama suami menyuruh
dalam kebaikan (bukan kemaksiatan) Firman Allah dalam surat An Nisa ayat
34 dan Al Baqoroh ayat 228:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS.
An-Nisa 34)

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya


menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana Surat Al Baqoroh ayat 228

Seorang isteri yang pergi meninggalkan rumah tanpa izin suami dengan
alasan apapun dan dalam kepergiannya tidak bermaksiatpun tetap saja
termasuk wanita tidak baik (pembangkang) apalagi jika dia pergi dengan
berpakaian yang tidak sopan seperti wanita pada jaman Jahiliyah

Dan Surat Al Ahzab ayat 33 yaitu :

Menetaplah di rumah kalian ( para wanita ), dan jangan berdandan


sebagaimana dandanan wanita-wanita jahiliyah. Dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, dan patuhilah ( wahai para wanita) Allah dan rasul-Nya.

Sabda Nabi Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam : Barangsiapa yang taat


kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yang tidak
taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yang taat
kepada Pimpinan (Islami) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan
barangsiapa yang tidak taat kepada pimpinan (islami) maka berarti ia telah
tidak taat kepadaku.HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Warail
Imam, juz-IV, hal.61

Jika seorang suami karena suatu hal (Penghasilan kurang, PHK, Kecelakaan
dll) suami menjadi kurang / tidak dapat memberikan kewajibannya terhadap
isteri bukan berarti isteri boleh meninggalkan rumah, karena memang tidak
ada hukum Islam yang membolehkan seorang Isteri meninggalkan rumah
tanpa izin karena faktor tersebut, karena jika suami tidak dapat melakukan
kewajibannya maka gugatan cerai pada suami adalah jalan terbaik bukan
malah pergi meninggalkan rumah atau suaminya
2. Isteri meninggalkan suami sama saja dengan menjerumuskan
dirinya sendiri ke neraka karena suami berperan apakah isterinya
layak masuk surga atau neraka.

Isteri pergi meninggalkan suami artinya dia tidak taat kepada suaminya
padahal jika seorang isteri tahu bahwa taat pada suami bisa mengantar dia
ke surga pastilah dia akan menyesal melakukan hal itu sesuai dengan hadist
Rasullullah Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam :

Dari Husain bin Muhshain dari bibinya berkata: Saya datang menemui
Rasulullah Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam. Beliau lalu bertanya: Apakah
kamu mempunyai suami? Saya menjawab: Ya. Rasulullah Shollallahu`
Alaihi Wa Ssallam bertanya kembali: Apa yang kamu lakukan terhadapnya?
Saya menjawab: Saya tidak begitu mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal
yang memang saya membutuhkannya . Rasulullah Shollallahu` Alaihi Wa
Ssallam bersabda kembali: Bagaimana kamu dapat berbuat seperti itu,
sementara suami kamu itu adalah yang menentukan kamu masuk ke surga
atau ke neraka (HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad dengan Hadis Hasan).

3. Isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami akan dilaknat oleh


Allah dan dimarahi oleh para malaikat.

Sabda Rasullulah Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam :

Hak suami terhadap isterinya adalah isteri tidak menghalangi permintaan


suaminya sekalipun semasa berada di atas punggung unta , tidak berpuasa
walaupun sehari kecuali dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika dia tetap
berbuat demikian, dia berdosa dan tidak diterima puasanya. Dia tidak boleh
memberi, maka pahalanya terhadap suaminya dan dosanya untuk dirinya
sendiri. Dia tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.
Jika dia berbuat demikian, maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat
memarahinya kembali , sekalipun suaminya itu adalah orang yang alim.
(Hadist riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi daripada Abdullah Umar)

4. Memusuhi suami sama saja dengan memusuhi Allah.

Seorang isteri yang meninggalkan suami dan memusuhi suaminya padahal


suami baik pada isterinya. Sangatlah tidak mungkin masuk surga karena
bagaimana mungkin seorang isteri berharap masuk surga jika Allah
memusuhinya. Bahkan jika sampai suami terluka hati / fisiknya maka Allah
dan Rasullullah Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam akan memisahkan diri dari
isteri tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Hadist Rasullullah Shollallahu` Alaihi
Wa Ssallam :

Tidaklah istri menyakiti suami di dunia kecuali ia bicara pada suami dengan
mata yang berbinar, janganlah sakiti dia (suami), agar Allah tidak
memusuhimu, jika suamimu terluka maka dia akan segera memisahkanmu
kepada Kami (Allah dan Rasul). HR. Tirmidzi dari Muadz bin Jabal.

5. Isteri meninggalkan suami tidak ada nafkah baginya dan layak


mendapat azab.

Seorang Ulama dan pemikir Islam yang sangat terkenal akan kecerdasannya
dan sangat dikagumi oleh para ulama pada waktu itu, penghafal Quran dan
Ribuan Hadist, ahli Tafsir dan Fiqh dari Harran, Turki yaitu Ibnu Taimiyah
sampai berkata: Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak
ada hak nafkah dan pakaian. Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari
rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami), Dan apabila ia keluar dari
rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat nusyuz (durhaka)
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat adzab.

Ibnu Taimiyah (1263-1328) adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh
berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan
masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau
lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu
terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga
terpenuhi cita-citaku.

6. Taat kepada suami pahalanya seperti Jihad di jalan Allah

Jika seorang isteri taat kepada suaminya serta tidak pergi meninggalkan
suami maka pahalanya sama dengan jihad di jalan Allah. Perhatikan hadist
berikut: Al- Bazzar dan At Thabrani meriwayatkan bahwa seorang wanita
pernah datang kepada Rasullullah Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam lalu
berkata : Aku adalah utusan para wanita kepada engkau untuk
menanyakan : Jihad ini telah diwajibkan Allah kepada kaum lelaki, Jika
menang mereka diberi pahala dan jika terbunuh mereka tetap diberi rezeki
oleh Rabb mereka, tetapi kami kaum wanita yang membantu mereka ,
pahala apa yang kami dapatkan? Nabi Shollallahu` Alaihi Wa Ssallam
menjawab : Sampaikan kepada wanita yang engkau jumpai bahwa taat
kepada suami dan mengakui haknya itu adalah sama dengan pahala jihad di
jalan Allah, tetapi sedikit sekali di antara kamu yang melakukanya.

Jadi akan sangat tidak mungkin bagi seorang isteri yang mengaku mengerti
hukum agama Islam tapi pergi meninggalkan tanggung jawab sebagai isteri
meninggalkan suaminya dari rumah.

Oleh karena itulah sangatlah penting untuk memilih istri yang mengerti akan
hukum agama dan memilih isteri itu bukan karena kecantikan atau hartanya
tapi dipilih karena agamanya agar selamat tidak terjerumus kedalam
panasnya Api neraka. Sabda Rasullullah Shollallahu` Alaihi Wa
Ssallam :Wanita itu dinikahi karena: hartanya, kecantikannya,
keturunannya dan agamanya. maka pilihlah agamanya agar kamu selamat
Hadist Shahih Bukhari.

Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia adalah


isteri yang baik (sholehah) Hadist Shahih Muslim.

Lebih mulia seorang wanita memberi nasehat atau berbicara dari hati ke hati
dengan suami bukan kepada orang lain jika terjadi ketidak adilan pada
dirinya daripada langsung pergi meninggalkan suaminya . Seorang isteri
yang benci terhadap suaminya dan memang berniat meninggalkan suami
supaya di cerai dan kemudian berharap memperoleh pasangan pengganti
atau sudah ada pengganti yang lebih baik menurut dirinya, jelas sekali
wanita itu digoda setan agar wanita ini melihat lelaki lain lebih menarik dari
suaminya sehingga timbul rasa bosan, cekcok dll dan akhirnya berbuntut
pada perceraian.

Allah Subhanahu`Wa Ta`Ala, telah mengingatkan kita agar tidak membenci


atau menyukai sesuatu padahal kita tidak tahu rahasia dibalik itu, dalam Al
Baqoroh ayat 216 : Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui

Saya lanjutkan, Usaha setan bisa dikatakan sukses besar bila berhasil
menjadikan wanita itu cerai dan berpredikat janda karena wanita ini akan
lebih mudah digoda sebab tidak ada yang menjaganya (suami) . Wanita ini
akan merasa bebas tidak ada ikatan, lebih nyaman karena tidak ada yang
mengontrol (suami), selanjutnya jika tidak kuat imannya (kebanyakan tidak
kuat) akan timbul banyak fitnah dan dosa bagi wanita itu di kemudian hari.
Godaan setan akan lebih kuat pada saat janda karena faktor alami
kebutuhan batin selain itu akan banyak lelaki yang merayu yang
memanfaatkan kondisi janda sehingga menyeret wanita itu dalam lembah
dosa yang tiada berkesudahan sampai wanita itu sadar jika suatu saat sakit
atau sudah berumur tidak ada yang menemani sampai meninggal. Pada
umumnya Wanita yang menjanda karena tergoda pria lain akan lebih mudah
tergoda nafsunya apalagi jika dicerai pada umur 40 tahun kebawah.

Pernikahan adalah hal yang suci melibatkan keluarga, handai taulan dan
tetangga jadi tidak sepantasnyalah jika seorang isteri meninggalkan
suaminya untuk alasan emosi pribadi dengan meninggalkan perasaan
kebahagiaan keluarganya sendiri atau keluarga pasangannya.

Atas kehendak Allah, rezeki yang lebih bisa diberikan pada isteri bukan pada
suami, jadi janganlah menjadi tinggi hati jika suatu saat rezki isteri melebihi
suami, merasa lebih bermanfaat dari suami, merasa bisa hidup sendiri dan
dapat mengatasi sendiri segala hal, tidak mau diatur sehingga tidak patuh
kepada suami. Inilah tanda-tanda kehancuran suatu kapal pernikahan
karena ada 2 nahkoda yang mengendalikan kapal dengan arah berlawanan.
Kapal Pernikahan akan bisa selamat sampai tujuan (surga dunia akhirat) jika
hanya punya satu arah yang disepakati dan diusahakan bersama.
Bagaimanapun juga tujuan hidup akan lebih mudah dicapai jika ada
keharmonisan sejati yang hanya dapatdicapai dalam suatu keluarga yang
lengkap ada suami. Harta yang dibanggakan dan dikumpulkan bisa hilang
dalam sekejab (kebakaran, tsunami dll) tapi mempunyai suami atau isteri
yang sholeh adalah harta tidak ternilai yang tidak akan hilang kecuali mati.
Oleh karena itulah peran isteri terhadap suami sangat besar dalam
mengarungi samudera kehidupan agar tujuan akhir bahagia dunia akhirat
dapat segera tercapai sehingga Allah pun akan memberi pahala yang besar
untuk isteri yang taat dan patuh kepada suaminya

Banyak Hadist yang menjelaskan pahala seorang Istri yang taat pada
suaminya :

Jika seorang isteri itu telah menunaikan solat lima waktu dan berpuasa
pada bulan ramadhan dan menjaga kemaluannya daripada yang haram
serta taat kepada suaminya, maka dipersilakanlah masuk ke syurga dari
pintu mana sahaja kamu suka. (Hadist Riwayat Ahmad dan Thabrani)

Sesungguhnya setiap isteri yang meninggal dunia yang diridhoi oleh


suaminya, maka dia akan masuk syurga. (Hadist riwayat Tirmizi dan Ibnu
Majah)

Jika isteri memang tidak taat kepada suaminya, setelah dinasehati secara
halus, berpisah ranjang dan dinasihati secara keras tidak berhasil maka
renungkanlah :

Surat An Nur ayat 3 yaitu :

Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina pula atau
perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki pezina pula
atau laki-laki musyrik , dan diharamkan yang demikian itu atas orang yang
beriman.

Pikirkanlah kembali apakah wanita ini cocok dijadikan pasangan / isteri bagi
pria beriman, dan dapat membawa kebaikan bagi diri sendiri dan keluarga,
ikhlaskan saja wanita ini jika ingin berpisah mungkin jodohnya adalah sesuai
dengan apa yang di firmankan Allah diatas.
Nasehatilah isterimu dengan sabar dan penuh cinta kasih, minta maaflah
kepada isteri jika menyakiti hati isteri, bagaimanapun juga mutiara yang
kotor jika digosok tiap hari akan menjadi berkilauan. Hasilnya mutiara ini
bisa benar-benar menjadi perhiasan dan surga dunia bagimu.

Ingatlah isterimu bukanlah Siti Khadijah yang baik, taat dan penuh cinta
kasih pada suaminya, Istrimu adalah wanita jaman sekarang yang butuh
bimbingan untuk menjadi wanita yang solehah. (Akhwatmuslimah)

Sebarkan semoga bermanfaat

Sumber | republished by SepercikHikmah


Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam, Demi Kebaikan Anak

HAK PENGASUHAN ANAK DALAM ISLAM, DEMI KEBAIKAN ANAK

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam perspektif ilmu fiqih dengan
istilah ahkam al hadhonah. Islam telah mengatur sedemikian rupa, untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian
yang berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya silaturahmi dan
berdampak psikologi pada diri anak.

Makalah berikut mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari
kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Cetakan I, Tahun 1423H,
Darul Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.

HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH


Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan
hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang
masih kecil dan belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang
gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani
urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan
kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan
pendidikan yang terbaik.

Syariat Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan memberikan
kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan
terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang,
gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat
menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa.
Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak.
Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya,
sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.

IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK


Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya.
Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian
dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah
yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak
mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling
dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun
tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami
(ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada
ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri
ayahnya (suaminya).

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu membuat satu ungkapan yang indah:

Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja
dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak
dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan
ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara
menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam
konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti
mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syariat. [1]

Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah
mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui
dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya
dariku.

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menjawab:

Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah. [2]

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia
diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.

UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK


Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa
mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di
antaranya sebagai berikut.

Pertama. Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih tersisa sedikit.
Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun
seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan
terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.

Kedua. Orang Fasiq.


Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti,
ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak
terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak
sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang
tentunya berdampak pada pendidikan anak.

Ketiga. Orang Kafir.


Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih
buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan,
ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama
kufurnya.

Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak
ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain).
Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi,
jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan
dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.

Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah
dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak
dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan
kandungan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :

Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.

Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi
anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka
seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan
kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.

KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?


Pada usia yang telah ditentukan syariat, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama
dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.

Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil
hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak
boleh melekat padanya.

Kedua : Si anak sudah aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah
pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih
mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.

PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama
ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun,
berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang
pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah Umar
dan Ali.

Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, Suamiku ingin
membawa pergi anakku, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada bocah
itu, anaknya: Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau
inginkan! Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua
berlalu.[3]

Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam.
Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh
menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti
menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.

Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia
berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.

Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka
ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat
istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).

Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia
menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain
itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun,
bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi
ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau
perbuatan haram.

Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli
dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak
mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya
memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun),
bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak
mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka
ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti
ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang
ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang
tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya. [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya
menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani
kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri
(putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya,
maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]

SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN
DENGAN PENGASUHAN ANAK
Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan
persoalan yang kadang muncul.

Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal
sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan
seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang
mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah,
sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak
terurus.

Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana
tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih
sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa
melihat keadaan anaknya.

Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan
maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak
yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara
bahaya baginya.

Ibnul Qayyim menyatakan: Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk
menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh
anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang
dimaksudkan syariat. Sesungguhnya syariat menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh
anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk
menengok setiap waktu.[6]

Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan
memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak
tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri.
Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat
berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi
persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun
berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu,
tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu alam.
(Mas)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]

Footnotes
[1]. Majmu al Fatawa (17/216-218).
[2]. HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya
sebagai hadits hasan.
[3]. HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).
[4]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/131).
[5]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).
[6]. Ilamul-Muwaqqiin (2/295).

Anda mungkin juga menyukai