Disusun oleh:
Andra Wahdini
10719040
Kelompok JM-1
2. Toluen 2. Timbangan
3. Air suling 3. Gelas ukur
Keterangan:
S : volume akhir (skala akhir)
R : volume awal (skala awal)
Diketahui: bobot simplisia = 2 gram
Keterangan:
X: bobot akhir setelah mencapai bobot tetap
V : bobot krus kosong setelah dipijar
Keterangan:
Y : bobot akhir setelah mencapai bobot tetap (bagian yang tidak larut
asam)
V : bobot krus kosong setelah dipijar
VI. PEMBAHASAN
6.1 Penetapan Kadar Air
Menurut UU No. 20 Tahun 2014, standardisasi adalah proses
merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara,
memberlakukan, dan mengawasi standar yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
Tujuan standardisasi, diantaranya sebagai berikut (BSN, 2014):
Kesesuaian pada Tujuan, yaitu tiap produk dan proses agar dapat
memenuhi kebutuhan pemakai. Kemudian, pengendalian
Keanekaragaman yaitu, penerapan standar berguna meminimalkan
perbedaan serta keragaman yang merugikan dan tidak diperlukan.
Lalu, kompatibilitas, kompatibilitas merupakan kesesuaian proses dan
bahan untuk digunakan secara bersamaan dengan kondisi spesiik
untuk memenuhi persyaratan relevan, tanpa menimbulkan interaksi
yang tidak diharapkan. Selanjutnhya, menjaga mutu, keamanan, dan
efikasi standardisasi simplisia maupun produk bahan alam lainnya
yang dilakukan untuk menjamin mutu, keamanan, dan efikasi bagi
pemakainya. Kemudian, alih teknologi standar yang merupakan media
terbaik untuk alih teknologi, dikarenakan standar dirumuskan dan
ditetapkan dengan mengacu pada hasil perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengalaman di berbagai bidang.
Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan
aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang fokus terhadap aktivitas
farmakologis tertentu dari senyawa tersebut. Parameter spesifik
meliputi, identitas, organoleptik (warna, bentuk, rasa), uji kandungan
kimia, pola kromatogram, dan kadar kandungan senyawa tertentu.
Parameter nonspesifik adalah segala aspek yang tidak bekaitan
dengan aktivitas farmakologi secara langsung namun mempengaruhi
aspek keamanan dan stabilitas. Parameter nonspesifik meliputi susut
pengeringan, bobot jenis, residu pestisida, kadar air, kadar abu,
cemaran logam berat, cemaran mikroba atau kapang. Persyaratan
mutu simplisia terdiri dari parameter spesifik dan nonspesifik.
Parameter spesifik simplisia meliputi identitas simplisia, pemerian,
mikroskopis, senyawa identitas ekstrak (deskripsi tata nama ekstrak,
nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan serta
senyawa identittas yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode
tertentu), pola kromatografi, dan kandungan kimia simplisia
sedangkan parameter non spesifik meliputi susut pengeringan dan
kadar abu. Acuan standardisasi simplisia adalah Farmakope Herbal
Indonesia, Materia Medika Indonesia, dan WHO Quality Control
Methode. Simplisia dikatakan bermutu jika memenuhi semua syarat
mutu yang telah ditetapkan baik spesifik dan nonspesifikf.
Menurut FI ed III, yang dimaksud dengan bobot tetap adalah berat
pada penimbangan setelah zat dikeringkan selama satu jam tidak
berbeda lebih dari 0.5 mg dari berat zat pada penimbangan
sebelumnya. Penetapan kadar air simplisia penting dilakukan untuk
memberikan batasan maksimum kandungan air di dalam simplisia,
karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuh bakteri dan
jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam
simplisia. Batasan kadar air dalam simplisia adalah kurang dari 10%.
Selain itu, air juga dapat menimbulkan reaksi enzimatis. Terdapat
beberapa metode penetapan kadar air diantaranya adalah, dengan
metode destilasi (azeotrope), gravimetri, dan titrasi Karl Fischer.
Campuran azeotorope adalah merupakan campuran komponen pada
komposisi tertentu dimana komposisi tersebut tidak bisa berubah
hanya melalui distilasi biasa. Ketika campuran azeotrop dididihan,
fasa uap yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama dengan fasa
cairnya. Campuran azeotrop ini sering disebut juga constant boiling
mixture atau dikenal dengan campuran didih tetap. Azeotrop memiliki
titik didih tertentu dan apabila titik didih azeotrop lebih kecil dari titik
didih konstituennya disebut azeotrop positif, atau lebih besar dari titik
didih konstituennya disebut azeotrop negatif. Contoh untuk azeotrop
positif adalah etanol 95,63% dan air. Etanol mendidih pada 78,4 °C
dan air mendidih pada 100 °C, tetapi azeotrop mendidih pada 78,2 °C,
yang artinya lebih rendah dari salah satu penyusunnya. Secara
umum, azeotrop positif mendidih pada suhu yang lebih rendah
daripada konstituennya. Dikenal sebagai campuran didih minimum
atau tekanan azeotrop maksimum. Contoh azeotrop negatif adalah
asam klorida pada konsentrasi 20,2% dalam air. Asam klorida
mendidih pada -84 °C dan air pada 100 °C, tetapi azeotrop mendidih
pada 110 °C, yang lebih tinggi daripada salah satu konstituennya.
Secara umum, azeotrop negatif mendidih pada suhu yang lebih tinggi
daripada konstituennya. Azeotrop negatif juga disebut campuran didih
maksimum atau tekanan azeotrop minimum (Kamathewatta et al.,
2014).
Destilasi adalah suatu metode pemisahan campuran yang
didasarkan pada perbedaan tingkat volatilitas (kemudahan suatu zat
untuk menguap) pada suhu dan tekanan tertentu. Destilasi
merupakan proses fisika dan tidak terjadi adanya reaksi kimia selama
proses berlangsung. Dalam penyulingan, campuran zat dididikan
sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke
dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan
menguap terlebih dahulu. Metode ini termasuk unit operasi kimia jenis
perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori
bahwa pada suatu larutan. Masing-masing komponen akan menguap
pada titik didinya (titik didih ethanol 78°C). Kelebihan dari destilasi
(azeotrope) adalah lebih murah, dapat memisahkan zat dengan
perbedaan titik didih yang tinggi, dan produk yang dihasilkan benar-
benar murni. Sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa untuk
senyawa yang tidak tahan panas dan lebih sulit karena harus
menjenuhkan toluennya, hanya dapat memisahkan zat yang memiliki
perbedaan titik didih yang besar.
Penetapan kadar air dengan metode gravimetri adalah didasarkan
pada penimbangan bobot. Selisih bobot bahan segar dan bobot
keringnya merupakan kadar air yang dicari yang terkandung dalam
bahan yang diperiksa. Pada metode ini pengeringan bahan dilakukan
dengan menggunakan pemanasan. Kehilangan bobot akibat proses
pengeringan dianggap sebagai bobot kandungan air yang terdapat
dalam bahan yang menguap selama pemanasan (Nadia, 2010).
Kelebihan dari metode ini adalah relatif cepat, sangat sederhana, dan
dapat digunakan untuk jumlah sampel yang banyak sedangkan
kekurangannya adalah terjadi dekomposisi selama pengeringan dan
terjadi penguapan komponen volatil. Metode gravimetri dilakukan
apabila komponen yang terkandung dalam simplisia tidak mudah
terdekomposisi oleh adanya paparan suhu yang tinggi. Berikut
perhitungan dalam penentuan kadar air melalui metode analisis
gravimeteri, yaitu :
Kadar air basis basah (g/100 g bahan basah) = x 100
Keterangan:
W : bobot sampel sebelum dikeringkan (gr)
W1 : bobot sampel dan cawan kering (gr)
W2 : bobot cawan kosong (gr)
Selanjutnya adalah penetapan kadar air dengan metode Titrasi
Karl-Fischer merupakan metode yang digunakan untuk mengukur
kadar air pada bahan berupa cairan maupun beberapa produk kering.
Metode ini menggunakan reagensia Karl Fischer yang terdiri dari SO2,
piridin dan iodin. Prinsip metode ini adalah dengan melakukan titrasi
sampel dengan larutan iodin dalam methanol dan piridin. Apabila
masih terdapat air di dalam bahan maka iodin akan bereaksi, tetapi
apabila air habis maka iodin akan bebas (Winarno, 2004). Dalam
memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan
akhir titrasi akan memberikan warna hijau. Kelebihan dari metode ini
adalah memberikan nilai yang tepat atau akurat, dikerjakan dengan
cepat, dapat menentukan kadar air hingga 100 ppm, sedangkan
kekurangannya adalah reagen Karl-Fischer bersifat tidak stabil dan
harus dilakukan standardisasi terlebih dahulu agar tidak menghasilkan
hasil yang error. Metode Titrasi Karl Fischer digunakan ketika tidak
ada ikatan rangkap dan tidak bereaksi dengan reagen yaitu iodin dan
sulfur dioksida.
Metode penjenuhan toluen ada 2 yaitu, diantaranya :
1. Metode Ekstraksi Cair-Cair
Campurkan air dan toluene dengan perbandingan Volume 1:10
dalam Corong pisah, sehingga diperoleh jumlah volume yang didapat
20 mL : 200 mL kemudian dikocok beberapa menit agar toluena
terjenuhkan dan didiamkan sekitar sejam agar pemisahan sempurna
yaitu toluene berada di bagian atas dan air berada dibagian bawah
karena bobot jenis toluene lebih kecil dibandingkan bobot jenis air
yaitu 0.874 sedangkan bobot jenis air yaitu 1 gr/ mL. Kelebihan: dapat
beroperasi pada kondisi ruang, dapat memisahkan sistem yang
memiliki sensitivitas terhadap temperature, dan kebutuhan energinya
relatif kecil. Kekurangan: waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan
pelarut dalam jumlah yang banyak dan ada kemungkinan senyawa
tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada
suhu ruang,
2. Metode Destilasi
Sebanyak 200 mL toleun dan 2 mL air suling dimasukkan ke
dalam labu alas bulat, didestilasi selama 2 jam, kemudian toleuen
didinginkan selama 30 menit dan volume air pada tabung penerima
dibaca dengan ketelitian 0.05. Kelebihan: dapat memisahkan zat
dengan perbedaan titik didih yang tinggi, produk yang dihasilkan
murni. Kekurangan: membutuhkan waktu destilasi yang lebih panjang
untuk hasil yang banyak.
Syarat pelarut yang dapat digunakan dalam azeotrope untuk
menentukan kadar air adalah dapat membentuk campuran azeotrope
dalam air dan tidak bercampur dengan air. Dalam metode destilasi
azeotrop dilakukan dengan menambahkan toluene. Toluene berperan
sebagai entrainer. Fungsi dari entrainer adalah untuk mecahin ikatan
air dengan simplisia sehingga mampu menarik airnya selain itu,
mampu mempengaruhi volatilitas salah satu komponen dalam
campuran. Ketika, entrainer ditambahkan ke dalam campuran
azeotrop maka akan terbentuk ternary azeotrope yang kemudian
didestilasi sehingga akan didapatkan salah satu komponen murninya.
Selain toluene, senyawa-senyawa seperti benzena, n- pentana,
sikloheksana, heksana, n-heptana, isooktana, aseton, dietil eter, dan
polimer dapat digunakan sebagai entrainer (Kumar et al., 2010).
Senyawa lainnya adalah methanol, diklorometana, metil asetat, dan
xylen. Jika tidak ada toluene sebagai entrainer maka tidak akan
terbentuk ternary azeotrope dan tidak diperoleh komponen murninya.
Penentuan kadar air dilakukan sebagai suatu uji kualitas dari
bahan baku dan hanya air yang dapat diukur, sedangkan susut
pengeringan merupakan semua zat yang menguap termasuk
kandungan air dan semua pelarut akan terukur. Susut pengeringan
merupakan analisis yang tidak spesifik, dikarenakan menghilangkan
tidak hanya air namun, seluruh komponen yang mudah menguap
seperti alkohol dari sampel.
VII. KESIMPULAN
1. Kadar air dalam sampel simplisia daun jambu adalah 15%