Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK FA3221

PENETAPAN KADAR AIR DAN KADAR ABU

Tanggal Praktikum: Jumat, 1 April 2022

Tanggal Pengumpulan: Jumat, 8 April 2022

Disusun oleh:
Andra Wahdini
10719040
Kelompok JM-1

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI ANALITIK


PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
I. TUJUAN
1. Menentukan kadar air dalam suatu sampel simplisia
2. Menentukan kadar abu total dalam suatu sampel simplisia
3. Menentukan kadar abu tidak larut asam pada suatu sampel
simplisia
4. Menentukan kadar abu larut air pada suatu sampel simplisia

II. PRINSIP PERCOBAAN


Penetapan kadar air adalah pengukuran kandungan air pada
simplisia yang telah dikeringkan dan diserbukkan. Tujuan penetapan
kadar air adalah memberikan batasan minimal rentang besarnya
kandungan air di dalam serbuk simplisia tersebut. Persyaratan kadar
air simplisia menurut parameter standar yang berlaku adalah tidak
lebih dari 10 %. Prinsip dari metode ini adalah penguapan ari dari
bahan bersama pelarut yang bersifat immiscible pada suatu
pendinginan yang tetap. Uap dari pelarut ditampung dalam suatu labu
destilat, Jumlah air hasil destilasi bahan dapat langsung ditentukan
dengan memvaca miniskus pada labu destilat (Nadia, 2010). Pereaksi
yang dibutuhkan pada penetapan kadar air adalah toluene jenuh air.
Kadar air ditetapkan dengan memasukkan sejumlah bahan ekstrak
simplisia ke dalam labu kering. Untuk zat yang menyebabkan gejolak
saat mendidih maka ditambahkan suatu bumping secukupnya. Lalu,
dimasukkan toluen jenuh ke dalam labu dan panaskan labu selama 15
menit. Setelah toluen mulai mendidih, penyulingan diatur 2 tetes/ detik,
selanjutnya 4 tetes/detik. Setelah semua air tersuling, pemanasan
dilanjutkan selama 5 menit. Biarkan tabung penerima dalam keadaan
dingin mencapai hingga suhu kamar. Volume air dibaca sesudah
toluen dan air memisah sempurna (Kemenkes, 2017).
Abu merupakan zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu
bahan organik. Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan bobot
setelah pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan
sebelum terjadi dekomposisi dari abu tersebut. Fungsi penentuan
kadar abu adalah untuk mengetahui baawa semakin tinggi kadar abu
dari suatu simplisia, maka semakin buruk kualitasnya. Penetapan
kadar abu total bertujuan untuk mengetahui kandungan total mineral
dalam simplisia. Jika berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
didapat kadar abu total dari simplisia adalah 7,753 % ± 1,37% dan
hasil penentuan kadar abu tak larut asam simplisia yang digunakan
menunjukkan kadar abu tak larut dalam asam adalah 0,766% ±
0,815% maka, kadar abu tak larut asam ini menunjukkan jumlah abu
yang diperoleh dari faktor eksternal, bersumber dari pengotor yang
berasal dari pasir atau tanah silikat (Depkes RI, 2000:17). Penetapan
kadar abu total dilakukan dengan menimbang simplisia sebanyak 2 g
dan dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah ditara dan dipijar,
pijarkan secara perlahan hingga suhu yang menyebabkan senyawa
organic dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal
unsur mineral dan anorganik saja yaitu pada suhu 600 ± 25°C,
dinginkan dan timbang. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan
uji, dinyatakan dalam % b/b. Penetapan kadar abu yang larut dalam
air, menggunakan abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total
didihkan dengan air selama 5 menit. Lalu, kumpulkan bagian yang
tidak larut menggunakan kertas saring bebas abu dan panaskan serta
pijar hingga mencapai bobot tetap. Lalu, hitung kadar abu tersebut.

III. BAHAN DAN ALAT


Tabel 3.1 Penetapan Kadar Air
Bahan Alat
1. Sampel simplisia 1. Alat distilasi azeotrop

2. Toluen 2. Timbangan
3. Air suling 3. Gelas ukur

4. Asam kromat 4. Mantel pemanas atau kompor dan


penangas udara

Tabel 3.2 Penetapan Kadar Abu


Bahan Alat
1. Sampel simplisia 1. Krus silika
2. Akuades 2. Tanur (pemanas suhu tinggi)
3. HCl encer 3. Krus kaca masir
4. Kertas saring bebas abu 4. Timbangan analitis
5. Erlenmeyer

IV. METODE PERCOBAAN


4.1 Penetapan Kadar Air
Tabung penerima dan pendingin dibersihkan dengan asam pencuci
terlebih dahulu. Lalu dibilas dengan air dan dikeringkan dalam
lemari pengering. Kemudian, ke dalam labu kering, dimasukkan
sejumlah simplisia yang mengandung 2-4 mL air. Untuk simplisia
yang dapat menyebabkan gejolak mendadak (bumping)
ditambahkan pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga
mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler kurang lebih
100 mm yang salah satu ujungnya tertutup. Selanjutnya,
dimasukkan 200 mL toluene yang telah dijenuhkan dengan air ke
dalam labu, dan dihubungkan alat destilasi. Lalu, dipanaskan labu
dengan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mendidih disuling
dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes/detik. Hingga sebagian air
tersuling. Lalu, dinaikkan kecepatan penyulingan hingga 4
tetes/detik. Setelah semua air tersuling, dicuci bagian dalam labu
pendingin dengan toluene jenuh air, lalu dibersihkan dengan sikat.
Lanjutkan penyulingan selama 5 menit. Lalu, dibiarkan tabung
penerima sampai dingin. Jika tetes air yang melekat pada tabung
pendingin dan tabung penerima, digosok dengan karet yang
dikaitkan pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi dengan
toluene hingga tetesan air turun. Kemudian, setelah air dan toluene
memisah sempurna, dibaca volume air, dan dihitung kadar air
dalam %
4.2 Penetapan Kadar Abu Total
Ditimbang seksama 2 gram sampel yang telah diserbuk,
dimasukkan dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara,
diratakan. Lalu, dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
dinginkan, ditimbang. Jika arang tidak dapat dihilangkan,
ditambahkan air panas, lalu disaring melalui kertas saring bebas
abu. Kemudian, dipijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang
sama. Lalu, dimasukkan filtrat ke dalam krus, lalu diuapkan,
dipijarkan hingga bobot tetap, dan ditimbang. Kemudian, dihitung
kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
4.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, didihkan
dengan 25 mL HCl encer selama 5 menit. Lalu, dikumpulkan
bagian yang tidak larut dalam asam, disaring melalui krus kaca
masir atau kertas saring bebas abu, lalu dicuci dengan air panas,
dipijarkan hingga bobot tetap, timbang. Selanjutnya, dihitung kadar
abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.
4.4 Penetapan Kadar Abu Larut Air
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, didihkan
selama 25 mL air selama 5 menit. Lalu, dikumpulkan bagian yang
tidak larut, saring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan
air panas dan dipijarkan selama 15 menit pada suhu tidak lebih dari
4500C, hingga bobot tetap, ditimbang. Kemudian, dihitung kadar
abu yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di
udara.

V. DATA DAN PENGOLAHAN


5.1 Penetapan Kadar Air
Tabel 5.1.1 Data Kadar Air

Data Volume (mL)

Volume Awal 2.8


Volume Akhir 3.1

Kadar air sampel = x 100% ( )

Keterangan:
S : volume akhir (skala akhir)
R : volume awal (skala awal)
Diketahui: bobot simplisia = 2 gram

Kadar air sampel = x 100% = 15%

Dapat disimpulkan kadar air dalam sampel simplisia daun jambu


adalah 15%. Kadar air yang bernilai diatas 10% dapat disebabkan
penjenuhan toluene yang belum maksimal.

5.2 Penetapan Kadar Abu Total


Tabel 5.2.1 Data Kadar Abu Total
Bobot (gram)
Data Replikasi
Krus Simplisia 3 Penimbangan Akhir
1 32.7155 2.0013 32.8291 32.8283 32.8284
2 34.6968 2.0005 34.8112 34.8015 34.8016
3 32.9533 2.0010 33.0698 33.0573 33.0583
Total Abu
4 43.21 2.0010 43.3598 43.3205 43.3193
5 44.4571 1.9919 44.6192 44.5691 44.5683
6 43.5852 1.9914 43.7029 43.6931 43.6933

Kadar abu total sampel : x 100% ( )

Keterangan:
X: bobot akhir setelah mencapai bobot tetap
V : bobot krus kosong setelah dipijar

Replikasi 1 = x 100% = 5.641%

Replikasi 2 = x 100% = 5.238%

Replikasi 3 = x 100% = 5.247%

Replikasi 4 = x 100% = 5.462%

Replikasi 5 = x 100% = 5.582%

Replikasi 6 = x 100% = 5.428%

Rata-rata kadar abu total = 5.433%


Dapat disimpulkan kadar abu total Cumini Cymini Fructus
adalah 5.433%

5.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam


Tabel 5.3.1 Data Kadar Abu Tidak Larut Asam
Bobot (gram)
Data Replikasi
Krus Simplisia 3 Penimbangan Akhir
Abu 1 32.7155 2.0013 32.7191 32.7183 32.7184
Tidak 2 34.6968 2.0005 34.7112 34.7015 34.7016
Larut 3 32.9533 2.0010 32.9698 32.9573 32.9583
Asam

Kadar abu tidak larut asam : x 100% ( )

Keterangan:
Y : bobot akhir setelah mencapai bobot tetap (bagian yang tidak larut
asam)
V : bobot krus kosong setelah dipijar

Replikasi 1 = x 100% = 0.144%

Replikasi 2 = x 100% = 0.239%

Replikasi 3 = x 100% = 0.249%

Rata-rata kadar abu tidak larut asam = 0.21%


Dapat disimpulkan kadar abu tidak larut asam Cumini Cymini
Fructus adalah 0.21%

5.4 Penetapan Kadar Abu Larut Air


Tabel 5.4.1 Data Kadar Abu Larut Air
Bobot (gram)
Data Replikasi
Krus Simplisia 3 Penimbangan Akhir
Abu 1 43.21 2.0010 43.2798 43.2705 43.2693
Larut 2 44.4571 1.9919 44.6192 44.5191 44.5183
Air 3 43.5852 1.9914 43.6829 43.6431 43.6433

Kadar abu larut air : x 100% ( )


Keterangan:

X : bobot krus dan simplisia


Z : bobot akhir setelah mencapai bobot tetap

Replikasi 1 = x 100% = 97.036%

Replikasi 2 = x 100% = 96.927%

Replikasi 3 = x 100% = 97.082%

Rata-rata kadar abu larut air = 97.015%


Dapat disimpulkan kadar abu larut air Cumini Cymini Fructus
adalah 97.015%

VI. PEMBAHASAN
6.1 Penetapan Kadar Air
Menurut UU No. 20 Tahun 2014, standardisasi adalah proses
merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara,
memberlakukan, dan mengawasi standar yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
Tujuan standardisasi, diantaranya sebagai berikut (BSN, 2014):
Kesesuaian pada Tujuan, yaitu tiap produk dan proses agar dapat
memenuhi kebutuhan pemakai. Kemudian, pengendalian
Keanekaragaman yaitu, penerapan standar berguna meminimalkan
perbedaan serta keragaman yang merugikan dan tidak diperlukan.
Lalu, kompatibilitas, kompatibilitas merupakan kesesuaian proses dan
bahan untuk digunakan secara bersamaan dengan kondisi spesiik
untuk memenuhi persyaratan relevan, tanpa menimbulkan interaksi
yang tidak diharapkan. Selanjutnhya, menjaga mutu, keamanan, dan
efikasi standardisasi simplisia maupun produk bahan alam lainnya
yang dilakukan untuk menjamin mutu, keamanan, dan efikasi bagi
pemakainya. Kemudian, alih teknologi standar yang merupakan media
terbaik untuk alih teknologi, dikarenakan standar dirumuskan dan
ditetapkan dengan mengacu pada hasil perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengalaman di berbagai bidang.
Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan
aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang fokus terhadap aktivitas
farmakologis tertentu dari senyawa tersebut. Parameter spesifik
meliputi, identitas, organoleptik (warna, bentuk, rasa), uji kandungan
kimia, pola kromatogram, dan kadar kandungan senyawa tertentu.
Parameter nonspesifik adalah segala aspek yang tidak bekaitan
dengan aktivitas farmakologi secara langsung namun mempengaruhi
aspek keamanan dan stabilitas. Parameter nonspesifik meliputi susut
pengeringan, bobot jenis, residu pestisida, kadar air, kadar abu,
cemaran logam berat, cemaran mikroba atau kapang. Persyaratan
mutu simplisia terdiri dari parameter spesifik dan nonspesifik.
Parameter spesifik simplisia meliputi identitas simplisia, pemerian,
mikroskopis, senyawa identitas ekstrak (deskripsi tata nama ekstrak,
nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan serta
senyawa identittas yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode
tertentu), pola kromatografi, dan kandungan kimia simplisia
sedangkan parameter non spesifik meliputi susut pengeringan dan
kadar abu. Acuan standardisasi simplisia adalah Farmakope Herbal
Indonesia, Materia Medika Indonesia, dan WHO Quality Control
Methode. Simplisia dikatakan bermutu jika memenuhi semua syarat
mutu yang telah ditetapkan baik spesifik dan nonspesifikf.
Menurut FI ed III, yang dimaksud dengan bobot tetap adalah berat
pada penimbangan setelah zat dikeringkan selama satu jam tidak
berbeda lebih dari 0.5 mg dari berat zat pada penimbangan
sebelumnya. Penetapan kadar air simplisia penting dilakukan untuk
memberikan batasan maksimum kandungan air di dalam simplisia,
karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuh bakteri dan
jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam
simplisia. Batasan kadar air dalam simplisia adalah kurang dari 10%.
Selain itu, air juga dapat menimbulkan reaksi enzimatis. Terdapat
beberapa metode penetapan kadar air diantaranya adalah, dengan
metode destilasi (azeotrope), gravimetri, dan titrasi Karl Fischer.
Campuran azeotorope adalah merupakan campuran komponen pada
komposisi tertentu dimana komposisi tersebut tidak bisa berubah
hanya melalui distilasi biasa. Ketika campuran azeotrop dididihan,
fasa uap yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama dengan fasa
cairnya. Campuran azeotrop ini sering disebut juga constant boiling
mixture atau dikenal dengan campuran didih tetap. Azeotrop memiliki
titik didih tertentu dan apabila titik didih azeotrop lebih kecil dari titik
didih konstituennya disebut azeotrop positif, atau lebih besar dari titik
didih konstituennya disebut azeotrop negatif. Contoh untuk azeotrop
positif adalah etanol 95,63% dan air. Etanol mendidih pada 78,4 °C
dan air mendidih pada 100 °C, tetapi azeotrop mendidih pada 78,2 °C,
yang artinya lebih rendah dari salah satu penyusunnya. Secara
umum, azeotrop positif mendidih pada suhu yang lebih rendah
daripada konstituennya. Dikenal sebagai campuran didih minimum
atau tekanan azeotrop maksimum. Contoh azeotrop negatif adalah
asam klorida pada konsentrasi 20,2% dalam air. Asam klorida
mendidih pada -84 °C dan air pada 100 °C, tetapi azeotrop mendidih
pada 110 °C, yang lebih tinggi daripada salah satu konstituennya.
Secara umum, azeotrop negatif mendidih pada suhu yang lebih tinggi
daripada konstituennya. Azeotrop negatif juga disebut campuran didih
maksimum atau tekanan azeotrop minimum (Kamathewatta et al.,
2014).
Destilasi adalah suatu metode pemisahan campuran yang
didasarkan pada perbedaan tingkat volatilitas (kemudahan suatu zat
untuk menguap) pada suhu dan tekanan tertentu. Destilasi
merupakan proses fisika dan tidak terjadi adanya reaksi kimia selama
proses berlangsung. Dalam penyulingan, campuran zat dididikan
sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke
dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan
menguap terlebih dahulu. Metode ini termasuk unit operasi kimia jenis
perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori
bahwa pada suatu larutan. Masing-masing komponen akan menguap
pada titik didinya (titik didih ethanol 78°C). Kelebihan dari destilasi
(azeotrope) adalah lebih murah, dapat memisahkan zat dengan
perbedaan titik didih yang tinggi, dan produk yang dihasilkan benar-
benar murni. Sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa untuk
senyawa yang tidak tahan panas dan lebih sulit karena harus
menjenuhkan toluennya, hanya dapat memisahkan zat yang memiliki
perbedaan titik didih yang besar.
Penetapan kadar air dengan metode gravimetri adalah didasarkan
pada penimbangan bobot. Selisih bobot bahan segar dan bobot
keringnya merupakan kadar air yang dicari yang terkandung dalam
bahan yang diperiksa. Pada metode ini pengeringan bahan dilakukan
dengan menggunakan pemanasan. Kehilangan bobot akibat proses
pengeringan dianggap sebagai bobot kandungan air yang terdapat
dalam bahan yang menguap selama pemanasan (Nadia, 2010).
Kelebihan dari metode ini adalah relatif cepat, sangat sederhana, dan
dapat digunakan untuk jumlah sampel yang banyak sedangkan
kekurangannya adalah terjadi dekomposisi selama pengeringan dan
terjadi penguapan komponen volatil. Metode gravimetri dilakukan
apabila komponen yang terkandung dalam simplisia tidak mudah
terdekomposisi oleh adanya paparan suhu yang tinggi. Berikut
perhitungan dalam penentuan kadar air melalui metode analisis
gravimeteri, yaitu :
Kadar air basis basah (g/100 g bahan basah) = x 100

Kadar air basis kering (g/100 g bahan kering) = x 100

Keterangan:
W : bobot sampel sebelum dikeringkan (gr)
W1 : bobot sampel dan cawan kering (gr)
W2 : bobot cawan kosong (gr)
Selanjutnya adalah penetapan kadar air dengan metode Titrasi
Karl-Fischer merupakan metode yang digunakan untuk mengukur
kadar air pada bahan berupa cairan maupun beberapa produk kering.
Metode ini menggunakan reagensia Karl Fischer yang terdiri dari SO2,
piridin dan iodin. Prinsip metode ini adalah dengan melakukan titrasi
sampel dengan larutan iodin dalam methanol dan piridin. Apabila
masih terdapat air di dalam bahan maka iodin akan bereaksi, tetapi
apabila air habis maka iodin akan bebas (Winarno, 2004). Dalam
memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan
akhir titrasi akan memberikan warna hijau. Kelebihan dari metode ini
adalah memberikan nilai yang tepat atau akurat, dikerjakan dengan
cepat, dapat menentukan kadar air hingga 100 ppm, sedangkan
kekurangannya adalah reagen Karl-Fischer bersifat tidak stabil dan
harus dilakukan standardisasi terlebih dahulu agar tidak menghasilkan
hasil yang error. Metode Titrasi Karl Fischer digunakan ketika tidak
ada ikatan rangkap dan tidak bereaksi dengan reagen yaitu iodin dan
sulfur dioksida.
Metode penjenuhan toluen ada 2 yaitu, diantaranya :
1. Metode Ekstraksi Cair-Cair
Campurkan air dan toluene dengan perbandingan Volume 1:10
dalam Corong pisah, sehingga diperoleh jumlah volume yang didapat
20 mL : 200 mL kemudian dikocok beberapa menit agar toluena
terjenuhkan dan didiamkan sekitar sejam agar pemisahan sempurna
yaitu toluene berada di bagian atas dan air berada dibagian bawah
karena bobot jenis toluene lebih kecil dibandingkan bobot jenis air
yaitu 0.874 sedangkan bobot jenis air yaitu 1 gr/ mL. Kelebihan: dapat
beroperasi pada kondisi ruang, dapat memisahkan sistem yang
memiliki sensitivitas terhadap temperature, dan kebutuhan energinya
relatif kecil. Kekurangan: waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan
pelarut dalam jumlah yang banyak dan ada kemungkinan senyawa
tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada
suhu ruang,
2. Metode Destilasi
Sebanyak 200 mL toleun dan 2 mL air suling dimasukkan ke
dalam labu alas bulat, didestilasi selama 2 jam, kemudian toleuen
didinginkan selama 30 menit dan volume air pada tabung penerima
dibaca dengan ketelitian 0.05. Kelebihan: dapat memisahkan zat
dengan perbedaan titik didih yang tinggi, produk yang dihasilkan
murni. Kekurangan: membutuhkan waktu destilasi yang lebih panjang
untuk hasil yang banyak.
Syarat pelarut yang dapat digunakan dalam azeotrope untuk
menentukan kadar air adalah dapat membentuk campuran azeotrope
dalam air dan tidak bercampur dengan air. Dalam metode destilasi
azeotrop dilakukan dengan menambahkan toluene. Toluene berperan
sebagai entrainer. Fungsi dari entrainer adalah untuk mecahin ikatan
air dengan simplisia sehingga mampu menarik airnya selain itu,
mampu mempengaruhi volatilitas salah satu komponen dalam
campuran. Ketika, entrainer ditambahkan ke dalam campuran
azeotrop maka akan terbentuk ternary azeotrope yang kemudian
didestilasi sehingga akan didapatkan salah satu komponen murninya.
Selain toluene, senyawa-senyawa seperti benzena, n- pentana,
sikloheksana, heksana, n-heptana, isooktana, aseton, dietil eter, dan
polimer dapat digunakan sebagai entrainer (Kumar et al., 2010).
Senyawa lainnya adalah methanol, diklorometana, metil asetat, dan
xylen. Jika tidak ada toluene sebagai entrainer maka tidak akan
terbentuk ternary azeotrope dan tidak diperoleh komponen murninya.
Penentuan kadar air dilakukan sebagai suatu uji kualitas dari
bahan baku dan hanya air yang dapat diukur, sedangkan susut
pengeringan merupakan semua zat yang menguap termasuk
kandungan air dan semua pelarut akan terukur. Susut pengeringan
merupakan analisis yang tidak spesifik, dikarenakan menghilangkan
tidak hanya air namun, seluruh komponen yang mudah menguap
seperti alkohol dari sampel.

6.2 Penetapan Kadar Abu


Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan bobot setelah
pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum
terjadi dekomposisi dari abu tersebut. Perbedaan abu, debu, dan
arang adalah, dimana abu merupakan zat anorganik sisa hasil
pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya
bergantung pada macam bahan dan cara pengabuan yang
digunakan. Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar
mineral dalam bahan tersebut. Arang adalah hasil pemijaran yang
masih mengandung zat organik dan anorganik. Debu adalah partikulat
padat yang berukuran antara 1 mikron sampai dengan 100 mikron
atau dibawah 75 mikrometer dan tersuspensi di udara berdasarkan
ISO 4225. Debu didefinisikan sebagai suatu sistem disperse (aerosol)
dari partikulat padat yang dihasilkan secara mekanik seperti crushing
(penghancuran), handling (penghalusan) atau grinding
(penggerindaan). Berdasarkan ukurannya, partikulat debu dibagi
menjadi tiga kelompok yakni:
a. Partikulat debu inhalable, merupakan partikulat debu yang dapat
terhirup ke dalam mulut atau hidung serta berbahaya bila tertimbun
dimanapun dalam saluran pernafasan.

b. Partikulat debu thoracic, merupakan partikulat debu yang dapat


masuk ke dalam saluran pernafasan atas dan masuk ke dalam saluran
udara di paru-paru.

c. Partikulat debu respirable, adalah partikulat airborne yang dapat


terhirup dan dapat mencapai daerah bronchiola sampai alveoli di
dalam sistem pernafasan. Partikulat debu jenis ini berbahaya bila
tertimbun di alveoli yang merupakan daerah pertukaran gas di dalam
sistem pernafasan.
Berdasarkan jenis kadar abu terdapat 3 yaitu, abu total, abu
tidak larut dalam asam, dan abu karut dalam air. Fisiologis merupakan
abu larut dalam air, dan non fisiologis merupakan abu yang tidak larut
dalam asam. Penetapan kadar abu total menyatakan jumlah
kandungan senyawa anorganik dalam simplisia misalnya Mg, Ca, Na,
Zn, dan K. Kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar
senyawa anorganik yang tidak larut dalam asam, misalnya silikat.
Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam menyatakan jumlah
silika pada simplisia, yang diperoleh dengan cara melarutkan abu total
dalam asam klorida (WHO, 1992). Abu total terbagi dua, yaitu abu
fisiologis dan abu non fisiologis. Berdasarkan WHO jenis abu dibagi
dua yaitu, abu fisiologis dan abu nonfisiolofigis. Abu fisiologis adalah
abu yang berasal dari jaringan tumbuhan itu sendiri, sedangkan abu
non fisiologis adalah sisa setelah pembakaran yang berasal dari
bahan-bahan luar yang terdapat pada permukaan simplisia (WHO,
1992). Suhu pengabuan berada disekitar suhu 400-600oC (sekitar
450oC). Jika suhu pembakaran dilakukan pada suhu lebih dari 600oC
akan menghilangkan nitrogen dan natrium klorida pada bahan yang
dianalisis dan menyebabkan senyawa-senyawa terdekomposisi.
Penetapan kadar abu dilakukan untuk menentukan tingkat
higienitas, menunjukkan kemurnian dari suatu simplisia, dan adanya
kontaminan, membedakan senyawa organik dan non organik, dan
menentukan kandungan mineral dalam sampel. Oksida logam
diantaranya ada Kalsium Oksida (CaO), Natrium Oksida (Na 2O),
Magnesium Oksida (MgO), Barium Oksida (BaO), Zink Okida (ZnO).

VII. KESIMPULAN
1. Kadar air dalam sampel simplisia daun jambu adalah 15%

2. Kadar abu total dari Cumini Cymini Fructus adalah


5.433%
3. Kadar abu tidak larut asam dari Cumini Cymini
Fructus adalah 0.21%
4. Kadar abu larut air dari Cumini Cymini Fructus adalah
97.015%

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Ahad, H. A., Kumar, C. S., Reddy, K. K., Kumar, A., Sekhar, C.,
Sushma, K., et al. (2010). ‘Preparation and Evaluation of
Sustained Release Matrix Tablets of Gliquidone Based on
Combination of Natural and Synthetic Polymers’. Journal of
Advanced Pharmaceutical Research, 1 (2), 108114.
Anonim, (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. (2014). Pengantar Standardisasi.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa BALITBANGTAN-
KEMENTERIAN PERTANIAN. (2017). Arti Penting Kadar Abu
Pada Bahan Olahan. Retrieved April 7, 2022 from
http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=1676&Itemid=10
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Farmakope
Herbal Indonesia, Edisi II. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta, Indonesia
Departemen Pengawasan Obat Tradisional. (2000). Parameter
Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Republik Indonesia
Kamathewatta, Nilan Jayabahu Bandara & Williams, Darren. (2014).
The Study of Azeotropes in the Replacement of Industrially
Important Solvents.
Nadia, L., et al. (2010). Praktikum Kimia dan Analisis Pangan.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Halaman: 3, 14-15
Winarno. Kimia Pangan dan Gizi. (2004). Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama

Anda mungkin juga menyukai