Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOGNOSI UMUM

PERCOBAAN 7
PENETAPAN KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR SARI, DAN SUSUT PENGERINGAN
PADA CINCHONAE SUCCIRUBRAE CORTEX

Tanggal Percobaan

: 9 November 2016

Tanggal Pengumpulan

: 16 November 2016

Kelompok 5 (Senin)
NIM

Nama

11613028

Cempaka Kuning

11614004

Hasna Aswirah

11614015

Fitriani Ilma Sakina

11614022

Raynald W

11614031
11614036

Elizabeth Novianti
Melati Silvya Devi

Asisten Praktikum
Mita Rahayu 90716024

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI UMUM


PROGRAM STUDI FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

I. TUJUAN
1. Menentukan kadar air pada simplisia Cinchona succirubra.
2. Menentukan kadar abu total pada simplisia Cinchona succirubra.
3. Menentukan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol pada simplisia Cinchona succirubra.
4. Menentukan nilai susut pengeringan pada simplisia Cinchona succirubra.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Simplisia adalah bahan ilmiah yang belum mengalami pengolahan lain selain dikeringkan,
kecuali dinyatakan lain. Simplisia dapat berupa simplisisa nabati, simplisia hewani, atau simplisia
mineral. Simplisia yang digunakan sebagai bahan baku jamu atau fitofarmaka harus memenuhi
syarat kromatografi yang telah ditentukan dalam buku standar, seperti Materia Medika Indonesia,
Farmakope Herbal Indonesia, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menjaga mutu yang
diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.
Kadar air merupakan salah satu parameter standardisasi simplisia. Adanya air dalam
simplisisa memungkinkan pertumbuhan mikroba. Batas kandungan air masing-masing simplisia
menunjukkan kadar air yang diperbolehkan terkandung dalam simplisia apabila akan digunakan
sebagai bahan baku obat. Penetapan kadar abu dilakukan dengan prinsip pemijaran atau
pemanasan sejumlah bahan pada suhu tinggi, di mana senyawa organik dan turunannya akan
terdestruksi dan menguap sehingga tersisa unsur mineral organik sebagai sisa pembakaran
sempurna yang disebut dengan abu. Penetapan kadar sari merupakan suatu metode kuantitatif
untuk jumlah kandungan yang dapat tersari dalam pelarut tertentu. Penetapan kadar sari
digunakan untuk simplisia yang tidak ada cara lain yang memadai secara kimia maupun biologi
untuk penentuan konstituen aktifnya. Penetapan susut pengeringan bertujuan untuk
menunjukkan penurunan bobot saat dikeringkan pada suhu 1050C. Pada suhu ini, bahan yang
menguap bukan hanya air, melainkan kandungan lain seperti minyak atsiri dapat menguap.

III. ALAT DAN BAHAN


3.1. Alat
-

Alat destilasi azeotrop

Cawan penguap

Timbangan

Krus silikat

Gelas ukur

Tanur

Penangas

Oven

Labu elenmeyer

Penangas

Kertas saring

Botol vial
1

3.2. Bahan
-

Simplisia Cinchona succirubra

Etanol

Aquadest

Kloroform

Toluena

IV. METODOLOGI
4.1. Penentuan Kadar Air
Sejumlah toluena dijenuhkan dengan air menggunakan metode destilasi. Sejumlah
simplisia ditimbang dan didestilasi menggunakan toluena yang sudah jenuh.
4.2. Penentuan Kadar Abu Total
Sejumlah simplisia ditimbang dan diarangkan di atas penangas hingga tidak terbentuk asap.
Simplisia dimasukkan ke dalam krus silikat yang sudah dipijar dalam tanur dan dihitung bobot krus
kosong. Krus berisi simplisia dipanaskan dalam tanur hingga membentuk abu (berwarna putih)
dan pemanasan diulang hingga bobot konstan. Percobaan dilakukan duplo.
4.3. Penentuan Kadar Sari
4.3.1. Penentuan Kadar Sari Larut Air
Sejumlah simplisia ditimbang dan ditambahkan air serta satu tetes kloroform dalam
labu elenmeyer. Dilakukan maserasi selama 24 jam, di mana labu dikocok selama 6 jam
pertama kemudian didiamkan 18 jam. Hasil maserasi disaring, diambil sejumlah filtrat dan
diuapkan dalam oven hingga didapat bobot konstan.
4.3.2. Penentuan Kadar Sari Larut Etanol
Sejumlah simplisia ditimbang dan ditambahkan etanol dalam labu elenmeyer.
Dilakukan maserasi selama 24 jam, di mana labu dikocok selama 6 jam pertama
kemudian didiamkan 18 jam. Hasil maserasi disaring, diambil sejumlah filtrat dan diuapkan
dalam oven hingga didapat bobot konstan.
4.4. Penentuan Nilai Susut Pengeringan
Sejumlah simplisia ditimbang dan dimasukkan ke dalam vial yang sudah dipanaskan dalam
oven dan diukur bobot kosong vial. Vial berisi simplisia dimasukkan ke dalam oven hingga didapat
bobot konstan. Percobaan dilakukan triplo.

V. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


4.5. Penentuan Kadar Air
Volume air yang dihasilkan dari penjenuhan toluena (x) : 1,9 mL
Volume air yang dihasilkan dari destilasi simplisia (y)

: 2 mL
2

Kadar air literatur

: < 10%

Bobot awal simplisia

:2g
=

( )
100%

(2 1,9)
100%
2

= 5%
Pada literatur dinyatakan bahwa kadar air < 10% sehingga dengan kadar air percobaan
sebesar 5% diperoleh galat sebesar 0%.
4.6. Penentuan Kadar Abu Total
Tabel V.1 Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Abu Total

Nomor

Berat simplisia

Berat Krus Kosong

Bobot konstan Kurs + Abu Simplisia

Kurs

(g)

(g)

(g)

2,004

39,516

39,519

II

2,009

38,946

38,983

( )
100%

(39,519 39,516 )
100%
2,004

= 0,15%
=

(38,983 38,946 )
100%
2,009

= 1,84%
Syarat kadar abu total tidak lebih dari 4% (MMI IV:26-29)
Kadar abu total I = 0,15% < 4%, maka diperoleh galat sebesar 0%.
Kadar abu total II = 1,84% < 4%, maka diperoleh galat sebesar 0%.
4.7. Penentuan Kadar Sari
4.3.1. Penentuan Kadar Sari Larut Air
Berat simplisia

: 2,059 gram 2,010 gram

Berat cawan kosong

: 41,857 gram

Bobot akhir cawan

: 41,914 gram

( )
100%

(41,914 41,857)
2,059

100%

= 2,77%
Kadar sari larut air (pada literatur): > 7,5%
=

| |
100%

|2,77 7.5|
=
100%
7,5
= 63,07%

Jadi, dari percobaan didapat kadar sari larut air sebesar 2,77% dengan galat sebesar 63,07%

4.3.2. Penentuan Kadar Sari Larut Etanol


Berat simplisia

: 2,010 gram

Berat cawan kosong

: 43,408 gram

Bobot akhir cawan

: 43,499 gram

( )
100%

(43,499 43,408)
2,010

100%

= 4,53%
Kadar sari larut etanol (pada literatur): > 9%
=

| |
100%

|4,53 9|
=
100%
9
= 49,67%

Jadi, dari percobaan didapat kadar sari larut etanol sebesar 4,53% dengan galat sebesar
49,67%.
4.8. Penentuan Nilai Susut Pengeringan
Tabel V.2 Hasil Pengamatan Penentuan Susut Pengeringan

Nomor Vial

Bobot Vial Kosong (g)

Bobot Vial dengan Simplisia (g)

Bobot Simplisia (g)

11.582

13.782

2.20

II

11.107

13.157

2.05

III

11.621

13.653

2.03

Tabel V.3 Hasil Penimbangan Vial

Bobot
Nomor

Sebelum

Vial

Pengeringan

Bobot Sesudah Pengeringan (gram)

II

III

IV

VI

VII

VIII

13.782

13.667

13.666

13.542

13.544

13.547

13.545

13.546

13.546

II

13.157

13.096

13.053

12.999

12.978

12.977

12.978

12.975

12.974

III

13.653

13.587

13.539

13.427

13.43

13.436

13.430

13.429

13.428

(gram)
I

=
= 13.782 13.546 = 0.236
= 13.157 12.974 = 0.183
= 13.653 13.428 = 0.225
0.236 + 0.183 + 0.225
= 0.215
3
2.2 + 2.05 + 2.03
=
= 2.09
3

( )
100 %
( )

0.215 gram
100 %
2.09 gram

= 10.2 %

Susut pengeringan literatur: tidak lebih dari 10% (0.209 gram)


| |
100%

|0.215 gram 0.209 gram |
=
100%
0.209 gram

= 2.87 %
Jadi, dari percobaan didapat nilai susut pengeringan sebesar 10,2% dengan galat sebesar 2,87%.

VI. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Standardisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitas terhadap seluruh proses
pembuatan simplisia. Kualitas simplisia sangat dipengaruhi oleh metode pemanenan, pengeringan,
5

penyimpanan, dan proses lainnya. Salah satu tahap standarisasi yaitu uji penetapan parameter
spesifik dan non spesifik. Parameter spesifik adalah parameter yang dimiliki khusus untuk masingmasing simplisia. Sedangkan parameter non spesifik adalah parameter universal yang dimiliki oleh
simplisia, salah satu contohnya adalah kadar air.
Kadar air adalah persentase kandungan air pada suatu bahan yang dinyatakan berdasarkan
berat basah atau berat kering. Kadar air berat basah memiliki batas maksimum sebesar 100%
sedangkan batas air kering dapat melebih dari 100%. Kadar air dalam simplisia mampu
menyebabkan kerusakan pada simplisia berupa pembusukan dan ketengikan yang disebabkan oleh
proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik maupun kombinasi dari ketiga proses.
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam
persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang penting dalam suatu simplisia, karena dapat
mempengaruhi tekstur dan bentuk dari simplisia. Beberapa cara untuk menetapkan kadar air suatu
simplisia tergantung dari sifat dari simplisia tersebut. Misalnya:
1.

Untuk simplisia yang tidak tahan panas, berkadar gula tinggi, berminyak, dan lain-lain
penentuan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan oven vakum dengan suhu rendah.

2.

Untuk bahan yang mempunyai kadar air tinggi dan mengandung senyawa volatile atau mudah
menguap, penentuan kadar air dapat dilakukan dengan destilasi menggunakan pelarut
tertentu yang berat jenisnya lebih rendah daripada berat jenis air. Untuk simplisia cair yang
berkadar gula tinggi, penentuan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan
refraktometer, dan lain-lain.
Terdapat tiga cara untuk menentukan kadar air yaitu titrasi karl fischer, gravimetric, dan

destilasi azeotrop. Titrasi Karl Fischer menggunakan cara pengeringan berdasarkan reaksi kimia air
dengan titrasi langsung dari bahan basah dengan larutan iodin, sulfur dioksida, dan piridina dalam
metanol. Perubahan warna menunjukan titik akhir titrasi. Pada percobaan ini tidak cocok bila
digunakan metode Karl Fischer dikarenakan pereaksi yang digunakan peka terhadap air dan harus
dilindungi dari pengaruh kelembaban udara. Metode gravimetri adalah cara analisis kuantitatif
yang didasarkan pada berat tetapnya. Prinsipnya adalah kehilangan bobot pada pemanasan 105C
yang dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada sampel.

Destilasi adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan
atau kemudahan menguap suatu bahan. Prinsip dasar dari destilasi adalah perbedaan titik didih
dari zat-zat cair dalam campuran zat cair tersebut sehingga zat yang memiliki titik didih terendah
akan menguap lebih dahulu, kemudian apabila didinginkan akan
mengembun dan menetes sebagai zat murni (destilat). Dalam
penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap dan
kemudian didinginkan kembali dalam bentuk cairan. Dalam proses
destilasi dibentuk campuran azeotrop. Azeotrop adalah campuran
dari 2 atau lebih komponen yang saling terikat sangat kuat dan sulit
untuk dipisahkan dengan destilasi biasa. Campuran azeotrop
memiliki titik didih yang hampir sama dengan fasa cairnya. Destilasi
Gambar VI.1 Skema alat destilasi

azeotrop digunakan untuk memisahkan campuran azeotrop,

biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut
atau dengan menggunakan tekanan tinggi.
Terdapat 2 jenis azeotrop yaitu azeotrop positif dan azeotrop negatif. Azeotrop positif jika
titik didih campuran azeotrop kurang dari titik didih salah satu larutan konstituenya. Contoh
campuran 95.63% etanol dan 4.37% air, etanol mendidih pada suhu 78.4OC sedangkan air mendidih
pada suhu 100 OC, tetapi campurannya/azeotropnya mendidih pada suhu 78.2OC.

Gambar VI.2 Azeotrop positif

Azeotrop negatif jika titik didh campuran azeotrop lebih dari titik didih konstituennya atau
salah satu konstituennya. Contoh campuran asam klorida pada konsentrasi 20,2 % dan 79,8 % air.
Asam klorida (murni) mendidih pada suhu -84OC, tetapi campuran azeotropnya memiliki titik didih
110OC.

Gambar VI.3 Azeotrop negatif

Pada proses destilasi diawali dengan pemanasan, sehingga zat yang memiliki titik didih
lebih rendah akan menguap. Uap tersebut bergerak menuju kondensor yaitu pendingin, proses
pendinginan terjadi karena kita mengalirkan air kedalam dinding (bagian luar kondensor), sehingga
uap yang dihasilkan akan kembali cair. Proses ini berjalan terus menerus dan akhirnya kita dapat
memisahkan seluruh senyawa-senyawa yang ada dalam campuran homogen tersebut.
Kelebihan destilasi yaitu dapat memisahkan zat dengan perbedaan titik didih yang tinggi dan
produk yang dihasilkan benar-benar murni. Kekurangan destilasi yaitu hanya dapat memisahkan
zat yang memiliki perbedaan titik didih yang besar dan biaya penggunaan alat yang relatif mahal.
Proses yang dilakukan pada penentuan kadar air yaitu menggunakan metode distilasi. Distilasi
merupakan salah satu metode pemisahan komponen-komponen kimia dengan memanfaatkan
perbedaan komposisi setimbang di fasa uap dan fasa cair. Salah satu metode yang digunakan adalah
distilasi azeotrop.
Proses pertama yang dilakukan yaitu penjenuhan toluena. Penjenuhan toluena diawali
dengan memberikan beberapa mL air pada larutan toluena yang dimasukkan ke dalam labu distilasi.
Tujuan dari penambahan dari air pada penjenuhan yaitu untuk menguapkan seluruh air yang terikat
pada toluena teruapkan, sehingga toluena pada labu distilasi murni seluruhnya berupa toluena.
Pada praktikum ini digunakan toluena dengan untuk membentuk campuran azeotrop dengan air.
Toluena (titik didih 110C) digunakan karena tidak bercampur dengan air (titik didih 100C ) dan
memiliki titik didih yang mirip dengan air. Syarat pelarut yang digunakan salah satunya adalah tidak
boleh melarutkan senyawa dalam simplisia. Sebelum dilakukan penjenuhan, batu didih
ditambahkan ke dalam labu untuk menyerap api dan menyebarkan keseluruh larutan sehingga
mendapatkan panas yang merata. Selain itu, batu didih dapat berfungsi untuk mengurangi letupan
larutan.
Setelah penjenuhan toluena, simplisia dimasukkan dalam labu dan dilakukan destilasi
kembali sampai tidak ada air yang menetes. Proses distilasi dilakukan hingga air pada tabung ukur
tidak mengalir lagi. Volume air dihitung sebelum dan sesudah dilakukan penjenuhan toluena.
Volume yang didapat adalah kadar air yang terdapat dalam simplisia.
Simplisia yang digunakan dalam perbobaan ini adalah simplisia kulit batang Cinchona
succirubra. Beberapa alkaloid dapat diekstrak dari kulit batang kina, diantaranya alkaloid kinin dan
kinidin yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai antimalaria. Selain itu kina juga mengandung
senyawa lain seperti arisin, asam sinkofulvik, asam kafeat, cuscamin, epikatekin, kuskonidin, dan
lain-lain. Kina sering digunakan untuk menurunkan demam, menyembuhkan diare, disentri,
antifungi, antimikroba, anemia, kram, dan sebagainya. Berikut merupakan kasifikasi Cinchona
succirubra:
8

Tabel VI.1 Klasifikasi Tanaman Kina

Kingdom
Divisi
Ordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies
Bagian yang digunakan

Plantae
Gentianales
Rubiaceae
Cichonoideae
Cinchona
officinalis, ledgeriana, succirubra, calisaya
kulit kayu

Dari data yang di dapat, kadar air simplisia yang diperoleh adalah 5% dengan galat sebesar
0%. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia ini memenuhi parameter kadar air. Galat 0% ditunjukkan
akibat dari kadar air pada literatur harus memenuhi kurang dari 10% pada simplisia, sehingga kadar
air pada pengujian berada dibawah standar sehingga simplisia berada pada kondisi prima dan tidak
mudah rusak karena kadar air yang rendah. Kadar air yang rendah akan meminimalisir kerusakan
simplisia dari pencemar seperti mikroba maupun reaksi enzimatik yang dapat mengurangi
kestabilan senyawa pada simplisia.
Parameter non-spesifik simplisia selain kadar air adalah kadar abu. Simplisia terdiri dari
bahan organik, inorganik, dan air, di mana dalam proses pemanasan/pembakaran bahan-bahan
organik akan terbakar dan air menguap sedangkan bahan inorganiknya tidak. Kadar abu berasal
dari unsur-unsur mineral yang terkandung didalam suatu simplisia.
Penetuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan kualitas dari pengolahan bahan baku
dan berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan serta menguji cemaran yang ada dalam
simplisia. Prinsipnya adalah pemanasan bahan dengan suhu tinggi selama waktu tertentu sehingga
bahan organik habis terbakar dan hanya tersisa zat anorganik berwarna putih keabu-abuan.
Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada jenis bahan dan cara pengabuan yang
digunakan.
Dari kadar abu total yang didapat, dapat dilakukan uji lanjutan yaitu kadar abu larut dalam
air dan abu tidak larut dalam asam. Metodologinya adlah abu dari uji kadar abu total dididihkan
dalam air (untuk larut dalam air) dan HCl encer (untuk tidak larut dalam asam) dan bagian yang
tidak larutnya disaring dan dicuci serta dipijarkan pada suhu sekitar 450C dan kemudian ditimbang
dan kemudian dibandingkan dengan pustaka. Kadar abu larut air digunakan untuk menentukan
mineral yang sifatnya polar (larut dalam air) sedangkan kadar abu tidak larut dalam asam digunakan
untuk menentukan mineral yang sifatnya non polar.
Proses pengabuan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu metode pengabuan kering atau
pengabuan langsung dan metode pengabuan basah atau tidak langsung. Prinsip proses pengabuan
kering adalah mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi (450C-600C) dan dilakukan
9

penimbangan zat tertinggal setelah proses pembakaran pada bobot konstannya. Pengabuan kering
dapat dilakukan untuk semua mineral kecuali merkuri dan arsen. Kelebihan dari metode ini adalah
digunakan dalam penentuan kadar abu total dan dapat menganalisa abu yang larut air atau larut
asam serta tidak menggunakan reagen. Kekurangannya adalah waktunya cukup lama dan
penggunaan suhu yang tinggi dapat berbahaya apabila tidak hati-hati. Prinsip pengabuan basah
dilakukan dengan cara pemberian reagent tertentu sebelum dilakukan proses pengabuan. Contoh
reagent diantaranya gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik. Proses selanjutnya dilakukan
seperti pengabuan kering. Kelebihannya adalah waktu yang digunakan lebih singkat dan suhu yang
digunakan tidak setinggi pengabuan kering. Kelemahannya tidak bisa digunakan untuk semua
mineral dan menggunakan reagen.
Dalam proses penentuan kadar abu total, simplisia diserbukkan dan dimasukkan kedalam
sebuah krus silikat yang sebelumnya sudah dipijar pada suhu 450C -600C didalam tanur dan
ditimbang serta dilabel. Sebelum dimasukkan kedalam tanur, simplisia diarangkan pada penangas
hingga asap yang terbentuk hilang. Fungsi dari pemanasan ini adalah untuk menghilangkan kadar
air yang ada dalam simplisia. Krus kemudian dimasukkan kedalam tanur dengan suhu 450C-600C
hingga menjadi abu (berwarna putih) dan pemanasan diulang hingga didapat bobot konstan,
pengujian ini dilakukan secara duplo.
Dari percobaan ini, didapatkan kadar abu pada krus pertama sebesar 0,15% dan pada krus
kedua sebesar 1,85%, sedangkan berdasarkan pustaka, kadar abu cinchona succirubrae cortex tidak
lebih dari 4%. Dapat disimpulkan bahwa simplisa cinchona succirubrae cortex yang digunakan
memenuhi standar yang ditentukan dengan galat sebesar 0%. Perbedaan dari kadar abu kedua uji
walau berasal dari simplisia yang kemungkinan disebabkan oleh cemaran dari luar ketika
penimbangan simplisia dan tersentuh oleh tangan tanpa sarung tangan.
Parameter non-spesifik lainnya pada simplisia adalah kadar sari. Penentuan kadar sari
adalah suatu metode kuantitatif yang digunakan untuk menghitung seberapa banyak kandungan
simplisia yang dapat tersari dalam pelarut tertentu. Kandungan senyawa organik hasil metabolisme
tumbuhan merupakan suatu ciri khas suatu tanaman. Penentuan kadar sari dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu dilarutkan dalam etanol dan dalam air. Kedua cara ini dipilih berdasarkan
kemampuan melarut suatu zat dalam pelarut tertentu.
Penentuan kadar sari dengan etanol bertujuan untuk mengetahui seberapa larut senyawa
dalam pelarut organik. Hal imi sangat berguna dalam proses ekstraksi. Sementara itu penentuan
kadar sari dengan air bertujuan untuk mengetahui seberapa larut senyawa dalam pelarut polar. Hal
ini berguna dalam pembuatan jamu yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat. Besarnya
kadar sari yang didapatkan menjadi standar atau control mutu suatu obat bahan alam.
10

Penentuan kadar sari menggunakan prinsip maserasi. Maserasi adalah metode ekstraksi
dengan perendaman sumber senyawa dalam suatu pelarut organic yang sesuai dalam jangka waktu
lumayan panjang, tanpa ada penggantian pelarut. Pelarut yang digunakan biasanya memiliki sifat
mudah terdistribusi dalam sel-sel tumbuhan. Maserasi biasanya digunakan untuk mengekstraksi
senyawa senyawa yang bersifat termolabil. Maserasi memanfaatkan prinsip difusi (perpindahan zat
terlarut dari gradient konsentrasi tinggi ke gradient konsentrasi lebih rendah). Maserasi dilakukan
selama 24 jam, dengan 6 jam pengadukan dan 18 jam perendaman. Proses ini memerlukan waktu
lama agar difusi yang terjadi berjalan dengan sempurna.
Pada percobaan ini, ke dalam etanol dan campuran air kloroform dilautkan sejumlah
simplisia (total volume pelarut 40 mL). Air diberi kloroform untuk mencegah tumbuhnya mikroba
karena air merupakan sarana tumbuh mikroba yang baik. Setelah dimasukkan, pengocokan
dilakukan untuk mempercepat kontak antara pelarut dengan simplisia. Setelah pengocokan,
campuran didiamkan selama kurang lebih semalam, lalu campuran difiltrasi, didapatkan filtrat dan
residu. Sebanyak 8 mL dituangkan ke cawan penguap yang telah ditimbang sebelumnya. Filtrat
kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C. Setelah kering, dilakukan penimbangan sampai
mendapatkan bobot konstan. Bobot konstan adalah bobot dimana selisih penimbangan pertama
dan kedua sebesar 0.5 mg per gram bobot sampel yang ditimbang. Bobot simplisia adalah bobot
akhir ikurangi bobot cawan.
Dari percobaan didapat hasil penimbangan pertama sebesar 43.494 gram dan penimbangan
kedua sebesar 43.499 gram untuk kadar sari larut etanol. Perbedaan belum mencapai 0.001 gram
sehinggga penimbangan belum mencapai bobot konstan. Untuk pelarut air kloroform, didapatkan
hasil penimbangan pertama sebesar 41.912 gram dan penimbangan kedua sebesar 41.914 gram.
Perbedaan belum mencapai 0.001 gram sehinggga penimbangan belum mencapai bobot konstan.
Dari percobaan didapat kadar sari larut air sebesar 2,77% dan kadar sari larut etanol
sebesar 4,53%. Dari hasil ini diketahui bahwa senyawa pada simplisia lebih larut dalam etanol
daripada dalam air, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung
dalam simplisia ini merupakan senyawa yang bersifat non polar.
Jika dibandingkan dengan literatur, kadar sari larut air adalah tidak kurang dari 7,5%,
sedangkan kadar sari larut etanol seharusnya tidak kurang dari 9%. Untuk itu didapatkan galat
berturut-turut sebesar 63,07% dan 49,67% untuk kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol.
Galat yang sangat besar disebabkan karena pada percobaan tidak didapatkan bobot konstan
sehingga hasil yang didapat tidak valid dan tidak dapat ditentukan mutu simplisia yang diuji.
Susut pengeringan merupakan parameter non spesifik lainnya pada simplisia. Susut
pengeringan merupakan banyaknya bagian zat yang mudah menguap, termasuk air, ditetapkan
11

dengan cara pengeringan, kecuali dinyatakan lain, dilakukan pada suhu 105C selama 30 menit atau
hingga bobot konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Jika suhu lebur lebih rendah dari suhu
penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5C - 10C dibawah suhu leburnya selama 1
2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot konstan.
Susut pengeringan dapat dinyatakan sama dengan kadar air, jika dalam simplisia tersebut
tidak terdapat minyak atsiri atau komponen-komponen lain yang dapat menguap. Sedangkan susut
pengeringan yang tidak sama dengan kadar air, merupakan susut pengeringan pada simplisia yang
mengandung komponen-komponen yang dapat menguap seperti minyak atsiri atau lainnya. Maka
dari itu, susut pengeringan dapat memiliki nilai yang sama atau lebih dari kadar airnya. Jika suatu
simplisia memiliki kadar minyak atsiri yang tinggi, maka susut pengeringannya pun akan tinggi.
Susut pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan batasan maksimal atau
rentang tetang besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Susut pengeringan ini
merupakan salah satu parameter non spesifik dari simplisia setelah kadar air, kadar abu, sisa
pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat, dan cemaran mikroba. Parameter non spesifik ini
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa simplisia tidak boleh mengandung mikroba pathogen
dan tidak mengandung mikroba non-patogen melebihi batas yang ditetapkan karena akan
berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya atau toksik bagi kesehatan.
Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi susut pengeringan, diantaranya adalah kadar
air suatu simplisia, kadar minyak atsiri suatu simplisia, lamanya pengeringan, besarnya suhu
pengeringan, dan lain sebagainya. Pada percobaan kali ini, susut pengeringan simplisia sangat sulit
ditentukan karena sulitnya didapatka bobot konstan. Bobot konstan merupakan bobot suatu
penimbangan tidak lebih dari 0.5 mg per gram untuk sebuah simplisianya.
Pada awal percobaan, vial yang digunakan harus dioven terlebih dahulu selama 15 menit
pada suhu 105C untuk memastikan bahwa wadah yang digunakan tidak mengandung air sama
sekali. Kemudian vial tersebut ditimbang agar diketahui bobot kosong tanpa tutupnya. Simplisia
dimasukkan ke dalam vial kemudian vial berisi simplisia ditimbang kembali untuk mengetahui
simplisia yang dimasukkan ke dalam vial. Pada vial I, simplisia yang digunakan adalah sebanyak 2.2
gram, vial II adalah sebanyak 2.05 gram, dan vial III adalah sebanyak 2.03 gram. Kemudian vial
tersebut ditutup dengan alumunium foil agar pemanasan terjadi secara merata pada seluruh vial.
Vial-vial tersebut dipanaskan selama 30 menit pada suhu 105C. Setelah proses pemanasan vialvial tersebut harus diletakkan di dalam desikator selama lima menit dengan tujuan untuk
mendinginkan vial tanpa menyerap lagi kadar air di dalam udara. Setelah dimasukkan ke dalam
desikator vial ditimbang, dan dipanaskan dengan proses yang sama hingga didapatkan bobot
konstan.
12

Bobot konstan pada percobaan susut pengeringan ini sulit sekali dicapai karena banyak hal.
Salah satunya adalah karena suhu pengeringan yang sulit dikontrol dan berubah-ubah. Karena oven
digunakan untuk berbagai macam pengeringan dan sering sekali dibuka dan ditutup maka suhu
oven menjadi tidak stabil. Sering didapati suhu oven dibawah 100C saat proses pengeringan
simplisia. Selain itu, saat pengambilan vial dari oven menuju desikator pun menjadi faktor
penambahan bobot simplisia yang telah dikeringkan. Dalam perjalanan dari oven menuju desikator,
simplisia yang telah dikeringkan dapat menyerap lagi kadar air sehingga penimbangan menjadi
pertambah dan bobot konstan sulit ditentukan.
Susut pengeringan dari simplisia kulit batang kina hasil percobaan ini didapatkan sebesar
0.215 gram dengan galat 2.87%. Galat yang dihasilkan cukup kecil karena dirasa susut pengeringan
dapat dilakukan sesuai dengan prosedur yang seharusnya sehingga galat yang dihasilkan dapat
diminimalisir. Secara umum dapat dikatakan bahwa simplisia yangdiuji memiliki mutu yang baik
karena memenuhi parameter-parameter yang sudah ditentukan.

VII. KESIMPULAN
1. Kadar air pada simplisia kulit batang Cinchona succirubra sebesar 5%.
2. Kadar abu total pada simplisia kulit batang Cinchona succirubra sebesar 0,15% pada uji ke-1
dan 1,84% pada uji ke-2.
3. Kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol pada simplisia kulit batang Cinchona succirubra
berturut-turut sebesar 2,77% dan 4,53%.
4. Nilai susut pengeringan pada simplisia kulit batang Cinchona succirubra sebesar 10,2%.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Halaman 26-29)
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://www.chemeng.ntua.gr/courses/mad/files/Azeotropic%20distillation%20methods_2015.p
df (diakses 15 November 2016 pukul 15.54 WIB)
http://digilib.batan.go.id/e-prosiding/File%20Prosiding/P2TBDU%202000/P2TBDU%2022-Peb2000/Wahyudi%20Budi%20Sediawan.pdf (diakses 15 November 2016 pukul 15.51 WIB)
http://library.njucm.edu.cn/yaodian/ep/EP5.0/16_monographs/monographs_ac/Cinchona%20bark.pdf (diakses pada 15 November 2016 pukul 15.22 WIB)
http://www.nt.ntnu.no/users/skoge/publications/thesis/2000_hilmen/Thesis_Hilmen.pdf
(diakses 15 November 2016 pukul 16.04 WIB)
13

Anda mungkin juga menyukai