Anda di halaman 1dari 9

Reaksi Antigen-Antibodi

Serologi yang mempelajari interaksi antigen dan antibody mempunyai implikasi sangat
luas.Serologi tidak saja merupakan sarana untuk mempelajari mekanisme imunitas,tetapi juga
merupakan cara yang bermanfaat dalam menegakkan diagnosis berbagai jenis penyakit infeksi,
untuk identifikasi dan klasifikasi mikroorganisme dan untuk pengukuran yang tepat bahan-bahan
yang jumlahnya sangat kecil seperti hormone dan enzim dalam tubuh.

Tingkat Reaksi

Dikaitkan dengan fenomena yang dicermati pada awal perkembangan serologi tersebut,
berdasarkan penelitian melalui imunokimia terungkap bahwa fenomena tersebut berkaitan erat
dengan tahap-tahap reaksi antara antigen-antibodi dibedakan dalam :

1. Reaksi Primer
Sekarang telah jelas bahwa pertemuan awal antara antigen dan antibody,merupakan
reaksi primer.Reaksi primer tidak menunjukkan perubahan yang dapat diamati secara biasa.
Pada kondisi yang cocok,reaksi primer sering dilanjutkan dengan manifestasi yang dapat dilihat
secara in vitro. Reaksi primer selain dapat dilakukan secara in vitro,juga dapat berlangsung
secara in vivo dalam tubuh.

Interaksi antara antigen dan antibody dalam tahap awal pertemuan antara molekul
antibody dengan antigen melalui epitopnya tidak selalu berlanjut dalam tahap reaksi sekunder.
Jika reaksi berlanjut dalam tahap berikutnya, reaksi primer berlangsung hanya sekejap. Reaksi
primer dapat berlangsung tidak saja dalam suhu tubuh, tetapi juga dalam suhu rendah.

Antibodi merupakan molekul globulin yang mengalami modifikasi sedemikian rupa


sehingga tempat pengikat pada molekulnya (Fab) dapat mengikat molekul epitop dari antigen.
Selanjutnya reaksi tersebut dapat dianggap sebagai suatu fenomenayang berlangsung bolak-balik
seperti halnya reaksi kimia,sehingga dapat dituliskan persamaan reaksi sebagai berikut :

𝐾1
Hp + Ab HpAb
𝐾2

Keterangan :Hp = molekul hapten atau epitop dari antigen


Ab = antibody ; HpAb = kompleks imun

K1 . K2= kecepatan reaksi

Konstanta keseimbangan (K) dalam reaksi diatas dipengaruhi oleh hokum reaksi
kimia,sehingga dapat dituliskan hubungan harga K dengan masing-masing konsentrasi zat yang
bereaksi sebagai berikut :

[𝐻𝑝.𝐴𝑏]
K = [𝐴𝑏][𝐻𝑝]

Apabila antibody mengikat erat pada hapten atau epitop dalam reaksi yang cenderung
berlangsung kearah kanan,dikatakan bahwa antibody tersebut mempunyai afinitas yang tinggi.
Dengan diketahuinya harga-hargs konsentrasi masng-masing zat yang terlibat dalam reaksi
([Ab],[Hp],[AbHp]) maka dapat dikalkulasi harga K dan selanjutnya dapat dipakai untuk
menghitung besarnya energy yang menyertai reaksi tersebut.

Dengan mengetahui harga K, orang dapat menentukan afinitas antibody terhadap hapten
atau epitop tertentu. Pengukuran afinitas dengan menggunakan metode klasik dilakukan dengan
cara dialysis ekuilibrium (equilibrium dialysis) (Gambar 11-1 dan Gambar 11-2).
Prisinip kerja dialysis tersebut menggunakan dua ruangan yang dipisahkan oleh sekat
semipermiabel, sehingga jika hapten dan antibody yang akan direaksikan mula-mula
ditempatkan masing-masing dalam2 ruangan tersebut,maka kemudian hanya haptenlah yang
dapat melintasi sekat semipermeabel. Jika kadar masing-masing zat (hapten dan antibody)
diketahui sebelumnya,maka setelah terjadu reaksi sisahapten dapat diukur kadarnya. Dengan
mengetahui kadar sisa hapten yang bebas,dapat dikalkulasi hapten yang terikat antibody
sekaligus kadar antibody yang mengikatnya. Setelah diketahui kadar [Hp], [Ab], dan [AbHp],
masing-masing harga kadar tersebut diisikan dalamrumus untuk mendapatkan harga K.

2. Reaksi sekunder
Reaksi sekunder sebagai kelanjutan reaksi primer dapat diidentifikasi melalui manifestasi
gejala yang diamati secara in vitro. Manifestasi reaksi sekunder dapat diamati secara in vitro
dalam bentuk presipitasi,flokulasi dan aglutinasi. Reaksi sekunder ini juga berlangsung secara in
vivo dalam tubuh.
Presipitasi merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu kimia untuk menyatakan
terbentuknya endapan pada dasar tabung reaksi setelah berlangsung reaksi antara bahan-bahan
yang larut. Istilah tersebut dipakai juga dalam serologi untuk menyatakan adanya agregat
senyawa antigen-antibodi (senyawa kompleks imun) yang berkumpul di dasar tabung reaksi
sebagai endapan karena adanya gaya berat. Kadang-kadang senyawa yang terbentuk tidak dapat
mengendap,melainkan melayang-layang sebagai awan. Fenomena ini dinamakan flokulasi,yang
akan lenyap apabila tabung digoyang-goyang. Tetapi reaksi serologis perlu dibedakan secara
jelas dengan reaksi yang bersifat non-imunologis yang menimbulkan agregasi oleh proses
fisikokimia semata-mata.
Timbulnya presipitasi sangat bergantung pada perbandingan konsentrasi masing-masing
zat yang akan bereaksi. Hal ini dibuktikan dengan suatu percobaan yang disajikan pada Gambar
11-3. Untuk menetapkan perbandingan yang cocok dilakukan reaksi pada sederetan tabung
reaksi yang telah dibubuhi antiserum anti-ovalbumin dalam kadar yang sama sebanyak 0,1 ml
sebagai antibody. Kemudian kedalam setiap tabung dibubuhkan ovalbumin sebagai antigen
dengan jumlah yang meningkat, berturut-turut : 0, 15, 30, 60, 90, 120 dan 150 µg. Setelah kedua
bahan tercampur,ditunggu beberapa saat untuk inkubasi. Setelah inkubasi,setiap tabung
disentrifugasi beberapa saat.
Pengamatan setelah disentrifugasi didapatkan adanya prespitiasi di dasar tabung,kecuali
pada tabung petama yang tidak dibubuhi ovalbumin. Kandungan antibody dan antigen dalam
supernatan setiap tabung dianalisis, dan presipitat dari setiap tabung ditimbang. Dari analisis
tersebut,diperoleh 3 daerah deretan tabung yang berbeda perbandingan kadar antigen dan
antibody dalam supernatant sebagai berikut (Gambar 11-3).
a) Daerah kelebihan antibody
b) Daerah seimbang
c) Daerah kelebihan antigen.

Percobaan diatas semula dilakukan oleh Heidelberg dan Kendall,yang menyimpulkan


dan membuktikan bahwa terbentuknya suatu presipitasi diperlukan suatu keseimbangan
konsentrasi masing-masing zat yang bereaksi.

Adanya presipitasi dalam reaksi antigen-antibodi dapat dimanfaatkan pada tes


kualitatif maupun kuantitatif. Untuk kepentingan aplikasi itu diperlukan pengetahuan
mekanisme pembentukan endapan senyawa antigen-antibodi.

Pembentukan presipitasi yang tampak pada percobaan tersebut dijelaskan melalui


mekanisme molekuler seperti disajika pada Gambar 11-. Fenomena tersebut dijelaskan oleh
Marrack melalui teori kisi yang dikenal dengan lattice theory. Marrack menjelaskan teorinya
berdasarkan adanya 2 tempat pengikat antigen pada molekul antibody (Fab). Pada perbandingan
yang tepat antara antigen dan antibody terbentuklah presipitasi sebagai akibat pembentukan
kisi-kisi atau anyaman senyawa antigen-antibodi 3 dimensional (Gambar 11-4).
Pada percobaan diatas,terdapat 3 kondisi yang berbeda yang menyangkut kadar
antibody dan antigen. Kondisi tersebut yaitu: kelebihan antibody,kelebihan antigen, dan
keseimbangan kadar antigen dan antibody. Presipitasi dapat terbentuk apabila terapat
keseimbangan antara kadar antigen dan antibodi. Seluruh senyawa antigen-antibodi membentuk
anyaman sehingga akan mengendap membentuk presipitasi. Walaupun terjadi ikatan antara
antigen dan antibody spesifiknya,namun jika terdapat kelebihan kadar antigen atau kadar
antibody nya senyawa kompleks imun tidak dapat membuat presipitasi. Kondisi kadar masing-
masing reaktan tersebut dapat disimak pada Gambar 11-4.

Aglutinasi adalah pengendapan sebagai akibat reaksi antigen-antibodi,tetapi


antigennya menempel pada permukaan partikel atau sel sebagai bagian integral. Pembedaan
dengan presipitasi menjadi sulit apabila ukuran partikel semakin kecil,misalnya virus atau
makromolekul. Reaksi antara antibody dengan antigen multivalent (partikel,sel) menghasilkan
hubungan silang berbagai partikel antigen oleh antibody dalam bentuk aglutinasi.

Aglutinasi sebuah antigen merupakan hasil hubung-silang oleh antibody yang


bergantung pada perbandingan yang tepat antigen terhadap antibodinya, seperti halnya terjadi
pada presipitasi. Gambar 11-5 memberikan contoh sebuah test aglutinasi antibody terhadap
bakteri Brucella abortus yang terdapat dalamserum seseorang yang terinfeksi bakteri tersebut.
Kedalam kesepuluh tabung reaksi dibubuhkan serum penderita dengan pengenceran serial 2 kali
lipat yang diawal pengenceran 1:4 dan berakhir dengan pengenceran 1:2048. Kedalam
kesepuluh tabung yang terisi serum tersebut kemudian dibubuhkan suspense Brucella abortus
dalam jumlah yang sama. Setelah mengalami inkubasi beberapa saat,dalam deretan tabung
tersebut dapat diamati adanya aglutinasi (tanda +) dalam beberapa tabung (tabung nomer 3
sampai 9) dan tidak ada aglutinasi (tanda -). Pada gambar 11-5 tersebut terlihat hasil reaksi yang
dapat dibedakan adanya 3 daerah pada deretan tabung: pertama pada 2 tabung pertama
merupakan daerah yang tidak terdapat aglutinasi yang dinamakan: prozone dan daerah kedua,
merupakan daerah deretan tabung yang memperlihatkan aglutinasi, dan daerah terakhir sesudah
aglutinasi tabung dengan pengenceran 1:2048 tidak menunjukkan aglutinasi. Dalam reaksi
aglutinasi ini dikaakan bahwa titer antibody-anti β. Abortus mempunyai titer 1:1024. Titer
ditunjukkan oleh pengenceran antibody yang terbesar yang masih menghasilkan aglutinasi
(dalam contoh: pengenceran 1:1024). Titer pada reaksi aglutinasi hanya merupakan ekspresi
semikuantitatif keberadaan antibody dalam serum.

Adanya prozone menunjukkan bahwa untuk aglutinasi dipersyaratkan pengenceran.


Walaupun cukup kandungan antibody dalam tabung ke-1 dan 2 namun tidak terjadi aglutinasi
(Gambar 11-6).

Permukaan partikel atau sel yang merupakan antigen dapat mempunyai muatan
listrik. Misalnya permukaan eritrosit mempunyai muatan listik negative yang disebabkan
adanya asam sialik. Apabila partikel semacam itu berada dalam suspense larutan
garam,terbentuklah potensi zeta diantara partikel-partikel dalam suspense tersebut. Potensi zeta
tersebut akan menghalangi partikel-partikel untuk saling berdekatan,sehingga mempersulit
terbentuknya aglutinasi oleh antibody spesifiknya, khususnya padakasus eritrosit dengan
antibody igG. Pada kasus eritrosit tersebut,lengan-lengan Fab dari igG terlalu pendek untuk
menghubung-silangkan antigen pada permukaan eritrosit dalam membentuk aglutinasi. Untuk
mengatasi hal tersebut molekul-molekul igM (khusunya dalam bentuk pentamer) cukup dapat
mengatasi pengaruh dari potensi zeta. Maka dalam reaksi aglutinasi dengan partikel atau sel,
dipilih antibody igM.

Dalam Coombs test agar terjadi aglutinasi dipakai antibody sekunder yang
mempunyai spesifisitas anti-igG terhadap antibody primer,maka dinamakan juga test anti-
imunoglobulin. Hal ini berdasarkan 2 kenyataan: 1) immunoglobulin dari satu spesies (misalnya
manusia) akan bersifat imunogenik apabila disuntikkan ke dalam tubuh spesies lain
(misalnya,kelinci) yang akan menginduksi pembentukan antibody antiimunoglobulin,dan 2)
ahwa banyak dari antibody anti-imunoglobulin (antibody kelinci anti-Ig manusia) akan
mengikat epitop yang berkedudukan pada Fc antibody,sedang bagian Fab antibody tersebut
masih bebas untuk berikatan dengan antigen spesifiknya. Maka,sebagai cobtoh,jika igG
manusia (antibody primer) diikatkan dengan epitop pada eritrosit,dengan pemberian antibody
kelinci anti-igG manusia (anibodi seunder) akan menghasilkan ikatan dengan epitop bagian Fc
ari antibody manusia yang sedang teikat pada pemukaan eritrosit melalui bagian Fab. Pada
kasus ini antibody kelinci akan menghubungsilangkan (sebagai jembatan) antara molekul igG
manusia yang menyelubung eritrosit yang berjauhan (adanya potensi zeta). Terbentuklah
aglutinasi

3. Reaksi Tertier
Reaksi sekunder yang berlangsung dalam tubuh (in vivo) dapa berlanjut dengan bentuk
fenomena lain yang bermanifestasi sebagai gejala klinik, seperti anaphylactic shock dan serum
sickness. Reaksi antigen-antibodi sebagai kelanjutan reaksi sekunder dinamakan reaksi tertier.
Berbeda dengan reaksi primer dan sekunder yang dapat berlangsung secara in vivo dan in
vitro,reaksi tertier hanya dapat berlangsung secara in vivo karena dibutuhkan lingkungan
jaringan tubuh. Reaksi tertier ini dijumpai pada beberapa gejala dalam klinik.

GAYA PENGIKAT ANTIBODI-ANTIGEN


Karena reasu antara antigen dan antbodi merupakan reaksi kimia,maka gaya pengikat
hasil reaksi tersebut tidak berbeda dengan gaya pengikat dalam reaksi antara protein dengan
protein. Dalam halini dapat disebutkan beberapa macam gaya :

Jenis Gaya Pengikat


a) Gaya elektrostatik
Gaya elektrostatik timbul karena adanya tarik menarik antara gugus ion yang bermuatan
berlawanan pada molekul yang berhadapan. Misalnya gugus ion amino (-NH+) pada lisin
dari sebuah protein (Fab) berhadapan dengan gaya ion karboksil (-COO) dari gugus aspartat
protein lain (antigen). Apabila masing-masing muatan tersebut saling berdekatan, maka
gaya elektrostatika semakin meningkat dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh karena gaya
tariknya berbaning terbalik dengan kuadrat dari jarak yang memisahkan kedua muatan
tersebut,berdasarkan rumus persamaan:
1
𝐹=
𝑑2
b) Gaya Pengikat hydrogen
Gaya ini terdapat pada pembentukan jembatan hydrogen yang relative lemah kekuatannya
dan bersifat reversible, di antara gugus hdrofilik seperti: -OH, -NH, -NH2 dan –
COOH,bergantung pada pendekatan 2 molekul yang memiliki gugus-gugus tersebut
(Gambar 11-8)

c) Gaya Hidrofobik
Gaya hidrofobik dapat disamakan dengan keadaan apabila tetes-tetes minyak dipermukaan
air saling mendekat dan cenderung menyatu.
Gaya semacamini dijumpai antara gugus-gugus nonpolar yang bersifaat hidrofobik
seperti msalnya asam amino valinlisin dan fenilalanin. Dalam lingkungan air gugus-gugus
tersebut akan cenderung mendekat,seperti halnya tetes-tetes lemak yang akan menyatu.
Ikatan antara antigen-antibodi ditaksir 50% berbentuk sebagai ikatan dengan gaya
hidrofobik (Gambar 11-9)s

d) Gaya van der Waals


Gaya van der Waals bergantung pada interaksi antara “awan electron” eksternal molekul-
molekul bersangkutan yang tidak bermuatan. Apabila terjadi suatu gangguan sementara
pada keseimbangan pada awan electron dari sebuah molekul, maka dapat terbentuk keadaan
“dwikutub” (dipole) yang akan menginduksi molekil di dekatnya menjadi dwikutub pula.
Keadaan ini akan menimbulkan gaya tarik yang lemah antara 2 molekul tersebut.

Karena electron-elekron bergerak kembali untuk mencapai keseimbangan lagi,maka


terjadilah gerakan osilasi electron. Gaya tarik yang bekerja tersebut berbanding terbalik
dengan pangkat 7 dari jarak antara 2 molekul.

Walaupun ikatan kovalen menggunakan gaya yang paling besar apabila dibandingkan
dengan gaya-gaya tersebut di atas, namun ikatan kovalen tidak merupakan gaya yang utama
dalam ikatan antara antigen dan antibody.

Anda mungkin juga menyukai