Anda di halaman 1dari 2

Analisis Sederhana Lirik Lagu Iwan Fals “semoga kau tak tuli

tuhan”
Begitu halus tutur katamu 
Seolah lagu termerdu
Begitu indah bunga-bungamu 
Diatas karya sulam itu
Tampilkan kebajikan seorang ibu
Dengarlah detak jantung benihku
Yang ku tanam dirahim mu
Seakan pasrah menerima
Semua warna yang kita punya, 
Segala rasa yang kita bina
Ku harap kesungguhanmu, 
Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Ku harap keikhlasanmu, 
Sirami benih yang ku tabur ditamanmu.
Oh jelas, rakit pagar semakin kuat 
Tak goyah, walau diusik unggas.
Pintaku pada Tuhan mulia 
Jauhkan sifat yang manja
Bentuklah segala warna jiwanya 
Diantara lingkup manusia
Diarena yang bau busuknya luka
Bukakan mata pandang dunia 
Beri watak baja padanya
Kalungkan tabah kala derita

Semoga kau tak tuli Tuhan, 


Dengarlah pinta kami sebagai orangtuanya

***
                 Diantara alasan kenapa saya ingin mengkaji lirik tersebut, salah satunya adalah
ketertarikan pada judul lagunya, “semoga kau tak tuli tuhan”. Bagi saya judul tersebut sangat
islami dan mengandung bahasa yang seperti bertentangan, namun justru di situlah letak
kehebatannya. Dalam ilmu ushul fiqh ada bab tentang mafhum mukhalafah, yaitu memahami
suatu pengertian dengan berbeda dari ucapan/tulisannya.“Semoga kau tak tuli tuhan” sama
dengan atau selaras dengan ucapan “Sami’a allahu liman hamidahu” yang biasa diucapkan
seorang muslim ketika bangun dari i’tidal. Sebenarnya Tuhan tidaklah pernah dan tidak
mungkin tuli. Karenanya kalimat judul tersebut haruslah dipahami dengan mafhum
mukhalafah. Itulah yang keindahan dari bahasa yang digunakan oleh Iwan Fals.
Puisi –kalau boleh saya katakan itu adalah puisi, secara pemahaman saya yang masih
sangat dangkal, merupakan nasehat seorang suami pada istri, dan doanya kepada Tuhan untuk
seorang anak. Begitu halus tutur katamu/Seolah lagu termerdu/Begitu indah bunga-
bungamu/Diatas karya sulam itu/Tampilkan kebajikan seorang ibu. Pada bait tersebut
merupakan pujian suami kepada istri yang telah bersikap lembut dan berkarya dengan sebaik-
baiknya. 
                Pada bait kedua, Dengarlah detak jantung benihku/Yang ku tanam dirahim
mu/Seakan pasrah menerima/Semua warna yang kita punya/Segala rasa yang kita bina.Ini
adalah himbauan seorang suami kepada istri supaya benar-benar ikhlas dan pasrah dengan
apa yang telah diwariskan kepada sang anak. Karena sudah menjadi hal yang wajar, bahwa
anak akan mewarisi apa yang ada dari kedua orang tuanya yang nantinya akan diterima.
Pada sajak ketiga, Ku harap kesungguhanmu/Kaitkan jiwa bagai sulam dikarya itu
Ku harap keikhlasanmu/Sirami benih yang ku tabur ditamanmu. Pada bait ketiga itulah sang
suami benar-benar ingin sang istri bersungguh-sungguh dalam membina dan mendidik
anaknya. Kenapa harus sang ibu? Karena sang ibu sangat berpengaruh dalam menentukan
perkembangan berpikir dan pendidikan seorang anak. Sang ibulah yang benar-benar tahu
kondisi psikis, kebiasaan, tabi’at seorang anak. Perumpamaan yang digunakan pun sangat
teliti, -kaitkan jiwa bagai sulam di karya itu. Menyulam adalah kegiatan yang memerlukan
ketilitian maksimal, karena salah satu kotak dan warna pun akan memengaruhi kwalitas dan
kehadiran jiwa dalam sebuah karya. Hal ini menunjukan, bahwa dalam mendidik seorang
anak, tidak begitu saja menggunakan akal dan rasional saja, tetapi juga dengan pendekatan
jiwa, pendekatan emosional. Ibaratnya anak adalah karya seni yang harus diapresiasi dengan
jiwa, bukan semata dengan rasio saja.
Pada bait selanjutnya sampai terakhir tidak lain adalah sebuah do’a, Oh jelas, rakit
pagar semakin kuat  /Tak goyah, walau diusik unggas/Pintaku pada Tuhan mulia/Jauhkan
sifat yang manja, inilah puncak dari segala usaha yang telah diupaya, yakni pasrah. Proses
akhir dari bentuk usaha adalah tawakkal dan pasrah, bahwa segala sesuatu adalah menjadi
kehendak Tuhan, karena manusia sifatnya terbatas, sedangkan Tuhan adalah tak terbatas.
Berikut adalah do’a yang diucapkan. Bentuklah segala warna jiwanya/Diantara lingkup
manusia/Diarena yang bau busuknya luka,  bila diamati, doa tersebut amatlah sangat
sederhana, tidak terlalu muluk-muluk, yakni hanya ingin dijauhkan dari sifat yang manja.
Manja bisa diartikan juga tidak mandiri, bila sudah tidak bisa mandiri, orang akan menjadi
penakut, minder, dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat, karena baginya ia tak bisa
melakukan apa-apa. Bukakan mata pandang dunia/Beri watak baja padanya/Kalungkan
tabah kala derita/Semoga kau tak tuli Tuhan/Dengarlah pinta kami sebagai
orangtuanya. Pada kondisi kehidupan yang permasalahannya sudah sebegini kompleks,
mulai dari hilangnya norma agama sebagai fungsi kontrol manusia dalam bertindak,
paradigma konsumerisme, komoditi dan kekerasan, dan lain sebagainya. Adalah bukti bahwa
masyarakat kita sudah kehilangan mental dalam mengahadapi problem semacam itu. Inilah
puncak dari do’a yang ada dalam lirik bait-bait terakhir. Ia berharap agar sang anak
dikaruniai watak seperti baja, sekeras dan sekeji apapun realitas pada saat ini akan ia hadapi
dengan mental bak baja. Watak baja merupakan watak yang mampu membentengi sekaligus
menyerang segala persoalan, baik itu kapasitasnya kecil, maupun besar. Ia akan hidup dengan
nalar baja.
Penyair bukanlah orang yang pintar berdoa dengan kata-kata yang indah yang
mampun menghayutkan pembaca atau pendengar, namun seorang penyair adalah orang
pandai dalam menyampaikan doanya secara sederhana, bahasa yang sistematis, dan sesuai
dengan kebutuhannya. 

Anda mungkin juga menyukai