Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan yang telah diterapkan oleh
pemerintah dalam upaya peningkatan mutu sumber daya aparatur sebagai manusia
modal (human capital) di sektor publik. Artikel ini menganalisis dari aspek kebijakan
yang diterapkan di sektor publik untuk peningkatkan mutu human capital. Di samping itu,
artikel ini memberikan data dan informasi untuk analisis dengan menggunakan studi
perbandingan kebijakan berkaitan dengan sistem pengelolaan sumber daya aparatur di
Australia, mulai dari sistem seleksinya sampai dengan pensiun untuk meningkatkan
mutunya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan
dari studi kepustaan dan dokumentasi, serta wawancara. Adapun informan kunci terdiri
dari: anggota dewan perwakilan, berbagai lembaga yang berperan dalam
pengembangan human capital di sektor publik (seperti Lembaga Administrasi Negara
(LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementrian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi), pimpinan dan pegawai yang bekerja di sektor publik,
serta masyarakat umum.
Hasil studi menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai harapan
sekaligus keluhan tentang pelayanan dari aparatur penyelenggara negara akibat dari
masih dibawah standarnya kualitas pegawai negeri. Di samping itu, hal yang paling
berat adalah lemahnya mekanisme seleksi dan rekrutmen pegawai negeri yang
dilakukan oleh pemerintahan daerah. Banyak calon pegawai yang diterima tidak sesuai
dengan kualifikasi dan spesifikasi tugas yang dibutuhkan. Di sisi lain, studi juga
menunjukkan lemahnya kesadaran pegawai negeri (berkisar 4,8 juta) maupun
masyarakat Indonesia (kurang lebih 220 juta) terhadap hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
Artikel ini memberikan kritik dan rekonstruksi bagi peningkatan mutu sumber
daya aparatur sebagai human capital di sektor publik berdasarkan prinsip tata kelola
pemerintahan yang bersih, transparan dan terbuka. Selain itu, artikel ini memberikan
masukan bagi perbaikan sistem manajemen sumber daya aparatur dengan diperkaya
oleh analisis perbandingan dengan sistem yang ada di negara maju (dalam hal ini
adalah Australia).
Kata-kata Kunci: human capital, mutu, sumber daya aparatur, sektor publik,
evaluasi kebijakan, Indonesia, Australia.
1
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Dies Emas 50th FISIP Universitas Parahyangan dengan tema
„Pengembangan Human Capital di Indonesia: Perspektif Nasional, Regional dan Global‟, Bandung, 16
Juni 2011.
1|Page
Latar Belakang
Banyak pertanyaan dari publik atau masyarakat dari berbagai kalangan mengenai
kinerja pegawai di sektor publik yang masih jauh dari yang diharapkan. Carut marut
permasalahan di negri ini membuat masyarakat semakin hilang kepercayaannya terhadap
sektor publik. Pegawai negeri sipil (PNS) adalah garda terdepan untuk memberikan dan
melaksanakan visi negara. Disini PNS berperan sebagai aktor utama dalam rangka
mewujudkan keberhasilan tujuan pemerintahan negara tersebut. Karenanya, PNS harus
mendapatkan perhatian serius untuk bisa menghasilkan PNS yang memiliki kompetensi
yang tinggi untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
Kebijakan kepegawaian PNS diatur dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian. Namun, implementasi dari undang-undang ini secara empirik masih
menemui banyak kendala dan juga persoalan. Persoalan antar lain disebabkan adanya
beberapa hal yang belum diatur secara detail dalam peraturan perundang-undang tersebut.
Gambar 1 memberikan gambaran singkat mengenai fenomena permasalahan kebijakan
kepegawaian yang ada. Banyak hal yang belum diatur dalam sistem dan kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan secara baik, seperti: perencanaan kebutuhan PNS secara
nasional, rekrutmen PNS, pengembangan melalui diklat, penilai kinerja PNS, pengaturan
tentang sistem pemberhentian / pensiun PNS. Oleh karena itu, sangat krusial untuk
mengevaluasi kembali kebijakan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga
dapat membangun sistem kepegawaian yang kondusif agar dapat diciptakan lingkungan
kerja yang efektif dan efisien di sektor publik.
2|Page
Hal ini seharusnya dijadikan perhatian yang serius, karena memang PNS berperan
sebagai penggerak utama dari jalannya program reformasi birokrasi nasional yang
diyakini akan menjadi modalitas utama dalam menciptakan kinerja pemerintahan yang
baik.
3|Page
Tinjauan Sosiologis
Sampai bulan Juni 2009, jumlah PNS di Indonesia tercatat 4,83 juta jiwa. Jumlah
ini pada dirinya sendiri sangat besar—artinya tidak dikaitkan dengan rasio jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta jiwa (perkiraan sementara data BPS 2010).
Dengan jumlah sebesar itu, PNS dengan sendirinya menjadi potensi sumber daya
manusia (SDM) yang tidak boleh diabaikan. Pemanfaatan SDM PNS secara maksimal
akan mendorong gerak laju pembangunan ke arah tujuan Nasional yang dicita-citakan,
yaitu terciptanya kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. SDM PNS
merupakan pertaruhan bagi maju-mundurnya sebuah bangsa, karena itu kuantitas PNS
harus diupayakan sejajar dengan kualitasnya, dengan terus menerus meningkatkan
profesionalitas, kapabilitas, dan kompetensi mereka. Mengabaikan hal ini sama dengan
membiarkan potensi yang demikian besar itu tercerai berai, tidak produktif, dan akhirnya
justru menjadi beban negara.
Pegawai negeri adalah komunitas terstruktur yang terdiri dari para pekerja yang
mengabdikan dirinya untuk melayani kepentingan orang banyak dalam suatu organisasi
yang disebut negara. Dalam melakukan pekerjaannya, pegawai negeri mengacu pada
suatu pedoman bersama yang dibuat oleh organisasi (negara), yakni undang-undang
dengan berbagai peraturan yang terkait. Undang-undang ini mencakup prinsip dasar,
tujuan, kode etik, sikap, aspirasi, keyakinan, komitmen, dan cita-cita bersama sebuah
bangsa.
Sebuah undang-undang yang terkait dengan kepegawaian merupakan cerminan
atau refleksi tentang perilaku kerja yang khas dari sebuah bangsa, yang disebut etos kerja,
yang mendorong lahirnya pandangan-pandangan positif terhadap nilai kerja seperti: kerja
adalah amanah, karena itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab; kerja adalah
ibadah, karena itu harus dilakukan dengan tulus; kerja adalah kehormatan, karena itu
harus menghindari hal-hal yang tercela; kerja adalah pelayanan, karena itu harus
dilakukan dengan rendah hati; kerja adalah panggilan hidup, karena itu harus dilakukan
dengan komitmen; dan kerja adalah bentuk aktualisasi diri, karena itu harus dilakukan
dengan total dan penuh integritas. Sebuah undang-undang kepegawaian yang tidak
berhasil mendorong lahirnya etos kerja bangsa hanya akan menjadi sebuah aturan beku,
4|Page
tidak relevan, dan tidak akan mendorong semangat kompetisi dalam memajukan
peradaban bangsa.
Tinjauan Yuridis
Landasan Teoritis
6|Page
Fitz-enz (2009: 136-138) juga menjelaskan bagaimana benchmark dan best
practices dalam difokuskan untuk perbaikan organisasi. Dengan memfokuskan pada
beberapa aspek, seperti:
a. Bagaimana menurunkan biasa operasional untuk pengembangan SDM dan
berorientasi pada optimalisasi hasil/benefit.
b. Mempercepat proses pengembangan SDM yang berorientasi pada prioritas
kepentingan.
c. Melakukan evaluasi adanya peningkatan kepuasan dari customer melalui
metode baru yang diterapkan.
Saat ini melakukan benchmark lebih mudah dilakukan dengan semakin canggihnya
teknologi komunikasi dan internet. Namun, perlu juga dilakukan analisis mengenai
definisi, termonologi, dan kualitas data yang valid dan reliable.
Wallis et.al (2007: 134) menegaskan adanya hubungan antara disiplin dengan
sistem dalam administrasi publik yang membentuk peranan SDM dalam bekerja di
pemerintahan. Wallis menekankan pada pentingnya konsep collective supply (penyediaan
secara kolektif) dari manusia modal yang mampu berkontribusi secara signifikan
terhadap kebijakan pemerintah yang efektif. Olehkarena itu, kebijakan kepegawaian
sebagai salah satu dasar landasan hukum untuk menerapkan konsep pengembangan SDM
di sektor publik yang berorientasi pada peningkatan mutu human capital sektor publik
perlu dievaluasi dan diformulasikan kembali.
Jika berbicara tentang jalur karir dalam konteks sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM), maka kita perlu memperhatikan klasifikasi struktur karir dalam sistem
MSDM. Dalam sistem pelayaanan publik di Australia, PNS dibagi tingkatannya sebagai
berikut:
PNS Australia (APS) 1-6
Tingkat eksekutif (EL) 1-2
Senior Eksekutif (SES)
7|Page
Dengan demikian, seorang PNS yang diangkat mulai dari level paling bawah (tingkat
eksekutif/pelaksana1) akan melalui 8 kali promosi untuk memperoleh posisi paling tinggi
(senior eksekutif), sebaliknya di sistem kepegawaian Indonesia, seorang PNS harus
melalui 17 tahap promosi2. Berdasarkan “Penerimaan PNS Berbasis Canberra, mayoritas
pegawai dapat mendapatkan posisi EL1 dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Jika seorang
PNS berbakat dan berkeinginan untuk melanjutkan karir pada tahap lebih lanjut
(manajemen senior), PNS tersebut memiliki kesempatan dari tahap eksekutif (EL 2)
menuju tingkat senior eksekutif dalam kurun waktu 10 tahun atau lebih (APSC, 2005: p.
48).
Jika dibandingkan dengan Indonesia, sistem Australia terlihat memiliki jalur karir
yang jelas/tegas. Terlepas dari dinamika jenjang karir, sistem Asutralia tidak
memperlakukan secara berbeda antara posisi fungsional dan struktural. Berbeda dengan
Indonesia, sistem kepegawaian terdiri dari 3 golongan utama yang mungkin satu-satunya
yang masih digunakan sampai saat ini. Walaupun pada tahap penerimaan (sekitar
golongan Ia-IIIa), PNS termasuk pada posisi adminisrasi umum3. Selanjutnya dalam
penitian karir, mereka dapat memilih kemudian menjadi staf sruktural4 ataupun
fungsional5. Disamping memiliki sistem penilaian umum, PNS yang memiliki posisi
struktural juga dinilai dalam ukuran level esselon yang berdasarkan tingkat terdiri dari
Vib, Via, IIIb, IIIa, IIb,IIa, Ib sampai Ia.
2
Tingkatan PNS di Indonesia dari tingkat terendah sampai tertinggi adalah: Ia, 1b, 1c, 1d, IIa, IIb, IIc, IId,
IIIa, IIIb, IIIc, IIId, IVa, IVb, IVc, IVd and IVe
3
PNS di posisi ini berkaitan dengan pekerjaan teknis administrasi.
4
Management posisi ditentukan oleh struktur organisasi
5
Karir diluar struktural dalam birokrasi pemerintah, seperti: widyaiswara, pustakawan, guru, dosen, dll.
8|Page
Perpindahan pegawai antar departemen/Badan/Lebaga merupakan hal umum
dalam Sistem Pelayanan Publik Australia, walaupun trennya mengalami penurunan
seperti yang dijelaskan pada gambar 2.
Sistem Administrasi Pelayanan Publik Australia, memiliki resiko kesenjangan
manajerial, dan masih mengalami kekurangan pengalaman sebelum mencapai tahap
manajerial berkaitan. Seperti yang terlihat dalam gambar 1 terdapat tren yang turun
dalam laju mobilitas antar departemen baik dalam promosi maupun perpindahan.
9|Page
yang akan datang. Dengan demikian, sistem jalur karir berfungsi sebagai panduan yang
fleksibel daripada aturan formal yang tegas.
Seteleh ditempatkan, umumnya pegawai baru diberikan keleluasaan untuk
memilih jalur karir mereka sendiri tanpa bimbingan atau mentoring tertentu. Hanya 7 dari
36 departemen memiliki “Program Umum Pegawai Baru”. Setelah masa pelatihan,
program ini dijalankan dengan menyediakan bantuan tertentu bagai pegawai baru dan
bimbingan formal yang disediakan hanya dengan 3 orang.
Uraian tersebut menjelaskan bagaimana suatu jalur karir pegawai lebih bersifat
sebuah pedoman administrasi daripada sebuah aturan formal yang disediakan organisasi.
Selanjutnya, jalur karir sangat jarang dibicarakan sebagai topik tersendiri, melainkan
sering menjadi bagian dari konsep yang lebih luas yaitu perencanaan tenaga kerja.
Sebagai contoh, beberapa departemen memperkenalkan perencanaan tenaga kerja yang
terdiri dari latihan penerimaan pegawai baru, program pengembangan karir dan Program
kepemimpinan (APSC, 2005: p. 57). Selanjutnya APSC menjelaskan dengan mengambil
contoh pada Departemen Ilmu, Pendidikan dan Pelatihan. Depertemen tersebut menuntut
setiap bidang bekerjasama dalam proses tahunan untuk pertimbangan kebutuhan tenaga
kerja baik saat ini maupun masa yang akan datang. Manajemen kinerja, pengembangan
karir dan data demografi digunakan untuk membuat kerangka perencanaan tenaga kerja
yang teridentifikasi dari fenomena pasokan dan permintaan dan berbagai kesenjangan
dalam ketenagakerjaan.
Hal serupa dilakukan Departemen Pertahanan yang mengembangkan proses
perencanaan tenaga kerja unutk pegwai sipil yang berjumlah 18.000 personel. Program
tersebut diinfromasikan oleh Perancangan Rencana Pegawai yang digunakan oleh
Angkatan Pertahanan Australia. Saat program telah sepenuhnya berjalan, Program
tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung resiko dan tekanan
tenaga kerja yang akan timbul. Pengembangan kegiatan dari program perencanaan tenaga
kerja meliputi: peningkatan sistem manajemen kepegawaian untuk memastikan berbagai
data lapangan digunakan bagi perencanaan tenagakerja; pengembangan aturan untuk
pengukuran dari laporan perencanaan ketenagakerjaan; mengkasifikasikan semua posisi
departemen; serta membangun dan mengisi gudang data ketenagakerjaan. Jika kegiatan
tersebut selesai, selanjutnya Departemen Pertahanan dapat menghasilkan model-model
10 | P a g e
dinamis berdasarkan pengetahuan dan juga dapat memperkirakan perubahan demografi
baik pada internal maupun eksternal organisasi. Dan yang paling penting organisasi
mampu memperkirakan tren ketenagakerjaaan dimasa yang akan datang.
Selanjutnya, “banyak departemen melakukan survai staf secara periodik yang
melingkupi berbagai topik, yang seringkali berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang tujuan karir di masa depan” (APSC, 2005:58). Departemen Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (DAFF) melangkah lebih jauh dengan melakukan sebuah survai yang
fokus pada pilihan karir dan harapan-harapannya (APSC, 2005).
Suatu kebijakan dikeluarkan oleh DFF yang mungkin memiliki kesamaan
substansi dengan jalur karir di Indonesia. Kebijakan tersebut disebut Kerangka Kerja
Kapasitas (The Capability Framework). Kapasitas ini dimaksudkan perincian bahwa
setiap level kerja (APS, EL dan SES) seharusnya terus dikembangkan. Kebijakan
Kerangka Kerja Kapasitas (Capability Framework Policy) juga dikeluarkan oleh bagian
klasifikasi struktur internal DFF yang terdiri dari seior eksekutif 1-3. Kerangka kerja
tersebut meliputi pekerjaan sumber daya manusia dan pedoman kinerja manajemen, daya
tarik, seleksi, rencana dan penyimpanan tenaga kerja. Selanjutnya, kerangka kerja
tersebut juga membantu membentuk pengembangan dan pembelajaran strategi untuk
memastikan pegawai memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengembangkan dan
melaksanakan kebijakan dan program (DAFF, n.d.). Dokumen kebijakan menjelaskan
pegawai dan perbandingan dari jalur karir departemen. Diantara manfaat yang
diharapkan dari Kerangka Kerja Kapasitas diantaranya adalah landasan/dasar tenaga
kerja dan perencanaan suksesi. Dalam hal ini, memastikan kandidat diberikan informasi
yang cukup untuk mementukan peran yang tepat bagi mereka. Disamping itu,
mempromosikan orang yang tepat untuk sebuah peran saat pemilihan kandidat serta
memastikan konsistensi pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh berbagai divisi,
jabatan maupun goongan kerja.
Departemen Tenaga Kerja dan Hubungan Ketenagakerjaan (sekarang Departemen
Pendidikan, Tenaga Kerja dan Hubungan Ketenagakerjaan) juga menyediakan kebijkan
serupa yang disebut dengan Standar Tingkat Kerja (STK) yang memiliki kemiripian
dengan analisis jabatan di Indonesia. STK menjelaskan syarat pekerjaan untuk setiap
Tugas dan kelasifikasi. Sistem ini digunakan di departemen-departemen Australia. WLS
11 | P a g e
juga memberikan kriteria untuk membedakan tingkat kerja dalam kelompok tenaga kerja.
STK merupakan terminologi khusus yang digunakan di Pelayanan Publik Australia dan
infromasinya disalurkan kepada departemen-departemen. Secara lebih khusus, STK
digunakan untuk menjelaskan deskripsi tingkat kerja, karakteristik kerja, keterampilan
dan karakternya, serta deskripsi kerja.
Pelayanan publik Australia dilaksanakan secara lebih sederhana dan lebih tegas
dibandingkan pelayan publik Indonesia yang didasarkan sistem perbandingan nilai.
Disamping itu, regenerasi lebih cepat dijalankan. Selanjutnya, dinamika sistem penilaian
dapat mengatasi masalah/efek penuaan Pelayanan publik Australia. Sejalan dengan
Pelayanan publik Indoensia pun mengalami penuaan, untuk itu, pengalaman Australia
menjadi layak dipertimbangkan.
Lembaga pelayanan publik Autralia memberlakukan sistem terbuka (open
system), perpindahan antar lembaga dan promosi adalah hal yang umum, walaupun
terdapat tren penurunan dari tahun 1984-2004. Perpindahan antar lembaga dan promosi
dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi penyiapan regenerasi pemimpin-pemimpin
publik.
Jalur karir merupakan seperangkat pedoman yang fleksibel untuk membantu PNS
Autralia merencanakan karir mereka. Lembaga pelayanan publik Autralia tidak
memberlakukan Jalur karir sebagai mekanisme untuk membatasi kemajuan karir PNS
dalam rangka membuat kepatuhan kepada kebijakan kepegawaian organisasi. Dalam
konteks ini, pilihan individu lebih ditekankan daripada kontrol organisasi. Dari wacana
ini, sistem di Indonesia dapat mengambil pelajaran mengenai keseimbangan yang sesuai
anatara pemenuhan kepentingan organisasi dengan pemenuhan kebutuhan karir pegawai.
Dalam membangun sistem jalur karir yang memotivasi pegawai diperlukan penyediaan
asistensi dan bimbingan (mentoring) sebagaimana yang diberlakukan oleh beberapa
lembaga publik Australia. Hal ini praktek-praktek yang efektif tanpa
mengabaikan/berbenturan dengan kepentingan organisasi.
12 | P a g e
Gambar 3: Sistem Pengembangan SDM Sektor Publik di Australia
Dalam lembaga publik Australia, suatu jalur karir sebagai alat organisasi tidak
harus berdiri sendiri. lembaga publik Australia lebih mengedepankan pada konteks yang
lebih luas yaitu perencanan tenaga kerja daripa pada jalur karir itu sendiri. Jalur karir
diserahkan secara fleksibel kepada individu pegawai.
KESIMPULAN
13 | P a g e
manusia modal (human capital) yang optimal dalam sektor publik sehingga dapat
mewujudkan SDM yang kuat di masa datang; (6) membangun karakter dan kompetensi
PNS sehingga dapat ditegakkan reformasi integritas, disiplin dan akuntabilitas.
Rekomendasi
Rekomendasi pertama berkaitan dengan menjaga netralitas pegawai negeri, maka
semua pegawai negeri harus diposisikan netral dalam politik, dan ini merupakan
konsekuensi yang harus diemban oleh setiap abdi masyarakat dan abdi negara. Perlu
memberikan sanksi kepada pejabat politik daerah yang melakukan politisasi birokrasi
atau menggunakan birokrasi untuk kepentingan politiknya.
Pemerintah perlu menghidupkan kembali wawasan nasional dalam pengangkatan
PNS dengan menempuh strategi penyebaran secara merata ke seluruh pelosok tanah air
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini ditempuh untuk mengikis gejala nepotisme kedaerahan.
Gejala yang terjadi di daerah-daerah pemekaran cenderung yang mengangkat PNS dari
putra asli daerah harus dievaluasi kembali dan dihentikan. Kekurangan pegawai pada
daerah otonomi baru (DOB) masih bisa diantisipasi oleh kelebihan PNS di daerah lain.
Distribusi PNS harus diumumkan secara terbuka dan dilaporkan ke pusat (BKN), sebab
selama ini distribusi yang dilakukan oleh kepala daerah terbukti menjadi sarang korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), dimana para kepala daerah cenderung mengangkat famili
dan kerabatnya sendiri untuk mengisi formasi pegawai negeri.
Secara umum sistem penggajian PNS bisa dikatakan belum tertata dengan baik,
sehingga memunculkan banyak istilah posisi basah dan posisi kering atau kerja di “mata
14 | P a g e
air” atau “airmata”. Kondisi ini jelas tidak bagus dalam rangka menciptakan birokrasi
yang didukung oleh human capital yang bisa berfungsi menjalankan pelayanan dengan
baik. Dilihat dari struktur penggajian, PNS belum bisa dijadikan suatu ukuran tingkat
pendapatan. Hal ini disebabkan oleh distribusi pendapatan yang tersebar dalam berbagai
komponen kegiatan dengan perbaikan sistem penggajian yang mengarah pada sistem
penggajian tunggal. Remunerasi PNS harus berdasarkan pada kompetensi yang melekat
pada PNS, posisi terkait jabatan, resiko kerja, beban kerja, tingkat kesulitan,
kompleksitas, dan kekhususan (kelangkaan).
Penegakan disiplin dan kode etika selain harus ditingkatkan juga dikaitkan dengan
sistem remunerasi yang sedang disusun dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
pembangunan manusia modal (human capital) untuk menjadi sumber daya professional.
Hal ini bisa dijalankan dengan pembenahan mulai aspek perencanaan, pengadaan,
pembinaan, penegakan disiplin dan etika pegawai serta perbaikan kesejahteraan.
Kebijakan yang secara normatif mengatur Sistem Perencanaan, Rekrutmen dan Seleksi
Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kepegawaian, Manajemen Kinerja (termasuk
didalamnya Sistem Penilaian Kinerja), Pembinaan Karir Kepegawaian, dan Sistem
Renumerasi dan Kompensasi Kepegawaian harus segera diformulasikan dalam upaya
peningkatakan mutu human capital di sektor publik.
REFERENSI
APSC, 2005. Managing and Sustaining the APS Workforce: Paying particular attention
to graduate recruitment and career development. Canberra: Commonwealth of
Australia.
Bovaird, T. and Loffler, E. 2005. Public Management and Governance, Routledge Publ,
London.
DAFF (2006), Capability Framework, Canberra: Commonwealth of Australia.
Department of Employment and Workplace Relations (2008). Work Level Standard,
retrieved from http://www.workplace.gov.au/
workplace/Organisation/Government/Federal/EmploymentFramework/WorkLevelSta
ndards/ASO/ (26 September 2010).
Fitz-enz, J., 2009. The ROI of Human Capital: measuring the economic value of
employee performance, American Management Association, 2nd edition, New York.
McNabb D.E., 2009. The New Face of Government: how public managers are forging a
new approach to governance, CRC Press, American Society for Public
Administration.
15 | P a g e
Wallis, J.L., Dollery, B.E., and McLaughlin, L., 2007. Reform and Leadership in the
Public Sector: a political approach, Edward and Elgar Publishing Inc., Cheltenham,
UK.
Peraturan dan Perundangan
16 | P a g e
Biodata: Septiana Dwiputrianti
17 | P a g e
2010 – Konferensi Administrasi Negara III di FISIP
Universitas Padjadjaran, Bandung.
2010 - International Institute of Administrative
Sciences (IIAS) dan International Association of
Schools and Institutes of Administration (IASIA)
Congress, Nusa Dua - Bali.
2011 - Innaugural International Workshop for Young
Scholars in Public Policy and Administration
Research, Xiamen University, China.
2011 – Seminar Nasional 50th FISIP Universitas
Parahyangan, Bandung.
2011- International Association of Schools and
Institutes of Administration (IASIA) Congress,
Rome, Italy.
18 | P a g e
Anwar Sanusi, MPA, PhD
Beasiswa yang pernah diterima antara lain:
Best graduates of Social and Political Faculty on Graduation Day,
November 1993
Bappenas Fellowship Training on Audit Management in Public Sector,
in Australia March-May 1995
Ausaid Scholarship for Master Degree in Australian University, 1995
Monbusho Scholarship for Master Degree in Graduate School for
Policy Science, Saitama University, Japan 1996-1998
Switzerland Fellowship Training in Singapore, 1999
Bappenas Fellowship Training for Public Accountability Management,
Japan, Sep.-October, 1999
19 | P a g e
Monbukagakusho Scholarship for Doctoral Program in National
Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Japan, 2003-2006.
Publikasi yang telah diterbitan baik dalam dan luar negeri, antara lain:
1. Anwar S. (1993). Business and Politics: Reincarnation of Client Businessman
During Suharto Regime (1966-1990), Unpublished Undergraduate Thesis,
Government Sciences, Faculty of Social and Politics Sciences, Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
2. Anwar S. (1998). Contracting out on Public Provision: A Case of Contracting
Out on Japanese Garbage Management System, Unpublished Thesis Master,
Graduate School for Policy Sciences, Saitama University, Japan.
3. Partnership Between Public and Private: How to Create a Strategic Alliances,
School of Public Administration, Jakarta, 2003
4. Anwar S (ed. 2001). Designing Information System of Public Accountability,
Center of Research and Development for Information System and Public
Automation, National Institute of Public Administration, Jakarta.
5. Anwar S. and T. Oyama (2006) “Educating Japanese Government
Officials and Evaluating the Academic Performance of the Policy Related
Graduate School Programs”, published on the Japan-Korea for the Next
Generation Journal, Dongseo University
6. Anwar S. and T. Oyama (2006), "Evaluating Academic Performance of the
Policy-related Graduate School Program based upon the Education and
Research Activity Indices", Chapter IV.6 in Theory and Practices for the
Public Policy Evaluation (ed. T. Oyama), Gendai Tosho Publishing, 540p,
2006 (in Japanese).
7. Anwar S. and T. Oyama (2005), “A Quantitative Policy Analysis for
Investigating the Japanese Governmental Budgetary Policy on the Higher
Education”, Institute for Operation Research and Management Sciences
(INFORMS) Annual Conference, 14-16 November 2005, San Francisco,
USA
8. Anwar S. and T. Oyama (2006), “Governmental Budgeting Policy for
Higher Education in Japan: An Evaluation Study on the Government
Subsidy System for the Japanese Private Universities”, paper has been
accepted on Hawaii International Conference on Education, Waikiki,
Hawaii, USA 6-9 January 2006
9. Anwar S. and T.Oyama (2008), “Statistical data analysis for investigating
Japanese government subsidy policy for private universities”, Intenational
Journal of Higher Education. Springer: Nederland.
http://www.springerlink.com/content/h90w285777x7/?p=c766aa20b5ba43
c998b751d80a9c86c6&pi=0
20 | P a g e
10. Anwar S., (2007), ”A Quantitative investigation of Japanese government
subsidies for private higher education. An unpublished dissertation.
National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS). Japan.
11. Anwar S., (2009), ”State and Higher Education: A Quantitative
Investigation of the Japanese Government Subsidies Policy fo the Private
Universities. Center for Insititutional Performance Studies, National
Institute of Public Administration, Indonesia.
12. Anwar S., (2009), Government Re-organization to improve public services
published on ”Improving Public Services Delivery: Experiences and
Challenges Multi-country Study Mission on Public Governance”,
OECD/Korea Policy Center, Korea
13. Anwar S., (2009), Performance Measurement on Public Sector: Applying
Data Envelopment Analysis (DEA) for Evaluating Academic Performance
of Japanese Graduate Program of Policy-related Studies, International
Conference on Administrative Development: Towards Excellence in Public
Sector Performance, Riyadh, Saudi Arabia 1-4 November 2009.
14. Anwar S., (2010), Human resources development for improving e-
government: Indonesia case. International Conference on e-Government
and Administrative Simplification 11-13 May 2010, Brunei Darussalam,
OECD/Korea Policy Center and Prime Minister Office Brunei Darussalam
15. Anwar S., (Ed.)(2010), Mekanisme Hubungan antar Lembaga Negara,
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Lembaga Administrasi Negara RI
16. Anwar S., (Ed.)(2010), Quo Vadis Kelembagan Kecamatan Era Otonomi
Daerah, Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Lembaga Administrasi
Negara RI
17. Anwar S., (Ed.)(2010), Meknisme Hubungan antar Lembaga Negara,
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Lembaga Administrasi Negara RI
18. Anwar S., (Ed.)(2010), Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS): Fokus
pada dewan dan komisi, Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Lembaga
Administrasi Negara RI
19. Anwar S., (2010). Private, public and people partnership in delivering
public services in Indonesia local level, The 28th International Congress of
Administrative Sciences IIAS-IASIA , Bali, 13-17 July 2010.
20. Anwar S., (2010). Private, Improving the national universities funding
capacity: a comparison studies between Japan and Indonesia (Preliminary
research), The 28th International Congress of Administrative Sciences
IIAS-IASIA , Bali, 13-17 July 2010.
21. Anwar S & Sri Hadiati., (2010). The Current Situation of Energy in
Indonesia: Problems and Solutions, The 28th International Congress of
Administrative Sciences IIAS-IASIA , Bali, 13-17 July 2010.
21 | P a g e