Anda di halaman 1dari 5

Nama Mahasiswa : Sry Lestari Samosir

Prodi : S2 Sosiologi -Universitas Sumatera Utara

Judul Contextualising Agrarian Change in India: Debates and Themes


(Mengkontekstualisasikan Perubahan Agraria di India: Debat dan Tema)
Jurnal Indian Anthropologist
Volume dan Vol. 49, No. 2 hal. 75-90
Halaman
Tahun 2019
Penulis Nidhi Balyan
Reviewer Sry Lestari Samosir

Tujuan Adapun penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan agraria, sifat
Penelitian dan implikasi sosialnya dalam masyarakat terkhusus di Uttar Paradesh, India.
Metode Penelitian ini dikerjakan oleh penulis dengan menggunakan pendekatan
Penelitian kualitatif dengan melakukan kajian komprehensif terhadap literature-literature
dan mengombinasikannya dengan teknik studi kasus empiris
Pembahasan Pada bagian pertama penulis menyajikan teori-teori tentang alih fungsi lahan
yang dikemukakan secara sosiologis oleh bebagai ahli mulai dari paradigma
Marxis yakni oleh Kautsky dan Lenin dan dari kubu non Marxis yakni
Chayanov.

Kubu Marxis menyatakan bahwa ada kecenderungan alih fungsi perkebunan


kapitalis yang mencapai produksinya dengan mesin dan tanpa kepemilikan tanah
perseorangan. Menurutnya hal ini akan menjadikan pedagang-pedagang serta
petani-petani kecil menjadi tersisi dan lenyap, hal ini menciptakan kelas-kelas
sosial petani yakni borjuis dan proletar. Hubungan yang dilakukan oleh
pertanian kapitalis hanya akan terjalin dengan menonjolkan konsekuensi
ekonomis (berorientasi pasar) dan tidak berhubungan dengan nilai-nilai yang
lain.

Lebih jauh penulis memaparkan bahwa menurut Chayanov pertanian di rusia


pada awalnya justru adalah sebuah pertanian yang dikerjakan oleh keluarga
digerakkan secara ekonomi, logika dan hukum yang tersendiri dan berorientasi
untuk memenuhi kebutuhan subsistem keluarga tersebut. Penulis menyebutkan
pandangan Kautsky yang melihat bahwa tidak terhapusnya petani skala kecil
bukan berarti bahwa kapitalisme tidak mempenetrasi dirinya kedalam aspek
pertanian.

Menurutnya bertani melalui tenaga kerja keluarga merupakan cara yang efektif
untuk menekan biaya produksi, yang dalam jangka panjang bermanfaat bagi
perkembangan kapitalisme. Dia mulai dengan konsepsi Marxis klasik di mana
ada konsentrasi kapital, yang penerapannya secara bertahap akan memaksa para

1
petani keluar dari produksi dan akan mengubah mereka menjadi buruh upahan
yang tidak memiliki tanah.

Hal ini lah juga yang terjadi di India, Dalam konteks India, berbagai
cendekiawan seperti Patnaik dan Byres yang dikutip berpendapat bahwa model
Lenin tentang pembentukan kelas tani yang terdiferensiasi sangat banyak hadir
bahkan di India pasca-kemerdekaan. Ada ketimpangan pendapatan dan aset di
antara petani yang mengarah pada penciptaan kelas, produksi massal
berorientasi pasar yang semakin meningkatkan komodifikasi dan kecenderungan
kapitalis untuk mendominasi tidak hanya dalam proses produksi tetapi juga
dalam hubungan produksi. Berbeda dengan itu selanjutnya juga penulis
memaparkan pendapat yang berseberangan misalnya, Banaji (1977), Harris
(1982, 1987) yang mengikuti argumen Kautsky bahwa pertumbuhan kapitalisme
di bidang pertanian tidak menyebabkan depeasantisasi, dan pada kenyataannya
menyebabkan keberadaan produsen skala kecil sebagaimana adanya justru
fungsional dalam mengembangkan kapitalisme lebih lanjut.

Dalam diferensial Marx terhadap teori sewa tanah/sewa dibagi 3 periode :


1) periode pertama adalah pecahnya struktur
feodal otonom yang umumnya disebut struktur feodal atau mode produksi pra
kapitalis. Periode ini terjadi sebelum produksi kapital memasuki pertanian. 2)
Dalam sejarah Eropa juga ada tahap kedua, yang ditandai dengan munculnya
penyewa kapitalis dan perdagangan antara industri dan pertanian. 3) Tahap
ketiga terbukti dengan pergeseran syarat-syarat perdagangan yang menurut
Kautsky memegang dominasi setelah tahun 1857 dan baginya impor biji-bijian
dari luar membawa perubahan ini meskipun penentuan harga sangat berbeda
dengan cara produksi kapitalis. Sejalan dengan ini dalam kasus India cara
produksi yang ada di pertanian India terbagi pada kapitalisme, pra kapitalisme,
semi feodalisme, kolonial dan paska kolonial.

Berbicara tentang struktur agraria dan perubahan-perubahan yang dialaminya,


hampir tidak mungkin untuk mengabaikan gerakan-gerakan Tani yang menurut
Jacques Pauchepadass erat kaitannya dengan struktur kelas. Baginya,
pendekatan awal gerakan agraria didominasi oleh analisis Marxis tentang Petani
di mana oposisi antara dua kelas antagonis mengarah pada pemberontakan.
Lenin membagi masyarakat pedesaan menjadi 5 kelas: tuan tanah, petani kaya,
petani menengah, proletariat miskin dan proletariat pedesaan dan dengan setiap
tingkat pada tangga sosial-ekonomi dukungan untuk revolusi bervariasi
(Pauchepadass 1980:136).

Dalam sejarah pemberontakan di India, petani selalu memainkan peran penting,


dan ada sarjana seperti Eric wolf (1971) dan Hamza Alavi (1973) yang juga
menemukan kelas petani menengah sebagai kekuatan pendorong utama
pemberontakan setidaknya pada tahap awal (Pauchepadass 1980:137). Struktur

2
kelas yang kompleks ini juga mempengaruhi pola relasi yang ada di antara
kelas-kelas agraris misalnya Jan Breman dalam karyanya “Patronage and
Exploitation mendiskusikan bagaimana dengan meruntuhkan sistem Jajmani
atau patronase”xvi, intensitas ketimpangan meningkat yang menyebabkan
perubahan besar besaran dalam struktur ekonomi dengan munculnya kategori
buruh yang sebagian besar tidak memiliki tanah. Dalam masyarakat tradisional
kolonial, terjadi perbudakan dalam banyak gradasi dengan kontrol penuh dari
tuan tanah atas kelas sosial dan ekonomi lemah yang tanpa banyak pengecualian
milik kasta tak tersentuh atau kesukuan (Breman 1974:7)

Fokus sosiolog dalam kajian agraria di India belakangan muncul berbagai


bidang kajian, munculnya gerakan baru yakni interkoneksi gender dan pertanian.
Hak atas tanah dengan hasil yang berbeda (laki-laki dan perempuan), ini
menuntut keadilan dan kesetaraan. Selanjutnya interkoneksi ekolog dan
pertanian. Hal ini menjadi isu yang berkembang pada agraria kontemporer,
karena praktik-praktik baru agraria membawa nampak negatif bagi masyarakat
luas, berupa meningkatnya kekerasan terhadap budaya dan etnis, dan
meningkatnya angka bunuh diri. Pada masa kini, gerakan petani di India
direpresi oleh berbagai organisasi, dan akhir-akhir ini mereka dianggap sebagai
militansi pedesaan yang maju karena cara inovatif mereka untuk menggelar
protes dan menjelaskan tuntutan mereka.

Perbandingan Penelitian

Bertentangan dengan laporan stagnasi di sektor pertanian untuk benua secara


keseluruhan (Diao et al. 2006), dalam menilai perubahan longitudinal di Mama
Issara, terbukti dengan membandingkan produksi pertanian rumah tangga dari
tahun 1995 dengan tahun 2017, bahwa produktivitas pertanian telah meningkat,
karena penggunaan benih hibrida, pestisida, praktik penanaman yang lebih
terstandarisasi dan perluasan pertanian menjadi apa yang secara formal sisi
lahan penggembalaan. Selain itu, di bagian utara tanah air, petani, mengabaikan
larangan bercocok tanam di atas gunung, telah memperluas lahan ke puncak
lereng. Sedangkan perluasan pertanian ke daerah-daerah sebelumnya tidak
dibudidayakan seperti pegunungan dapat meningkatkan produksinya kurang
jelas apakah, dalam jangka panjang, itu berkelanjutan karena sumber daya alam
sedang terdegradasi dalam proses.

Responden menyatakan keprihatinan tentang hal ini pola, mengklaim, "Orang


tidak mendengarkan orang tua hari ini." Banyak yang mengatakan bahwa
generasi tetua ini memiliki pengetahuan yang lebih sedikit tentang pembatasan
penggunaan lahan di masa lalu dan yang mereka miliki sedikit otoritas atas
pemuda. Salah satu perhatian utama adalah itu sumber air, terutama mata air
yang mengalir sepanjang tahun bulat, mengering.

3
Dengan pergeseran yang lebih luas dalam pengembangan dan paparan ke dunia
global yang saling terhubung, tujuan dan aspirasi Mama Penduduk Issara telah
berubah. Ini adalah persepsi umum bahwa anak muda saat ini tampaknya
memiliki sedikit keinginan untuk mengejar pertanian.

Orang tua mereka mengklaim bahwa sekarang mereka telah memiliki


pendidikan, anak-anak mereka tidak lagi ingin bertani tetapi hanya ingin
pekerjaan kantoran. Memang, menurut mereka, itulah yang mendorong mereka
membuang waktu di daerah Vijiwe. Namun, dalam fokus kelompok dengan
pemuda, mereka menegaskan bahwa mereka ingin bertani tetapi orang tua
mereka tidak memberi mereka tanah untuk ditanami dan pekerjaan yang mereka
lakukan di tanah berkontribusi pada rumah tangga tetapi tidak membantu
mereka membangun sumber daya mandiri mereka bisa gunakan untuk menikah
dan memulai hidup sendiri. Dengan demikian, mereka mengejar pekerjaan
buruh tani, pekerjaan serabutan untuk penjaga toko, transportasi dan berbagai
pekerjaan kecil lainnya.

Implikasi pada Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial pada masyarakat
Keluarga dan tani di desa adalah dengan adanya perubahan teknologi, perubahan pasar dan
Transformasi penambahan lahan. Hal tersebut telah memberikan dampak positif bagi
perekonomian masyarakat yang secara umum telah memberikan perubahan
sosial masyarakat yang dilengkapi dengan kuatnya ikatan kekerabatan
masyarakat. Dengan perubahan teknologi masyarakat lebih mudah dalam
pengolahan lahan dan hasil panenpun lebih baik dan dengan adanya perubahan
pasar serta lahan maka ini bisa menjadi investasi atau dapat menyebabkan
akumulasi modal bagi masyarakat.

Contoh proses perubahan kapitalisme pada dunia pertanian; (1) Pemakaian input
modern biaya produksinya mahal; (2) Penggantian alat panen ani-ani menjadi
sabit mengurangi tenaga kerja laki-laki dan perempuan; (3) Penggunaan mesin
dross pada perontokan padi mengurangi tenaga kerja laki-laki dan perempuan.

Selanjutnya, proses perubahan sistem ekonomi meminggirkan petani kecil dan


perempuan karena; (1) Orientasi produksi dari subsisten menjadi komersil; (2)
Pendapatan dari pertanian padi sawah makin kecil; (3) Pekerjaan luar pertanian
membutuhkan pendidikan dan skill.

4
Referensi:

Diao, X., P. Hazell, P.D. Resnick, and J. Thurlow. 2006. The Role of Agriculture in
Development: Implications for Sub-Saharan Africa. International Food Policy Research
Institute (IFPRI) Discussion Paper: Washington DC.

Anda mungkin juga menyukai