Anda di halaman 1dari 2

Nama Kelompok:

Elvareta Rasendria (13)

Enggar Mandala (14)

Tsunami Aceh Membangkitkan Semangat Baru Dalam Hidupku

Pagi itu dimas sedang asyik berbincang dengan tetangga yang datang berkunjung ke rumah. Tiba-
tiba saja bumi berguncang, mula-mula guncangannya pelan tetapi kemudian menjadi sangat
kencang. Dimas pun panik sembari berteriak melafalkan nama Allah. Tak kalah panik, di sekelilingku
orang-orang juga menjerit dengan ekspresi wajah yang sama, ketakutan.Kami berhamburan keluar
rumah sambil berpegangan. Jangankan untuk berdiri, duduk pun seakan mereka tak mampu. Suara
piring pecah dan perabotan yang jatuh dari dalam rumah tak terhindarkan lagi. Bersahutan dengan
gema takbir dan dzikir yang terus menerus tak hentinya keluar dari mulut setiap orang yang terus
berpegangan satu sama lainnya.

Lima belas menit berselang, gempa berhenti. Ini gempa terbesar yag pernah Dimas rasakan.
Belakangan Dimas tahu gempa yang dia alami ini adalah gempa terbesar yang pernah terjadi di Asia
dan gempa terbesar di dunia sejak 1900.Mereka pun masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah
yang masih pucat. Evi, istri Dimas yang sedang hamil besar tak henti-hentinya istighfar dan
memegang dadanya. Perlahan kami mulai mengumpulkan barang-barang yang jatuh dan piring-
piring yang pecah.

Tak seberapa lama Dimas memutuskan keluar. Dimas ingin melihat situasi pascagempa sekaligus
pergi ke wartel karena sinyal telepon selular hilang. Dimas menghubungi kedua orangtuaku di
Takengon, Aceh Tengah untuk memastikan keadaan mereka di sana. Setelah memastikan keadaan
mereka aman, Dimas ganti menghubungi kakak Dimas di Cadek Kajhu, Aceh Besar. Belum selesai
berbincang dengan kakak Dimas, hubungan terputus.

Setelah membayar Dimas pergi menuju Masjid Lamprit yag tak jauh dari rumah Dimas. Banyak orang
berkumpul di sana melihat kubah masjid tersebut runtuh. Beberapa kendaraan perang TNI melaku
kencang dari arah kota menuju Darussalam.

Orang-orang tiba-tiba berhamburan dari arah rumah Dimas. Ada yang berlari, naik motor, mobil,
menuju jalan T. Nyak Arif, Banda Aceh. Dimas pun tercengang. Baru kali ini Dimas melihat ribuan
orang dengan wajah pucat pasi. mereka berlari kencang dan tanpa membawa barang apapun.

Bukan perkara mudah kembali ke rumah di antara ribuan orang yang berlari berlawanan arah.
Banyak orang yang memakiku karena tersenggol dan banyak pula yang menyuruhku kembali dan
memperingatkan dia untuk jangan kembali atau nanti mati. Dimas tidak peduli, yang ada di pikiran
Dimas adalah orang-orang yang Dimas cintai yang masih tinggal di rumah.

Kira-kira di tengah perjalanan menuju rumah Dimas terperanjat. Rumah Dimas terlihat, padahal
masih berjarak 300 meter. Tiang listrik dan pohon-pohon yang ada di depannya berjalan sendiri
sebelum akhirnya jatuh satu per satu.Saat itu Dimas belum melihat air. Dimas hanya mendengar
seperti suara deru pesawat terbang beriringan dengan suara mirip tembakan. Kemudian rumah dari
konstruksi kayu yang merupakan kantin sekolah di dekat situ berjalan dengan sendirinya. Dimas
menghentikan motor dan menjerit kencang tanpa sadar apa yang dia ucapkan. Orang-orang mulai
terlihat jarang. Dimas mulai melihat keluarganya. "Cepat Bang, Kak Evi di belakang," kata mereka.
Akhirnya dia menemukan istri Dimas, yang tidak mampu berlari, hanya berjalan sambil menangis dan
dia merupakan orang terakhir yang berlari di antara ratusan terakhir orang yang telah berlari. "Cepat
naik," kata Dimas.

Sekilas sebelum dia memutar motornya, saat itulah Dimas melihat air berwarna hitam di belakang
dia. Seorang laki-laki, sedikit lebih tua darinya, mengendong anak balitanya terseret sangat cepat. Air
tersebut tidak menujuku, tetapi karena jalan tersebut merupakan jalan bersimpang empat, air
tersebut datang melintang dengan jalan di mana aku berdiri. Tanpa pikir panjang aku segera
memacu motorku dan Dimas bertemu dengan keponakan ku. "Naik," kataku, diapun naik. Aku
memacu lagi dan bertemu dengan adikku tapi motorku sudah tak memungkinkan untuk dinaiki
seorang lagi. Sebuah mobil melintas, aku menghentikannya bermaksud untuk menaikkan adikku.
Tapi mobil itu tidak mengindahkan. Belakangan aku melihat mobil itu terbalik di sapu air.

Akhirnya adikku di bagian depan motor. Jadilah kami di motor berempat. Suasana mencekam. Dimas
masih berusaha mencari keluargaku dan meminta mereka mengikutiku. Dimas menengok ke
belakang. Dimas melihat gumpalan air hitam mulai menuju kami.

Dimas melihat rumah mewah berlantai dua di depan. Dimas sadar tak mungkin lagi aku memacu
motor lebih kencang lagi. Dimas dan ratusan orang berlari menuju rumah itu. Seseorang keluar dari
rumah itu, mengunci pintunya bermaksud lari keluar namun kucegah. "Jangan keluar lagi bang,
sudah tidak sempat lagi," kataku. Di terlihat bingung,Dimas berteriak, "Cepat buka pintu ini kalau
tidak aku dobrak!". Lelaki itu mau tak au memenuhi permintaanku. Saking paniknya, dia tak juga
menemukan kunci yang pas. Bukan keluargaku saja di situ saat itu, ada sekitar lima belas orang yang
sebagian besar ibu-ibu. Semua panik, dan berteriak, "Cepat-cepat!"

Akhirnya pintu itu terbuka dan kami segera naik bersama-sama ke lantai atas. Sampai di atas Dimas
pergi ke balkon rumah itu dan ternyata air sudah hampir mencapai balkon itu. Ini hanya kurang dari
5 menit dari saat kami masuk ke dalam rumah. Kami melihat dengan mata kepala sendiri orang-
orang yang hanyut di depan rumah tersebut, mobil-mobil bak kotak korek api yang terbalik-balik,
dinding-dinding rumah yang telah jebol dihantam benda-benda yang terbawa arus air. Dimas
terduduk, tidak ada yang bisa kami lakukan, selain istighfar dan terus berdoa.Dimas terdiam,
setidaknya aku merasa bahwa kami sudah aman, tapi ternyata tidak, setelah kami di atas, terjadi lagi
gempa, mungkin sekitar lima menit sekali kami merasakan gempa berulang kali, saat itulah Dimas
pasrah, seakan menunggu saat-saat rumah itu akan runtuh, Dimas memeluk istri dan adik-adik ku
sambil berkata, "Kalau memang kita harus mati di sini, berarti di sinilah ajal kita." Beberapa ibu-ibu
yang bersama kami jatuh pingsan, selebihnya hanya duduk sambil menangis dan berdzikir, aku
terbayang akan masih banyaknya dosa-dosaku dan menyesali kurangnya ibadahku.

Tiga jam kemudian, keadaan mulai tenang. Kami semua yang berada di rumah tersebut selamat atas
pertolongan Allah. Peristiwa tersebut sampai saat ini tidak akan pernah terlupakan. Tujuh dari
keluarga dekat kami menghadap Ilahi atas peristiwa itu, kami juga kehilangan rumah dan harta
benda, saat itu hanya pakaian yang melekat dibadan harta satu-satunya.*dikisahkan oleh Riza Erwin,
staf kantor Gubernur Aceh, di Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai