Anda di halaman 1dari 41

I.

Judul Percobaan
Kesetimbangan Fase Dua Komponen
II. Hari/Tanggal Percobaan
Jum’at, 18 November 2022 pukul 08.00 WIB
III. Selesai Percobaan
Jum’at, 18 November 2022 pukul 13.00 WIB
IV. Tujuan Percobaan
1. Menggambarkan kesetimbangan fase dua komponen fase cair-cair
(butanol-air)
2. Menentukan titik ekivalen pada kesetimbangan fase dua komponen fase
cair-cair (butanol-air)
3. Menentukan fasa, komponen, dan derajat kebebasan suatu sistem
kesetimbangan fase dua komponen fase cair-cair (butanol-air)
V. Tinjauan Pustaka
A. Sistem dan lingkungan
Sistem adalah bagian tertentu dunia yang menjadi pusat perhatian.
Yang berada di luar sistem disebut lingkungan, dimana bagian dunia yang
dapat memberikan efek berarti terhadap sistem. Antara sistem dan
lingkungan terdapat bidang batas yang disebut dinding. Dinding yang
dapat dilewati materi disebut permiabel dan yang tidak dapat disebut
impermiabel. Dinding semipermiabel ialah dinding yang dapat dilewati
oleh materi tertentu dan tidak untuk yang lain. Dinding yang dapat dilewati
kalor disebut diatermal dan yang tidak disebut adiatermal. Dinding yang
tidak dapat diubah bentuknya disebut rigit, sedangkan dinding yang dapat
berubah bentuk dan ukurannya disebut disebut non rigit. Selain itu juga
ada dinding yang dapat bergerak salah satu sisinya, contohnya pompa
karena ada piston yang dapat ditekan atau ditarik. Berdasarkan interaksi
dengan lingkungannya, sistem dapat dibagi atas : sistem terbuka, tertutup
dan tersekat (terisolasi). Sistem terbuka adalah sistem yang dindingnya
permiabel dan diatermal, sehingga dapat terjadi perpindahan materi dan
kalor dengan lingkungannya. Sistem tertutup adalah sistem berdinding
impermiabel dan diatermal, sehingga tidak terjadi perpindahan materi
tetapi hanya perpindahan kalor dengan lingkungan. Sedangkan sistem
yang berdinding rigit, impermiabel, adiathermal akan menghasilkan sistem
terisolasi karena tidak terjadi perpindahan baik materi maupun kalor
dengan lingkungan (Hardeli Dan S, 2013).
B. Fase
Kata 'fase' berasal dari kata Yunani yang berarti 'munculnya'. Fasa
adalah bentuk materi yang seragam di seluruh komposisi kimia dan
keadaan fisik (Atkins , Paula , & Keeler, 2018). Fase fisik yang ditandai
dengan perubahan urutan molekul. Molekul dalam padatan memiliki orde
tertinggi dan molekul dalam fase gas memiliki keacakan tertinggi
(Raymond, 2005).
Perubahan fase adalah perubahan fisika yang ditandai dengan
perubahan susunan molekul. Molekul-molekul dalam keadaan padat
memiliki orde tertinggi, dan molekul dalam fase gas memiliki
ketidakteraturan tertinggi (Chang, 2005).
Materi memiliki tiga keadaan: cair, padat dan gas. Suatu zat (unsur
atau senyawa) dapat berada dalam tiga wujud, yaitu padat, cair dan gas.
Adanya wujud adalah akibat daya tarik antar partikel materi (atom,
molekul atau ion). Jika daya tarik itu sangat kuat akan berwujud padat, jika
sedang berwujud cair dan jika lemah sekali zat akan berwujud gas.
Walaupun wujud zat ada tiga tetapi fasanya dapat lebih dari tiga karena zat
berwujud padat bisa mempunyai dua fasa atau lebih sebab zat ada yang
mempunyai dua struktur kristal,contoh padatan belerang mempunnyai
strutur rhombis dan monoklin.Masing-masing keadaan ini disebut fase,
dan merupakan bagian homogen dari sistem yang bersentuhan dengan
bagian lain dari sistem pada batas yang jelas. Transisi fase adalah transisi
dari satu fase ke fase lainnya dan terjadi ketika energi bertambah atau
berkurang. Transisi fase adalah perubahan fisik yang ditandai dengan
perubahan urutan molekul. Molekul dalam keadaan padat memiliki urutan
maksimum, dan molekul dalam fase gas memiliki keacakan maksimum.
Transisi fase terjadi pada suhu dan tekanan tertentu (Tjahjani, Nasrudin, &
Novita, 2013).
C. Kesetimbangan Fasa

Kesetimbangan terjadi jika sebuah sistem mempunyai energi bebas


minimum pada temperatur, tekanan, dan komposisi tertentu. Semakin
tinggi energi bebas, maka gerak atom pada bahan semakin acak dan tidak
teratur.

Secara makro jika sifat-sifat sistem tidak berubah maka waktu


akan stabil. Kesetimbangan fasa adalah kesetimbangan pada sistem yang
terdiri lebih dari 1 fasa yang masing-masing fasa tidak mengalami
perubahan.
Kesetimbangan fasa dikelompokan menurut jumlah komponen
penyusunnya yaitu sistem satu komponen, dua komponen dan tiga
komponen Pemahaman mengenai perilaku fasa berkembang dengan
adanya aturan fasa Gibbs. Sedangkan persamaan Clausius dan persamaan
Clausius Clayperon menghubungkan perubahan tekanan kesetimbangan
dan perubahan suhu pada sistem satu komponen. Adanya penyimpangan
dari sistem dua komponen cair- cair ideal konsep sifat koligatif larutan
dapat dijelaskan (Hardeli & Syukri, 2013). Gambar di bawah ini akan
menunjukkan diagram fase air :

Gambar 1.1 Diagram Fase Airmilaa,, belum tak edit nomere


Untuk memahami tentang kesetimbangan fasa, maka perlu juga
mengenal istilah jumlah fasa, jumlah komponen, dan derajat kebebasan.

1. Jumlah Fasa

Banyaknya fase dalam system diberi notasi P. Gas atau


campuran gas adalah fasa tunggal; Kristal adalah fasa tunggal; dan
dua cairan yang dapat campur secara total membentuk fase tunggal.
Campuran dua logam adalah sistem dua fase (P = 2) jika logam-
logam itu tak dapat campur, tetapi merupakan sistem satu fase (P =
1) jika logam-logamnya dapat bercampur. Contoh ini menunjukkan
bahwa memutuskan apakah suatu sistem terdiri dari satu atau dua fase
(Atkins, 1997).

2. Jumlah Komponen

Banyaknya komponen dalam sistem C adalah jumlah minimum


spesies bebas yang diperlukan untuk menentukan komposisi semua
fase yang ada dalam sistem. Definisi ini bisa diberlakukan jika spesi
yang ada dalam sistem tidak bereaksi, sehingga kita hanya
menghitung kuantitasnya. Misalkan, air murni merupakan sistem satu
komponen (C=1) dan campuran etanol dan air adalah sistem dua-
komponen (C=2) (Atkins, 1997). Jika spesi bereaksi dan berada pada
kesetimbangan kita harus memperhitungkan arti kalimat “semua fase”
dalam definisi tersebut (Atkins, 1997).

3. Aturan Fase

Aturan Fase Hubungan antara (F),jumlah fase pada


kesetimbangan (P),dan jumlah komponen (C) merupakan aturan
fase.Jumlah kebebasan dai suatu sisitem merupakan banyak variable
intensif yang dapat diganti secara independent tanpa mengganggu
banyaknya fase pada kesetimbangan. Sebuah komponen merupakan
konstituen kimia independent dari suatu system.Jumlah komponen
pada system merupakan jumlah minimal jenis spesi independent yang
dibutuhkan untuk menentukan komponen seluruh fasa pada
system.Jumlah variable independent F dapat diperoleh dengan cara
mengurangkan jumlah total persamaan dari jumlah total variable. F =
P C + 2 – P – C (P-1) F = C – P + 2 Persamaan tersebut adalah aturan
fasa dari J. Williard Gibbs.Cara menghafal aturan fasa yaitu dengan
menyadari bahwa kenaikan jumlah komponen akan meningkatkan
jumlah variable,maka C akan memiliki tanda positif.Kenaikan jumlah
fasa menaikkan jumlah kondisi kesetimbangan dan jumlah
persamaan,maka mengeliminasi beberapa variable sehingga P akan
bertanda negative (Chang , 2005).
D. Ikatan Hidrogen

Ikatan Hidrogen merupakan ikatan antar molekul yang memiliki atom


yang terikat pada atom yang memiliki keelektronegativitas yang tinggi.
Ikatan Hidrogen juga dapat didefinisikan sebagai sejenis gaya tarik antar
molekul yang terjadi antara dua muatan listrik parsial dengan polaritas
yang berlawanan. Walaupun Lebih kuat dari kebanyakan gaya antar
molekul, ikatan hidrogen jauh lebih lemah dari ikatan kovalen dan ikatan
ion.
Ikatan hidrogen seperti interaksi dipol-dipol dari Van der Waals.
Perbedaannya adalah muatan parsial positifnya berasal dari sebuah atom
hidrogen dalam sebuah molekul. Sedangkan muatan parsial negatifnya
berasal dari sebuah molekul yang dibangun oleh atom yang memiliki
elektronegativitas yang besar,seperti atom Flor (F), Oksigen (O), Nitrogen
(N).
Hidrogen (H) apabila berikatan dengan atom lain (X), terutama F,
O, N, atau Cl sedemikian hingga ikatan X–H benar- benar polar. H
mengandung muatan parsial positif, sehingga dapat berinteraksi dengan
atom lain yang kaya elektron (Y), membentuk ikatan hydrogen, sehingga
dapat ditulis sebagai berikut:
X……H……Y
Jarak H–Y ikatan hidrogen umumnya jauh lebih panjang dari
ikatan kovalen H–Y yang normal. Ikatan hidrogen menjadi kuat apabila
jarak X terhadap Y pendek, dan jarak X–H serta H–Y hampir sama
besarnya (Petrucci, 1985).
Energi rata-rata satu ikatan hidrogen cukup besar untuk satu
interaksi dipol-dipol yaitu hingga 40 kJ/mol. Jadi, ikatan hidrogen
merupakan suatu gaya yang kuat dalam menentukan stuktur dan sifat-sifat
banyak senyawa. Bukti awal adanya ikatan hidrogen berasal dari kajian
mengenai titik didih senyawa. Pada umumnya, titik didih sederet senyawa
dalam golongan yang sama meningkat dengan meningkatnya massa molar.
Tetapi senyawa hidrogen unsur-unsur golongan 5A, 6A, dan 7A (NH 3,
H2O, HF) tidak mengikuti kecenderungan tersebut. Dalam setiap deret ini,
senyawa yang paling ringan (NH3, H2O, HF) memiliki titik didih tertinggi,
bertentangan dengan dugaan berdasarkan massa molar. Alasannya adalah
adanya ikatan hidrogen yang meluas antara molekul- molekul dalam
senyawa tersebut (Chang, 2003).
E. Aquades

Aquades adalah air suling yang bebas dari zat pengotor sehingga
cukup ideal digunakan untuk kegiatan laboratorium. Memiliki ciri-ciri
seperti bening, tidak berwarna, dan tidak berasa. Aquades biasanya
digunakan untuk membersihkan peralatan laboratorium dari kotoran.
Aquades dinamis karena memiliki kesetimbangan antara fase cair dan
padat di bawah tekanan standar dan suhu. Dalam bentuk ionik aquades
dapat digambarkan sebagai asosiasi atau ikatan antara ion hidrogen dan ion
hidroksida.
Air disebut sebagai pelarut universal karena air melarutkan banyak
zat kimia. Air berada dalam kesetimbangan dinamis antara fasa cair dan
padat dibawah tekanan dan temperatur standar. Tarikan atom oksigen pada
elektron-elektron ikatan jauh lebih kuat daripada ikatan atom hidrogen.
Adanya muatan pada tiap atom membuat molekul air memiliki sejumlah
momen dipol yang membuat masing-masing molekul berdekatan
membuatnya sulit dipisahkan dan pada akhirnya menaikkan titik didih air.
Gaya tarik menarik ini disebut ikatan hidrogen. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya fenol
dalam air. Dalam beberapa kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat
dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan yang disebut lewat jenuh
yang menstabil (Sukardjo, 1997).
Untuk melakukan praktikum kesetimbangan fase harus disiapkan air
mendidih dan juga air dingin. Ketika fase terpisah secara perlahan, nilai
termometer harus dicatat. Reaksi akan menyebabkan cairan berubah
setelah larutan bening atau tidak berwarna menjadi keruh. Ini
menunjukkan bahwa ada adalah dua komponen atau fase, dan komponen
cair-cair.
VI. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Tabung reaksi besar 2 buah
2. Pengaduk 1 buah
3. Beaker Glass 500 mL 2 buah
4. Kaki tiga dan kasa pembakar spiritus 1 buah
5. Gelas ukur 10 mL 2 buah
6. Pembakar spiritus 1 buah
7. Gelas kimia 100 mL 1 buah
8. Gelas kimia 50 mL 1 buah
9. Pipet tetes secukupnya
b. Bahan
1. Aquades secukupnya
2. Butanol teknis secukupnya

VII. Alur Percobaan


Air
Dimasukkan beaker glass ukuran 500 mL
sebanyak setengah volume total
Dididihkan dengan pembakar spiritus

Air mendidih
Tabung reaksi besar A Tabung reaksi besar B

Dimasukkan 10 mL Dimasukkan 10 mL larutan


aquadest ke dan butanol dan melengkapinya
melengkapinya dengan dengan pengaduk dan
pengaduk dan termometer
thermometer Dimasukkan 2 mL aquadest
Dimasukkan 2 mL larutan kemudian diaduk
butanol kemudian diaduk Diamati perubahan yang
Diamati perubahan yang terjadi
terjadi

4. Dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah


didihkan airnya
5. Diamati perubahan yang terjadi dan mencatat
suhu pada saat terjadi perubahan menjadi jernih
pada tabung reaksi besar A sebagai t1A dan tabung
reaksi besar B sebagai t1B
6. Kedua tabung reaksi diangkat dari beaker glass
dan diamati perubahannya
7. Dicatat suhu saat terjadi perubahan menjadi
keruh pada tabung reaksi besar A sebagai t2A dan
tabung reaksi besar B sebagai t2B
8. Diulangi Langkah dari penambahan 2 ml
butanol pada tabung reaksi besar A dan 2 ml
aquadest pada tabung reaksi besar B sampai tidak
terjadi perubahan walau dimasukkan kedalam
beaker glass (panas maupun dingin)

Hasil

Reaksi:
Sebelum pemanasan

(aq) + H2O(l)  (aq) +


H2O(l)
Setelah pemanasan

(aq) + H2O(l)  (aq) +


H2O(l)
(Helmilia et al., 2020)
VIII. Hasil Pengamatan
No. Prosedur Percobaan Hasil Pengamatan Dugaan/Reaksi Kesimpulan
Perc
Sebelum Sesudah
1.  Aquades Tabung A  Berdasarkan
Air
1. Dimasukkan beaker = larutan  Aquades + HO praktikum yang
glass ukuran 500 mL Butanol
tidak Butanol = dilakukan,
sebanyak ± setengah (aq) + H2O(l) ⇌
volume total bewarna Larutan tidak didapatkan :
2. Dididihkan dengan
bewarna HO
pembakar spiritus Butanol
(terbenuk dua
Air mendidih (aq) + H2O(l)
lapisan )
 Setelah pemanasan
 Larutan  Setelah diaduk  Terbentuk 2 fasa
butanol larutan HO karena perbedaan
= larutan menjadi Butanol massa jenis dan sifat
keruh
tidak (aq) + H2O(l) ⇌ kepolarannya
 Setelah
bewarna
dipanaskan  Larutan berubah
HO
+ bau
larutan Butanol jernih karena
menyeng
kembali pengaruh suhu dan
jernih
at
dan terbentuk komponen larutan
2 lapisan
 Tabung A
(jernih-
jernih) Suhu tepat jernih =

 Suhu tepat (aq) + H2O(l) 68°C, 78°C, 58°C,


Tabung reaksi Tabung reaksi (Alfred, 2008)
jernih = 68°C, 73°C, 69°C, 70°C,
besar A besar B
78°C, 58°C, 83°C, 83°C, 87°C,
1. Dimasukkan 1. Dimasukk
73°C, 69°C, 85°C, 84°C, 80°C,
10 mL an 10 mL
aquadest ke larutan 70°C, 83°C, 80°C, 75°C, 60°C,
dan butanol 83°C, 87°C, 60°C
melengkapin dan
ya dengan melengka 85°C, 84°C,  Suhu tepat keruh =
pengaduk dan pinya 80°C, 80°C, 40°C, 58°C, 70°C,
thermometer dengan
2. Dimasukkan pengaduk 75°C, 60°C, 60°C, 62°C,71°C,
2 mL larutan dan 60°C 62°C, 71°C,
butanol termomet
kemudian er  Setelah 62°C,79°C, 76°C,
diaduk 2. Dimasukk didinginkan, 70°C, 53°C,55°C,
3. Diamati an 2 mL
perubahan aquadest warna menjadi 58°C
yang terjadi kemudian keruh dan  Tabung B
diaduk Suhu tepat jernih =
3. Diamati terbentuk 2
perubaha 63°C, 78°C, 75°C,
lapisan (keruh
n yang 64°C, 69°C, 73°C,
terjadi jernih)
78°C,91°C, 87°C,
 Suhu tepat 94°C, 86°C, 90°C,
90°C,71°C, 66°C,
keruh = 40°C, 68°C,74°C,
58°C, 70°C,
60°C, 62°C, Suhu tepat keruh =
71°C, 62°C, 30°C, 56°C, 38°C,
71°C, 62°C, 48°C, 62°C, 59°C,
79°C, 76°C, 60°C, 85°C, 82°C,
70°C, 53°C, 83°C, 80°C, 82°C,
55°C, 58°C 83°C, 67°C,42°C,
Tabung B 58°C, 39°C
 Butanol + Derajat kebebasan
Aquades = dua fase : F= C -P
jernih dan +1 F = 2 -2+1 = 1
terbentuk 2 Derajat kebebasan
satu fase : F= C -P +
lapisan 1 F = 2 -1+1 = 2
(jernih
jernih)
 Setelah
dipanaskan,
larutan jernih
dan terbentuk
2 lapisan
(keruh-jernih)
4. Dimasukkan ke dalam  Suhu tepat
beaker glass yang telah Derajat kebebasan
didihkan airnya jernih = 63°C,
5. Diamati perubahan yang 78°C, 75°C, dua fase : F= C -P
terjadi dan mencatat suhu +1 F = 2 -2+1 = 1
pada saat terjadi perubahan 64°C, 69°C,
73°C, 78°C, Derajat kebebasan
menjadi jernih pada tabung
reaksi besar A sebagai t1A 91°C, 87°C, satu fase : F= C -P +
dan tabung reaksi besar B 94°C, 86°C,
90°C, 90°C, 1 F = 2 -1+1 = 2
sebagai t1B
6. Kedua tabung reaksi 71°C, 66°C,
diangkat dari beaker glass 68°C,74°C,
dan diamati perubahannya
 Setelah
7. Dicatat suhu saat terjadi
perubahan menjadi keruh didinginkan,
pada tabung reaksi besar A
warna keruh
sebagai t2A dan tabung
reaksi besar B sebagai t2B dan terbentuk
8. Diulang langkah ke 5-9
2 lapisan
kali sampai tidak terjadi
perubahan (tetap keruh) (keruh-jernih)
walau dimasukkan ke
 Suhu tepat
dalam beaker glass (panas)
keruh = 30°C,
56°C, 38°C,
Hasil 48°C, 62°C,
59°C, 60°C,
85°C, 82°C,
83°C, 80°C,
82°C, 83°C,
67°C,42°C,
58°C, 39°C
IX. Analisis dan Pembahasan
Pada judul percobaan kesetimbangan fase dua komponen, dilakukan
dengan tujuan untuk menggambarkan fase dua komponen fase cair-cair
(butanol-air), menentukan titik ekivalen pada kesetimbangan fase dua
komponen fase cair-cair (butanol-air), dan menentukan fasa, komponen, dan
derajat kebebasan suatu sistem kesetimbangan fase dua komponen fase cair-
cair (butanol-air). Adapun alat yang dibutuhkan yaitu tabung reaksi besar,
pengaduk, beaker glass, kaki tiga, kasa, pembakar spiritus, dan gelas ukur.
Untuk bahan yg diperlukan yaitu butanol dan aquadest.
Prinsip dasar dari percobaan ini yaitu didasarkan pada titik ekivalen
dari butanol dan air pada grafik kesetimbangan butanol air yang diperoleh
dari grafik kesetimbangan. Kesetimbangan fase adalah suatu keadaan dimana
suatu zat memiliki komposisi yang pasti pada kedua fasanya pada suhu dan
tekanan tertentu. Fasa adalah bentuk materi yang seragam di seluruh
komposisi kimia dan keadaan fisik (Atkins et al, 2018). Sederhananya fase
adalah wujud suatu zat. Komponen adalah spesies yang ada dalam sistem,
seperti zat terlarut dan pelarut dalam larutan biner. Zat pelarut umumnya
memiliki volume lebih banyak daripada zat terlarut. Sedangkan, derajat
kebebasan adalah jumlah variabel intensif independen yang diperlukan untuk
menyatakan suatu sistem.
Percobaan dilakukan dengan menyiapkan air mendidih. Sekitar 300
mL air, dimasukkan ke dalam gelas ukur 500 mL. Kemudian didihkan dengan
pembakar spiritus. Air didih ini akan digunakan untuk proses pemanasan
larutan. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat terjadinya reaksi. Selain
itu, pemanasan juga berfungsi untuk memutus ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen adalah ikatan yang terjadi antar atom hidrogen pada molekul yang
satu dengan salah satu unsur (N,O,F) pada molekul yang lainnya yang
merupakan gaya dipol-dipol yang paling kuat (Rananda, 2018).
Pada percobaan pertama, mula-mula 10 mL aquades dimasukkan ke
dalam tabung reaksi besar yang diberi label A yang sudah dilengkapi dengan
termometer dan pengaduk. Dimana termometer tersebut digunakan untuk
mengukur suhu pada larutan jernih t1A dan t2A. Kemudian ditambahkan 2
mL larutan Butanol, lalu menghasilkan larutan menjadi tidak berwarna dan
terbentuk dua lapisan. Terbentuknya 2 lapisan menandakan bahwa aquades
dan butanol tidak dapat larut secara bersamaan. Hal tersebut karena terdapat
perbedaan kepolaran dimana aquades polar butanol non polar serta perbedaan
massa jenis, massa jenis air sebesar 997 kg/m³, dan massa jenis butanol
sebesar 810 kg/m³. Setelah itu diaduk dan diamati perubahan yang terjadi.
Perubahan yang terjadi berupa larutan keruh. Volume aquades pada tabung A
lebih banyak daripada volume larutan butanol yang berarti bahwa butanol
terlarut dalam aquades. Fungsi mengaduk atau menghomogenkan kedua
larutan untuk mempercepat terjadinya reaksi. Kemudian dipanaskan dengan
penangas dan diamati hingga larutan tepat jernih dan membentuk dua lapisan
(lapisan atas jernih, lapisan bawah jernih). Fungsi pemanasan tersebut adalah
untuk mempercepat terjadinya reaksi dengan memutus ikatan hidrogen yang
ada didalam aquades dan metanol. Di saat larutan tepat jernih, diukur
suhunya, maka diperoleh t1A. Menurut pengamatan, suhuu tepat jernih 72°C.
Ketika dipanaskan membentuk satu fasa atau jernih sama, warna sama, tidak
ada endapan, dan tidak dapat dipisahkan. Saat komponen dapat dipisahkan,
terdapat 2 komponen dan 2 fasa, sehingga derajat kebebasan sebesar 1.
Kemudian, tabung reaksi diangkat dan didinginkan hingga tepat keruh.
Setelah didinginkan warna berubah menjadi keruh dan terbentuk 2 lapisan
(lapisan atas keruh dan lapisan bawah jernih). Ketika larutan tepat keruh,
diukur suhunya dan diperoleh t2A sebesar 33°C. Ketika didinginkan, dua fasa
dapat dipisahkan ada endapan. Sedangkan saat terdapat 1 fasa, maka derajat
kebebasan sebesar 2. Percobaan ini diulangi hingga tidak terjadi perubahan
ketika dipanaskan. Terdapat beberapa kali pengulangan dan didapatkan data
suhu tepat jernih saat setelah dipanaskan (t₁A). Kondisi larutan saat tepat
tidak berubah baik setelah dipanaskan dan didinginkan yaitu pada
penambahan 30 mL larutan butanol, dimana wujud lapisan bawah dari tabung
A tetap jernih seperti sebelumnya. Berikut reaksi yang terjadi :
Reaksi:
Sebelum pemanasan
(aq) + H2O(l)  (aq) +
H2O(l)
Pada percobaan tabung B, gelas kimia 500 mL disiapkan kemudian
diisi dengan air dingin tidak berwarna sebanyak separuh dari volume total
gelas kimia tersebut. Lalu dipanaskan. Setelah dipanaskan didapatkan air
panas tidak berwana. Air panas atau air mendidih tersebut digunakan sebagai
penangas pada percobaan ini.
Pada percobaan tabung B, mula-mula 10 mL butanol dimasukkan ke
dalam tabung reaksi besar yang diberi label B yang sudah dilengkapi dengan
termometer. Dimana termometer tersebut digunakan untuk mengukur suhu
pada larutan jernih t1B dan t2B. Kemudian ditambahkan 2 mL larutan
aquades dan dihomogenkan dan diamati perubahan yang terjadi. Fungsi dari
dihomogenkan aquades dan butanol tersebut untuk mempercepat terjadinya
reaksi. Perubahan yang terjadi berupa larutan keruh. Volume butanol pada
tabung B lebih banyak daripada volume larutan aquades yang berarti bahwa
butanol terlarut dalam aquades. Kemudian dipanaskan dengan penangas dan
diamati hingga larutan tepat jernih dan membentuk dua lapisan jernih jernih.
Fungsi pemanasan tersebut adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi
dengan memutus ikatan hidrogen yang ada didalam aquades dan butanol. Di
saat larutan tepat jernih, diukur suhunya, maka diperoleh t1B. Menurut
pengamatan, suhuu tepat jernih 74°C. Ketika dipanaskan membentuk satu
fasa, warna sama, tidak ada endapan, dan tidak dapat dipisahkan. Saat
komponen dapat dipisahkan, terdapat 2 komponen dan 2 fasa, sehingga
derajat kebebasan sebesar 1. Kemudian, tabung reaksi diangkat dan
didinginkan hingga tepat keruh. Setelah didinginkan warna berubah menjadi
keruh dan terbentuk 2 lapisan (lapisan atas keruh dan lapisan bawah jernih).
Ketika larutan tepat keruh, diukur suhunya dan diperoleh t2B sebesar 39°C.
Ketika didinginkan, dua fasa dapat dipisahkan dan terdapat endapan.
Sedangkan saat terdapat 1 fasa, maka derajat kebebasan sebesar 2. Percobaan
ini diulangi hingga tidak terjadi perubahan ketika dipanaskan. Terdapat
beberapa kali pengulangan dan didapatkan data suhu tepat jernih saat setelah
dipanaskan (t₁B) dan data suhu tepat keruh setelah didinginkan sebesar (t2B).
Kondisi larutan saat tepat tidak berubah baik setelah dipanaskan dan
didinginkan yaitu pada penambahan 30 mL larutan aquades, dimana wujud
lapisan atas keruh dan lapisan bawah jernih seperti sebelumnya. Berikut
reaksi yang terjadi :
Setelah pemanasan

(aq) + H2O(l)  (aq) +


H2O(l)
Tabel Data Hasil Percobaan Kesetimbangan Fase Dua Komponen.
V %
No. V Air butanol butanol t1 (˚C) t2 (˚C)
Tabung Reaksi Besar A
1 10 2 16,67 68 40
2 10 4 28,57 76 58
3 10 6 37,5 58 70
4 10 8 44,4 73 60
5 10 10 50 69 60
6 10 12 54,54 70 62
7 10 14 58,3 83 71
8 10 16 61,54 83 62
9 10 18 64,28 87 79
10 10 20 66,67 85 75
11 10 22 68,75 84 79
12 10 24 70,59 80 76
13 10 26 72,22 80 70
14 10 28 73,68 75 53
15 10 30 75 60 55
16 10 32 76,19 60 58
Tabung Reaksi Besar B
1 2 10 83,33 63 30
2 4 10 71,43 78 56
3 6 10 62,5 75 38
4 8 10 55,6 64 48
5 10 10 50 69 62
6 12 10 45,46 73 59
7 14 10 41,66 78 60
8 16 10 38,46 91 85
9 18 10 35,71 87 82
10 20 10 33,33 94 83
11 22 10 31,25 86 80
12 24 10 29,41 90 82
13 26 10 27,78 90 83
14 28 10 26,32 71 67
15 30 10 25 66 42
16 32 10 23,81 68 58
17 34 10 22,73 74 39
Berdasarkan data tabung A dan tabung B didapatkan grafik sebagai berikut

Grafik Suhu Pengaruh persen butanol


terhadap temperatur
100
Temperatur (◦C)
80
60
40
20
0
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

% Butanol

Series2 Series4

Dengan demikian akan terbentuk dua fasa karena terdapat perbedaan


massa jenis dan sifat kepolaran. Dalam sistem akan terjadi kesetimbangan
fasa karena pengaruh suhu dan komposisi larutan. Suhu yang tinggi dapat
memutus atau melemahkan ikatan hidrogen yang ada di dalam air dan
butanol, sehingga laju reaksi akan cepat dan terjadilah kesetimbangan fasa.
X. Diskusi
Pada praktikum yang dilakukan ditemukan beberapa titik ekivalen
pada kesetimbangan fase dua komponen fase cair-cair (butanol-air)
dikarenakan human errors dan kesalahan praktikan yang seharusnya sudah
diberhentikan Ketika diperoleh titik ekuivalen yang pertama akan tetapi
praktikan tetap melanjutkan penambahan larutan hingga diperoleh beberapa
titik ekuivalen. Sedangkan dalam data yang diperoleh saat percobaan dan
digambarkan dalam grafik tersebut tidak sesuai dengan teori karena terdapat
beberapa titik ekuivalen. Selain itu, mungkin dari human error saat
pembacaan suhu yang kurang akurat yang berpengaruh terhadap perubahan
fasa. Pada saat pembacaan suhu dilakukan dengan memindahkan tabung
reaksi A dan B ke luar dari dalam Beaker glass, sehingga berpengaruh
terhadap perbedaan suhu yang mengakibatkan tidak terbentuknya titik
ekuivalen karena suhu yang tidak stabil atau naik turun.
XI. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang kami lakukan, dapat disimpulkan:
1. Pada saat dipanaskan, terjadi satu fase dengan ciri-ciri kejernihan larutan
sama, warna sama, tidak terbentuk endapan, dan tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan pada saat didinginkan, terjadi dua fase dengan ciri-ciri
terdapat endapan dan dapat dipisahkan.
2. Diperoleh beberapa titik ekivalen pada kesetimbangan fase dua komponen
fase cair-cair (butanol-air) dikarenakan human errors dan kesalahan
praktikan
3. Pada saat dipanaskan, terjadi satu fase dengan ciri-ciri kejernihan larutan
sama, warna sama, tidak terbentuk endapan, dan tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan pada saat didinginkan, terjadi dua fase dengan ciri-ciri
terdapat endapan dan dapat dipisahkan. Pada langkah pengulangan
terakhir di tabung A, kondisi yang terjadi yaitu aquadest dan butanol
terlarut dalam butanol. Sedangkan pada langkah pengulangan terakhir
pada tabung B, kondisi yang terjadi aquadest dan butanol terlarut dalam
aquadest.
4. Derajat kebebasan pada saat dipanaskan yaitu bernilai dua. Nilai ini
didapatkan karena pada saat dipanaskan terdapat dua komponen dan satu
fase. Sedangkan pada saat didinginkan, derajat kebebasan bernilai satu.
Karena terdapat dua komponen dan dua fase
XII. Daftar Pustaka

Atkins, P. (1997). Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga


Atkins , P., Paula , J. d., & Keeler, J. (2018). Atkins’ PHYSICAL
CHEMISTRY Eleventh edition. United Kingdom: Oxford University
Press.
Atkins, P.W.. (1999). Kimia Fisika Jilid II. Erlangga: Jakarta. Chang,
Raymond. (2003). Kimia Dasar Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Chang,
Raymond. (2005). Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga.
Erikson, J. (2016). Partially Misciable Water-Triethylamine Solutions and
Their Temperature Dependence. United States: Chemical Education.
Saint Joseph’s College.
Hardeli, & Syukri. (2013). Buku Ajar Kesetimbangan Fasa. Padang:
Universitas Negeri Padang.
Helmilia, A. p. (2020). Kelarutan Dua Cairan Yang Saling Bercampur
Sebagian. Jurnal Ilmiah, 1–11.
Petrucci, R.H. (1985). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 2.
Jakarta : Gramedia
Rohman, & Mulyani. (2013). Kimia Fisika I. Bandung: UPI Press. Surabaya:
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Sukardjo. (1997). Kimia Fisika. Yogyakarta: Rineka Cipta
Helmilia, A. putri, Nahari, A., & Ramadhani, A. (2020). Kelarutan dua cairan
yang saling bercampur sebagian. Jurnal Ilmiah, 1(2), 1–11.
Petrucci, R.H. (1985). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 2.
Jakarta : Gramedia
Sukardjo. (1997). Kimia Fisika. Yogyakarta: Rineka Cipta
Surabaya: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Tim Dosen Kimia Fisika. 2020. Buku Penuntun Praktikum Kimia Fisika.
Padang: Universitas Negeri Padang.
XIII. Lampiran
a) Jawaban Pertanyaan
1. Gambarkan kesetimbangan fase dua komponen fase cair-cair (fenol-
air) dari data yang telah anda dapatkan dengan menggunakan
komputer (grafik antara %volume pada sumbu X dan temperatur pada
sumbu Y). Gabungkan data yang didapat dari tabung reaksi A dan
tabung reaksi B pada satu grafik.
Jawab:
Grafik Data hasil Pengamatan

Grafik Suhu Pengaruh persen butanol


terhadap temperatur
100
Temperatur (◦C)

80
60
40
20
0
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

% Butanol

Series2 Series4

Tabel Data Hasil Pengamatan


V %
No. V Air butanol butanol t1 (˚C) t2 (˚C)
Tabung Reaksi Besar A
1 10 2 16,67 68 40
2 10 4 28,57 76 58
3 10 6 37,5 58 70
4 10 8 44,4 73 60
5 10 10 50 69 60
6 10 12 54,54 70 62
7 10 14 58,3 83 71
8 10 16 61,54 83 62
9 10 18 64,28 87 79
10 10 20 66,67 85 75
11 10 22 68,75 84 79
12 10 24 70,59 80 76
13 10 26 72,22 80 70
14 10 28 73,68 75 53
15 10 30 75 60 55
16 10 32 76,19 60 58
Tabung Reaksi Besar B
1 2 10 83,33 63 30
2 4 10 71,43 78 56
3 6 10 62,5 75 38
4 8 10 55,6 64 48
5 10 10 50 69 62
6 12 10 45,46 73 59
7 14 10 41,66 78 60
8 16 10 38,46 91 85
9 18 10 35,71 87 82
10 20 10 33,33 94 83
11 22 10 31,25 86 80
12 24 10 29,41 90 82
13 26 10 27,78 90 83
14 28 10 26,32 71 67
15 30 10 25 66 42
16 32 10 23,81 68 58
17 34 10 22,73 74 39
2. Dari grafik yang anda dapatkan (soal no. 1), kapan terjadi titik
ekivalen?
Jawab: Berdasarkan grafik diatas, diperoleh beberapa titik ekuivalen
pada temperature sekitar 80℃ dan pada % butanol yang berbeda-
beda.
b) Dokumentasi
No. Gambar Keterangan

1. Alat yang digunakan

Air dimasukkan
kedalam beaker glass
2.
ukuran 500 mL dan
didihkan dengan
pembakar spiritus

Tabung A

Disiapkan 10 mL
1 aquadest
.

Disiapkan 2 mL
2 butanol
.

Dimasukkan 10 mL
3 aquadest dan 2 mL
.
butanol
Dimasukkan ke dalam
4 beaker glass yang
.
telah didihkan airnya

Setelah dipanaskan,
terjadi perubahan
5
. menjadi jernih sebagai
t1A pada suhu 68°C

Dimasukkan ke dalam
6. beaker glass yang berisi
air dingin

Setelah didinginkan,
terjadi perubahan
7. menjadi keruh sebagai
t2A pada suhu 40°C

Diulangi langkah-
langkah diatas dengan
penambahan 2 mL
8. butanol setiap
pengulangannya
Setelah dipanaskan pada
penambahan ke 15
9. dengan hasil jernih
jernih pada suhu 60°C

Setelah didinginkan
pada penambahan ke 15
10. dengan hasil jernih
jernih pada suhu 58°C

Bagian B

Disiapkan 10 mL
1 butanol
.

Disiapkan 2 mL
2 aquadest
.

Dimasukkan 10 mL
3 butanol dan 2 mL
.
aquadest
Dimasukkan ke dalam
4 beaker glass yang
.
telah didihkan airnya

Setelah dipanaskan,
terjadi perubahan
5
. menjadi jernih sebagai
t1B pada suhu 63°C

Dimasukkan ke dalam
6. beaker glass yang berisi
air dingin

Setelah didinginkan,
terjadi perubahan
7. menjadi keruh sebagai
t2B pada suhu 30°C

Diulangi langkah-
langkah diatas dengan
penambahan 2 mL
8. aquadest setiap
pengulangannya
Setelah dipanaskan pada
penambahan ke 16
9. dengan hasil keruh
jernih pada suhu 74°C

Setelah didinginkan
pada penambahan ke 16
10. dengan hasil keruh
jernih pada suhu 39°C

c) Perhitungan dan Grafik


 Tabung Reaksi Besar A

● Densitas Butanol = 810 Kg/m3


● Densitas Air = 997 Kg/m3
 Tabung Reaksi Besar B

 Perubahan saat pemanasan dan pendinginan pada tabung A dan B


Tabung Reaksi Besar A
Menghitung % volume penambahan butanol :
volume butanol
% butanol= ×100 %
volume butanol+volume aquades
1. Penambahan 1 ( 2 ml butanol )
2
% butanol= × 100 %=16,67 %  ketika T1A dipanaskan, Larutan
2+10
menjadi jernih pada suhu 68 ℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 40℃ .
2. Penambahan 2 ( 4 ml butanol )
4
% butanol= × 100 %=28,57 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
4 +10
menjadi jernih pada suhu 78℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 58℃ .
3. Penambahan 3 ( 6 ml butanol )
6
% butanol= ×100 %=37,50 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
6+10
menjadi jernih pada suhu 58℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 70℃ .
4. Penambahan 4 ( 8 ml butanol )
8
% butanol= ×100 %=44,44 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
8+10
menjadi jernih pada suhu 73℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 60℃ .
5. Penambahan 5 ( 10 ml butanol )
10
% butanol= × 100 %=50 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
10+10
menjadi jernih pada suhu 69℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 60℃ .
6. Penambahan 6 ( 12 ml butanol )
12
% butanol= ×100 %=54,55 %  ketika T1A dipanaskan, Larutan
12+10
menjadi jernih pada suhu 70℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 62℃ .
7. Penambahan 7 ( 14 ml butanol )
14
% butanol= ×100 %=58,33 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
14+10
menjadi jernih pada suhu 83℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 71℃ .
8. Penambahan 8 ( 16 ml butanol )
16
% butanol= × 100 %=61,54 %  ketika T1A dipanaskan, Larutan
16+10
menjadi jernih pada suhu 83℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruhu pada suhu 62℃ .
9. Penambahan 9 ( 18 ml butanol )
18
% butanol= × 100 %=64,29 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
18+10
menjadi jernih pada suhu 87℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 79℃ .
10. Penambahan 10 ( 20 ml butanol )
20
% butanol= × 100 %=66,67 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
20+10
menjadi jernih pada suhu 85 ℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 75℃ .
11. Penambahan 11 ( 22 ml butanol )
22
% butanol= × 100 %=68,75 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
22+10
menjadi jernih pada suhu 84℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 79℃ .
12. Penambahan 12 ( 24 ml butanol )
24
% butanol= ×100 %=70,59 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
24+10
menjadi jernih pada suhu 80℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 76℃ .
13. Penambahan 13 ( 26 ml butanol )
26
% butanol= ×100 %=72,22 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
26+10
menjadi jernih pada suhu 80℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 70℃ .
14. Penambahan 14 ( 28 ml butanol )
28
% butanol= × 100 %=73,68 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
28+10
menjadi jernih pada suhu 75℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi keruh pada suhu 53℃ .
15. Penambahan 15 ( 30 ml butanol )
30
% butanol= × 100 %=75 % ketika T1A dipanaskan, Larutan
30+10
menjadi jernih pada suhu 60℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi jernih pada suhu 55℃ .
16. Penambahan 16 (32 ml butanol)
32
% butanol= ×100 %=76,19 %  ketika T1A dipanaskan, Larutan
32+10
menjadi jernih pada suhu 60℃ dan ketika T2A didinginkan, Larutan
berubah menjadi jernih pada suhu 58℃ .

Tabung Reaksi Besar B


Menghitung % volume penambahan butanol :
volume butanol
% butanol= ×100 %
volume aquades+ volume butanol

1. Penambahan 1 ( 2 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=83,33 %  ketika T1B dipanaskan, Larutan
2+10
berubah menjadi jernih pada suhu 63oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 30 oC
2. Penambahan 2 ( 4 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=71,43%  ketika T1B dipanaskan, Larutan
4 +10
berubah menjadi jernih pada suhu 78 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 56 oC
3. Penambahan 3 ( 6 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=62,50 %  ketika T1B dipanaskan, Larutan
6+10
berubah menjadi jernih pada suhu 75oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 38 oC
4. Penambahan 4 ( 8 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=55,56 %  ketika T1B dipanaskan, Larutan
8+10
berubah menjadi jernih pada suhu 64 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 48 oC
5. Penambahan 5 ( 10 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=50 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
10+10
berubah menjadi jernih pada suhu 69 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 62 oC
6. Penambahan 6 ( 12 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=45,45 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
12+10
berubah menjadi jernih pada suhu 73 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 59 oC
7. Penambahan 7 ( 14 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=41,67 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
14+10
berubah menjadi jernih pada suhu 78oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 60oC
8. Penambahan 8 ( 16 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=38,46 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
16+10
berubah menjadi jernih pada suhu 91 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 85oC
9. Penambahan 9 ( 18 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=35,71%  ketika T1B dipanaskan, Larutan
18+10
berubah menjadi jernih pada suhu 87 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 82oC
10. Penambahan 10 ( 20 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=33,33 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
20+10
berubah menjadi jernih pada suhu 94 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 83 oC
11. Penambahan 11 ( 22 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=31,25%  ketika T1B dipanaskan, Larutan
22+10
berubah menjadi jernih pada suhu 86oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 80oC
12. Penambahan 12 ( 24 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=29,41 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
24+10
berubah menjadi jernih pada suhu 90oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 82 oC
13. Penambahan 13 ( 26 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=27,78 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
26+10
berubah menjadi jernih pada suhu 90 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 83 oC
14. Penambahan 14 ( 28 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=26,32 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
28+10
berubah menjadi jernih pada suhu 71oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 67 oC
15. Penambahan 15 ( 30 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=25 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
30+10
berubah menjadi jernih pada suhu 66oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 42 oC
16. Penambahan 16 ( 32 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=23,81%  ketika T1B dipanaskan, Larutan
32+10
berubah menjadi jernih pada suhu 68 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 58oC
17. Penambahan 17 ( 34 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=22,73 % ketika T1B dipanaskan, Larutan
34+10
berubah menjadi jernih pada suhu 74 oC dan ketika T2B didinginkan,
Larutan berubah menjadi keruh pada suhu 39oC

 Persentase butanol pada tabung A dan B


Tabung Reaksi Besar A
Menghitung % volume penambahan butanol :
volume butanol
% butanol= ×100 %
volume butanol+volume aquades

1. Penambahan 1 ( 2 ml butanol )
2
% butanol= × 100 %=16,67 %
2+10
2. Penambahan 2 ( 4 ml butanol )
4
% butanol= × 100 %=28,57 %
4 +10
3. Penambahan 3 ( 6 ml butanol )
6
% butanol= ×100 %=37,50 %
6+10
4. Penambahan 4 ( 8 ml butanol )
8
% butanol= ×100 %=44,44 %
8+10
5. Penambahan 5 ( 10 ml butanol )
10
% butanol= × 100 %=50 %
10+10
6. Penambahan 6 ( 12 ml butanol )
12
% butanol= ×100 %=54,55 %
12+10
7. Penambahan 7 ( 14 ml butanol )
14
% butanol= ×100 %=58,33 %
14+10
8. Penambahan 8 ( 16 ml butanol )
16
% butanol= × 100 %=61,54 %
16+10
9. Penambahan 9 ( 18 ml butanol )
18
% butanol= × 100 %=64,29 %
18+10
10. Penambahan 10 ( 20 ml butanol )
20
% butanol= × 100 %=66,67 %
20+10
11. Penambahan 10 ( 22 ml butanol )
22
% butanol= × 100 %=68,75 %
22+10

12. Penambahan 10 ( 24 ml butanol )


24
% butanol= ×100 %=70,59 %
24+10
13. Penambahan 10 ( 26 ml butanol )
26
% butanol= ×100 %=72,22 %
26+10
14. Penambahan 10 ( 28 ml butanol )
28
% butanol= × 100 %=73,68 %
28+10
15. Penambahan 10 ( 30 ml butanol )
30
% butanol= × 100 %=75 %
30+10
16. Penambahan 10 ( 32 ml butanol )
32
% butanol= ×100 %=76,19 %
32+10

Tabung Reaksi Besar B


Menghitung % volume penambahan butanol :
volume butanol
% butanol= ×100 %
volume aquades+ volume butanol
1. Penambahan 1 ( 2 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=83,33 %
2+10
2. Penambahan 2 ( 4 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=71,43%
4 +10
3. Penambahan 3 ( 6 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=62,5 %
6+10

4. Penambahan 4 ( 8 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=55,6 %
8+10
5. Penambahan 5 ( 10 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=50 %
10+10
6. Penambahan 6 ( 12 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=45,46 %
12+10
7. Penambahan 7 ( 14 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=41,67 %
14+10
8. Penambahan 8 ( 16 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=38,46 %
16+10
9. Penambahan 9 ( 18 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=35,72%
18+10
10. Penambahan 10 ( 20 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=33,33 %
20+10
11. Penambahan 11 ( 22 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=31,25%
22+10
12. Penambahan 12 ( 24 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=29,41 %
24+10
13. Penambahan 13 ( 26 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=27,78 %
26+10
14. Penambahan 14 ( 28 ml aquades )
10
% butanol= × 100 %=26,32 %
28+10

15. Penambahan 15 ( 30 ml aquades )


10
% butanol= × 100 %=25 %
30+10

16. Penambahan 16 ( 32 ml aquades )


10
% butanol= ×100 %=23,81%
32+10
17. Penambahan 16 ( 34 ml aquades )
10
% butanol= ×100 %=22,73 %
34+10

 Derajat kebebasan pada tabung A dan B


Tabung reaksi besar A
Derajat kebebasan = 1 fasa, 2 komponen
F=C–P+1
= 2 -1 + 1
=2
Tabung reaksi besar B
derajat kebebasan 2 fasa, 2 komponen
F=C–P+1
= 2 -2 + 1
=1
derajat kebebasan 1 fasa, 2 komponen
F=C–P+1
= 2 -1 + 1
=2

Anda mungkin juga menyukai