Anda di halaman 1dari 3

Apakah benar kita sudah merdeka?

Pernahkah anda berpikir bahwa sekarang ini kita bangsa Indonesia sudah benar-
benar merdeka? Jika kita merujuk pada sejarah bangsa Indonesia sudah jelas bahwa
pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa ini telah dinyatakan merdeka lewat naskah
proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno kala itu. Lantas apa yang belum di
bangsa ini?
Sudah setengah abad lebih bangsa kita telah merdeka. Namun secara politik dan
ekonomi bangsa ini sama sekali belum merdeka. Masih banyak koruptor di negara
ini, hingga akhirnya menggerogoti sistem politik yang ada. Dan tak kalah pula dari
segi ekonomi pun dikuasai oleh segelintir orang yang tamak akan kuasa dan harta.
Yang katanya negara merdeka, negara demokrasi, akan tetapi keadilan sosial masih
jauh dari kata merdeka.
Bagaimana kah semua ini bisa terjadi di negara kita? Lalu apakah penyebab dari
semua itu?
Perlu kita ketahui dan kita sadari bahwasanya ini semua terjadi karena bangsa kita
masih terjajah oleh cara berpikir. Kemerdekaan suatu bangsa dapat kita lihat dari
cara berpikir masyarakat didalamnya. Karena kemampuan dari warga negara nya
dalam menyelesaikan suatu masalah dapat menentukan nantinya ke arah mana
negara akan bergerak. Di Indonesia sendiri masih banyak persoalan yang menjadikan
bangsa Indonesia sulit untuk maju dan masih berkutat pada masalah yang sama.
Banyak pula kalangan masyarakat Indonesia yang hidup pada ajaran moral yang
tidak lagi relevan atau tidak masuk akal untuk dilakukan. Salah satunya karena
masyarakat Indonesia sendiri masih terlalu mengandalkan logika mistika dalam
menyelesaikan suatu masalah. Yang sungguh kita butuhkan sekarang ini adalah
kemerdekaan cara berpikir.
Nah sebelum kita telaah lebih dalam mengenai kemerdekaan berpikir perlu
diketahui dulu apa itu logika mistika, karena keduanya saling berhubungan dalam
permasalahan ini.
Masyarakat Indonesia memandang bahwa apapun yang terjadi di dunia ini akan
selalu dipengaruhi oleh hal-hal keramat atau ghaib. Cara pandang inilah yang
disebut-sebut oleh salah satu Pahlawan Indonesia yaitu Tan Malaka sebagai “Logika
Mistika”, yang ditulis dibukunya yang berjudul “Madilog”. Cara berpikir seperti ini
dinilai akan sangat melumpuhkan pikiran mereka sendiri, dikarenakan mereka
masyarakat Indonesia ketika menghadapi suatu masalah akan lebih mengharapkan
kepada hal-hal ghaib itu sendiri ketimbang menangani atau menyelesaikan masalah
yang ia hadapi. Logika mistika yang ada dapat menjadi sebuah cerminan sikap dan
perilaku yang mudah putus asa atau pasrah dan terlalu mudah menyerahkan
nasibnya kepada hal-hal mistis. Manusia yang cenderung masih menggunakan cara
berpikir mistis sama saja dan tidak ada bedanya pula mereka dengan manusia yang
di penjara pikirannya oleh penjajah.
Perlu digaris bawahi juga pemikiran ini bukan bermaksud untuk mengesampingkan
agama. Di dalam Islam pun dijelaskan bahwa perlu adanya sebuah ikhtiar sebelum
bertawakkal. Namun tetap saja masyarakat Indonesia masih sering menggantungkan
pada doa-doa yang dipanjatkan setulus mungkin tanpa disertai usaha yang
maksimal. Sikap selalu meminta juga tidak baik dalam diri manusia. Atau bahkan
masih ada masyarakat Indonesia yang menggantungkan nasibnya pada takdir.
Seperti contoh kasus dibawah ini:
Ada seorang nelayan yang pergi berlayar ditengah laut untuk mencari ikan.
Ditengah-tengah lautan lepas dan dibawah panas teriknya matahari tiba-tiba ia
mendapat musibah. Perahu nelayan tersebut sedikit demi sedikit terisi oleh air dan
akan tenggelam. Pada saat itu pula ada seorang nelayan yang lewat dan
menawarinya pertolongan, namun nelayan tersebut menolaknya dan ia berkata
“tidak, saya tidak butuh pertolonganmu, saya yakin bahwa Tuhan akan menolong
saya”. Sekali lagi ada tawaran pertolongan kemudian ia berkata lagi “saya telah
berdoa kepada Tuhan untuk menolong saya, tetapi jika memang ini adalah takdir
yang diberikan oleh Tuhan, maka saya akan menerimanya. Tapi saya tetap percaya
bahwa Tuhan akan menolong saya.” Dan akhirnya ia pun tenggelam bersama dengan
perahunya.
Inilah salah satu contoh yang mana manusia terlalu menggantungkan nasibnya tanpa
di dampingi usaha yang maksimal. Dan mungkin ada sedikit kekeliruan dalam hal
pehamahan takdir.
Pada dasarnya sekalipun ada yang namanya takdir, manusia dengan haknya untuk
berusaha atau berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagaimana
nanti kedepannya bagi dirinya dan juga dunia. Ikhtiar inilah yang merupakan usaha
bagi manusia dimana mereka tidak diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh
keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Perbuatan manusia sendiri
yang nantinya akan merubah dunia dan juga menentukan nasibnya sendiri. Nah
dapat disimpulkan pula bahwasanya seorang manusia akan mendapatkan takdirnya
sesuai dengan bagaimana ikhtiar yang telah ia lakukan. Jika ia berikhtiar dengan baik
ia akan mendapatkan takdir yang baik pula, begitupun sebaliknya.
Seperti inilah yang terjadi di Indonesia, akal budinya terkungkung oleh kepercayaan
buta. Bukan hanya itu, di Indonesia masih ada pula yang hidup diatur dan senantiasa
diperintah oleh manusia. Mereka patuh dikarenakan kerakusan yang dimilikinya. Dan
mereka lah yang sebenarnya dijajah walaupun statusnya merdeka. Oleh karena itu
seharusnya kita jangan malas untuk berpikir dan jangan menyerahkan diri kita pada
otoritas yang tidak dapat diandalkan. Hal-hal seperti itu pula bisa jadi pemicu
munculnya kaum-kaum fanatisme. Mereka akan lebih menuhankan kepercayaan
buta nya dari pada mempertimbangkan tindakannya secara jernih. Buah dari sikap
fanatik adalah intoleransi terhadap sesama, yang bermuara pada diskriminasi,
rasisme dan pada akhirnya mengakibatkan kekerasan pada yang lain. Ketika
solidaritas dan kemanusiaan lenyap maka hasrat untuk memperkaya diri serta ambisi
untuk menonjolkan citra diri akan semakin tinggi. Di tengah kebebasan ekonomi
yang mereka punya, sebenarnya hati dan pikiran mereka terbelenggu oleh kerakusan
dalam diri mereka sendiri. Keadilan sosial tinggal slogan tanpa wujud nyata. Dimana
yang kaya akan semakin kaya dan yang tak punya semakin menderita atau bahkan
semakin sulit hidupnya. Inikah yang namanya merdeka? Secara politik memang
terlihat merdeka, namun dalam soal cara berpikir bangsa ini masih jauh dari kata
merdeka.
Perlunya kesadaran dari berbagai generasi muda untuk memerdekakan pikirannya
yang nantinya akan membawa bangsa Indonesia menjadi lebih maju. Terutama
generasi-generasi muda sadar dengan kemerdekaan berpikir. Dimana mereka
mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu dengan jernih
dan bijaksana, mereka terbebas dari tekanan politik juga bebas dari sikap tamak
terhadap dirinya sendiri maupun golongan tertentu. Inilah yang menjadi cita-cita
para pendiri bangsa dan para Pahlawan Nasional. Kemerdekaan berpikir adalah salah
satu jembatan emas untuk kesejahteraan bersama maupun individu. Suatu
kesejahteraan yang tidak dilihat dari material belaka, melainkan kesejahteraan hati
dan pikiran sesuai dengan kenyataan. Kemerdekaan yang tidak hanya dilihat secara
formal politik semata, akan tetapi terwujudnya kemerdekaan yang substansial yang
memberikan ruang hati dan pikiran untuk berbicara serta di dengarkan, Yaa..
Didengarkan...

Penulis: Bagas Amilun


Selasa, 07 Maret 2022

Anda mungkin juga menyukai