Anda di halaman 1dari 9

2.

Teori Lokasi Ongkos Minimum (Least Cost Theory)


Alfred Weber memelopori perumusan teori lokasi dengan pendekatan ongkos minimum khusus untuk
kegiatan industri pengolahan (manufacturing). Teori ini muncul pada masa berkembangnya revolusi industri di
Jerman untuk membantu pemerintah dalam menentukan lokasi yang terbaik dan ekonomis bagi pembangunan
perusahaan pengolahan besi baja (steel manufacturing company). Sedangkan bahan baku yang diperlukan
perusahaan ini adalah biji besi dan batu bara yang terdapat di dua tempat yang berbeda (localized materials)
sehingga untuk membawanya ke lokasi pabrik guna kegiatan produksi akan memerlukan ongkos angkut yang
cukup besar. Weber memberikan analisis pemilihan lokasi paling ekonomis (optimal) yang dapat menghasilkan
ongkos angkut minimum. Analisis lokasi industri ini dimuat dalam buku Alfred Weber yang terkenal dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Theory of the Location of Industries (Weber, 1929).

1. Kasus Ruang Satu Dimensi


Untuk memudahkan pemahaman tentang Teori Lokasi Weber ini, pembahasan dimulai dengan kasus yang
sederhana, di mana ruang hanya bersifat satu dimensi (linear space). Dalam kasus ini, ruang digambarkan sebagai
garis lurus yang menghubungkan dua tempat, yaitu sumber bahan baku (M) dan pasar (C). Berdasarkan ruang satu
dimensi ini. pemilihan lokasi industri dapat dilakukan pada kedua titik M dan C atau di antaranya.
Seandainya perusahaan memilih lokasi di titik Ę, maka untuk membawa bahan baku ke pabrik perlu
ditempuh jarak k, sedangkan untuk membawa hasil produksi ke pasar akan menempuh jarak (k*-k) di mana k*
jarak antara titik M dan C yang sudah tetap panjangnya (konstan). Berdasarkan kondisi ini, maka yang dimaksud
dengan ruang satu dimensi (linear space) adalah seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa dalam Teori Weber, pemilihan lokasi didasarkan pada
prinsip ongkos angkut minimum (transportation orientation). Ini berarti bahwa lokasi optimal suatu perusahaan
industri akan ditentukan berdasarkan ongkos angkut paling rendah yang harus dikeluarkan perusahaan bila memilih
lokasi pada suatu tempat tertentu. Untuk memudahkan analisis, dalam hal ini diasumsikan bahwa tidak terdapat
perbedaan upah buruh antartempat dan tidak ada keuntungan aglomerasi bila lokasi berdekatan dengan perusahaan
lain yang saling berkaitan.

Dengan mempertimbangkan asumsi ini dan didasarkan pada kondisi ruang satu dimensi sebagaimana
terlihat pada Gambar 2.2, maka persamaan ongkos angkut bila berlokasi pada titik F dapat ditulis

T(k) = knX + mq(k* - k) ---> persamaan 2.7


di mana T(k) adalah ongkos angkut yang besarnya ditentukan oleh unsur jarak, k. Bahan baku (input) yang
digunakan diwakili oleh X dan output (hasil produksi) diwakili oleh q. Sedangkan n dan m masing-masingnya
adalah ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi per ton kilometer. Dengan demikian, terlihat bahwa unsur
pertama pada ruas kanan persamaan (2.7) adalah ongkos angkut bahan baku dan unsur kedua adalah ongkos angkut
hasil produksi. Seandainya fungsi produksi yang digunakan adalah dalam bentuk Leontief Technology (Fixed
Technical Coefficient) maka konstanta a adalah koefisien input yang bersifat tetap yang berarti bahwa X = aq.
Dengan mempertimbangkan hal ini, maka persamaan (2.7) dapat diubah menjadi

T(k) = q[(k.a.n) + m(k* - k)] ---> persamaan 2.8

Selanjutnya, dengan menarik turunan matematika pertama (first order condition) dari persamaan (2.8)
terhadap variabel jarak k dan menyamakannya dengan nol, maka diperoleh kondisi optimal pemilihan lokasi
sebagai berikut.

q.a.n = m.q ---> persamaan 2.9

atau

a.n = m ---> persamaan 2.10

Persamaan ini menunjukkan bahwa pemilihan lokasi optimal ditentukan oleh perbandingan antara ongkos
angkut bahan
baku dan hasil produksi per ton kilometer.

Seandainya kita menggunakan istilah yang dipakai oleh Weber, yaitu diumpamakan Wan/m (Weberian
Locational Weight), maka bila: W> 1, yaitu an> m maka industri bersangkutan dikatakan mempunyai sifat Weight
Loosing Industry, yaitu input untuk setiap kesatuan output lebih berat dari hasil produksi. Dengan demikian, lokasi
optimal untuk industri jenis ini adalah pada sumber bahan baku karena dengan memilih lokasi di sini akan dapat
meminimumkan ongkos angkut. Sebaliknya, bila W < 1, yaitu an < m maka industri tersebut dikatakan mempunyai
sifat Weight Gaining Industry, yaitu input untuk setiap kesatuan produksi lebih ringan dari output. Dengan
demikian, lokasi optimal untuk industri jenis ini adalah di pasar karena dengan demikian ongkos angkut akan dapat
diminimumkan.

Tentunya dalam hal ini akan terdapat pula kondisi khusus di mana W = 1, yaitu an= m di mana berat input
sama dengan output dan industri ini dinamakan sebagai "Footloose Industry". Lokasi optimal untuk industri jenis
ini seharusnya dapat ditempatkan di mana saja karena perbedaan ongkos angkut per ton kilometer untuk setiap ton
output akan sama. Akan tetapi, karena kota mempunyai berbagai keuntungan eksternal (external economies) yang
lebih besar dibandingkan dengan berlokasi pada sumber bahan baku, seperti tersedianya prasarana dan sarana
ekonomi yang lebih baik maka tentunya pengusaha akan cenderung memilih lokasi dekat dengan pasar, yaitu di
kota.
Penentuan lokasi optimal berdasarkan teori Weber ini dapat pula dianalisis dengan menggunakan kurva
seperti terlihat pada Grafik 2.5 dan 2.6. Pada gambar ini garis horizontal mewakili jarak antara lokas sumber bahan
baku (M) dan pasar (C); dan garis vertikal mewakili ongkos angkut. Grafik 2.5 menunjukkan kondisi di mana
ongkos angkut bahan baku rata-rata per unit output adalah lebih besar dari ongkos angkut rata-rata output (an> m).
Kondisi ini diperlihatkan oleh kurva ongkos angkut input yang mempunyai sudut (slope) yang lebih besar dari
kurva ongkos angkut output. Kurva ongkos angkut total akan dapat diperoleh dengan menjumlahkan kedua kurva
ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi. Kurva Ongkos Angkut Total ini miring ke arah sumber bahan baku.
Dengan demikian, terlihat bahwa lokasi optimal haruslah disumber bahan baku (M) sesuai dengan analisis
terdahulu.
Grafik 2.6 menunjukkan kondisi sebaliknya di mana ongkos angkut bahan baku per unit output adalah lebih
kecil dari ongkos angkut hasil produksi yang ditunjukkan oleh kurva ongkos angkut bahan baku yang mempunyai
sudut lebih kecil dari ongkos angkut hasil produksi. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, kurva ongkos angkut total
dapat diperoleh dengan menghubungkan kurva ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi serta menghasilkan
kurva yang miring ke arah pasar. Dengan demikian, terlihat bahwa lokasi optimal adalah di pasar (C) karena lokasi
ini dapat memberikan jumlah ongkos angkut yang minimum. Di sini terlihat bahwa hasil analisis pada Grafik 2.5
dan Grafik 2.6 ternyata sama dengan hasil analisis menggunakan matematika sebagaimana diuraikan terdahulu.

2. Kasus Ruang Dua Dimensi


Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa kasus pemilihan lokasi yang dibahas oleh Alfred Weber
adalah menyangkut dengan pemilihan lokasi dalam rangka pendirian sebuah pabrik pencoran biji besi di Jerman
pada masa kebangkitan industri (revolusi industri) di negara ini. Dalam hal ini lokasi sumber bahan baku ada di dua
tempat sedangkan pasar tetap pada satu lokasi. Bahan baku pertama adalah biji besi yang lokasi tambangnya berada
pada M1, sedangkan bahan baku kedua adalah batu bara yang lokasinya pada M2. Kedua bahan baku ini
diasumsikan bersifat "localized materials" artinya, hanya terdapat pada tempat tertentu sehingga untuk
membawanya ke tempat lain akan memerlukan sejumlah ongkos angkut. Sedangkan lokasi pasar di C, yaitu pada
lokasi pabrik pembuatan kereta api yang merupakan konsumen utama hasil produksi besi. Berdasarkan kondisi ini,
ruang (space) sekarang menjadi bersifat dua dimensi dengan tiga sudut yang berbentuk segitiga (Weberian
Locational Triangle) seperti terlihat pada Gambar 2.3 berikut ini.
Berdasarkan struktur ruang dalam bentuk segitiga ini, maka persamaan fungsi ongkos angkut pada
persamaan 2.8 sekarang berubah menjadi

T(k) = q[(k1a1 n1) + (k2a2n2) + mk3] ---> persamaan 2.11

Di mana k1, k2, dan k3, adalah jarak dari sumber bahan baku dan pasar sebagaimana terlihat pada Gambar
2.3. Sedangkan a1 dan a2 masing-masingnya adalah koefisien input X, dan X. Dengan menarik turunan pertama
persamaan (2.10) terhadap unsur jarak k1, k2, dan k3 maka akan diperoleh tiga persamaan berikut.

a1n1q = 0, a2n2q = 0, dan mq = 0 ---> persamaan 2.12

Berdasarkan kondisi optimal (hasil turunan pertama) tersebut akan terdapat empat kemungkinan pemilihan
lokasi optimal yaitu
1. bila: a1n1 > a2n2 + m, yaitu input X1 dominan maka lokasi optimal di M1
2. bila: a2n2 > a1n1 + m, yaitu input X2 dominan maka lokasi optimal di M2
3. bila: m > a1n1 + a2n2, yaitu output q dominan maka lokasi optimal di C
4. bila: m = a1n1 + a2n2, yaitu tidak ada input atau output yang dominan, maka lokasi optimal berada
di K yang merupakan titik harak terdekat dari semua penjuru M1, M2, dan C.
Lokasi di antara keempat titik ini secara teknis juga dimungkinkan, tetapi secara ekonomis akan
memberikan ongkos angkut lebih besar (kurang efisien) sehingga jarang dipilih sebagai lokasi optimal.

Di sini terlihat bahwa penentuan lokasi optimal pada kasus ruang dua dimensi berbeda dengan kasus ruang
satu dimensi. Penentuan lokasi optimal pada kasus ruang dua dimensi ini didasarkan pada peranan unsur input dan
output dalam proses produksi yang selanjutnya memengaruhi ongkos angkut total, baik untuk bahan baku maupun
hasil produksi. Sedangkan untuk pemilihan lokasi pada kasus ruang dua dimensi lebih banyak ditentukan oleh
tingkat dominasi dari suatu input atau output dibandingkan dengan keseluruhannya.

Anda mungkin juga menyukai