Anda di halaman 1dari 4

SENGKETA BIODIESEL INDONESIA-UNI EROPA

Gabriela Nathania Rysia 9B/11

Kronologi Kisruh RI-Uni Eropa yang Berujung di WTO


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211119131437-92-723411/kronologi-kisruh-ri-uni-eropa-yang-berujung-di-w
to

Jakarta, CNN Indonesia -- Kisruh antara Indonesia dan Uni Eropa


(UE) kian panjang. Hal itu buntut beda pandangan kedua pihak soal
perdagangan berbagai komoditas utama. Konflik keduanya dimulai
soal tuduhan dumping produk biodiesel asal Indonesia. Tak terima
dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 8,8 persen-23,3 persen,
Pemerintah Indonesia pun menggugat ke World Trade Organization
(WTO).

Setelah melewati persidangan panjang, akhirnya pada 2018 WTO memenangkan gugatan Indonesia. Dengan
kata lain UE harus menghapus pengenaan BMAD mulai 16 Maret 2018. Sebagai produsen dan eksportir CPO
terbesar dunia, Pemerintah Indonesia merasa didiskriminasi. Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), UE
melakukan kampanye hitam dengan mengangkat isu lingkungan untuk memojokkan industri sawit.

Padahal, kata dia, masalahnya ada di harga sawit yang mengalahkan minyak biji bunga matahari produksi Uni
Eropa. Tak hanya UE yang melakukan boikot, Indonesia juga mengancam boikot produk-produk dari benua biru.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan akan mempertimbangkan
beberapa kebijakan. "Kami tidak mau didikte. Kami harus tegas," ujarnya pada Maret 2019 lalu.

Belum selesai kisruh soal sawit di WTO, kini Indonesia dan UE lagi-lagi berselisih pandang. Yang teranyar soal
larangan ekspor bijih nikel mentah yang sudah mulai efektif berlaku sejak 2020 lalu. Menanggapi gugatan
tersebut, Jokowi menyuruh anak buahnya mengirimkan pengacara terbaik Indonesia yang berkelas
internasional ke WTO. "Meskipun kita digugat di WTO, tidak apa. Nikel, nikel kita, barang, barang kita, kita
jadikan pabrik di sini, barang di sini, itu hak kita. Kita hadapi kalau ada yang menggugat, jangan digugat kita
mundur lagi," ungkap Jokowi di di acara Pengarahan Presiden kepada Peserta PPSA XXIII Lembaga
Ketahanan Nasional di Istana Negara, Rabu (13/10).

Kembali menekankan bakal melawan UE, Jokowi pada Kamis (18/11) kemarin lagi-lagi menyampaikan bahwa
Indonesia tak akan mundur dan bakal melawan dengan cara apapun. Bahkan, Jokowi berencana bakal ikut
menyetop ekspor bauksit dan tembaga mentah pada 2022 dan 2023 mentang saat industri hilir RI siap. Kepala
Negara menyampaikan kebijakan dibuat agar Indonesia bisa menikmati nilai tambah dari pengolahan nikel,
sekaligus membuka lapangan pekerjaan di Tanah Air. "Jangan tarik-tarik kami ke WTO karena kami setop kirim
raw material. Nggak, nggak. Dengan cara apapun akan kami lawan," tutupnya.

Indonesia Menangkan Gugatan Bea Masuk Biodiesel ke Eropa


http://www.sertifikasimisb.com/berita/item/77-indonesia-menangkan-gugatan-bea-masuk-biodiesel-ke-eropa.html

Indonesia akhirnya memenangkan gugatan yang diajukan terhadap Uni Eropa di World Trade Organization
(WTO) atas pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) produk biodiesel asal Indonesia. Hasil akhir putusan
panel Dispute Settlement Body (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas Uni Eropa.
Mungkinkah kekalahan Eropa dalam gugatan pengenaan BMAD atas biodiesel Indonesia tersebut telah
mendorong mereka untuk berencana menghapus pemakaian biodiesel berbahan baku sawit di Eropa mulai
tahun 2021.

Terlepas benar tidaknya skenario seperti itu, yang jelas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan
bahwa kini akses pasar biodiesel semakin lebar dan bisa kembali memulihkan ekspor biodiesel Indonesia ke
Uni Eropa. Pasalnya, setelah BMAD ditetapkan sebesar 8,8 persen hingga 23,3 persen pada 2013 silam,
ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa melorot tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor
biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun sebesar 42,84 persen antara tahun 2013 hingga 2016, dari US$649 juta
menuju US$150 juta pada tahun 2016. Nilai ekspor biodiesel Indonesia paling rendah ke Uni Eropa terjadi pada
tahun 2015, di mana nilai pengiriman biodiesel ke benua biru itu hanya US$68 juta.

"Hal ini merupakan bentuk kemenangan telak untuk Indonesia yang tentunya akan membuka lebar akses pasar
dan memacu kembali kinerja ekspor biodiesel ke Uni Eropa bagi produsen Indonesia, setelah sebelumnya
sempat mengalami kelesuan akibat pengenaan BMAD,” kata Enggartiasto melalui siaran pers, belum lama ini.

Enggar juga mengatakan bahwa kemenangan Indonesia atas sengketa ini memberikan harapan kepada
eksportir atau produsen biodiesel Indonesia. Sejauh ini, pangsa pasar ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa
sejak pengenaan BMAD sampai keluarnya putusan akhir WTO ini diestimasikan sebesar 7 persen. “Jika
peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke
Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai US$386 juta dan pada tahun 2022 akan mencapai
US$1,7 miliar,” paparnya.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan menjelaskan, hasil putusan DSB WTO ini dapat menjadi acuan
bagi semua otoritas penyelidikan anti dumping agar konsisten dengan peraturan WTO, terutama selama proses
investigasi. Kasus ini, ujar dia, perlu menjadi bahan evaluasi agar tidak gampang menuduh Indonesia sebagai
pelaku praktik dumping. “Komitmen kami dalam mengamankan pasar ekspor adalah mengawal ekspor
Indonesia agar kembali dapat bersaing di pasar negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa,” tukasnya.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menjelaskan, sebagai konsekuensi


kemenangan Indonesia dalam sengketa biodiesel dengan UE tersebut, maka putusan Panel Badan
Penyelesaian Sengketa WTO harus diimplementasikan sejalan dengan ketentuan WTO. "Uni Eropa diwajibkan
melakukan penyesuaian BMAD yang telah dikenakan sebelumnya agar sejalan dengan peraturan Perjanjian
Anti Dumping WTO," katanya. Demi menyelesaikan sengketa BMAD biodiesel, Indonesia sebelumnya
memutuskan menempuh jalur hukum, melalui pengadilan di Uni Eropa maupun penyelesaian sengketa di DSB
WTO.

Indonesia mengajukan tujuh klaim gugatan utama kepada Uni Eropa. Tak hanya sampai di situ, pembelaan
Indonesia juga disampaikan dalam sidang First Substantive Meeting (FSM) pada Maret 2017 dan dilanjutkan
dalam sidang Second Substantive Meeting empat bulan setelahnya.

Akhirnya, panel DSB WTO telah melihat bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan peraturan perjanjian Anti
Dumping WTO selama proses penyelidikan dumping hingga penetapan BMAD atas impor biodiesel dari
Indonesia. Ternyata, ada enam ketentuan perjanjian Anti Dumping WTO yang dilanggar Uni Eropa dalam
sengketa Indonesia mengenai pengenaan BMAD biodiesel.

Pertama, Uni Eropa tidak menggunakan data yang disampaikan eksportir Indonesia dalam menghitung biaya
produksi. Kedua, Uni Eropa tidak menggunakan data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai
normal sebagai dasar penghitungan margin dumping. Ketiga, Uni Eropa menentukan batas keuntungan yang
terlalu tinggi untuk industri biodiesel di Indonesia. Keempat, metode penentuan harga ekspor untuk salah satu
eksportir Indonesia tidak sejalan dengan ketentuannya. Kelima, Uni Eropa menerapkan pajak yang lebih tinggi
dari margin dumping. Keenam, Uni Eropa tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia
mempunyai efek merugikan terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestiknya.

Tunggu Mekanisme
Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) berharap ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa kembali pulih
setelah keputusan WTO ini. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menyambut lega atas keputusan WTO yang
memenangkan Indonesia. Namun Paulus menyatakan belum bisa memproyeksikan besaran ekspor biodiesel
ke Uni Eropa pada tahun ini. "Harapan kami, kita bisa kembali melakukan ekspor ke Eropa, karena sampai
sekarang masih menunggu mekanismenya," katanya.

Sembari menunggu kepastian mekanisme ekspor ke Eropa, dia mengatakan, sampai saat ini produsen
biodiesel nasional berfokus memenuhi kebutuhan biodiesel domestik. Selain itu, Indonesia juga sedang
bernegosiasi dan menjajaki pasar biodiesel dengan China, Pakistan, dan India. Pasar sejumlah negara itu
diyakini potensial.

Tahun ini, Aprobi memproyeksikan produksi biodiesel dalam negeri mencapai 3,5 juta kiloliter. Sebagai
perbandingan, sampai November 2017, produksi biodiesel Indonesia mencapai 3,13 juta kiloliter (KL). Dari
jumlah tersebut, 2,35 juta KL untuk domestik dan 179.000 KL untuk ekspor.

Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Iskandar Andi Nuhung menilai Indonesia belum bisa
berpuas diri atas kemenangan ini. "Harus dicermati supaya tidak ada upaya lain yang menghambat," katanya
menekankan.

Gunakan Dana Pungutan Sawit


Paulus lebih jauh menekankan bahwa pendanaan subsidi biodiesel tidak mengambil Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) semenjak tahun 2015 hingga sekarang. Tetapi menggunakan dana pungutan CPO
yang diperoleh dari ekspor produk sawit dan produk turunannya.

Dana pungutan inilah yang dihimpun dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa
Sawit. Pernyataan ini diharapkan dapat menepis informasi yang berkembang di sejumlah media massa bahwa
program biodiesel mengandalkan anggaran pemerintah. “Jelasnya, dukungan untuk program biodiesel tidak
mengambil dana (subsidi) pemerintah. Tetapi dari pungutan ekspor sawit dan turunannya dari perusahaan sawit
setiap bulan,” tegas Paulus.

Dia menambahkan, program biodiesel mendapatkan sokongan 100% dari pihak swasta yang mengekspor
produk sawit dan turunannya. Menurut Paulus, pihak swasta mempunyai niat baik untuk menggenjot program
mandatori biodiesel yang berhenti pada 2014. Kala itu, program biodiesel berhenti lantaran terjadi defisit
perdagangan luar negeri sebagai dampak impor minyak bumi melonjak hingga US$ 5,6 miliar. Sedangkan,
perdagangan ekspor hanya US$ 4 miliar sehingga terjadi minus perdagangan sekitar US$ 1,6 miliar.

Paulus menyebutkan atas inisiatif dari perusahaan sawit/pengekspor bersama pemerintah merancang program
pengumpulan dana untuk meningkatkan kembali penerimaan pemerintah, petani sawit dan swasta,
menjalankan kembali program BBN-Biodiesel serta program lainnya seperti replanting, riset, dan promosi.

“Dana inilah yang dikelola dan disalurkan BPDP-KS salah satunya untuk pembayaran selisih harga antara
harga solar dan harga biodiesel ke perusahaan biodiesel. Sebab, pemerintah (Pertamina) tidak mau
menanggungnya,” paparnya. Paulus mengatakan membandingkan antara iuran dari perusahaan pengekspor
produk sawit dengan pembayaran atas selisih harga solar dan harga biodiesel ke produsen biodiesel adalah
tidak relevan. “Karena itu tidak tepat. Berusaha memojokkan perusahaan BBN biodiesel Indonesia dan
berpotensi menggagalkan program BBN Indonesia,” ujar Paulus.

Sebagai contoh, salah satu perusahaan membayar iuran yang besar karena mengekspor sawit, akan tetapi
perusahaan tersebut tidak memiliki pabrik biodiesel. Maka perusahaan tersebut tidak mendapatkan pembayaran
selisih harga dari BPDP Kelapa Sawit.

Selain itu, ada beberapa produsen biodiesel yang tidak memiliki kebun sawit dan ada yang mempunyai kebun
namun bukan pengekspor produk sawit. “Alokasi pasokan produsen biodiesel pro rata disesuaikan dengan
kapasitas pabrik yang ditetapkan Ditjen EBTKE ESDM, sampai saat ini telah berjalan dengan baik,” jelas
Paulus.

KESIMPULAN
Dumping adalah kebijakan di mana barang diekspor dan dijual di luar negeri dengan harga lebih murah
guna menguasai pasar negara tersebut. Nah, salah satu konflik yang pernah terjadi berkaitan dengan
dumping ini adalah Konflik atau Persengketaan Indonesia-Uni Eropa. Konflik dimulai soal tuduhan dumping
produk biodiesel asal Indonesia. Tak terima dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 8,8 persen
sampai 23,3 persen, pemerintah Indonesia pun menggugat ke World Trade Organization (WTO). Pada
akhirnya, Indonesia memenangkan gugatan yang diajukan. Hasil akhir putusan panel Dispute Settlement
Body (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas Uni Eropa. Panel Badan Penyelesaian
Sengketa WTO telah melihat bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan peraturan/melanggar Perjanjian Anti
Dumping WTO selama proses penyelidikan dumping hingga penetapan BMAD atas impor biodiesel dari
Indonesia. Beberapa pelanggaran yang dilakukan antara lain:

1. Uni Eropa tidak menggunakan data yang disampaikan eksportir Indonesia dalam menghitung biaya
produksi.
2. Uni Eropa tidak menggunakan data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai normal
sebagai dasar penghitungan margin dumping.
3. Uni Eropa menentukan batas keuntungan yang terlalu tinggi untuk industri biodiesel di Indonesia.
4. Metode penentuan harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan dengan
ketentuannya.
5. Uni Eropa menerapkan pajak yang lebih tinggi dari margin dumping.
6. Uni Eropa tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia mempunyai efek merugikan
terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestiknya.

Kemenangan Indonesia atas sengketa ini membuka lebar akses pasar dan memacu kembali kinerja ekspor
biodiesel ke Uni Eropa bagi produsen Indonesia, setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan akibat
pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Intinya, kemenangan ini kembali memberikan harapan kepada
para eksportir atau produsen biodiesel Indonesia. Buktinya, tren ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa
pada periode sejak pengenaan BMAD sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir Badan Penyelesaian
Sengketa WTO (2013-2016) diestimasikan sebesar 7%. Jika peningkatan tersebut terus dipertahankan di
tahun-tahun berikutnya, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan akan meningkat,
bahkan hingga tahun 2022.

Anda mungkin juga menyukai