Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH KEBIJAKAN RED II TERHADAP KELAPA SAWIT

INDONESIA

Disusun oleh :

1. Yulisa Khairani 180304021


2. Elvi Junita 180304023
3. Mutiah Risky 180304031
4. Reza Fachruddin 180304039
5. Jeremi Leonardo Sihombing 180304101

PKP – 1

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat

menyelesaikan Paper ini dengan sebaik-baiknya. Paper tentang "Pengaruh Kebijakan

Red II Terhadap Kelapa Sawit Indonesia" ini disusun sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan tugas Mata Kuliah Pengelolaan Perkebunan.

Penulis Mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. Sinar Indra Kesuma M.Si. selaku

dosen Mata Kuliah Pengelolaan Perkebunan, yang telah membimbing kami dalam

menyusun Paper ini. Demikian pula kami menyadari bahwa dalam penulisan Paper ini

kami masih banyak kekurangan dan kesalahan. Namun, kami tetap berharap agar Paper

ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran dari

penulisan Paper ini sangat kami harapkan dengan harapan sebagai masukan dalam

perbaikan dan penyempurnaan pada Paper kami berikutnya. Untuk itu kami ucapkan

terimakasih.

Medan, 30 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 4
BAB II HAMBATAN EKSPOR KELAPA SAWIT INDONESIA KE UNI
EROPA
2.1 Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II)..................................6
2.2 Sawit di Indonesia dalam Angka.........................................................................8
2.3 Dampak diberlakukannya RED II di Indonesia.......................................9
BAB III UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM MERESPON
HAMBATAN PERDAGANGAN KELAPA SAWIT KE UNI EROPA
3.1 Kerjasama Indonesia dan Malaysia dalam Council of Palm Oil Producing
Countries (CPOPC)....................................................................12
3.2 Public Diplomacy...................................................................................14
3.3 Ancaman dari Pemerintahm.................................................................16
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Eksistensi perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun


1848. Tumbuhan kelapa sawit dibawa oleh orang Belanda dari lahan Afrika yang
kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Kesuburan tanah Indonesia membuat
kelapa sawit tumbuh dan berkembang sehingga pada tahun 1910 tanaman ini
dibudidayakan. Perkembangan kelapa sawit mengalami perkembangan sehingga
pada tahun 1980an luas tanaman kelapa sawit mencapai 200.000 ha, yang mana
lahan ini merupakan tanaman warisan pemerintah kolonial Belanda. Dalam
perkembangan nya, pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan program kredit
(PBSN 1,2) dan pola Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) sehingga
pada tahun 2009 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 7,2 juta ha. Dalam sektor
internal, industri kelapa sawit telah memperkerjakan sebanyak 4,8 juta orang (1,6
juta petani kebun kecil dan 2,8 juta orang yang berhubungan langsung dengan
proses budidaya pertanian atau on firm). Jika setiap tahun nya Indonesia dapat
mengembangkan kebun baru seluas 400.000 ha, maka minimal jumlah pekerja
yang akan diserap adalah 80.000 KK per tahun nya. Industri kelapa sawit sangat
berguna bagi negara, baik melalui pajak maupun pendapatan ekspor sehingga
berperan penting dalam struktur neraca perdagangan nasional (GAPKI, 2018).

Crude palm oil (CPO) atau minyak sawit menjadi komoditas ekspor unggulan
di Indonesia. Secara kualitas, minyak sawit Indonesia telah memenuhi standar
mutu internasional. Minyak sawit memiliki kandungan kimia yang dapat
digunakan sebagai campuran biodiesel untuk otomotif bertorsi tinggi. Selain itu
dapat digunakan sebagai bahan baku makanan, kosmetik, obat-obatan dan
pelumas. Beberapa negara yang menjadi pasar ekspor kelapa sawit terbesar
Indonesia pada tahun 2015 antara lain: Pakistan (3.820 ton), Uni Eropa (2.441
ton) dan Singapura (604 ton) (Badan Pusat Statistik, 2017). Dari beberapa negara
tersebut Uni Eropa menjadi konsumen yang menerapkan hambatan tarif maupun
non tarif terhadap impor kelapa sawit. Hambatan ini bermula dari kebijakan
European Union Renewable Energy Directive (RED) tahun 2009 yang

1
2

mewajibkan penggunaan bahan bakar memenuhi kriteria pengurangan gas rumah


kaca. Kemudian pada tahun 2013, UE menerapkan bea masuk anti dumping
terhadap biodiesel ekspor dari Indonesia dan Argentina sehingga menyebabkan
kelapa sawit Indonesia sukar bersaing dengan minyak lain nya di pasar Uni Eropa
(Rostia, 2016).

Uni Eropa merupakan organisasi internasional antar pemerintah yang


beranggotakan 28 negara. Dalam perekonomian, UE menerapkan kebijakan pasar
tunggal sebagai regulasi perdagangan internasional. Kebijakan impor Uni Eropa
diatur dalam panel European Commision, trade dan import export rules. Dengan
badan ini, Uni Eropa ingin membantu pedagang memanfaatkan perdagangan
global dengan membuat informasi yang jelas. Panel ini mengatur mengenai bea
masuk, persyaratan teknis untuk perdagangan, persyaratan kesehatan makanan,
bea masuk anti-dumping dan anti-subsidi serta masalah lainnya (European
Commission, 2014).

Perkembangan ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE mengalami berbagai


kendala yang signifikan. Jika dilihat dari sisi kesehatan, mengkonsumsi minyak
sawitsecara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular (jantung) (Mitra, 2009, hal. 199). Kemuadian pada aspek
lingkungan terdapat kekhawatiran akan konsekuensi perluasan lahan dan
pengurangan lahan gambut. Dari permasalahan tersebut, muncul berbagai black
campaign dari beberapa Non Government Organization (NGO) yang fokus pada
lingkungan. Menurut Arif Havas Oegroseno (mantan duta besar Indonesia untuk
Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa periode 2010-2015) kampanye tersebut
berasal dari NGO, politisi, produsen, peritel, industri, media dan pembuat
kebijakan (Kusumaningtyas, 2017). Kampanye hitam dari sektor industri berupa
labelling pada produk makanan yang bertuliskan “Senza olio di palma” atau
“Sans huile de palma”(tanpa minyak sawit) seperti contoh produk monviso
biscotto dan misura dolcesenza fette biscottate. Artinya komposisi dari makanan
tersebut tidak mengandung unsur palm oil. Hal ini diperkuat dengan resolusi yang
bertajuk “Report on palm oil and deforestation of rainforests” yang mana pada
poin F,G dan H menekankan bahwa Indonesia sebagai negara penyumbang
3

deforestasi terbesar sehingga memicu perubahan iklim global (European


Parliament, 2017).

Isi dari resolusi tersebut bersifat diskriminatif dikarenakan penggunaan biofuel


berbasis kelapa sawit akan dihapus lebih awal yaitu pada tahun 2020 sedangkan
biofuel lainnya pada tahun 2030 (Sasongko, 2018). Menurut Sekjen Asosiasi
Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Tjakrawan, ini merupakan upaya UE
dalam melindungi produksi minyak nabati domestik yang berbahan baku rapeseed
oil (minyak kanola) (APROBI, 2018). Alasan lain dikarenakan konsumen pasar
Uni Eropa menginginkan produknya berasal dari produksi yang tidak
mengandung komponen pelanggaranHAM. Selain itu para aktivis lingkungan juga
mengkritik dan memprotes bahwa produksi kelapa sawit dalam skala besar dapat
menyebabkan dampak negatif seperti deforestasi (Saputra, 2013).

Produksi kelapa sawit yang dinilai tidak ramah lingkungan menjadi indikasi
masyarakat Uni Eropa untuk tidak mengkonsumsi produk tersebut. Dalam hal ini
UE berkomitmen untuk menjaga perubahan iklim dan mengajak seluruh negara
dalam menjaga lingkungan hidup sesuai dengan perjanjian yang tertuang dalam
Paris Agreement (2015). Sebagai organisasi besar, pergerakan Uni Eropa dapat
menjadi kiblat atau panutan dari negara-negara lain. Kesepakatan dalam United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Paris
Agreement dibentuk melalui konsensus pada 12 Desember 2015 yang berkaitan
dengan urusan mitigasi, adaptasi dan keuangan (Paris Agreement, 2015).

Parlemen UE merekomendasikan untuk mengembangkan energi terbarukan


dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi ketergantungan
impor energi. Upaya terus dilakukan dengan menghimbau masyarakat UE untuk
mengurangi konsumsi barang produksi yang di indikasi non eco friendly. Hal
tersebut termaktub dalam Renewable Energy Directive II (RED II) yang
dikeluarkan pada 30 November 2016. Komisi UE menerbitkan kebijakan ini
dalam rangka menjadikan UE sebagai pemimpin global dalam energi terbarukan
dan memastikan bahwa target setidaknya 27% energi terbarukan dalam konsumsi
energi final di UE pada tahun 2030 dipenuhi. RED II menetapkan kebijakan
4

menyeluruh untuk produksi dan promosi energi dari sumber terbarukan di Uni
Eropa (Renewable Energy Directive, 2016).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah upaya pemerintah Indonesia dalam merespon


hambataneksporkelapasawit ke Uni Eropa?
2. Bagaimanakah hambatan ekspor yang diterapkan Uni Eropa terhadap
kelapa sawit Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengidentifkasi upaya pemerintah Indonesia dalam penyelesaianhambatan


ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa
2. Untuk mengidentifikasi kebijakan hambatan tarif dan non-tarif Uni Eropa
terhadap ekspor CPO Indonesia
5

BAB II
HAMBATAN EKSPOR KELAPA SAWIT INDONESIA KE UNI
EROPA
2.1 Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II)

Kebijakan biofuel pertama kali ada pada tahun 2003 melalui The Directiveon
the promotion of the use of biofuels or other renewable fuels for transport.
Kebijakan ini disepakati di Brussels, 8 Mei 2003. RED yang pertama ini
menargetkan untuk penggunaan transportasi sebanyak 2%, dihitung berdasarkan
sumber energi, bensin dan solar pada 31 Desember 2005 dan 5,75% pada 31
Desember 2010 (Directive 2003/30/EC of the European Parliament, 2003).
Kemudian pada tahun 2006 UE mengeluarkan european union strategy for
biofuels yang berdasar pada biomass action plan. Strategi ini menekankan anggota
UE untuk memenuhi target nasional dalam penggunaan biofuel yang
berkelanjutan. Selanjutnya pada tahun 2007 UE mengeluarkan renewable energy
roadmap yang menargetkan 20% penggunaan energi terbarukan untuk tahun 2020
dengan minimal 10% penggunaan biofuel untuk sektor transportasi (Dewi, 2013).
Pada 23 April 2009 komisi UE merevisi kebijakan energi terbarukan 2001/77 dan
2003/30 menjadi directive 2009/28. Kebijakan ini bertujuan dalam mencapai 20%
pangsa energi dari sumber terbarukan pada tahun 2020 dan 10% dari energi
terbarukan khususnya di sektor transportasi (The European Portal For Energy
Efficiency In Buildings, 2012). Pada directive 2009/28/EC ini, ditetapkan
kerangka kerja umum untuk penggunaan energi dari sumber terbarukan untuk
membatasi emisi gas rumah kaca serta mempromosikan transportasi yang lebih
bersih. Selain itu, kebijakan ini menjadikan masing-masing negara untuk
memenuhi target penggunaan energi terbarukan yang sudah ditetapkan. Pada 30
November 2016, Uni Eropa merevisi laporan tersebut menjadi Renewable Energy
Directive II (RED II) dengan menambah beberapa target energy terbarukan. RED
II bertujuan untuk menjadikan Uni Eropa sebagai pemimpin global dalam energi
terbarukan dan memastikan bahwa target setidaknya 27% energi terbarukan dalam
konsumsi energi final di UE pada tahun 2030 terpenuhi (European Comission,
2016).
6

Uni Eropa berencana untuk mengurangi perubahan iklim yang mana ini
merupakan masalah besar yang harus hadapi. Hal ini sesuai dengan Paris
Agreement yang menetapkan pembatasan pemanasan global yang mencapai 2° C,
mengurangi efek gas rumah kaca dan berupaya untuk mengentaskan kemiskinan
(The Paris Agreement, 2018). Pada kebijakan RED II, Uni Eropa menetapkan
target energi baru, yang mengikat dan terbarukan pada 2030 mendatang
setidaknya sebesar 32% (Delegation of the European Union, 2018). Kesepakatan
ini dicapai pada 14 Juni oleh Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan Uni
Eropa. RED II tidak secara spesifik menyinggung penghapusan kelapa sawit
untuk biodiesel mendatang. Pernyataan UE yang masih menjadi perdebatan
ditingkat international adalah mengenai metodologi indirect land- use change-risk
(ILUC risk) yang membedakan biofuel risiko rendah dan risiko tinggi (Simamora,
2018, hal. 10). Perbedaan antara keduanya, high ILUC risk merupakan biofuel
berbasis tanaman yang diproduksi secara signifikan dari area produksi yang
berkarbon tinggi seperti lahan basah, gambut dan hutan. Sementara low ILUC risk
merupakan biofuel berbasis tanaman yang penggunaan lahan nya tidak beresiko
mengalami perubahan (EU Renewable Energy Directive II (RED II), 2018).
Pada poin high ILUC risk, UE menyinggung tanaman yang berbasis lahan
basah, gambut dan hutan yang mana kelapa sawit merupakan bagian dari poin
tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran pemerintah Indonesia dalam menyikapi
RED II. Dalam menyikapi hal ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan surat
kepada Komisi dan Dewan Uni Eropa, selain itu Menlu Retno Marsudi juga
menyampaikan dua surat kepada Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk
mengungkapkan keprihatinan kepada para pemimpin Uni Eropa dikarenakan
situasi ini akan terus berlanjut (Sparringa, 2018).

2.2 Sawit Indonesia Dalam Angka


Minyak sawit merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang cukup
penting sebagai penghasil devisa negara selain minyak dan gas (migas). Indonesia
merupakan negara produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia. Tabel 1
menunjukkan produksi dan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia periode
7

tahun 2008-2017.
Provinsi Riau merupakan provinsi produsen minyak sawit terbesar di
Indonesia dan provinsi yang memiliki areal perkebunan sawit terbesar di
Indonesia. Kontribusi produksi minyak sawit provinsi ini sebesar 22,40% dari
total produksi pada tahun 2017. (infosawit.com, 26 November 2017). Areal
perkebunan sawit di provinsi ini mencapai 2,01 juta ha pada tahun 2016
(17,97% dari total luas areal perkebunan sawit di Indonesia), meningkat menjadi
± 2,26 juta ha pada tahun 2017. Selain terluas dalam hal areal lahan, produksi
minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) terbesar berasal dari Provinsi Riau,
sebesar 7,43 juta ton pada tahun 2016 atau ± 23,58% dari total produksi
Indonesia. (BPS, 2017).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor dan impor
Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2018 masing-masing sebesar USD 17,1 miliar
dan USD 14,1 miliar. Adapun total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa
mencapai USD 31,2 miliar atau meningkat 8,29% dibandingkan periode yang
sama tahun 2017 (YoY). Selain itu, Uni Eropa juga merupakan tujuan ekspor dan
asal impor nonmigas terbesar ketiga bagi Indonesia. Ekspor Indonesia ke Uni
Eropa juga meningkat 4,59% dengan neraca perdagangan surplus bagi Indonesia
selama kurun waktu lima tahun terakhir. Sementara nilai investasi Uni Eropa di
Indonesia tercatat senilai USD 3,2 miliar pada 2017.(merdeka.com, 25 Maret
2019).
Uni Eropa telah mendorong peningkatan konsumsi dan permintaan minyak
sawit secara global. Penggunaan minyak sawit di Eropa meningkat hampir enam
kali lipat pada periode 2010-2015 pada konsumsi biodiesel, yaitu dari 8% pada
tahun 2010 menjadi 46% pada tahun 2015 (Tabel 2). Bahkan sejak tahun 2014,
lebih dari setengah minyak sawit di Uni Eropa digunakan untuk energi (bahan
bakar dan listrik), lebih besar daripada minyak sawit yang digunakan untuk
industri dan makanan jika digabungkan (45%). Hal ini menunjukkan
kecenderungan bahwa biodiesel semakin menggeser penggunaan minyak sawit
untuk makanan dan industri.

Tabel 1. Produksi dan Ekspor Minyak Sawit Indonesia


Keterangan 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
8

Produksi (juta 19.2 19.4 21.8 23.5 26.5 30.0 31.5 32.5 32.0 38.1
ton)
Ekspor 15.1 17.1 17 17.6 18.2 22.4 21.7 26.4 27.0 31.0
(juta ton)
Ekspor (miliar 15.6 10.0 10.0 20.2 21.6 20.6 21.1 18.6 18.6 22.9
dolar AS)
Luas areal n.a n.a n.a n.a 9.6 10.5 10.7 11.4 11.8 n.a
(juta ha)
Sumber : Gapki dan Kementan, 2017

2.3 Dampak Diberlakukannya RED II bagi Indonesia


Para anggota negara produsen sawit yang t ergabung CPOPC melihat
regulasi yang diusulkan tersebut bertujuan mengisolasi dan mengecualikan
minyak sawit dari sektor energi terbarukan yang diamanatkan, demi
menguntungkan minyak nabati lain yang kurang kompetitif. Pihak negara
produsen sawit menilai regulasi yang diusulkan ini adalah guna membatasi dan
secara efektif melarang semua biofuel minyak sawit di Uni Eropa, yang dengan
sengaja menilai minyak sawit penyebab deforestasi. Hal ini sangat tidak
mendasar, sebab berdasarkan data Kementerian Kehutanan selama kurun waktu
1950-2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan di Indonesia
secara akumulasi sebesar 99,6 juta ha. Sedangkan, ekspansi perkebunan sawit
untuk kurun waktu yang sama adalah 10,8 juta ha. Dengan demikian, ekspansi
perkebunan sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi
nonhutan di Indonesia.
Pemerintah dan industri minyak sawit Indonesia bereaksi keras terhadap
usulan Parlemen Eropa tersebut. BBN dipandang penting sebagai sumber energi
terbarukan untuk menggantikan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) untuk memerangi perubahan iklim karena pembakarannya
dianggap menghasilkan lebih sedikit emisi dibandingkan bahan bakar fosil. Uni
Eropa (sebagaimana pula Indonesia) memiliki kewajiban hukum untuk
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, salah satunya melalui penggunaan energi
terbarukan. Dari hasil penelitian dan penyelidikan yang dilakukan Uni Eropa,
ditemukan bahwa penggunaan bahan bakar nabati (tidak hanya sawit) berpotensi
mendorong perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use
change) atau ILUC. ILUC adalah meningkatnya penggunaan/ alih fungsi lahan di
tempat lain, termasuk di hutan dan lahan gambut serta lahan-lahan yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi.(mongabay.co.id, 6 Desember 2012) .
9

Ekspor minyaksawit Indonesia didominasi oleh pasar India, Uni Eropa,


Singapura, Malaysia, dan Kenya. (Gisa dkk, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa
Uni Eropa merupakan pasar yang potensial walaupun masih memiliki pangsa
pasar di bawah India. Kebijakan RED II yang membatasi penggunaan biodiesel
berbasis CPO ini memberikan dampak internal dan eksternal.
Dari segi internal berakibat terhadap nasib ± 20 juta petani sawit di Indonesia.
Peningkatan program kemitraan dengan petani sawit dapat dilakukan demi
peningkatan produktivitas. Selain permasalahan petani sawit, adanya isu
lingkungan juga tertuang dalam RED II, yang menyatakan bahwa sawit sebagai
penyumbang emisi karbon yang tinggi. Minyak sawit menjadi salah satu alternatif
yang cukup tepat, tetapi jika pengembangan sawit sebagai sumber bahan
terganggu, pemerintah sulit untuk mencari tanaman pengganti yang lebih efisien.
(Bisnis Indonesia, 10 April 2019).
Dari segi eksternal berakibat menurunnya nilai ekspor minyak sawit
Indonesia ke Uni Eropa hingga miliaran dolar (cnbcindonesia.com, 20 Maret
2019). Hal ini tentunya akan memengaruhi perdagangan internasional terlebih
neraca perdagangan Indonesia yang selama ini selalu mengalami surplus.
Perluasan pasar-pasar baru ekspor sawit perlu dilakukan, hal ini dapat melalui
promosi minyak sawit Indonesia kepada negara lain.

Tabel 2. Penggunaan Minyak Sawit di Eropa


Tahun Biodiesel Listrik Makanan K e p e n t i n g an
Industri
2010 8% 14% 57% 20%
2011 12% 10% 59% 19%
2012 27% 12% 48% 13%
2013 35% 16% 39% 10%
2014 45% 16% 34% 5%
2015 46% 9% 39% 6%
Sumber: Transport and Environment, 2016
10

BAB III
UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM MERESPON
HAMBATAN PERDAGANGAN KELAPA SAWIT KE UNI
EROPA
3.1 Kerjasama Indonesia dan Malaysia dalam Council of Palm Oil
Producing Countries (CPOPC)

Indonesia dan Malaysia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di


dunia. Malaysia memiliki total lahan seluas 2,731 hektar, dengan angka produksi
sebesar 21 thousand metric ton (TMT) yang menghasilkan 7,69 ton/hektar
(United States Department of Agriculture (USDA), 2018, hal. 8). Sementara
produksi kelapa sawit Indonesia semester pertama pada tahun 2018 mencapai
22,32 juta ton, yang mana terjadi peningkatan sebesar 23% dibanding tahun lalu
yaitu 18,15 juta ton (GAPKI, 2018). Lahan produksi kelapa sawit terbesar di
Indonesia berada di wilayah Sumatera (3.526.582 hektar), kemudian Kalimantan
(837.615 hektar), Sulawesi (175.059 hektar), Maluku dan Papua (28.367 hektar)
dan pulau Jawa (7.478 hektar) (Info Sawit, 2017). Secara global Indonesia dan
Malaysia menjadi pemasok kelapa sawit sebanyak 85% dari kebutuhan global
(Sabah Forestry Departement, 2015) Hal ini yang menjadi alasan pemerintah
Indonesia untuk bekerja sama dengan Malaysia dalam memperjuangkan
elektabilitas kelapa sawit di pasar internasional.

Dalam merespon hambatan perdagangan kelapa sawit oleh Uni Eropa,


pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan Malaysia di bidang ekonomi.
Kerjasama ini tertuang dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)
yang merupakan organisasi antar pemerintah untuk negara produsen kelapa sawit.
CPOPCdisahkan pada 21 November 2015 oleh Menteri Industri Perkebunan dan
Komoditas Malaysia, Datuk Amar Douglas Uggah Embas dan Menteri
Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Republik Indonesia Rizal Ramli.
Dewan ini dibentuk dengan tujuan untuk mempromosikan, mengembangkan dan
memperkuat kerjasama dalam produksi kelapa sawit serta industri di antara
negara-negara anggota. Artinya, CPOPC sedang berupaya untuk mencapai target
Sustainable Development Goals (SDGs) pada negara-negara produsen kelapa
11

sawit. Selain itu, dewan CPOPC juga telah mengidentifikasi 6 (enam) bidang
fokus kerjasama berdasarkan kepentingan bersama produsen minyak sawit, yaitu:
keberlanjutan minyak sawit, produktivitas petani kecil, riset dan inovasi,
kerjasama industri menuju produksi bernilai tambah, peraturan dan standar teknis,
serta masalah kebijakan perdagangan (CPOPC, 2017).

Pada beberapa pertemuan, CPOPC banyak merespon kebijakan Uni Eropa


terkait hambatan perdagangan kelapa sawit. Pada 26 September 2018 diadakan
pertemuan yang dihadiri oleh para Menteri, Duta Besar dan para pemimpin bisnis
di Kolombia dan Malaysia. Pihak-pihak ini banyak mengkritik kebijakan Uni
Eropa seperti Renewable Energy Directive (RED II) dan Indirect Land Use
Change (ILUC). Menurut pernyataan CPOPC (2018), kebijakan ILUC tak
satupun dapat memberikan bukti definitif yang memungkinkan untuk
membedakan antara ILUC resiko tinggi danrendah. Selain itu, sebanyak 1,7 miliar
hektar lahan yang di khususkan pada tanaman global, hanya 4% saja yang
digunakan untuk biofuel (CPOPC, 2018).

Setelah membahas CPOPC, kedua pihak juga mendeklarasikan Proposed


Global Framework of Principles for Sustainable Palm Oil atau e+POP. Ini
merupakan usulan terkait kerangka prinsip global untuk minyak sawit
berkelanjutan. E+POP merangkum undang-undang yang membahas mengenai
keberlanjutan kelapa sawit yang diuraikan kedalam sembilan prinsip. Seperti yang
dipaparkan oleh Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas, Datuk Amar
Douglas Uggah (2015), bahwa E+POP memiliki 9 prinsip yang berdasar pada
undang-undang dan peraturan kedua negara dan akan dibandingkan dengan
standar internasional lainnya (Raj, 2015). Selain itu, E+POP juga menggabungkan
poin-poin terpenting yang terkandung didalam Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) sehingga visi, misi dan
tujuan akan sejalan (Himawan, 2016).

Kerjasama bilateral ini juga membahas sejumlah peluang terkait ekspor kelapa
sawit yang berkelanjutan. Terobosan yang dilakukan jika ekspor kelapa sawit ke
Uni Eropa dihapuskan adalah dengan cara mengekspor ke China. Pada pertemuan
tanggal 24 Agustus 2017, Indonesia dan Malaysia membahas rencana program
12

biodiesel B5 di China dimana sebanyak 5% minyak sawit atau palm methyl ester
(PME) dicampur padapenggunaan bahan bakar kendaraan. Menurut Menteri
Perindustrian dan Perkebunan Malaysia, Datuk Seri Mah Siew Keong (2017),
China pada saat ini sedang gencar meningkatkan pengendalian terhadap berbagai
masalah lingkungan dan program B5 kemungkinan akan segera diterapkan (Jaya,
2017). Pada 2015 lalu, China ikut serta dalam meratifikasi Paris Agreement
terkait perubahan iklim yang mana China bersama Amerika Serikat menghasilkan
45% emisi global sehingga membutuhkan pengurangan emisi karbon sebanyak
60-65% per unit GDP hingga 2030 (Amri, Sawit Indonesia, 2017). Selain itu,
Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan (2017) pada forum
“One Belt One Road Conference” menawarkan investasi B5 dan siap untuk
meningkatkan suplai ekspor minyak kelapa sawit serta berinvestasi di pabrik
biodiesel (Kementerian Kemaritiman, 2017).

3.2 Public Diplomacy

Public diplomacy merupakan suatu diplomasi yang digunakan untuk


mempengaruhi opini publik atau kebijakan negara lain. Pada abad ke 21, public
diplomacy didominasi oleh globalisasi, militer, teknologi informasi dan
komunikasi dengan mempersempit ruang dan waktu sehingga muncul aktor non
negara untuk menantang kebijakan suatu negara (Taylor, 2009). Gagasan dari
diplomasi publik menjual terkait mengenai kebijakan, nilai-nilai dan citra nasional
(Melissen, 2005). Nicholas J. Cull membagi metode dalam public diplomacy
menjadi 5 elemen yaitu, mendengarkan, advokasi, diplomasi budaya, pertukaran
diplomasi, peperangan secara psikologis dan penyiaran internasional (Cull, 2009).
Dalam kasus ini, public diplomacy ini digunakan pemerintah Indonesia untuk
mempengaruhi kebijakan negara lain terkait impor kelapa sawit.

Dalam rangka memperbaiki citra kelapa sawit, pemerintah Indonesia gencar


untuk melakukan public diplomacy ke berbagai negara. Beberapa menteri turut
berkontribusi, diantaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut
Binsar Pandjaitan yang berkunjung ke Tiongkok tepatnya di kantor Wakil Perdana
Menteri Zang Ghaoli, pada 16 Juni 2017. Kunjungan ini dalam rangka menghadiri
forum One Belt One Road Conference. Menteri Luhut menawarkan investasi
13

untuk mencampurkan campuran biodiesel sebesar 5% (B5) dalam produk


solar/diesel yang dijual di Tiongkok (Kementerian Kemaritiman, 2017).
Campuran B5 ini akan membantu untuk memenuhi pengurangan emisi Tiongkok
dalam Paris Agreement. Indonesia saat ini sedang menerapkan kebijakan B20
dimana sebanyak 20% biodiesel kelapa sawit di campur pada penggunaan minyak
solar. Kebijakan perluasan mandatori B20 mewajibkan penggunaan biodiesel
yang semula hanya untuk sektor bersubsidi atau Public Service Obligation (PSO)
diperluas ke sektor nonsubsidi atau non-PSO (Badan Pengelola Dana Perkebunan
Kelapa Sawit (BPDPKS), 2018). Menko Luhut juga menambahkan bahwa
pemerintah Indonesia akan tetap menjaga stabilitas harga CPO dan biodiesel yang
akan di ekspor ke Tiongkok. Selain itu, jika Tiongkok bersedia untuk investasi,
secara otomatis akan mengurangi kemiskinan di Indonesia (Kementerian
Kemaritiman, 2017).

Menteri Luhut menambahkan bahwa saat ini pemerintah Indonesia sedang


melaksanakan:

a) Reformasi tanah dalam satu peta, yakni hutan dan lahan gambut,
b) Perancanaan tata ruang yang efisien,
c) Moratorium dalam pembukaan lahan,
d) Mencegah dan mengontrol pembakaran hutan.

Kelapa sawit yang di ekspor ke Uni Eropa telah melalui sertifikasi yang
berkelanjutan, sedangkan minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari dan
minyak kedelai tidak pernah disertifikasi. Pemerintah Indonesia juga mengundang
Uni Eropa untuk memastikan bahwa kelapa sawit domestik memiliki sertifikat
yang berkelanjutan. Selain itu, berbagai diskusi oleh negara-negara produksi
minyak nabati juga sudah dilakukan guna membentuk pendekatan umum untuk
mengatasi permasalahan global yang sedang dihadapi seluruh sektor (Hade
Energy Global, 2018).

3.3 Ancaman dari pemerintah

Upaya lain pemerintah Indonesia adalah berupa ancaman yang dikemukakan


oleh beberapa menteri. Ancaman ini bertujuan untuk menggertak Uni Eropa untuk
14

tidak mendiskriminasi minyak sawit khususnya dari Indonesia. Salah satu


ancaman dilontarkan oleh Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla yang mana akan
memberhentikan impor pesawat Airbus dari Perancis jika masih memperlakukan
kelapa sawit secara diskriminatif. JK menyinggung mengenai pembelian pesawat
airbus Lion Air sebanyak 234 unit dengan total harga 24 miliar dollar AS yang
akan didatangkan secara bertahap mulai Juli 2013 hingga tahun 2026 dari
Perancis (Lukita, 2013). Dengan diberhentikan nya impor pesawat tersebut, Uni
Eropa akan rugi dalam kuantitas besar. Dilansir dari CNBC Indonesia, JK
mengatakan “Kita ingatkan Eropa,bahwa kita membeli banyak, terbesar, Airbus
oleh Lion dan Garuda. Karena itu, jangan perlakukan diskriminatif karena kita
bisa ambil kebijakan yang sama. Jangan terjadi diskriminasi” (Raydion, 2018).

Ancaman lain dilontarkan oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita


dengan mengungkit ekspor bubuk susu dari Belgia ke Indonesia. Bubuk susu
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan susu UHT, yoghurt dan susu
kental manis. Sebanyak 83% Indonesia masih mengimpor bubuk susu dari
kebutuhan dikarenakan peternak rakyat hanya mampu memenuhi 17% dari
kebutuhan nasional (Pudjiastuti, 2015). Menurut data BPS yang telah diolah oleh
Kementerian Perindustrian, Pemerintah Indonesia mengimpor bubuk susu dari
Belgia pada tahun 2016 sebesar 20.1 juta dollar AS dan pada tahun 2015 sebesar
36.3 juta dollar AS (Kementerian Perindustrian, 2016). Pada kegiatan Indonesia
Palm Oil Conference (IPOC) di Bali, Menteri Enggartiasto Lukita mengatakan
"Jadi kalau anda (Uni Eropa) masih ganggu minyak sawit, saya bisa ganggu impor
bubuk susu, maka itu bisa menyerang peternak anda dan itu akan terganggu"
(Fauzi, Kompas.com, 2017). Selanjutnya Menteri Enggar juga membuat
pelarangan izin impor wine dari Perancis. Sebagaimana dilansir dari CNBC,
Enggar memaparkan bahwa trade war sudah dilakukan itu kita siap, kita diganggu
sawitnya, kita ganggu wine, saya mau ketemu Dubes Prancis, saya bilang dairy
product mereka bisa kita ganggu, izin impornya di saya, saya tidak keluarkan
(Pablo, 2018).
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Kelapa sawit merupakan sebuah komoditas unggulan Indonesia yang


mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Tak hanya masyarakat,
kegiatan ekspor juga dapat menambah anggaran dana negara. Kegiatan ekspor ini
sempat menuai hambatan yang berdampak pada kuantitas hingga daya beli
masyarakat global. Uni Eropa sebagai impotir terbesar kedua setelah India acap
kali memberitakan informasi yang mendiskriminasi kelapa sawit. Berbagai
hambatan juga diciptakan untuk memberhentikan impor kelapa sawit dari
Indonesia salah satunya kebijakan Renewable Energy Directive II dari EU.
Hambatan ini tentunya sangat merugikan petani sawit dan secara jangka panjang
akan menyebabkan pengangguran dalam skala besar.

Dengan melihat rumusan masalah “Bagaimana upaya pemerintah Indonesia


dalam merespon hambatan ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa?”maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat 3 langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam merespon hambatan ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa, yaitu kerjasama
Indonesia dan Malaysia dalam Council of Palm Oil Producing Countries
(CPOPC), gugatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait praktik
dumping Uni Eropa melalui WTO, public diplomacy yang dilakukan oleh
beberapa kementerian Indonesia dan ancaman oleh pemerintah untuk menggertak
Uni Eropa.

15
16

DAFTAR PUSTAKA
APROBI. (2018, Juni 22). Diambil kembali dari Diskriminasi Sawit oleh UE, RI
Ancam Gugat ke WTO: http://www.aprobi.or.id/diskriminasi-sawit-ue-ri-
ancam-gugat-wto/
Amri, Q. (2018, April 26). Sawit Indonesia. Diambil kembali dari Berkunjung Ke
Vatikan, Menko Luhut Sampaikan Peranan Sawit Pangkas Kemiskinan:
https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/berkunjung-
ke- vatikan-menko-luhut-sampaikan-peranan-sawit-pangkas-kemiskinan/,
diakses: 25 Oktober 2018
BPS (2017). Statistik Kelapa Sawit. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Big Brother, Human Centric & Masa Depan Industri Sawit”, Bisnis Indonesia, 10
April 2019, hal. 2.
BNPB. (2013, September). Diambil kembali dari Gema BNPB: chrome-
extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/https://www.bnpb.go.id
/up loads/migration/pubs/587.pdf
CPOPC. (2017). Diambil kembali dari WHO WE ARE: https://cpopc.org/about-
us/
CPOPC. (2018, Oktober 3). Diambil kembali dari CPOPC Statement on the SDGs
and RED II: https://cpopc.org/2018/10/03/cpopc-statement-on-the-sdgs-
and- red-ii/
Cull, N. J. (2009). Public Diplomacy: Lessons From The Past. Los Angeles:
Figueroa Press
EU Renewable Energy Directive II (RED II). (2018, Juni 25). Diambil kembali
dari Phasing Out of Crop-Based Biofuels by 2030: chrome-
extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/file:///C:/Users/erviena/
Do wnloads/20180625_timeline_biofuels_red2_en.pdf
European Comission. (2013). Diambil kembali dari The impact of EU
consumption on deforestation: Comprehensive analysis of the impact of
EU consumption on deforestation: chrome-
extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/http://ec.europa.eu/envi
ron ment/forests/pdf/1.%20Report%20analysis%20of%20impact.pdf

European Parliament. (2017, Maret 20). Diambil kembali dari Report on palm oil
and deforestation of rainforests:
http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=-
//EP//TEXT+REPORT+A8-2017-0066+0+DOC+XML+V0//EN
Fauzi, A. (2017, November 3). Kompas.com. Diambil kembali dari Mendag
Ancam Negara-negara yang Kampanyekan Negatif CPO Indonesia:
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/03/114500726/mendag-ancam-
negara-negara-yang-kampanyekan-negatif-cpo-indonesia
17

GAPKI. (2018). Diambil kembali dari Sejarah Kelapa Sawit:


https://gapki.id/news/3652/video-sejarah-kelapa-sawit-indonesia
GAPKI. (2018, Agustus 21). Diambil kembali dari Semester I 2018, Pasar Minyak
Sawit Indonesia Tertekan: https://gapki.id/news/5670/semester-i-2018-
pasar- minyak-sawit-indonesia-tertekan, Diakses: 28 November 2018
Gisa Rachma Khairunisa dan Tanti Novianti. (2017). “Daya Saing Minyak Sawit
dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap
Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa. Jurnal Agribisnis Indonesia, Vol. 5
No. 2, hal. 125-136.
Hade Energy Global. (2018, Mei 15). Diambil kembali dari http://hade-
palmoil.co.id/eradicating-the-poverty-through-agriculture-and-plantation-
industry-to-empower-peace-and-humanity/
Idris, M. (2017, April 18). Ekspor Sawit ke Eropa Dihambat, Apa Dampaknya
Bagi RI? Diambil kembali dari Detik Finance:
https://finance.detik.com/berita- ekonomi-bisnis/d-3477946/ekspor-sawit-
ke-eropa-dihambat-apa-dampaknya- bagi-ri, Diakses: 1 November 2018

Info Sawit. (2018, Juli 30). Diambil kembali dari Harga Minyak Sawit Semester
Pertama 2018 Rata-rata US$ 695/ton:
https://www.infosawit.com/news/8209/harga-minyak-sawit-semester-
pertama-2018-rata-rata-us--695-ton, Diakses: 5 November 2018
Jaya, P. (2017, Agustus 24). Thestaronline. Diambil kembali dari Malaysia and
Indonesia in talks with China on B5 biodiesel:
https://www.thestar.com.my/business/business-news/2017/08/24/malaysia-
and-indonesia-in-talks-with-china-on-b5-biodiesel/. Diakses: 25 Oktober
2018
Kementerian Luar Negeri. (2017, Juli 6). Diambil kembali dari Indonesia
Mempermasalahkan Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang Menghambat
Ekspor Minyak Sawit dan Produk Asal Indonesia:
https://www.kemlu.go.id/jenewa-un/en/berita-perwakilan/Pages/Indonesia-
Mempermasalahkan-Kebijakan-Perdagangan-Uni-Eropa-yang-
Menghambat- Ekspor-Minyak-Sawit-dan-Produk-Asal-Indonesia.aspx,
Diakses: 15 November 2018
Kementerian Perindustrian. (2016). Diambil kembali dari Indonesia-Malaysia
Bentuk Lembaga Peningkat Nilai Tambah Industri Sawit:
http://www.kemenperin.go.id/artikel/15986/Indonesia-Malaysia-Bentuk-
Lembaga-Peningkat-Nilai-Tambah-Industri-Sawit, Diakses : 23 November
2018
Konsorium Pembangunan Negara (KPA). (2017). Diambil kembali dari
https://www.kpa.or.id/news/id/, Diakses : 25 November 2018
18

Kusumaningtyas, A. S. (2017). Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa


Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia. 2.
Lukita, B. M. (2013, Maret 18). Kompas.com. Diambil kembali dari Lion Air Beli
234 Unit Pesawat Airbus:
https://nasional.kompas.com/read/2013/03/18/16002714/lion.air.beli.234.u
nit. pesawat.airbus, Diakses: 23 Desember 2018
Melissen, J. (2005). The New Public Diplomacy: Soft Power in International
Relations. London: Palgrave Macmillan press, Diakses: 13 Desember
2018.
Mitra, S. M. (2009). Health Effects of Palm Oil. West Bengal: , Diakses: 22
November 2018.
Pablo, S. (2018, Maret 9). CNBC. Diambil kembali dari CPO Dilarang, RI
Nyatakan Perang Dagang dengan Eropa:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180309142456-4-6763/cpo-
dilarang- ri-nyatakan-perang-dagang-dengan-eropa, Diakses: 13
November 2018

Paris Agreement. (2015, Oktober). Diambil kembali dari United Nations Climate
Change: https://unfccc.int/process/conferences/pastconferences/paris-
climate- change-conference-november-2015/paris-agreement, Diakses: 25
November 2018
Pratomo, N. (2017, Juli 11). Biodiesel Berbasis Sawit : Terus Dijegal Eropa,
Negosiasi Lanjut. Diambil kembali dari Bisnis.com:
http://kalimantan.bisnis.com/read/20170711/448/669918/biodiesel-
berbasis- sawit-terus-dijegal-eropa-negosiasi-lanjut, Diakses: 22
November 2018
Renewable Energy Directive. (2016). Diambil kembali dari European
Commission: https://ec.europa.eu/energy/en/topics/renewable-
energy/renewable-energy- directive, Diakses : 23 November 2018

Rostia, Y. A. (2016). Langkah Indonesia Menghadapi Tuduhan Uni Eropa


terhadap Praktek Dumping Produk Biodiesel Indonesia tahun 2013. JOM
Fisip, 11, Diakses : 2 Januari 2019.
Saputra, M. (2013, November 8). Sawit Watch Dan RSPO. Diambil kembali dari
Sawit Watch: http://sawitwatch.or.id/2013/11/sawit-watch-dan-rspo/,
Diakses: 2 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai