Anda di halaman 1dari 15

MATERI I

FENOMENA KONFLIK
(Teori-Teori Konflik Dan Konsensus)

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan di bahas mengenai teori konflik dan teori konsensus yang didalamnya
mencakup konflik sosial yang terdiri dari persyaratan konflik sosial dan penyelesaian konflik.
Selain itu juga pada bab ini akan dibahas tentang konsensus yang terdiri dari penyelesaian
konflik dengan melalui proses tawar menawar serta berbagai model konsensus yang sering
digunakan dalam proses penyelesaian konflik.
Dengan mempelajari bab ini mahasiswa dapat menjelaskan berbagai teori konflik dan
teori konsensus serta berbagai cara dalam penyelesaian suatu konflik. Sehingga mahasiswa juga
dapat mengaplikasikan teori dan konsep tersebut dalam proses kehidupan sosialnya.
Selain itu juga, dengan mempelajari bab ini akan mempermudah mahasiswa dalam
mempelajari bab-bab berikutnya dalam mata kuliah konflik dan konsensus.
Pada akhir pertemuan, diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan beberapa konsep dan
teori tentang konflik dan konsensus.

Konflik dan konsensus adalah gejala-gejala sosial yang selalu ada di dalam setiap
masyarakat. Selama masyarakat ada, selama itu pula konflik dan konsensus ada di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mungkin menghapuskan konflik seperti yang menjadi
angan-angan para diktator; sebaliknya tidaklah mungkin konsensus dipertahankan terus menerus
sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para penguasa otoriter.
Meskipun konflik adalah sebuah gejala universal, konflik mempunyai dampak yang amat besar
bagi masyarakat karena konflik yang berlangsung terus menerus akan menjurus ke arah
disintegrasi sosial. Oleh karena itu salah satu persoalan utama dalam masyarakat dan negara
adalah penyelesaian konflik yaitu usaha-usaha untuk mencari titik temu antara pihak-pihak yang
berkonflik sehingga konsensus tercapai.
Konflik dan konsensus adalah dua konsep yang merupakan dua sisi dari sekeping mata
uang logam. Keduanya mempunyai hubungan yang erat karena bila yang satu ada berarti yang
lain tidak ada; sama halnya dengan uang logam yang tidak terlihat sisi lain bila kita melihat dari
sisi sebelahnya. Banyak sekali masalah-masalah teoritis yang berkaitan kedua konsep ini. Konflik
sosial dan konflik politik dapat dibedakan secara konsepsional, namun sulit dibedakan dalam
kenyataan.
Konflik dan konsensus sosial terjadi di dalam masyarakat dan di antara anggota-anggota
masyarakat atau kelompok-kelompok anggota masyarakat. Konflik terjadi karena tidak ada
konsensus antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat; sebaliknya,
konsensus terbentuk karena tidak ada konflik antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang
berkonsensus tersebut. Dengan kata lain, konsensus tercipta bila ada kesepakatan antara mereka
itu sehingga tidak membuka peluang adanya perbedaan pendapat dalam masalah yang disepakati
tersebut. Oleh karena itu, konflik adalah pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling
tidak dua orang atau kelompok, sedangkan konsensus adalah kesepakatan dalam hal tertentu
antara paling tidak dua orang atau kelompok. Jadi konflik didasarkan atas perbedaan, sedangkan
mufakat didasarkan atas persamaan. Konsensus dapat disamakan dengan mufakat atau
kesepakatan di mana semua pihak yang terlibat di dalamnya berhasil mencapai pendapat yang
sama. Istilah lain yang sama artinya dengan mufakat adalah aklamasi.

KONFLIK SOSIAL
Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat
dalam setiap kurun waktu. Konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social
relations). Karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi
konflik antara warga-warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial. Konflik tersebut
sebagian besar tidak berkembang luas di dalam masyarakat karena berhasil diselesaikan oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Konflik dapat diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling
tidak dua orang atau kelompok. Konflik seperti ini dapat dinamakan konflik lisan atau konflik
non-fisik. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat meningkat menjadi konflik fisik,
yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat. Percekcokan mulut antara dua
orang adalah salah satu contoh konflik sosial yang termasuk kategori konflik lisan. Bila konflik
lisan ini tidak dapat diselesaikan oleh mereka itu (dalam arti keduanya tidak berhasil mencapai
konsensus atau kata sepakat), konflik lisan ini dapat meningkat menjadi konflik fisik yang
menggunakan benda-benda (seperti tinju, kaki, meja, kursi, piring. dan senjata) dalam membela
pendapat masing-masing untuk mengalahkan (bahkan juga membunuh) pihak lain yang sudah
berubah menjadi musuh.
Banyak penulis beranggapan bahwa konflik hanya mencakup konflik fisik sehingga
konflik lisan dalam bentuk debat, polemik, perbedaan pendapat, dan lain sebagainya yang hanya
terbatas pada saling menyerang dengan kata-kata tidak dapat disebut konflik. Oleh karena itu
studi konflik yang mereka lakukan mempelajari kerusuhan politik, pemberontakan, revolusi, dan
perang antar bangsa. Konflik lisan dapat dikategorikan sebagai konflik karena sudah terlihat
adanya pertentangan di dalamnya meskipun tindakan kekerasan yang melibatkan benda-benda
fisik belum terjadi. Bila konflik hanya terbatas pada tindakan kekerasan secara fisik maka
seharusnya tidak ada isti!ah seperti conflict of interest, conflicting ideas, dan lain sebagainya
yang lebih banyak mengacu pada konflik lisan.
Hubungan sosial yang dilakukan oleh setiap anggota masyarakat merupakan sumber
terjadinya konflik di dalam masyarakat. Padahal masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan
sosial. Masyarakat tidak akan ada bila tidak ada hubungan sosial. Hubungan sosial menghasilkan
dua hal. Pertama adalah manfaat atau keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat. Ini berarti
bahwa hubungan sosial yang sukses memberikan keuntungan yang lebih kurang sama bagi pihak-
pihak yang terlibat karena dengan berhubungan dengan orang lain, seseorang dapat menerima
jasa dari orang lain yang tidak bisa dia lakukan atau kerjakan sendiri. Sebaliknya, orang tersebut
memberikan jasanya bagi orang lain yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain itu. Dengan
demikian terjadi proses tukar-menukar jasa dan kemampuan/ketrampilan dalam hubungan sosial
yang memudahkan bagi kedua belah pihak dalam melakukan tugas masing-masing dalam
masyarakat.
Hubungan sosial menyebabkan setiap orang di dalam masyarakat tidak harus
mengerjakan semua hal yang diperlukannya dalarn kehidupannya. Dengan melakukan hubungan
sosial setiap seseorang dapat mengandalkan bantuan orang lain; sebaliknya orang lain juga dapat
memanfaatkan kemampuan dan kelebihan orang tersebut. Dengan demikian hubungan sosial
rnenghasilkan pembagian pekerjaan dan spesialisasi di dalam masyarakat. Seseorang tidak harus
mcngerjakan apa yang diperlukannya karena ada orang lain yang mengerjakannya untuk dia.
Tentu saja hal ini tidak cuma-cuma karena orang itu memberikan imbalan yang dibutuhkan orang
lain itu atau mengerjakan sesuatu bagi orang lain sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu
di dalam masyarakat, umpamanya, ada tukang cukur yang kerjanya mencukur rambut orang lain
hingga terlihat lebih rapi. Sebaliknya orang yang dicukur membayar sejumlah uang kepada
tukang cukur sebagai imbalan. Yang dicukur merasa senang karena ramhutnya lebih rapi,
sedangkan si tukang cukur juga merasa senang karena ia mendapat uang dari pekerjaannya itu
yang dapat digunakan untuk kebutuhan hidupnya. Alangkah susahnya-hidup di dunia ini bila
setiap orang harus mengerjakan segala sesuatu yang diperlukannya. Untunglah di dalam
masyarakat ada banyak orang yang bersedia membantu dengan spesialisasi masing-masing. Dari
pekerjaan masing-masing, mereka itu bisa memperoleh nafkah untuk keperluan hidup.
Oleh karena itu tidak salah bila ada yang mengatakan bahwa apa yang kita nikmati di
dalam masyarakat adalah produk bersama yang dihasilkan oleh hubungan sosial. ini menandakan
bahwa di dalam masyarakat terdapat adanya saling ketergantungan (interdependency) antara
anggota masyarakat. Seseorang tergantung kepada sejumlah orang lain seperti halnya sejumlah
orang lain itu juga sedikit banyaknya tergantung pada satu orang itu. Keadaan seperti inilah yang
membuat hidup bermasyarakat akan lebih mampu mendatangkan kemakmuran dan kebaikan bagi
anggota-anggota masyarakat. Seseorang tidak perlu menguasai pekerjaan yang menghasilkan
barang-barang keperluannya karena ada sejumlah orang lain mengerjakannya sehingga orang
tersebut dapat memusatkan perhatian pada bidang tertentu yang diminatinya sehingga
kemugkinan ia berhasil dalam hidupnya akan lebih besar.
Hubungan sosial yang mendatangkan manfaat bersama adalah hubungan sosial yang
diidamkan oleh setiap masyarakat. Itulah sebenarnya yang merupakan salah satu alasan bagi
keberadaan masyarakat. Hubungan sosial seperti itu dapat dinamakan hubungan sosial yang
positif. Sebagai lawannya adalah hubungan sosial yang negatif yakni hubungan sosial yang
menghasilkan konflik antara mereka yang terlibat di dalamnya karena adanya pandangan bahwa
satu pihak dalam hubungan sosial tersebut menganggap bahwa pihak lain memperoleh manfaat
yang lebih besar dari hubungan sosial itu yang menimbulkan kerugian bagi dirinya. Hubungan
sosial yang negatif ini menimbulkan rasa ketidakadilan di dalam diri pihak (atau pihak-pihak)
yang terlibat di dalamnya sehingga terbentuk perbedaan pendapat mengenai manfaat dari
hubungan sosial tersebut.
Sebagai contoh, kita kembali ke tukang cukur tadi. Hubungan sosial yang positif seperti
digambarkan di atas dengan mudah dapat berubah menjadi hubungan sosial yang negatif
(konflik). Perbedaan pendapat dapat saja terjadi antara tukang cukur dan pelanggannya. Banyak
sumber dari perbedaan pendapat itu. Bisa saja si pelanggan tidak puas dengan hasil cukur (atau
berpura-pura tidak puas) sehingga tidak mau membayar sesuai dengan tarif yang berlaku. Yang
terjadilah adalah konflik antara tukang cukur dengan pelanggannya itu. Si tukang cukur
berpendapat bahwa pelanggannya ingin memperoleh keuntungan yang tidak layak dari hubungan
sosial mereka dengan merugikan dirinya. Sebaliknya si pelanggan menganggap bahwa hasil
cukuran seperti yang ia terima tidak layak dibayar dengan harga seperti itu. Baginya, si tukang
cukur ingin mengambil keuntungan yang tidak wajar dengan rnerugikan dirinya. Konflik seperti
ini dapat dengan mudah meningkat menjadi konflik fisik bila penyelesaian konflik tidak dapat
dicapai.
Perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial terjadi karena
adanya kecenderungan manusia untuk menarik kcuntungan bagi dirinya sendiri meskipun hal itu
merugikan pihak lain. Nafsu rnanusia untuk memperoleh keuntungan tanpa mempedulikan pihak
lain rnerupakan akar dari konflik yang terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, bisa saja
perbedaan pendapat mengenai manfaat dari hubungan sosial disebabkan oleh kesalahfahaman
dan kekurangmengertian dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Kasus kedua ini lebih
mudah diselesaikan karena dengan memberikan informasi yang tepat dan jelas konflik ini dapat
diselesaikan. Yang menjadi masalah pelik adalah bila salah satu pihak (atau kedua pihak)
berusaha dengan sengaja untuk mengambil keuntungan dari hubungan sosial secara tidak adil
sehingga merugikan pihak lain. Bila ini terjadi, konflik akan sulit diselesaikan dan menjadi
berlarut-larut.
Karena setiap manusia mementingkan dirinya sendiri dan ingin memperoleh kenikmatan
hidup secara kebendaan (material) dalam kehidupannya, manusia cenderung berusaha untuk
mendapatkan keuntungan baginya dalam setiap kesempatan. Thomas Hobbes, seorang filosof
Inggris yang hidup pada abad 17, dengan jelas menggambarkan kecenderungan manusia
mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Bagi Hobbes, sifat-
sifat manusia seperti itulah yang menghancurkan umat manusia bila negara (penguasa politik)
tidak ada. Itulah alasan menurut Hobbes bagi perlu adanya kekuasaan politik yang mengatur
masyarakat. Negara dan hukum amat diperlukan di dalam masyarakat untuk mencegah setiap
orang mencapai keinginan dan keperluannya sendiri dengan cara-cara merugikan orang lain.
Dengan kata lain, kekuasaan politik yang dimiliki negara dan hukum amat diperlukan untuk
mencegah terjadinya konflik sosial, paling tidak mengurangi terjadinya konflik karena adanya
ketakutan terhadap hukum dan aparat negara yang memaksa.
Sehubungan dengan sifat-sifat pribadi sebagai penyebab terjadinya konflik. Maurice
Duverger menyimpulkan bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik adalah hal-hal yang
terjadi pada tingkat individua1. Sebagai contoh, ada orang-orang tertentu yang memiliki
kecenderungan psikologis untuk menimbulkan konfiik dengan orang lain sehingga di mana pun
orang itu berada, ia senantiasa terlibat dalam percecokan dengan dengan orang lain. Duverger
juga menyinggung rasa frustrasi sebagai penyebab terjadinya konflik. Orang yang frustrasi lebih
mudah terlibat dalam konflik dengan pihak lain yang dianggap sebagai penyebab atau berkaitan
dengan penderitaan yang merupakan penyebab frustrasi tersebut. Pada tingkat kolektif, isu
perbedaan kelas yang membedakan sebuah kelas dengan kelas yang lain dapat memicu konflik.
Biasanya kelas yang merasa dirugikan menyalahkan kelas lain sebagai penyebab kerugian
mereka. Pandangan yang dianut oleh kelas yang merasa dirugikan itu dapat dengan mudah
menyulut konflik. Istilah "kelas" yang digunakan oleh Duverger dapat diperluas dengan istilah
kelompok. Kelas biasanya mengacu pada sebuah teori tertentu yakni teori Marx, sedangkan
kelompok dapat digunakan secara umum tanpa mengacu pada teori atau ideologi tertentu. Oleh
karena itu perbedaan yang mencolok antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat (terutama
dalam masalah ekonomi) dapat dengan mudah menyulut terjadinya konflik antara kelompok.
Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, konflik dapat dibagi mcnjadi dua.
Pertama adalah konflik individual, yakni konflik yang terjadi antara dua orang yang tidak
melibatkan kelompok masing-masing. Faktor penyebab konflik adalah masalah pribadi sehingga
yang terlibat dalam konflik hanyalah orang-orang yang bersangkutan saja. Contoh dari konflik
individual adalah perkelahian antara dua orang yang disebabkan oleh ketersinggungan salah satu
pihak. Kedua, konflik kelompok yakni konflik yang terjadi antar dua kelompok atau lebih.
Konflik pribadi dapat dengan mudah berubah menjadi konflik kelompok karena adanya
kccenderungan yang besar dari individu-individu yang berkonflik untuk melibatkan kelompoknya
masing-masing. Di samping itu. anggota-anggota kelompok mempunyai solidaritas yang tinggi
sehingga juga ada kecenderungan anggota-anggota kelompok` untuk membantu seorang anggota
kelompok yang terlibat konflik tanpa ingin tahu sebab-sebab yang menimbulkan konflik.
Konflik juga terjadi karena adanya keinginan manusia untuk menguasai sumber-sumber
dan posisi yang langka (resource and position scarcity). Uang, umpamanya. bersifat langka
namun amat dibutuhkan untuk bisa hidup di dunia ini. Kebutuhan manusia amat banyak dan tidak
pernah akan terpenuhi semuanya. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan adanya kelangkaan,
di samping kelangkaan tersebut adalah sifat-sifat kehidupan di dunia ini. Konflik terjadi karena
adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota mnsyarakat untuk
memperebutkan barang-barang pemenuh kebutuhan yang terbatas tersebut. Sama halnya dengan
sumber-sumber, posisi atau kedudukan atau jabatan juga langka dalam masyarakat. Kedudukan
sebagai penguasa negara, umpamanya, merupakan bahan rebutan di antara anggota-anggota
masyarakat yang menghasilkan kontlik.
Kecenderungan manusia untuk menguasai orang lain merupakan penyebab lainnya dari
konflik. Hal ini berarti kecenderungan manusia untuk berkuasa menjadi salah satu penyebab
konflik. Manusia selalu menginginkan orang lain menganut apa yang dianutnya karena ia
berpendapat bahwa apa yang dianutnya adalah yang terbaik bagi semua orang, di samping alasan
keinginan untuk mendominasi. Oleh karena itu kecenderungan manusia untuk menarik orang lain
agar menganut ideologi atau agama yang dianutnya merupakan salah satu sumber konflik
terpenting dalam masyarakat.

Persyaratan Konflik Sosial


Sebagai salah satu bentuk hubungan sosial, konflik mempunyai beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi agar sebuah hubungan sosial dapat disebut konflik. Ted Robert Gurr
menyebut ada paling tidak empat ciri konflik, yaitu:
(1) ada dua atau lebih pihak yang terlibat,
(2) mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi,
(3) mereka menggunakan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan,
melukai, dan menghalang-halangi lawannya, dan
(4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah
oleh para pengamat yang independen.
Persyaratan bahwa peserta konflik haruslah lebih dari satu berarti konflik sosial haruslah
bersifat sosial yakni melibatkan orang atau pihak lain. Orang atau pihak lain itu berjumlah
minimal satu sehingga ada pihak lain yang menjadi saingan. Bila pihak lain itu lebih dari satu
berarti sesuatu pihak mempunyai lebih dari satu saingan, atau terdapat konflik bersegi banyak di
mana setiap atau beberapa pihak menjadi saingan bagi pihak lain. Persyaratan adanya pihak lain
juga mengandung arti bahwa konflik yang hanya terdiri dari satu pihak tidak dapat dinamakan
sebagai konflik sosial. Oleh karena itu konflik di dalam diri satu orang bukanlah objek studi
konflik sosial. Konflik dalam diri seseorang terjadi antara lain karena pada waktu tertentu ia
harus menjalankan lebih dari satu peran yang diberikan oleh lebih dari satu status. Seseorang
hanya bisa menjalankan satu peran tertentu dari status yang dimilikinya pada satu saat tertentu.
Konflik dalam diri sendiri seperti ini bersifat psikologis sehingga lebih merupakan objek studi
psikologi.
Syarat kedua, keterlibatan dalam tindakan yang bermusuhan, berarti bahwa pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik secara terang-terangan menunjukan sikap yang berlawanan dengan
yang lain sehingga menimbulkan reaksi pertentangan dan permusuhan dari pihak lain. Tindakan
permusuhan ini rnuncul karena pendapat yang dipertentangkan dan tindakan-tindakan yang
diambil sebagai akibat dari tindakan permusuhan tersebut dianggap oleh semua pihak sebagai
penolakan dan penyingkiran terhadap pendapatnya. Bila konflik tersebut meningkat menjadi
konflik fisik, tindakan permusuhan juga dapat berbentuk usaha-usaha penyingkiran (atau
pembunuhan) satu pihak oleh pihak lain yang menjadi musuhnya.
Termasuk ke dalam persyaratan kedua ini adalah keharusan adanya interaksi antara pihak-
pihak yang terlibat konflik. Meskipun ada dua pihak yang berbeda pendapat dan kelihatannya
melakukan tindakan bermusuhan bila tidak ada interaksi antara keduanya baik secara langsung
ataupun tidak, tidak bisa dikatakan bahwa telah terjadi konflik antara keduanya. Adanya interaksi
akan menghasilkan kesadaran semua pihak yang terlibat konflik bahwa ada pihak lain yang
mempunyai pendapat yang berbeda dan menentangnya. Jadi dua pihak yang berbeda pendapat
tidak bisa disebut terlibat dalam konflik bila tidak ada interaksi sehingga tidak ada kesadaran
bahwa ada pertentangan dan permusuhan antara keduanva. Adanya interaksi ini sangat penting
sebagai persyaratan bagi konflik karena konflik merupakan produk dari hubungan sosial seperti
yang telah dibahas di atas.
Syarat ketiga yang disebut oleh Gurr didasarkan atas pandangan bahwa konflik haruslah
selalu bersifat konflik fisik. Dalam konflik lisan tidak mungkin terjadi tindakan koersif karena
konflik seperti itu hanya terbatas pada kata-kata saja. Tapi tentu saja bisa terjadi konflik fisik
yang bercirikan (kekerasan (coercion) akibat kata-kata vang kasar dan keras. Jadi syarat ketiga
lebih mengacu pada syarat bagi konflik fisik. Untuk konflik lisan tentu saja tidak diperlukan
syarat berupa tindakan kekerasan.
Syarat keempat yang disebutkan oleh Gurr menunjukkan bahwa konflik adalah sebuah
tingkah laku yang nyata dan dapat diamati. Konflik haruslah berwujud tindakan (behavior) yang
berbentuk tindakan-tindakan kongkrit. Oleh karena itu pertentangan antara dua orang yang hanya
ada dalam pikiran nrasing-masing tidak dapat disebut sebagai konflik. Dengan demikian konflik
dapat dipelajari kapan terbentuknya (dengan juga mempelajari alasan-alasan terbentuknya),
perkembangannya, dan akhir dari konflik tersebut (apakah ada penyelesaian konflik dan
bagaimana penyelesaian konflik itu berlangsung, atau apakah konflik menghasilkan dampak yang
terburuk bagi masyarakat, yakni disintegrasi sosial).

Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk
menyelesaikan (atau menghilangkan) konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-
pihak yang terlibat di dalam konflik. Sesuai dengan definisi konflik (yaitu adanya perbedaan
pendapat atau pandangan dari dua pihak atau lebih), konflik berhasil diselesaikan bila dapat
dicapai konsensus antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang tadinya bertikai berhasil
menyelesaikan konflik mereka bila mereka bersepakat untuk tidak meneruskan perbedaan
pendapat karena berhasil menemukan titik temu dari pendapat atau pandangan yang tadinya
bertentangan.
Penyelesaian konflik didasarkan atas adanya perubahan pandangan dari salah satu atau
semua pihak yang terlibat konflik sehingga tidak ada lagi pertentangan antara mereka. Dengan
demikian terjadi perubahan dalam pandangan dari salah satu atau semua pihak yang terlibat. Hal
inilah yang membuat penyelesaian konflik bukanlah pekerjaan yang mudah karena amat sulit
bagi sesorang untuk mengubah pendapatnya yang berbeda dan bertentangan dengan pendapat
orang lain sehingga pendapat itu sama dengan pendapat orang lain tersebut. Meskipun sulit,
penyelesaian konflik mutlak diperlukan untuk mencegah:
1) semakin mendalamnya konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaaan antara pihak-
pihak yang berkonflik;
2) semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-
masing pihak yang berkonflik.
Bila penyelesaian konflik tidak kunjung dapat dicapai, biasanya konflik berkembang
semakin mendalam dan meluas. Bila tidak ditemukan cara penyelesaian konflik yang efektif,
konflik dapat menimbulkan ancaman disintegrasi masyarakat, yaitu terpecahnya masyarakat
sesuai dengan garis yang memisahkan pihak-pihak yang terlibat konflik sehingga seluruh atau
sebagian bcsar warga masyarakat terlibat dalam pertentangan yang dapat menghasilkan dua
kelompok masyarakat yang terpisah dan bermusuhan. Bila ini terjadi hubungan sosial yang
harmonis antara warga-warga masyarakat tidak dapat berjalan, yang berarti terjadinya gangguan
terhadap ketenangan dan ketertiban masyarakat. Gejala sosial seperti ini jelas tidak diharapkan
oleh setiap warga masyarakat. Inilah alasan mengapa konflik sosial merupakan gejala sosial yang
ditakuti dan selalu menimbulkan kekhawatiran yang membuat terbentuknya keinginan-keinginan
untuk menghilangkan dan mencegah konflik dengan berbagai cara.
Ada dua cara penyelesaian konflik, yaitu penyelesaian konflik secara persuasif
(persuasive) dan penyelesaian konflik secara kekerasan atau koersif (coercive). Cara persuasif
menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mencari titik temu antara pihak yang
berkonflik. Pihak-pihak yang berkonflik melakukan perundingan, baik antara mereka saja,
maupun menggunakan pihak lain (pihak ketiga) yang bertindak sebagai mediator atau juru damai.
Mereka yang terlibat dalam konflik melakukan tukar pikiran dan argumentasi untuk
menunjukkan posisi masing-masing dengan tujuan untuk meyakinkan pihak lain bahwa pendapat
merekalah yang benar. Musyawarah diharapkan membawa penyelesaian konflik dengan
terjadinya perubahan-perubahan pandangan dari salah satu atau semua pihak yang terlibat
sehingga perbedaan-perbedaan antara mereka dapat dihilangkan. Yang digunakan dalam cara
persuasif adalah nalar (rasio). Dengan menjelaskan pendapat masing-masing diharapkan pihak
lain dalam konflik itu menyadari bahwa ada pendapat yang lebih baik yang perlu dianut dengan
membuang sebagian atau semua pendapat mereka sendiri. Jadi ada usaha-usaha untuk
meyakinkan pihak lain dalam cara persuasif dengan memberikan penjelasan dan argumentasi
yang lebih rasional atau masuk akal sehingga dianggap lebih baik oleh pihak lain yang terlibat
konflik. Perubahan pendapat yang terjadi dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena paksaan
dari pihak lain. Perubahan itu terjadi karena terbentuknya keyakinan bahwa ada pendapat baru
yang lebih baik yang layak dianut. Akibatnya adalah keseluruhan atau sebagian pendapat sendiri
ditinggalkan atau tidak lagi dianut. Bersamaan dengan itu, pendapat pihak yang lain yang
dianggap baik dan disetujui dimasukkan ke dalam pendapat sendiri sehingga terbentuk titik temu
dengan pendapat pihak lain tadi.
Cara penyelesaian konflik secara persuasif menghasilkan penyelesaian konflik secara
tuntas, artinya tidak ada lagi perbedaan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik karena titik
temu telah dihasilkan atas keinginan sendiri. Pihak-pihak yang berkonflik dengan segala senang
hati telah berhasil mencapai mufakat sehingga merasa tidak lagi perlu ada konflik di antara
mereka. Oleh karena sangat kecil sekali kemungkinan timbulnya konflik antara mereka mengenai
hal yang sama di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu cara penyelesaian konflik secara
persuasif adalah cara yang ideal dan lebih baik dibandingkan dengan cara penyelesaian konflik
secara koersif.
Meskipun begitu, cara penyelesaian konflik secara persuasif adalah sulit karena
memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk mencapai hasil. Mengubah pendapat orang
lain bukanlah pekerjaan mudah sehingga untuk mencapai titik temu diperlukan waktu yang
panjang untuk bermusyawarah (itu pun belum tentu mendatangkan hasil). Di samping itu juga
dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam bermusyawarah karena akan terjadi pembicaraan yang
bertele-tele. Karena sifat-sifatnya yang sulit dan banyak memakan waktu, tenaga, dan dana, cara
persuasif ini menghasilkan conflict resolution yang lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan
cara koersif.
Cara persuasif dalam penyelesaian konflik bersifat manusiawi karena lebih sesuai dengan
sifat-sifat manusia. Manusia ditandai dengan kemampuannya untuk menggunakan rasio (akal
sehat) dengan menomorduakan kekerasan fisik. Manusia berbeda dari binatang yang
mengandalkan kekuataan fisik dalam hubungannya dengan makhluk lain. Oleh karena itu, bila
manusia mengandalkan dirinya pada penggunaaan kekerasan fisik, ia sebenarnya menggunakan
naluri hewaniah yang memang melekat di dalam diri setiap manusia. Seharusnya manusia mampu
membedakan dirinya dengan binatang dengan cara menunjukkan kemampuannya dafam
penggunaan rasio dalam menjalankan hubungan sosial.
Cara persuasif merupakan ketrampilan dalam menyelesaikan konflik yang menjadi
tuntutan demokrasi. Masyarakat yang mampu mengembangkan cara-cara persuasif dalam
penyelesaian konflik adalah masyarakat yang mempunyai potensi yang besar untuk sukses dalam
menegakkan demokrasi. Demokrasi yang menginginkan adanya kebebasan berbicara,
berpendapat, berserikat. dan berkumpul membuka peluang dan membiarkan terjadinya konflik di
dalam masyarakat. Konkritnya, kebebasan berbicara dan berpendapat akan menghasilkan konflik
yang besar di dalam masyarakat karena warga masyarakat bebas berpendapat dan mengutarakan
pendapat mereka. Hal ini berarti terciptanya konflik dalam jumlah dan intensitas yang besar di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi menyuburkan konflik di dalam masyarakat. Inilah
alasan bagi pendapat yang mengatakan bahwa kebebasan dalam demokrasi dapat menjurus ke
arah anarki. Untuk mengatasi hal tersebut, demokrasi menuntut adanya ketrampilan untuk
menyelesaikan konflik secara persuasif. Kegagalan negara-negara berkembang dalam
berdemokrasi antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan negara-negara tersebut untuk
menyelesaikan konflik secara persuasif. Kemampuan berkonflik bersifat alami karena hal itu
dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir tanpa perlu belajar. Sebaliknya penyelesaian konflik
secara persuasif adalah sebuah ketrampilan yang harus dipelajari dari pengalaman dan tidak
diperoleh begitu saja oleh warga masyarakat dan pemerintah.
Penyelesaian konflik secara koersif menggunakan kekerasan fisik atau ancaman
kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat
konflik. Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik,
menyakiti, melukai atau membunuh pihak lain. Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman
penggunaannya menimbulkan rasa takut di pihak yang akan dikenai yang berpengaruh terhadap
tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan. Oleh karena itu, cara koersif dalam penyelesaian konflik
adalah penggunaan cara-cara kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik oleh salah satu pihak
yang lebih kuat untuk membuat takut pihak lain sehingga pihak lain yang berkonflik dengannya
mengubah pendapatnya dengan menyetujui pendapat pihak yang kuat tadi. Jadi ancaman
penggunaan kekerasan fisik atau penggunaan kekerasan fisik bertujuan untuk memaksa pihak
lawan untuk menyetujui pendapat yang dianut oleh pihak yang kuat tadi. Dengan demikian
penyelesaian konflik terjadi dengan terciptanya titik temu atau mufakat karena pihak yang lemah
yang menerima ancaman kekerasan fisik dan/atau penggunaan kekerasan fisik terpaksa menerima
pendapat pihak yang lebih kuat.
Cara koersif menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas yang rendah karena
konflik sebenarnya belum selesai secara tuntas. Titik temu atau mufakat terbentuk secara terpaksa
sehingga sesungguhnya pihak yang lebih lemah menyetujui pendapat yang lebih kuat tidak atas
dasar kesadaran dan keinginan sendiri. Bila ia tidak lagi menunjukkan sikap berkonflik, tidaklah
berarti bahwa ia telah betul-betul setuju untuk mengubur konflik tersebut. Ia tidak menunjukkan
sikap berkonflik hanya karena takut pada pihak yang lebih kuat tadi. Oleh karena itu selama
pihak yang lebih kuat tetap dianggap lebih kuat, selama itu pula pihak yang lemah tidak akan
berani berkonflik. Tapi bila pihak yang kuat dianggap telah melemah atau pihak yang lemah
menganggap dirinya telah semakin kuat sehingga lebih kuat dari lawan konfliknya, konflik akan
dimunculkan kembali dalam bentuk perlawanan oleh pihak yang tadinya lemah melawan pihak
yang tadinya lebih kuat.
Dari sini terlihat bahwa penyelesaian konflik secara koersif mengandung potensi bagi
munculnya kembali konflik yang lebih hebat di masa-masa yang akan datang. Cara koersif ini
hanyalah menyembunyikan konflik, tidak menyelesaikannya. Konflik secara diam-diam tetap
dikembangkan oleh pihak yang lebih lemah sambil menunggu kesempatan untuk memunculkan
kembali konflik tersebut. Cara penyelesaian konflik seperti ini dapat diibaratkan sebagai
memasukkan sampah ke bawah karpet. Dari atas kelihatan bersih, tapi sebenamya di bawah
karpet menumpuk sampah dalam jumlah yang besar.
Digunakannya kekerasan dalam cara koersif menunjukkan bahwa cara ini kurang
manusiawi. Seperti telah disinggung dalam pembahasan cara persuasif di atas, manusia
seharusnya lebih menonjolkan kemampuan rasio, bukan kemampuan fisik. Oleh karena itu, cara
ini bersifat primitif karena menggunakan kemampuan manusia sebagai hewan. Dilihat dari sudut
ini, cara koersif bukanlah merupakan cara yang ideal yang harus dikembangkan dalam
masyarakat. Justru negara-negara yang terbelakang dalam perkembangan demokrasi lebih banyak
menggunakan cara-cara koersif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
Namun demikian, cara koersif adalah cara yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan
konflik. Hanya dengan modal kekuatan fisik yang lebih kuat dari lawan, sekelompok orang dapat
memaksa pihak lain yang berkonflik dengan mereka, untuk menghilangkan sikap bermusuhan
dan menerima pendapat-pendapat yang dianut oleh pihak yang kuat tersebut (atau, paling tidak,
tidak nnenunjukkan pendapat yang berbeda dan bertentangan dengan pendapat pihak yang lebih
kuat). Penyelesaian konflik dapat dicapai dengan relatif cepat karena begitu rasa takut timbul
dalam diri lawan konffik, timbuf dorongan di dalam diri pihak yang lemah untuk menghentikan
konflik itu sehingga konflik di atas permukaan tidak lagi terlihat. Dikatakan "konflik di atas
permukaan" karena konflik tertutup atau tersembunyi dapat saja terus berlangsung. Konflik
seperti ini tidak ditunjukkan secara langsung dan terang-terangan kepada lawan konflik karena
takut terhadap kekuatan fisik lawan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perlawanan secara diam-diam akan dilakukan oleh pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih
kuat selama pihak yang lebih kuat memang masih lebih kuat secara riil.
Cara koersif digunakan sebagai cara penyelesaian konflik utama oleh penguasa politik
otoriter. Kecenderungan untuk tidak mentolerir pendapat yang berbeda dengan penguasa dan
digunakannya kekuatan fisik untuk memaksa rakyat untuk tunduk sehingga konflik dengan
penguasa tidak terjadi secara terang-terangan adalah beberapa ciri penguasa otoriter. Para
penguasa otoriter memang selalu mencurigai konflik. Konflik dianggap senantiasa memberikan
ancaman terhadap kekuasaan mereka sehingga dengan dalih kepentingan rakyat, kepentingan
nasional, kestabilan politik, dan yang sejenisnya, para penguasa otoriter memberikan tekanan-
tekanan yang menyebabkan tidak munculnya konflik di dalam masyarakat.

KONSENSUS
Seperti telah disinggung di atas, konsensus terjadi bila tercipta kesepakatan dalam
hubungan antara dua orang/pihak atau lebih. Bila konsensus tercapai, berarti konflik tentang
masalah bersangkutan tidak ada. Dengan kata lain, bila konsensus tercapai berarti penyelesaian
konflik (conflict resolution) berhasil dicapai. Oleh karena itu konsensi adalah substansi
penyelesaian konflik. Konsensus terbentuk bila pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi berhasil
mencapai titik temu, yakni pendapat yang sama sehingga tidak ada masalah dalam hubungan
sosial tersebut dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama mendapat
keuntungan/manfaat yang wajar dari hubungan tadi. Duverger menyebut hal ini sebagai
kompromi. Hubungan sosial antara mereka berjalan mulus dan tidak ada pihak yang merasa
dirugikan karena semua mereka merasa bahwa tidak ada di antara mereka yang memperoleh
keuntungan/manfaat yang tidak wajar. Dengan adanya hubungan sosial yang tulus seperti ini
tercapailah tujuan hidup berrnasyarakat, yakni anggota-anggota masyarakat yang saling
tergantung berhasil menikmati buah dari hidup bermasyarakat yaitu kerjasama yang membawa
kemajuan bagi anggota-anggota masyarakat.
Studi tentang konsensus adalah tidak sebanyak studi tentang konflik. Hal ini ditunjukan
oleh sedikitnya literatur yang diterbitkan di negara-negara Barat yang membahas konsensus,
sedangkan literatur yang membahas teori konflik dan berbagai kasus konflik sangat banyak
jumlahnya. Alasannya adalah kenyataan bahwa konsensus dianggap sebagai fenomena sosial
yang tidak menimbulkan masalah sosial seperti halnya konflik. Konsensus memang berperan
amat penting dalam menciptakan ketenangan dan ketertiban masyarakat. Namun, konflik jauh
lebih menarik karena ancaman yang terkandung di dalamnya terhadap masyarakat.
Meskipun pendekatan struktural fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dianggap
mementingkan konsensus, namun studi tentang konsensus tidak menjadi titik perhatian aliran
tersebut.
Tawar-menawar (Bargaining)
Prinsip dasar dalam konsensus (yang juga bisa dinamakan mufakat atau aklamasi) adalah
dibukanya kemungkinan di dalam diri setiap pihak yang berkonflik untuk mengadakan
perubahan-perubahan terhadap pendapat yang dianutnya dengan bersedia menerima bagian-
bagian dari pendapat pihak lain yang menjadi lawannya dalam konflik. Hal ini berarti bahwa
persyaratan terpenting bagi tercapainya konsensus (yang juga berarti penyelesaian konflik)
adalah tawar-menawar (bargaining) yang artinya kesediaan semua pihak yang terlibat dalam
konflik untuk mengurangi tuntutannya sendiri dan menerima bagian-bagian tertentu dari tuntutan
pihak lain.
Hambatan terbesar bagi konsensus adalah sikap yang berpegang teguh kepada pendapat
yang dianut secara fanatik tanpa membuka kemungkinan bagi terjadinya perubahan terhadap
pendapat tersebut. Apabila ada pihak yang berpendirian seperti itu, dapat diharapkan bahwa
musyawarah yang bertujuan untuk mencapai konsensus tidak akan mencapai hasil. Dalam
keadaan seperti itu, musyawarah hanyalah merupakan proses tukar menukar informasi tentang
pendapat masing-masing yang tidak akan berhasil mencapai titik temu antara pendapat-pendapat
yang berbeda. Justru tukar-menukar informasi tersebut hanyalah akan memperkuat keyakinan
akan kebenaran pendapat masing-masing. Bila ini terjadi, musyawarah akan mencapai jalan
buntu sehingga tidak terjadi penyelesaian konflik.
Kemampuan warga masyarakat untuk menerima pendapat pihak lain adalah bagian dari
toleransi yang menjadi persyaratan penting dalam demokrasi. Oleh karena itu salah satu
hambatan utama bagi demokrasi adalah apabila terdapat satu kelompok atau kelompok-kelompok
di dalam masyarakat yang secara fanatis beranggapan bahwa pendapatnyalah yang paling benar
dan menganggap pendapat pihak lain salah sehingga tertutup kemungkinan terjadinya kompromi.
Hambatan itu muncul karena tidak mungkin atau sangat sulit mencari jalan keluar secara
persuasif. Oleh karena itu konflik hanya bisa diselesaikan dengan cara koersif. Padahal salah satu
tujuan penting dari faham demokrasi adalah menciptakan masyarakat di mana anggota-anggota
masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai karena mereka mampu menyelesaikan
konflik di antara mereka secara damai/persuasif. Meskipun mereka berbeda pendapat dan
pandangan politik, mereka tidak menganggap perbedaan itu sebagai alasan bagi adanya sikap
permusuhan.

Model-Model Konsensus
Ada berbagai kemungkinan kompromi yang bisa dicapai dalam proses penyelesaian
konflik, baik dilakukan melalui perantara (mediator) maupun tidak (secara langsung dilakukan
oleh pihak-pihak yang bertikai). Yang ingin dicapai dalam penyelesaian konflik adalah titik temu
atau kompromi seperti yang telah dibahas sebelumnya. Yang perlu dibahas dan mendapat
penjelasan di sini adalah penyelesaian konflik secara persuasif karena ada berbagai kemungkinan
yang tersedia. Cara koersif, seperti dibahas di atas, adalah mudah sehingga tidak memerlukan
pembahasan secara khusus. Bila salah satu pihak mempunyai fisik yang lebih kuat, penyelesaian
konflik secara paksa telah berhasil dicapai. Artinya, cara koersif menghasilkan konsensus yang
dipaksakan karena digunakannya kekerasan fisik atau ancaman penggunaan kekerasan untuk
menghasilkan konsensus.
Ada beberapa model konsensus. Pertama, adalah konsensus yang merupakan gabungan
dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model ini bisa disebut sebagai
konsensus pendapat internal karena konsensus yang dicapai terdiri gabungan pendapat dari pihak-
pihak yang terlibat konflik. Proses yang terjadi dalam model ini adalah usaha-usaha secara
persuasive dalam musyawarah untuk mencari butir-butir pendapat yang dianut oleh pihak-pihak
yang berkonflik yang dapat disetujui oleh semua pihak yang tcrlibat konflik. Musyawarah
mencari butir-butir apa saja yang disetujui oleh semua pihak dan membuang butir-butir yang
tidak disepakati. Di sini terlihat bahwa harus ada kesediaan setiap pihak untuk membuang butir-
butir pendapat sendiri yang tidak disetujui pihak lain dan menerima pendapat pihak lain yang
semula tidak disetujui. Dalam proses tersebut terjadi proses tawar menawar berupa kesediaan satu
pihak untuk menerima butir-butir pendapat tertentu dari pihak lain dengan ketentuan bahwa pihak
lain juga harus bersedia menerima butir-butir tertentu dari pendapat pihaknya. Oleh karena itu,
musyawarah, di samping membicarakan butir-butir pendapat yang telah mendapat kesepakatan
semua pihak, juga membicarakan tawar-menawar butir-butir pendapat yang dipertentangkan
untuk dapat diterima oleh semua pihak.
Dapat dibayangkan bahwa proses musyawarah untuk mencapai konsensus adalah sesuatu
yang tidak mudah. Diperlukan waktu dan tenaga yang banyak untuk mencapai titik temu. Namun,
seperti telah disinggung di atas, konsensus yang bisa dihasilkan akan memiliki kualitas yang
tinggi dilihat dari keampuhannya untuk menuntaskan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Model kedua adalah mirip dengan model pertama. Bedanya terletak pada disepakatinya
pendapat dari salah satu pihak yang terlibat dalam konflik sebagai konsensus. Model ini disebut
sebagai konsensus pendapat dominan. Model ini hanya terjadi bila pihak-pihak yang berkonflik
terdiri dari lebih dua pihak. Karena besarnya perbedaan pendapat diantara mereka dan setelah
musyawarah tidak mendapat hasil bias saja muncul pendapat yang menganggap bahwa pendapat
salah satu pihak dianggap cukup baik untuk dijadikan konsensus.
Model ketiga adalah konsensus yang dibentuk dari pendapat-pendapat pihak lain, bukan
pendapat dari pihak yang terlibat konflik. Konsensus seperti ini dapat dinamakan konsensus
pendapat luar. Digunakan pendapat pihak luar ini disebabkan karena adanya kesulitan-kesulitan
dari pihak-pihak yang bertikai untuk menerima pendapat lawan masing-masing. Ini terjadi karena
besarnya perbedaan pendapat diantara pihak-pihak yang berkonflik, tapi mereka melihat ada
butir-butir pendapat pihak lain yang bisa mereka setujui. Pihak lain itu bisa saja adalah mediator
atau pihak lain dimana pun juga dalam masyarakat.
Model keempat adalah konsensus gabungan. Model ini merupakan gabungan dari
beberapa model konsensus yang dibahas diatas. Dalam model ini digunakan butir-butir pendapat
tertentu yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, di samping butir-butir pendapat lain
yang berasal dari pihak-pihak yang tidak terlibat konflik. Diterimanya butir-butir tertentu dari
pendapat pihak lain menunjukan bahwa ada kesulitan dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk
menerima butir-butir pendapat mereka sendiri. Sebagai cara untuk menghasilkan konsensus,
mereka menggunakan pendapat pihak luar yang dapat disetujui bersama.
Model-model konsensus di atas didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat
yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Usaha untuk mencapai konsensus
dilakukan dengan cara mencapai kompromi yakni membentuk butir-butir pendapat yang dapat
disetujui bersama. Ada cara mencapai konsensus untuk menyelesaikan konflik yang tidak
didasarkan atas perubahan pendapat dari pihak-pihak yang terlihat konflik, tapi dilakukan melalui
wewenang pemerintah untuk merumuskan penyelesaian konflik secara hukum. Cara ini dikenal
sebagai cara pengadilan. Dalam cara ini, pihak-pihak yang terlibat konflik tidak berhasil
menemukan konsensus antara mereka, Untuk menyelesaikan konflik itu mereka menyerahkan
kepada pemerintah untuk rnengadili mereka. Pemerintah melalui pengadilan mencari
penyelesaian konflik yang paling tepat menurut hukum. Keputusan pengadilan merupakan
conflict resolution yang harus diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah harus diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik sehingga mereka wajib
untuk menghentikan konflik tersebut. Keputusan pengadilan adalah sebuah konsensus yang
dihasilkan oleh pemerintah, bukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik yang menghasilkan
kesepakatan yang mereka buat antara sesama mereka seperti yang menjadi dasar bagi model-
model konsensus di atas.
Cara lain untuk mencapai konsensus yang tidak didasarkan atas perubahan pendapat di kalangan
yang terlibat konflik adalah cara pemungutan suara (voting). Konsensus dengan cara pemungutan
suara didasarkan atas suara terbanyak. Pendapat yang memperoleh suara terbanyak menjadi
pendapat bersama sehingga perbedaan pendapat dapat diselesaikan. Meskipun cara pemungutan
suara ini digunakan terutama di bidang politik, cara ini juga digunakan dalam penyelesaian
konflik sosial lainnya, seperti pemungutan suara para hakim dalam pengadilan di Amerika
Serikat. Sebagian besar kasus konflik sosial diselesaikan dengan menggunakan model-model
yang telah dibahas di atas Tentu saja aneh bila konflik antara dua pihak yang bersengketa tentang
masalah tanah warisan umpamanya, diselesaikan dengan cara pemungutan suara di antara pihak-
pihak yang terlibat konflik. Jadi titik temu pendapat atau kompromi dicapai berdasarkan jumlah
suara yang mendukung. seperti halnya model-model konsensus yang disinggung di atas, cara
pcmungutan suara ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik dengan cara persuasif. Yang
berbeda adalah mekanisme yang digunakan.
RANGKUMAN

Konflik dan konsensus adalah gejala-gejala sosial yang selalu ada di dalam setiap
masyarakat. Selama masyarakat ada, selama itu pula konflik dan konsensus ada di dalam
masyarakat.
Konflik adalah pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau
kelompok, sedangkan konsensus adalah kesepakatan dalam hal tertentu antara paling tidak dua
orang atau kelompok. Jadi konflik didasarkan atas perbedaan, sedangkan mufakat didasarkan atas
persamaan. Konsensus dapat disamakan dengan mufakat atau kesepakatan di mana semua pihak
yang terlibat di dalamnya berhasil mencapai pendapat yang sama. Istilah lain yang sama artinya
dengan mufakat adalah aklamasi.
Ada beberapa model konsensus. Pertama, adalah konsensus yang merupakan gabungan
dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model ini bisa disebut sebagai
konsensus pendapat internal karena konsensus yang dicapai terdiri gabungan pendapat dari pihak-
pihak yang terlibat konflik. Model kedua adalah mirip dengan model pertama. Bedanya terletak
pada disepakatinya pendapat dari salah satu pihak yang terlibat dalam konflik sebagai konsensus.
Model ini disebut sebagai konsensus pendapat dominan. Model ketiga adalah konsensus yang
dibentuk dari pendapat-pendapat pihak lain, bukan pendapat dari pihak yang terlibat konflik.
Konsensus seperti ini dapat dinamakan konsensus pendapat luar. Model keempat adalah
konsensus gabungan. Model ini merupakan gabungan dari beberapa model konsensus. Dalam
model ini digunakan butir-butir pendapat tertentu yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat
konflik, di samping butir-butir pendapat lain yang berasal dari pihak-pihak yang tidak terlibat
konflik.

Anda mungkin juga menyukai