Anda di halaman 1dari 11

JOURNAL READING

DENGUE INFECTION IN CHILDREN IN RATCHABURI, THAILAND:

A COHORT STUDY II. CLINICAL MANIFESTATIONS

Oleh :

Nur Fii Hidayatullah G9911112111

Tri Kusumo G9911112136

Pembimbing :

dr. M. Riza, SpA., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012
ABSTRAK

Latar Belakang : Demam Dengue adalah salah satu penyakit yang cukup popular di
masyarakat yang hidup di area tropis. Banyak data menunjukkan bahwa bervariasinya
spektrum tanda dan gejala klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan insidensi
dan mengidentifikasi manifestasi klinis infeksi dengue pada anak di Thailand selama tahun
2006-2008.

Desain Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 9448 anak-
anak yang tinggal di Ratchaburi Thailand, umur anak-anak 3-14 tahun. Anak-anak yang
mengalami demam dianjurkan memeriksakan diri ke rumah sakit untuk menjalani
serangkaian tes penunjang dan mendapatkan terapi. Data klinis pada penelitian ini didapatkan
dari rekam medik subyek penelitian.

Hasil : Infeksi virus dengue menyebabkan 12.1% demam pada subyek penelitian,
diantaranya adalah undifferentiated fever (UF) (49.8%), dengue fever (DF) (39.3%) dan
dengue hemorrhagic fever (DHF) (10.9%). Sakit kepala, anoreksia, mual muntah, dan
myalgia adalah gejala-gejala yang paling sering muncul pada lebih dari 50% subyek
penelitian. Stadium klinis DHF yang paling parah diantaranya menunjukkan gejala klinis
panas demam yang lebih tinggi, mual muntah yang lebih hebat, nyeri perut, diare, peteki,
hepatomegali, hitung trombosit rendah. Gejala-gejala ini relative lebih panjang 3-6 hari
dibandingkan pada infeksi dengue lainnya. Tidak munculnya gejala mual muntah, nyeri
perut, diare, peteki, hepatomegali, dan uji torniket positif tidak mengarahkan kita pada DHF.

Kesimpulan : Selama infeksi dengue, UF adalah salah satu gejala awal yang diikuti dengan
DF dan DHF. Beberapa manifestasi klinis yang khas dapat memberikan petunjuk bagi kita
untuk memprediksi derajat keparahan. Penelitian ini berfungsi untuk mengidentifikasi
spektrum gejala dari demam akibat infeksi virus dengue.
PENDAHULUAN
Demam Dengue adalah salah satu penyakit yang cukup popular di masyarakat yang
hidup di area tropis dan sub-tropis. WHO memperkirakan sekitar 2 dari 5 populasi dunia
berisiko terinfeksi virus dengue. Setiap tahunnya sekitar 50 miliar orang terinfeksi virus
dengue dan menunjukkan spektrum gejala yang beragam. Spektrum infeksi dengue dapat
dikategorikan menjadi Undiferentiated Fever (UF), Dengue Fever (DF), dan Dengue
Hemoragik Fever (DHF). Dalam beberapa penelitian terakhir terhadap anak yang terinfeksi
demam dengue di Thailand, sekitar 49% - 87% menunjukkan stadium klinis tanpa gejala.
Oleh karena itu diperlukan data yang menyokong ragam spektrum klinis infeksi virus dengue
dan prevalensinya (UF, DF, DHF). Hal ini tentu akan memudahkan penyedia layanan
kesehatan dan pembuat kebijakan untuk lebih memahami penyakit.
Pada tahun 2005, sebuah studi epidemiologi kohort tentang infeksi dengue
dilaksanakan di sekolah anak usia 3-14 tahun, Ratchaburi Thailand. Ada 481 subjek direkrut
pada tahun 2005 dan kemudian 3056 subyek yang terdaftar pada bulan Februari 2006. Pada
tahun 2009, surveilans epidemiologi demam berdarah diperpanjang. Namun, karena banyak
mata pelajaran banyak orangtua yang menarik diri dari penelitian 2b fase uji coba vaksin
demam berdarah sehingga data klinis manifestasi dikumpulkan hanya sampai akhir tahun
2008. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan prevalensi manifestasi klinis infeksi
dengue yang dapat terjadi selama masa studi 3-tahun kohort, dari 2006 sampai 2008.

METODE
Lokasi
Penelitian dilakukan di Provinsi Ratchaburi Thailand, sekitar 100 km sebelah barat
Bangkok. Menurut keterangan Departemen Kesehatan Thailand, Ratchaburi adalah salah satu
provinsi yang dikenal memiliki tingkat kejadian demam berdarah dengue terbanyak di
Thailand. Lokasi penelitian lebih tepatnya dilakukan di kota Muang. Populasi dalam daerah
ini cukup stabil karena rendahnya tingkat migrasi dan tingginya homogenitas etnis. Total
populasi dan jumlah anak berusia 5-14 tahun di Distrik Muang adalah sekitar 188.000 dan
24.000.
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Ratchaburi (tidak dipublikasikan) menunjukkan
bahwa insiden berdarah penyakit selama 2006-2008 adalah 1,05%, 1,15%, dan 0,24% pada
anak-anak berusia 5-9 tahun, 10-14 tahun dan jumlah penduduk masing-masing. Fasilitas
medis utama di daerah ini adalah Rumah Sakit Ratchaburi (RH), yang merupakan rumah
sakit rujukan yang menyediakan perawatan medis tersier. Rumah sakit ini memiliki 90
tempat tidur anak-anak dan 12 staff dokter anak.

Populasi
Populasi penelitian adalah anak-anak yang bersekolah di 7 sekolah anak Distrik
Muang. Kriteria inklusi anak laki-laki yang sehat dan anak perempuan berusia 3-10 tahun
pada saat perekrutan, tinggal di Distrik Muang atau desa terdekat. Kriteria eksklusi termasuk
anak-anak yang menderita penyakit parah atau kronis seperti asma, penyakit keganasan atau
penyakit yang berhubungan dengan insufisiensi dari sistem kekebalan tubuh, dan berencana
untuk pindah ke sekolah lain dalam waktu 48 bulan.

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif berbasis sekolah terbuka. Setelah
setiap sekolah mendapatkan penjelasan dan persetujuan, dilakukan surveilans aktif untuk
mengetahui episode demam. Dilaksanakan pemeriksaan darah untuk mengkonfirmasi infeksi
dengue yang akan diobservasi selama periode penelitian. Setiap tahun ajaran baru, anak yang
baru akan direkrut untuk menggantikan mereka yang mengundurkan diri.

Definisi untuk Diagnosis


Di RH, dokter anak membuat diagnosis klinis tanpa uji laboratorium konfirmasi untuk
demam berdarah. Diagnosis klinis DF, DHF dan grading dari DHF dibuat menggunakan
kriteria WHO. Gejala klinis dibedakan menjadi undifferentiated fever (UF) jika subjek tidak
memenuhi kriteria klinis untuk DF (yaitu demam akut dengan setidaknya dua dari
gejala sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, arthralgia, ruam atau leukopenia) atau DHF
(yaitu demam dengan kecenderungan berdarah, trombositopenia dan kebocoran plasma)
tetapi uji serologis menunjukkan infeksi dengue aktif.

Uji Laboratorium untuk Infeksi Dengue


Masing-masing subjek dengan manifestasi demam disertai perdarahan akut diambil sampel
darah. Interval untuk sampling darah setidaknya 7 hari setelah demam. Serum darah diuji
IgM dan IgG terhadap dengue menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
yang protokol yang dijelaskan oleh Innis et al [7]. Infeksi dengue akut didiagnosis jika ada
tingkat IgM lebih tinggi dari nilai cut-off atau ada serokonversi tingkat IgG. Kasus ELISA
positif dengue selanjutnya diuji untuk serotyping virus dengue yang menginfeksi subyek
penelitian. Pada tahun 2006, nyamuk inokulasi Toxorhynchites splendens [8] digunakan
untuk identifikasi serotipe dengan deteksi RNA virus menggunakan reverse-transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR) [9].

Analisis Statistik
Data tentang gejala penyakit dianalisis secara longitudinal menggunakan SAS versi 9.1.3 dan
versi Epi Info 3.5.1, frekuensi dan median digunakan untuk menggambarkan data. Uji chi-
square atau Fischer digunakan untuk membandingkan variabel kategori. Uji Kruskal-Wallis
atau ANOVA-Scheffe digunakan untuk membandingkan variabel kontinyu. Tingkat statistik
dianggap signifikan jika p < 0,05.

HASIL
Sebanyak 9,448 (4.759 anak laki-laki dan 4.689 anak perempuan) yang tinggal di
Distrik Muang Ratchaburi telah dijadikan subyek dalam penelitian ini, sebanyak 2.591 (71%)
anak diantaranya demam, 52% anak telah memeriksakan diri ke Rumah Sakit Ratchaburi.
Sisanya adalah pasien yang tidak memeriksakan diri dan tidak mendapatkan perawatan dari
Rumah Sakit Ratchaburi. Berdasarkan data yang didapat, tak satupun dari mereka yang
memiliki gejala infeksi dengue. Oleh karena itu pasien yang tidak memeriksakan diri dan
tidak mendapatkan perawatan dari Rumah Sakit Ratchaburi tetap diikutkan dalam subyek
penelitian. Masing-masing dari mereka diedukasi untuk mengikuti serangkaian pemeriksaan
di Rumah Sakit Ratchaburi.
Dari 2,591 subyek penelitian, anak yang dicurigai menderita demam berdarah
sebanyak 313, penyebab demam diidentifikasi dengan ELISA. Hasil ELISA menunjukkan
bahwa 313 anak yang demam (12,1%) disebabkan karena infeksi dengue, 41 kasus (31,1%)
disebabkan infeksi dengue primer dan 272 kasus (86,9%) disebabkan infeksi dengue
sekunder. Serotipe virus dengue diidentifikasi dengan inokulasi atau RT-PCR. Hasil
pengujian menunjukan 115 (36,7%) kasus demam disebabkan virus DEN1, 80 (25,6%)
disebabkan virus DEN2, 41 (13,1%) disebabkan infeksi virus DEN3, dan 23 (7,3%)
disebabkan virus DEN4.
Sebanyak 156 kasus (49,8%) dalam subyek penelitian menunjukkan gejala UF, 123
kasus (39.3%) menunjukkan gejala demam dengue, dan 34 kasus (10.9%) menunjukkan
gejala demam berdarah dengue yang terdiri dari 22 (7%) kasus demam berdarah dengue
grade 1, 5 kasus (1.6%) demam berdarah dengue grade 2, dan 7 kasus (2.2%) demam
berdarah dengue grade III.
Sebanyak 41 kasus infeksi primer dengue, 26 kasus mengalami gejala UF (63.4%), 14
kasus menunjukkan gejala patognomonik demam dengue (34.2%) dan 1 kasus menunjukkan
gejala demam dengue grade 1 (2.4%). Berdasarkan analisis, tidak ada hubungan signifikan
antara serotipe virus dengue dengan respon antibodi subyek penelitian (Data tidak
dicantumkan). Pada penelitian ini, data rinci manifestasi klinis pada 71 kasus pertama tidak
kami dapatkan secara spesifik. Oleh karena itu penelitian ini hanya menggunakan data 85
kasus demam.
Diagnosis klinis dari 71 dan 85 kasus UF ditunjukkan dalam tabel 1. Secara statistik,
terdapat perbedaan yang signifikan di kelompok diagnosis demam akut/suspek infeksi virus
(p=0,001). Berdasarkan data ini pula kami dapat menyimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara spektrum penyakit yang berbeda dengan usia dan jenis
kelamin, meskipun jumlah subyek laki-laki terbilang lebih banyak dibandingkan perempuan.

Gejala-gejala infeksi dengue dan spektrum beberapa penyakit lain disajikan secara
spesifik pada tabel 2. Gejala sakit kepala, anoreksia, mual/muntah dan mialgia terjadi lebih
dominan pada separuh pasien. Selain itu, gejala mual/muntah, nyeri perut, ruam, diare dan
peteki secara statistik lebih sering terjadi pada DHF dibandingkan dengan demam dengue dan
UF. Pada tabel 3 kami sajikan data gejala dan tingkat keparahan penyakit dari beberapa
serotipe virus dengue. Berdasarkan analisis, gejala infeksi virus DEN4 lebih menyebabkan
demam yang tidak spesifik bila dibandingkan dengan serotipe virus dengue yang lain, pada
keadaan demam dengue dan demam berdarah dengue grade 1 akibat virus DEN4, tampaknya
gejala klinis seperti sakit kepala, anoreksia, mual/muntah dan ruam lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan serotipe virus dengue yang lainnya. Namun, perbedaan ini secara
statistik tidak signifikan.
Analisis terhadap karakteristik demam menunjukan bahwa median (IQR) nilai puncak
untuk suhu dan durasi demam pada UF, demam dengue dan demam berdarah dengue masing-
masing adalah 38,4 (SD 1,6), 39,0 (SD 1,5), dan 39,0 (SD 1,7) derajat Celcius dan 5 (3), 6
(2), dan 6 (1) hari, masing-masing. Gejala UF memiliki suhu puncak dan durasi yang lebih
singkat dibandingkan dengan demam dengue dan demam berdarah dengue (p=0,001).
Prevalensi sebagian besar gejala paling parah muncul 2 hari pertama dan kemudian
perlahan-lahan menurun, kecuali untuk anoreksia, mual/muntah, sakit perut dan diare yang
cenderung meningkat di siang hari pada hari ke 3-5. Gejala yang paling umum terjadi pada
DHF adalah anoreksia, mual/muntah dan sakit perut pada hari 3-6 dan diare selama 4-6 hari
(Chi-square test, p<0,05). Sebaliknya, gejala mengantuk/lesu lebih dominan terjadi pada
demam yang tidak spesifik, biasanya terjadi pada hari ke 2-5. Pada penelitian ini, gejala
anoreksia, mual/muntah, nyeri perut, nyeri retro-orbital dan peteki terjadi 3 hari lebih lama
pada DHF dibandingkan dengan DB atau UF. Sebaliknya pada UF, gejala lemah dan lesu
terjadi lebih lama dibandingkan dengan DF atau DHF. Perlu dicatat bahwa gejala-gejala ini
hanya terjadi pada sedikit kasus sehingga tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan
diagnosis DHF atau DF (Tabel 4).
Tabel 5 menunjukkan temuan fisik pada infeksi dengue. Uji torniquet positif
ditemukan pada 72% kasus, rushed face (wajah kemerahan) ditemukan kira-kira pada 50%
pasien yang terinfeksi dengue. Hepatomegali ditemukan pada sekitar 40% dari kasus DHF,
prevalensi ini secara signifikan lebih tinggi bila dibandingkan pada DF dan demam tidak
spesifk. Gejala klinis ikterus ditemukan hanya pada 2,9% kasus DHF. Tabel 6 menunjukkan
nilai prediksi positif munculnya gejala-gejala pada DHF yang membedakannya dengan DF
dan UF. Hasil ini menunjukkan bahwa semua manifestasi klinis yang terdapat pada DHF
memiliki nilai prediksi positif yang rendah akan tetapi memiliki nilai prediksi negatif yang
tinggi untuk DHF.
Hitung darah lengkap dilakukan pada hari ke 2, 3, 4, 5 dan 6 pada masing-masing
kasus. Hasil analisis menunjukkan nilai median hematokrit, hitung darah tepi leukosit dan
jumlah trombosit pasien yang terinfeksi. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kasus DHF
memiliki nilai median hematokrit yang lebih tinggi dibandingkan dengan DF dan UF, nilai ini
terhitung spesifik mulai hari ke 4 sampai dengan hari ke 6. Sementara itu tiga spektrum gejala
demam akibat infeki dengue memilliki nilai hitung leukosit yang lebih rendah dibandingkan
dengan UF. Spektrum penyakit akibat infeksi dengue juga mengakibatkan penurunan jumlah
trombosit selama sakit, meskipun nilai median trombosit DF dan UF tidak memenuhi kriteria
trombositopenia dari WHO, yaitu lebih rendah dari 100.000 per mm3. Penurunan jumlah
trombosit berlawanan dengan derajat keparahan DHF. Nilai median dari jumlah trombosit
DHF menurun signifikan pada hari ke 3-6, sementara nilai median dari jumlah trombosit pada
DF menurun signifikan bila dibandingkan dengan UF mulai hari ke 3-5.

DISKUSI
Desain penelitian ini adalah kohort prospektif, data dikumpulkan secara prospektif
dari subyek anak-anak yang menderita demam di Ratchaburi, Thailand. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yang dilakukan sebelum dan sesudah pemeriksaan serologi.
Dikarenakan proses pemeriksaan laboratorium yang sangat lama maka pedoman diagnosis
ditegakkan dengan mempertimbangkan kriteria WHO tanpa mengabaikan faktor risiko. Hal
ini juga memudahkan penegakan diagnosis UF yang diduga kuat disebabkan oleh virus
dengue.
Penelitian ini juga memegang peranan penting bagi pemerintah untuk mengatur
regulasi penanganan penyakit menular di daerah endemis karena penelitian ini diterapkan
pada populasi yang heterogen dalam proporsi yang cukup banyak. Baru-baru ini, studi kohort
tentang kejadian demam berdarah dengue di Kamboja dan Nikaragua juga menggunakan
survey berbasis masyarakat untuk mengatur regulasi penanganan. Serupa dengan penelitian
ini, mereka melaporkan tingginya insiden infeksi dengue di daerah-daerah endemik. Namun,
tidak ada satupun studi yang menyebutkan manifestasi klinis secara rinci.
Penelitian ini mendeskripsikan prevalensi dari masing-masing gejala klinis DF dan
DHF yang diobservasi mulai dari onset penyakit. Gejala yang diamati adalah gejala yang
seringkali diabaikan oleh dokter seperti vomitus, diare, dan nyeri tekan abdomen. Meskipun
berdasarkan analisis, gejala-gejala ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah akan tetapi
memiliki nilai prediktif negatif yang cukup tinggi dan signifikan (Tabel 6). Hal ini dapat
diartikan bahwa tidak adanya manifestasi klinis tersebut menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami demam akibat infeksi dengue, sementara adanya gejala tersebut harus diwaspadai
dokter sebagai DHF.
Sebanyak 45,5% kasus UF yang tidak memenuhi kriteria DF dan DHF menunjukkan
hasil laboratorium yang positif untuk dengue. Selain itu, banyak subyek penelitian dengan
karakteristik demografi yang besar tidak memeriksakan gejala demamnya ke Rumah Sakit
Ratchaburi. Hal ini dapat menyebabkan bias dalam penelitian sehingga estimasi gejala klinis
dapat berlebihan atau berkurang, untuk mengatasi hal ini kami lebih memilih untuk
mengeluarkan mereka dari subyek penelitian. Walaupun ada banyak pendapat tentang
kemiripan gejala klinis UF dengan infeksi dengue yang asimptomatik. Kami memperkirakan
bahwa bias dan risiko missing variable dalam penelitian sangat tidak mungkin terjadi karena
waktu penelitian ini bukan pada periode wabah infeksi lainnya.
Data gejala klinis dikumpulkan dari rekam medis pasien rawat inap (biasanya DHF).
Berdasarkan hasil survey yang kami temukan, subyek yang menjalani rawat jalan seringkali
menderita demam ringan yang membuat mereka enggan untuk memeriksakan diri ke dokter
atau ke Rumah Sakit Ratchaburi. Pertimbangan kami untuk memakai data rawat inap adalah
karena data tersebut lebih rinci bila dibandingkan dengan data rawat jalan.
Hal ini tidak mengherankan bahwa spektrum penyakit yang lebih parah (misalnya
DHF) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama dari gejala.
Pengecualian ditemukan pada nyeri kepala. Kami tidak memiliki penjelasan untuk temuan
ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas masalah ini. Gejala rhinorrhea
umum ditemukan dalam penelitian ini, apakah gejala ini adalah salah satu manifestasi dari
infeksi dengue atau disebabkan oleh co-insidental ISPA, saat ini masih belum jelas. Namun,
telah disarankan bahwa infeksi dengue harus dimasukkan dalam diferensial diagnosis infeksi
akut pada saluran pernapasan bagian atas. Molar rush pada wajah juga sering ditemukan,
secara klinis fitur ini digunakan sebagai kriteria untuk demam berdarah akan tetapi tidak
spesifik. Perlu dicatat bahwa beberapa manifestasi klinis (misalnya tourniquet positif)
dianggap lebih spesifik untuk DF/DHF dan termasuk dalam kriteria diagnosis untuk DF.
Karena hal ini lebih umum terjadi. Alasan yang sama juga berlaku untuk temuan bahwa
hepatomegali lebih umum terjadi pada DHF.
Infeksi dengue ringan sangat mirip dengan infeksi lain yang membedakan adalah
manifestasi infeksi dengue sangat parah di hari awal dan kemudian menurun pada hari-hari
selanjutnya . Di sisi lain, pada infeksi dengue yang parah (misalnya DBD), prevalensi
anoreksia, mual/muntah, perut rasa sakit dan diare selama 3-5 hari ditemukan semakin
meningkat. Penurunan manifestasi klinis pada infeksi dengue tidak berkaitan sama sekali
dengan proses perbaikan tubuh.
Diare pada infeksi dengue telah disebutkan dalam banyak studi sebelumnya. Namun,
belum ada mekanisme pasti tentang bagaimana terjadinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa
diare dapat menjadi prediktor DBD. Prevalensi tertinggi terjadi tepat sebelum shock. Hal
menunjukkan bahwa mungkin terkait dengan kebocoran plasma yang dapat menyebabkan
malabsorpsi. Perlu studi lebih lanjut untuk mendefinisikan hubungan antara diare dan DBD.
Studi ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah trombosit perifer terjadi tidak hanya pada
DHF, tetapi juga di DF dan UF. Ini menegaskan bahwa memotong tingkat untuk platelet
hitung dari 100.000/mm3 cocok untuk diferensiasi antara DBD dan non-DBD.
Derajat keparahan penyakit juga berdasarkan serotipe virus. Misalnya, DEN2 dan 3
telah terbukti berhubungan dengan penyakit yang lebih parah sementara DEN4 cenderung
menjadi penyakit ringan. Studi ini juga menemukan bahwa DEN4 tidak menyebabkan
penyakit parah. Namun, kita tidak bisa menunjukkan secara statistik hubungan antara serotipe
virus tertentu dan tingkat keparahan penyakit.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menggambarkan manifestasi klinis semua
spectrum gejala infeksi dengue serta beberapa kemungkinan klinis prediktor awal untuk
DBD. Hal ini juga mengungkapkan bahwa pentingnya untuk mengidentifikasi UF sebagai
tanda paling awal untuk mengidentifikasi infeksi dengue. Studi ini menyajikan informasi
tambahan dalam spektrum klinis demam berdarah.

Anda mungkin juga menyukai