Anda di halaman 1dari 5

Pekerjaan Wartawan di Era Digital

Oleh Achmad Syalaby Ichsan (Wartawan Republika)

Jurnalisme sebagai sebuah pekerjaan merupakan profesi yang cukup purba. Aktivitas ini pun
kerap berevolusi sejak istilah Acta Diurna diperkenalkan pada masa Julius Cesar (100-44 SM ).
Diurni yang merupakan profesi pembuat Acta Diurna mengumumkan keputusan-keputusan
penting kerajaan, hasil persidangan hingga berita kematian. Meski Acta Diurna masih amat
sederhana dan sebatas perspektif kepentingan penguasa, penyebaran informasi ini setidaknya
menjadi jendela informasi awal masyarakat Romawi ketika itu mengenai apa yang terjadi di
tengah kekaisaran mereka.

Waktu terus berganti seiring dengan inovasi manusia yang berjalan tanpa henti. Penemuan
papirus hingga terciptanya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1398-1469 ) membuat pola
penyebaran informasi menjadi lebih massif. Eropa yang ketika itu baru saja mengalami
renesains memanfaatkan teknologi tersebut untuk penyebaran agama Kristen (Gospel) hingga
perdagangan. Injil dicetak besar-besaran.Sementara itu, para pedagang memanfaatkan mesin
cetak tersebut untuk menyebarkan informasi tentang produk dan harga. Tak jarang, penerbitan
ini juga menjadi kendaraan politik para pengusaha lokal untuk mendapatkan kekuasaan.

Hingga Perang Dunia tiba, masyarakat ingin mengetahui kelanjutan nasib negaranya di medan
perang. Propaganda pun dijalankan. Negara dan musuh berlomba menebar informasi yang
menguntungkan pihaknya dan menyerang pihak lawan. Para wartawan tak lepas dari konflik
kepentingan.Di negeri kita, jurnalisme juga digunakan sebagai salah satu cara untuk
propaganda kaum pergerakan melawan kolonialisme penjajah. Para founding fathers kita pun
terkenal memiliki kemampuan menulis yang tajam. Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Agus
Salim, HOS Tjokroaminoto dan banyak lagi. Mereka menggunakan media sebagai alat untuk
menyuarakan perjuangan.

Pada era kemerdekaan, pers kita menjadi alat pembangunan. Wartawan pun sebagai sebuah
profesi diharuskan untuk mendukung kebijakan negara. Jika tidak, media bisa dibredel. Hingga
negeri ini menikmati alam reformasi yang membuat segalanya amat bebas dan terbuka,
termasuk dari sisi media. Ribuan surat kabar terbit dan banyak stasiun televisi swasta yang
mengudara. Tak jarang diantaranya berafilisasi dengan kepentingan partai politik tertentu yang
juga banyak bermunculan.

Manusia pun diperkenalkan dengan komputer pada akhir abad ke-20. Komputer menjadi awal
dari apa yang dinamakan teknologi digital. Lewat prinsip algoritma, kita bisa menikmati
informasi cepat dengan sekali sentuh layar smartphone.

Tingkat penggunaan internet di negeri ini pun tergolong tinggi. Pandemi Covid-19 ikut mengerek
konsumsi internet masyarakat. Hampir semua aktifitas warga mesti dilakukan lewat internet dari
bekerja, berbelanja hingga sekolah dan kuliah. Berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet pada 2019/2020 mencapai 73,7 persen
atau 196,7 juta jiwa. Pada awal 2021, jumlahnya mencapai 202 juta orang. Jumlah ini membuat
Indonesia sebagai negara ke-4 paling besar pengguna internet di dunia.

Platform online pun kian berkembang. Kebutuhan masyarakat akan informasi tersaji di berbagai
media daring yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Kita bisa saksikan terjadinya pergeseran
minat membaca dari beberapa riset yang dilakukan lembaga survei. Populicenter misalnya
dalam survei dari medio 2018-2020, terungkap jika pembaca koran tidak mencapai 10 persen.
Hal ini berbanding terbalik dengan tren masyarakat yang menggunakan media online. Mereka
menggunakan telepon seluler (57,5 persen).

Kompetitor surat kabar bukan hanya media online. Mereka juga harus menghadapi para
selebritas yang muncul melalui program-program podcast. Para artis ini bak jurnalis dadakan
yang menggali informasi dari beragam narasumber penting dengan tema paling aktual. Belum
lagi akun-akun media sosial yang mendedikasikan diri untuk menyebar berita sensasional yang
kerap mengandung hoaks. Tidak heran jika Badan Intelijen Negara (BIN) dalam salah satu
pernyataan resminya menyebut 60 persen informasi di media sosial merupakan hoaks.

Adanya perubahan kebiasaan masyarakat untuk mendapatkan informasi tentu berdampak pada
industri surat kabar. Banyak media cetak yang awalnya keukeuh mempertahankan medianya
harus bermigrasi bahkan gulung tikar. Fenomena ini sudah terjadi bahkan sebelum pandemi.
Indikasi pengibaran bendera putih itu sudah terlihat pada 2016 saat Koran Sindo menutup biro
daerah. Perusahaan sekaliber Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bahkan harus menutup Bola
dan HAI, dua tabloid legendaris yang menyajikan berita-berita indepth reporting seputar
olahraga dan remaja yang sebelumnya menjadi trendsetter pada era 90-an. Sederet surat
kabar besar lainnya juga harus tutup seperti koran milik Lippo Grup Sinar Harapan, Suara
Pembaruan, Jakarta Globe. Terakhir, surat kabar milik Tempo Inti Media yakni Koran Tempo
memutuskan untuk berhenti terbit pada Desember 2020.

Produsen konten

PT Republika Media Mandiri merupakan salah satu perusahaan media masih bisa eksis hingga
sekarang. Harian Republika menjadi produk pertama perusahaan ini yang terbit perdana pada 4
Januari 1993. Sejak lama, awak Republika sudah memiliki kesadaran pentingnya kebutuhan
multiplatform untuk menunjang penyaluran informasi. Untuk itu, Republika membuat platform
online pada 1995 agar konten-konten yang ada di surat kabar bisa dibaca secara daring.

Pesatnya perkembangan teknologi digital juga membuat Republika semakin gencar dalam
berinovasi. Perusahaan yang dikenal sebagai media terbesar komunitas Muslim ini
menahbiskan diri sebagai media produsen konten. Republika memiliki berbagai platform yang
bisa dinikmati para pembacanya. Dimulai dengan surat kabar, Harian Republika tampil dengan
desain yang lebih segar. Kreatifitas para layouter Republika mengantarkan koran umat ini
meraih beberapa kali award tingkat asia. Salah satu yang paling fenomenal adalah best front
page dari World Association of Newspapers and News Publishers (WAN-IFRA) untuk cover
asap pada edisi 8 Oktober 2015.

Konten yang ada di surat kabar juga tersedia dalam format e-paper dan republika.id. E-paper
merupakan bentuk Portable Document Format (PDF) dari versi cetak untuk para pelanggan.
Sementara itu, Republika.id dibangun untuk memanjakan para pembaca koran yang ingin
mendapatkan informasi versi audiovisual. Di Republika.id, tim redaksi menyediakan foto, video,
audio bahkan infografis yang melengkapi berita di surat kabar. Republika juga menyadari era
digital menuntut konten ditampilkan lewat interaksi audiovisual. Karena itu, tim redaksi
menyiapkan berbagai program podcast seperti newstory dan republikangaji yang bisa dinikmati
para pemirsa. Untuk gaya hidup, Republika juga menyajikan beragam konten seperti
Republikakopi dan Republikayuh yang bisa dinikmati oleh komunitas pecinta kopi dan sepeda.

Adanya beragam program ini tentu menuntut pengembangan skill dari para awak redaksi
Republika. Revolusi digital mempengaruhi kerja-kerja jurnalistik wartawan mulai level redaktur
hingga ke pemimpin redaksi. Gambaran sederhananya adalah jika dahulu wartawan harus
mengirim berita ke kantor usai mengetiknya — lewat mesin tik yang berisik — melalui telegram
atau via mesin faks, kini laporan mereka cukup dikirim melalui email dengan menyentuh layar
smartphone. Dengan telepon pintar itu, mereka bahkan tak hanya bisa menulis. Gadget
tersebut akan menjelma menjadi recorder, kamera foto hingga kamera video dengan resolusi
yang cukup layak untuk dijadikan sebuah laporan.

Kisah horor para wartawan senior mengenai terhapusnya rekaman karena tertimpa kaset lama
atau kaset ternyata hilang terjatuh di perjalanan sudah tidak perlu dikhawatirkan. Teknologi
cloud memungkinkan kita untuk menyimpan file-file berkapasitas besar tanpa harus khawatir file
tersebut akan hilang.

Mereka ‘dipaksa’ bekerja multitasking. Para reporter pada era ini harus membuat laporan tidak
hanya dalam bentuk tulisan. Mereka juga mesti memiliki kemampuan fotografi standar,
videografer hingga menjadi seorang presenter. Para editor juga dituntut untuk keluar dari balik
meja. Mereka harus mempertanggungjawabkan kepada publik mengenai konten yang telah
dipublish lewat beragam acara podcast sesuai dengan desk (bidang) masing-masing. Mereka
juga menjadi host untuk program acara talkshow dengan narasumber yang berkompeten di
bidangnya.

Adanya pandemi ikut memicu perubahan cara kerja para jurnalis dalam melakukan tugas-tugas
jurnalistik mereka. Meski peliputan merupakan inti dari aktivitas jurnalisme, asosiasi wartawan
juga membuat panduan kerja agar para jurnalis mengutamakan keselamatan nyawa mereka.
Diantaranya yakni melakukan peliputan secara online. Dalam hal ini, beragam platform
penyedia telekonferens seperti zoom dan gmeet menjadi salah satu media untuk mendapatkan
informasi. Wawancara pun sebisa mungkin diupayakan melalui telepon atau aplikasi komunikasi
seperti whatsapp dan telegram. Hanya saja, untuk peristiwa-peristiwa penting yang harus
menghadirkan wartawan dan fotografer, memang ada peliputan tentunya dengan prosedur dan
protokol kesehatan yang ketat. Wartawan mesti memakai masker, mencuci tangan, dan
menjaga jarak. Tidak hanya itu, wajib bagi wartawan untuk minimal rapid test setelah liputan ke
lapangan.

Peluang dan tantangan

Tsunami informasi pada abad ini memang tidak bisa dielakkan. Tidak juga bagi industri pers
yang sudah banyak gulung tikar. Meski demikian, masih ada angin optimisme dari komunitas
wartawan untuk melakukan kerja-kerja jurnalis pada masa serba digital ini. Pers pun
memosisikan diri tidak sekadar penyedia informasi yang menarik tetapi juga akurat dan
berintegritas.

Adanya gatekeeper dalam sebuah institusi pers membuat berita yang dirilis dipastikan benar-
benar sesuai fakta. Mekanisme editing dari banyak mata membuat ‘bahan baku berita’ tersebut
bisa benar-benar diawasi sehingga dapat meminimalisir kesalahan pemberitaan. Untuk media
online yang butuh kecepatan, media seperti Republika.co.id bahkan memberlakukan
mekanisme editing yang ketat dari para asisten redaktur dan editor bahasa. Hal ini sebagai
ikhtiar agar para masyarakat bisa mendapatkan informasi yang cepat, tepat dan bertanggung
jawab. Dengan demikian, publik diharapkan bisa mendapat edukasi mengenai pemilihan
informasi yang sesuai. Bahan baku bermutu yang diperkaya beragam inovasi diharapkan
mampu membuat para jurnalis bertahan.

Anda mungkin juga menyukai