Anda di halaman 1dari 7

Internet, jalan tol yang menghubungkan kita ke dunia maya benar-benar membuat dunia

telanjang bulat. Tak ada hukum, tak ada pemerintahan, tak ada perangkat-perangkat legal
yang menakutkan. Ia, untuk sebagian hal, telah mengantarkan kita pada sebuah
lingkungan yang sangat demokratis, malahan juga anarkis.

Untuk memasuki sebuah negara, misalnya, kita tidak akan pernah ditanyai paspor, fiskal
dan tetek-bengek pungutan lain. Hanya dalam hitungan menit, kita bisa sampai ke sebuah
negara untuk melihat keindahan multikultur di jagad ini.

Bagi yang lain, internet pun bisa berarti lepasnya belenggu-belenggu primordial. Ketika
satu komputer terhubung komputer lain, ketika itulah kita saling terkoneksi satu sama
lain, membentuk komunitas yang ekspresif. Ikatan ini memungkinkan kita dapat
berkomunikasi dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan usia, umur, tempat
tinggal, status sosial atau herediter. Formalisme, `mati` di sini.

Buat dunia jurnalistik, internet telah membuka mata-hati kalangan pers untuk mengolah,
mencari, dan menyiarkan berita. Berita yang baru saja berlangsung, bahkan sedang
berlangsung, tinggal di-up load ke dalam situs web media bersangkutan, dan segera
dialirkan ke segala arah. Radius penyiarannya pun tanpa batas. Dalam hitungan menit,
bahkan detik, berita menyebar ke seantero penjuru bumi.

Karena sistemnya yang saling silang dengan bantuan saluran telepon dan modem, internet
diibaratkan sebagai jalan tol tingkat tinggi (superhighway). Selain itu internet juga
disebut cyberspace lantaran memiliki jaringan komunikasi ibarat di dunia maya.

Sebagai temuan Iptek, internet telah membuat dunia informasi kian menemukan jalannya
sebagai produk bisnis karena memang memiliki banyak keunggulan, terutama dari segi
efisiensi biaya dan efektivitas penyampaian pesan yang cepat, serta dapat menembus
ruang sekaligus waktu. Dalam hal inilah internet menemukan kelebihannya sebagai
media anti-sensor.

Bagi para penganjur kemerdekaan pers, internet sepertinya merupakan jawaban tepat
untuk menekan kerisauannya. "Internet, membawa dampak bagi dunia kewartawanan,
setidaknya dalam proses pencarian, pembuatan dan publikasi berita. Sekarang ini,
internet berada kira-kira pada tingkat perkembangan telepon di tahun 1890-an," tulis
Randy Reddick dan Elliot King dalam Online-Journalist: Using Internet and Other
Electronic Resources (1995).

Sambungan ke internet belum untuk semua orang. Menjalankan internet tidaklah mudah.
Dewasa ini hanya sejumlah wartawan tertentu saja yang memanfaatkannya." Meski
begitu, tambah mereka, dalam bentuknya yang sekarang pun, internet sangat berguna
karena wartawan dapat melaksanakan tugas utamanya mengumpulkan dan
menyampaikan informasi pada khalayak ramai secara lebih mendalam dan efisien.

Bukan pendapat baru, sebenarnya. Di awal 1990-an, ungkapan Reddick dan King telah
berada di dataran praksis, menyusul keluarnya penugasan serius Rupert Murdoch kepada
para redaktur dan wartawannya untuk segera menguasai fasilitas apa saja yang ada di
internet--terutama email dan world wide web (www), yang memungkinkan media massa
menerima dan mengirimkan berita secara cepat, murah, dan dapat dipromosikan kepada
khalayak tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Sejalan dengan kecenderungan-kecenderungan tersebut para wartawan jelas-jelas tidak


hanya diminta sekadar mencari, membuat dan mempublikasikan beritanya. Lebih jauh
lagi, wartawan dituntut untuk menguasai internet sedalam-dalamnya demi menghadapi
lingkungan yang makin kompetitif itu.

Wartawan yang terbiasa dengan internet, akan terbiasa mencari, melacak, menegaskan
(konfirmasi), mencari kejelasan (klarifikasi), mengirimkan berita, sampai dengan
mempublikasikan beritanya lewat internet. Mereka inilah yang kemudian disebut
cybernetic-journalist.

Dua situs tersebut lahir ketika para aktivis kemerdekaan pers sedang berada dalam masa
heroisme di tengah-tengah momentum perjuangan untuk memberantas segala bentuk
sensor dari negara (freedom from). Ibarat para pejuang yang dibubarkan kesatuannya-
menyusil tragedi hitam Pembredelan 1996 yang memakan korban Tempo, Detik dan
Editor-para jurnalis dari media-media yang dibredel itu bergerak seperti siluman; menjadi
cyber-journalist.

Perjuangan yang mereka gencarkan membawa perubahan baru pada pemahaman, bahwa
jurnalisme bisa tumbuh di mana saja. Juga di internet. Dan ini tak perlu perizinan macam-
macam. Tak perlu pula menyia-nyiakan diri untuk menghamba pada kekuasaan-yang
memang sudah kehilangan pesonanya saat itu.

Kegairahan mereka tentu saja membawa dampak lain yang tak kurang pentingnya, yakni
membiakkan users (pengguna), terutama kalangan kelas menengah perguruan tinggi. Para
pelaku bisnis melihat kecenderungan ini. Wajar apabila pertumbuhan pertumbuhan situs
berita di Indonesia menunjukkan kecenderungan pasang naik.

Memang, dibanding situs lain-yang jika ditotal-jenderalkan sekurang-kurangnya memiliki


8.000 sampai 10.000 ribu situs-persentase situs berita memang masih rendah. Namun
demikian, situs yang disebut terakhir telah turut memperkeras justifikasi, bahwa kegiatan
jurnalistik lewat internet adalah hal lumrah. Juga sah.

Dan ini yang lebih penting: suratkabar elektronis, atau sebut saja media online, telah
memberikan warna spesifik dalam format pemberitaan di Indonesia. Ia menjawab
kesadaran baru di kalangan para pengambil keputusan, bahwa dalam dunia yang semakin
tanpa batas dan bergerak cepat, kebutuhan informasi harus direduksi dalam hitungan
menit, bahkan detik.

Seorang pengambil keputusan yang tidak ingin ketinggalan kereta, tidak boleh
menyandarkan hidupnya pada sekadar menunggu siaran berita televisi siang atau koran
esok harinya. Harus ada alternatif lain sebagai sarana eskapis untuk melepaskan diri dari
himpitan kebutuhan informasi, agar dunia dapat terus dipantau, yang kalau perlu, berita
cecak jatuh pun dapat diketahui. Situs berita semacam detikcom tampaknya memenuhi
kriteria ini.

Semula, detikcom-didirikan 1 Juli 1998 oleh Budiono (eks wartawan DeTik) bersama
Abdul Rahman (mantan wartawan Tempo), Yayan Sopyan (eks wartawan DeTik), dan
Didi Nugraha-terfokus pada berita politik dan ekonomi. Baru setelah situasi politik mulai
reda dan ekonomi mulai membaik, detikcom memutuskan untuk juga melampirkan berita
hiburan, olahraga dan teknologi informasi.

"Sebuah media online harus di-set up sendiri mulai dari karakter wartawan maupun
organisasinya yang lebih ringkas," tutur Budiono mengisahkan tentang awal detikcom.

Dari situlah kemudian tercetus keinginan membentuk detikcom yang update-nya tidak
lagi menggunakan karakteristik media cetak yang harian, mingguan, bulanan. Yang dijual
detikcom adalah breaking news. Dengan bertumpu pada vivid description macam ini
detikcom melesat sebagai situs informasi digital paling populer di kalangan users
internet.

Lihat saja, jika pada Juli 1998 situs detikcom per harinya menerima 30.000 hits (ukuran
jumlah pengunjung ke sebuah situs) dengan sekitar 2.500 users (pelanggan Internet),
sembilan bulan kemudian, Maret 1999, hits per harinya tujuh kali lipat. Tepatnya rata-
rata 214.000 hits per hari atau 6.420.000 hits per bulan dengan 32.000 users. Pada bulan
Juni 1999, angka itu naik lagi menjadi 536.000 hits per hari dengan users mencapai
40.000. Terakhir, hits detikcom mencapai 2,5 juta lebih per harinya.

Sekiranya hits tidak berarti apa-apa, detikcom masih memiliki alat ukur lainnya yang
sampai sejauh ini disepakati sebagai ukuran yang mendekati seberapa besar potensi yang
dimiliki sebuah situs. Ukuran itu adalah page view (jumlah halaman yang diakses). Page
view detikcom disebut-sebut mampu mencapai di atas 400.000 per harinya, dengan
jumlah users 69.000. Jika satu account digunakan lima orang, berarti lebih dari 300.000
orang mengakses internet setiap hari.

Takdir detikcom yang tak diduga-diduga ini mengundang perhatian pengusaha kelas
kakap untuk menanamkan modalnya di situ. Seperti mendapat komando yang sama,
situs-situs berita serupa detikcom berdiri, dengan mencoba memberi imej tersendiri pada
brand-nya.

Kalau banyak pengusaha kakap terkesan bersemangat masuk ke dunia cyber-journalism,


tentu ada latarnya. Yakni, pengguna internet cenderung terus berkembang dengan pesat.
Memang, tidak mudah juga mengabsen berapa pengguna yang sebenarnya. Namun,
pertumbuhan web belakangan ini tampaknya dapat memberi perkiraan kasar mengenai
terus bertambahnya para pengguna internet terus bertambah.

Lihat saja, bila pada tahun 1994, web masih berkisar 500 - 600 an, pada 1995 jumlahnya
sudah mencapai 5.000, dan di tahun 2000 jumlahnya kembali membengkak hingga
mencapai 30.000 web.

Dari berbagai data yang ada, dapat ditarik suatu perkiraan bahwa saat ini, tahun 2000, ada
sekitar 200 juta lebih pengguna internet di permukaan bumi ini. Ini pasar yang bagus dan
menjanjikan bagi para pemain multimedia. Ada kemungkinan, besar pangsa pasar
internet akan semakin besar pada tahun-tahun selanjutnya. Pada 1999 saja, pasar internet
menyimpan potensi 2,8 miliar, yang pada lima atau sepuluh tahun ke depan bisa berlipat
sebanyak ratusan kali lipat.

Dihadapkan pada angka-angka tersebut, situs berita memiliki masa depan yang sama
dengan situs-situs lainnya. Bahkan, CEO Microsoft, Bill Gates dalam acara Forum
Ekonomi Dunia (World Economic Forum) dua tahun lalu, memprediksikan, "Tahun 2000
akan ditandai dengan berakhirnya penerbitan suratkabar dan majalah."

Industri media cetak perlu terus-menerus melakukan perubahan-perubahan mendasar


dalam arus pemberitaan serta struktur newsroom yang ada sekarang ini. Ini karena, cyber-
journalism yang berkembang pesat dapat diposisikan sebagai pesaing utama, sekaligus
agen perubahan menuju ke kebebasan ekonomi serta pencerahan demokrasi.

Kemudahan Akses

Gerak naik industri media massa internet ditopang oleh kemudahan-kemudahan yang
secara demonstratif diperlihatkan oleh kapitalis-kapitalis besar. Kemudahan dalam
mengakses internet, misalnya.

Mereka bahkan memberikan insentif buat pelanggan yang berhasil mengajak rekannya
untuk bergabung. Sebuah ISP baru, The Net, juga menawarkan biaya yang lebih murah,
hanya 200 ribu per tahun! Syaratnya, harus menjadi anggota The Connection, sebuah
layanan belanja via Internet yang bekerja sama dengan mereka.

Apa arti dari semua itu? Jelas, pengguna internet akan lebih berkembang secara lebih
gigantis lagi. Dengan sendirinya, prospek bisnis media online dapat lebih meningkat lagi.
Lebih-lebih dalam satu dekade terakhir ini perkembangan teknologi terus bergerak secara
akseleratif, dan memberikan determinasi-determinasi penting pada berbagai perubahan
multilevel.

Perkembangan ini juga yang memungkinkan detikcom, sekadar untuk menyebut contoh
lagi, dapat menyegarkan kembali slogannya, "Detik ini Juga." Bertumpu pada apa yang
disebut teknologi portal, detikcom dimungkinkan dapat memberikan jalan luas bagi users
untuk melakukan search engine ke luar dan ke dalam. Saya pikir, dalam satu atau dua
tahun ini, portal akan menjadi trend setter di kalangan cyber-journalist yang tidak ingin
beritanya hanya menjadi pengisi gudang data.

Pendeknya, situs-situs web tidak hanya dimungkinkan dapat menyajikan berita-berita


terkini, tetapi juga memberi kelengkapan latar belakang dan korelasi dengan berita
lainnya. Menu-menu lain, untuk melengkapi kebutuhan digital pengguna internet, juga
dapat disajikan secara komplementer.

Walhasil, dengan mengubah diri menjadi portal, users tidak usah membuang waktu
terlampau banyak di jalanan maya. Yang diperlukan users adalah kecepatan membaca
dan ketangkasan mengambil keputusan untuk berpindah dari satu halaman ke halaman
lain.

Kepercayaan Publik

Dukungan teknologi, seperti disebut di muka, telah memungkinkan bagi siapa pun untuk
tidak canggung ikut meleburkan diri ke dalam jurnalisme internet. Satu hal yang pantas
mendapat perhatian kita, bahwa internet hanyalah medium, tempat jurnalisme disemaikan
dan diberi arti. Sementara, kita tahu, jurnalistik tidak hanya melulu berurusan dengan
channel saja.

Bertumpu pada paradigma bulukan dari Laswell saja, kita segera tahu, bahwa jurnalistik
sekurang-kurangnya melibat sejumlah elemen dasar: who says what in which channel and
with what effect. Tentu saja, jurnalistik sebagai sebuah kegiatan berkomunikasi, akan
melibatkan setidak-tidaknya masalah kredibilitas sumber, pesan serta efek yang
ditimbulkan, selain masalah media itu sendiri.

Artinya, sebagus apapun perkembangan teknologi internet, secepat apapun berita


dilarikan ke publik, masa depan cyber-journalism tetap akan bergantung pada kredibilitas
tadi. Dengan kata lain, seperti juga `jurnalisme tradisional` yang tercetak di atas
lembaran-lembaran kertas, sekali cyber-journalism menghamba pada kesembronoan dan
mengabaikan akurasi dalam beritanya, publik akan mengambil sikap resisten.

Menarik apa yang dikemukakan Rene L Pattiradjawane, seorang pengamat kritis internet,
yang mengemukakan bahwa untuk menjadikan situs berita sering dikunjungi oleh para
pengguna internet, ia harus memiliki kepercayaan dan kredibilitas yang setara seperti,
misalnya, media suratkabar. Karenanya, Rene berani mengatakan, tanpa tenaga terlatih
dalam jurnalistik, perusahaan-perusahaan situs web berita akan mendapatkan persoalan-
persoalan di kemudian hari.

Itu mudah dipahami. Dalam internet, siapa pun dapat menjadi penyedia informasi. Tanpa
penyaringan, tanpa tenaga terlatih dalam jurnalistik, sebuah situs berita akan dapat
merosot perannya menjadi bak sampah, tempat bergosip, bahkan menjadi sarana eskapis
tanpa batas untuk menyerang kehormatan individu atau pihak-pihak tertentu.

Padahal, jurnalisme adalah sebuah sikap dan keyakinan untuk hidup dalam proses
jurnalistik. Jurnalisme mengabdi secara penuh kepada humanisme, nilai-nilai
kemanusiaan.

Sekiranya jurnalisme dituangkan ke dalam sebuah konsep, maka pastilah konsep itu tidak
berbasis material kepentingan sesaat, penca-paian keuntungan dan ekstrapolasi nafsu
terendah individu, melainkan pada tanggung jawab sosial, integri-tas intelektual,
kebebasan dan demokrasi. Jurnalisme adalah sikap hidup untuk memanusiakan manusia.

Maka, dengan segala hormat, cyber-journalism mau tak mau harus tunduk kepada suatu
pelembagaan prinsip-prinsip norma etis yang memberikan batasan-batasan minimum bagi
wartawan dalam menjalani profesinya; melakukan hak dan kewajibannya. Tanpa
membekali diri dengan kode etik, saya tidak pernah yakin martabat dan integritas seorang
wartawan bisa dipertahankan.

Martabat dan integritas wartawan adalah penentu kredibilitas, dan kredibilitas diyakini
menjadi penentu apakah cyber-journalism layak terus hidup atau masuk ke liang kubur
membawa segala kesaktian yang dimilikinya?

Bagi sebuah media, meminjam ucapan Goenawan Mohamad, kepercayaan publik adalah
modal terbesar. Perannya, jauh di atas uang dan aset-aset tangible lainnya. Tanpa itu, sulit
bagi media untuk membangun komunitasnya, kering iklan, kehilangan kesaktiannya, dan
akhirnya habis. Saya tidak pernah berharap, determinan-determinan dramatis harus
berakhir dengan peristiwa-peristiwa tragis. [555]

Media Cetak Terancam "Cyber" Media

Jakarta, Kompas
Media cetak yang dianggap media tradisional dalam sepuluh tahun mendatang terancam
dengan perkembangan cyber media. Paling tidak itulah yang saat ini terjadi pada media di
Amerika. Meski kebutuhan akan informasi terus meningkat, namun keinginan untuk
membaca media tradisional cenderung menurun.
Hal ini dikemukakan Prof Brian Brooks, Editorial Department Missouri School of
Journalism dari University Missouri, dalam Workshop Media Management and Media
Technology yang diselenggarakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI),
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), bekerja sama
dengan Kedutaan Besar Amerika dan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Jakarta,
Selasa (21/3).
Workshop yang dibuka ketua umum SPS Jakob Oetama itu juga menampilkan pembicara
Pacific Editor Stars & Stripes, Lee Ewing, yang membawakan topik Managing to Survive
and Strategic Planning dan panelis Makfuddin Wiraatmadja dari MPPI, Kemala Atmojo
dari Majalah GAMMA, Arnold Seitlin dari Freedom Forum dan Lin Neumann dari
Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) dengan topik Management Issues.
Jakob Oetama ketika membuka workshop mengatakan, saat ini ada tugas besar yang
dihadapi dunia usaha penerbitan dengan keterbatasan kapasitas yang dimilikinya. Tugas
itu berkaitan dengan peran media dalam demokrasi dan bagaimana dunia media dapat
bertahan menghadapi perkembangan teknologi.
"Satu-satunya yang bisa dikerjakan adalah membentuk kerja sama tim yang solid dan
mau terus belajar. Kita harus sadar terhadap kemajuan teknologi informasi saat ini, dan
harus mau belajar lagi dengan membuka pikiran dan mau terjun ke lapangan," kata Jakob.
Masih menurut Jakob, media bukan sekadar bagaimana memproduksi suatu berita, tetapi
juga berkaitan dengan marketing, manajemen finansial dan kepercayaan dari masyarakat
yang menjadi pembacanya. "Oleh karenanya kita harus dapat membuka diri terhadap
kritik dari masyarakat," ujarnya.
Tiga hal
Menghadapi trend media di tahun-tahun mendatang, Brooks mengatakan, saat ini ada tiga
hal penting yang harus diperhatikan dunia usaha pers, yaitu manajemen, teknologi dan
anggaran. Tanpa itu, media tradisional akan ditinggalkan pembacanya.
Manajemen meliputi kemampuan manajerial yang dimiliki seorang manajer dan
bagaimana menerapkan model kepemimpinan yang tetap. "Seorang pemimpin harus
mempunyai visi, mampu menjelaskan pada stafnya mengapa visi yang dimilikinya itu
penting sehingga bisa mengajak stafnya untuk mencapai tujuan bersama," katanya.
Menurut Brooks, perkembangan teknologi terutama di bidang informasi penting untuk
selalu diikuti dunia pers. Akan tetapi ia mengingatkan agar penggunaan teknologi itu
harus bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, paling tidak bisa meningkatkan kinerja
operasional internal.
Kehati-hatian dalam perhitungan penggunaan teknologi ini berkaitan dengan dana yang
tersedia. "Jangan sampai dana yang dikeluarkan untuk teknologi ini tidak bisa
dimanfaatkan secara maksimal," katanya.
Namun menurut Brooks, hal terpenting harus dicermati dari perkembangan teknologi
informasi ini adalah bagaimana pengaruh teknologi tersebut terhadap cara orang
mengkonsumsi berita. Dengan mengetahui pengaruh teknologi ini, media bisa
memposisikan diri sesuai dengan kebutuhan konsumennya.
Sedangkan di sisi lain, Lee Ewing mengemukakan, perkembangan internet sekarang ini
telah mempengaruhi cara penggunaan waktu pembaca media tradisional. "Anak-anak
muda di Amerika lebih tertarik dengan berita yang sudah dikemas sebagai komoditi
dalam bentuk hiburan yang menarik. Waktu mereka pun lebih banyak dihabiskan di
depan komputer daripada membaca koran," katanya.
Mencermati perkembangan seperti ini, para jurnalis di Indonesia harus bisa
mempersiapkan diri terhadap perkembangan teknologi informasi. Baik Brooks maupun
Lee yakin, perkembangan media di Indonesia tidak akan terlepas dari teknologi informasi
yang memanfaatkan cyber media.
"Bisa saja perkembangan media di Indonesia berbeda dengan perkembangan di Amerika,
namun tahun-tahun mendatang Indonesia akan diramaikan dengan jurnalis yang
memanfaatkan teknologi informasi di cyber media," kata Brooks. (mam)

Anda mungkin juga menyukai