Anda di halaman 1dari 3

Orang Islam Harus Kuat dan Pemberani

ُ ‫ك َشيْ ٌء َفالَ َتقُ ْل لَ ْو َأ ِّنى َف َع ْل‬


‫ت‬ َ ‫ك َواسْ َتعِنْ ِباهَّلل ِ َوالَ َتعْ ِج ْز َوِإنْ َأ‬
َ ‫صا َب‬ َ ‫ضعِيفِ َوفِى ُك ٍّل َخ ْي ٌر احْ ِرصْ َعلَى َما َي ْن َف ُع‬ ِ ‫ْالمُْؤ مِنُ ْال َق ِوىُّ َخ ْي ٌر َوَأ َحبُّ ِإلَى هَّللا ِ م َِن ْالمُْؤ م‬
َّ ‫ِن ال‬
َ َّ ْ َ ‫هَّللا‬ ُ َ َ
ِ ‫ َولكِنْ ق ْل َق َد ُر ِ َو َما َشا َء َف َع َل َفِإنَّ ل ْو َتف َت ُح َع َم َل الشيْط‬.‫ان َكذا َو َكذا‬
‫ان‬ َ َ ‫َك‬
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap
memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau
lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan
demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti
terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan.” Hr. Muslim no. 2664.

Apakah ada di antara sahabat Nabi Shollallahu ‘alayhi wa sallam yang tak pandai berperang? Carilah di antara mereka,
mana yang tak bisa menunggang kuda, memanah, atau bermain pedang ?

Secara umum, hampir seluruh sahabat Nabi Muhammad Shollallahu ‘alayhi wasallam mempunyai keahlian tersebut.
Memang merekalah orang yang sibuk beribadah, belajar Alquran, dan mengkaji hadis-hadis Nabi Shollallahu ‘alayhi
wasallam. Namun di sisi lain, mereka adalah orang-orang kuat.

Kuat dalam artian bukan hanya kuat iman. Definisi kuat dalam hadis ini mencakup kekuatan fisik, finansial, ekonomi,
politik, serta mental dan emosional.

‫ب‬
ِ ‫الغَض‬
َ ُ ِ‫ ِإ َّن َما ال َّشدِي ُد الَّذِي َيمْ ل‬،ِ‫ْس ال َّشدِي ُد ِبالصُّرْ َعة‬
‫ك َن ْف َس ُه عِ ْن َد‬ َ ِ ‫ َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬،ُ‫َعنْ َأ ِبي ه َُري َْر َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْنه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل لَي‬
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Orang yang kuat bukanlah
yang selalu menang dalam bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.”

Walau fisik mereka dihabiskan untuk beribadah, tapi semua mereka akan terjun ke medan perang ketika panggilan
jihad ditabuh.

Perihal tentang kekuatan, maka hal tersebut tidak akan jauh dari yang namanya keberanian, perihal keberanian maka
keberanian itu sendiri adalah termasuk kedalam pembahasan emosional dan mental. Allah berfirman

‫ك ِا َّن َما َي ْخ َشى هّٰللا َ مِنْ عِ َبا ِد ِه ْال ُعلَ ٰۤمُؤ ۗا اِنَّ هّٰللا َ َع ِز ْي ٌز َغفُ ْو ٌر‬
َ ۗ ِ‫اس َوالد ََّو ۤابِّ َوااْل َ ْن َع ِام م ُْخ َتلِفٌ اَ ْل َوا ُن ٗه َك ٰذل‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬
“Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para
ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)

Pada ayat tersebut Allah mendahului kata takut dari pada ulama (orang yang memiliki ilmu). Takut itu termasuk
kedalam mentalitas manusia, maka yang dimaksud oleh ayat ini ialah Ulama itu adalah manusia yang memiliki mental !
bukan penakut ! dia pemberani !

Tidak akan berguna ilmu seseorang bila ia tidak memiliki mental, sia sia seluruh ilmunya bila ia takut terhadap
kezaliman, takut kepada kejahatan dan takut kepada marabahaya.
Takut seseorang adalah esensi dari ilmu yang ia miliki, orang yang benar benar berilmu maka ia akan hanya benar
benar takut kepada Allah. Ilmu yang benar menghasilkan keyakinan, Ilmu yang benar berkonsekuensi melahirkan
ketakutan kepada Robbul izzati jalla wa ‘ala.

Namun sebaliknya bila ia terlihat memiliki ilmu agama, menguasai ilmu tafsir, hadits, ushul fiqih, nahwu shorof serta
seluruh cabang cabang ilmu, tapi ia takut terhadap dan menghadapi pemimpin zalim, tekanan, serta ancaman. Maka
sejatinya ia bukanlah Ulama. Cukuplah seseorang dikatakan ulama bila ia memiliki mental dan keberanian. (terutama
menghadapi kezaliman).

Al-Bazzar meriwayatkan, suatu hari Ali bin Abi Thalib berkhutbah, “Hai kaum muslim, siapakah orang yang paling
berani?” Jawab mereka, “Orang yang paling berani adalah engkau sendiri, hai Amirul Mukminin.” Kata Ali, “Orang yang
paling berani, bukan aku, tetapi Abu Bakar. Ketika kami membuatkan Nabi gubuk di Badar, kami tanyakan siapakah
yang berani menemani Rasulullah Shollallahu ‘alayhi wasalam. dalam gubuk itu, dan menjaganya dari serangan kaum
Musyrik? Di saat itu, tiada seorang pun yang bersedia, kecuali Abu Bakar sendiri. Di waktu yang lain, aku menyaksikan
Nabi dihalau orang musyrik, dan menyakiti beliau, seraya berkata, “Apakah kamu menjadikan beberapa tuhan menjadi
satu tuhan?” Di saat itu, tidak ada yang berani membela Nabi, selain Abu Bakar, dan memukul mereka sambil berkata,
“Apakah kamu hendak membunuh orang yang bertuhankan Allah?” Kemudian Ali berkata, “Adakah orang beriman dari
kaum Firaun yang lebih baik dari Abu Bakar?” Semua jamaah diam saja. Jawab Ali selanjutnya, “Abu Bakar lebih baik
dibanding mereka, walaupun mereka memiliki sepuluh dunia, karena orang beriman dari kaum Firaun
menyembunyikan imannya, sedang Abu Bakar menyiarkan imannya.”

Dari cerita diatas kita dapati orang yang berani adalah orang yang siap mati / orang yang siap berkorban. Kita tidak
akan dapati keberanian dalam orang yang masih terlena dengan kenikmatan dan kemewahan duniawi sekalipun ia
digelari ulama.

Menurut Buya Hamka, keberanian yang dalam bahasa Arab disebut “Syaja’ah” itu terbagi dalam dua kategori, yaitu
keberanian semangat dan keberanian budi.

Berani yang dituntut agama (Islam) adalah berani yang berkonotasi positif, yakni berani membela kebenaran

Keberanian semangat ini ada pada diri serdadu menghadapi musuh di medan perang. “Walau bagaimana pun hebatnya
persenjataan lawan, dia akan terus maju, dan maju terus, tidak kenal mundur,” tulisnya (halaman 246).

Sedangkan keberanian budi ialah keberanian menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya, walaupun
akan dibenci orang. Menurut Buya Hamka, inilah yang dalam Islam dikenal dengan “amar bil ma’ruf, nahyi anil
munkar,” menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat jahat.

Namun, sifat berani itu akan sulit hadir dalam diri seorang Muslim manakala dirinya sendiri belum mampu ditundukkan
(jihad melawan nafsu sendiri) atas kebenaran Islam.

Sayyid Qutb dalam bukunya Ma’alim fi ath-Thariqi menyatakan bahwa tidak mungkin seorang Muslim akan memiliki
keberanian (berjihad) manakala ia sendiri belum menceburkan diri dalam jihad akbar, yakni melawan setan di dalam
dirinya sendiri dengan menepis hawa nafsu dan syahwatnya, ketamakan dan ambisi-ambisinya, kepentingan-
kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.

Selama dihati seseorang masing menginginkan kenikmatan dan kemewahan dunia, makai ia tidak akan memiliki
keberanian untuk menegakkan agamanya, serta jiwanya kehilangan nyali untuk berbuat lebih besar.

Maka keberanian itu dimulai dari jihad terhadap diri sendiri (menaklukkan hawa nafsu) dan yang paling tinggi adalah
mengatakan kebenaran dihadapan penguasa zalim.

‫اِئر‬
ٍ ‫ان َج‬ َ ‫َأ ْف‬
ٍ ‫ض ُل ْال ِج َها ِد َك ِل َم ُة َع ْد ٍل عِ ْن َد س ُْل َط‬

Sebaik baik Jihad (yang paling utama) ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang
zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011)

Anda mungkin juga menyukai