ي لَهُ .أَ حش َه ُد أَ حن الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َو حح َدهُ الَ ِ ض َّل لَه ومن ي ح ِ
من ي حه ِدهِ هللا فَالَ م ِ
ضللحه ُُ فَالَ َهاد َ ُ ََ ح ُ ُ ُ َح َ
ك لَهُ َوأَ حش َه ُد أ َّ
َن ُُمَ َّم ًدا َع حب ُدهُ َوَر ُس حولُهُ. َش ِريح َ
الر ِج حي ِمََ .ي أَيُّهاَ الَّ ِذيح َن ءَ َامنُوا اتَّ ُقوا هللاَ َح َّق تُ َقاتِ ِه هلل ِم َن َّ
الش حيطَ ِ
ان َّ اما بع د قال هللا تعاَل :اَعُوذُ ِِب ِ
ح
Memanjatkan puji syukur kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad
saw merupakan kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap khatib dalam
khutbahnya. Selain itu khatib juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan
momentum khutbah Jum‟at kali ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk
senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah dan menyampaikan shalawat pada
semangat lagi menjalankan segala perintah Allah dan sekuat tenaga meninggalkan
segala yang dilarang oleh-Nya. Dengan upaya inilah, kita akan mampu terus berada
pada jalur yang telah ditentukan oleh agama sehingga tidak melenceng dan tersesat
ke jalan yang tidak benar. Mengawali tahun baru 2023 khotib mengajak belajar
nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sederhana: diri sendiri adalah
hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas
bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Imam al-Ghazali juga mengutip hadits
Rasulullah “man „arafa nafsah faqad „arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya,
َش حي ٍء َش ِه حيد
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan
di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah
benar.”
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar
seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita,
atau sejenisnya.
Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status
sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain. Lebih dalam dari itu semua, yang
Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini,
Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita
dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks. Butuh
mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu kita resapi sehingga
menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: (1) sifat-sifat binatang
(shifâtul bahâ‟im), (2) sifat-sifat setan (shifâtusy syayâthîn), (3) sifat-sifat malaikat
(shifâtul malâikah).
Pertama; Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah
makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan manusia.
Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya. Manusia pun
yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat alamiah dan dalam
selalu mengobarkan keja¬hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang
hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan dirinya
sendiri atau paling banter untuk keluarganya. Sedangkan kebahagiaan setan adalah
yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana
Keduanya penting untuk kehidupan manusia. Dengan syahwat manusia tahu akan
kebutuhan makan, misalnya; dengan amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri
ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah
Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk
seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan
kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan
semena- mena.
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalb). Akal memang
memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila
ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu
daya atau semacamnya sangat mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang
pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal
bertolak belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya
perjuangan keras dalam olah rohani (mujâhadah) demi proses pembersihan jiwa
atau tazkiyatun nafs. Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang
member petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya. Fiman Allah
SWT;
َّࣖيِ
ن ِ
س ح حم
ل ا ع مَل ٰ
اّلِل َّ
ن ِوالَّ ِذين جاه ُدوا فِي نا لَن ه ِدي نَّهم سب لَن ُّۗا وا
ََ ح َ َ َ ح حَ َ ح َ ُ ح ُُ َ َ َ َ َ ُ ح ح
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-
Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri
الر ِح حيم
َّ
Khutbah II
.ثْيا ِ ِ ِ ِ ِ الله َّم ص ِل َعلَى سيِ ِد ََن ُُمَ َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه واَ ح
ً ص َحابه َو َسل حم تَ حسل حي ًما ك ح َ َ َ ُ
Mengetahui cara mengenali diri sendiri sebelum mengenal Allah SWT adalah satu hal
yang krusial. Mengenal diri sendiri tak semudah yang dibayangkan. Sejatinya, yang
paling mengenal diri manusia adalah Allah SWT
Oleh karena itu, sebagai seorang hamba Anda diharuskan untuk memohon kepada
Allah SWT agar dimudahkan dalam proses pengenalan diri sendiri terlebih dahulu.
Tak heran ada ungkapan yang berbunyi, "usaha mengenal Allah adalah dengan cara
mengenal diri sendiri."
Jamaah Jum’ah rahimakumullaah.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa cara mengenal Allah SWT adalah dengan
mengenali diri sendiri terlebih dahulu. cara nengenali diri sendiri bisa terjadi dengan
sederhana, bisa dahsyat, bisa dramatis, bisa pula romantis. Dan yang paling mengenal
diri kita adalah sang Pencipta.
Untuk itu, sebaiknya kita sebagai hamba memohon kepada Allah SWT agar
dimudahkan dalam proses pengenalan diri sendiri. Mohonlah kepada Allah agar
masing-masing kita dikenalkan siapa diri ini menurut Dia bukan menurut kita. Agar
kita sebagai manusia mengenalNya menurut kehendak-Nya.
Semoga kita mampu mengenali diri kita sendiri dan menjadikannya sebagai modal
guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas ketaatan, sehingga tidak menjadi orang
yang merugi, apalagi celaka.
صلُّ حوا َعلَ حي ِه َو َسلِ ُم حوا تَ حسلِ حي ًما ِ ِاِ َّن هللا ومآل ئ
َ لى النَِِّب آي اَيُّ َها الَّذيح َن
َ آمنُ حوا َ ع
َ ن
َ و
ح ُّصل
َ ي
ُ ه
ُ ت
َ ك
َ ََ َ
له َّم اَ ِع َّز ات اَالَ ححيآء ِمنح ُهم واحالَ حمو ِ
ات ال ُ ُ ح َ َ
َّي واحملُسلِم ِ ِِ ِ ِ
َّي َواحملُحؤمنَات َواحملُ حسلم ح َ َ ح َ
ِ ِ ِ
لله َّم اغحف حر لل ُحم حؤمنِ ح َ
اَ ُ
اد َك احملُو ِح ِديَّةَ وانحصر من نَصر ِ
الديح َن الشر َك واحملُ حش ِركِ حَّي وانح ِ
اح ِالسالَم واحملُسلِ ِم ح ِ َّ ِ
َ ُح َ ح ََ ص حر عبَ َ َ َ َ ُ َّي َوأَذل ح َ ح ََ ح َ
ك اِ ََل ي وم ِ ِ ِ ِ ِ ِ
الديح ِن َوا حخ ُذ حل َم حن َخ َذ َل احملُ حسل ِم ح َ
َّي َو َدم حر اَ حع َداءَالديح ِن َوا حع ِل َكل َمات َ َ ح َ
سنَةً َوِِف ربَّنَا ظَلَمنَا اَنح ُفسنَاواِ حن ََل تَ غح ِفر لَنَا و َتَت َْححنَا لَنَ ُكونَ َّن ِمن احخلَ ِ
اس ِريح َنَ .ربَّنَا آتِناَ ِِف ُّ
الدنح يَا َح َ ح َ َ َ ح ح َ ح ح َ
اب النَّار ِ ِ ِ
سنَةً َوقنَا َع َذ َ احآلخ َرة َح َ
تآء ِذى احل ُقرِب وي حن هى عع ِن احل َفح ِ
ان وإِي ِ ِعب ِ ِ
شآء َواحملُحن َك ِر ح ح َ ََ َ َ سِ َح ِ ِ
ادهللا !ا َّن هللاَ ََي ُحم ُرََن ِِبحل َع حدل َواحال حح َ
ََ
لى نِ َع ِم ِه يَ ِز حد ُك حم َولَ ِذ حك ُر واحلب غحي يعِظُ ُكم لَعلَّ ُكم تَ َذ َّكرو َن واذح ُكر َ ِ
واهلل اح َلعظ حي َم يَ حذ ُك حرُك حم َوا حش ُك ُرحوهُ َع َ َ َ َ ح َ ح ُح َ ُ
ِ
هللا اَ حك َ حب