Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya akan terjadi wabah yang berdampak pada setiap sisi
kehidupan kita. Interaksi sosial sebagian besar dilakukan secara virtual. Pandemi ini telah memunculkan
kebiasan-kebiasaan baru yang melompati apa yang biasanya kita lakukan. Banyak hal yang dulu dengan
leluasa kita lakukan, saat ini sudah tidak dapat lagi kita lakukan. Sebentar lagi kita akan menyambut Hari
Raya Idul Fitri 1441 H dengan suasana yang berbeda. Biasanya pada hari-hari ini, pasar dan pusat
perbelanjaan penuh sesak orang berbelanja menyambut lebaran. Layar kaca kita dihiasi dengan berita-
berita kepadatan arus mudik. Itu dulu dan menjadi bagian cerita kita, saat ini sungguh berbeda.
Selamat datang “kehidupan baru” dan mau tidak mau kita dipaksa untuk beradaptasi dengan kebiasaan-
kebiasaan baru yang bisa jadi merupakan norma baru dalam kehidupan kita. Paling tidak sampai dengan
vaksin virus corona ditemukan. Bekerja, belajar,dan beribadah dilakukan di rumah. Kita mulai terbiasa
mencuci tangan pada saat akan memasuki kantor atau pertokoan, yang sebagian besar telah menyediakan
perlengkapannya berikut cek suhu tubuh. Pembatasan jarak saat berinteraksi dengan sesama. Penggunaan
masker menjadi hal yang wajib kita lakukan apabila akan keluar rumah. Virus ini telah mendorong kita
untuk lebih peduli dengan kebersihan dan memaksa kita untuk mematuhi protokol kesehatan demi
mencegah penyebarannya.
Hal ini menunjukkan bahwa virus covid 19 telah mengubah cara hidup kita dan pertanyaan kapan vaksin
akan ditemukan, hingga saat ini belum ada jawaban dan kepastiannya. Kita tentu tidak akan menunggu
vaksin ditemukan untuk dapat beraktivitas kembali. Menarik kata-kata motivasi William Arthurd
Word, “Orang yang pesimistis komplain tentang angin, seorang yang optimis berharap angin untuk
berubah, seorang realistis menyesuaikan layar.” Kita tentu menginginkan vaksin segera ditemukan agar
kita dapat hidup normal lagi walaupun tidak akan sama dengan hidup kita sebelum virus ini muncul.
Selama vaksin belum ditemukan kita dapat menyesuaikan layar kehidupan kita untuk mencapai tujuan.
Inilah momentum kita untuk beradaptasi dengan cara hidup baru sehingga dapat melewati pandemi yang
telah menyebar secara global. Perubahan hidup memang menyakitkan dan seringkali membuat kita tidak
nyaman karena perubahan ini berjalan dengan cepat dan mengagetkan. Namun masalah ini tentu harus kita
sikapi dengan sabar, terus belajar, berpikir positif dan beradaptasi dengan perubahan. Kita terpilih untuk
melalui episode hidup ini.
Perubahan Perilaku
Dunia memang mengalami goncangan dan risiko ketidakpastian semakin besar. Cara mensikapi akan
menjadi perhatian agar kita tetap bertahan di masa pandemi sehingga akan memunculkan perilaku dan
kebiasaan baru. Belajar dan bekerja dilakukan dirumah sehingga interaksi dilakukan melalui zoom. Kita
tidak pernah membayangkan hari-hari dilalui dengan interaksi secara virtual. Anak-anak melakukan belajar
secara online, dan mungkin mereka sudah kangen dapat bermain bersama dengan teman-temannya. Kita
sekarang begitu familiar dan dipaksa untuk beradaptasi dengan rapat-rapat atau pelatihan yang dilakukan
melalui zoom. Bisa jadi hal ini akan memunculkan generasi virtual.
Kita memahami saat ini untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar dilakukan melalui pemesanan secara
online. Dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus maka transaksi-
transaksi yang kita lakukan akan cenderung lebih banyak dilakukan secara online. Kita juga menjadi saksi
bagaimana rumah makan, warung-warung kopi, cafe-cafe yang menawarkan kenyamanan untuk
bersosialisasi sudah tidak memungkinkan lagi dijalankan. Perilaku masyarakat telah berubah dengan
menjaga jarak, mengurangi kontak dan membeli sebatas pembelian dibawa pulang sehingga konsumsi
yang dilakukan lebih mengarah ke pembelian sesuai kebutuhan sehari-hari dan kenyamanan tempat sudah
tidak relevan lagi.
Saatnya kita beradaptasi dan tidak menyalahkan keadaan yang sedang kita alami. Menteri Keuangan
menyampaikan berbagai skenario terkait dampak pandemi virus ini terhadap perekonomian Indonesia.
Skenario berat maka pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 2,3 persen dan skenario sangat berat maka
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 0,4 persen. Dengan skenario sangat berat tersebut kemiskinan bisa
meningkat 4,86 juta jiwa dan pengangguran meningkat 5,23 juta. Pemerintah tentu senantiasa
mengupayakan segala cara agar pandemi ini segera berakhir, mensiasatinya dan merancang langkah-
langkah untuk upaya pemulihan ekonomi nasional.
Kemampuan Beradaptasi
Namun tentu kita juga harus mulai berfikir untuk memulai kehidupan baru dengan cara-cara baru. Kita
harus mulai melakukan perubahan dengan kreatifitas dan kegigihan untuk membuat cara-cara yang
dilakukan relevan dengan perubahan yang terjadi. Kompetensi SDM yang harus dimiliki di abad 21
menurut “21 Century Partnership Learning Framework” relevan untuk kita implementasi sehingga kita
dapat survive dan melewati episode pendemi ini. Kompetensi tersebut meliputi:
1. Critical Thinking dan Problem Solving (Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah)
Di masa pandemi ini, kita dituntut untuk mampu memahami masalah yang saat ini sedang dialami dan
memunculkan perspektif baru dengan kemampuan mengkoneksikan satu informasi dengan informasi
lainnya dan menemukan solusi yang tepat untuk memulai “kehidupan baru”. Kita dituntut memilah
informasi yang ada terutama di era digital saat ini. Selanjutnya memahami dan membuat opsi-opsi,
menganalisis dan menyelesaikan masalah yang saat ini kita hadapi.
2. Creativity dan Innovation (Kreativitas dan Inovasi)
Di “kehidupan baru” kita dituntut mampu mengembangkan gagasan baru, bersikap responsif dan
menerima secara terbuka terhadap perspektif yang baru dan berbeda karena adanya pandemi ini. Cara-cara
lama sudah tidak relevan lagi untuk kita pertahankan, karena itu kita dituntut mewujudkan ide-ide baru dan
inovasi baru. Perubahan mendasar telah dialami oleh semua orang dan di era digital saat ini, maka inovasi
yang terkait teknologi akan sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup setiap orang. Karena itu,
wabah ini dapat menjadi pendorong munculnya ide-ide atau teknologi baru.
3. Collaboration (Kolaborasi)
Kita dituntut untuk bersinergi, bekerja sama secara produktif dengan pihak lain, beradaptasi dalam
berbagai tanggung jawab dan peran, menghormati perspektif yang berbeda serta menempatkan empati di
saat melewati masa-masa sulit penuh tantangan ini. Kolaborasi ini akan memunculkan lebih banyak
kelebihan yang dapat dikapitalisasi sehingga memunculkan keunggulan kompetitif. Bukan saatnya lagi kita
saling mengalahkan atau menaklukkan, namun saatnya kita bekerjasama, kolaborasi dan sinergi guna
meraih tujuan bersama.
4. Communication (Komunikasi)
Kita juga dituntut mampu mengkomunikasi informasi-informasi yang ada agar pesan kita dapat diterima
dan dimengerti oleh pihak lain. Di masa pandemi ini, komunikasi kita banyak yang dilakukan secara
virtual dan tanpa komunikasi secara langsung. Kita tentu tidak mampu memahami secara jelas bahasa
tubuh dari masing-masing pihak. Kita tentu juga harus menunjukkan empati dalam berkomunikasi. Karena
itu, dalam komunikasi di saat-saat sekarang ini harus jelas, transparan dan rinci sehingga dapat
tersampaikan dengan baik dan tidak salah persepsi.
Episode pandemi covid 19 merupakan sejarah bagi kita yang terpilih untuk menghadapi tantangan ini. Kita
tidak sendiri dan hampir seluruh dunia mengalami hal yang sama. Tidak elok apabila kita hanya
menyalahkan keadaan ini. Saatnya kita beradaptasi dengan “kehidupan baru” dan kita jadikan setiap
langkah kita relevan dalam merespon perubahan sehingga mampu melewati pandemi ini. “Bukanlah yang
terkuat atau terpintar yang dapat bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi dengan
perubahan”. Kutipan dari Charles Darwin tersebut relevan dengan masa-masa pandemi dan semoga kita
dapat melewati tantangan ini dengan beradaptasi dengan “kehidupan baru”.
Penulis Agus Budianta (Pegawai Kanwil DJKN Kalimantan Barat)
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13107/Kehidupan-Baru-Adaptasi-Hadapi-Pandemi.html
OPINI: Social Distancing, Perubahan Sosial Lewat Komunikasi
Digital Menghadapi Wabah Corona Covid-19
Liputan6.com, Jakarta- Opini oleh Maria Fitriah, S. Sos., M. Si, Dosen sekaligus Ketua
Program Studi Sains Komunikasi Universitas Djuanda Bogor.
Sebenarnya perubahan sosial ini lantaran pandemi corona covid-19 ini sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi melalui digitalisasi yang tanpa kita sadari sudah
merealisasikannya.
Yang ketiga adalah Pendekatan Social Sciences (Ilmu Sosial). Ini merupakan gabungan
dari pendekatan scientific dan humanistic di mana objek studinya adalah kehidupan
manusia, termasuk di dalamnya memahami tingkah laku manusia.
Perlu direnungkan, social distancing atau menjaga jarak tidak membuat kita “mati
gaya”. Hanya belum sepenuhnya terbiasa dalam keseharian hidup pada pengalihan
ruang fisik ke ruang virtual. Komunikasi digital sangat dekat di sekitar kita yang
sebenarnya berkontribusi besar.
Kita tetap bisa bersosialisasi melalui berbagai media di era globalisasi ini yang
menuntut pada kecanggihan komunikasi digital untuk tetap berinteraksi sosial. Media-
media yang tersedia dapat dimanfaatkan sebagai media pemasaran, media interaksi,
media pembelajaran.
Bukankah ini sudah menjadi gaya hidup kita, termasuk orang Indonesia? Misalnya,
kebiasaan bangun tidur langsung mencari gadgetnya meskipun sebatas cek pesan
masuk, lihat status, dan lainnya.
Saat belum terjadi wabah pandemik Covid-19, kita seringkali disibukkan dengan
aktivitas melalui komunikasi sosial yang di mana komunikasi dilakukan tidak harus
kontak fisik atau tatap muka. Artinya masyarakat tetap bisa melakukan interaksi sosial
dengan menggunakan teknologi komunikasi, terutama media sosial.
Kala itu sempat menjadi kekhawatiran, terutama untuk generasi penerus, dalam
lunturnya keakraban secara langsung karena masing-masing seperti memiliki dunianya
sendiri. Namun sekarang seolah melempar kesalahan pada kebijakan pemerintah
dengan adanya pembatasan jarak sosial.
Teknologi saat ini sudah berkembang demikian pesat sehingga kita bisa tetap saling
terhubung tanpa harus secara fisik berada di dalam ruangan atau tempat yang sama.
Hal ini diungkap Ketua Tim Teknis Tanggap Covid-19 WHO, Dr Maria Van Kerkhove,
seperti dikutip dari CTV News.
Mengacu instruksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Virus corona sangat mudah
menular melalui tetesan atau percikan kecil air yang dikeluarkan seseorang saat bersin
ataupun batuk.
Maka social distancing atau pembatasan sosial, dalam Pedoman Penanganan Cepat
Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia, adalah pembatasan kegiatan
tertentu penduduk dalam suatu wilayah. Hal ini ditujukan pada semua orang di wilayah
yang diduga terjangkit virus corona.
Penyebaran virus corona menjadi ancaman serius bagi dunia. Semakin meningkatnya
pasien yang terkena virus corona, social distancing ini mengarahkan masyarakat
mengurangi interaksi sosialnya dalam menghadapi pandemic Covid-19.
Social distancing ini lebih tepat menitikberatkan pada physical distancing. Kontak fisik
secara langsung dengan jarak berdekatan dapat memberikan peluang penyebaran virus
corona.
Dengan demikian, diharapkan kita hendaknya tidak terlalu cemas dengan perubahan
yang terjadi dalam sosial saat ini yang awalnya karena tuntutan kondisi.
Interaksi kita memang terbatas pada jarak, namun tidak terbatas dalam berinteraksi
meskipun ada kalanya akan lebih efektif jika dilakukan secara komunikasi langsung
secara tatap muka dalam satu ruang (komunikasi interpersonal).
---
Sumber Berita:
https://www.liputan6.com/news/read/4218088/opini-social-distancing-perubahan-
sosial-lewat-komunikasi-digital-menghadapi-wabah-corona-covid-19#
http://unida.ac.id/artikel/opini-social-distancing-perubahan-sosial-lewat-komunikasi-digital-
menghadapi-wabah-corona-covid-19.html
Administrator
Jumat, 29 Mei 2020 adalah hari yang cukup bersejarah bagi kalangan psikologi di Indonesia
dengan diresmikannya logo ulang tahun Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ke-61 yang
berbentuk kupu-kupu dengan slogan Perubahan Perilaku untuk Kenormalan Baru.
Slogan tersebut diharapkan dapat menjadi semangat dan penggerak bagi setiap perangkat
HIMPSI juga seluruh komponen bangsa dalam melawan penyebaran dan menghadapi dampak
wabah COVID-19.
Perubahan perilaku atau behavioral changes merupakan bisnis utama psikologi, yaitu dengan
cara memahami perilaku melalui asesmen dan mengubah atau memodifikasinya melalui
intervensi. Tentunya dalam melakukan asesmen dan intervensi, berdasarkan konsep teoretis
sebagai dasar berpikir dan bertindak.
Kenormalan Baru
Istilah New Normal mungkin saja sudah dari dulu digunakan untuk menjelaskan fenomena
perubahan di dunia. LaBarre tahun 2003 mengulas pendapat Roger McNamee, bahwa New
Normal selalu akan terjadi di sepanjang kehidupan manusia. Oleh karenanya manusia harus
secara sabar belajar dan terus beradaptasi untuk mengembangkan respon yang tepat dalam
menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi.
McNamee menambahkan, pengertian “normal” dari new normal berkaitan dengan skala waktu,
dimana manusia akan berupaya mengembangkan perilaku yang sesuai untuk membuat
kehidupan menjadi lebih baik dalam jangka panjang.
Sedangkan pengertian “new” dari new normal erat kaitannya dengan perkembangan teknologi.
Hal ini misalnya terlihat dari buku yang ditulis Peter Hinssen, The New Normal, yang
menggambarkan dampak teknologi digital terhadap perubahan proses dan perilaku bisnis.
Rich Miller dan Matthew Benjamin juga menyinggung tentang new normal untuk menjelaskan
dampak krisis ekonomi dunia 2007-2008 dan kemudian menjadi populer untuk menjelaskan
dampak resesi global dan wabah COVID-19. Di dalam new normal hal-hal yang terkesan tidak
normal atau belum menjadi kebiasaan menjadi kenormalan baru akibat situasi-situasi tersebut.
Terlepas dari makna dan asal usul istilah new normal, atau kenormalan baru, merupakan
keniscayaan bahwa kita sedang mempraktekkan perilaku yang tidak biasa kita lakukan sebelum
era COVID-19.
Perilaku yang kita praktekkan tersebut tidak hanya berupa respon jangka pendek terhadap
wabah COVID-19 tetapi lebih luas lagi merupakan respon adaptif yang berjangka panjang.
Apabila mengacu pada konsep new normalnya McNamee, Miller dan Matthew Benjamin, dan
Hinssen, konsep new normal yang dirancang pemerintah lebih banyak mencakup perubahan
perilaku jangka pendek sebagai respon kedaruratan terhadap wabah COVID-19. Perilaku
tersebut berkaitan dengan menjaga jarak fisik, menggunakan masker, mencuci tangan dengan
sabun, menggunakan hand sanitizer, dan menjaga daya tahan tubuh.
Apakah semua perilaku tersebut menjadi sasaran perubahan perilaku dalam rangka kenormalan
baru? Tentu saja iya dan penting, tetapi hanya sebagian kecil, berjangka pendek, dan mungkin
bertahan sambil menunggu terbentuknya imunitas dan ditemukannya obat atau vaksin
penangkal COVID-19.
Menurut Hongyue dan Rajib, dampak pandemik terhadap perekonomian, sosial, keamanan,
serta politik akan mempengaruhi kondisi psikologis dan perubahan perilaku yang sifatnya lebih
luas dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Perubahan perilaku tersebut mencakup perilaku hidup sehat, perilaku menggunakan teknologi,
perilaku dalam pendidikan, perilaku menggunakan media sosial, perilaku konsumtif, perilaku
kerja, dan perilaku sosial keagamaan.
Wabah COVID-19 membuat masyarakat lebih sadar tentang rentannya manusia terhadap
penyakit.
Oleh karenanya perilaku hidup sehat akan menjadi berubah lebih baik, dengan mengkonsumsi
makanan sehat secara seimbang, berolah raga dan jam tidur yang teratur, lebih rutin
memeriksakan kondisi kesehatan, mencari asuransi kesehatan yang terpercaya, menjaga
kebersihan, dan menggunakan alat atau mengkonsumsi suplemen untuk terhindar dari penyakit.
Perilaku hidup sehat tidak terbatas pada kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental.
Adapun kelompok masyarakat yang belum sadar tentang pentingnya perilaku hidup sehat
secara fisik dan mental, perlu terus didorong dengan kampanye yang misalnya
mengkombinasikan gain-loss framed messages, konsep dari Tversky & Kahneman. Prinsipnya,
perubahan perilaku dapat terjadi apabila ada keseimbangan informasi yang diberikan terkait
keuntungan kalau menjalankan perilaku hidup sehat dan kerugian kalau tidak menjalankannya.
Selain perilaku hidup sehat, perilaku masyarakat juga berubah di era COVID-19 dalam
penggunaan teknologi, terutama teknologi digital. Teknologi digital untuk komunikasi online,
teknologi robot, dan peralatan teknologi berbasis tanpa sentuhan (non-contact) menjadi sama
pentingnya dengan listik, air, dan bahkan oksigen.
Penggunaan teknologi yang tadinya lebih banyak sebagai pendukung kerja sekunder atau malah
rekreasi, berubah menjadi fasilitas kerja utama.
Dalam sektor pendidikan misalnya, pengajar dan peserta didik akan lebih banyak menggunakan
mesin pencari dan Massive Open Online Courses (MOOC) seperti Udemy, Coursera, Ruang
Guru. Pengajar dan peserta didik juga akan terbiasa melakukan interaksi pembelajaran jarak
jauh dengan menggunakan fasilitas seperti Google Meet, Microsoft Teams, Cisco Webex, Zoom,
google classroom, WAG, dan email.
Setelah wabah COVID-19 berakhir, blended learning atau kombinasi antara pembelajaran tatap
muka dan online akan berkembang lebih pesat dari kondisi sebelumnya, yang mungkin
membuat biaya pendidikan menjadi lebih terjangkau sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh
kalangan yang lebih luas.
Pemberitaan tentang COVID-19 begitu masif baik di media mainstream maupun di media sosial.
Informasi yang belum tentu kebenarannya tersebar sedemikian banyaknya karena orang-orang
cenderung menyebarkan informasi tanpa mempertimbangkan akurasinya. Menurut Pennycook
dan kawan-kawan, hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang kurang memiliki kemampuan
berpikir kritis dan kurang berpendidikan.
Sumber informasi yang tidak jelas, klaim yang berlebihan dan tidak logis, menyalahkan pihak
tertentu, adanya ajakan untuk menyebarkan, dan kata-kata yang tidak konsisten, menurut
Sellors merupakan indikasi-indikasi informasi yang tidak akurat.
Menurut Kotler, wabah COVID-19 akan membuat masyarakat mengadopsi perilaku anti
konsumerisme.
Mereka akan memilih hidup lebih sederhana (Life Simplifiers), dengan hanya membeli barang-
barang yang dibutuhkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Masyarakat juga akan mulai mendukung gerakan degrowth, yang memandang konsumsi
penduduk dalam berbagai sektor sudah lebih besar dari yang bisa disediakan oleh bumi. Selain
mempertimbangkan untuk menjadi vegetarian, masyarakat juga akan lebih ramah lingkungan
dan sebisa mungkin mendaur ulang atau memperbaiki atau mendekorasi ulang atau
mendonasikan barang-barang atau makanan yang masih layak.
Sebagai konsekuensi lanjutannya, keberhasilan suatu bangsa tidak lagi hanya diukur dari
Growth Domestic Product (GDP) tetapi juga Growth Domestic Happiness (GDH) atau Growth
Domestic Well-being (GDW).
Yang pasti mereka akan membutuhkan penyesuaian perilaku bahkan kalaupun mereka
mendapatkan kembali pekerjaan mereka dan beraktivitas seperti biasa. Selama bekerja mereka
harus tetap patuh dan menjalankan perilaku sesuai protokol Kesehatan.
Karyawan yang berada pada kelompok middle income ke atas biasanya melakukan saving
sebelum dan selama masa pandemik. Apabila kelompok ini kehilangan pekerjaan, mereka akan
mencari peluang untuk pengembangan diri, misalnya dengan ikut kursus/pelatihan,
mendapatkan brevet dan sertifikasi, atau bahkan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Yang jadi masalah adalah sekelompok orang yang sama sekali tidak lagi menerima gaji dan
saving (tabungan) mulai menipis atau bahkan habis.
Satu hal yang pasti, selalu ada jalan untuk semua masalah, asal mau berusaha dan tidak
menjaga gengsi. Kelompok ini akan berusaha melakukan sesuatu untuk setidaknya memenuhi
kebutuhan pokok. Perilaku entrepreneurial (kewirausahaan) berkembang lebih banyak di
masyarakat.
Mereka secara kreatif menjual berbagai jenis barang atau jasa yang memang dibutuhkan orang
lain. Banyak yang menawarkan sayuran, buah-buahan, dan bahan pokok lainnya, serta jasa
pengantaran, bahkan jasa wisata virtual. Ini hanya segelintir dari banyak perilaku inovatif yang
tiba-tiba muncul selama wabah COVID-19.
Perilaku menolong, seperti memberikan pinjaman lunak dan donasi juga sumbangan lainnya
cukup berkembang di masyarakat selama wabah COVID-19. Tidak hanya pada kalangan
menengah ke atas, tetapi masyarakat biasa juga menyadari pentingnya menolong sesama,
misalnya menyediakan makanan gratis atau bahan-bahan pokok lainnya.
Perilaku sosial lainnya juga berkembang, seperti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
keseimbangan antara kerja dengan kehidupan sosial dan keluarga akan menjadi kebiasaan
baru.
Masyarakat akan memberikan nilai yang lebih tentang pentingnya kehidupan berkeluarga,
berteman, dan komunitas. Wabah COVID-19 juga menggugah kesadaran akan kerentanan
kehidupan manusia secara keseluruhan sehingga perilaku beragama dan spiritualitas menjadi
lebih berkualitas.
Masyarakat menjadi lebih sadar tentang makna ritual keagamaan dan kaitannya dengan
kematangan spiritual dengan memandangnya sebagai proses mencari sesuatu yang lebih utama
dan bermakna.
Tantangan ke Depan
Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa wabah COVID-19 tidak hanya memberikan
dampak negatif tetapi juga mengindikasikan dampak positif terhadap perubahan perilaku. Dalam
jangka pendek untuk menghadapi ancaman COVID-19, protokol kesehatan dan kebijakan
pemerintah menjadi panduan untuk berperilaku. Sedangkan untuk jangka panjang justru banyak
perilaku yang terbentuk secara konstruktif yang membuat kehidupan manusia ke depan akan
lebih baik.
Perilaku yang diharapkan antara lain seperti yang sudah disebutkan di atas berkaitan dengan
perilaku hidup sehat, penggunaan teknologi, kebiasaan baru di sektor Pendidikan, perilaku
dalam media sosial, perilaku kerja, perilaku konsumen, dan perilaku sosial keagamaan akan
berubah menjadi lebih baik dan efisien.
Perubahan perilaku untuk kenormalan baru, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,
perlu di pelihara, dikembangkan, dan dimodifikasi.
Terdapat sembilan upaya yang dapat dilakukan untuk merancang dan mengevaluasi perubahan
perilaku, menurut Michie dan kawan-kawannya, yaitu edukasi, persuasi, insentif, penerapan
aturan, pelatihan, pembatasan, restrukturisasi lingkungan, modeling, dan pemberdayaan.
Kesembilan upaya tersebut dapat digunakan oleh kalangan psikologi, baik sebagai individu
maupun organisasi, serta pemerintah untuk menimbang intervensi yang paling sesuai dalam
rangka perubahan perilaku untuk kenormalan baru sebagai dampak dari wabah COVID-19.
Bersiap untuk kenormalan baru, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, tetap sehat, saling
membantu
https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/perubahan-perilaku-sebagai-respon-
terhadap-wabah-covid-19-127
Saat ini stigma hadir dalam bentuk pemberian label, stereotip, pemisahan,
penghilangan status dan diskriminasi terhadap orang-orang yang
terhubung dengan COVID-19. Dalam kasus COVID-19, ada peningkatan
jumlah laporan stigmatisasi publik terhadap orang-orang dari daerah
terjangkit.
(1) mengucilkan penyintas atau pasien yang telah sembuh dari COVID-19,
karena dianggap masih dapat menularkan penyakitnya;
(2) menolak dan mengucilkan orang yang berpindah dari satu daerah ke
daerah lain;
(5) menolak jenazah karena dianggap masih membawa virus yang dapat
ditularkan kepada orang lain;
(2) membuat orang tidak mau mencari perawatan kesehatan segera ketika
mengalami gejala;
Kita harus melawan stigma sosial dengan empati sosial. Elisabeth Segal,
penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others,
mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang
lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka dan
sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan
kesenjangan struktural.
1. https://bit.ly/himpsieducovid
2. https://bit.ly/bantuanpsikologi
3. https://publikasi.himpsi.or.id
4. https://bit.ly/relaksasipsikologis
5. https://bit.ly/himpsipeduli
6. http://bit.ly/rujukanhimpsisejiwa
https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/lawan-stigma-sosial-dengan-empati-
sosial-126
Administrator
JUNEMAN ABRAHAM
Catatan Kominfo pada awal Mei telah ditemukan 1401 sebaran isu hoaks
dan disinformasi yang tersiar di masyarakat. Beberapa isu tak hanya terkait
dengan informasi menyesatkan akan akibat, pencegahan, dan penanganan
penyakit yang tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
tetapi juga terkait dengan anggapan bahwa COVID-19 adalah konspirasi
dan hoaks.
Selain hoaks, persoalan infodemik yang tidak kalah penting adalah terkait
dengan masifnya informasi yang simpang siur yang menjalar di
masyarakat. Dengan kata lain, hal ini tak melulu berupa berita hoaks, tetapi
terkait ketidakjelasan aturan, larangan, dan apa saja yang diperbolehkan
atau tidak selama masa pandemi.
Masa pandemi -di mana setiap orang akan semakin sering menggunakan
gawai sebagai pengganti setiap kegiatan tatap muka- membuat risiko
terjadinya infodemik akan semakin besar terjadi. Konten-konten berita dan
isu terkait pandemi dalam media sosial ataupun pesan instan elektronik
yang lalu lalang bersamaan dengan tingginya penggunaan gawai
dimungkinkan akan semakin sering dikonsumsi.
Manusia selalu merasa tidak nyaman jika ia tidak mampu menjelaskan dan
memiliki kendali atas situasi yang dialaminya.
Pemberian pendidikan akan literasi dan tanggung digital ini tidak hanya
menyelamatkan individu yang bersangkutan ketika ia berenang dan
menyelam dalam lautan digital, namun juga seluruh jejaring dan komunitas
di sekitarnya, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini
Cek ricek informasi, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, tetap
sehat, saling membantu
1. https://bit.ly/himpsieducovid
2. https://bit.ly/bantuanpsikologi
3. https://publikasi.himpsi.or.id
4. https://bit.ly/relaksasipsikologis
5. https://bit.ly/himpsipeduli
6. http://bit.ly/rujukanhimpsisejiwa
https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/infodemik-di-saat-pandemi-124
Masyarakat di seluruh dunia saat ini masih berjibaku melawan pandemi Covid-19. Sejak
pertama kali ditemukan di China pada akhir 2019 silam, Covid-19 telah menelan jutaan nyawa
manusia di seluruh dunia. Negara-negara di dunia saat ini terus berupaya menekan
penyebaran Covid-19. Sejumlah negara kembali mencatatkan rekor tertinggi kasus Covid-19,
diantara India yang sempat mengadapi tsunami Covid – 19 dan sekarang bersiap menghapi
fase ketiga yang tidak bisa dihindari. Hanya dalam 4 bulan terakhir saja, India melaporkan 10
juta kasus. Pertemuan massal, rendahnya tingkat vaksinasi, dan varian baru virus corona
yang ganas menyebabkan kasus Covid-19 di India melonjak parah. India mencatatkan,
25,228,996 kasus, 278,751 meninggal, 21,596,512 sembuh. Tidak hanya India, penyebaran
Covid – 19 di Rusia juga belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Penyebaran virus mematikan
ini masih sangat tinggi. Terbaru, Rusia melaporkan 4,949,573 kasus, meninggal 116,211, dan
sembuh 4,949,573. Di sisi lain, Singapura yang sangat berhati – hati, tegas, dan disiplin,
beberapa waktu terakhir berhasil mengendalikan kasus Covid-19 dengan angka penularan
dan kematian yang sangat rendah. Sayangnya, terbaru, pemerintah Singapura juga kembali
mengumumkan penerapan pembatasan ketat atau lockdown mulai berlaku pada Minggu, 16
Mei 2021. Kebijakan ini berlaku hingga 13 Juni mendatang. Update terbaru tercatat 61,651
kasus di Singapura, 31 orang meninggal, 210 di rawat di rumah sakit dalam kondisi stabil, 3
orang kritis, 246 isolasi di fasilitas umum, dan 61,123 sembuh.
BNPB Indonesia