Anda di halaman 1dari 20

Artikel DJKN

"Kehidupan Baru", Adaptasi Hadapi Pandemi


 Selasa, 19 Mei 2020 pukul 05:21:27   |    13555 kali

       

Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya akan terjadi wabah yang berdampak pada setiap sisi
kehidupan kita. Interaksi sosial sebagian besar dilakukan secara virtual. Pandemi ini telah memunculkan
kebiasan-kebiasaan baru yang melompati apa yang biasanya kita lakukan. Banyak hal yang dulu dengan
leluasa kita lakukan, saat ini sudah tidak dapat lagi kita lakukan. Sebentar lagi kita akan menyambut Hari
Raya Idul Fitri 1441 H dengan suasana yang berbeda. Biasanya pada hari-hari ini, pasar dan pusat
perbelanjaan penuh sesak orang berbelanja menyambut lebaran. Layar kaca kita dihiasi dengan berita-
berita kepadatan arus mudik. Itu dulu dan menjadi bagian cerita kita, saat ini sungguh berbeda.
Selamat datang “kehidupan baru” dan mau tidak mau kita dipaksa untuk beradaptasi dengan kebiasaan-
kebiasaan baru yang bisa jadi merupakan norma baru dalam kehidupan kita. Paling tidak sampai dengan
vaksin virus corona ditemukan. Bekerja, belajar,dan beribadah dilakukan di rumah. Kita mulai terbiasa
mencuci tangan pada saat akan memasuki kantor atau pertokoan, yang sebagian besar telah menyediakan
perlengkapannya berikut cek suhu tubuh. Pembatasan jarak saat berinteraksi dengan sesama. Penggunaan
masker menjadi hal yang wajib kita lakukan apabila akan keluar rumah. Virus ini telah mendorong kita
untuk lebih peduli dengan kebersihan dan memaksa kita untuk mematuhi protokol kesehatan demi
mencegah penyebarannya.
Hal ini menunjukkan bahwa virus covid 19 telah mengubah cara hidup kita dan pertanyaan kapan vaksin
akan ditemukan, hingga saat ini belum ada jawaban dan kepastiannya. Kita tentu tidak akan menunggu
vaksin ditemukan untuk dapat beraktivitas kembali. Menarik kata-kata motivasi William Arthurd
Word, “Orang yang pesimistis komplain tentang angin, seorang yang optimis berharap angin untuk
berubah, seorang realistis menyesuaikan layar.” Kita tentu menginginkan vaksin segera ditemukan agar
kita dapat hidup normal lagi walaupun tidak akan sama dengan hidup kita sebelum virus ini muncul.
Selama vaksin belum ditemukan kita dapat menyesuaikan layar kehidupan kita untuk mencapai tujuan.
Inilah momentum kita untuk beradaptasi dengan cara hidup baru sehingga dapat melewati pandemi yang
telah menyebar secara global. Perubahan hidup memang menyakitkan dan seringkali membuat kita tidak
nyaman karena perubahan ini berjalan dengan cepat dan mengagetkan. Namun masalah ini tentu harus kita
sikapi dengan sabar, terus belajar, berpikir positif dan beradaptasi dengan perubahan. Kita terpilih untuk
melalui episode hidup ini.
Perubahan Perilaku
Dunia memang mengalami goncangan dan risiko ketidakpastian semakin besar. Cara mensikapi akan
menjadi perhatian agar kita tetap bertahan di masa pandemi sehingga akan memunculkan perilaku dan
kebiasaan baru. Belajar dan bekerja dilakukan dirumah sehingga interaksi dilakukan melalui zoom. Kita
tidak pernah membayangkan hari-hari dilalui dengan interaksi secara virtual. Anak-anak melakukan belajar
secara online, dan mungkin mereka sudah kangen dapat bermain bersama dengan teman-temannya. Kita
sekarang begitu familiar dan dipaksa untuk beradaptasi dengan rapat-rapat atau pelatihan yang dilakukan
melalui zoom. Bisa jadi hal ini akan memunculkan generasi virtual.
Kita memahami saat ini untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar dilakukan melalui pemesanan secara
online. Dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus maka transaksi-
transaksi yang kita lakukan akan cenderung lebih banyak dilakukan secara online. Kita juga menjadi saksi
bagaimana rumah makan, warung-warung kopi, cafe-cafe yang menawarkan kenyamanan untuk
bersosialisasi sudah tidak memungkinkan lagi dijalankan. Perilaku masyarakat telah berubah dengan
menjaga jarak, mengurangi kontak dan membeli sebatas pembelian dibawa pulang sehingga konsumsi
yang dilakukan lebih mengarah ke pembelian sesuai kebutuhan sehari-hari dan kenyamanan tempat sudah
tidak relevan lagi.
Saatnya kita beradaptasi dan tidak menyalahkan keadaan yang sedang kita alami. Menteri Keuangan
menyampaikan berbagai skenario terkait dampak pandemi virus ini terhadap perekonomian Indonesia.
Skenario berat maka pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 2,3 persen dan skenario sangat berat maka
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 0,4 persen. Dengan skenario sangat berat tersebut kemiskinan bisa
meningkat 4,86 juta jiwa dan pengangguran meningkat 5,23 juta. Pemerintah tentu senantiasa
mengupayakan segala cara agar pandemi ini segera berakhir, mensiasatinya dan merancang langkah-
langkah untuk upaya pemulihan ekonomi nasional.
Kemampuan Beradaptasi
Namun tentu kita juga harus mulai berfikir untuk memulai kehidupan baru dengan cara-cara baru. Kita
harus mulai melakukan perubahan dengan kreatifitas dan kegigihan untuk membuat cara-cara yang
dilakukan relevan dengan perubahan yang terjadi. Kompetensi SDM yang harus dimiliki di abad 21
menurut “21 Century Partnership Learning Framework” relevan untuk kita implementasi sehingga kita
dapat survive dan melewati episode pendemi ini. Kompetensi tersebut meliputi:
1. Critical Thinking dan Problem Solving (Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah)
Di masa pandemi ini, kita dituntut untuk mampu memahami masalah yang saat ini sedang dialami dan
memunculkan perspektif baru dengan kemampuan mengkoneksikan satu informasi dengan informasi
lainnya dan menemukan solusi yang tepat untuk memulai “kehidupan baru”. Kita dituntut memilah
informasi yang ada terutama di era digital saat ini. Selanjutnya memahami dan membuat opsi-opsi,
menganalisis dan menyelesaikan masalah yang saat ini kita hadapi.
2. Creativity dan Innovation (Kreativitas dan Inovasi)
Di “kehidupan baru” kita dituntut mampu mengembangkan gagasan baru, bersikap responsif dan
menerima secara terbuka terhadap perspektif yang baru dan berbeda karena adanya pandemi ini. Cara-cara
lama sudah tidak relevan lagi untuk kita pertahankan, karena itu kita dituntut mewujudkan ide-ide baru dan
inovasi baru. Perubahan mendasar telah dialami oleh semua orang dan di era digital saat ini, maka inovasi
yang terkait teknologi akan sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup setiap orang. Karena itu,
wabah ini dapat menjadi pendorong munculnya ide-ide atau teknologi baru.
3. Collaboration (Kolaborasi)
Kita dituntut untuk bersinergi, bekerja sama secara produktif dengan pihak lain, beradaptasi dalam
berbagai tanggung jawab dan peran, menghormati perspektif yang berbeda serta menempatkan empati di
saat melewati masa-masa sulit penuh tantangan ini. Kolaborasi ini akan memunculkan lebih banyak
kelebihan yang dapat dikapitalisasi sehingga memunculkan keunggulan kompetitif. Bukan saatnya lagi kita
saling mengalahkan atau menaklukkan, namun saatnya kita bekerjasama, kolaborasi dan sinergi guna
meraih tujuan bersama.
4. Communication (Komunikasi)
Kita juga dituntut mampu mengkomunikasi informasi-informasi yang ada agar pesan kita dapat diterima
dan dimengerti oleh pihak lain. Di masa pandemi ini, komunikasi kita banyak yang dilakukan secara
virtual dan tanpa komunikasi secara langsung. Kita tentu tidak mampu memahami secara jelas bahasa
tubuh dari masing-masing pihak. Kita tentu juga harus menunjukkan empati dalam berkomunikasi. Karena
itu, dalam komunikasi di saat-saat sekarang ini harus jelas, transparan dan rinci sehingga dapat
tersampaikan dengan baik dan tidak salah persepsi.
Episode pandemi covid 19 merupakan sejarah bagi kita yang terpilih untuk menghadapi tantangan ini. Kita
tidak sendiri dan hampir seluruh dunia mengalami hal yang sama. Tidak elok apabila kita hanya
menyalahkan keadaan ini. Saatnya kita beradaptasi dengan “kehidupan baru” dan kita jadikan setiap
langkah kita relevan dalam merespon perubahan sehingga mampu melewati pandemi ini. “Bukanlah yang
terkuat atau terpintar yang dapat bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi dengan
perubahan”. Kutipan dari Charles Darwin tersebut relevan dengan masa-masa pandemi dan semoga kita
dapat melewati tantangan ini dengan beradaptasi dengan “kehidupan baru”.
Penulis Agus Budianta (Pegawai Kanwil DJKN Kalimantan Barat)

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13107/Kehidupan-Baru-Adaptasi-Hadapi-Pandemi.html
OPINI: Social Distancing, Perubahan Sosial Lewat Komunikasi
Digital Menghadapi Wabah Corona Covid-19
Liputan6.com, Jakarta- Opini oleh Maria Fitriah, S. Sos., M. Si, Dosen sekaligus Ketua
Program Studi Sains Komunikasi Universitas Djuanda Bogor.

Maraknya penyebaran virus corona covid-19 telah menyebabkan terjadinya perubahan


sosial di masyarakat yang salah satunya didukung dengan teknologi komunikasi.
Masyarakat dituntut bisa dan terbiasa. Perubahan terjadi pada cara berkomunikasi, cara
berpikir, dan cara berperilaku manusia.

Sebenarnya perubahan sosial ini lantaran pandemi corona covid-19 ini sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi melalui digitalisasi yang tanpa kita sadari sudah
merealisasikannya.

Menurut Stephen W. Littlejohn dalam bukunya Theories of Human Communication


(Sendjaja, 2014), terdapat tiga pendekatan dalam berkomunikasi antarmanusia.

Yang pertama adalah Pendekatan scientific (ilmiah-empiris). Umumnya, pendekatan ini


berlaku di kalangan ahli ilmu eksakta. Cara pandang yang menekankan unsur
objektivitas dan pemisahan antara known (objek yang ingin diketahui dan diteliti) serta
knower (subjek pelaku atau pengamat).

Lalu, ada Pendekatan Humanistic (Humaniora Interpretatif). Ini merupakan pendekatan


dengan cara pandang yang mengasosiasikan dengan prinsip subjektivitas. Manusia
mengamati sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya , membaur dan melibatkan
diri secara aktif dalam kehidupan orang-orang di lingkungannya.

Yang ketiga adalah Pendekatan Social Sciences (Ilmu Sosial). Ini merupakan gabungan
dari pendekatan scientific dan humanistic di mana objek studinya adalah kehidupan
manusia, termasuk di dalamnya memahami tingkah laku manusia.

Tampak jelas bahwa manusia membutuhkan kesempatan secara langsung untuk


berpartisipasi aktif dalam kehidupan di sekitarnya. Di sinilah terlihat kondisi pandemic
corona Covid-19 jauh dari ideal hubungan manusia secara humanis.

Penerapan Social Distancing, Interaksi Manusia, dan Komunikasi Digital

Perlu direnungkan, social distancing atau menjaga jarak tidak membuat kita “mati
gaya”. Hanya belum sepenuhnya terbiasa dalam keseharian hidup pada pengalihan
ruang fisik ke ruang virtual. Komunikasi digital sangat dekat di sekitar kita yang
sebenarnya berkontribusi besar.

Kita tetap bisa bersosialisasi melalui berbagai media di era globalisasi ini yang
menuntut pada kecanggihan komunikasi digital untuk tetap berinteraksi sosial. Media-
media yang tersedia dapat dimanfaatkan sebagai media pemasaran, media interaksi,
media pembelajaran.

Jembatan komunikasi melalui media-media tersebut tentunya dapat memberikan


edukatif, informatif, dan persuasif. Media yang dimaksud digunakan tanpa melakukan
kontak fisik di antaranya   tik tok, twitter, facebook, instagram, line, dan whatsapp.

Bukankah ini sudah menjadi gaya hidup kita, termasuk orang Indonesia? Misalnya,
kebiasaan bangun tidur langsung mencari gadgetnya meskipun sebatas cek pesan
masuk, lihat status, dan lainnya.

Saat belum terjadi wabah pandemik Covid-19, kita seringkali disibukkan dengan
aktivitas melalui komunikasi sosial yang di mana komunikasi dilakukan tidak harus
kontak fisik atau tatap muka. Artinya masyarakat tetap bisa melakukan interaksi sosial
dengan menggunakan teknologi komunikasi, terutama media sosial.

Kala itu sempat menjadi kekhawatiran, terutama untuk generasi penerus, dalam
lunturnya keakraban secara langsung karena masing-masing seperti memiliki dunianya
sendiri. Namun sekarang seolah melempar kesalahan pada kebijakan pemerintah
dengan adanya pembatasan jarak sosial.

Teknologi saat ini sudah berkembang demikian pesat sehingga kita bisa tetap saling
terhubung tanpa harus secara fisik berada di dalam ruangan atau tempat yang sama.
Hal ini diungkap Ketua Tim Teknis Tanggap Covid-19 WHO, Dr Maria Van Kerkhove,
seperti dikutip dari CTV News.

Social Distancing untuk Perangi Virus Corona

Mengacu instruksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Virus corona sangat mudah
menular melalui tetesan atau percikan kecil air yang dikeluarkan seseorang saat bersin
ataupun batuk.

Maka social distancing atau pembatasan sosial, dalam Pedoman Penanganan Cepat
Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia, adalah pembatasan kegiatan
tertentu penduduk dalam suatu wilayah. Hal ini ditujukan pada semua orang di wilayah
yang diduga terjangkit virus corona.

Penyebaran virus corona menjadi ancaman serius bagi dunia. Semakin meningkatnya
pasien yang terkena virus corona, social distancing ini mengarahkan masyarakat
mengurangi interaksi sosialnya dalam menghadapi pandemic Covid-19.

Pengurangan interaksi sosial melalui social distancing guna pencegahan penyebaran


virus corona yang lebih meluas ini dengan cara masyarakat pembatasan penggunaan
fasilitas umum dan menjaga jarak interaksi. Masyarakat diminta untuk berdiam di
rumah dengan melakukan belajar dari rumah bagi pelajar, bekerja dari rumah (Work
From Home/WFH), dan tidak melakukan aktvitas ke tempat-tempat keramaian guna
memutuskan mata rantai penyebaran yang kian bertambah.

Jangan Terlalu Cemas

Social distancing ini lebih tepat menitikberatkan pada physical distancing. Kontak fisik
secara langsung dengan jarak berdekatan dapat memberikan peluang penyebaran virus
corona.

Sayang nampaknya kita mengalami kelemahan dalam memahami social distancing di


hadapan publik sehingga seolah kita hilang peranannya sebagai makhluk sosial untuk
berinteraksi dengan sesama. Hanya pemikiran manusia yang menjadi culture (budaya).

Dengan demikian, diharapkan kita hendaknya tidak terlalu cemas dengan perubahan
yang terjadi dalam sosial saat ini yang awalnya karena tuntutan kondisi.

Interaksi kita memang terbatas pada jarak, namun tidak terbatas dalam berinteraksi
meskipun ada kalanya akan lebih efektif jika dilakukan secara komunikasi langsung
secara tatap muka dalam satu ruang (komunikasi interpersonal).

---
Sumber Berita:
https://www.liputan6.com/news/read/4218088/opini-social-distancing-perubahan-
sosial-lewat-komunikasi-digital-menghadapi-wabah-corona-covid-19#

http://unida.ac.id/artikel/opini-social-distancing-perubahan-sosial-lewat-komunikasi-digital-
menghadapi-wabah-corona-covid-19.html

PERUBAHAN PERILAKU SEBAGAI RESPON TERHADAP WABAH


COVID-19
   04 June 2020

     Administrator

Oleh: Dr. Henndy Ginting, M.Si., Psikolog 


Ketua Kompartemen Pengembangan Asosiasi/Ikatan PP HIMPSI

Jumat, 29 Mei 2020 adalah hari yang cukup bersejarah bagi kalangan psikologi di Indonesia
dengan diresmikannya logo ulang tahun Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ke-61 yang
berbentuk kupu-kupu dengan slogan Perubahan Perilaku untuk Kenormalan Baru.
Slogan tersebut diharapkan dapat menjadi semangat dan penggerak bagi setiap perangkat
HIMPSI juga seluruh komponen bangsa dalam melawan penyebaran dan menghadapi dampak
wabah COVID-19.

Perubahan perilaku atau behavioral changes merupakan bisnis utama psikologi, yaitu dengan
cara memahami perilaku melalui asesmen dan mengubah atau memodifikasinya melalui
intervensi. Tentunya dalam melakukan asesmen dan intervensi, berdasarkan konsep teoretis
sebagai dasar berpikir dan bertindak.

Kenormalan Baru

Istilah New Normal mungkin saja sudah dari dulu digunakan untuk menjelaskan fenomena
perubahan di dunia. LaBarre tahun 2003 mengulas pendapat Roger McNamee, bahwa New
Normal selalu akan terjadi di sepanjang kehidupan manusia. Oleh karenanya manusia harus
secara sabar belajar dan terus beradaptasi untuk mengembangkan respon yang tepat dalam
menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi.

McNamee menambahkan, pengertian “normal” dari new normal berkaitan dengan skala waktu,
dimana manusia akan berupaya mengembangkan perilaku yang sesuai untuk membuat
kehidupan menjadi lebih baik dalam jangka panjang.

Sedangkan pengertian “new” dari new normal erat kaitannya dengan perkembangan teknologi.
Hal ini misalnya terlihat dari buku yang ditulis Peter Hinssen, The New Normal, yang
menggambarkan dampak teknologi digital terhadap perubahan proses dan perilaku bisnis.

Rich Miller dan Matthew Benjamin juga menyinggung tentang new normal untuk menjelaskan
dampak krisis ekonomi dunia 2007-2008 dan kemudian menjadi populer untuk menjelaskan
dampak resesi global dan wabah COVID-19. Di dalam new normal hal-hal yang terkesan tidak
normal atau belum menjadi kebiasaan menjadi kenormalan baru akibat situasi-situasi tersebut.

Terlepas dari makna dan asal usul istilah new normal, atau kenormalan baru, merupakan
keniscayaan bahwa kita sedang mempraktekkan perilaku yang tidak biasa kita lakukan sebelum
era COVID-19.

Perilaku yang kita praktekkan tersebut tidak hanya berupa respon jangka pendek terhadap
wabah COVID-19 tetapi lebih luas lagi merupakan respon adaptif yang berjangka panjang.

Apabila mengacu pada konsep new normalnya McNamee, Miller dan Matthew Benjamin, dan
Hinssen, konsep new normal yang dirancang pemerintah lebih banyak mencakup perubahan
perilaku jangka pendek sebagai respon kedaruratan terhadap wabah COVID-19. Perilaku
tersebut berkaitan dengan menjaga jarak fisik, menggunakan masker, mencuci tangan dengan
sabun, menggunakan hand sanitizer, dan menjaga daya tahan tubuh.

Apakah semua perilaku tersebut menjadi sasaran perubahan perilaku dalam rangka kenormalan
baru? Tentu saja iya dan penting, tetapi hanya sebagian kecil, berjangka pendek, dan mungkin
bertahan sambil menunggu terbentuknya imunitas dan ditemukannya obat atau vaksin
penangkal COVID-19.
Menurut Hongyue dan Rajib, dampak pandemik terhadap perekonomian, sosial, keamanan,
serta politik akan mempengaruhi kondisi psikologis dan perubahan perilaku yang sifatnya lebih
luas dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Perubahan perilaku tersebut mencakup perilaku hidup sehat, perilaku menggunakan teknologi,
perilaku dalam pendidikan, perilaku menggunakan media sosial, perilaku konsumtif, perilaku
kerja, dan perilaku sosial keagamaan.

Perubahan Perilaku Hidup Sehat dan Terkait Penggunaan Teknologi (Digital)

Wabah COVID-19 membuat masyarakat lebih sadar tentang rentannya manusia terhadap
penyakit.

Oleh karenanya perilaku hidup sehat akan menjadi berubah lebih baik, dengan mengkonsumsi
makanan sehat secara seimbang, berolah raga dan jam tidur yang teratur, lebih rutin
memeriksakan kondisi kesehatan, mencari asuransi kesehatan yang terpercaya, menjaga
kebersihan, dan menggunakan alat atau mengkonsumsi suplemen untuk terhindar dari penyakit.
Perilaku hidup sehat tidak terbatas pada kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental.

Adapun kelompok masyarakat yang belum sadar tentang pentingnya perilaku hidup sehat
secara fisik dan mental, perlu terus didorong dengan kampanye yang misalnya
mengkombinasikan gain-loss framed messages, konsep dari Tversky & Kahneman. Prinsipnya,
perubahan perilaku dapat terjadi apabila ada keseimbangan informasi yang diberikan terkait
keuntungan kalau menjalankan perilaku hidup sehat dan kerugian kalau tidak menjalankannya.

Selain perilaku hidup sehat, perilaku masyarakat juga berubah di era COVID-19 dalam
penggunaan teknologi, terutama teknologi digital. Teknologi digital untuk komunikasi online,
teknologi robot, dan peralatan teknologi berbasis tanpa sentuhan (non-contact) menjadi sama
pentingnya dengan listik, air, dan bahkan oksigen.

Penggunaan teknologi yang tadinya lebih banyak sebagai pendukung kerja sekunder atau malah
rekreasi, berubah menjadi fasilitas kerja utama.

Dalam sektor pendidikan misalnya, pengajar dan peserta didik akan lebih banyak menggunakan
mesin pencari dan Massive Open Online Courses (MOOC) seperti Udemy, Coursera, Ruang
Guru. Pengajar dan peserta didik juga akan terbiasa melakukan interaksi pembelajaran jarak
jauh dengan menggunakan fasilitas seperti Google Meet, Microsoft Teams, Cisco Webex, Zoom,
google classroom, WAG, dan email.

Setelah wabah COVID-19 berakhir, blended learning atau kombinasi antara pembelajaran tatap
muka dan online akan berkembang lebih pesat dari kondisi sebelumnya, yang mungkin
membuat biaya pendidikan menjadi lebih terjangkau sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh
kalangan yang lebih luas.

Pemberitaan tentang COVID-19 begitu masif baik di media mainstream maupun di media sosial.

Informasi yang belum tentu kebenarannya tersebar sedemikian banyaknya karena orang-orang
cenderung menyebarkan informasi tanpa mempertimbangkan akurasinya. Menurut Pennycook
dan kawan-kawan, hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang kurang memiliki kemampuan
berpikir kritis dan kurang berpendidikan.

Eksperimen Pennycook dan kawan-kawan menunjukkan penyebaran informasi yang bias


tersebut dapat diatasi hanya dengan mengingatkan (nudging) orang untuk mempertimbangkan
dahulu keakuratan informasi yang akan disebar. Masyarakat dilatih menjadi kritis dengan terus
mengingatkan mereka untuk senantiasa mempertimbangkan keakuratan informasi.

Sumber informasi yang tidak jelas, klaim yang berlebihan dan tidak logis, menyalahkan pihak
tertentu, adanya ajakan untuk menyebarkan, dan kata-kata yang tidak konsisten, menurut
Sellors merupakan indikasi-indikasi informasi yang tidak akurat.

Perilaku Konsumen, Perilaku Kerja, dan Perilaku Sosial

Menurut Kotler, wabah COVID-19 akan membuat masyarakat mengadopsi perilaku anti
konsumerisme.

Mereka akan memilih hidup lebih sederhana (Life Simplifiers), dengan hanya membeli barang-
barang yang dibutuhkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.

Masyarakat juga akan mulai mendukung gerakan degrowth, yang memandang konsumsi
penduduk dalam berbagai sektor sudah lebih besar dari yang bisa disediakan oleh bumi. Selain
mempertimbangkan untuk menjadi vegetarian, masyarakat juga akan lebih ramah lingkungan
dan sebisa mungkin mendaur ulang atau memperbaiki atau mendekorasi ulang atau
mendonasikan barang-barang atau makanan yang masih layak.

Sebagai konsekuensi lanjutannya, keberhasilan suatu bangsa tidak lagi hanya diukur dari
Growth Domestic Product (GDP) tetapi juga Growth Domestic Happiness (GDH) atau Growth
Domestic Well-being (GDW).

COVID-19 berdampak signifikan terhadap dunia usaha sehingga karyawan


diberhentikan/dirumahkan atau bekerja dari rumah.

Yang pasti mereka akan membutuhkan penyesuaian perilaku bahkan kalaupun mereka
mendapatkan kembali pekerjaan mereka dan beraktivitas seperti biasa. Selama bekerja mereka
harus tetap patuh dan menjalankan perilaku sesuai protokol Kesehatan.

Karyawan yang berada pada kelompok middle income ke atas biasanya melakukan saving
sebelum dan selama masa pandemik. Apabila kelompok ini kehilangan pekerjaan, mereka akan
mencari peluang untuk pengembangan diri, misalnya dengan ikut kursus/pelatihan,
mendapatkan brevet dan sertifikasi, atau bahkan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Yang jadi masalah adalah sekelompok orang yang sama sekali tidak lagi menerima gaji dan
saving (tabungan) mulai menipis atau bahkan habis.

Satu hal yang pasti, selalu ada jalan untuk semua masalah, asal mau berusaha dan tidak
menjaga gengsi. Kelompok ini akan berusaha melakukan sesuatu untuk setidaknya memenuhi
kebutuhan pokok. Perilaku entrepreneurial (kewirausahaan) berkembang lebih banyak di
masyarakat.
Mereka secara kreatif menjual berbagai jenis barang atau jasa yang memang dibutuhkan orang
lain. Banyak yang menawarkan sayuran, buah-buahan, dan bahan pokok lainnya, serta jasa
pengantaran, bahkan jasa wisata virtual. Ini hanya segelintir dari banyak perilaku inovatif yang
tiba-tiba muncul selama wabah COVID-19.

Perilaku menolong, seperti memberikan pinjaman lunak dan donasi juga sumbangan lainnya
cukup berkembang di masyarakat selama wabah COVID-19. Tidak hanya pada kalangan
menengah ke atas, tetapi masyarakat biasa juga menyadari pentingnya menolong sesama,
misalnya menyediakan makanan gratis atau bahan-bahan pokok lainnya.

Perilaku sosial lainnya juga berkembang, seperti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
keseimbangan antara kerja dengan kehidupan sosial dan keluarga akan menjadi kebiasaan
baru.

Masyarakat akan memberikan nilai yang lebih tentang pentingnya kehidupan berkeluarga,
berteman, dan komunitas. Wabah COVID-19 juga menggugah kesadaran akan kerentanan
kehidupan manusia secara keseluruhan sehingga perilaku beragama dan spiritualitas menjadi
lebih berkualitas.

Masyarakat menjadi lebih sadar tentang makna ritual keagamaan dan kaitannya dengan
kematangan spiritual dengan memandangnya sebagai proses mencari sesuatu yang lebih utama
dan bermakna.

Tantangan ke Depan

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa wabah COVID-19 tidak hanya memberikan
dampak negatif tetapi juga mengindikasikan dampak positif terhadap perubahan perilaku. Dalam
jangka pendek untuk menghadapi ancaman COVID-19, protokol kesehatan dan kebijakan
pemerintah menjadi panduan untuk berperilaku. Sedangkan untuk jangka panjang justru banyak
perilaku yang terbentuk secara konstruktif yang membuat kehidupan manusia ke depan akan
lebih baik.

Perilaku yang diharapkan antara lain seperti yang sudah disebutkan di atas berkaitan dengan
perilaku hidup sehat, penggunaan teknologi, kebiasaan baru di sektor Pendidikan, perilaku
dalam media sosial, perilaku kerja, perilaku konsumen, dan perilaku sosial keagamaan akan
berubah menjadi lebih baik dan efisien.

Perubahan perilaku untuk kenormalan baru, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,
perlu di pelihara, dikembangkan, dan dimodifikasi.

Terdapat sembilan upaya yang dapat dilakukan untuk merancang dan mengevaluasi perubahan
perilaku, menurut Michie dan kawan-kawannya, yaitu edukasi, persuasi, insentif, penerapan
aturan, pelatihan, pembatasan, restrukturisasi lingkungan, modeling, dan pemberdayaan.

Kesembilan upaya tersebut dapat digunakan oleh kalangan psikologi, baik sebagai individu
maupun organisasi, serta pemerintah untuk menimbang intervensi yang paling sesuai dalam
rangka perubahan perilaku untuk kenormalan baru sebagai dampak dari wabah COVID-19.
Bersiap untuk kenormalan baru, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, tetap sehat, saling
membantu

Tulisan Edukasi HIMPSI di Masa Pandemi COVID-19 – Seri 14


Kamis, 4 Juni 2020

Akses HIMPSI Peduli Pandemi COVID 19:


1. https://bit.ly/himpsieducovid 
2. https://bit.ly/bantuanpsikologi
3. https://publikasi.himpsi.or.id
4. https://bit.ly/relaksasipsikologis 
5. https://bit.ly/himpsipeduli
6. http://bit.ly/rujukanhimpsisejiwa

https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/perubahan-perilaku-sebagai-respon-
terhadap-wabah-covid-19-127

LAWAN STIGMA SOSIAL DENGAN EMPATI SOSIAL


   01 June 2020

     Himpunan Psikologi Indonesia

Ike Herdiana, M.Psi., Psikolog

Ketua Bidang Pengabdian Pada Masyarakat HIMPSI JATIM

Pemberitaan dalam negeri setiap hari melakukan pembaruan data, dari


mulai jumlah positif terinfeksi, orang dalam pemantauan (ODP), pasien
dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG), pasien meninggal
akibat terinfeksi covid-19, maupun pasien meninggal yang belum tentu
terinfeksi covid, namun dilakukan pemulasaraan jenazah dengan
menggunakan SOP covid-19. Pemberitaan tersebut menimbulkan stres
pada masyarakat. 

Masyarakat yang memiliki stres positif (eustress) melakukan upaya-upaya


sehat seperti  menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menggunakan
masker, menggiatkan olahraga dan gerakan berjemur, minum vitamin,
mengkonsumsi nutrisi baik, melakukan social distancing dan physical
distancing.
Masyarakat dengan stres negatif (distress) cenderung memiliki emosi yang
lebih labil, mengalami keluhan-keluhan fisik (psikosomatis), penilaian
negatif terhadap banyak hal dan menunjukkan perilaku-perilaku yang tidak
mampu dikendalikan, seperti terlalu banyak makan atau merokok. 

Dalam kondisi ini, masyarakat mudah sekali menghubungkan kondisi ini


dengan menyalahkan keadaan dan membangun penilaian negatif terhadap
segala hal yang terkait dengan isu pandemik COVID-19. Salah satunya
muncul dalam bentuk stigma sosial. 

Menurut WHO, stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan


negatif antara karakteristik individu atau kelompok dengan penyakit
tertentu. Pada kasus COVID-19, stigma awalnya menyerang orang-orang
yang berasal dari area/wilayah terinfeksi saja. 

Saat ini stigma hadir dalam bentuk pemberian label, stereotip, pemisahan,
penghilangan status dan diskriminasi terhadap orang-orang yang
terhubung dengan COVID-19. Dalam kasus COVID-19, ada peningkatan
jumlah laporan stigmatisasi publik terhadap orang-orang dari daerah
terjangkit. 

Di Indonesia, stigma sosial muncul dalam bentuk sebagai berikut : 

(1) mengucilkan penyintas atau pasien yang telah sembuh dari COVID-19,
karena dianggap masih dapat menularkan penyakitnya; 

(2) menolak dan mengucilkan orang yang berpindah dari satu daerah ke
daerah lain;

(3) mengucilkan etnis tertentu karena dianggap sebagai pembawa virus; 

(4) mengucilkan tenaga medis/kesehatan yang bekerja di rumah sakit,


karena dianggap dapat menularkan virus corona; 

(5) menolak jenazah karena dianggap masih membawa virus yang dapat
ditularkan kepada orang lain; 

(6) mengucilkan keluarga pasien, tenaga medis dan orang-orang yang


berpindah tempat.
Stigma sosial muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
fenomena pandemik yang sedang terjadi, adanya prasangka dan
diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang sudah mendapatkan
label tertentu terkait dengan COVID-19.

Tanpa disadari, stigma sosial ini bisa sangat melukai seseorang/kelompok,


bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan
virusnya itu sendiri. Beberapa dampak yang bisa saja terjadi adalah
sebagai berikut: 

(1) mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit yang diderita untuk


menghindari diskriminasi;

(2) membuat orang tidak mau mencari perawatan kesehatan segera ketika
mengalami gejala; 

(3) berkontribusi pada masalah kesehatan yang lebih berat, penularan


berkelanjutan dan kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus
corona. Jika ini terjadi hampir bisa dipastikan wabah ini masih akan
berlangsung lama, karena dapat berdampak terhadap peningkatan jumlah
kasus terinfeksi.

Kita harus melawan stigma sosial dengan empati sosial. Elisabeth Segal,
penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others,
mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang
lain, dengan merasakan atau memahami  situasi kehidupan mereka dan
sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan
kesenjangan struktural.

Ketika kita memiliki pemahaman mendalam tentang pengalaman hidup


individu/kelompok yang berbeda dengan kondisi diri kita sendiri, berarti kita
belajar tentang latar belakang mereka, hambatan juga dukungan terhadap
persoalan mereka, dan merasakan seperti apa rasanya berada dalam
posisi terpinggirkan. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan menjadi faktor
penting untuk dapat mengubah stigma sosial menjadi empati sosial.

Berikut beberapa upaya meningkatkan empati sosial untuk


mengurangi stigma sosial yang bisa diterapkan dalam masyarakat:

1.Peduli pada sesama, melalui pemberian bantuan pada masyarakat yang


lebih membutuhkan, mendukung dengan cara membeli produk usaha kecil
menengah yang masih berjuang untuk bertahan hidup, berdonasi untuk
penyediaan paket perawatan medis yang dibutuhkan, dan lainnya.

2.Kendalikan panic buying, dengan cara membatasi jumlah pembelian,


sesuaikan dengan kebutuhan, agar orang lain dengan tidak mengalami
kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan hidup harian mereka.

3.Membagi informasi positif, berdasarkan fakta baik tentang COVID-19


maupun membagi informasi positif lain yang dapat berperan mengurangi
stigma dalam masyarakat.

4.Memberikan dukungan kepada orang yang terstigma, dengan


mengendalikan pikiran kita tetap positif terhadap orang terstigma,
menyatakan penerimaan dan memberikan ruang untuk mereka kembali ke
masyarakat tanpa rasa takut.

5.Menumbuhkan sikap ‘turut merasakan’, dengan menyimak testimoni dari


pasien sembuh COVID-19 beserta kelompok dan keluarga yang selama ini
telah mendukung pasien untuk pulih atau mendengar cerita dari berbagai
macam kelompok etnis untuk memberikan gambaran bahwa usaha mereka
untuk sembuh tidak berbeda dengan kita.

6.Bijaksana mengkonsumsi informasi dari media sosial, sehingga tidak


mudah terprovokasi, hindari hoax, cek ricek segala pemberitaan yang ingin
kita ketahui, dan membuka website resmi pemerintah. Hal ini harus
didukung pula oleh pemberitaan media yang seimbang dan kontekstual,
disebarkan berdasarkan bukti informasi dan membantu memerangi rumor
yang mengarah pada stigmatisasi.

7.Galakkan kegiatan sosial positif, untuk menciptakan gerakan dan


lingkungan yang menunjukkan kepedulian dan empati untuk semua. Bisa
diawali dari lingkungan rumah sendiri, dengan tetap terkoneksi dengan
tetangga sehingga mengetahui mana dari tetangga kita yang
membutuhkan pertolongan.

Tetap terkoneksi – saling dukung - membagi hal baik – berpikir positif


– stop diskriminasi

Tulisan Edukasi HIMPSI di Masa Pandemi COVID-19 – Seri 13 


Senin, 1 Juni 2020

Akses HIMPSI Peduli Pandemi COVID 19:

1. https://bit.ly/himpsieducovid 

2. https://bit.ly/bantuanpsikologi

3. https://publikasi.himpsi.or.id

4. https://bit.ly/relaksasipsikologis 

5. https://bit.ly/himpsipeduli

6. http://bit.ly/rujukanhimpsisejiwa 

https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/lawan-stigma-sosial-dengan-empati-
sosial-126

AUDIO RELAKSASI MENURUNKAN KECEMASAN KARENA


PANDEMI COVID19
   28 March 2020

     Administrator

Virus corona telah memicu ketidakpastian di seluruh penjuru dunia karena 


pemberitaan mengenai wabah yang tak kunjung mereda. Kondisi ini dapat
memengaruhi kesehatan mental, baik pada masyarakat dengan kondisi
mental normal apalagi bagi mereka yang sudah memiliki masalah mental
bawaan seperti gangguan kecemasan atau gangguan obsesif kompulsif
(OCD). Munculnya kecemasan karena ketidakberdayaan dan kegagalan
untuk menoleransi ketidakpastian merupakan ciri-ciri khas pada banyak
kasus gangguan kecemasan akibat pandemi covid-19 ini.

Panduan relaksasi ringan ini semoga bisa membantu masyarakat


untuk memiliki stabilitas emosi yang lebih seimbang.
https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/audio-relaksasi-menurunkan-kecemasan-
karena-pandemi-covid19-89#scrollTop=0

INFODEMIK DI SAAT PANDEMI


   28 May 2020

     JUNEMAN ABRAHAM

Oleh: Dr. Rahkman Ardi, M.Psych

Kompartemen Riset dan Publikasi PP HIMPSI

Pandemi COVID-19 tidak hanya semata berkaitan dengan persebaran


virus yang menular secara cepat. Ia juga diikuti dengan persebaran masif
informasi baik yang akurat maupun yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya berdampak pada
kebingungan masyarakat. WHO menyebut fenomena ini
sebagai infodemik yang berdampak besar pada sulitnya konsumer media
untuk mendapatkan panduan informasi yang dapat dipercaya dan kredibel. 

Dengan kata lain, infodemik tidak hanya berkaitan dengan persebaran


masif berita hoaks namun juga berkaitan dengan diseminasi informasi-
informasi yang tidak sinkron dan membingungkan yang dikeluarkan oleh
pihak-pihak tertentu termasuk pihak yang berwenang. Hal ini merupakan
persoalan serius untuk diatasi karena berdampak pada tepat tidaknya
individu dan masyarakat dalam mengidentifikasi persoalan dan berperilaku
di tengah-tengah pandemi.

Catatan Kominfo pada awal Mei telah ditemukan 1401 sebaran isu hoaks
dan disinformasi yang tersiar di masyarakat. Beberapa isu tak hanya terkait
dengan informasi menyesatkan akan akibat, pencegahan, dan penanganan
penyakit yang tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
tetapi juga terkait dengan anggapan bahwa COVID-19 adalah konspirasi
dan hoaks. 

Sekjen WHO, Tedrom Adhanom Ghebreyesus, menegaskan bahwa saat


ini musuh kita bukan hanya epidemi tetapi juga infodemik dari berita-berita
tidak akurat dan bohong yang menyebar lebih cepat dibandingkan virus itu
sendiri. 
Laporan riset yang dirilis oleh Lopez dan Martin tahun 2020 ini menyatakan
kemungkinan bahwa persebaran COVID-19 di US seharusnya bisa lebih
rendah 20 persen dari saat sekarang jika tidak ada berita hoaks di
masyarakat. 

Selain hoaks, persoalan infodemik yang tidak kalah penting adalah terkait
dengan masifnya informasi yang simpang siur yang menjalar di
masyarakat. Dengan kata lain, hal ini tak melulu berupa berita hoaks, tetapi
terkait ketidakjelasan aturan, larangan, dan apa saja yang diperbolehkan
atau tidak selama masa pandemi. 

Ketidakjelasan dan ketidaksinkronan informasi yang dinyatakan oleh pihak


yang berwenang kerapkali diberitakan dan dipertontonkan di depan publik.
Terakhir bahkan beberapa tulisan media massa nasional mencatat
ketidaksinkronan dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait
persoalan mudik dan batasan pelonggaran PSBB.

Ketidaksinkronan diseminasi informasi tidak dapat dianggap remeh. Secara


psikologis hal ini berperan besar bagi individu untuk menafsirkan dan
melakukan tindakan apapun yang dianggap tepat dengan caranya sendiri
karena kebutuhan akan kejelasan dalam situasi krisis yang penuh dengan
ambiguitas tidak cukup terpenuhi. 

Masa pandemi -di mana setiap orang akan semakin sering menggunakan
gawai sebagai pengganti setiap kegiatan tatap muka- membuat risiko
terjadinya infodemik akan semakin besar terjadi. Konten-konten berita dan
isu terkait pandemi dalam media sosial ataupun pesan instan elektronik
yang lalu lalang bersamaan dengan tingginya penggunaan gawai
dimungkinkan akan semakin sering dikonsumsi. 

Berita-berita menyesatkan dan membingungkan yang dibagikan oleh rekan


dan jejaring lantas dijadikan acuan dalam memahami realitas yang terjadi
tanpa dilakukan pengecekan fakta.

Pengecekan fakta merupakan hal vital dilakukan bukan melulu karena


intensi disinformasi dari produsen berita, namun bahkan pada jurnalisme
berbasis fakta pun bias dan error masih dimungkinkan terjadi akibat kerja
jurnalisme yang dipacu oleh kecepatan dan tenggat waktu. 
Kita dapat melihat bagaimana selebritis dan beberapa influencer di media
sosial justru menyebarkan isu-isu konspirasi terkait pandemi yang justru
viral disebarkan oleh banyak orang yang menjadi pengikutnya.

Selain itu, infodemik dapat semakin menguat justru karena kemampuan


internet dalam menjembatani individu-individu yang berpikiran seminat
untuk dapat berinteraksi dan bertukar informasi secara lebih intens. Sifat
dari ruang daring yang selalu bisa mempertemukan penggunanya dengan
siapapun yang seminat akan membuat seseorang yang sudah terlanjur
percaya dengan berita bohong kurang tertantang untuk melakukan
pengecekan informasi. 

Alih-alih membuat individu mencari informasi yang kredibel berdasar fakta


yang dapat dipertanggungjawabkan, ia justru mencari atau mendapatkan
penguatan dan pembenaran atas kepercayaannya melalui rekan-rekan
seminat. Fenomena ini yang dalam psikologi sosial dikenal sebagai bias
konfirmasi. 

Faktor lain menguatnya infodemik dalam situasi krisis adalah


kecenderungan setiap manusia yang selalu membutuhkan penjelasan atas
apapun yang dialaminya. Teori atribusi menegaskan bahwa hal ini dapat
terjadi karena setiap individu selalu ingin memprediksi dan mengontrol apa-
apa yang mereka alami dan hadapi. Orientasi mereka terhadap isi berita
akan digerakkan oleh pengalaman keseharian yang selalu butuh dijelaskan
dan perlu dikontrol terutama dalam situasi krisis.

Manusia selalu merasa tidak nyaman jika ia tidak mampu menjelaskan dan
memiliki kendali atas situasi yang dialaminya. 

Sementara itu, pemuasan kebutuhan akan kejelasan informasi di era


internet yang selalu dimanjakan oleh kecepatan dan kebaruan seringkali
justru membuat manusia terjebak dalam perilaku sembrono dan sikap tak
sabaran dalam mendapatkan kejelasan. Ia lahap mengunyah semua
informasi dalam jejaringnya tanpa menyaring dan mengeceknya. Vosoughi
dan kawan-kawannya pun menemukan bahwa tweet yang berkaitan
dengan informasi menyesatkan menyebar lebih luas, cepat, dan dalam jika
dibandingkan dengan informasi yang benar yang berbasis fakta. Hal ini
karena informasi hoaks seringkali dipersepsikan memberikan kejelasan
dan lebih terkini (up to date) di saat situasi sekeliling dianggap ambigu dan
simpang siur.
Penyebaran berita menyesatkan ini akan semakin diperparah jika dalam
situasi krisis, pihak yang berwenang pun justru ikut andil dalam ambiguitas
informasi yang tidak sinkron yang dikonsumsi oleh publik.  

Penanganan infodemik ini memerlukan kerjasama semua pihak yang


berwenang untuk membangun kepercayaan publik. 

Sinkronisasi strategi kerjasama dan diseminasi informasi yang terkoordinir


mutlak dibutuhkan antara pemerintah baik pusat maupun daerah, media
massa, organisasi pelayanan kesehatan, organisasi masyarakat, dan
semua pihak dalam membentuk kepercayaan dan perilaku kesehatan
publik di masa pandemi dan pascapandemi. 

Penegakan hukum atas pembuat dan penyebar informasi menyesatkan


perlu diperketat dan didukung. Diseminasi informasi yang sinkron dan
terkoordinasi secara psikologis akan membantu setiap individu untuk
menyelesaikan ambiguitas kognitif yang dialaminya sehingga mendapatkan
referensi yang tepat dan dapat dipercaya dalam bertindak menghadapi
pandemi. 

Hal lain yang tidak kalah penting bahwa peningkatan penggunaan


teknologi digital saat pandemi seyogyanya dapat dijadikan momentum
untuk memasukkan kurikulum yang mengedepankan ketrampilan
psikologis daring berupa literasi dan tanggung jawab digital. Dalam
peradaban di mana semua orang mau tidak mau harus menggunakan
teknologi dalam setiap aktivitasnya sekaligus menyadari paparan risiko
infodemik maka individu membutuhkan resiliensi dalam melakukan setiap
kegiatan daringnya.

Pemberian pendidikan akan literasi dan tanggung digital ini tidak hanya
menyelamatkan individu yang bersangkutan ketika ia berenang dan
menyelam dalam lautan digital, namun juga seluruh jejaring dan komunitas
di sekitarnya, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini

Cek ricek informasi, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, tetap
sehat, saling membantu

Tulisan Edukasi HIMPSI di Masa Pandemi COVID-19 – Seri 12 


Kamis, 28 Mei 2020

Akses HIMPSI Peduli Pandemi COVID 19:

1. https://bit.ly/himpsieducovid 

2. https://bit.ly/bantuanpsikologi

3. https://publikasi.himpsi.or.id

4. https://bit.ly/relaksasipsikologis 

5. https://bit.ly/himpsipeduli

6. http://bit.ly/rujukanhimpsisejiwa 

https://himpsi.or.id/blog/materi-edukasi-covid-19-5/post/infodemik-di-saat-pandemi-124

Masyarakat di seluruh dunia saat ini masih berjibaku melawan pandemi Covid-19. Sejak
pertama kali ditemukan di China pada akhir 2019 silam, Covid-19 telah menelan jutaan nyawa
manusia di seluruh dunia. Negara-negara di dunia saat ini terus berupaya menekan
penyebaran Covid-19. Sejumlah negara kembali mencatatkan rekor tertinggi kasus Covid-19,
diantara India yang sempat mengadapi tsunami Covid – 19 dan sekarang bersiap menghapi
fase ketiga yang tidak bisa dihindari. Hanya dalam 4 bulan terakhir saja, India melaporkan 10
juta kasus. Pertemuan massal, rendahnya tingkat vaksinasi, dan varian baru virus corona
yang ganas menyebabkan kasus Covid-19 di India melonjak parah. India mencatatkan,
25,228,996 kasus, 278,751 meninggal, 21,596,512 sembuh. Tidak hanya India, penyebaran
Covid – 19 di Rusia juga belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Penyebaran virus mematikan
ini masih sangat tinggi. Terbaru, Rusia melaporkan 4,949,573 kasus, meninggal 116,211, dan
sembuh 4,949,573. Di sisi lain, Singapura yang sangat berhati – hati, tegas, dan disiplin,
beberapa waktu terakhir berhasil mengendalikan kasus Covid-19 dengan angka penularan
dan kematian yang sangat rendah. Sayangnya, terbaru, pemerintah Singapura juga kembali
mengumumkan penerapan pembatasan ketat atau lockdown mulai berlaku pada Minggu, 16
Mei 2021. Kebijakan ini berlaku hingga 13 Juni mendatang. Update terbaru tercatat 61,651
kasus di Singapura, 31 orang meninggal, 210 di rawat di rumah sakit dalam kondisi stabil, 3
orang kritis, 246 isolasi di fasilitas umum, dan 61,123 sembuh.

BNPB Indonesia

Anda mungkin juga menyukai