Istilah kritik sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yaitu critic: pengecam, pengupas, dan
pembahas. Bahasa Yunani dari kata kritikos yang erat hubungannya dengan krinein yang berarti
memisahkan, mengamati, menilai, dan menghakimi (Bangun, 2005). Namun demikian, dalam konteks
perkembangan di dunia empirik banyak para tokoh yang kemudian membatasi istilah kritik berdasarkan
keyakinan masing-masing. Penyebabnya adalah eksistensi kritik seni kadang masih menjadi perdebatan.
Secara sederhana, kritik seni adalah sebuah aktivitas menelaah kualitas karya seni yang dapat
diungkapakan melalui tulisan atau lisan melalui tahapan-tahapan sistematis, terukur, dan ilmiah.
Tahapan yang harus dilakukan dalam proses menelaah tersebut adalah deskripsi, analisis formal,
interpretasi dan evaluasi.
Kajian atau telaah kualitas karya seni melalui tahapan ilmiah tersebut akan menghantarkan
seseorang memperoleh sebuah pengalaman estetik atau kenikmatan seni. Pengalaman estetik yang
didapatkan tersebut berdasarkan hasil tahapan final proses kritik, yaitu judgement atau penghakiman.
Namun demikian, seseorang yang dapat melakukan kritik adalah orang yang memiliki kreativitas dan
kepekaan dalam menelusuri kualitas melalui pendeskripsian, pengkorelasian atau pengkaitan antar
fakta objektif pada subjek karya secara selektif dan signifikan. Interpretasi dan keberanian memutuskan
keunggulan karya juga sebuah proses yang terkadang melibatkan kepekaan intuisi disamping logika,
Proses itu merupakan sebuah keunikan tersendiri dan sulit untuk ditiru karena penuh lika-liku.
Dalam aktivitas kritik seni, penulis seringkali menemukan istilah subjek dan obyek yang ambigu
dalam hal relevansi acuan yang dimaksud. Subjek adalah pelaku sedangkan obyek adalah benda atau
seseorang yang dikenai oleh pelaku dalam aktivitas tertentu. Penulis berpendapat sebagai berikut.
Pertama, dalam konteks aktivitas penciptaan maka subjeknya adalah seniman sedangkan obyekya
model atau benda yang ditiru, Kedua dalam aktivitas kritik seni maka subjeknya adalah kritikus dan
obyeknya adalah karya seni. Lebih lanjut, dalam proses aktivitas kritik seni, karya seni sebagai sebuah
benda yang akan dikritik dapat pula disebut subjek kritik. Tetapi bukan subjek sebagai seorang pelaku
akan tetapi subjek sebagai sebuah benda yang akan dikritik. Sebagai sebuah subjek yang akan dikritik,
karya seni harus berwujud dapat diamati dan dapat diraba untuk dapat dilakukan penilaian.
Perwujudannya berupa sebuah karya seni rupa dengan berbagai corak, gaya, perkembanganan baik
periode sejarah masa lampau maupun masa sekarang. Kritik tidak bisa dilakukan jika benda yang akan
ditelaah tidak ada. Jika benda yang akan dikritik telah menjadi subjek kritik maka objek kritik adalah
nilai-nilai keindahan yang melekat pada subjek. Inilah intisari yang akan dicari melalui kerja kritik. Objek
kritik merupakan nilai atau value yang kehadiranya tidak bisa diamati tetapi gejalanya dapat dirasakan
melalui subjek yang kasat mata. Objek kritik merupakan pokok persoalan yang akan dikupas ketika
sudah berhadapan dengan subjek kritik.
Sedangkan dalam konteks karya, sudah jamak dinyatakan dan banyak para ahli yang
mengatakan bahwa wujud-wujud, rupa-rupa, bentuk-bentuk yang representatif maupun non
representatif dan tervisualkan atau tergambarkan pada kertas atau kanvas lebih tepat diidentifikasi
dengan istilah subjek. Namun subjek ini agar tidak bias dalam konteks aktivitas penciptaan, maka yang
paling benar penyebutan istilah adalah subyek karya. Subyek karya ini merupakan bentuk yang
terinderawi untuk diposisikan sebagai bentuk kasat mata dan dapat pula dilanjutkan untuk
diinterpretasi maknanya. Oleh karena itu, subyek karya tersebut dapat diinterpretasi makna (sesuatu
yang tidak kasat mata). Makna karya inilah yang biasanya akan lebih tepat disebut obyek karya.
Kesatuan subyek dan obyek karya inilah yang dapat menghantar pembaca mengenal sebuah subject
matter atau tema dalam sebuah seni lukis.
Paradigma, pendekatan, metode merupakan strategi, cara yang digunakan untuk memahami
subjek Kritik agar objek kritik menjadi lebih jelas secara lebih operasional. Sebelum menetapkan
metode yang akan digunakan sebaiknya ditetapkan dulu pendekatan dan paradigma atas subjek kritik
yang telah dipilih. Misalnya, menggunakan paradigma konstruktivisme, strukturalisme, atau
poststrukturalisme.
Agar menghasilkan bobot penilaian yang baik, maka kritikus harus memiliki syarat-syarat sebagai
berikut: (1) memahami sejarah seni rupa, kesenian dan kebudayaan, (2) harus berpengalaman
mengamati karya secara langsung (otentik) bukan dari repro atau slide, (3) mengetahui dan memahami
benar peristilahan (diksi), style seni, fungsi seni, opini seniman dan pakar tentang estetika secara
periodik, (4) mengetahui teknik artistik dalam berbagai media, (5) memiliki cita rasa yang terbuka
(memiliki kapasitas menghargai kreativitas artistik yang beragam, (6) bisa membedakan niat artistik dan
pencapaian artistik seniman dalam berkarya, (7) harus obyektif tidak subyektif (tidak “say hello” atau
mampu melawan bias simpati terhadap seniman), (8) memiliki sensibilitas kritis saat menghadapi karya
yang beragam, (9) memiliki temperamen judicial berdasarkan data yang akurat.
Dalam sejarah filsafat, fenomenologi dan hermeneutik merupakan sebuah metode berfilsafati.
Namun, dalam konteks sekarang keberadaannya telah mampu didayagunakan sebagai metode atau cara
dalam memahami sesuatu secara lebih ilmiah. Berbagai pakar pemikir telah berusaha menyempurnakan
keberadaannya agar sahih menjadi metode untuk memahami dan menafsirkan sehingga kebenaran
akan sesuatu dapat terungkap.
Begitupula dalam kritik seni, kedua metode tersebut dianggap memiliki sumbangan yang sangat
penting dalam memahami karya seni. Dalam konteks ini, karya seni yang wujudnya berupa sebuah karya
dapat diamati secara kasat mata adalah sebuah misteri penanda yang petanda atau maknanya perlu
dicarikan. Dan, makna tersebut haruslah yang logis, ilmiah, dan bersesuaian dengan kenyataan yang
ada.
Awalnya, fenomenologi adalah cara berpikir filsafat untuk mengantisipasi kelemahan model
berpikir idealisme maupun realisme. Fenomenologi adalah fondasi model pemahaman secara
interpretatif terhadap sesuatu. Salah satu implikasinya dalam kritik seni adalah suatu makna objek
estetik (karya seni) dibentuk melalui hubungan yang bersifat dialektik antara subjek dan objeknya.
Sehingga dalam memahami sesuatu, suatu makna tidak melekat pada benda itu semata tetapi makna
juga melekat pada diri subjek. Ada sebuah integrasi antara pemahaman objektif dan subjektif. Antara
materialistik dan idealistik. Hal itu dilakukan salah satunya adalah untuk memperoleh pemahaman yang
kuat dan akurat.
Hal yang secara khusus memberikan persamaan adalah pada tahap penafsiran, sebenarnya
terdapat paradigma-paradigma yang sama ketika digunakan baik pada kritik maupun penelitian
kualitatif. paradigma atau cara pandang dalam tataran abstrak atau metode dalam tataran operasional
tersebut adalah meliputi formalisme, ikonografi, kontekstual, biografi, semiotika strukturalis, semiotika
postrukturalis, dan psikoanalisis. Paradigma-paradigma tersebutlah yang sebenarnya ingin ditekankan
dalam buku ajar ini. Namun karena konteks paradigma tersebut sangat luas cakupannya, maka dalam
hal ini nantinya pembahasannya diambil secara singkat dan seefektif mungkin sehingga dapat
aplikasikan pada karya seni rupa. Namun bagi mahasiswa yang tidak puas bahkan dianjurkan untuk tidak
puas disarankan untuk membaca buku-buku yang khusus membahas tentang substansi tersebut.