Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jalan merupakan salah satu insfrastruktur yang sangat penting dalam mendukung berlangsungnya
kehidupan, namun karena adanya beberapa faktor permasalahan, jalan menjadi rusak dan tidak
berkeselamatan bahkan membahayakan bagi pengguna jalan. Oleh sebab itu maka kontruksi jalan
pada setiap jaringan jalan yang merupakan infrastruktur dasar yang mempunyai peran penting dalam
meningkatkan mobilitas penduduk dan aksesibilitas wilayah tersebut harus diperhatikan dengan
benar. Dalam hal ini adalah struktur lapisan jalan yang terdiri dari lapisan tanah dasar (subgrade),
lapisan pondasi bawah (subbase), lapisan pondasi (base) dan lapisan permukaan (surface) dan juga
terkait dengan lebar jalan serta desain alinyemennya. Oleh karena itu dalam proses penanganan ruas
jalan ini harus benar-benar diperhatikan dengan baik, baik itu tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan pemeliharaannya, supaya tujuan menciptakan jalan yang
berkeselamatan dapat terpenuhi.
Keselamatan Jalan merupakan isu yang cenderung mengemuka dari tahun ke tahun dan saat ini sudah
menjadi permasalahan global. Hal ini dapat dilihat dengan dicanangkannya Decade of Action for Road
Safety 2010-2020 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Oleh karena itu, keselamatan jalan
menjadi pertimbangan pertama dalam menentukan kebijakan yang menyangkut jalan raya. Di
Indonesia, keselamatan jalan telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-
Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan,
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Rencana Umum
Nasional Keselamatan (RUNK) jalan. Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat, sebagai instansi yang memiliki tugas dalam mengelola jalan nasional di
Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya dalam peningkatan keselamatan jalan. Salah satunya
adalah dengan adanya proyek Rekonstruksi Jalan Bts. Kota Situbondo Bajulmati.
Akan tetapi maksud dari pengangkatan judul Studi Kasus ini adalah penerapan Manajemen Risiko
untuk mengukur tingkat risiko yang akan dialami oleh owner maupun kontraktor, sehingga bisa
mengetahui tingkat risiko yang akan terjadi yang sangat mempengaruhi Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi (SMKK).

1
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan keterangan dari latar belakang yang dijelaskan diatas, maka permasalahan-permasalahan
dapat diidentifikasi sebagai acuan dalam penulisan Studi Kasus ini. Permasalahan-permasalahan yang
dapat diidentifikasi antara lain :
Banyaknya kasus tentang infrastruktur jalan yang rusak yang mempengaruhi keselamatan
pengguna jalan.
Penanganan ruas jalan harus benar-benar baik, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan pemeliharaanya.
Penerapan manajemen risiko yang baik dalam penanganan proyek konstruksi jalan.

1.3. Rumusan Masalah


Dari hasil identifikasi masalah maka rumusan masalahnya antara lain :
Bagaimana menangani infrastruktur jalan yang rusak yang berpengaruh terhadap keselamatan
jalan ?
Bagaimana penanganan jalan yang baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan pemeliharaanya?
Bagaimana menerapkan Manajemen Risiko yang baik dalam penanganan proyek konstruksi
jalan?

1.4. Lingkup Pembahasan


1.4.1. Proyek Konstruksi
Menurut Kerzner (2009), proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk mencapai
suatu tujuan (bangunan atau konstruksi) dengan Batasan waktu, biaya dan mutu tertentu. Proyek
konstruksi membutuhkan resources (sumber daya) yaitu man (manusia), material (bahan
bangunan), machine (peralatan), method (metode pelaksanaan), money (uang), information
(informasi), dan time (waktu).
Menurut Husen (2009), proyek adalah gabungan dari berbagai macam sumber daya, seperti sumber
daya manusia, material, peralatan dan modal / biaya dalam susatu wadah organisasi yang bersifat
sementara untuk mencapai sasaran dan tujuan.

(Ervianto, 2003).

2
Jadi arti dari Proyek konstruksi adalah suatu rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan upaya
pembangunan suatu bangunan, mencakup pekerjaan pokok dalam bidang teknik sipil dan
arsitektur, meskipun tidak jarang juga melibatkan disiplin lain seperti Teknik industri, mesin,
elektro, geoteknik, maupun lansekap.

1.4.2. Konstruksi Jalan


Konstruksi jalan yaitu suatu proyek yang meliputi penggalian, pengurugan, pengerasan jalan, dan
konstruksi jembatan serta struktur drainase. Konstruksi jalan direncanakan, dilaksanakan dan
diawasi oleh Departemen Pekerjaan Umum, dalam hal jalan nasional adalah Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga.
Konstruksi jalan terdiri dari berbagai macam lapisan antara lain :
1. Lapisan tanah dasar (subgrade)
Daya dukung tanah dasar sangat berpengaruh terhadap kinerja perkerasan lentur jalan dalam
mendukung beban lalu lintas kendaraan (TNZ, 2002; Ditjen Bina Marga, 2006.; Gedafa, 2006).
Permasalahan teknis yang menyangkut tanah dasar, antara lain :
a. Deformasi permanen oleh beban lalu lintas yang Over Dimension dan Over Load (ODOL),
sehingga berakibat perubahan bentuk dari struktur perkerasan di atasnya,
b. Penurunan permukaan yang tidak merata karena kekurangtepatan mutu pelaksanaan
pemadatannya terutama pada konstruksi timbunan, sehingga mempercepat bentuk
gelombang permukaan perkerasannya,
c. Perubahan volume (kembang dan susut) akibat perubahan kadar air bila terjadi
penyimpangan prosedur mutu pemadatan tanah berbutir (granular),
d. Perubahan kembang susut karena jenis tanah ekspansif yang mengakibatkan konstruksi
perkerasan tidak stabil,
e. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti terutama pada
daerah dengan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat
ketidaktepatan mutu pelaksanaan pemadatannya,
f. Aliran air tanah yang tidak terdeteksi sejak awal karena tidak terakomodasi dalam gambar
rencana sehingga terjadi kapilaritas pada saat pelaksanaan pekerjaan.

3
Beberapa indikator teknis untuk mengukur mutu konstruksi tanah dasar, antara lain :
a. Nilai CBR lapangan disyaratkan lebih besar atau sama dengan 90% dari CBR laboratorium
(AASHTO, 1998; Wright, 1999; Scott et al., 2004; Balitbang Departemen PU, 2005;
Gedafa, 2006),
b. Nilai kepadatan lapangan disyaratkan lebih besar atau sama dengan 95% dari kepadatan
laboratorium (Yoder & Witczak, 1975; Wright, 1999; Scott et al., 2004; Balitbang
Departemen PU, 2005),
c. Nilai kadar air lapangan berada pada rentang toleransi 2,0% terhadap nilai kadar air
optimum laboratorium (Yoder & Witczak, 1975; Wright, 1999; Scott et al., 2004; Balitbang
Departemen PU, 2005).

2. Lapis Pondasi Bawah (Subbase)


Lapis pondasi bawah (subbase) diletakkan di atas tanah dasar (Yoder & Witczak, 1975;
AASHTO, 1998; Wright, 1999; Wignall et al., 2002; Balitbang Departemen PU, 2005)
berfungsi secara struktural, antara lain :
a. Sebagai bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban
kendaraan ke lapisan tanah dasar,
b. Mencegah aliran air tanah dari tanah dasar masuk ke dalam lapisan di atasnya (lapis
pondasi),
c. Sebagai lapisan penutup tanah dasar dari pengaruh cuaca sehingga dapat mempertahankan
daya dukung tanah dasar.
Beberapa indikator teknis untuk mengukur mutu konstruksi lapis pondasi bawah (Balitbang
Departemen PU, 2005), antara lain :
a. Nilai CBR lapangan disyaratkan minimal 20%,
b. Nilai kepadatan lapangan minimal 95% dari kepadatan kering maksimum laboratorium,
c. Nilai kadar air lapangan berada pada rentang toleransi 2,0% terhadap nilai kadar air
optimum laboratorium.

4
3. Lapis Pondasi (Base)
Lapis pondasi atau (base) diletakkan di atas lapis pondasi bawah (Yoder & Witzack, 1975;
AASHTO, 1998; Wright, 1999; Wignall et al., 2002; Balitbang Departemen PU, 2005)
berfungsi secara struktural, antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan limpahan beban kendaraan dari lapisan
permukaan yang selanjutnya sebagian ditransfer ke lapisan pondasi bawah,
b. Sebagai perletakan struktural terhadap lapis permukaan (surface),
c. Mencegah kapilaritas air tanah yang berasal dari lapisan di bawahnya.

Beberapa indikator teknis untuk mengukur mutu konstruksi lapis pondasi (Balitbang
Departemen PU, 2005), antara lain :
a. Nilai CBR lapangan disyaratkan minimal 80%,
b. Nilai kepadatan lapangan minimal 95% dari kepadatan kering maksimum laboratorium,
c. Nilai kadar air lapangan berada pada rentang toleransi 2,0% terhadap nilai kadar air
optimum laboratorium.

4. Lapis Permukaan (Surface)


Lapis permukaan (Surface) merupkan lapisan paling atas dalam suatu konstruksi jalan, bisa
berupa perkerasan lentur (Flexible Pavement) atau Perkerasan Kaku (Rigid Pavement). Lapis
permukaan berfungsi secara struktural (Yoder & Witzack, 1975; Wright, 1999; AASHTO,
1998; Wignall et al., 2002; Balitbang Departemen PU, 2005), antara lain :
a. Sebagai penahan beban kendaraan yang utama, kemudian beban tersebut disalurkan ke
lapisan pondasi,
b. Sebagai lapisan penahan cuaca untuk melindungi badan jalan dari kerusakan.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course) yang mampu melindungi infiltrasi air permukaan
yang menerobos pori-pori lapisan di bawahnya.
d. Sebagai lapisan pertama yang kontak langsung dengan beban kendaraan.

1.4.3. Pengertian Manajemen Risiko


Menurut Loosemore dkk (1993), manajemen risiko proyek meliputi aspek teknik dan non teknik,
aspek teknik misalnya yang berhubungan dengan item pekerjaan. Sedangkan aspek non teknik

5
misalnya hubungan antara proyek dengan masyarakat sekitar, proyek dengan pemerintah daerah,
atasan dengan bawahan dan sebagainya. Penerapan manajemen risiko tidak hanya untuk proyek-
proyek bangunan saja namun juga pada hal-hal lain seperti keuangan perusahaan, perbankan,
proses industri dan lain sebagainya.

1.4.4. Analisa Risiko


Risiko berhubungan dengan ketidakpastian, hal ini terjadi karena kurangnya informasi mengenai
yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak pasti dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Seperti
diartikan oleh (Regan,2003) bahwa risiko ialah suatu kemungkinan yang menimbulkan atau
mengesankan kerugian atau bahaya.
Risiko diklasifikasikan menjadi dua oleh Mamduh Hanafi (2009), yaitu: risiko murni dan risiko
spekulatif. Pure risks atau biasa disebut risiko murni merupakan risiko di mana kemungkinan
kerugian ada tetapi kemungkinan keuntungan tidak ada. Contoh: kebakaran, kecelakaan,
kebanjiran, dan lain-lain. Sedangkan risiko spekulatif merupakan risiko di mana kita
mengharapkan terjadinya kerugian dan juga keuntungan. Contoh: membeli saham, usaha bisnis,
dan lain lain.
Secara ilmiah definisi risiko adalah kombinasi fungsi dan frekuensi kejadian, probabilitas dan
konsekuensi dari bahaya risiko yang terjadi (Husen,2009).
Untuk itu, agar dapat menanggulangi segala risiko yang mungkin terjadi diperlukan sebuah proses
yang dinamakan sebagai manajemen risiko. Manajemen risiko merupakan kegiatan manajemen
yang dilakukan pada tingkatan pimpinan pelaksana, yaitu kegiatan penemuan dan analisis
sistematis kerugian yang mungkin dihadapi perusahaan akibat suatu risiko serta metode yang
paling tepat untuk menangani kerugian yang dihubungkan dengan tingkat profitabilitas perusahaan.
Herman Darmawi (2006) menyatakan, manajemen risiko adalah suatu usaha untuk mengetahui,
menganalisis, serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk
memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi.
Untuk mengetahui seberapa besar risiko dalam sebuah kegiatan atau proyek maka manajemen
risiko mempunyai beberapa tahapan yang harus dilalui, antara lain:

6
A. Identifikasi Risiko
Hal ini berfungsi untuk mengidentifikasi risiko apa saja yang terjadi, salah satunya dengan
cara menelusuri sumber risiko hingga terjadinya suatu peristiwa yang tidak diinginkan.Teknik
untuk melakukan identifikasi bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya
adalah dengan cara menstrukturisasi berbagai macam variabel risiko yang telah ada, baik itu
dari data data proyek terdahulu ataupun dari hasil curah gagasan (brainstorming) bersama
tim proyek, yang kemudian data tersebut dimasukkan dalam kategori kategori risiko sesuai
dengan karakteristik masing masing variabel (Husen, 2009). Selain itu juga dapat dilakukan
dengan cara mengamati sumber sumber risiko untuk kemudian dapat dilakukan identifikasi
risiko, sehingga risiko apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proyek dapat diketahui
(Hanafi, 2009).

B. Pengukuran Risiko dan Evaluasi


Dengan adanya pengukuran risiko dan evaluasi maka karakteristik risiko dapat dipahami
dengan lebih baik dan terukur. Metode untuk mengukur risiko antara lain :
a. Metode Sesitivitas
Metode sensitivitas merupakan suatu cara pengukuran dampak pada eksposur dari
akibat pergerakan variabel suatu risiko. Pengukuran dengan metode sensitivitas ini
banyak digunakan karena metode ini paling mudah teknis perhitungannya.
b. Metode Volatilitas
Metode volatilitas merupakan metode yang menunjukkan besaran kemungkinan hasil
di sekitar ekspektasi hasil. Volatilitas yang sering digunakan adalah jangkauan (range)
dan standar deviasi. Perhitungan standar deviasi dapat menggunakan dua jenis data
yaitu data historis dan data hasil peramalan.
c. Metode Risiko Sisi Bawah (Downside Risk)
Risiko dapat memberi dampak positif maupun negatif. Risiko ini hanya mengukur
potensi dampak buruk bila risiko menjadi kenyataan. Perlu diingat, terdapat kondisi
di mana perusahaan bisa menghadapi risiko yang hanya berdampak positif, tetapi
tidak hanya berdampak negatif.

7
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pengukuran risiko adalah dengan
menggunakan dua klasifikasi, yaitu frekuensi atau probabilitas terjadinya risiko dan
tingkat keseriusan kerugian (impact) dari suatu risiko.

C. Pengelolaan/Pengendalian Risiko (Risk Control)


Pengelolaan risiko dilakukan untuk menghindari kerugian yang sangat besar, adapun
teknik pengelolaan risiko antara lain :
a. Menghindari (Avoidance)
Menghindari risiko meliputi perubahan rencana manajemen proyek untuk mengurangi
ancaman ancaman yang diakibatkan oleh risiko risiko yang buruk, untuk
mengasingkan tujuan awal proyek dari dampak risiko,
b. Memindahkan (Transfer)
Ketika seseorang atau suatu badan mentransfer atau mengalihkan risiko ke pihak lain,
mereka akan mengalihkan tanggung jawab finansialnya untuk suatu risiko kepada
pihak lain dengan membayar jasa tersebut, contohnya adalah asuransi,
c. Mengurangi (Mitigate);
Mengurangi risiko adalah mengadakan pengurangan kemungkinan atau dampak dari
risiko yang dapat merugikan sampai batas yang dapat diterima,
d. Menerima (Acceptance);
Menerima risiko adalah teknik yang dilakukan jika kemungkinan risiko tidak dapat
diidentifikasi dan menunjukkan hal yang positif.

Pemilihan teknik pengelolaan risiko adalah dengan mempertimbangkan


frekuensi/probabilitas, sebagaimana dijelaskan dalam tabel 1.1, dan dalam gambar 2.1.
Tabel 2.1. Alternatif Manajemen Risiko
Frekuensi Severity Teknik Yang
(Probabilitas) (Keseriusan) Dipilih
Rendah Rendah Ditahan
Tinggi Rendah Ditahan
Rendah Tinggi Ditransfer
Tinggi Tinggi Dihindari
(Sumber : Hanafi, 2009)

8
Gambar 2.1. Treshold of risk levels. (Sumber : Wibowo, 2010)
Menurut Soemarwoto (2009) pengukuran perspektif responden mengenai penting atau tidaknya
risiko-risiko sebagai variabel penelitian, dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, antara lain :
1. Metode Informal
Metode Informal merupakan metode sederhana dengan cara memberi nilai verbal, misal kecil, sedang
dan besar, atau bisa juga dengan cara pemberian skor, misal 1 sampai 5 tanpa patokan yang jelas.
Metode ini memiliki kadar subyektivitas yang tinggi.
2. Metode formal
Metode formal merupakan suatu cara pembobotan eksplisit. Langkah awal yang harus dilakukan
dalam metode ini adalah dengan cara mengelompokkan kategori kategori risiko yang ada, masing
masing kategori dinilai pentingnya relative terhadap yang lain dengan menggunakan angka decimal
antara 0 dan 1.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 sampai 5 sebagaimana dapat dilihat dalam
Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.2 Skala Probability
Sebutan Skor Kriteria Kejadian
Sangat Kecil (SK) 1 Cenderung tidak mungkin terjadi
Kecil (K) 2 Kemungkinan kecil terjadi
Sedang (S) 3 Terjadi dan Tidak, memiliki kemungkinan yang sama
Besar (B) 4 Kemungkinan Besar Terjadi
Sangat Besar (SB) 5 Sangat mungkin pasti terjadi
(Sumber, Wibowo, 2010)

9
Tabel 2.3 Skala Impact
Sebutan Skor Kriteria Dampak
Ringan Sekali (RS) 1 Tidak Berpengaruh
Ringan (R) 2 Kurang Berpengaruh
Sedang (S) 3 Berpengaruh
Berat (B) 4 Cukup Berpengaruh
Sangat Berat (SB) 5 Sangat Berpengaruh.
(Sumber, Wibowo, 2010)

1.5. Tujuan Manajemen Risiko


Dalam setiap tindakan yang dilakukan pasti memiliki tujuan, demikian pula dengan manajemen
risiko. Beberapa ahli seperti Suh & Han (2003) memiliki pendapat bahwa tujuan manajemen
risiko adalah meminimalisir kerugian. Sedangkan menurut Jacobson (2002) tujuan akhir
manajemen risiko adalah memilih pengukuran peringanan risiko, pemindahan risiko dan
pemulihan risiko untuk mengoptimalkan kinerja organisasi.

1.6. Manfaat/Kegunaan Manajemen Risiko


Manfaat manajemen risiko perusahaan yang pertama adalah membantu perusahaan
mencapai visi, misi, dan tujuan bisnisnya.
Selain untuk meminimalisasi ancaman, proses manajemen risiko juga bisa dimanfaatkan
guna meningkatkan profitabilitas. Dengan adanya manajemen risiko, kita bisa menganalisa
pengelolaan sumber daya yang sekiranya kurang efisien/efektif.

10

Anda mungkin juga menyukai